Pengaruh Pengelolaan Lahan Sawah Berbasis Agroekologi Terhadap Keanekaragaman Mikrob Tanah, Produktivitas Padi Dan Pendapatan Petani

PENGARUH PENGELOLAAN LAHAN SAWAH BERBASIS
AGROEKOLOGI TERHADAP KEANEKARAGAMAN MIKROB
TANAH, PRODUKTIVITAS PADI DAN PENDAPATAN PETANI
(Studi Kasus di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah)

AZWAR HADI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudulPengaruh Pengelolaan
Lahan Sawah Berbasis Agroekologi terhadap Keanekaragaman Mikrob Tanah,
Produktivitas Padi dan Pendapatan Petani(Studi Kasus di Kabupaten
Karanganyar, Jawa Tengah)adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Azwar Hadi
NIM A154110031

RINGKASAN
AZWAR HADI. Pengaruh Pengelolaan Lahan Sawah Berbasis Agroekologi
terhadap Keanekaragaman Mikrob Tanah, Produktivitas Padi dan Pendapatan
Petani (Studi Kasus di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah). Dibimbing oleh
DWI ANDREAS SANTOSA, UNTUNG SUDADI dan ACENG HIDAYAT.
Menurut teori Malthus, laju pertambahan penduduk meningkat berdasarkan
deret ukur, sedangkan produksi pangan berdasarkan deret hitung, sehingga pada
suatu titik produksi pangan tidak bisa memenuhi kebutuhan pangan penduduk.
Revolusi Hijau, sebagai pertanian modern, diterapkan di Indonesia sebagai suatu
program peningkatan produksi beras. Namun, pertanian modern menimbulkan
masalah bagi petani kecil dankerusakan lahan pertanian yang ditandai oleh
pengerasan lapisan tanah dan penurunan kesuburan tanah. Sistem agroekologi
dapat dijadikan solusi bagi permasalahan ini. Agroekologiadalah sistem pertanian

berkelanjutan yang menggambarkan hubungan alam, ilmu sosial, ekologi,
masyarakat, ekonomi, dan lingkungan yang sehat. Agroekologi diterapkan
berdasarkan pengetahuan dan pengalaman lokal dalam pemenuhan kebutuhan
pangan. Agroekologi mempunyai empat konsep sebagai kunci keberlanjutan
pertanian, yaitu produktivitas, ketahanan, keberlanjutan, dan keadilan. Penelitian
ini bertujuan menganalisis penerapan agroekologi dan pengaruh pengelolaan
lahan berbasis agroekologi terhadap keanekaragaman mikrob tanah, produktivitas
padi sawah dan pendapatan petani di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah
sebagai lokasi studi kasus.
Penerapan agroekologi dievaluasi melalui FGDterhadap 40 responden
petani dan datanya dianalisis dengan analisis frekwensi. Pengaruhpengelolaan
lahan berbasis agroekologi terhadap keanekaragaman mikrob tanah, produktivitas
padi sawah dan pendapatan petani dievaluasi melalui percobaan lapang dengan
Rancangan Acak Kelompok, 6 perlakuan dan 3 ulangan, yaitu: perlakuan IMK
(benih lokal IF8 + mikrob lokal [MOL]+ kompos jerami [Kompos]), perlakuan
GMK (benih lokal Gandamana+MOL+Kompos), perlakuan IMKP (IF8
+MOL+Kompos+ pupuk hayati [Provibio]), perlakuan GMKP (Gandamana
+MOL+Kompos+ Provibio), perlakuan IMKPS (IF8 +MOL+Kompos+ Provibio
+50% Dosis NPK) dan perlakuan GMKPS (Gandamana +MOL+Kompos+
Provibio +50% Dosis NPK). Pengaruh perlakuan dievalusi berdasarkan hasil

ANOVA dan DMRT bagi perlakuan yang berpengaruh nyata pada taraf 10%.
Hasil FGD menunjukkan bahwa petani di lokasi studi telah menerapkan
sistem pertanian agroekologi. Perlakuan pengelolaan lahan berpengaruh nyata.
Perlakuan IMKPS (IF8 + MOL + Kompos + Provibio + 50% Dosis NPK)
menghasilkan nilai tertinggi untuk Azotobacterdan Azospirillum; produksi gabah
kering panen; serta pendapatan petani dan rasio pendapatan/biaya.Dari penelitian
ini disimpulkan bahwa sistem pertanian agroekologi telah diterapkan oleh petani
di Kabupaten Karanganyar dan pengelolaan lahan berbasis agroekologi meningkatkan secara nyata keanekaragaman mikrob tanah, produktivitas padi sawah dan
pendapatan petani.
Kata kunci:

benih lokal, azospirillum, azotobacter, produksi padi sawah, rasio
pendapatan/biaya

SUMMARY
AZWAR HADI. Effect of Agroecological Land Management on Soil Microbe
Diversity, Rice Paddy Productivity,and Farmer’s Income(Case Study in
Karanganyar, Central Java). Supervised by DWI ANDREAS SANTOSA,
UNTUNG SUDADI and ACENG HIDAYAT.
Malthus stated that the increase rate of the society population was

increasinggeometrically, while that of the food production was arithmetically,
therefore in a certain point food production could not meet the society’s food
needs. Green Revolution, as a modern system of agriculture, was implemented in
Indonesia as a program to increase rice production.However, this modern
agriculture has caused problems to small farmers and agriculture land degradation
that marked by hardening soil layers and decreasing soil fertility. Agroecology as
a farming system can be practiced to solve this problem. Agroecology is a
sustainable agriculture system that describes the relations of nature, social
sciences, ecology, society, economy, and a healthy environment. Agroecology is
applied on the basis of local knowledge and experiences to fill the needs of local
food. Agroecology has four concepts as keys of agriculture sustainability, namely
productivity, security, sustainability, and justice. This research was aimed at to
analyze the practice of agroecology and effects of agroecological based land
management on soil microbe diversity, rice paddy productivity, and farmer’s
income in Karang-anyar Regency, Central Java, as case study site.
The application of agroecologywas evaluated through FGD involving 40
farmer respondents and the obtained data were analyzed using frequency analysis.
The effects agroecological based land management on soil microbe diversity, rice
paddy productivity, and farmer’s income was evaluated by carrying out field
experiment applying completelyrandomized block design with 6 treatments and 3

replications: treatment IMK(local seed IF8+local microbes [MOL]+rice straw
compost [Compost]), treatmentGMK(local seed Gandamana +MOL+Compost),
treatmentIMKP(IF8+MOL+Compost+biofertilizer [Provibio]), treatment GMKP
(Gandamana+MOL+Compost+Provibio),treatmentIMKPS(IF8+MOL+Compost+
Provibio+50%doseofNPK),andtreatmentGMKPS(Gandamana+MOL+Compost+P
rovibio+50% doseof NPK). The treatment effects were evaluated based on the
results of Anova and DMRT for the treatment with significant effect at 10% test
level.
Results of FGD showed that farmers in the study site were practicing
agroecological farming system.The effects of land management treatments were
significant. Treatment GMKPS (IF8 + MOL + Compost + Provibio + 50% Dose
NPK) resulted in the highest values for Azotobacter and Azospirillum; rice paddy
productivity; and farmer’s income and income/cost ratio. From this research it is
concluded that agroecological farming system was practiced by farmers at the
study site and the land management based on agroecology increased significantly
the soil microbe diversity, rice paddy productivity, and farmer’s income.
Keywords:

local seeds, azospirillum, azotobacter, rice paddy yield;
income/cost ratio


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGARUH PENGELOLAAN LAHAN SAWAH BERBASIS
AGROEKOLOGI TERHADAP KEANEKARAGAMAN MIKROB
TANAH, PRODUKTIVITAS PADI DAN PENDAPATAN PETANI
(Studi Kasus di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah)

AZWAR HADI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains
pada
Program Studi Bioteknologi Tanah dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis :Dr Dra Rahayu Widyastuti, MSc

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas
penyertaan dan perlindunganNya sehingga tesis yang berjudul ”Pengaruh
Pengelolaan Lahan Sawah Berbasis Agroekologi terhadap Keanekaragaman
Mikrob Tanah, Produktivitas Padi dan Pendapatan Petani (Studi Kasusdi
Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah)” dapat diselesaikan.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof Dr Ir Dwi Andreas
Santosa, MS, Dr Ir Untung Sudadi, MSc dan Dr Ir Aceng Hidayat, MT

sebagaiKomisi Pembimbing yang telah memberikan arahan dalam penyusunan
tesis dan Dr Rahayu Widyastuti MSc sebagai dosen penguji luar komisi pada
sidang tesis. Terima kasih penulis ucapkan kepada Umak tercinta Hj. Nurhayati
Lubis dan Ayah terkasih H. Abdul Fattah Nasution Penulis juga mengucapkan
terima kasih buat keluarga besar Al Fattah Nasution Jalan Setia (Kak Naimah,
abang Yahya, Kak Yaniah, abang Zain, Abang Yasfi, Kak Iim, Kak Rizki Fadilah,
Kak Ainun Farisah, Abang Medan, Akmal Hawari dan si Bungsu Aflah Musanni
Nasution). Penghargaan juga penulis sampaikan kepada pihak yang telah banyak
membantu Osmaleli Ernis Saini, Abdul, Ricky, Lukman, Ruri, Yuni, seluruh
mahasiswa BTL, sodara di ICBB, kawan-kawan pegiat dan pendiri kopi
NAMORA, Tejo Pramono, Uji Sapitu, Lomo, Syawal, Bungsu Alam, Zulham dan
Putra, terkhusus buat petani yang telah membantu penelitian ini dan semua pihak
yang telah membantu dalam diskusi, saran dan doa sehingga tesis ini diselesaikan
dengan baik.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015
Azwar Hadi

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Hipotesis Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
2
2
3


TINJAUAN PUSTAKA
Agroekologi
Keanekaragaman Mikrob Tanah
Padi (Oriza sativa L)
Pendapatan Petani
Kondisi Umum Kabupaten Karanganyar

3
3
5
8
8
9

METODE
Waktu dan Tempat
Kajian Penerapan Agroekologi di Kabupaten Karanganyar
Bahan dan Alat
Data dan Jumlah Responden
Pengaruh Pengelolaan Lahan Sawah Berbasis Agroekologi terhadap

Keanekaragaman Mikrob Tanah
Bahan dan Alat
Pengaruh Pengelolaan Lahan Sawah Berbasis Agroekologi terhadap
Produktivitas Padi
Bahan dan Alat
Metode Penelitian
Pelaksanaan Penelitian
Analisis Data

9
9
10
10
10

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kajian Penerapan Sisten Agroekologi di Kabupaten Karanganyar
Kelembagaan dan Pendidikan Petani
Pengaruh Pengelolaan Sawah Berbasis Agroekologi
terhadap Keanekaragaman Mikrob Tanah
Pengaruh Pengelolaan Lahan Sawah Berbasis Agroekologi
terhadap Produktivitas Petani
Pengaruh Pengelolaan Sawah Berbasis Agroekologi terhadap
Pendapatan Petani

12
12
20

10
10
11
11
11
11
12

21
25
26

SIMPULAN DAN SARAN

29

DAFTAR PUSTAKA

30

LAMPIRAN

34

RIWAYAT HIDUP

54

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8

Perbandingan sistem pertanian konvensional dengan agroekolgi
Parameter dan metode pengujian keanekaragaman mikrob tanah
Perubahan jumlah rumah tangga usaha tani tahun 2013
Hasil kuesioner kajian penerapan agroekologi
Perbedaan agroekologi, LEISA dan pertanian organik
Perbedaan pupuk organik dan sintentik menurut petani
Tanaman yang digunakan sebagai bahan pembuatan larutan nabati
Pengaruh pengelolaan lahan sawah berbasis agroekologi terhadap populasi
mikrob tanah pada 13 minggu setelah tanam (MST)
9 Tinggi tanaman padi sawah pada 3 minggu setelah tanam (MST)-8 minggu
setelah tanam (MST)
10 Pengaruh pengelolaan lahan sawah berbasis agroekologi terhadap hasil
pengamatan jumlah anakan produktif, jumlah gabah/malai, panjang malai,
bobot 1000 butir, gabah isi dan gabah kering pada 13 MST
11 Analisis R/C berdasarkan pendapatan petani
12 Perbedaan antar paket teknologi pertanian

4
9
10
15
16
16
22
23
27
28

29
30

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

Deskripsi tanaman padi (Oryza sativa L) varietas lokal IF 8
Deskripsi tanaman padi (Oryza sativa L) varietas lokal gandamana
Dosis dan komposisi media tumbuh mikrob tanah yang dipergunakan pada
penelitian
Panduan pertanyaan untuk menilai penerapan agroekologi
Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap keanekaragaman mikrob
tanah dan produksi padi sawah

35
36
37
38
39

PENDAHULUAN
Latar belakang
Istilah krisis selalu dikaitkan dengan tidak seimbangnya antara supply
(ketersediaan) dengan demand (kebutuhan). Ketika angka kebutuhan lebih tinggi
dari ketersediaan, maka terjadilah krisis. Kekhawatiran terhadap krisis pangan
pertama kali dikeluarkan oleh Thomas Robert Malthus (1766 – 1834). Malthus
mengeluarkan teori yang sangat populer, yakni laju pertambahan penduduk
meningkat berdasarkan deret ukur, sedangkan produksi pangan berdasar deret
hitung. Deret ukur dalam pemahaman Malthus diartikan sebagai terjadinya
peningkatan berdasar kelipatan yakni; 1, 2, 4, 8 dan seterusnya., sehingga pada
suatu titik produksi pangan tidak bisa memenuhi kebutuhan pangan penduduk.
Teori Malthus mengingatkan bahwa secara alamiah generasi yang akan datang
akan memiliki permasalahan yang lebih kompleks berkaitan dengan ketersediaan
pangan, dibanding dengan generasi sebelumnya. Teori Malthus mendorong
inisiatif untuk mengembangkan teknologi baru dalam pertanian yang dapat
memeningkatkan produksi pertanian dunia dalam waktu singkat. Inisiatif ini
dimulai oleh dua konglomerat dunia pada waktu itu, Rockefeller dan Ford, yang
membiayai berbagai penelitian untuk menghasilkan benih-benih dengan
produktivitas tinggi, pupuk-pupuk dan pestisida kimia yang dapat melindungi
tanaman dari hama dan penyakit. Masa ini merupakan awal terjadinya revolusi
hijau dengan pengembangan gandum di Meksiko tahun 1950 dan padi di Filipina
tahun 1960. Revolusi hijau menekankan pada komoditas serealia secara khusus
seperti padi, jagung, gandum, dan tanaman pangan secara umum (Rusli 1995).
Indonesia mulai menjalankan kebijakan revolusi hijau melalui program
modernisasi pertanian awal tahun 1970-an. Revolusi hijau diterapkan sebagai
suatu program untuk meningkatkan produksi gabah/beras. Sistem pertanian
tradisional yang dianggap tidak mampu menjamin ketersediaan pangan, harus
diubah menjadi sistem pertanian modern. Untuk menjalankan program ini,
pemerintah mulai mengenalkan dan memperluas penggunaan bibit unggul, pupuk
kimia, dan pestisida. Disamping itu, pemerintah juga menyediakan tenaga
penyuluh pertanian, menyediakan subsidi, dan kredit pertanian, memperluas
sarana irigasi, dan mengenalkan teknologi modern lainnya, seperti traktor
(Jhamtani dan Lisa 2007). Program revolusi hijau berhasil menjadikan Indonesia
swasembada beras pada tahun 1986. Namun keberhasilan ini hanya mampu
bertahan selama lima tahun, yakni tahun 1985, 1986, 1987, 1988 dan 1990.
Semenjak tahun 1991 Indonesia sudah tidak mampu lagi berswasembada beras
kemudian melakukan import beras untuk memenuhi kebutuhan pangannya
(Tambunan 2004).

2

Meskipun modernisasi pertanian terbukti meningkatkan produksi
pertanian, namun juga menimbulkan masalah bagi para petani kecil, termasuk di
Indonesia. Pemakaian jangka panjang pupuk sintetik dan obat-obatan kimia
ternyata telah membawa kerusakan lahan pertanian dalam jumlah besar, yang
ditandai dengan pengerasan lapisan tanah dan berkurangnya kesuburan tanah.
Penggunaan pupuk dan pestisida yang selalu mengalami peningkatan pada tiap
masa tanam menyebabkan residu kimia sisa pupuk dan pestisida yang menumpuk
pada lahan pertanian, sehingga hanya dalam waktu 10 tahun telah membawa
kerusakan yang luar biasa pada struktur lapisan tanah, memusnahkan sebagian
besar mikrob tanah dan predator alami. Selain kerusakan ekosistem pertanian,
revolusi hijau juga menyebabkan ketergantungan benih yang tinggi terhadap
perusahaan, musnahnya bibit lokal, hilangnya kearifan dan kemampuan petani
untuk memproduksi, menyimpan dan mengembangkan bibit lokal. Sistem
pertanian modern berbasis input kimiawi ini hanya memeperbesar biaya yang
harus dikeluarkan oleh para petani. Pengeluaran biaya yang semakin hari semakin
besar ini, menyebabkan petani yang tidak memiliki modal tergantung kepada
tengkulak, bahkan mendorong petani meninggalkan usaha pertaniannya (Bryant
dan Louise 1982).
Menurut Altieri (1995), revolusi hijau merupakan program yang
bermasalah. Dari hasil penelitiannya di berbagai negara, Altieri (1995)
menyimpulkan bahwa revolusi hijau telah menimbulkan persoalan ekologi, sosial
dan ekonomi. Secara ekologi, penggunaan pestisida menyebabkan pangan dan
pakan (hasil pertanian) mengandung bahan pestisida, pencemaran air dan tanah
(terkena paparan pestisida), kematian musuh alami serta ledakan hama akibat
terciptanya hama yang kebal pestisida dosis rendah. Kemudian Altieri
berpendapat agroekologi dapat menjadi solusi permasalahan pertanian yang
disebabkan revolusi hijau.
Tujuan Penelitian
1
Menganalisis praktek agreokologi di Kabupaten Karanganyar.
2
Mengevaluasi pengaruh pengelolaan lahan sawah berbasis agroekologi
terhadap keanekaragaman mikrob tanah, produktivitas padi dan pendapatan
petani di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
Hipotesis Penelitian
1.
Petani di Desa Pablengan, Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar
menerapkan agroekologi.
2.
Pengelolaan sawah berbasis agroekologi berpengaruh nyata meningkatkan
keanekaragaman mikrob tanah, produktivitas padi dan pendapatan petani di
Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

3

Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah untuk mengetahui informasi praktek dan
penerapan pengelolaan lahan sawah berbasis agroekologi di Kabupaten
Karanganyar dan pengaruh agroekolgi terhadap mikrob tanah, produktivitas padi
dan pendapatan petani di Kabupaten Karanganyar.
TINJAUAN PUSTAKA
Agroekologi
Agroekologi adalah bagian dari pertanian berkelanjutan yang
menggambarkan hubungan alam, ilmu sosial, ekologi, masyarakat, ekonomi, dan
lingkungan yang sehat. Agroekologi diterapkan berdasarkan pada pengetahuan
lokal dan pengalaman dalam pemenuhan kebutuhan pangan lokal. Agroekologi
sebagai pertanian berkelanjutan mempunyai empat konsep sebagai kunci
keberlangsungan pertanian yaitu produktivitas, ketahanan, keberlanjutan, dan
keadilan (Altieri 2012). Selain itu, Jiwo (2009) mendefinisikan agroekologi
sebagai ilmu yang mempelajari hubungan biotik dan abiotik di bidang pertanian,
dan secara sederhana dimaknai sebagai ilmu lingkungan pertanian.
Penerapan pertanian agroekologi berbasis pada ekologi dan berkonsep
pada keberlanjutan dari hasil pertanian, lingkungan dan ekologi. Agroekologi
memberikan pengetahuan dan metodologi yang dibutuhkan untuk pembangunan
pertanian yang ramah lingkungan, produktif, dan menguntungkan secara ekonomi.
Beberapa negara telah menerapkan sistem pertanian agroekologi, di antaranya
petani kecil di Mexico, Guatemala, Honduras, Nicaragua, Afrika dan Amerika
Serikat. Agroekologi diterapkan secara kecil untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangga petani dan kebutuhan pangan lokal. Penerapan agroekologi di masingmasing negara mempunyai strategi yang berbeda-beda. Sekarang ini, telah mulai
dikembangkan pertanian yang berprinsip pada ekologi, keselarasan dengan
manusia, sosial dan budaya yang mampu meningkatkan hasil produksi pertanian
yang dikenal dengan agroekologi (Pretty et al. 2007).Seperti yang dilakukan oleh
petani di Afrika mereka mengubah input menjadi output dengan sistem polikultur.
Sistem ini dilakukan oleh petani dalam skala kecil yang dapat memproduksi padi,
buah, sayur, dan dapat juga menghasilkan binatang ternak. Selanjutnya, penerapan
pertanian agroekologi di Mexico cenderung pada pertanian organik dengan
pengaturan perputaran waktu panen, penggunaan pupuk organik, dan irigasi air
yang bersih (Altieri 2012).
Agroekologi adalah penerapan konsep dan prinsip ekologi dalam
merancang dan mengelola keberlanjutan keragaman hayati dan ekosistem
pertanian. Mengembangkan agroekosistem dengan ketergantungan minimal atas

4

input eksternal, mengoptimalkan interaksi dan sinergi diantara komponen biologi
sehingga menyediakan mekanisme bagi sistem kesuburan tanah, produktivitas dan
perlindungan tanaman. Agroekologi diterapkan berdasarkan pada pengetahuan
lokal dan pengalaman dalam pemenuhan kebutuhan pangan lokal. Agroekologi
sebagai pertanian berkelanjutan mempunyai empat konsep sebagai kunci
keberlangsungan pertanian yaitu produktivitas, kedaulatan, keberlanjutan dan
keadilan (Altieri 1995). Prinsip agroekologi adalah :
1
2
3
4
5
6

Menggunakan benih lokal.
Meningkatkan bahan organik dalam tanah.
Polikultur.
Perlakuan konservasi tanah.
Mengelola keragaman hayati di lahan.
Penguatan kelembagaan petani.

Tabel 1 Perbandingan Sistem Pertanian Konvensional dengan Agroekologi
Karakteristik
Intensitaspengolahan
tanah
Kebutuhan tenaga kerja

Pertanian Konvesional
Tinggi

Rendah, menggunakan
mesin
Keanekaragaman tanaman Rendah
Varietas tanaman
Tahunan, hibrida
Sumber benih
Seluruhnya dibeli
Integrasi tanaman dan
Tidak ada
ternak
Serangan hama
Sangat tak terduga
Pengendalian hama
Kimiawi
Pengendalian gulma
Kimiawi
Pengendalian penyakit
Kimiawi
Nutrisi tanaman
Kimiawi, diaplikasikan
dengan sistem terbuka
Peran dekomposisi dan
siklus nutrisi
Teknologi

Pengelolaan keuangan
Kebutuhan modal
Produktivitas tenaga kerja
Pengembalian modal
Keuntungan bersih
Resiko kesehatan
Kerusakan lingkungan

Pertanian Agroekologi
Rendah, konservasi
Tinggi, keluarga dan komunitas
Tinggi
Tahunan dan lokal
Benih dihasilkan oleh petani
Terdapat integrasi yang tinggi

Rendah

Lebih stabil
Manual dan biologis
Manual dan biologis
Manual dan Biologis
Diperoleh dari tanah yang subur,
secara semi tertutup dengan
siklus alami
Tinggi

Dari atas ke bawah,
biasanyamerupakan
teknologi impor

Dikembangkan oleh petani
bersama-sama sesuai dengan
situasi lokal

Tinggi
Sangat tinggi
Tinggi ke rendah
Tinggi ke rendah
Tinggi
Tinggi

Rendah
Rendah ke sedang
Tinggi
Bervariasi
Rendah
Rendah

Sumber: Altieri 1995
Menurut Wezel (2009), istilah agroekologi pertama kali digunakan dalam
dua publikasi ilmiah oleh Bensin pada tahun 1928 dan 1930. Penelitian
tentangagroekologi meningkat dari enam penelitian pada tahun 1991 sampai 141

5

penelitian pada tahun 2007. Istilah agroekologi digunakan dengan arti sangat
berbeda yakni sebagai ilmu pengetahuan, gerakan atau praktik pertanian.
Menurut Clements et al.(2004) bertani dengan konsep agroekologi tidak
sekedar inisiatif yang menyangkut hal-hal yang bersifat teknis, namun desakan
munculnya model pertanian baru sebagai kritik atas model pertanian saat ini.
Suatu model pertanian yang mampu menjawab kesejahteraan ekonomi petani
kecil, menyediakan pangan yang menyehatkan bagi keluarga dan kebutuhan lokal,
memulihkan kembali ekologi yang rusak serta mengembalikan kelembagaan
petani sesuai dengan cita-cita petani.
Menurut Gliessman (2007) penambahan bahan organik merupakan suatu
tindakan perbaikan lingkungan tumbuh tanaman yang dapat meningkatkan
efisiensi penggunaan pupuk N. Dobermann dan Fairhurst (2000) menyatakan
bahwa unsur Nsangat penting sebagai bahan dasar pembentukan protein dan
klorofil dan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman berupa tinggi tanaman
dan jumlah anakan, sedangkan unsur P berperan dalam meningkatkan jumlah
anakan, perkembangan akar, awal pembungaan dan pemasakan. Kennedy (1997)
menyatakan bahwa unsur N berperan dalam mempertinggi kemampuan tanaman
untuk menyerap unsur hara lain seperti P dan K dan mengaktifkan pertumbuhan
mikrob agar proses penghancuran bahan organik berjalan dengan lancar. Pupuk
hayati merupakan mikrob hidup yang diberikan ke dalam tanah sebagai inokulan
untuk meningkatkan ketersediaan unsur hara tertentu bagi tanaman. Beberapa
mikrob tanah seperti, azotobacter, rhizobium, azospirillum, mikrob pelarut fosfat,
mikrob penambat N2 adalah contoh mikrob yang sering digunakan untuk pupuk
hayati. Komunitas mikrob berperan dalam pertumbuhan tanaman melalui
beberapa mekanisme antara lain meningkatkan ketersediaan unsur hara di dalam
tanah dan meningkatkan kemampuan bertahan terhadap hama dan penyakit yang
ditularkan melalui perakaran (Smith & Read 1997).
Keanekaragaman Mikrob Tanah
Mikrob di tanah memiliki kemampuan penting untuk menjaga kesuburan
tanah yang berfungsi sebagai penambat N2 dan melarutkan P. Beberapa mikrob
penting antara lain: Rhizobium, Azotobacter, Azospirillum dan mikrob pelarut
fosfat. Penambahan mikrob ke dalam tanah melalui penggunaan pupuk hayati
merupakan salah satu upaya meningkatkan keanekaragaman mikrob di tanah
untuk meningkatkan kesuburan tanah. Pupuk hayati merupakan mikrob hidup
yang diberikan kedalam tanah sebagai inokulan untuk membantu tanaman dalam
memfasilitasi penyediaan unsur hara tertentu bagi tanaman. Pupuk hayati juga
mampu meningkatkan efisiensi serapan hara, memperbaiki pertumbuhan dan
hasil, serta meningkatkan ketahanan terhadap serangan hama penyakit (Agung &
Rahayu 2004).

6

1. Rhizobium
Bakteri Rhizobium merupakan mikrob yang mampu menambat N2 menjadi
ammonia (NH3) kemudian diubah menjadi asam amino yang selanjutnya menjadi
senyawa nitrogen yang diperlukan tanaman untuk tumbuh dan
berkembang.Rhizobium memperoleh karbohidrat sebagai sumber energi dari
tanaman inang (Tewari 1995). Penambatan N2 secara biologis diperkirakan
menyumbang lebih dari 170 juta ton nitrogen ke biosfer per tahun, 80% di
antaranya merupakan hasil simbiosis antara bakteri Rhizobium dengan tanaman
leguminosa (Prayitno et al. 2000).
Rhizobium yang bersimbiosis dalam keadaan lingkungan yang memenuhi
persyaratan untuk tumbuh optimal mampu memenuhi 50% atau bahkan seluruh
kebutuhan nitrogen tanaman. Rhizobium memenuhi kebutuhan oksigen tanaman
dengan cara menambat N2. Pada tanaman leguminosa yang berbintil akar seperti
kedelai, bintil akar yang efektif umumnya memenuhi kurang lebih dua per tiga
dari kebutuhan nitrogen tanaman. Pada kedelai bahkan dapat memenuhi hingga
74% kebutuhan nitrogen tanaman (Anas 1989). Koloni Rhizobium dalam media
YEMA berbentuk bundar dan cembung, tepian licin, konsistensi lengket dan
berlendir serta dapat mencapai diameter koloni 2-4 mm dengan masa inkubasi 3-5
hari (Rao 2007).
2.

Azotobacter
Azotobacter adalah bakteri penambat N2 yang mampu menambat nitrogen
dalam jumlah yang cukup tinggi. Pada medium yang sesuai, Azotobacter mampu
menambat 10 - 20 mg N2 per gram gula. Spesies-spesies Azotobacter yang dikenal
antara lain : A. chroococcum, A. beijerinckii, A. paspali, A. vinelandii, A. insignis
dan A. macrocytogenes (Simarmata, 2004). Inokulasi Azotobacter efektif dalam
meningkatkan hasil panen tanaman budidaya pada tanah yang dipupuk dengan
bahan organik yang cukup. Rata-rata nitrogen yang dapat diikat sebesar 1 kg ha-1
tahun-1 (Marchner & Dinkelar 1995).
3. Azospirillium
Azospirillum adalah bakteri penambat N2 yang hidup bebas tetapi dapat
berasosiasi dengan tanaman. Azospirillium mendorong pertumbuhan tanaman
terutama perkembangan akar yang menyebabkan bertambahnya sistem perakaran,
yaitu memperbesar dan memperpanjang jumlah akar dan rambut-rambut akar.
Oleh karenanya daerah perakaran membesar yang berakibat adanya perbaikan
dalam penyerapan hara N, P, elemen-elemen mikro, serapan air, khususnya pada
tahap awal perkembangan (Dobberman & Fairhurst, 2002). Dari beberapa
penelitian yang sudah pernah dipublis dapat disimpulkan bahwa bakteri tersebut
dapat hidup dengan baik di daerah tropika dan subtropika dan dapat hidup pada
semua jenis tanah dan perakaran tanaman. Penentu penting bagi tempat hidupnya
di tanah adalah vegetasi dan pH tanah. Di antara beberapa tanaman tropis selain
rumput, terdapat ubi jalar, singkong, dan akar paku-pakuan yang berisi

7

Azospirillum jika mikrob itu diinokulasikan ke tanah (Clemens et,al. 2004).
Bakteri Azospirillum merupakan mikrob penambat N2 yang hidup
berasosiasi dengan tanaman di dalam akar. Asosiasi antara Azospirillum dengan
akar tanaman mampu meningkatkan efisiensi pemupukan. Interaksi antara
Azospirillum dengan tanaman dapat terjadi dalam rizosfer atau jaringan akar,
tetapi tanpa struktur spesifik seperti pada simbiosis Rhizobium dengan tanaman
legum. Asosiasi itu dapat terjadi terutama karena kemampuan spesies itu dalam
memanfaatkan eksudat-eksudat akar secara aktif (Kennedy et al. 1997). Menurut
Katupitya & Vlassak (1990) percobaan inokulasi Azospirillum di lapang dari
seluruh dunia yang diteliti selama 20 tahun, bakteri Azospirillum mampu
meningkatkan hasil pertanian pada kondisi tanah dan iklim yang berbeda dan
secara statistik nyata meningkatkan hasil 30 hingga 50%. Kemampuan
penambatan N2 oleh bakteri yang hidup disekitar akar tanaman akan berkurang
jika nitrogen dalam tanah tinggi. Hasil penelitian pada tanaman sorgum di
lapangan menunjukkan bahwa dengan pemberian pupuk nitrogen 200 kg ha-1,
dapat menghambat aktivitas bakteri yang mengandung enzim nitrogenase.
4.

Mikrob pelarut Posfat

Mikrob pelarut fosfat sebagai salah satu penerapan bioteknologi
merupakan suatu alternatif yang sangat potensial untuk dikembangkan dalam
mengatasi masalah efektivitas ketersediaan unsur P pada tanah. Mikrobpelarut
fosfat dapat diisolasi dari tanah yang kandungan fosfatnya rendah terutama
disekitar perakaran tanaman. Mikrob pelarut fosfat menggunakan fosfat dalam
jumlah sedikit untuk keperluan metabolismenya. Kemampuan bakteri dan fungi
pelarut fosfat berbeda-beda tergantung jenis strain (De Freitas et. al. 1997).
Mikrob pelarut fosfat (bakteri dan jamur) berperan penting dalam
membantu penyediaan P larut bagi tanaman. Sebagian besar P dalam tanah
(organik dan anorganik) berada dalam bentuk terikat sehingga tidak tersedia bagi
tanaman. Kehadiran mikrob pelarut fosfat akan mempercepat dan meningkatkan
ketersediaan P dari pupuk organik (kompos, jerami) dan sumber P lainnya (fosfat
alam). Peranan mikrob ini pada pertanaman padi berbasis organik sangat penting
karena sumber utama P berasal dari kompos jerami atau pupuk organik lainnya.
Biomassa mikrob di dalam tanah mengandung P yang signifikan (berkisar 10
sampai 50 kg P ha-1, bahkan dapat mencapai 100 kg P ha-1) dan secara umum
jumlahnya antara 2 sampai 5 % dari total P serta merupakan bagian 10 sampai
15% dari P organik tanah (Dev 1996). Pertumbuhan mikrob pelarut fosfat
dipengaruhi oleh kemasaman tanah. Kelompok fungi bekerja optimum dalam
melarutkan fosfat pada pH 5 - 5,5. Kelompok bakteri bekerja melarutkan fosfat
optimum pada pH netral dan meningkat seiring dengan meningkatnya pH
tanah(Ginting et al. 2006).

8

Padi (Oriza sativa L.)
Padi (Oriza sativa L.) merupakan tanaman pangan yang sangat penting,
karena beras merupakan makanan pokok dan komoditas strategis bagi penduduk
Asia, termasuk Indonesia . Berdasarkan literatur Grist (1960), padi dalam
sistematika tumbuhan diklasifikasikan kedalam Divisio: Spermatophyta, Sub
divisio: Angiospermae, Kelas: Monocotyledoneae, Ordo: Poales, Famili:
Graminae, Genus: Oryza Linn, Species : Oryza sativa L. Produksi padi tahun
2014 sebanyak 70,83 juta ton gabah kering giling (GKG) atau mengalami
penurunan sebesar 0,45 juta ton (0,63 persen) dibandingkan tahun 2013.
Penurunan produksi padi tahun 2014 terjadi di Pulau Jawa sebesar 0,83 juta ton,
sedangkan produksi padi di luar Pulau Jawa mengalami kenaikan sebanyak 0,39
juta ton. Penurunan produksi diperkirakan terjadi karena penurunan luas panen
seluas 41,61 ribu hektar (0,30 persen) dan penurunan produktivitas sebesar 0,17
kuintal/hektar (0,33 persen)
Pendapatan Petani
Petani melakukan usahatani dengan tujuan mendapatkan keuntungan dan
manfaat (profit dan benefit) yang maksimum dalam proses produksi. Usahatani
merupakan organisasi dari alam (lahan), tenaga kerja dan modal yang ditujukan
kepada produksi di lapangan pertanian. Organisasi tersebut ketatalaksanaannya
berdiri sendiri dan sengaja diusahakan oleh seseorang atausekumpulan orang
sebagai pengelolanya (Firdaus, 2008).
Gittinger (1986) mendefinisikan manfaat adalah sesuatu yang membantu
suatu tujuan usaha. Lebih lanjut Gittinger (1986) menjelaskan bahwa manfaat
nyata proyek-proyek pertanian dapat diperoleh dari kenaikan nilai produksi dan
pengurangan biaya. Pendapatan adalah selisih antara total penerimaan dan total
pengeluaran (biaya). Penerimaan adalah hasil perkalian jumlah produk total
dengan satuan harga jual. Pengeluaran atau biaya yang dimaksudkan sebagai nilai
penggunaan sarana produksi dan lain-lain yang dikeluarkan pada proses produksi.
Pendapatan petani dapat dirumuskan sebagai berikut:
Π= TR – TC
Dimana:
Π = Pendapatan (Rp), TR = Total Revenue (Rp) dan TC = Total Cost
(Rp). Usahatani menguntungkan atau tidak secara ekonomi dapat dianalisis
dengan menggunakan nisbah atau perbandingan antara penerimaan dengan biaya
(Revenue Cost Ratio). Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:
R/C = PT / BT

9

Keterangan:
R/C = Nisbah penerimaan dan biaya;
PT = Penerimaan Total (Rp);
BT = Biaya Total (Rp);
Kondisi Umum Kabupaten Karanganyar
Jumlah petani di Kabupaten Karanganyar tahun 2013 menurut hasil sensus
pertanian tahun 2013 adalah 104.739 menurun 32,65% dari tahun 2003. Jumlah
petani gurem sebanyak 85.076 rumah tangga. Petani utama berada pada kelompok
umur 45–54 tahun. Rata-rata luas lahan petani adalah 3.270,39 m2.
Tabel 2 Perubahan Jumlah Rumah Tangga Usaha Tani Tahun 2013
Rumah Tangga Usaha Pertanian (000).
Sektor/subsektor
Perubahan
2003
2013
Absolut
Sektor pertanian
152.168 104.739
-47.429
Tanaman pangan
98.081
82.366
-15.715
Padi
64.550
66.313
1.763
Palawija
68.627
42.203
-26.424
Hortikultura
108.003 59.163
-48.840
Perkebunan
59.347
29.579
-29.768
Sumber : Hasil Sensus Pertanian 2013.

%
-31.17
-16.02
2.73
-38.50
-45.22
-50.16

Kabupaten Karanganyar pada tahun 2013 mengalami penurunan dalam
jumlah rumah tangga usaha pertanian sebesar 47. 429 rumah tangga dari 152.168
rumah tangga pada tahun 2003. Penurunan juga terjadi pada rumah tangga usaha
pertanian sebesr 3,12 % per tahun. Perkebunan merupakan subsektor yang
mengalami penurunan paling besar selama 10 tahun terakhir yaitu sebesar 50,16
% sedangkan tanaman pangan mengalami penurunan paling rendah yakni 16,02 %
per tahun.
METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan di desa Pablengan, kecamatan Matesih, kabupaten
Karanganyar, Jawa Tengah. Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2014
dan Maret 2015. Pengambilan sampel, wawancara dan pelaksanaan Focus Group
Discussion (FGD) dilaksanakan di Desa Pablengan Kecamatan Matesih
Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Analisis keanekaragaman mikrob tanah

10

dilaksanakan di Laboratorium Lingkungan Indonesian Center for Biodiversity and
Biotechnology (ICBB).
Kajian Penerapan Agroekologi di Kabupaten Karanganyar
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam kajian ini adalah kuisioner dan alat yang
digunakan adalah alat perekam dan kamera. Informasi dan praktek agroekologi di
Kabupaten Karanganyar didapat melalui Focus Group Discussion (FGD) dan
wawancara.
Data dan Jumlah Responden
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara kepada
responden. Pengambilan responden dilakukan secara sengaja (purposive
sampling).Responden dalam penelitian ini adalah petani yang diduga melakukan
praktek agroekologi. Responden ditentukan sebanyak 40 orang.
Pengaruh Pengelolaan Lahan Sawah Berbasis Agroekologi Terhadap
Keanekaragaman Mikrob Tanah
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah medium untuk
menumbuhkan mikrob yang menjadi parameter. Alat yang digunakan adalah gelas
ukur, cawan petri, timbangan digital, inkubator dan laminar air flow.
Tabel 3 Parameter dan Metode Pengujian Keanekaragaman Mikrob Tanah
Parameter
Metode
Medium
Rhizobium
Plate Count
Yema
Azotobacter
Plate Count
Ashby (Okon 1977)
Azospirillum
MPN
NFB (Okon 1977)
Mikrob pelarut fosfat Plate Count
Pikovskaya (Rao 1982)
Total mikrob
Plate Count NA (Saraswati et al. 2007)
Sebanyak 10 g contoh tanah dimasukan kedalam 90 ml larutan fisiologis
(8,5 g NaCl liter-1 aquades), dikocok selama 30 menit sehingga diperoleh
pengenceran 10-1 dan selanjutnya dibuat seri pengenceran sampai 10-7. Seri
pengenceran yang digunakan untuk menghitung populasi mikrob tanah. Untuk
menghitung populasi populasi total mikrobdigunakan seri pengenceran 10-5 dan
10-6 dan untuk menghitung populasi Azotobacter sp digunakan seri pengenceran
10-3 dan 10-4. Jumlah populasi mikrob tanah dihitung dalam satuan pembentukan
koloni gram-1 tanah bobot kering mutlak (BKM) atau disingkat SPK g-1 tanah.
Sebanyak 10-15 ml masing-masing media tumbuh mikrob dituangkan kedalam

11

cawan petri yang sudah berisi 1 ml suspensi contoh, dilakukan 2 ulangan (duplo).
Dosis dan komposisi media tumbuh mikrob tanah disajikan pada Lampiran 2.
Populasi masing-masing mikrob dihitung setelah 3-5 hari masa inkubasi.
Keseluruhan proses dilakukan secara steril untuk menghindari kontaminasi yang
dapat mengganggu parameter yang ditetapkan.
Pengaruh Pengelolaan Lahan Sawah Berbasis Agroekologi Terhadap
Produktivitas Padi
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih padi lokal
varietas IF 8 dan Gandamana, pupuk hayati Provibio dengan kandungan
Azotobacter vinelandii ICBB 9098, Azospirillum lipoferum ICBB 6088,
Bradyrhizobium japonicum ICBB 4899, Bacillus thuringiensis ICBB 6095,
Lactobacillus sp ICBB 6099, Saccharomyces cerevisae ICBB 8808,
Microbacterium lacticum ICBB 7125, Phanaerochaete sp ICBB 9182,
Paenabacillus macerans ICBB 8810) kompos jerami, mikroblokal (MOL) dari
beras dan bambu buatan petani, dan pupuk Urea, SP-36 dan KCl dengan dosis
rekomendasi Urea 200 kg ha-1, SP-36 sebanyak 100 kg ha -1 dan KCl sebanyak
100 kg ha-1.
Metode Penelitian
Metode penelitian adalah menggunakan rancangan acak kelompok (RAK)
dengan 6 perlakuan dan 3 ulangan. Setiap satuan percobaan berukuran 20 m x 10
m = 200 m2.Perlakuan terdiri atas:
1.
2.
3.
5.
6.
7.

Perlakuan IMK (IF 8 + MOL+Kompos)
Perlakuan GMK (Gandamana+MOL+Kompos)
Perlakuan IMKP (IF 8 +MOL+Kompos+Provibio)
Perlakuan GMKP (Gandamana +MOL+Kompos+ Provibio)
Perlakuan IMKPS (IF 8 +MOL+Kompos+ Provibio +50% Dosis NPK)
Perlakuan GMKPS (Gandamana +MOL+Kompos+ Provibio +50% Dosis
NPK).

Pelaksanaan Penelitian
Pengolahan tanah dilakukan dengan sistem olah tanah sempurna. Benih
padi lokal IF 8 dan benih padi lokal Gandamana disemai pada lahan persemaian
yang telah disiapkan. Bibit padi dipindah tanam pada umur 10-13 hari dengan 1
bibit per lubang tanam. Jarak tanam yang digunakan adalah 25 cm x 15 cm x 40
cm (legowo 2:1). Penyulaman dilakukan 1-3 minggu setelah tanam (MST) dari
bibit padi lokal IF 8 dan Gandamana. Pemupukan dilakukan sesuai dengan dosis
dan waktu aplikasi yang telah ditentukan. Pupuk sintetik (NPK) diaplikasikan
pada saat tanaman berumur 1 MST sesuai dengan perlakuan. Kompos
diaplikasikan saat pengolahan tanah dengan dosis 300 kg/ha. Mikrob lokal (MOL)

12

diaplikasikan tiga kali yaitu 1 MST, 3 MST dan 6 MST dengan dosis 2 liter ha-1
per aplikasi. Pupuk hayati diaplikasikan empat kali yaitu pada saat perendaman
benih sebanyak 1 liter (sisanya langsung ditabur ke lahan penelitian), 2 MST dan
4 MST dan 8 MST dengan dosis 2 liter ha-1 per aplikasi. Pengendalian gulma
dilakukan secara manual dengan cara menyiangi lahan pada 3 MST dan 5 MST.
Pemanenan dilakukan pada saat tanaman berumur 13 MST.
Pengamatan pertumbuhan vegetatif dilakukan terhadap 10 tanaman
contoh sejak tanaman berumur 3 MST – 8 MST meliputi tinggi tanaman, jumlah
anakan, jumlah gabah/malai, dan panjang malai Pengamatan panen dilakukan
terhadap komponen hasil tanaman padi. Komponen hasil yakni jumlah gabah per
malai, dan bobot per 1,000 butir. Pengamatan hasil yaitu hasil ubinan panen padi
(2.5 m x 2.5 m).
Analisis Data
Kuisioner diolah dengan manual dengan teknik tabel frekuensi. Tabel
frekuensi disusun khusus untuk mengecek frekwensi pertanyaan-pertanyaan yang
berhubungan. Dari tabel frekuensi dapat dicek apakah jumlah responden yang
menjawab pertanyaan yang diajukan pertama sama dengan jumlah responden
yang disodori pertanyaan berikutnya. Perhitungan biaya berdasarkan harga benih
IF-8, benih lokal, kompos jerami, pupuk hayati Provibio, pupuk NPK, tenaga
kerja dan sewa lahan. Perhitungan penerimaan berdasarkan jumlah gabah kering
panen (ton.ha-1) dikalikan harga gabah kering panen di lokasi penelitian pada
Desember 2014 yakni Rp 3,100 Kg -1.
Data keanekaragaman mikrob dan produktivitas padi dianalisis secara
statistik menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) pada selang kepercayaan
10%. Analisis statistik dilanjutkan terhadap perlakuan yang berpengaruh nyata
dengan menggunakan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf nyata
10% (Mattjik & Sumertajaya 2006).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kajian Penerapan Sistem Agroekologi di Kabupaten Karanganyar
Menurunnya produksi pangan, memberikan inisiatif kepada pemerintah,
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan pihak pemerhati pertanian lainnya
untuk melakukan inovasi-inovasi baru agar dapat meningkatkan produksi pangan
nasional dan menyelamatkan lingkungan atau ekologi dari kerusakan akibat
aktivitas pertanian. Penyelamatan lingkungan dan peningkatan produksi pertanian
dimulai dengan mengurangi penggunaan input eksternal.
Berdasarkan hasil wawancara bersama petani didapatkan informasi bahwa
Pemerintah Daerah Kabupaten Karanganyar pada tahun 2006 sudah menginisasi
pertanian organik. Pengembangan pertanian organik dikembangkan melalui

13

pembentukan kelompok tani organik. Kelompok tani organik bermula pada
tanaman sayur di kecamatan Karanganyar kemudian dikembangkan di Kecamatan
lain. Pengembangan pertanian organik awalnya melalui penggunaan kompos dan
pengurangan penggunaan pupuk sintetik. Penerapan agroekologi di Kabupaten
Karanganyar sebenarnya telah dilakukan dari dahulu oleh petani berdasarkan
pengetahuan lokal. Namun, petani belum mengetahui bahwa kegiatan yang telah
mereka lakukan merupakan kegiatan sistem agroekologi. Tabel 4.
Memperlihatkan penerapan agroekologi di Desa Pablengan, kecamatan Matesih,
Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
Sistem agroekologi yang diterapkan di Kabupaten Karanganyar tidak
mudah dilakukan oleh petani, karena sifat ketergantungan petani pada pupuk
kimiadan lebih berorientasi pada hasil produksi yang tinggi tanpa peduli dengan
keadaaan lingkungan atau kesuburan tanah. Kesuburan tanah yang semakin
menurun menyebabkan produktivitas lahan semakin turun, yang berimplikasi juga
pada produksi pangan secara nasional. Petani yang diwawancarai berpendapat
bahwa segala sistem pertanian yang menggunakan kompos adalah pertanian
organik. Petani responden tidak bisa membedakan antara sistem pertanian
organik, Low Eksternal Input Sustainable Agriculture (LEISA) dan sistem
Agroekologi. Padahal ada perbedaan antara pertanian organik, LEISA dan
Agroekologi sebagaimana ditampilkan pada Tabel 5.
Berdasarkan hasil wawancara dan kuisiner contoh penerapan agroekologi
yang telah dilakukan oleh petani adalah sebagai berikut:
1.

Perawatan Tanah
Petani responden (100%) menyatakan memberikan pupuk organik pada
saat pengolahan berupa kompos dan mengurangi penggunaan pupuk sintetik.
Penggunaan pupuk sintetik sudah berkurang semenjakpetani menerapkan
agroekologi. Pengurangan penggunaan pupuk sintetik sekitar 270 kg ha-1 per
tahun. Penggunaan pupuk kimia dan pestisida di Desa Pablengan masih lebih
banyak dibandingkan di desa lain di Kecamatan Matesih. Selain pupuk kimia dan
pupuk kandang, petani juga menggunakan pupuk alami seperti daun bambu yang
dibakar untuk dijadikan pupuk, kotoran kerbau dan kotoran kambing yang
dijadikan sebagai pupuk kandang, penggunaan pupuk dari jerami yang dilapisi
dengan kotoran ayam, dan penggunaan abu dari kayu bakar.
Pengolahan tanah yang dilakukan oleh petani untuk menjaga kesuburan
tanah masih menggunakan cara tradisional yaitu menggunakan kerbau dalam
proses pembajakan. Penggunaan kerbau ini menggambarkan pengurangan
pemakaian energi (bahan bakar) dibandingkan dengan penggunaan traktor yang
biasa dilakukan petani sekarang. Selain itu, petani responden sebanyak 75% juga
melakukan pergantian tanaman antara lain tanaman kacang-kacangan dan jagung
yang dapat mengikat nitrogen sehingga dapat mempertahankan unsur hara tanah.

14

Petani di lokasi penelitian menggunakan pupuk kompos jerami. Alasan
penggunaan kompos adalah untuk menjaga tanah tetap mudah dicangkul
(pengolahan lahan). Berdasarkan wawancara petani di lokasi penelitian terdapat
perbedaan antara pupuk organik dan pupuk sintetik sebagaimana tabel 6.
Tabel 4 Hasil Kuisioner Kajian Penerapan Agroekologi
No
1
2
3
4
5
6

7
8

9

10
11
12

Pertanyaan

Jumlah
Ya
Apakah
sistem
agroekologi 32
mendukung penggunaan benih lokal?
Apakah sistem agroekologi mendorong 26
Pengendalian hama terpadu?
Apakah sistem agroekologi mendorong 40
penggunaan pupuk organik?
Apakah
sistem
agroekologi 35
mempertahankan kesuburan tanah?
Apakah
sistem
agorokologi 40
mempraktekan konservasi tanah?
Apakah panen meningkatkan produksi 34
pangan keluarga dan meningkatkan
kualitas pangan keluarga?
Apakah dilakukan rotasi tanaman?
23
Apakah
sistem
agroekologi 40
mengurangi
pemakaian
input
eksternal?
Apakah
sistem
agroekologi 37
meningkatkan ketahanan tanaman
terhadap serangan penyakit?
Apakah
sistem
agroekologi 40
mengurangi serangan hama?
Apakah
kelembagaan
petani 40
mendukung sistem agroekologi?
Apakah sistem agroekologi mendorong 35
terbentuknya sistem pangan lokal?

Persentase (%)
Tidak
Ya
Tidak
8
80
20
14

60

40

0

100

--

5

87.5

12.5

0

100

--

6

85

15

17
0

75
100

25
--

3

92.5

7.5

0

100

--

0

100

--

5

87.5

12.5

15

Tabel 5 Perbedaan Agroekologi, LEISA dan Pertanian Organik
Indikator
Agroekologi
LEISA
Pertanian Organik
Keragaman
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Intercrop
Polikultur
Polikultur
Polikultur
Rotasi tanaman
Ada
Ada
Ada
Pemasaran
Lokal
Bebas
Bebas
Benih
Lokal
Bebas
Bebas
Konservasi tanah
Ada
Ada
Ada
Pemberdayaan
Ada
Ada
Tidak ada
masyarakat
Penguatanekonomi
Ada
Ada
Tidak ada
local
Kemitraan
Mendorong
Mendorong
Mendorong
kemitraan lokal kemitraan antar
kemitraan antar
antara
perorangan dan
perorangan dan
perorangan dan perusahaan
perusahaan
lembaga
Pendidikan
Petani ke petani Petani ke petani
Petani ke petani
(berbagi
(berbagi
(berbagi
pengalaman),
pengalaman),
pengalaman),
Kemitraan
Kemitraan dengan Kemitraan dengan
dengan lembaga lembaga pertanian lembaga pertanian
pertanian
Sumber : Agroekologi (Gliessman 2007), LEISA ( Coen et al. 1999)

Tabel 6 Perbedaan Pupuk Organik dan Sintetik menurut Petani
Pupuk organik
Pupuk Sintetik
Kemasan kurang menarik, kotor dan
Kemasan menarik, praktis, dosis
pemakaiannya harus dalam jumlah yang
pemakaian relatif kecil
banyak
Mengandung unsur hara makro dan mikro Hanya mengandung beberapa unsur
yang lengkap walaupun dalam jumlah
hara saja, tapi dalam jumlah yang
sedikit
banyak
Memperbaiki struktur tanah
Tidak memperbaiki struktur tanah,
(menggemburkan) tanah dan
bahkan penggunaan jangka panjang
meningkatkan bahan organic
mengakibatkan tanah mengeras
Harga relatif murah
Harga relatif mahal
Menambah daya serap air
Tidak menambah daya serap air
Memperbaiki kehidupan mikrob dalam
Tidak
memperbaiki
kehidupan
tanah
mikrob dalam tanah
Dapat dibuat sendiri dan aman bagi
Dibuat oleh pabrik, cenderung kurang
kesehatan maupun lingkungan
aman bagi kesehatan maupun
lingkungan

16

2. Menghasilkan Benih Sendiri
Penangkaran benih yang dilakukan petani umumnya dilakukan sendiri
oleh petani, hal ini dilakukan karena dapat memperkecil biaya yang harus
dikeluarkan petani per musimnya. Benih awal biasanya diperoleh petani dengan
cara membeli, kemudian untuk musim tanam berikutnya petani memilih hasil
panen yang dianggap bagus untuk dijadikan benih. Namun, benih yang diambil
dari hasil panen hanya dapat digunakan untuk tiga musim tanam. Petani juga
saling mempertukarkan benih apabila petani mendapat dan menemukan benih
yang dianggap unggul dan bisa ditangkarkan kembali untuk dijadikan benih.
Petani responden pada penelitian ini sebanyak 80% menyatakan menggunakan
benih lokal.
Petani di lokasi penelitian masih mengembangkan benih lokal misalnya
benih lokal Gandamana dan IF 8. Benih lokal Gandamana adalah benih lokal yang
diminati petani karena tahan terhadap rebah dan wereng, sementara benih lokal IF
8 diminati petani karena produktivitasnya yang tinggi.Pemilihan kultivar padi
lokal Gandamana dikarenakan petani di Kabupaten Karanganyar masih banyak
yangmembudidayakan kultivar padi tersebut yang telahmampu beradaptasi
dengan lingkungan dan ekologi tanah di Kabupaten Karanganyar dan memiliki
kualitas beras yang disenangimasyarakat. Kultivar padi lokal yang ditanam
petanimerupakan kultivar yang telah puluhan tahunditanam dan diseleksi oleh
alam. Penanaman padi lokal disenangi petani karena sebagian memilikidaya
adaptasi yang baik terhadap lingkungan suboptimal antara lain ekologi lahan di
lahan sawah, rasa beras yang enak, aroma harum, dan kualitas nasiyang baik,
walaupun produksinya tidak setinggi kultivar padi baru. Kultivar lokal secara
alami telah teruji ketahanannya terhadap hama maupun penyakit sehingga
merupakan kumpulan sumber daya genetik yang tak ternilai harganya (Ifansyah &
Priatmadi 2003). Ada beberapa kultivar padi lokal seperti surya, Rojolele, Kunin.
Kultivar baru kurang disukai petani karena memerlukan pemeliharaan yang
intensif, input produksi dan tenaga kerja yang lebih tinggi, serta rasa nasi kurang
enak, dan harganyamurah (Hidayat 2002). Dari kuisioner penelitian didapatkan
bahwa petani yang menggunakan benih lokal Gandamana adalah 23 orang atau
sebesar 57,5%, benih lokal IF 8 sebanyak 8 orang (20%) dan benih lain seperti
Ciherang, padi hitam, padi merah dan Rojo lele sebanyak 9 orang repsonden
(22,5%).
Benih-benih terpilih kemudian ditangkarkan oleh petani untuk dijadikan
koleksi benih unggulan petani. Petani mengumpulkan benih sendiri dan
melakukan pertukaran benih sesama petani. Benih yang sudah dianggap unggul
oleh petani (setelah diuji dengan beberapa kali tanam dan hasilnya bagus)
kemudian ditataniagakan sesama petani. Petani melakukan penangkaran benih
sendiri karena petani menginginkan hasil panen yang tinggi, mengurangi

17

pengeluaran dan menjaga varietas asli yang telah beradaptasi dengan lingkungan
setempat. Penangkaran benih dilakukan dengan memilih hasil panen yang masih
bagus dan sesuai karakter khusus untuk dapat dijadikan benih (Maryati 2010).
Petani di Desa Pab