Memahami Fakta-Fakta pada Perdarahan Subdural Akut

Askaroellah Aboet

Labirinitis

Memahami Fakta-Fakta pada Perdarahan Subdural Akut
Abdul Gofar Sastrodiningrat
Divisi Ilmu Bedah Saraf Departemen Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara , Medan

Abstrak: Telah dirangkum berbagai sumber kepustakaan mengenai perdarahan subdural akut (PSD
akut) dan diperoleh berbagai hasil yang berbeda-beda mengenai faktor – faktor penentu yang
bermakna dalam menentukan prognosa akhir tindakan terhadap penderita PSD akut.
Beberapa faktor yang dikira mempengaruhi outcome penderita PSD akut ialah: volume hematoma,
midline shift, kerusakan parenkim otak pada saat terjadi trauma, interval waktu antara trauma dan
tindakan operasi , derajat kesadaran pada saat akan dioperasi , ukuran dan refleks cahaya kedua
pupil , peningkatan tekanan intrakranial sebelum dan sesudah operasi dan kejadian PSD ulang pasca
operasi1,7,24,31,32,33,53,54
Dalam berbagai kondisi PSD akut baik yang dioperasi atau tidak, PSD akut masih mempunyai
mortalitas yang relatif tinggi. Kebanyakan peneliti 48,49,50 melaporkan bahwa dekompresi yang luas
bermanfaat memperbaiki prognosa akhir penderita PSD.
Dipandang perlu untuk memahami patofisologi dan fakta – fakta klinis pada perdarahan subdural dan

mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi prognosa akhir dari perdarahan subdural. Sebagai
usulan kiranya perlu pencatatan dan penelitian bersifat nasional didalam usaha menurunkan
morbiditas dan mortalitas perdarahan subdural.
Kata kunci: Perdarahan subdural akut (PSD akut), peningkatan tekanan intrakranial (PTIK),
prognosa akhir, midline shift, efek massa
Abstract: A lot of references had been adopted and there were a variety of results concerning
significant factors that influenced the final outcome of patients with acute subdural hemorrhage (acute
SDH). Several factors that had been estimated influencing the outcome of acute SDH patients are :
volume of hematoma , ‘midline shift’, cerebral contusion , time interval between trauma and
operation, level of consciousness at the time of operation, size and pupillary light reflex , increased
intracranial pressure before and after the operation, recurrent SDH postoperatively 1,7,24,31,32,33,53,54.
Most authors reported that extensive decompression craniotomies had benefit in increasing the final
outcome of acute SDH patients 48,49,50.
Subdural hemorrhage still associated with relatively high mortality and morbidity rates. It is very
urgent to understand the pathophysiology and to appreciate the facts of factors influencing the
ultimate prognosis of subdural hemorrhage. As a suggestion, it is perhaps very important to perform a
national study upon subdural hemorrhage in other to decrease the mortality and morbidity rates.
Keywords: Acute subdural hemorrhage (acute SDH), increased intracranial pressure, final outcome,
midline shift, mass effect


PENDAHULUAN
Perdarahan subdural akut (PSD akut)
merupakan salah satu penyakit bedah saraf yang
mempunyai mortalitas relatif tinggi apakah
penderita dioperasi atau tidak. Oleh karena itu
perdarahan subdural perlu mendapat perhatian
baik didalam pengetahuan patofisiologinya
maupun di dalam penguasaan tindakan
menanggulanginya.
Perdarahan subdural secara umum dibagi
menjadi bentuk akut dan bentuk kronis atau
subakut.Tetapi tidak semua sepakat dengan
definisi terhadap perdarahan subdural akut.

Stone dkk 1 mendefinisikan sebagai akut untuk
kasus kasus perdarahan subdural yang dioperasi
dalam waktu 24 jam. Tetapi perdarahan subdural
yang manifes dalam waktu 48 – 72 jam oleh
kelompok lain masih disebut sebagai perdarahan
akut.2,3 .

EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia belum ada catatan nasional
mengenai morbiditas dan mortalitas perdarahan
subdural. Di Amerika Serikat frekwensinya
berbanding lurus terhadap kejadian cedera
kepala (blunt head injuries). Perdarahan

Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006

297

Tinjauan Pustaka

subdural adalah bentuk yang paling sering
terjadi dari lesi intracranial, kira-kira sepertiga
dari kejadian cedera kepala berat. Pada suatu
penelitian mengenai perdarahan subdural kronis
ditemukan 1 kasus setiap 10.000 penduduk 4.
Pada penderita – penderita dengan
perdarahan subdural akut yang sedikit (diameter

< 1 cm), prognosanya baik. Sebuah penelitian
menemukan bahwa 78% dari penderita –
penderita perdarahan subdural kronik yang
dioperasi ( burr-hole evacuation) mempunyai
prognosa baik dan mendapatkan penyembuhan
sempurna. Perdarahan subdural akut yang
sederhana (simple SDH) ini mempunyai angka
mortalitas lebih kurang 20%
Perdarahan subdural akut yang kompleks
(complicated
SDH)
biasanya
mengenai
parenkim otak , misalnya kontusio atau laserasi
dari serebral hemisfer disertai dengan volume
hematoma yang banyak . Pada penderita –
penderita ini mortalitas melebihi 50% dan
biasanya berhubungan dengan volume subdural
hematoma dan jauhnya midline shift 5,6. Akan
tetapi, hal yang paling penting untuk

meramalkan prognosa ialah ada atau tidaknya
kontusio parenkim otak 5.
Angka mortalitas pada penderita – penderita
dengan perdarahan subdural yang luas dan
menyebabkan penekanan (mass effect) terhadap
jaringan otak, menjadi lebih kecil apabila
dilakukan operasi dalam waktu 4 jam setelah
kejadian. Walaupun demikian bila dilakukan
operasi lebih dari 4 jam setelah kejadian tidaklah
selalu berakhir dengan kematian 7.
Epidemiologi dari perdarahan subdural akut
(PSD akut ) serupa dengan lesi-lesi massa
intrakranial traumatik (traumatic intracranial
mass lesions) lainnya. Penderita kebanyakan
adalah laki – laki dan kebanyakan umurnya
lebih tua dari penderita – penderita cedera
kepala lainnya lainnya 1,3.
Penyebab yang predominan pada umumnya
ialah kecelakaan kenderaan bermotor , jatuh dan
perkelahian , merupakan penyebab terbanyak ,

sebagian kecil disebabkab kecelakaan olah raga
dan kecelakaan industri 1,7. Genarelli dan
Thibault 8 serta Seelig dkk 7 melaporkan bahwa
pada penderita – penderita cedera kepala berat
tanpa lesi massa (mass lesion) 89% disebabkan
kecelakaan kenderaan bermotor, dan 24% dari
kasus perdarahan subdural akut disebabkan
kecelakaan kenderaan bermotor.
Penderita epilepsy memiliki faktor resiko
yang meningkat untuk mendapat perdarahan
subdural akut dan lesi intrakranial lainnya.
Zwimpfer dkk 9 melaporkan bahwa 3.8% dari
298

penderita perdarahan intrakranial mendapat
kecelakaan selama serangan epilepsi dan 85%
dari perdarahan intrakranial ini adalah
perdarahan subdural atau perdarahan epidural.
Seelig dkk 7 mencatat bahwa penderita –
penderita perdarahan subdural akut sebanyak

22% dari 366 penderita cedera kepala berat.
PATOFISIOLOGI
Pada umumnya penyebab perdarahan
subdural akut adalah cedera kepala , kadang –
kadang ditemukan perdarahan subdural akut
tanpa adanya trauma seperti pada penderita –
penderita yang mendapat antikoagulans ,
mengalami koagulopati atau ruptur aneurisma
10,11
. Saat cedera kepala, terjadi gerakan sagital
dari kepala dan otak mengalami akselerasi
didalam tengkorak
menyebabkan regangan
(strecthing)
dari
vena-vena
parasagital
(bridging veins) yang membawa drainase dari
permukaan otak ke sinus venosus duramater.
Bila vena – vena yang melintas ruang subdural

ini cukup meregang maka akan terjadi ruptur
pada vena – vena ini dan darah masuk ke ruang
8
subdural.
Gennarelli
dan
Thibault
menyimpulkan dari suatu penelitian cedera
kepala eksperimental , tingkatan akselerasi
inilah menyebabkan ruptur dari ’bridging veins’
bukan karena kontak kepala terhadap trauma itu
sendiri. Selanjutnya dikatakan bahwa rendahnya
frekwensi perdarahan subdural akut pada
penumpang kenderaan bermotor (mobil) oleh
karena adanya mekanisme absorbsi energi
(energy absorbing mechanism) dari mobil itu
sendiri , misalnya pada mobil yang dilengkapi
dengan ’air bags’ ; mekanisme absorbsi ini tidak
didapatkan pada keadaan dimana kepala
langsung terbentur pada benda keras.

Kebanyakan perdarahan subdural terjadi
pada konveksitas otak daerah parietal. Sebagian
kecil terdapat di fossa posterior dan pada fisura
interhemisferik serta tentorium 12 atau diantara
lobus temporal dan dasar tengkorak 13.
Perdarahan subdural akut pada fisura
interhemisferik pernah dilaporkan, disebabkan
oleh ruptur vena - vena yang berjalan diantara
hemisfer bagian medial dan falks ; juga pernah
dilaporkan disebabkan oleh lesi traumatik dari
arteri pericalosal 14 karena cedera kepala.
Perdarahan subdural interhemisferik akan
memberikan gejala klasik monoparesis pada
tungkai bawah15,16. Pada anak – anak kecil
perdarahan subdural di fisura interhemisferik
posterior dan tentorium sering ditemukan karena
goncangan yang hebat pada tubuh anak (shaken
baby syndrome). Walaupun perdarahan subdural

Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006


Abdul Gofar Sastrodiningrat

jenis ini tidak patognomonis akibat penyiksaan
kejam
(child
abused)
terhadap
anak,
kemungkinannya tetap harus dicurigai 17,18.
Setelah terjadi benturan trauma (impact
injury) otak akan ’terputar’ pada tepi kasar dari
sayap tulang sfenoid atau dasar dari fossa
anterior sehingga mengalami kontusio .
Kontusio serupa ini pernah ditemukan selama
operasi dari dua pertiga penderita perdarahan
subdural akut 19. Stone dkk 1 menemukan dua
pertiga sumber perdarahan berasal dari vena –
vena selebihnya dari arteri. Sebaliknya Shenkin
20

menemukan 60% sumber perdarahan berasal
dari arteri – arteri pada 39 penderita dengan
PSD akut. Prognosa akhir (outcome) lebih baik
pada penderita – penderita dimana PSD akut
berasal dari perdarahan vena 21.
Benturan trauma yang menyebabkan
perdarahan subdural akut sering menyebabkan
cederea berat pada parenkim otak, hal serupa ini
tidak biasa terjadi pada PSD kronis dan
perdarahan epidural (PED). Hal ini menjelaskan
mengapa PSD kronis dan PED mempunyai
prognosa yang lebih baik ketimbang PSD akut.
Pada kebanyakan kasus PSD akut , keterlibatan
kerusakan parenkim otak merupakan faktor yang
lebih menentukan prognosa akhir (outcome)
daripada tumpukan hematoma ekstra axial di
ruang subdural . Servadei 22 dan Ono 23
menemukan mortalitas sebesar 80% pada
penderita PSD yang dioperasi dimana terdapat
keterlibatan kerusakan parenkim otak dan edema
serebri.
Jamieson dan Yelland24 mengklasifikasikan
PSD berdasarkan keterlibatan jaringan otak
karena trama. Dikatakan PSD sederhana (simple
SDH) bila hematoma ekstra aksial tersebut tidak
disertai dengan cedera parenkim otak ,
sedangkan PSD kompleks (complicated SDH)
adalah bila hematoma ekstra axial disertai
dengan laserasi parenkim otak, perdarahan
intraserebral (PIS) dan apa yang disebut sebagai
’exploded temporal lobe’. Jamieson dan Yelland
24
menemukan penderita – penderita dengan
PSD sederhana mempunyai mortalitas 22% ,
penderita – penderita dengan PSD komplikasi :
PSD dengan PIS mempunyai mortalitas 50% ,
PSD dengan kontusio parenkim otak
mempunyai mortalitas 30% . Data – data yang
lebih baru menunjukkan angka penyembuhan
fungsional sebesar 20% pada PSD akut dengan
kontusio
parenkim
otak
dan
angka
penyembuhan fungsional sebesar 40% pada PSD
akut tanpa kontusio 1.
Lebih dari 70% perdarahan intraserebral,
laserasi dan kontusio parenkim otak yang

Memahami Fakta-Fakta pada Perdarahan...

berhubungan dengan PSD akut disebabkan oleh
kontra kup (contrecoup) trauma 24 , kebanyakan
dari lesi parenkim ini terletak di lobus temporal
dan lobus frontal. Lebih dari dua pertiga fraktur
pada penderita PSD akut terletak di posterior
dan ini konsisten dengan lesi kontra kup 1.
Kira – kira 13% - 30% pada penderita PSD
akut terdapat hematoma intraserebral yang
cukup besar dan perlu dikeluarkan 1,24. Diantara
4% - 15% PSD akut terdapat perdarahan
epidural (PED).
Mayoritas
perdarahan
subdural
berhubungan dengan faktor umur yang
merupakan faktor resiko pada cedera kepala (
blunt head injury). Perdarahan subdural
biasanya lebih sering ditemukan pada penderita
– penderita dengan umur lebih dari 60 tahun.
Pada orang – orang tua bridging veins mulai
agak rapuh sehingga lebih mudah pecah / rusak
bila terjadi trauma. Pada bayi – bayi ruang
subdural lebih luas, tidak ada adhesi , sehingga
perdarahan subdural bilateral lebih sering di
dapat pada bayi – bayi.
GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis ditentukan oleh dua faktor:
beratnya cedera otak yang terjadi pada saat
benturan trauma dan kecepatan pertambahan
volume PSD. Penderita – penderita dengan
trauma berat dapat menderita kerusakan
parenkim otak difus yang membuat mereka
tidak sadar dengan tanda-tanda gangguan batang
otak.
Penderita –penderita dengan PSD yang
lebih ringan akan sadar kembali pada derajat –
derajat kesadaran tertentu sesuai dengan
beratnya benturan trauma pada saat terjadi
kecelakaan ( initial impact ). Keadaan – keadan
berikutnya akan ditentukan oleh kecepatan
pertambahan
hematoma
dan
penanggulangannya. Pada penderita – penderita
dengan benturan trauma yang ringan tidak akan
kehilangan kesadaran pada waktu terjadinya
trauma. PSD dan lesi massa intrakranial lainnya
yang dapat membesar hendaklah dicurigai bila
ditemukan penurunan kesadaran setelah
kejadian trauma. Stone dkk 1 melaporkan
bahwa lebih dari separuh penderita tidak sadar
sejak kejadian trauma, yang lain menunjukkan
beberapa lucid interval.
Gejala-gejala klinis terjadi akibat cedera
otak primer dan tekanan oleh massa hematoma.
Pupil yang anisokor dan defisit motorik adalah
gejala – gejala klinik yang paling sering
ditemukan. Lesi pasca trauma baik hematoma
atau lesi parenkim otak biasanya terletak

Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006

299

Tinjauan Pustaka

ipsilateral terhadap pupil yang melebar dan
kontralateral terhadap defisit motorik. Akan
tetapi gambaran pupil dan gambaran motorik
tidak merupakan indikator yang mutlak bagi
menentukan letak hematoma.25 Gejala – gejala
motorik mungkin tidak sesuai bila kerusakan
parenkim otak terletak kontralateral terhadap
PSD atau karena terjadi kompresi pedunkulus
serebral yang kontralateral pada tepi bebas
tentorium 26
Trauma langsung pada saraf
okulomotor atau batang otak pada saat terjadi
trauma menyebabkan dilatasi pupil kontralateral
terhadap trauma 27. Perubahan diamater pupil
lebih dipercaya sebagai indikator letak PSD.
PEMERIKSAAN NEUROLOGIK
Pemeriksaan pada penderita – penderita
cedera kepala hendaklah ditekankan pada
pemeriksaan neurologik yang meliputkan
kesadaran penderita dengan menggunakan
Skala Koma Glasgow , diameter kedua pupil ,
defisit motorik dan tanda – tanda peningkatan
tekanan intrakranial. Adanya jejas – jejas
dikepala menjadikan dokter waspada terhadap
adanya lesi – lesi intrakranial.
Telah dilaporkan bahwa sekitar satu perlima
dari penderita – penderita PSD dan perdarahan
intrakranial
lainnya
meninggal
tidak
terdiagnosa28. 40% dari penderita ini , diagnosa
permulaan pada waktu dirawat tidak termasuk
lesi massa intrakranial , kebanyakan di diagnosa
sebagai alkoholik atau penyakit serebrovaskular.
Setiap kelainan dari status mental yang
tidak dapat dijelaskan penyebabnya
(bukan
karena
trauma)
hendaknya
meningkatkan kecurigaan terhadap PSD.
Adanya tanda – tanda koagulopati meningkatkan
kecurigaan terhadap PSD. Penderita yang
mendapat antikoagulans mungkin mendapat
PSD hanya karena trauma yang ringan.
Penderita
hemofili
dapat
memperoleh
perdarahan subdural bila terjadi cedera kepala ,
dan koreksi terhadap faktor defisiensi ini
merupakan hal yang harus segera dikerjakan dan
bernilai life saving.
Para
pecandu
alkohol
mempunyai
kecenderungan untuk terjadi trombositopenia,
waktu perdarahan memanjang dan cedera
kepala.
Beberapa cohort studies menemukan bahwa
perdarahan subdural akut dan kronis merupakan
akibat dari kombinasi yang ’mematikan’ antara
cedera kepala yang berulang dengan koagulopati
karena alkohol 29. Galbraith 28 melaporkan
bahwa pada penderita – penderita dengan kadar
300

alkohol ≤ 200 mg/100 ml , kejadian koma
kemungkinan tidak hanya oleh alkohol.
Menurut Jamieson dan Yelland24 derajat
kesadaran pada waktu akan dilakukan operasi
adalah satu-satunya faktor penentu terhadap
prognosa akhir (outcome) penderita PSD akut.
Penderita yang sadar pada waktu dioperasi
mempunyai mortalitas 9% sedangkan penderita
PSD akut yang tidak sadar pada waktu operasi
mempunyai mortalitas 40% - 65%.Tetapi
Richards dan Hoff 30 tidak menemukan
hubungan yang bermakna antara derajat
kesadaran dan prognosa akhir. Abnormalitas
pupil , bilateral midriasis berhubungan dengan
mortalitas yang sangat tinggi. Seelig dkk31
melaporkan pada penderita – penderita PSD
akut dengan kombinasi refleks okulo-sefalik
negatif, relfleks pupil bilateral negatif dan postur
deserebrasi, hanya mempunyai functional
survival sebesar 10%.
Beberapa peneliti 1,32,33 pada umumnya
menemukan ’functional survival’ yang rendah
dan mortalitas yang tinggi pada penderita –
penderita PSD akut dengan skor Skala Koma
Glasgow yang rendah.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan
laboratorium
minimal
meliputi, pemeriksaan darah rutin, elektrolit,
profil hemostasis/koagulasi.
PEMERIKSAAN FOTO TENGKORAK
Pemeriksaan foto tengkorak tidak dapat
dipakai untuk memperkirakan adanya PSD.
Fraktur tengkorak sering dipakai untuk
meramalkan kemungkinan adanya perdarahan
intrakranial tetapi tidak ada hubungan yang
konsisten antara fraktur tengkorak dan PSD.
Bahkan fraktur sering didapatkan kontralateral
terhadap PSD 1,34.
PEMERIKSAAN ANGIOGRAFI SEREBRAL
Sebelum ditemukan CT, angiografi serebral
merupakan
satu-satumya
pilihan
untuk
menegakkan diagnosa PSD dan PED, namun
sekarang angiografi serebral untuk evaluasi PSD
tinggal merupakan suatu pengalaman sejarah
saja.
PEMERIKSAAN CT SCAN
Pemeriksaan CT scan adalah modalitas
pilihan utama bila disangka terdapat suatu lesi
pasca-trauma, karena prosesnya cepat, mampu
melihat seluruh jaringan otak dan secara akurat
membedakan sifat dan keberadaan lesi intra-aksial
dan ekstra-aksial 35.

Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006

Abdul Gofar Sastrodiningrat

Perdarahan Subdural Akut
Perdarahan subdural akut pada CT-Scan
Kepala (non kontras) tampak sebagai suatu
massa hiperdens (putih) ekstra-aksial berbentuk
bulan sabit sepanjang bagian dalam (inner table)
tengkorak dan paling banyak terdapat pada
konveksitas otak di daerah parietal. Terdapat
dalam jumlah yang lebih sedikit di daerah
bagian atas tentorium serebelli.
Perdarahan subdural yang sedikit (small
SDH) dapat berbaur dengan gambaran tulang
tengkorak dan hanya akan tampak dengan
menyesuaikan CT window width. Pergeseran
garis tengah (midline shift) akan tampak pada
perdarahan subdural yang sedang atau besar
volumenya. Bila tidak ada midline shift harus
dicurigai adanya massa kontralateral dan bila
midline shift hebat harus dicurigai adanya edema
serebral yang mendasarinya 36,37
Perdarahan subdural jarang berada di fossa
posterior karena serebelum relatif tidak bergerak
sehingga merupakan proteksi terhadap ’bridging
veins’ yang terdapat disana. Perdarahan
subdural yang terletak diantara kedua hemisfer
menyebabkan gambaran falks serebri menebal
dan tidak beraturan dan sering berhubungan
dengan child abused 17.
Perdarahan Subdural Subakut
Di dalam fase subakut perdarahan subdural
menjadi isodens terhadap jaringan otak sehingga
lebih sulit dilihat pada gambaran CT. Oleh
karena itu pemeriksaan CT dengan kontras atau
MRI sering dipergunakan pada kasus perdarahan
subdural dalam waktu 48 – 72 jam setelah
trauma kapitis. Pada gambaran T1-weighted
MRI lesi subakut akan tampak hiperdens . Pada
pemeriksaan CT dengan kontras, vena-vena
kortikal akan tampak jelas dipermukaan otak
dan membatasi subdural hematoma dan jaringan
otak. Perdarahan subdural subakut sering juga
berbentuk
lensa
(bikonveks)
sehingga
membingungkan dalam membedakannya dengan
epidural hematoma 38.
Pada alat CT generasi terakhir tidaklah
terlalu sulit melihat lesi subdural subakut tanpa
kontras.
Perdarahan Subdural Kronik
Pada fase kronik lesi subdural menjadi
hipodens dan sangat mudah dilihat pada
gambaran CT tanpa kontras. Bila pada CT-Scan
Kepala telah ditemukan perdarahan subdural,
sangat penting untuk memeriksa kemungkinan
adanya lesi lain yang berhubungan, misalnya

Memahami Fakta-Fakta pada Perdarahan...

fraktur tengkorak, kontusio jaringan otak dan
perdarahan subarakhnoid 36,37.
Domenicucci dkk 39 memeriksa CT scan
preoperatif terhadap 31 penderita dengan PSD
akut ; menemukan penderita – penderita dengan
ruang subarakhnoid yang tidak terganggu
(intact) dan cairan serebrospinal yang tidak
mengandung darah mempunyai prognosa akhir
(outcome) yang lebih baik ketimbang penderita
– penderita PSD akut dengan ruang
subarakhnoid yang terobliterasi dan cairan
serebrospinal yang berdarah.
PEMERIKSAAN MRI
Magnetic resonance imaging (MRI) sangat
berguna untuk mengidentifikasi perdarahan
ekstraserebral. Akan tetapi CT scan mempunyai
proses yang lebih cepat dan akurat untuk
mendiagnosa PSD sehingga lebih praktis
menggunakan CT Scan ketimbang MRI pada
fase akut penyakit. MRI baru dipakai pada masa
setelah trauma terutama untuk menetukan
kerusakan parenkim otak yang berhubungan
dengan trauma yang tidak dapat dilihat dengan
pemeriksaan CT scan 40.
PEMERIKSAAN TRANSKRANIAL DUPLEKS
SONOGRAFI (TDS)
TDS sangat akurat dalam mendeteksi
perdarahan intrakranial. Mampu mengukur
diameter ventrikel III dan ventrikel lateral dan
mengevaluasi jauhnya ’midline shift’ .
Walaupun TDS tidak dapat menggantikan CT
Scan, TDS masih berguna sebagai bedside tool
untuk mengetahui kemungkinan adanya
perdarahan baru41.
TDS sering dipergunakan intraoperatif pada
penderita – penderita yang mengalami edema
serebral sewaktu sedang dioperasi , untuk
mengevaluasi sejauh mana terjadi midline shift
atau apakah timbul hematoma yang baru.
Pada saat ini pemakaian TDS intraoperatif
sudah jarang , pemeriksaan imejing intraoperatif
di lakukan oleh mobile CT scanner.
TINDAKAN PENANGGULANGAN
Didalam masa mempersiapkan tindakan
operasi, perhatian hendaknya ditujukan kepada
pengobatan dengan medikamentosa untuk
menurunkan peningkatan tekanan intrakranial
(PTIK).
Tindakan Tanpa Operasi
Servadei dkk 42 merawat non operatif 15
penderita dengan
PSD akut dimana tebal
hematoma < 1 cm dan midline shift kurang dari
0.5 cm. Dua dari penderita ini kemudian

Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006

301

Tinjauan Pustaka

mendapat PIS yang memerlukan tindakan
operasi. Ternya dua pertiga dari penderita ini
mendapat perbaikan fungsional.
Croce dkk43 merawat nonoperatif sejumlah
penderita PSD akut dengan tekanan intrakranial
(TIK) yang normal dan SKG 11 – 15. Hanya 6%
dari penderita yang membutuhkan operasi untuk
PSD.
Penderita PSD akut yang berada dalam
keadaan koma tetapi tidak menunjukkan
peningkatan tekanan intrakranial (PTIK) yang
bermakna kemungkinan menderita suatu diffuse
axonal injury. Pada penderita – penderita ini ,
operasi tidak akan memperbaiki defisit
neurologik dan karenanya tidak di indikasikan
untuk tindakan operasi.
Beberapa penderita mungkin mendapat
kerusakan berat parenkim otak dengan efek
massa (mass effect) tetapi PSD hanya sedikit.
Pada penderita – penderita ini , tindakan
operasi/evakuasi walaupun terhadap lesi yang
kecil akan merendahkan TIK dan memperbaiki
keadaan intraserebral.
Pada penderita – penderita PSD akut
dengan refleks batang otak yang negatif dan
depresi pusat pernafasan hampir selalu
mempunyai prognosa akhir yang buruk dan
bukan calon untuk operasi.
Tindakan Operasi
Tindakan operasi ditujukan kepada:
1. Evakuasi seluruh PSD
2. Merawat sumber perdarahan
3. Reseksi parenkim otak yang nonviable
4. Mengeluarkan PIS yang ada.
Trepanasi atau burr holes dimaksudkan
untuk mengevakuasi PSD secara cepat dengan
lokal anestesi 2. Pada saat ini tindakan ini sulit
untuk dibenarkan karena dengan trepanasi sukar
untuk mengeluarkan keseluruhan hematoma
yang biasanya solid dan kenyal apalagi kalau
volume hematoma cukup besar. Lebih dari
seperlima penderita PSD akut mempunyai
volume hematoma lebih dari 200 ml 30,44.
Hampir semua ahli bedah saraf memilih
kraniotomi luas 1,7 . Luasnya insisi ditentukan
oleh luasnya hematoma dan lokasi kerusakan
parenkim otak. Lubang bor yang pertama dibuat
dilokasi dimana di dapatkan hematoma dalam
jumlah banyak, dura mater dibuka dan diaspirasi
sebanyak mungkin hematoma, tindakan ini akan
segara menurunkan TIK. Lubang – lubang bor
berikutnya dibuat dan kepingan kranium yang
lebar dilepaskan , duramater dibuka lebar dan
302

hematoma dievakuasi dari permukaan otak.
Setelah itu, dimasukkan surgical patties yang
cukup lebar dan basah keruang subdural ,
dilakukan irigasi, kemudian surgical patties
disedot (suction) . Surgical patties perlahan –
lahan ditarik keluar , sisa hematoma akan
melekat pada surgical patties, setelah itu
dilakukan irigasi ruang subdural dengan
memasukkan kateter kesegala arah. Kontusio
jaringan otak dan hematoma intraserebral
direseksi. Dipasang drain 24 jam diruang
subdural, duramater dijahit rapat.
Usaha diatas adalah untuk memperbaiki
prognosa akhir PSD , dilakukan kraniotomi
dekompresif yang luas dengan maksud untuk
mengeluarkan seluruh hematoma , merawat
perdarahan dan mempersiapkan dekompesi
eksternal dari edema serebral pasca operasi.
Pemeriksaan pasca operasi menujukkan sisa
hematoma dan perdarahan ulang sangat minimal
dan struktur garis tengah kembali lebih cepat ke
posisi semula dibandingkan dengan penderita
yang tidak dioperasi dengan cara ini 45.
Akan tetapi suatu penelitian menemukan
hanya 10% yang berhasil survive dari penderita
– penderita PSD akut yang mendapat massive
surgical decompression 46. Kemungkinan besar
kegagalan ini sangat berhubungan dengan
luasnya kerusakan parenkim otak pada saat
terjadi trauma dan ketidak mampuan tindakan
dekompresi mengantisipasi keadaan tersebut.
Beberapa percobaan juga menunjukkan bahwa
dekompresi yang luas dapat meningkatkan
edema serebral 47. Hal ini mungkin disebabkan
karena kompresi dan oklusi vena – vena kortikal
pada tepi tulang bekas kraniotomi luas dan
menyebabkan infark.
Kebanyakan peneliti 48,49,50 melaporkan
bahwa dekompresi yang luas bermanfaat
memperbaiki prognosa akhir penderita PSD.
KOMPLIKASI PASCA OPERASI
Peningkatan tekanan intrakranial pasca
operasi yang disebabkan oleh edema serebral
terjadi pada hampir separuhnya dari seluruh
penderita 51. Perdarahan ulang atau sisa
perdarahan juga sering ditemukan 30 pada
pemeriksaan CT scan pasca operasi.Suatu
penelitian menemukan 8% penderita mendapat
PSD ulang ipsilateral dan 3% mendapat
perdarahan epidural (PED) 1. Dari penderita
yang meninggal dan diautopsi 21% mendapat
PSD ulang ipsilateral dengan volume > 50 ml
dan 9% mendapat PSD ulang dengan volume 20
– 25 ml. Pemeriksaan CT menunjukkan bahwa

Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006

Abdul Gofar Sastrodiningrat

perdarahan intraserebral dapt juga terjadi pasca
operasi 52 .
Edema serebral yang masif dapat juga
terjadi selama operasi PSD berlangsung,
merupakan beban mental yang berat bagi
operator dan berhubungan dengan mortalitas
yang tinggi. Kemungkinan hal ini disebabkan
hilangnya autoregulasi dan peningkatan volume
darah dihemisfer atau terjadi perdarahan pada
waktu operasi berlangsung baik inta atau ekstra
aksial , ipsilateral atau kontralateral terhadap
operasi yang sedang berlangsung 53. Bila ini
terjadi maka melakukan intraoperatif CT scan
merupakan alat bantu yang sangat penting yntuk
mengevaluasi keadaan.
INTERVAL WAKTU ANTARA TRAUMA
DAN TINDAKAN OPERASI
Seelig dkk 7 meneliti hubungan mortalitas
dan saat dilakukan operasi (timing of operation)
terhadap 82 penderita PSD akut dalam keadaan
koma. Penderita - penderita yang dioperasi
dalam waktu 4 jam sejak kejadian trauma
mempunyai mortalitas 30% , penderita –
penderita yang dioperasi lebih dari 4 jam
setelah kejadian trauma mempunyai mortalitas
90%. Peneliti lain 1,6 menemukan faktor interval
waktu sejak kejadian trauma sampai saat
dilakukan operasi sebagai faktor penentu
prognosa akhir yang tidak bermakna. Akan
tetapi kedua penelitian ini tidak dapat
dibandingkan satu sama lain. Penderita –
penderita yang dilaporkan Seelig dkk7 semua
dalam kedaan koma, adalah masuk diakal bahwa
penderita – penderita PSD akut dalam keadaan
koma akan memberikan hasil yang lebih baik
bila operasi dekompresi dilakukan sedini
mungkin dibandingkan dengan penderita yang
dioperasi lebih lambat. Penderita – penderita
dari peneliti lain tersebut , termasuk penderita –
penderita dengan trauma yang kurang berat
tetapi mengalami deteriorasi setelah interval
waktu yang lama , sampi 12 – 24 jam.
Hasselberger dkk 54 memeriksa lamanya
penderita mengalami koma ketimbang interval
waktu antara trauma dan operasi. Penderita –
penderita yang mengalami koma , 2 jam
mempunyai mortalitas 47% sedangkan penderita
– penderita dengan koma > 2 jam mempunyai
mortalitas 80% dan dari keseluruhan penderita
hanya 4% yang mengalami penyembuhan baik.
Dalam dua laporan penderita – penderita
dengan SKG dibawah 8 tidak didapat perbedaan
bermakna dalam outcome yang berhubungan
dengan interval waktu antara trauma dan operasi
55,56
. Prognosa akhir secara statistik berkaitan

Memahami Fakta-Fakta pada Perdarahan...

dengan faktor – faktor lain ; umur > 65 th, jenis
kecelakaan dalam ini kecelakaan sepeda motor,
defisit neurologik dan peningkatan tekanan
intrakranial pasca operasi diatas 45 mmHg.
Penderita – penderita dalam penelitian ini dapat
dibandingkan dengan penderita – penderita pada
penelitian Seelig dkk 7.
Tampaknya kerusakan – kerusakan yang
terjadi pada saat trauma lebih menentukan
prognosa akhir ketimbang interval waktu antara
trauma dan operasi.
VOLUME HEMATOMA DAN KONTUSIO
SEREBRAL
Banyak peneliti melaporkan bahwa
hematoma yang lebih besar berhubungan dengan
mortalitas yang lebih tinggi 1,30, tetapi peneliti –
peneliti lain 3,44 menemukan tidak ada hubungan
yang konsisten antara outcome dan volume
hematoma . namun demikian dari segi statistik
ditemukan angka yang bermakna bahwa
penderita penderita PSD akut dengan hematoma
bilateral akan menurunkan angka kelangsungan
hidup (rate of survival) 30
Pada beberapa penelitian juga ditemukan
bahwa ada atau tidak ada kontusio serebral tidak
bermana dalam menentukan mortalitas 1,7.
Haselberger dkk 54 menemukan bahwa lesi
serebral yang berhubungan dengan PSD akut
mempunyai efek yang menentukan morbiditas
dan mortalitas.
PENINGKATAN TEKANAN INTRAKRANIAL
(PTIK)
Terlepas dari ada atu tidak lesi serebral ,
peningkatan
tekanan
intrakranial
akan
memperburuk outcome penderita PSD akut 51.
Pada 79% penderita yang mengalami
penyembuhan fungsional menunjukkan tekanan
intrakranial pasca operasi tidak melebihi 20
mmHg, sedangkan 43% dari penderita yang
meninggal menunjukkan tekanan intrkranial
yang tidak terkontrol 51.
MULTIMODALITY-EVOKED POTENTIALS
Pemeriksaan
multimodality-evoked
potentials (MMEP) merupakan pemeriksaan
yang prediktif pada penderita – penderita PSD
akut. Ditemukan 15 penderita meninggal dengan
MMEP yang abnormal sedangkan 19 dari 23
penderita dengan normal MMEP memperoleh
penyembuhan fungsional.

Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006

303

Tinjauan Pustaka

DAFTAR PUSTAKA
1. Sone JL, Rifai MHS, Sugar O, et al.
Subdural hematomas. I. Acute subdural
hematomas: Progress in definition, clinical
pathology, and therapy. Surg Neurol 1983 ;
19 : 419 – 24.
2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

Rosenorn J, Gjerris F. Long-term follow-up
review of patients with acute and subacute
subdural hematomas. J Neurosurg 1978 ; 48
: 345 – 9.
Talalla A, Morin MA. Acute traumatic
subdural hematoma. A review of one
hundred consecutive cases. J Trauma 1971 ;
11 : 771 – 7.
El-Kahdi H , Miele VJ , Kaufman HH .
Prognosis of chronic subdural hematoma.
Neurosurg Clin N Am 2000 ; 11 : 553 – 67.
Markwalder TM . The course of chronic
subdural hematomas after burr-hole
craniostomy with and without closedsystem drainage. Neurosurg Clin N Am
2000 ; 11 ; 541 – 6.
Massaro F, Lanotte M , Faccani G , Triolo
C . One hundred and twenty seven cases of
acute subdural hematoma operated on .
Correlation between CT findings and
outcome. Acta Neurochir (Wien) 1996 ; 138
: 185 – 91.
Seelig JM , Becker DP , Miller JD , et al .
Traumatic acute subdural hematoma. Major
mortality reduction in comatose patients
treated within four hours. N Eng J Med
1981 25 : 1511 – 8.
Gennarelli TA, Thibault LE. Biomechanics
of acute subdural hematoma. J Trauma
1982 ; 22 : 680 – 6.
Zwimpfer TJ, Moulton RJ, Sullivan I, et al.
Head injuries due to falls caused by
seizures. A group at high risk for traumatic
intracranial
hematomas.
J Neurosurg 1997 ; 86 : 433 – 7.

10. Pozzati E, Frank F, Frank G, et al. Subacute
and chronic extradural hematomas. A study
of 30 cases. J Trauma 1980 ; 20 : 795 – 9.
11. Seeler RA, Imana RB. Intracranial
hemorrhage in patients with hemophilia.
J Neurosurg 1973 ; 39 : 181 – 5.
12. Gentry LR , Godersky JC , Thompson B .
MR imaging of head trauma . Review of the
distribution and radiopathologic features of

304

traumatic lesions. AJR Am J Rontgenol
1988 ; 3 : 663 – 72.
13. Chan KH, Mann KS, Yue CP, et al. The
significance of skull fracture in acute
traumatic intracranial hematomas in
adolescents.
A
prospective
study.
J Neurosurg 1990 ; 72 : 189 – 194.
14. Gartman JJ, Atstupenas EA, Vollmer DG.
Traumatic laceration of pericallosal artery
resulting in interhemispheric subdural
hematoma. A case report. J Emerg Med
1989 ; 7 : 603 – 610
15. Houtteville JP, Toumi K, Theron J, et al.
Interhemispheric subdural hematomas.
Seven cases and review of literature. Br J
Neurosurg 1988 ; 2 : 357 – 368.
16. Pozzati E, Gaist G, Vinci A, et al.
Traumatic
interhemispheric
subdural
hematomas. J Trauma 1982 ; 22 : 241 – 3.
17. Cohen RA, Kaufman RA, Myers PA,
Towbin RB. Cranial computed tomography
in the abused child with head injury. AJR
Am J Rontgenol 1986 ; 146 (1) : 97 – 102.
18. Sato Y, Yuh WT, Smith WL, et al. Head
injury in child abused. Evaluation with MR
Imaging. Radiology 1989 ; 173 (3) : 653 –
7.
19. Browder J, Turney MF. Intracerebral
hemorrhage of traumatic origin. Its surgical
treatmnet. NYS J Med 1982 ; 42 : 2230 – 5.
20. Shenkin HA. Acute subdural hematoma.
Review of 39 consecutive cases with high
incidence of cortical artery rupture. J
Neurosurg 1982 ; 57 : 254 – 7.
21. Matsuyama T, Shimomura T, Okumura Y,
et al. Acute subdural hematomas due to
rupture of cortical arteries. A study of the
points of rupture in 19 cases. Surg Neurol
1997 ; 47 : 423 – 7.
22. Sato Y, Yuh WT, Smith WL, et al. Head
injury in child abused. Evaluation with MR
Imaging. Radiology 1989 ; 173 (3) : 653 –
7.
23. Ono J, Yamaura A, Kubota M, et al .
Outcome prediction in severe head injury .
Analysis of clinical prognostic factors. J
Clin Neurosci 2001 ; 8 : 120 – 3.
24. Jamieson KG, Yelland JDN. Surgically
treated
subdural
hematomas.
J Neurosurg 1972 ; 37 : 137 – 149.

Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006

Abdul Gofar Sastrodiningrat

25. Munro D, Sisson WR. Hernia through the
incissura of tentorium cerebelli in
connection with craniocerebral trauma. N
Eng J Med 1982 ; 247 ; 699 – 708.
26. Tandon PN, Acute subdural hematoma . A
reappraisal . Neurol India 2001 ; 49 : 3 – 10.
27. Brynes DP. Head Injury and the dilated
pupil. Am Surg 1979 ; 45 : 139 – 143.
28. . Galbraith S. Misdiagnosis and delayed
diagnosis
in
traumatic
intracranial
hematoma. Br Med J 1976 ; 1 : 1438 – 9.
29. Saito T, Kushi H, Hayashi N. The risk
factors for the occurrence of acute brain
swelling in acute subdural hematoma. Acta
Neurochir Suppl 2003 ; 86 : 351 – 4.
30. Richards T, Hoff J : Factors affecting
survival from acute subdural hematoma.
Surgery 1994 ; 75 : 253 – 8.
31. Seelig JM, Grennberg RP, Becker DP, et al.
Reversible
brain-stem
dysfunction
following
acute
traumatic
subdural
hematoma. A clinical and electrophysiolo
gical study. J Neurosurg 1981 ; 55 : 516 –
523.
32. Koc RK, Meral M, Oktem S, et al.
Extradural hematoma of the posterior
cranial fossa. Neurosurg Rev 1998 ; 21 : 52
– 7.
33. Raftopoulos C, reuse C, Chaskis C, et al.
Acute subdural hematoma of the posterior
fossa. Clin Neurol Neurosurg 1990 ; 92 : 57
-62.
34. Gentry LR, Godersky JC , Thompson B ,
Dunn VD . Prospective comparative study
of intermediate-field MR and CT in the
evaluation of closed head trauma . AJR Am
J Rontgenol 1988 ; 3: 673 – 82.
35. Koo AH, la Roque RL. Evaluation of head
trauma
by
computed
tomography.
Radiology 1977 ; 123 : 345 – 350
36. William VL , Hogg JP . Magnetic
resonance imaging of chronic subdural
hematoma. Neurosurg Clin N Am 2000 ; 11
: 491 – 8.
37. Zumkeller M , Behrmann R , Heissler HE ,
Dietz H . Computed tomographic citeria
and survival rate for patients with acute
subdural hematoma. Neurosurgey 1996 ; 39
: 708 – 12.
38. Lee KS, Bae WK , Bae HG , et al . The
computed tomographic attenuation and the

Memahami Fakta-Fakta pada Perdarahan...

age of subdural hematomas . J Korean Med
Sci 1997 ; 12 : 353 – 9.
39. Domenicucci M, Delfini R, Strzelecki J, et
al.
Delayed
posttraumatic
epidural
hematom. A review. Neurosurg Rev 1995:
18 : 109 – 122.
40. Young IR, Bydder GM, Hall AS, et al.
Extracerebral collection. Recognition by
NMR imaging. AJNR 1983 ; 4 : 837 – 8.
41. Woydt M, Roosen K, Krone A, et al.
Transcranial duplex sonography in the
diagnosis of spontaneous and traumatic
intracranial hemorrhage. Acta Neurochir
1996 ; 57 : 129 – 135.
42. Sevadei F, Nanni A, Cenni P, et al.
Importance of a reliable admission Glasgow
Coma Scale score for determining the need
for evacuation of posttraumatic subdural
hematomas. A prospective study of 65
patients.
J Trauma 1998 ; 44 : 868 – 873.
43. Croce MA, Dent DL, Menke PG, et al.
Acute subdural hematoma. Non surgical
management of selected patients. J Trauma
1994 ; 36 : 820 – 6.
44. Dent DL, Fabian TC, Robertson JT, et al.
Prognostic factors after acute subdural
hematoma. J Trauma 1995 ; 39 : 36 – 43
45. Morantz RA, Abad RM, George AE, et al.
Hemicraniectomy for acute extracerebral
hematoma. An analysis of clinical and
radiographic findings. J Neurosurg 1993 ;
39 : 622 – 8.
46. Cooper PR, Rovit RL, Ransohoff J.
Hemicraniectomy in the treatment of acute
subdural hematoma. A reappraisal. Surg
Neurol 1996 ; 5 : 25 – 28.
47. Gaab M Knoblich OE, Fuhrmeiste U, et al.
Comparison of the effect of surgical
decompression resection of local edema in
the therapy of experimental brain trauma.
Child Brain 1997 ; 5 : 484 – 498.
48. Hase J, Reulen HJ, Meinig G, et al. The
influence of decompressive operation on
intracranial pressure and the pressurevolume relation in patients with severe head
injury. Acta Neurochir 1987 ; 45 : 1 – 13.
49. Shigemory M, Syojima K, Nakayama K, et
al. Outcome of acute subdural hematoma
following decompressive hemicraniectomy.
Acta Neurochir Suppl 1979 ; 28 : 195 – 8.

Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006

305

Tinjauan Pustaka

50. Shigemori M, Tokutomi T, Yamamoto F.
Treatment of acute subdural hematoma with
low GCS score. Neurosurg Rev 1989; 12 :
198 – 200.

54. Hasselberger K, Pucher R, Auer LM.
Prognostic after acute subdural or epidural
hemorrhage. Acta Neurochir 1988 ; 90 : 111
– 116.

51. Miller JD, Becker DP, Ward JD, et al.
Significance of intracranial hypertension in
severe head injury. J Neurosurg 1977 ; 47 :
503 – 516.

55. Wilberger JE Jr, Harris M, Diamond DL.
Acute subdural hematoma. Morbidity .
mortality , and operative timing. J
Neurosurg 1991 ; 74 : 212 – 8.

52. Servadei F. Prognostic factors in severely
head injured adult patients with acute
subdural hematoma. Acta Neurochir (Wien)
1997 ; 139 : 279 – 285.

56. Wilberger JE Jr, Harris M, Diamond DL.
Acute subdural hematoma. Morbidity and
mortality related to timing of operative
intervention. J Neurosurg 1990; 30 : 733 –
6.

53. Meguro K, Kobayashi E, Maka Y. Acute
brain swelling during evacuation of
subdural hematoma cause by delayed
contralteral extradural hematoma. Report of
two cases. Neurosurgery 1987 ; 20 : 326 –
328.

306

Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006