FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN WANITA TERLIBAT

BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN WANITA TERLIBAT

DALAM PEREDARAN NARKOTIKA DITINJAU DARI SEGI KRIMINOLOGI A. Gambaran Umum Kriminologi

1. Kriminologi

Sebagai salah satu ilmu pengetahuan yang berkembang, kriminologi mempunyai tempat yang sangat penting dalam penegakan hukum. Namun walaupun demikkian, kriminologi belum mempunyai satu batasan atau pengertian yang tegas yang dapat dipergunakan secara seragam. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya Para Kriminolog dengan sudut pandang masing-masing memberikan pengertian atau batasan tentang apa itu kriminologi. Secara harafiah kriminologi berasal dari kata “crimen” yang berarti kejahatan atau penjahat dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan. Apabila dilihat dari akta tersebut, maka kriminologi mempunyai arti sebagai pengetahuan tentang kejahatan. Beranjak dari pengertian kriminologi tersebut, Sutherland dan Cressey mengemukakan pendapatnya sebagaimana dikutip oleh Made Darma Weda, 26 Secara harafiah tersebut memberikan suatu pengertian yang sempit bahkan dapat juga menjerumuskan pada pengertian yang salah. Pengertian kriminologi sebagai ilmu tentang kejahatan akan menimbulkan suatu persepsi bahwa hanya kejahatan saja yang dibahas dalam kriminologi. 30 Universitas Sumatera Utara bahwa “yang termasuk dalam pengertian krimonologi adalah proses pembentukan hukum, pelanggaran hukum dan reaksi terhadap pelanggaran hukum. Menurut pendapat Michael dan Adler, bahwa yang dimaksud dengna kriminologi adalah: “keseluruhan dari bahan-bahan keterangan mengenai perbuatan-perbuatan lingkungan mereka dan bagaimana mereka diperlakukan oleh badan-badan masyarakat dan oleh anggota masyarakat” 27 Dengan demikian kriminologi tidak hanya mempelajari masalah kejahatan saja, akan tetapi juga meliputi proses pembentukan hukum, pelanggaran hukum serta reaksi yang diberkan terhadap para pelaku kejahatan. 28 I. Paul Topinard meneybutkan bahwa kriminologi adalah ilmu atau cabang ilmu yang mempelajari soal-soal kejahatan. Beberapa sarjana atau kriminolog yang memberikan pendapatnya tentang pengertian kriminologi adalah : 2. W. A. Bonger memberikan nama lain ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki kejahatan seluas-luasnya kepada krimonologi. 3. Wood mengemukakan bahwa kriminologi adalah meliputi segala pengetahuan yang diperoleh baik oleh pengalaman, maupun teori-teori tentang kejahatan dan penjahat serta pengetahuan yagn meliputi reaksi- reaksi masyarakat terhadap penjahat dan kejahatan itu. 4. Frij meneybutkan bahwa kriminologi adalah suatu ilmu pengetahaun yagn berhubungan dengan kejahatan baik sebagai gejala maupun sebagai faktor sebab akibat dari kejahatan itu sendiri 5. Paul Moedigdo menyebutkan bahwa krimonologi adalah ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu yang membahas kejahatan sebagai masalah manusia. 29 26 Algra NE, dkk, Kamus Istilah Hukum, Bina Cipta, Jakarta, 1983, halaman 121. 27 Made Darma Weda, Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, halaman 2. 28 Ibid., halaman 1. 29 B. Simanjuntak, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, Tarsito, Bandung, 1991, halaman 182. Universitas Sumatera Utara Di luar dari pendapat tersebut diatas, paham klasik menyebutkan bahwa kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang meneliti dilinkuensi dair kejahatan sebagai suatu gejala social. Sementara paham lain berpandangan bahwa krimonolgi itu merupakan ilmu yang empiris yang ada kaitannya dengan kaedah hukum. Walaupun dari beberapa pengertian atau paham tentang kriminologi terserbut diatas, ada menunjukkan beberapa perbedaan, seperti penempatan kriminologi itu sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri dan atau cabang dari ilmu lain, akan tetapi pokok permasalahan yang menjadi pembahasannya pada dasarnya adalah sama,. Yaitu meneliti ataupun mempelajari kejahatan dengan seluas-luasnya serta bagaimana reaksi masyarakat kepada penjahat. Dari berbagai pendapat tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa kriminologi itu adalah merupakan perpaduan ilmu dan pengetahuan yagn mempelajari kejahatan sebagai gejala sosial, bagaimana teknik atau cara penanggulangannya, serta bagaimana pula reaksi masyarakat terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan.

2. Teori-teori tentang kejahatan dalam konsep kriminologi

a. Teori differential association

Teori ini dilandaskan pada proses belajar. Kejahatan seperti juga perilaku pada umumnya merupakan sesuatu yang dipelajari. E. Sutherland menyebutkan 9 Sembilan proporsi yang menyebabkan terjadinya perilaku kejahatan, yaitu : Universitas Sumatera Utara 1. Perilaku kejahatan adalah perilaku yang dipelajari secara negative, berarti perilaku itu tidak diwarisi. 2. Perilaku kejahtan dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dalam suatu proses komunikasi. Komunikasi tersebut terutama dapat bersifat lisan ataupun menggunakan bahasa isyarat. 3. Bagian yang terpenting dalam proses mempelajari perilaku kejahatan ini terjadi dalam kelompok personal yang intim. Secara negative ini berarti komunikasi yang bersifat tidak personal, secara relative tidak mempunyai peranan penting dalam hal terjadinya kejahatan. 4. Apabila kejahatan dipelajari, maka yang dipelajari meliputi teknik melakukan kejahatan motif-motif tertentu, dorongan-dorongan melakukan kejahatan sert aalasan pembenar termasuk sikap-sikap. 5. Arah dari motif dan dorongan itu dipelajari melalui definisi-definisi dari peraturan hukum. Dalam suatu masyarakat terkadang seseorang dikelilingi oleh orang-orang yang secara bersamaan melihat apa yang diatur dalam peraturan hukum sebagai suatu yang perlu diperhatikan dan dipatuhi namun kadang ia dikelilingi oleh orang-orang yagn melihat aturan hukum sebagia sesuatu yang memberikan peluang dilakukannya kejahatan. 6. Seseorang menjadi dilinkuen karena akses dari pola-pola piker yang lebih melihat aturan hukum sebagia pemberi peluang dialkukannya kejahatan dari pada yang melihat hukum sebagai sesuatu yang harus duiperhatikan dan dipatuhi. 7. Differential association bervariasi dalam hal frekuensi, jangka waktu, prioritas dan intensitasnya 8. Proses mempelajari perilaku kejahtan yang diperoleh melalui hubungan pola-pola kejahatan dari anti kejahatan yagn menyangkut seluruh mekanisme yang lazim terjadi dalam setiap proses belajar pada umumnya. 9. Sementara perilaku kejahatan merupakan pernyataan kebutuhan dan nilai umum. Akan tetapi hal tersebut tidak dijelaskan oleh kebuntuhan dan nilai-nilai umum itu, sebab perilaku yang bukan kejahatan juga merupakan pernyataan kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang sama. 30

b. Teori anomi

Teori ini menyatakan bahwa tahapan tertentu dari struktur sosial akan menumbuhkan suatu kondisi dimana pelanggaran terhadap norma-norma 30 Soedjono Dirdjosisworo, Sinopsis Kriminologi Indonesia, Mandar Madju, Jakarta, 1994, halaman 256. Universitas Sumatera Utara kemasyarakatan merupakan wujud reaksi normal. Dalam pengertian ini berusaha menunjukkan bahwa “berbagai struktur sosial yang mungkin terdapat dalam masyarakat dalam realitasnya telah mendorong orang-orang dengan kualitas tertentu cenderung berperilaku menyimpang mematuhi norma-norma kemasyarakatan”. 31 Dua unsur yang dianggap perlu untuk diperhatikan dalam mempelajari berbagai bentuk perilaku dilinkuensi adalah unsur-unsur dari struktur sosial dan cultural. Unsure cultural melahirkan goals dan unsur struktural melahirkan means. Goal diartikan sebagia tujuan-tujuan dan kepentingan- kepentingan yagn sudah membudaya, meliputi kerangka aspirasi dasar manusia, seperti dorongan untuk hidup, sedangkan means merupakan aturan-aturan dan cara-cara control yang melembaga dan diterima sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang membudaya tersebut. 32 1. Conformity, merupakan perilaku yang terjadi manakala tujuan dan cara yagn sudah ada pada masyarakat diterima dan melalui sikap itu seseorang mencapai keberhasilan. Kedua unsur tersebut saling bekerjasama. Untuk pengadaptasian yang terjadi dalam masyarakat terhadap dua unsur tersebut, Merton mengemukakan 5 lima bentuk pengadaptasian, yaitu : 2. Innovation, terjadi manakala seseorang terlalu menekankan tujuan yang membudaya tanpa menginternalisasikan norma-norma kelembagaan yang megnatur tata cara untuk pencapaian tujuan yang membudaya. 3. Ritualisme, pada umumnya merupakan kecenderungan yang terjadi pada stratifikasi masyarakat menengah dan rendah 4. Retreatisme, mencerminkan orang-orang yang terlempar dair kehidupan kemasyarakatan, termasuk didalamnya pergaulan bebas. 5. Rebellion, merupakan perjuangan yang terorganisasi ditujukan untuk mengadakan perubahan-perubahan kondisi sosial, ekonomi, politik dengan maksud untuk menunjukkan struktur sosial yang telah membudaya. 33 31 Mardjono Reksodipuro, Mencari Faktor Sebab Kejahatan, Prasarana Dalam Workshop Pemasyarakatan, UNPAD-FHPM, Bandung, 1971, halaman 34. 32 Ibid. 33 Ibid., halaman 35. Universitas Sumatera Utara

c. Teori netralisasi

Pada dasarnya teori netralisasi ini beranggapapan bahwa aktifitas manusia selalu dikendalikan oleh pikirannya. Menurut teori ini orang-orang berperilaku jahat disebabkan adanya kecenderungan dikalangan mereka untuk merasionalisasikan norma-norma dan nilai-nilai menurut persepsi dan kepentingan masyarakat. Lebih jauh Sykes dan Matza merinci bentuk atau kecenderungan penetralisasian dikalangan para pelaku kejahatan menjadi 5 lima kecenderungan, yaitu : 1. The Danial Of Responsibility,mereka menganggap dirinya sebagai korban tekanan-tekanan social, misalnya kurang kasih sayang dan lainnya. 2. The Denial Injury, mereka berpandangna bahwa perbuatannya tidak mengakibatkan kerugian besar dimasyarakat. 3. The Denial Of Victim, yang berpandangan bahwa mereka adalah pahlawan. 4. Condemnation of the Comdemners, yang beranggapan bahwa orang yang mengutuk perbuatan mereka sebagia orang-orang yang munafik. 5. Appeal Top Higher Loyality, mereka merasa dirinya terperangkap antara kemauan masyarakat luas dan hukumnya dengan kebutuhan kelompok kecil atau minoritas darimana mereka berasal atau tergabung, misalnya kelompok gang. 34

d. Teori Control

Teori control Theorie Control Social beranggapan bawha indovidu di dalam masyarakat mempunyai kecenderungan yang sama, kemungkinannya menjadi baik atau jahat. Baik atau jahatnya seseorang sepenuhnya tergantung pada masyarakat. Ikatan sosial seseorang dengan masyarakat dipandang sebagai faktor pencegahan timbulnya perilaku 34 JE. Sahetapy, Teori Kriminologi Suatu pengantar, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, halaman 52. Universitas Sumatera Utara menyimpang. Seseorang yagn lemah atau terputus ikatan sosialnya dengan masyarakat bebas melakukan penyimpangan. 35 Gender secara keliru sering diartikan sebagai jenis kelamin, sehingga kedua kata ini perlu dipahami pengertiannya secara benar. Jenis kelamin atau seks adalah penan-daan individu manusia ke dalam kategori laki-laki dan perempuan berdasar karakteristik biologis genital eksternal dan organ-organ seks internal, genetik kromosom dan hormon. Seseorang dapat melemah atau terputus ikatan sosial dengan masyarakatnya, manakala di masyarakat itu telah terjadi pemerosotan fungsi lembaga control sosial informal, disini ialah sarana-sarana tersebut dapat diidentikkan dengan lembaga adar, suatu sistem control sosial yagn tidak tertulis namun memperoleh pengakuan keabsahan pemberlakuannya di masyarakat. B. Gender Akan terasa sulit sekali dalam memberi suatu pengertian tentang perempuan, karena konsep pengertian tentang suatu kata dari kata perempuan itu timbul hanya untuk membedakan jenis kelamin saja. Tidak ada yang membedakan dan mempertanyakan mengapa sebutan itu timbul, tidak ada pula orang mempertanyakan beda dari sebutan perempuan itu sendiri, baik perempuan dengan sebutan wanita. 36 Gender diartikan sebagai perbedaan-perbedaan sifat, peranan, fungsi, 35 Ibid., halaman 54. 36 http:www.deptan.go.idsetjenrorenragampengertian, Diakses tanggal 14 Mei 2011. Universitas Sumatera Utara dan status antara laki-laki dan perempuan yang tidak berdasarkan pada perbedaan biologis, tetapi berdasarkan pada relasi sosial budaya yang dipengaruhi oleh struktur masyarakatnya yang lebih luas. Gender merupakan hasil konstruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Peran gender bersifat dinamis, dipenga-ruhi oleh umur generasi tua dan muda, dewasa dan anak-anak, ras, etnik, agama, lingkungan geografi, pendidikan, sosial ekonomi dan politik. Oleh itu, karenanya perubahan peran gender sering terjadi sebagai respon terhadap perubahan kondisi sosial ekonomi, budaya, sumberdaya alam dan politik termasuk perubahan yang diakibatkan oleh upaya-upaya pembangunan atau penyesuaian program struktural structural adjustment program maupun pengaruh dari kekuatan- kekuatan di tingkat nasional dan global. Hanya saja dimungkinkan fungsi penyebutan wanita diarahkan kepada kata yang menggairahkan, atau gambaran tentang fungsi perempuan sebagai suatu bidang yang memberi gambaran bahwa imaginasi tentang kata wanita itu adalah sesuatu yang menggugah kegairahan saja. Sedangkan pengertian tentang pemakaian kata dari perempuan itu sendiri sering dimaknakan sebagai gambaran sosok yang begitu anggun, serta mempunyai kharisma yang begitu bersahaja, jauh dari unsur yang menggairahkan serta mempunyai suatu makna yang dibutuhkan sekali dalam suatu kehidupan rumah tangga. Fungsi yang demikian lebih sering disebut Universitas Sumatera Utara dengan peran kodratinya sebagai ibu rumah tangga yang baik bagi kehidupan anak-anaknya serta kehidupan suaminya. Identifikasi yang demikian tentang makna perempuan ditambah dengan perbedaan jenis kelamin, maka hal tersebut tidak dapat disalahkan karena suatu identifikasi adalah merupakan kenyataan yang ditemui. Pengertian tentang pemakaian kata sebagai suatu pembeda makna, termasuk pengertian tentang perempuan sebagai suatu jenis kelamin di luar laki-laki, tidak akan pernah berubah, kecuali memang ada sebutan lain yang membedakan jenis kelamin tersebut. Dalam kamus umum bahasa Indonesia, disebutkan bahwa pengertian perempuan adalah jenis sebagai lawan laki-laki. 37 Dengan hal uraian di atas dapat ditarik suatu pengertian bahwa pengertian tentang perempuan itu hanya terbatas sebagai suatu sebutan dalam Pengertian di atas juga timbul karena adanya perbedaan jenis kelamin. Pada satu sisi adalah pria dan pada satu sisi lagi adalah perempuan. Hanya saja terkadang pengertian tentang makna perempuan ini yang meletakkannya pada peran tradisional, maka dalam tafsiran yang ada bahwa perempuan dalam arti perempuan diberikan suatu tingkat penilaian yang lebih terhormat. Hal ini dapat dilihat bahwa perempuan itu sebagai seorang ibu yang membesarkan serta melahirkan keturunan, maka peranan yang sedemikian adalah sangat mulia di dalam aturan serta norma yang terdapat di dalam masyarakat. 37 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 2003, halaman 738. Universitas Sumatera Utara membedakan jenis kelamin saja, hanya saja fungsi penyebutan wanita lebih difokuskan pada makna yang menggairahkan sedang kata perempuan difungsikan sebagai kaum yang dihormati. C. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Wanita Terlibat Dalam Peredaran Narkotika Ditinjau Dari Segi Kriminologi Keterlibatan wanita dalam walam peredaran narkotika baik itu sebagai pemakai atau pengedar atau sekaligus kedua-duanya untuk setiap tahunnya dari mulai tahun 2003 sampai dengan tahun 2010 menunjukkan angka yang bervariasi. Hal ini dapat dilihat dari tabel di bawah ini: Tabel 1 Data Usia dan Jenis Kelamin Pelaku Tindak Pidana Kejahatan Narkoba di Sumatera Berdasarkan Tangkapan Kepolisian Tahun 2003-2010 Tahun U S I A Jenis Kelamin 6-11 12-15 16-18 19-23 24… Tdk Diketahui Lk Pr Tdk Diketahui 2003 2004 30 379 1188 1051 2524 124 2005 44 386 957 991 2180 146 2006 6 79 355 717 15 823 50 299 2007 18 227 973 902 147 1058 126 1056 2008 1 27 159 777 1821 212 2834 162 1 2009 19 99 458 1432 132 2033 110 1 2010 2 7 94 272 1059 183 1511 94 12 Jumlah 3 151 1423 4980 7973 689 12983 812 1369 Sumber : Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara PIMANSU Divisi Litbang GAN Indonesia, Jl. P. Diponegoro No. 50 Kantor Gubsu Medan. Tabel di atas memperlihatkan bahwa data usia yang terbesar sebagai pelaku tindak pidana kejahatan narkoba adalah berada pada usia 24 tahun ke atas, diikuti oleh usia 19-23 tahun dan kemudian usia 16-18 tahun. Berdasarkan Universitas Sumatera Utara hal tersebut maka semakin tinggi usia pelaku maka semakin besar jumlah pelakunya. Demikian juga perbandingan untuk jenis kelamin bahwa laki-laki lebih besar jumlahnya sebagai pelaku tindak pidana kejahatan narkoba apabila diperbandingkan dengan perempuan. Berdasarkan tabel di atas untuk tahun 2004 jumlah tindak kejahatan narkotika di Sumatera Utara adalah sebesar 2648 kasus dimana yang berjenis kelamin wanita sebanyak 124 kasus atau sebesar 4,68 dari semua kasus narkotika. Untuk tahun 2005 mengalami peningkatan dimana jumlah tindak kejahatan narkotika ada sebesar 2326 kasus dan yang dilakukan wanita ada sebanyak 146 kasus atau sebesar 6,27. Untuk tahun 2006 ada sebanyak 873 kasus dimana yang melibatkan wanita sebanyak 50 kasus atau sebesar 5,72. Tahun 2007 ada sebanyak 1184 kasus kejahatan narkotika di Sumatera Utara sedangkan yang melibatkan wanita sebanyak 126 kasus atau sebesar 10,64. Untuk tahun 2008 ada sebanyak 2996 dimana yang melibatkan wanita sebanyak 162 kasus atau sebesar 8,11. Untuk tahun 2009 ada sebanyak 2143 kasus dan yang melibatkan wanita sebanyak 110 kasus atau sebesar 5,13. Sedangkan untuk tahun 2010 ada sebanyak 1604 kasus tindak kejahatan narkotika di Sumatera Utara dimana yang melibatkan wanita sebanyak 94 kasus atau sebesar 6,22. Universitas Sumatera Utara Tabel 2 Tindak kejahatan Narkoba Yang Melibatkan Suami Isteri Daerah Sumut Tahun 2010 No. Nama Tersangka Kepolisian Jenis Narkotika Ket. 1 Feri 35, Sri 37 Satuan I Narkotika Polda Sumut Shabu-shabu Pasangan suami isteri, pengedar 2 An 25, Sh 18 Poldasu Ganja Pengedar Pasnagan suami ister 3 MB 35, SM 25, Mul 18 Polres Kesatuan Pelaksana Pengamanan Pelabuhan Belawan Ganja Pengedar Suami isteri 4 Masjulase 41, Hariyah 37, Siwen Shangker 26, Erwin Syahputra 35 Ganja ganja Suami isteri, Pengedar dan Pemakai 5 K 23, N Br n 19, HP 17 Polsekta Patumbak Shabu-Shabu Pemakai 1 wanita Pengedar Suami isteri 6 G.S Polsek Kualuh Hulu Ganja Pasangan suami isteri pengedar 7 Gani 23, Ana 18, BG 27 Sat Narkotika dan polsek Sei Tualang Raso Polres T. Balai Ganja Pemakai dan pengedar pasangan suami isteri 8 Hsj 25, sn 25 Polres Tapsel Putau Pasangan suami isteri pemilik putaw 9 Rp alias Roma 37, EN br. Sinambela 35 Satuan Narkotika Polres Tapteng Ganja Suami isteri pengedar ganja 10 BH 34, Bus 33 Petugas Bea Cukai Pel. Teluk Nibung Shabu-shabu Bandar suami isteri Sumber : Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara PIMANSU Divisi Litbang GAN Indonesia, Jl. P. Diponegoro No. 50 Kantor Gubsu Medan. Berdasarkan tabel di atas maka dapat dilihat data Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara juga menjelaskan untuk tahun 2010 adalah sebanyak 10 kasus tindak kejahatan narkotika di Sumatera Utara yang melibatkan suami isteri. Artinya dalam kasus ini ada dilibatkan wanita yang sekaligus berstatus sebagai seorang isteri dalam hubungannya dengan kejahatan narkotika terlepas dari bentuk kejahatannya pengedar atau pemakai. Universitas Sumatera Utara Tabel 3 Tindak kejahatan Narkoba Yang Melibatkan Ibu Rumah Tangga Daerah Sumut Tahun 2010 No. Nama Tersangka Kepolisian Jenis Narkotika Ket. 1 Hariyah 30 Polsekta medan Kota Ganja PengedarIRT 2 Wiwik Poltabes MS dan Polsekta Percut Sei Tuan Shabu-Shabu PengedarIRT 3 Sur 35 Polsekta Medan Labuhan Shabu-Shabu PengedarIRT 4 MB 35 Polres KP3 Belawan Ganja PengedarIRT 5 Tri 32 Polres Tebing Tinggi Shabu-Shabu PengedarIRT 6 HPS 42 Polres P. Siantar Putaw PengedarIRT 7 Mar 28 Polresta Tanjungbalai Ganja PengedarIRT 8 S Br. S 31 Polsek Sei Tualang Shabu-Shabu PengedarIRT 9 BS Vr S 25 Polres Sibolga Ganja PengedarIRT 10 IR 28 Reskrim Polsek Pulau Brandan Shabu-Shabu Ganja PengedarIRT 11 Atik Baja 41 Polsek P. Brandan Ganja PengedarIRT 12 JL 38 Polsek Bilah hulu Ganja Bandar Sumber : Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara PIMANSU Divisi Litbang GAN Indonesia, Jl. P. Diponegoro No. 50 Kantor Gubsu Medan. Berdasarkan tabel di atas yang didapatkan dari Data Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara yang menjelaskan tindak kejahatan narkotika kasus yang melibatkan ibu rumah tangga terbebas dari memiliki suami atau tidak ada pada tahun 2010 ada sebesar 12 kasus. Universitas Sumatera Utara Tabel 3 Tindak kejahatan Narkoba Yang Melibatkan Wanita Daerah Sumut Tahun 2010 No. Nama Tersangka Kepolisian Jenis Narkotika Ket. 1 S 32 Poltabes Medan Ganja Shabu-shabu Pengedar Wanita 2 Udriasih 38 Poltabes Medan Shabu-Shabu Ekstasi Ratu Bandar wanita 3 TR 38, R 38, S 37, Y 28 E 27 Poltabes Medan Shabu-Shabu Ganja Pengedar Dua orang wanita 4 Hendra 35 Lidiasasri 19 Poltabes Medan Shabu-shabu Pengedar Satu wanita 5 Mul 29 Poltabes Medan Shabu-shabu Pengedar Satu wanita 6 Masjulase 41, Hariyah 37 Polsekta Medan Kota Ganja Suami isteri, pengedar dan pemakai 7 RK 33 Polsek Medan Baru Ekstasi Pengedar wanita 8 Mar 50 Polsek Medan Baru Ganja Pengedar satu wanita 9 Yuni 2 Polsek Medan Baru Shabu-Shabu Pemakai satu wanita 10 Ratih Ariani 34 Polsek Medan Belawan Ganja Pengedar wanita 11 Wiwik Poltabes MS dan polsekta Percut Sei Tuan Shabu-Shabu Pengedar seorang wanita 12 Sur 35 Polsekta Medan Labuhan Shabu-Shabu Pengedar wanita 13 Acin 34 Poldasu Shabu-Shabu Pengedar wanita 14 DH 43 Polres Binjai Shabu-Shabu Pengedar wanita 15 J br S 40 Polsek Sei Bungai GAnja Pengedar wanita Sumber : Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara PIMANSU Divisi Litbang GAN Indonesia, Jl. P. Diponegoro No. 50 Kantor Gubsu Medan. Data Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara yang menjelaskan tindak kejahatan narkotika yang melibatkan wanita dalam Universitas Sumatera Utara peredaran gelap narkotika di Sumatera Utara untuk tahun 2010 ada sebanyak 27 kasus.: Berdasarkan angka-angka di atas maka keberadaan wanita sangat potensial dalam hal perkembangan kejahatan peredaran narkotika khususnya di wilayah hukum Provinsi Sumatera Utara. Terkejut adalah suatu panorama yang selalu menjelma ke dalam jiwa kala mendengar dan atau melihat sosok tiang bangsa bernama wanita terpaksa bertekuk lutut dalam sindikat pengedaran narkotika. Pencitraan sosok wanita yang briliyan, hebat, luar biasa dan mampu menciptakan generasi-generasi yang tangguh seakan runtuh tiba-tiba tatkala ia terjerumus dalam sindikat narkotika, meski itu bukan penyebab satu-satunya. Alih-alih menjunjung tinggi hak-hak perempuan, yang terjadi justru para pengedar narkotika menjerumuskannya dalam sindikat pengedaran barang haram, yang secara otomatis juga akan menghancurkan generasi bangsa the lost generation. Narkotika sendiri adalah singkatan dari Narkotika, Alkohol, dan Obat- obatan Berbahaya. Selain itu ada kata-kata lain yang mempunyai makna yang sama, yaitu: NAZA Narkotika dan Zat Adiktif dan NAPZA Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif. Narkotika merupakan permasalahan seluruh masyarakat Indonesia bukan hanya Negara ataupun badan-badan tertentu yang memiliki kepedulian terhadap masa depan bangsa. Adanya keterpurukan wanita kedalam narkotika dari banyaknya data yang menunjukkan peningkatan jumlah wanita sebagai pemakai dan pengedar narkotika sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan awal sub bab ini. Memang banyak faktor yang telah terbukti menyebabkan wanita terlibat didalamnya, baik trauma masa kecil, adanya paksaan dari kekasihsuami, dan Universitas Sumatera Utara yang menjadi alasan umum adalah kondisi ekonomi yang mencekik. Bagi para pengedar narkotika wanita dianggap sebagai pesuruh dengan gaji tak sepadan atau tidak sama sekali dan dijebak sebagai patron atau kurir pengedaran narkotika. Berdasarkan hal tersebut ada beberapa hal yang menjadi faktor penyebab seorang wanita menjadi pengedar gelap narkotika yaitu: 1. Faktor ekonomi. Lemahnya ekonomi seorang wanita ikut terlibat dan terjerumus dalam kejahatan narkotika. 2. Terikat hubungan perkawinan atau pasar. Para bandar narkotika sering memacari perempuan dan bahkan sampai mengawininya dan akhirnya disuruh untuk mengedarkan narkotika. 3. Kebiasan perempuan yang suka jalan-jalan atau berbelanja, karena bandar narkotika selalu memberikan iming-iming penghasilan yang besar dengan waktu yang singkat dan juga dijanjikan diberikan fasilitas yang mewah. Masalah ekonomi adalah masalah fundamental bagi seseorang melakukan kejahatan, termasuk melakukan kejahatan pengedaran narkotika. Tidak adanya pekerjaan tetap dan juga sulitnya memasuki dunia kerja serta kebutuhan hidup yang semakin membesar memberikan kondisi bagi seseorang termasuk wanita dalam melakukan kegiatan yang melanggar hukum yaitu melakukan pengedaran narkotika. Berlangsungnya perubahan-perubahan sosial yang serba cepat dan perkembangan yang tidak sama dalam kebudayaan, mengakibatkan Universitas Sumatera Utara ketidakmampuan banyak individu untuk menyesuaikan diri, mengakibatkan timbulnya disharmonisasi, konflik-konflik eksternal dan internal, juga disorganisasi dalam masyarakat dan dalam diri pribadi. Peristiwa-peristiwa tersebut di atas memudahkan individu menggunakan pola-pola responsireaksi yang inkonvensional atau menyimpang dari pola-pola umum yang berlaku. Demikian juga dengan kegiatan pengedaran narkotika ditujukan untuk mempertahankan hidup di tengah-tengah hiruk pikuk alam pembangunan. Faktor ekonomi sering dihubungkan dengan kemiskinan. Faktor ini sangat esensial dalam hal merujuk terjadinya ketimpangan-ketimpangan sosial, khususnya ketimpangan dalam pemenuhan kehidupan individu. Sehingga kelompok miskin ini tidak dapat menikmati kesejahteraan sosial yang paling minimal sekalipun. Bahkan acapkali didengar bahwa kemiskinan adalah titik pangkal timbulnya kejahatan termasuk memberikan dorongan bagi seorang wanita untuk menjadi pengedar narkotika. Kemiskinan adalah kondisi di mana terdapat kekurangan pendapatan insufficiency of income danatau keadaan tidak tersedianya akses lack of acces barang-barang serta jasa-jasa kebutuhan dasar tertentu bagi keluarga atau perorangan yang membutuhkannya. Tuntutan kebutuhan rumah tangga yang tak dapat ditunda, akhirnya memaksa wanita menjadi survivor dalam mengatasi kemiskinan keluarga. Latar belakang itu juga yang terjadi pada wanita pekerja seks komersial.Dalam 38 Universitas Sumatera Utara contoh modus jaringan yang dipakai, di antaranya wanita sering dijadikan sebagai pacar, dijadikan istri oleh laki-laki berkewarganegaraan asing, dipaksa wanita yang masih memiliki hubungan keluarga, atau ditipu oleh orang dekat, seperti suami, teman, atau saudara. Mereka biasanya dibuai tawaran pergi jalan- jalan ke sebuah negara. Bersamaan dengan itu, mereka juga dijadikan kurir pengedaran narkotika. Kemiskinan, ketidaktahuan, hubungan kekuasaan yang timpang antara wanita serta laki-laki, budaya dan lainnya, merupakan faktor yang ditengarai menyebabkan wanita terperangkap dalam jaringan peredaran narkotika. Wanita yang dijadikan sebagai salah satu mata rantai jaringan pengedaran narkotika – kurir-, kadang-kadang dipandang sebagai kriminal bukan sebagai korban. Padahal apa yang dilakukannya bukan karena pilihan sendiri, tetapi lebih disebabkan ditipu atau dieksploitasi. Kemiskinan atau Narkotika yang Menjerat WanitaDunia narkotik kini memang tak lagi menjadi ruang kaum pria. Tahun 2008, Laporan Nasional Estimasi Dewasa Rawan Terinveksi HIV pada Pengguna Napza DKI Jakarta berjumlah 29.350 orang, pasangan penasun berjumlah 12. 510 orang, dan PWS Penjaja Seks Wanita 27.370 orang. Angka ini menunjukkan bahwa wanita menjadi kelompok yang intensif bersentuhan dengan narkotika baik dari pasangannya maupun dari para pecan pasar narkotika, penulatan penyakit seksual, juga HIV-AIDS. Nyatanya, wanita dijadikan seagai media penyamapai barang-barang narkotik, dimana penguasa pasarnya adalah laki-laki. Beberapa kasus telah menunjukkan, pengguna dan pengedar narkotika dilakoni para wanita. Kisah Handayani yang dimuat di detik6.com 25 April 2009 bisa menjadi gambaran. Karena tertekan akibat kelakuan suaminya yang membawa kabur anak semata wayangnya, Handayani berpaling ke narkotika. Dia tertangkap memakai putaw pada suatu akhir di Mal Kelapa Gading, Jakarta Utara, akhirnya dia diciduk satuan pengamanan mal yang menghubungi aparat Kepolisian 38 Muhammad Djumhana, Hukum Ekonomi Sosial Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hlm 312. Universitas Sumatera Utara Sektor Kelapa Gading dengan barang bukti jarum suntik dan beberapa paket putaw. Handayani mengaku memakai barang itu untuk menghilangkan stress setelah rumah tangganya hancur. Namun, seiring penggunaan yang kekerapannya tinggi, ia tak bisa lagi berpisah dengan putaw. Handayani sebagai pengguna narkotika kemudian harus meringkuk di tahanan. Mungkin juga masih banyak contoh kasus lain yang sama nasibnya dengan Handayani atau mungkin justru lebih parah. Meski sejumlah orang seperti Handayani telah ditangkap dan harus ditahan, apakah telah selesai demikian penanganan kasus narkotika? Bagaimana dengan jaminan hidupnya dalam penjara? Apakah memang demikian pemerintah, aparat tetap memandang demikian dalam memuntus mata rantai pasar narkotika? Padahal proses perdagangan barang semakin meluas di masyarakat. Orang yang tahu sama sekali informasi terkat narkotika, justru pada akhirnya menjadi sasaran yang empuk. Lau mana yang lebih signifikan dalam melihat akar persoalannya?Kenyataannya, penggunapecandu lah yang kemudian dijadikan korban, ditangkap untuk ditahan tanpa memberikan jaminan rehabilitasi kepada sang korban. Memang, perdagangan narkotika ini dilakukan berlapis-lapis. Pengakuan Iva dalam berita di liputan6 suatu hari, ia ditangkap karena kedapatan sebagai pengedar. Dia tertarik menjual shabu-shabu karena dijanjikan akan mendapat uang banyak seperti yang dialami temannya. Tapi baru satu bulan menjadi pengedar, polisi menciduknya. Data Rutan Pondok Bambu cukup menguatkan sinyalemen banyak wanita terjerumus ke dunia 39 39 Yahoo.com, “Dalam Perdagangan Narkoba, Perempuan Adalah Korban”, http:groups. yahoo.comgroupnapza_indomessage1373.. Diakses tanggal 5 Pebruari 2011. Universitas Sumatera Utara narkotika. Sejak Januari hingga Mei 2004, tercatat lebih dari 20 wanita tersangka kasus narkotika masuk mendekam di rutan itu. Angka-angka itu jauh lebih sedikit dibanding kenyataan sebenarnya di masyarakat. Iming-iming imbalan yang besar dari hasil perdagangan narkotika diduga sebagai daya tarik sebagian besar pengedar narkotika. Tak sedikit ibu rumah tangga menjadi penyalur barang-barang tersebut. Kasus suami istri menjadi pengedar putaw juga pernah terungkap di kawasan Ancol, Jakarta Utara. Pasangan pedagang rokok itu menjual putaw di dalam bungkus rokok. Belum lagi. Setelah menjalani masa tahanan, mungkin saja para pemakai dan pengedar narkotika kembali ke kehidupan normal. Namun, semua pihak hendaknya tak menafikan fakta banyak wanita yang mengalami ketergantungan narkotika. Mungkin fakta-fakta ini memang selalu dipandang kasuistik, hanya masalah kecil dari sekian masalah. Dalam suatu masyarakat di mana ketiadaan pola hubungan yang sejajar, sulit kiranya diharapkan akan terwujud hukum yang adil bagi semua orang. Konsekuensi keadaan yang sedemikian adalah bahwa keadilan hukum hanya mungkin terwujud seandainya terdapat perubahan yang bersifat mendasar, dimana terkait hubungan-hubungan ekonomi masyarakat. Beberapa perkara yang ditangani oleh Lembaga Bantuan Hukum LBH Jakarta misalnya baik perkara peredaran narkotika dan sebagainya menunjukkan bahwa hukum yang berlaku dan atau diterapkan belumlah merupakan jalur yang efektif untuk memenuhi aspirasi golongan buruh dan lapisan bawah masyarakat, bahkan Universitas Sumatera Utara tidak jarang hukum justru difungsikan sebaliknya, menjadi alat yang efektif bagi tindakan-tindakan dan kebijaksanaan represif. Karena itu, hukum yang adil yang berlaku bagi semua orang hanya mungkin dilahirkan dalam suatu masyarakat dimana pola hubungan kekuasaan antara berbagai kelompok sosial itu sejajar. 40 Apabila dikaji Indonesia merupakan salah satu negara yang dilanda arus konstitusionalisme, secara terus-menerus, yang dalam konsep pembangunan lebih menekankan pembangunan di bidang ekonomi membawa implikasi bahwa pem-bangunan di bidang-bidang lain, seperti bidang hukum, bidang politik, sosial, budaya hankam, dan sebagainya lebih merupakan tiang-tiang penyangga bagi pembangunan ekonomi yang layak untuk mengangkat golongan bawah masyarakat yang miskin secara struktural untuk kemudian mewujudkan sampai ke bawah semangat “equality before the law” dalam Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 di dalam peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya. Misalnya seperti yang tercantum dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan kehakiman, serta Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang mencantumkan pasal-pasal yang menyangkut bantuan hukum. Kemudian undang-undang tersebut digant dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 dan kemudian Undang-Undang No. 48 Tahun 2009. Meskipun perlu dicatat bahwa pasal-pasal tentang bantuan hukum tersebut masih bersifat 40 Bambang Sunggono, Hukum Lingkungan dan Dinamika Kependudukan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, halaman 88-89. Universitas Sumatera Utara umum, artinya belum secara khusus mengatur mengenai bantuan hukum secara cuma-cuma bagi masyarakat miskin. Sementara itu, di kalangan para pendukung dan pembela konstitusionalisme tumbuh satu asumsi yang kuat yang intinya bertumpu pada kepercayaan netralisme suatu tertib hukum. Asumsi semacam ini secara filosofis tampaknya merupakan suatu das sollen tidak terlalu jauh dari tujuan- tujuan dasar hukum sendiri yang bertumpu pada nilai keadilan. Setidak- tidaknya menurut paham golongan ini harus terdapat tiga kondisi untuk terimplementasikannya konsep-konsep negara hukum, yaitu : 1. Pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, kultural dan pendidikan. 2. Peradilan yang bebas dan tidak memihak, tidak dipengaruhi oleh sesuatu kekuasaankekuatan lain apapun. 3. Legalisasi dalam arti hukum dalam segala bentuknya. Kaitannya dengan problematika lanjutan dari kemiskinan struktural dengan pandangan di atas adalah terwujudnya stratifikasi yang tajam yang pada dasarnya juga merupakan masalah sosial utama, dimana akan terasa adanya perbedaan potensi sosial ekonomi yang tentu akan berpengaruh dalam upaya- upaya penegakan hukum yang netral sesuai dengan semangat netralitas tertib hukum, tidak memihak, dan benar-benar di atas prinsip equality before law. Dalam praktek banyak terlihat misalnya seseorang yang mengalami kontak Universitas Sumatera Utara dengan hukum akan tetapi penyelesaian kasus ternyata tidak dapat mengenyampingkan betul adanya perbedaan potensi sosial ekonomi di atas. Hal ini setidak-tidaknya merupakan suatu kenyatan yang begitu mempengaruhi. Kalau memang demikian tampaknya netralitas hukum belumlah sampai menetes ke bawah, belum menyentuh betul dengan mereka yang tergolong miskin secara struktural. Di kota Medan khususnya sebagai Ibukota Propinsi Sumatera Utara faktor yang menjadi sebab terjadinya kemiskinan yang menjadi sebab peredaran narkotika oleh wanita atau pasangannya muncul ke atas ini adalah kurang tersedia lapangan kerja di pedesaan, karena laju pertumbuhan ekonomi lebih cepat meningkat di Kota daripada di desa, serta berkurangnya lahan pertanian penduduk disebabkan oleh usaha-usaha perkebunan yang berskala luas, serta adanya rasa ketertarikan untuk mencoba hidup di kota tanpa dibekali SDM Sumber Daya Manusia yang baik, hanya sekedar mencoba atau ikut-ikutan. Perihal dipercayakannya penjualan dan pengedaran narkotika secara gelap kepada wanita adalah disebabkan: 1. Karena wanita dalam menjalankan tugasnya kurang dicurigai oleh polisi. 2. Pandai merayu dan mengelabui. 3. Pekerjaannya rapi. 4. Gerak geriknya tidak mudah dideteksi. Perihal apakah seorang wanita pengedar narkotika dengan sendirinya ikut memakai barang haram, tersebut, biasanya yang ikut mengedarkan dan Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai pemakai adalah pengecer-pengecer kecil. Tetapi kebanyakan kurir dan pengedar dari bandar tidak memakai narkotika. Di sisi lainnya biasanya bandar tidak suka memakai kurir atau pengedar yang juga pemakai narkotika karena akan merugikan bandar sendiri dan juga akan membahayakan sendikat. Karena apabila si kurir atau si pengedar adalah seorang pemakai narkotika maka akan mempengaruhi keamanan tugas-tugasnya dalam mengedarkan atau menghantar narkotika. Dan gerak geriknya akan mudah terdeteksi oleh aparat kepolisian. Disadari efek narkotika terhadap wanita lebih serius dibandingkan dengan pria. Efek yang ditimbulkan berkaitan dengan masalah kesehatan, baik itu bersifat klinis atau psikologis. Heroin sebagai salah satu bagian dari narkotika, dapat memberikan pengaruh buruk pada fungsi seksual dan reproduksi, yaitu menurunnya dorongan seksual, kegagalan orgasme, terhambatnya menstruasi, gangguan kesuburan, mengecilnya payudara dan keluarnya cairan dari payudara. Sedangkan marijuana, anggota lainnya, dapat menyebabkan terjadinya gangguan sel telur, hambatan kehamilan, dan terhambatnya proses kelahiran. Sedangkan narkotika sepanjang masa yakni ekstasi, dapat menyebabkan detak jantung yang cepat dan sering, mual disertai muntah-muntah, syaraf otak terganggu, gangguan lever, tulang gigi kropos, dan dampak paling berbahaya adalah terutama untuk wanita hamil, karena dapat meningkatkan resiko cacat pada bayi sampai tujuh kali lebih besar daripada bila tidak menggunakan. Universitas Sumatera Utara Dampak umum dari narkotika dan merupakan dampak yang paling ditakuti adalah resiko wanita tertular HIVAIDS. HIVAIDS dapat menurunkan kekebalan tubuh, sehingga mudah terserang infeksi, dan dapat menyebabkan kematian. Bahkan hasil studi menunjukkan bahwa kemungkinan wanita dan remaja puteri tertular HIV 2,5 kali dibandingkan laki-laki dan remaja putera. Dari hal tersebut, seharusnya kaum wanita menyadari dampak buruk narkotika terhadap masa kini dan masa depannya. Sehingga bagi kaum wanita yang sudah terlibat didalamnya harus ada keberanian untuk menghentikan keterlibatan yang partisipatif. Sedangkan bagi mereka yang belum terlibat namun beranggapan bahwa narkotika dapat membuat lepas dari masalah dan lain sebagainya. Universitas Sumatera Utara BAB IV UPAYA-UPAYA YANG PERLU DILAKUKAN UNTUK MENCEGAH ATAU MENANGGULANGI KETERLIBATAN WANITA DALAM PEREDARAN NARKOTIKA Kedudukan Perempuan Di dalam Hukum Di Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, kaum wanita telah ditegaskan bahwa kedudukan dan haknya sama dengan kaum pria, baik sebagai penduduk maupun sebagai warga negara RI. Persamaan hak tersebut telah dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen, yakni dalam : Pasal 27 1 Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintah itu dengan tidak ada kekecualiannya. 2 Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal 29 2 Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Pasal 30 1 Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha-usaha pembelaan negara. Pasal 31 1 Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha. Pasal-pasal tersebut di atas, semuanya tidak mengadakan perbedaan antara pria dengan perempuan. Kaum perempuan mempunyai hak pilih aktif dan pasif untuk pemilihan lembaga-lembaga. Kaum perempuan mendapat kesempatan yang sama dalam mendapatkan pekerjaan di mana saja sesuai dengan kemampuannya seperti halnya dengan kaum pria. Demikian pula dalam bidang politik, kesehatan, pendidikan, hukum dan hak untuk bertindak dalam 55 Universitas Sumatera Utara hukum legal capacity serta dalam bidang ekonomi. Kedudukan kaum perempuan Indonesia dalam rangka turut serta mengisi gerak pembangunan telah pula ditegaskan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, yaitu “Pembangunan yang menyeluruh mensyaratkan ikut sertanya pria maupun wanita secara maksimal di segala bidang”. Dalam rangka ini perempuan mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan pria untuk ikut serta dalam segala kegiatan pembangunan. Jelaslah bahwa ikut sertanya kaum perempuan dalam proses pembangunan dan pembinaan bangsa ini, mutlak adanya, tanpa mengurangi peranan perempuan menurut kodratnya sebagai pembina keluarga. Perjuangan emansipasi perempuan setelah kemerdekaan, telah dituangkan dalam beraneka bentuk, baik berupa hal perundang-undangan maupun yurisprudensi Mahkamah Agung dan hal ini membuktikan bahwa kedudukan kaum perempuan di mata hukum Indonesia dewasa ini menunjukkan kemajuan yang sangat pesat dan positif. Salah satu contoh misalnya dalam hukum perkawinan nasional yakni Undang-undang No. 1 tahun 1974 yang berlaku untuk semua warga negara Indonesia. Dengan diundangkannya UU No. 1 1974 tentang perkawinan jo PP No. 9 tahun 1975, maka kedudukan dan martabat perempuan di dalam keluarga dan masyarakat semakin mendapat perlindungan yang jauh lebih baik bila dibandingkan sebelum undang-undang dan peraturan tersebut di atas dikeluarkan. Ketetapan sebagaimana yang tertuang di dalam KUH Perdata bahwa kedudukan perempuan yang sudah bersuami adalah berada di bawah kekuasaan Universitas Sumatera Utara dari pihak suami sehingga jika ia hendak bertindak dan berbuat terutama dalam hukum haruslah mendapat ijin dari pihak suami. Tetapi setelah dengan keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1983 tanggal 4 Agustus 1963, yang dikeluarkan dengan suratnya tertanggal 5 September 1963 No. 1115P3295M1963 tentang “Gagasan menganggap Burgelijke Wetboek tidak sebagai undang-undang, sehingga Mahkamah Agung menganggap bahwa pasal-pasal 108 dan 110 KUH Perdata tentang wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di muka pengadilan tanpa izin atau bantuan suaminya menjadi tidak berlaku, akibatnya dalam hal tersebut sudah tidak ada lagi perbedaan antara kaum perempuan dan kaum pria pada umumnya. Peristiwa itu kemudian disusul dengan diundangkannya Undang-undang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya kedua peraturan tersebut merupakan manifestasi atau perwujudan dari kebutuhan kaum perempuan akan hukum, sekaligus merupakan realisasi dari tugas pemerintahan dalam menyelenggarakan perlindungan hukum bagi kaum perempuan khususnya serta bagi setiap warga negara pada umumnya di seluruh wilayah Republik Indonesia ini. Selanjutnya apabila dilihat dalam kenyataannya atau prakteknya dewasa ini bahwa kaum perempuan mempunyai fungsi ganda, yakni : 1. Wanita sebagai ibu dan pendidik; 2. Wanita sebagai kekasih dan teman lelaki; 3. Wanita sebagai wanita karir sebagai pencari nafkah, membantu mencari nafkah pada keluarganya; Universitas Sumatera Utara 4. Wanita sebagai makhluk Tuhan; 5. Wanita sebagai anggota masyarakat. 41 Ibu yang diharapkan atau dikehendaki dalam keluarga, adalah ibu yang dapat memelihara keluarganya, yang datang dari budi pekerti yang baik, tempaan pendidikan dan tingkat kecerdasannya. Pandangan umum terhadap emansipasi perempuan yang terpenting bukanlah perbuatan dan pekerjaan yang dituntut tetapi yang terpenting dan utama adalah bekerjanya itu sesuai dengan kodrat dan fitrahnya sebagai perempuan. Perempuan adalah sebagai tiang dari negara, perempuan melaksanakan fungsinya sebagai pendidik dan pembina bagi anak-anaknya, perempuan harus mempunyai pengetahuan yang luas, untuk memenuhi suatu tuntutan dalam rangka melaksanakan fungsinya dalam segala lapangan. Nyatalah bahwa perempuan sebagai warga negara, sebagai ibu atau sebagai isteri pada hakikatnya mempunyai peranan penting yang saling melengkapi bersama pria, oleh sebab itu hak-hak mereka wajib dihormati. Dalam hubungan dengan ini, pendidikan ibu terhadap anak-anaknya akan mempengaruhi keadaan masyarakat sebagai lingkungan yang lebih luas lagi. Di daerah pedesaan menurut penelitian Darjanto dan Astrid Susanto tentang Masalah-masalah Nasional Non-Politik, membuktikan bahwa kenaikan tingkat persentase pendidikan anak ditentukan oleh jenis desa tempat tinggalnya, apakah tradisional, transisi atau modern, yaitu sejalan dengan tingkat modernisasi desa. 42 Dalam lingkup yang lebih luas lagi, pengertian Konvensi yang diterima 41 Victor Situmorang, Kedudukan Wanita di Mata Hukum, Bina Aksara, Aksara, 1988, halaman 12-13 42 Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, halaman 109. Universitas Sumatera Utara oleh Majelis Umum PBB No. 23 Tahun 1996 tentang diskripminasi adalah : setiap perbedaan, pengecualian atau pembatasan atas dasar jenis kelamin, yang merupakan pelanggaran atas hak-hak manusia dan kebebasan-kebebasan manusia dan kebebasan-kebebasan manusia dalam bidang politik, ekonomi, sosial,kebudayaan, sipil atau setiap bidang. 43 Di dalam konvensi tersebut tercantum peraturan-peraturan yang harus ditetapkan untuk melenyapkan diskriminasi dalam lapangan politik dan umum. Ini mengenai hak atas kebangsaan, pendidikan, pekerjaan, kasehatan, perkawinan dan satu keluarga. Tekanan istimewa diberikan kepada hak-hak perempuan pedesaan. Tekanan istimewa diberikan kepada hak-hak perempuan pedesaan. Negara harus mengubah semua undang-undang, peraturan, kebiasaan dan praktek yang bersifat diskriminasi. Pola sosial dan kebudayaan yang timbul dari ide inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin harus ditolak. Pendidikan harus memberi perhatian terhadap pengertian keibuan yang lebih baik sebagai fungsi sosial, pada pertanggung-jawaban bersama pria dan perempuan atas pendidikan anak. Perdagangan perempuan dan eksploitasi prostitusi perempuan harus dihentikan. Pria dan perempuan harus mempunyai hak yang sama dalam memperoleh, mengubah dan mempertahankan nasionalitas. Mereka harus memiliki hak yang sama dalam memilih pasangan hidup dan penentuan untuk melakukan perkawinan. Juga dalam perkawinan dan perceraian, pria dan perempuan harus memiliki hak yang sama 43 Victor Situmorang, Op.Cit, halaman 18. Universitas Sumatera Utara baik mengenai jumlah anak yang dikehendaki maupun sesudah perceraian, pemeliharaan dan perwalian atas anak. Dengan hal tersebut maka adalah suatu peranan yang sangat besar sekali yang diberikan kepada seorang perempuan serta harapan yang digantungkan pada sekarang ini. Kesadaran memiliki hak yang sama dengan pria dalam kehidupan serta kesadaran memiliki peranan dan tanggung jawab sebagai perempuan tampaknya telah dimiliki oleh perempuan-perempuan Indonesia sejak abad lampau, walaupun dalam kalangan yang amat terbatas. Salah satu di antaranya adalah Ibu Kartini yang pernah mengungkapkan buah pikirannya kepada salah seorang sahabatnya, bahwa ibu mempunyai peranan dan kedudukan yang amat penting di dalam masyarakat karena ibu adalah pengemban peradaban masyarakat. Jadi pada bahu kaum ibulah terletak tanggung-jawab asuhan generasi muda. Secara hukum kaum perempuan di Indonesia mempunyai kedudukan yang sama dengan kaum pria. Akan tetapi dalam kenyataannya sampai saat ini masih sering dijumpai kesulitan-kesulitan merealisasikan kesamaan hak dan kewajiban tersebut. Sejak kaum perempuan sudah diakui dan berani mempertahankan haknya dapat dilihat dari cara mereka mengambil keputusan yang berhubungan dengan kehidupan pribadinya. Sebagai seorang perempuan dia tidak mempunyai cukup kemerdekaan dibandingkan dengan pria dalam hal menentukan nasib sendiri, untuk memperkembangkan diri sendiri, untuk hidup menurut cara yang dikehendaki baik dalam kehidupan rumah tangga atau tidak, Universitas Sumatera Utara untuk menetapkan cita-cita sendiri, untuk menikmati hasil jeri payah sendiri. Sehubungan dengan Undang-Undang Perkawinan dianggap penting artinya untuk memperbaiki kedudukan perempuan terutama dalam kehidupan perkawinan. Sejak tahun 1928 masyarakat, khususnya kaum perempuan dalam Kongres Perempuan Indonesia telah bertekad untuk memperbaiki kedudukan perempuan melalui suatu undang-undang yang mengatur hak-hak dan kewajiban suami-isteri secara tidak berat sebelah. Gerakan ini timbul karena situasi pada saat itu tidak menguntungkan kedudukan perempuan yang terkait dalam suatu perkawinan. Terutama untuk sebagian warga negara Indonesia yang beragama Islam meskipun sudah kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan mereka, baik di dalam ajaran agama sendiri maupun ketentuan yang khusus berlaku bagi umat Islam di dalam negara Republik Indonesia ini, tetapi di dalam praktek sering juga ditemui penyimpangan-penyimpangan meskipun sudah ada ketentuan- ketentuan yang mengaturnya. Penyimpangan-penyimpangan tersebut di sini adalah misalnya, perkawinan anak-anak, kawin paksa, poligami sewenang- sewenang, talak sewenang-sewenang, kurang terjaminnya anak-anak sesudah perceraian orang tua dan sebagainya. Hal ini timbul karena dasar pemikiran serta perilaku dari si pelaku sendiri yang memandang rendah akan tatanan kepentingan masyarakat luas, bukan karena belum ada peraturan-peraturannya. Setelah melalui suatu perjuangan dan pembahasan yang lama dan panjang. Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui dan mengesahkan Rencana Universitas Sumatera Utara Undang-undang Perkawinan pada tanggal 22 Desember 1973 yang kemudian dijadikan Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Undang-Undang ini memuat sebagian pokok-pokok yang berguna untuk melindungi hak dan memperbaiki kedudukan perempuan dalam hukum perkawinan, antara lain disebutkan dalam bab I Pasal 1 : “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Soeharto dalam pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 1973 sehubungan dengan itu mengemukakan : Dalam membina keluarga yang bahagia sangatlah perlu usaha yang sungguh-sungguh untuk meletakkan perkawinan sebagai ikatan suami isteri atau calon-calon suami-isteri dalam kedudukan yang semestinya dan suci, seperti yang diajarkan oleh agama yang kita anut masing-masing dalam negara yang berdasarkan Pancasila ini. Selanjutnya ditambahkan : Karena itu sudah seharusnya apabila negara memberi perlindungan yang selayaknya kepada suami-isteri terhadap tujuan-tujuan yang menyimpang dari keluhuran perkawinan. 44 Kemudian dalam ayat 2 pasal di atas dikatakan lagi bahwa masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum. Hak dan kewajiban suami-isteri diatur dalam bab IV yang antara lain dikatakan dalam pasal 31 1nya, yaitu, hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dan kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. 44 Ibid, halaman 20 – 21. Universitas Sumatera Utara Meskipun Undang-Undang Perkawinan telah terwujud, tetapi masih banyak tantangan dan hambatan yang telah dan akan dijumpai dalam pelaksanaannya. Adat, kebiasaan serta tradisi seringkali menekan kedudukan kaum perempuan, namun sekarang telah diletakkan suatu dasar yang memberikan hak kepada perempuan sama dengan pria. Sebagian perempuan terutama di pedesaan tidak menyadari bahwa pada hakikatnya mereka memiliki hak untuk tampil bersama pria dalam setiap bidang kehidupan. Bahkan ada anggapan bahwa tempat perempuan adalah di rumah yang seharusnya diterima sebagai nasib. Dengan demikian mereka tidak melihat jalan atau cara untuk menghadirkan diri dan memperkembangkan potensinya dalam masyarakat. Adakalanya mereka cukup puas dengan keadaan tersebut yang diterima sebagai adat, kebiasaan dan tradisi. Oleh sebab itu dibutuhkan usaha-usaha yang wajib melibatkan baik pria maupun perempuan untuk memberikan tempat yang lebih layak bagi perempuan demi kemanusiaan yang utuh dan kehidupan yang lebih bahagia. Kaum perempuan dengan kepribadian khas yang dimilikinya sebenarnya mempunyai peranan yang sama pentingnya dengan pria, oleh sebab itu kedudukan mereka sesungguhnya sama tinggi. Perempuan dan pria saling membutuhkan, karena itu harus saling menolong dan saling melengkapi justru karena masing-masing memiliki hakikatnya. Sedah sewajarnya apabila kaum perempuan diberi kedudukan yang Universitas Sumatera Utara layak. Itu berarti memberi kesempatan seluas-luasnya kepadanya untuk menghadirkan diri di masyarakat serta memperkembangkan potensi sejauh kemampuannya, di samping pria. Dengan demikian kaum perempuan mampu berpartisipasi dalam setiap bidang kehidupan, sosial, politik ekonomi dan kebudayaan demi kesejahteraan bangsa dan umat manusia. Harapan semcam ini masih harus diperjuangkan oleh semua pihak baik pria maupun perempuan. Di samping itu kaum perempuan dipanggil untuk terus berusaha menemukan hakikat dirinya yang khas, kelainan sekaligus kelebihannya untuk disumbangkan bagi kesejahteraan manusia. Dewasa ini usaha dan kerja keras masih harus dilakukan guna mewujudkan potensi kaum perempuan. Segala sesuatu yang telah dan pernah dicapai tidak seharusnya membuat bangga, melainkan menambah semangat untuk terus berjuang mewujudkan harapan demi harapan. Peranan Wanita Dalam Peredaran Narkotika Banyak sudah berita yang melatar belakangi kenapa banyak wanita saat ini terjerumus menjadi pemakai maupun pengedar narkoba, diantaranya adalah karena faktor stress akibat beban kerja, beban pikiran atau himpitan tuntutan ekonomi keluarga atau pengaruh lingkungan bergaul. Latar belakang kenapa perempuan-perempuan tersebut harus menjadi pengedar narkoba diantaranya adalah karena himpitan tuntutan ekonomi keluarga. Kebanyakan dari mereka yang menjadi pengedar tak berpikir panjang tentang resiko mengedarkan narkoba. Keterbatasan informasi, minimnya akses, dan stereotype perempuan sebagai yang lemah lembut semakin membuka peluang perempuan untuk terlibat lebih jauh dalam pasar narkoba. Akibatnya perempuan sering dijadikan salah satu mata rantai dalam jaringan pengedaran narkoba, karena adanya stereotype Universitas Sumatera Utara produsen yang memandang perempuan tidak akan dicurigai ketika membawa barang-barang ilegal. 45 Kemiskinan, ketidaktahuan, hubungan kekuasaan yang timpang antara perempuan serta laki-laki, budaya dan lainnya, merupakan faktor yang ditengarai menyebabkan perempuan terperangkap dalam jaringan peredaran narkotika. Perempuan yang dijadikan sebagai salah satu mata rantai jaringan pengedaran narkotika, kurir kadang-kadang dipandang sebagai kriminal bukan sebagai korban. Padahal apa yang dilakukannya bukan karena pilihan sendiri, tetapi lebih disebabkan ditipu atau dieksploitasi. Lemahnya posisi perempuan dalam menentukan kebijakan, menjadikan perempuan mudah dikorbankan. Artinya saat ia diciduk pihak kepolisian, mereka relatif tidak melakukan pemberontakan atau mengajukan pembelaan baik secara fisik maupun melalui pembelaan hukum. Jika perempuan tertangkap, rata-rata perempuan tak berbuat macam-macam. Rendahnya pengetahuan terkait narkoba dan hukum menjadikan mereka sebagai elemen tak berdaya dalam mata rantai jaringan pengedaran narkotika, Realitasnya, para perempuan yang tertangkap itu memang tidak memiliki akses informasi seputar seluk beluk narkotika oleh karenanya ia berada dalam posisi yang rentan. Tuntutan kebutuhan rumah tangga yang tak dapat ditunda, akhirnya memaksa perempuan menjadi survivor dalam mengatasi kemiskinan keluarga. Latar belakang itu juga yang terjadi pada perempuan pekerja seks komersial. Dalam contoh modus jaringan yang dipakai, di antaranya perempuan sering dijadikan sebagai pacar, dijadikan istri oleh laki-laki berkewarganega-raan asing, dipaksa perempuan yang masih memiliki hubungan keluarga, atau ditipu oleh orang dekat, seperti suami, teman, atau saudara. Mereka biasanya dibuai tawaran pergi jalan-jalan ke sebuah negara. Bersamaan dengan itu, mereka juga dijadikan kurir pengedaran narkotika. 45 Yahoo.com, Loc.Cit. Universitas Sumatera Utara Upaya-Upaya Yang Perlu Dilakukan Untuk Mencegah Atau Menanggulangi Keterlibatan Wanita Dalam Peredaran Narkotika Tindakan yang harus dilakukan untuk mencegah para wanita agar tidak terlibat dalam peredaran narkona, yaitu: 1. Memberikan sosialisasi tentang bahaya narkotika. 2. Harus dilakukan pemberdayaan kepada wanita seperti misalnya memberikan atau membuka lapangan kerja. 3. Menyarankan agar para wanita tidak mudah terpancing oleh iming-iming dengan penghasilan yang sangat tinggi dalam waktu yang sangat singkat oleh orang asing. 4. Melakukan penegakan hukum yang konsisten kepada mereka untuk memberikan efek jera. Sejak dicanangkannya perang terhadap penyalahgunaan narkotika oleh Pemerintah dan keluarnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, yang dalam hal ini peran dari kepolisian dan juga kejaksaan perlu lebih ditingkatkan agar setiap kasus penyalahgunaan narkotika dapat diberikan hukuman yang seberat-beratnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Kenyataan yang diterima di tengah masyarakat adalah keberadaan Undang-Undang Narkotika belum memberikan efek jera dengan alasan: 1. seringnya vonis yang diberikan hakim tidak sesuai dengan yang diharapkan masyarakat. 2. Masih adanya oknum yang memberikan perlindungan kepada para pelaku kejahatan narkotika. 3. Masih longgarnya pengawasan di Lembaga Pemasyarakatan. 4. Belum adanya Lembaga Pemasyarakatan khusus narkotika di Sumatera Universitas Sumatera Utara Utara. 5. Kurang sinkronnya proses penegakan hukum mulai dari kepolisian sampai ke Lembaga Pemasyarakatan karena belum adanya Jaksa khusus nRakoba juga hakim ad hoc khusus narkotika. 6. Masih adanya kelemahan di undang-undang itu sendiri khususnya dalam menerapkan ketentuan hukuman maksimum ternyata pelaku dihukum minimum. Selain uraian di atas maka ditemukan juga permasalahan lainnya sehubungan dengan pelaksanaan penegakan hukum dalam tindak pidana narkotika yaitu tidak adanya klasifikasi penghukuman terhadap pengedar narkotika atas volume dari narkotika yang diedarkannya, akhirnya barang 1 kg sama hukumannya dengan barang 1 ons. Demikian juga halnya dengan upaya penanggulangan peredaran narkotika dengan cara menangkap bandar narkotika kurang dapat berjalan karena sulitnya menemukan barang bukti pada bandar dan tidak adanya identifikasi seorang bandar adalah pemakai. Penanggulangan masalah penyalahgunan narkotika yang sangat membahayakan generasi muda dan juga masa depan bangsa Indonesia didasarkan pada cara-cara sebagai berikut : 1. Penyuluhan dan prevensi Tujuan dari pada penyuluhan adalah memberikan motivasi bimbingan serta pengarahan pada masyarakat terutama objek pengedar seperti wanita dan objek pemakai seperti kaum remaja atau generasi penerusmuda baik mengenai bahaya narkotika demikian juga mengenai perundang- undangannya sehingga masyarakat memahami dan menyadarinya. Tujuan dari prevensi adalah mencegah atau melindungi masyarakat luas khususnya generasi muda dan re-maja dari penyalahgunaan narkotika serta menyadarkan mereka tentang bahaya yang ditimbulkan dari penyalahgunaan narkotika tersebut. 2. Pemulihan dan rehabilitasi Tujuan dari pemulihan dan rehabilitasi adalah bagaimana caranya mengobati atau memulihkan para korban penyalahgunaan narkotika dan merehabilitasinya sedemikian rupa sehingga dapat kembali lagi kemasyarakat sebagai warga negara masyarakat yang baik. Universitas Sumatera Utara 3. Penegak hukum Tujuan dari penegakan hukum adalah melenyapkan persediaan narkotika gelap, memberantas garis peredarannya dan memberantas sampai ke akar- akarnya sendikat-sendikat serta penjahat-penjahat yang mengedarkan narkotika gelap tersebut. Dalam penegakan hukum ini tidak terlepas dari pada apa yang biasa disebut dengan instansi terkait dalam hal ini adalah aparat penegak hukum yang dapat dibagi menjadi 2 dua kategori yakni pertama manusianya dan perangkat peraturan perundangan yang ada. Sebagaimana diketahui bahwa aparat penegak hukum itu adalah Polisi Republik Indonesia Polri, Jaksa dan Hakim yang dikenal dengan istilah MAKEHJAPOL Mahkamah Agung, Kehakiman, Kejaksaan Agung, Kepolisian serta penasehat hukum yang berperan memberikan bantuan hukum. Di daerah-daerah untuk pemecahan masalah dalam tindak pidana pada umumnya dan tindak pidana narkotika pada khususnya diadakan rapat kerja antar penegak hukum yang dikenal dengan RAKERGAKKUM dan adapun peserta rapat dimaksud adalah kejaksaan, Kehakiman Pengadilan NegeriHakim, Lembaga Pemasyarakatan LP dan Kepolisian. Berbagai kegiatan telah dilakukan dibidang ini baik oleh instansi yang terkait maupun yang dikoordinasikan oleh bidang narkotika, kegiatan-kegiatan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Mengadakan peninjauan secara berkala terhadap perundang-undangan yang menyangkut narkotika apakah masih sesuai atau tidak lagi. 2. Mengusahakan segera diundangkannya suatu undang-undang mengenai obat-obat narkotika sesuai dengan perkembangan narkotika itu sendiri. 3. Mengusahakan diadakannya peraturan-peraturan pelaksana dari beberapa ketentuan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 seperti penyimpanan naorika, pemberian ganjaran premi dan lain sebagainya. 4. Mengusahakan dimasukkanditambahkan dalam undang-undang narkotika Mo. 35 Tahun 2009 materi-materi pengaturan yang telah termuat dalam konvensi – konvensi internasional tentang narkotika. 5. Peranan Bakolak sebagai Badan Koordinasi adalah menggerakkan menstimulir agar instansi-instansi yang terkoordinir di dalamnya sesuai Universitas Sumatera Utara dengan bidang masing-masing, tertera dalam point 1 sampai dengan 4. Misalnya Kejaksaan agung dan Departemen Kesehatan republik Indonesia mengeluarkan instruksi bersama tentang peruntukan Narkotika yang disita sebagai hasil keputusan pengadilan. 6. Untuk mengawasi agar tidak terjadi kebocoran dari sumber-sumber resmi serta mencegah penggunaan-penggunaan yang tidak wajar yang tidak dapat menjurus kepenyalahgunaan narkotika dan obat-obatan berbahaya lainnya untuk menyelematkan generasi-generasi yang akan datang. Pada umumnya dikenal 3 tiga macam pendekatan : a. Pendekatan kebudayaan, dengan asumsi bahwa kegiatan penerangan yang berhasil harus bersifat persuasif edukatif dan manusiawi dengan menyadari sepenuhnya bahwa kebudayaan yang merupakan sumber utama dari segenap kekuatan yang diperlihatkan bagi pembinaan bangsa dengan memperhatikan tata nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat. b. Pendkatan faktual, dengan asumsi bahwa pengetahuan yang tepat dan seimbang tentang efek-efek pemakaian maupun penyalahgunaan bahan- bahan tersebut, akan mengembangkan sikap dan tingkah laku yang akan meningkatkan pencegahan penyalahgunaan bahan-bahan tersebut. c. Pendekatan menakut-nakuti secara approach dengan asumsi bahwa dengan meningkatkan ketakutan tentang akibat buruk penyalahgunaan narkotika tersebut dapat mencegah, menghentika penyalahgunaan atas usaha-usaha mencoba-coba menyalahgunakannya. Demikian juga pemerintah baik melalui program Jaksa Masuk Desa JMD maupun melalui Departemen Kehakiman melaksanakan penyuluhan hukum ke desa-desa di seluruh Indonesia yang di dalam materinya disampaikan mengenai masalah-masalah undang-undang narkotika serta akibat penyalahgunaan pemakaian narkotika lainnya. Dalam segala lapangan yang dapat dipikirkan senantiasa terdapat masalah, dan tidak jarang di dalam melakukan suatu pekerjaan kita akan dihadapkan dengan berbagai masalah yang sebelumnya belum pernah terbayangkan. Universitas Sumatera Utara Dan perkembangan peradaban manusia serta pertumbuhan ilmu pengetahuan yang erat sangkut pautnya dengan berbagai segi kehidupan manusia, kini menghadapi suatu samudera yang luas penuh dengan masalah khususnya bahaya terhadap penyalahgunaan narkotika baik bahaya terhadap perorangan maupun juga bahaya terhadap masyarakat dan juga negara yang dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan terutama melanda remaja tidak hanya di kota-kota besar namun juga ke desa-desa, demikian juga tidak hanya kelompok atau golongan orang berada tetapi juga melanda masyarakat yang tidak punya. Sesuai dengan Undang-Undang Narkotika, bahwa tujuan dan kegunaan dari pada undang-undang narkotika tersebut antara lain adalah untuk terciptanya satu undang-undang yang mengatur tentang narkotika yang lebih luas cakupannya, lebih lengkap dan lebih verat ancaman pidananya bagi yang melanggar maupun bagi orang yang mengetahui akan adanya narkotika tetapi tidak memberi tahukannya kepada pihak yang berwajib juga dapat dipidana karena sebagaimana kita ketahui bahwa penyalahgunaan narkotika merupakan bahaya yang sangat mengerikan karena narkotika merusak pribadi -–pribadi yang menyalahgunakannya baik phisik maupun mental, semakin banyak jumlah pecandunya dapat membawa gangguan terhadap masyarakat dengan meningkatnya kriminalitas dan berbagai penyakit masyarakat lainnya dan bila pecandu-pecandu narkotika telah merata akan membawa kehancuran bagi bangsa dan negara, di samping itu juga undang-undang narkotika dapat memberikan perlindungan bagi masyarakat umumnya dan generasi mudaremaja pada khususnya agar dapat terhindar dari penyalahgunaan narkotika. Dalam pelaksanaan Undang-Undang NArkotikaini adapun masalah dan hambatan yang dihadapi dapat digolongkan menjadi 3 tiga bahagian besar yakni: a. Dalam menerapkan sanksi pidana yang berat terhadap terdakwa selalu dihadapkan pada usia muda dan masih berstatus pelajar. b. Belum terdapatnya keseragaman tindakan dalam menanggulangi bahaya narkotika sehingga ada kalanya antara aparat penegak hukum tidak jarang berbeda pendapat dalam penerapan pasal dari undang-undang Narkotika. c. Selama ini dalam masyarakat kita memang ada semacam dua sikap dalam memandang korban narkotika. Sikap pertama sebagaimana terwakili oleh kalangan berwajib atau kepolisian, memandang korban narkotika adalah pelanggar hukum maka mereka dicurigai, jika perlu ditangkap, masyarakat yang terwakili oleh kalangan medis memandang korban narkotika sebagai pasien yang sakit, perlu diobati. Di samping itu yang kena sanksi hukum sebenarnya adalah pemakai dan pengedarnya yang tidak bertanggung-jawab. Penggunaan narkotika untuk keperluan media tetap dilindungi hukum. Dari sana awal dualisme itu, selama Universitas Sumatera Utara ini yang sering kena tangkap atau muncul ke pengadilan adalah para pemakai. Itu terlihat dalam kasus-kasus di Pengadilan selama 10 tahun terakhir ini. Keadaan ini perlu diperhatikan melihat tertuduh hanyalah pemakai-pemakai saja, untuk pengedar dan gembong-gembongnya jarang diajukan, untuk itu memang aparat penegak hukum dan polisi pada khususnya perlu lebih ulet lagi untuk memberantas jaringan pasar narkotika. Penanggulangan penyalahgunaan narkotika di klanagan remaja dilakukan sedini mungkin melalui tindakan-tindakan yang bijaksana setelah mengetahui sebab-sebab penyalahgunaan narkotika yang sebagian besar adalah kaum remaja. Di samping itu perlu diungkapkan sebab-sebab munculnya para pengedar serta beberapa sebab yang erat kaitannya dengan bidang sosial, ekonomi, kultural dan mental. Kemudian perlu dipahami akibat-akibat negatif yang membahayakan bagi pelakunya serta dampak samping yang pasti merugikan dan meresahkan kehidupan masyarakat. Secra global upaya penanggulangan penyalahgunaan narkotika di kalangan remaja dapat dilakukan secara moralistik dan abolionistik. Cara moralistik dalam upaya menanggulangi penyalahgunaan narkotika adalah menitik beratkan pada pembinaan moral dan membina kekukuhan mental masyarakat, juga membina moral dan mental anak remaja. Dengan pembinaan moral baik masyarakat lebih-lebih anak remaja tidak mudah terjerumus dalam penyalahgunaan narkotika. Nilai-nilai moral akan mampu menggagalkan setiap orang bermoral dengan sendirinya akan menjauhkan diri dari penyalahgunaan narkotika. Dengan pembinaan agama yang sebaik-baiknya berarti masyarakat termasuk anak remaja akan memiliki kekuatan mental yang kokoh sehingga tidak mudah melanggar hukum baik tertulis maupun tidak tertulis, yang berarti pula tidak akan menggunakan narkotika dan obat-obatan yang sejenis secara ilegal. Cara abolisionistik dalam usaha menanggulangi penyalahgunaan narkotika oleh kaum remaja adalah mengurangi, bahkan untuk menghilangkan sebab-sebab yang mendorong para penegdar narkotika di wilayah Indonesia dengan motivasi apapun, menutup kesempatan untuk menggunakan sarana pelayanan umum baik milik pemerintah maupun swasta di dalam menunjang lancarnya lalu lintas narkotika secara melawan hukum, memelihara kewaspadaan masyarakat terhadap penyalahgunaan narkotika. Dewasa ini yang tidak kalah pentingnya ialah meningkatkan usaha untuk memperkecil, bahkan meniadakan faktor-faktor yang membuat para remaja terjerumus dalam penyalahgunaannya. Faktor-faktor tersebut antara lain, broken home atau quasi broken home, frustrasi, pengangguran dan kurangnya sarana hiburan bagi remaja. Menurut undang-undang narkotika dinyatakan sebagai kejahatan dan pelanggaran. Usaha penanggulangan terhadap penyalahgunaan narkotika, khususnya bagi kaum remaja tersebut di atas sesuai dengan upaya penanggulangan kejahatan pada umumnya. Asas umum dalam penanggulangan Universitas Sumatera Utara kejahatan crime prevention yang banyak dipakai oleh negara-negara yang telah maju, asas ini merupakan gabungan dari 2 sistem yakni : 1. Cara moralistik, dilaksanakan dengan menyebarluaskan ajaran-ajaran agama, moral, perundang-undangan yang baik dan sarana-sarana lain yang dapat mengekang nafsu untuk berbuat kejahatan. 2. Cara abolisionistik, berusaha memberantas, menanggulangi kejahatan dengan memberantas sebab-musababnya umpamanya kita ketahui bahwa faktor tekanan ekonomi kemelaratan merupakan salah satu faktor penyebab kejahatan maka usaha untuk mencapai kesejahteraan untuk mengurangi kejahatan disebabkan oleh faktor ekonomi merupakan cara abolisionistik. Menanggulangi penyalahgunaan narkotika tidak jauh berbeda dengan upaya penanggulangan kejahatan pada umumnya. Cara moralistik dan abolisionistik dapat dilaksanakan secara bersama-sama akan tetapi dapat pula digunakan salah satu dari keduanya. Penggunaan dengan cara-cara yang ada hendaknya memperhatikan kondisi yang paling memadai untuk mencapai hasil yang diharapkan. Menanggulangi sedini mungkin untuk memperoleh tingkat usaha efisien dan efektif, upaya ini berarti pula sebagai pencegahan terhadap timbulnya penyalahgunaan narkotika oleh masyarakat luas termasuk usia dewasa dan orang tua. Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN