Litterfall Productivity, Decomposition Rate, And Nutrient Release of Anthocephalus cadamba Miq
PRODUKTIVITAS, LAJU DEKOMPOSISI, DAN
PELEPASAN HARA SERASAH PADA TEGAKAN JABON
(Anthocephalus cadamba Miq.)
RIFA’ ATUNNISA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Produktivitas, Laju
Dekomposisi, dan Pelepasan Hara Serasah pada Tegakan Jabon (Anthocephalus
cadamba Miq.) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Rifa’ Atunnisa
NIM 451110111
RINGKASAN
RIFA’ ATUNNISA. Produktivitas, Laju Dekomposisi, dan Pelepasan Hara
Serasah pada Tegakan Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.). Dibimbing oleh
IRDIKA MANSUR dan OMO RUSDIANA.
Usaha mempertahankan ketersediaan hara pada tanah merupakan hal yang
sangat penting dalam upaya mempertahankan produktivitas hutan tanaman.
Siklus hara atau daur ulang hara dalam ekosistem memegang peranan penting bagi
ketersediaan hara di dalam ekosistem hutan yang terdiri dari input, simpanan dan
output hara. Pada siklus tersebut, hara yang diserap oleh akar tegakan (pohon)
dikembalikan ke dalam tanah (input hara) oleh serasah yang jatuh, tanaman bawah
yang mati maupun sisa pemanenan yang ditinggal di lahan melalui proses
dekomposisi. Jenis pohon jabon putih (Anthocephalus cadamba Miq.), merupakan
salah satu jenis pohon yang memiliki prospek tinggi untuk hutan tanaman industri
dan tanaman reboisasi (penghijauan) di Indonesia. Penelitian ini bertujuan
menghitung produktivitas, laju dekomposisi, kandungan hara dan pelepasan hara
serasah jabon, dan menguji pengaruh pemberian kompos serasah daun jabon
terhadap pertumbuhan semai jabon yang ditanam pada media tanah bekas
tambang batubara.
Penelitian dilakukan pada tegakan jabon umur 4 tahun. Metode
pengumpulan produktivitas serasah menggunakan litter trap dilakukan setiap satu
minggu sekali selama 12 minggu. Metode pengumpulan data laju dekomposisi
menggunakan 120 kantung serasah yang diletakkan di atas tanah tegakan jabon
yang diambil setiap minggu sekali selama 12 minggu. Pengumpulan data
pertumbuhan semai jabon yang diaplikasikan kompos serasah daun jabon
dilakukan selama 10 minggu.
Hasil penelitian menunjukkan total produktivitas serasah selama 12 minggu
sebesar 22.25 g m-2 minggu-1 atau setara dengan 11.57 ton ha-1 tahun-1. Konstanta
laju dekomposisi (k) sebesar 0.09 (minggu) dan laju dekomposisi relatif adalah
0.086 g g-1 minggu-1. Waktu yang dibutuhkan serasah jabon untuk terdekomposisi
50 % dari berat kering awal (paruh waktu) adalah 53 hari. Besarnya kandungan
hara serasah berturut turut dari yang terbesar adalah Ca, N, Mg, K dan P yaitu
sebesar 238 kg ha-1, 230 kg ha-1, 151 kg ha-1, 110 kg ha-1, dan 44 kg ha-1.
Persentase pelepasan hara serasah terbesar pada unsur Mg yaitu sebesar 98.11 %
selama proses dekomposisi 12 minggu.
Pemberian kompos serasah daun jabon pada media tanam tanah bekas
tambang batubara berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi dan diameter,
laju pertumbuhan relatif tinggi dan diameter, biomassa total, pucuk dan akar,
namun tidak berpengaruh nyata pada rasio pucuk akar pada tingkat kepercayaan
95 %. Dosis pemberian kompos 30 % dapat meningkatkan pertambahan tinggi
sebesar 69 %, tinggi sebesar 74 %, dan meningkatkan biomassa total sebesar 193
% jika dibandingkan dengan kontrol.
Kata kunci: kadam, serasah, laju dekomposisi, unsur hara, pelepasan hara,
tambang batu bara
SUMMARY
RIFA’ ATUNNISA. Litterfall Productivity, Decomposition Rate, and Nutrient
Release of Anthocephalus cadamba Miq. Supervised by IRDIKA MANSUR and
OMO RUSDIANA.
Maintaining the nutrient supply in soil is crucial for sustaining productivity.
Nutrient cycling in ecosystem provide available nutrient through inputs, storage
pools, and outputs. In nutrient cycle, plant nutrient uptake from soil and return to
soil from litterfall, coverground species, and remain harvest plant through
decomposition process. Jabon putih (Anthocephalus cadamba Miq.) is one of
Indonesia native species which has high prospect for plantation forest and
revegetation in degraded ecosystem, such caused by mining operations. The soil
of overburden dumps in coal mining are physically, nutritionally and biologically
poor. This study was conducted to calculate productivity, decomposition rate,
nutrient content and nutrient release to 4-year-old jabon plantation, also to test the
application of jabon compost that applied to jabon seedling with soil from coal
mine as planting media.
Research was conducted at 4-year-old jabon plantation. Method of Litterfall
productivity use litterfall collection traps every week during 12 weeks.
Decomposition rate was used litter bag technique, with 120 of bags which placed
above soil floor. Collecting data for use application of jabon compost was held
during10 weeks.
Total productivity during 12-week is 22.25 g m-2 week-1 or 11.57 ton ha-1
-1
yr . Rate decay constant (k) is 0.09 week-1 and relative decomposition rate was
0.086 g g-1 week-1. Nutrient input from leaf litter, from highest to lowest, in the
following order: Ca (238 kg ha-1 )> N (230 kg ha-1)> Mg (151 kg ha-1)> K (110 kg
ha-1)> P (44 kg ha-1). Magnesium has the highest percentage of nutrient release
that is 98.11 % during 12-week decomposition.
Application of jabon compost to soil from coal mine has significant effects
on height and diameter growth, total biomass, and shoot and root biomass, but it
did not significantly effected on shoot-root ratio. Combination between media and
30 % jabon compost increased plant height by 69 %, diameter by 72 %, and
biomass total by 193 % compared with control treatment.
Keywords: kadam, litter, decomposition rate, nutrient release, coal mine soil
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PRODUKTIVITAS, LAJU DEKOMPOSISI, DAN PELEPASAN
HARA SERASAH PADA TEGAKAN JABON
(Anthocephalus cadamba Miq.)
RIFA’ ATUNNISA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Silvikultur Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Basuki Wasis, MS
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2012 ini ialah
serasah daun jabon, dengan judul Produktivitas, Laju Dekomposisi, dan Pelepasan
Hara Serasah pada Tegakan Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Irdika Mansur dan Bapak
Dr Ir Omo Rusdiana selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada Bapak Sukanto Tanoto melalui Tanoto Foundation telah
memberikan beasiswa kepada penulis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada ayah, ibu, adik-adik, seluruh keluarga, dan teman-teman seperjuangan atas
segala doa, kasih sayang, dan dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2013
Rifa’ Atunnisa
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis
1
1
2
3
3
2 METODE
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Waktu dan Tempat Penelitian
Alat dan Bahan
Metode Pengambilan Data
Analisis Data
3
3
4
4
4
7
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.)
Karakteristik Tegakan Jabon
Produksi Serasah
Efisiensi Penggunaan Hara
Dekomposisi Serasah
Pengaruh Kompos Daun Jabon Terhadap Semai Jabon
10
10
13
15
17
18
26
4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
35
35
36
DAFTAR PUSTAKA
36
LAMPIRAN
40
RIWAYAT HIDUP
41
DAFTAR TABEL
1. Hasil analisis tanah tegakan jabon
2. Rata-rata produksi serasah daun di lantai hutan jabon pada umur
pengamatan 4 tahun
3. Sumbangan unsur hara dari serasah jabon
4. Laju dekomposisi serasah daun jabon
5. Rata-rata produksi serasah dan laju dekomposisi
beberapa jenis tanaman tropis
6. Akumulasi nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, dan magnesium pada
beberapa tanaman tropis
7. Kandungan hara serasah daun segar dan kompos jabon
8. Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam pertumbuhan semai jabon
9. Uji lanjut Duncan pertambahan tinggi semai jabon
10. Uji lanjut Duncan pertambahan diameter semai jabon
11. Uji lanjut Duncan laju pertumbuhan tinggi semai jabon
12. Uji lanjut Duncan laju pertumbuhan diameter semai jabon
13. Uji lanjut Duncan biomassa total semai jabon
14. Uji lanjut Duncan biomassa pucuk semai jabon
15. Uji lanjut Duncan biomassa akar semai jabon
16. Rasio pucuk akar semai jabon
13
16
17
20
24
25
27
28
29
29
30
30
31
31
32
32
DAFTAR GAMBAR
1. Diagram siklus hara
2. Litter trap
3. Kantong serasah
4. Pembuatan kompos alami
5. Diagram alir penelitian
6. Serapan hara dan NUE biomassa serasah daun jabon
7. Persamaan laju dekomposisi serasah tanaman jabon
8. Perubahan serasah daun jabon
9. Persentase pelepasan hara serasah selama proses dekomposisi
10. Bagan analisis hubungan langsung dan tidak langsung dari beberapa
faktor yang mempengaruhi nilai konstanta laju dekomposisi (k)
11. Kompos daun jabon selama pengomposan 3 bulan
12. Pertumbuhan diameter semai jabon
13. Pertumbuhan tinggi semai jabon
14. Perlakuan tanpa pemberian kompos dan dengan pemberian kompos
15. Bibit tanpa pemberian kompos dan dengan pemberian kompos
16. Perakaran pada media tanpa pemberian kompos
dan dengan pemberian kompos
2
5
6
6
9
18
20
21
22
23
27
28
29
32
33
34
DAFTAR LAMPIRAN
1. Hasil analisis tanah tambang
2. Data iklim mikro pada tegakan jabon.
40
40
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Usaha mempertahankan ketersediaan hara pada tanah merupakan hal yang
sangat penting dalam upaya mempertahankan produktivitas hutan tanaman.
Keberadaan hara yang dapat diserap oleh tanaman sangat penting digunakan untuk
pertumbuhan, perkembangan dan proses reproduksi tanaman tersebut.
Siklus hara atau daur ulang hara dalam ekosistem memegang peranan
penting bagi ketersediaan hara di dalam ekosistem hutan yang terdiri dari input,
simpanan dan output hara. Pada siklus tersebut, hara yang diserap oleh akar
tegakan (pohon) dikembalikan ke dalam tanah (input hara) melalui serasah yang
jatuh, tanaman bawah yang mati maupun sisa pemanenan yang ditinggal di lahan.
Output hara dapat diakibatkan oleh hasil panen yang dibawa keluar lahan, erosi,
aliran permukaan, dan pencucian hara, sedangkan simpanan hara merupakan
ketersediaan hara di tanah pada waktu tertentu (Gambar 1). Hilangnya beberapa
unsur hara ini, dapat menyebabkan kesuburan tanah menurun sehingga pada
tingkat tertentu tanah tidak mampu mendukung pertumbuhan tanaman secara
normal. Serasah menjadi sumber bahan organik tanah dimana melalui proses
dekomposisi, yaitu saat serasah jatuh ke lantai tanah terjadi proses perombakan
dan penghancuran bahan organik menjadi partikel yang lebih kecil sehingga
menjadi unsur hara terlarut yang dimediasi oleh organisme dan mikroorganisme
(Thaiutsa dan Granger 1979; Fisher dan Binkley 2000).
Bahan organik tanah merupakan salah satu bahan pembentuk agregat
tanah, yang mempunyai peran sebagai bahan perekat antar partikel tanah untuk
bersatu menjadi agregat tanah, sehingga bahan organik penting dalam
pembentukan struktur tanah. Keberadaan serasah selain sebagai sumber bahan
organik, juga mempunyai peranan penting dalam pemeliharaan produktivitas
tegakan yaitu mencegah erosi dan peningkatan porositas tanah sehingga proses
penyerapan air ke dalam tanah akan berlangsung dengan baik (Fisher dan Binkley
2000). Oleh karena itu, jenis-jenis tanaman yang serasahnya mudah
terdekomposisi sangat baik ditanam pada lahan-lahan kritis seperti lahan bekas
pertambangan.
Jenis pohon jabon putih (Anthocephalus cadamba Miq.), merupakan salah
satu jenis pohon yang memiliki prospek tinggi untuk hutan tanaman industri dan
tanaman reboisasi (penghijauan) di Indonesia, karena pertumbuhannya yang cepat,
kemampuan beradaptasinya pada berbagai kondisi tempat tumbuh, dan perlakuan
silvikulturnya yang relatif mudah. Jenis ini juga diharapkan menjadi semakin
penting bagi industri perkayuan di masa mendatang, terutama ketika bahan baku
pertukangan dari hutan alam diperkirakan akan semakin berkurang. Pada saat ini
jabon banyak dibudidayakan oleh petani, terutama di Kalimantan dan Jawa.
Beberapa daerah di Jawa, jabon pada umumnya ditanam untuk menggantikan
tanaman jati yang miskin riap setelah pemanenan (Nair dan Sumardi 2000). Selain
itu, jenis ini banyak dikembangkan sebagai jenis pionir dalam rangka perbaikan
lahan-lahan marginal seperti lahan-lahan bekas pertambangan (Mansur dan
Tuheteru 2010).
2
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Ruhiyat (1989) dalam
Folster dan Khanna (1997), implikasi dari penanaman jenis cepat tumbuh, terjadi
pengurasan unsur hara yang lebih cepat daripada jenis tanaman dengan rotasi yang
lebih panjang. Oleh karena jabon adalah salah satu jenis cepat tumbuh yang sangat
potensial bagi pengembangan hutan tanaman dan dapat digunakan untuk
keperluan rehabilitasi dan reboisasi, maka diperlukan studi yang mempelajari
aliran input dan output neraca hara agar simpanan hara dapat diketahui.
Gambar 1 Diagram siklus hara
Ketersediaan unsur hara yang cukup dan seimbang melalui pengembalian
unsur hara oleh tanaman ke tanah menjadi kunci penting kesuburan tanah,
terutama bagi jenis cepat tumbuh (Ngao et al. 2009). Produktivitas serasah dan
kecepatan laju dekomposisi dapat digunakan sebagai penduga masukan hara yang
berguna bagi kesuburan tanah di lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, melalui
penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam strategi pengelolaan
nutrisi hara pada hutan tanaman, agar kelestarian produksi terus terjamin.
Perumusan Masalah
Serasah sebagai bahan organik merupakan bagian dari organ tumbuhan
mati yang terdapat di lapisan atas permukaan tanah, yang berkontribusi sebagai
sumber unsur hara dan sangat mempengaruhi kesuburan tanah. Produktivitas
serasah diartikan sebagai jumlah serasah yang jatuh pada permukaan tanah pada
periode waktu tertentu per satuan luas areal. Produktivitas serasah dan kecepatan
laju dekomposisi pada tegakan jabon dapat digunakan sebagai penduga
sumbangan bahan organik yang berguna bagi kesuburan tanah di lingkungan
sekitarnya. Oleh karena itu, penelitian ini dilaksanakan dalam rangka menjawab
beberapa pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaimana produksi serasah daun pada tegakan jabon
2. Bagaimana laju dekomposisi serasah daun jabon
3
3. Bagaimana kandungan hara dan potensi pelepasan hara nutrisi dari serasah
daun jabon
4. Apakah kompos serasah daun jabon dapat membantu meningkatkan
pertumbuhan semai jabon yang ditanam pada media tanah bekas tambang
batubara
Tujuan Penelitian
1
2
3
4
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk:
Menghitung produktivitas serasah daun pada tegakan jabon
Menghitung laju dekomposisi serasah daun jabon
Menganalisi kandungan hara serasah dan pelepasan hara serasah daun
jabon pada tegakan jabon
Menguji pengaruh pemberian kompos serasah daun jabon terhadap
pertumbuhan semai jabon yang ditanam pada media tanah bekas tambang
batubara
Hipotesis
1.
2.
3.
4.
Jenis jabon memiliki nilai produktivitas serasah daun yang tinggi
Jenis jabon memiliki nilai laju dekomposisi serasah daun yang tinggi
Sejumlah hara dilepaskan serasah jabon melalui proses dekomposisi
Kompos serasah daun jabon dapat meningkatkan pertumbuhan semai
jabon
2 METODE PENELITIAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Letak Geografis dan Wilayah Administrasi
Secara geografis Kota Bogor terletak di antara 106’ 48 BT dan 6’ 26’ LS,
kedudukan geografis Kota Bogor di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor
serta lokasinya dekat dengan Ibu Kota Negara. Bappeda (2012) luas wilayah Kota
Bogor adalah 11 850 ha yang terdiri dari 6 kecamatan dan 68 kelurahan. Secara
administrasi kota Bogor terdiri 6 wilayah kecamatan, 31 kelurahan dan 32 desa,
210 dusun, 623 RW, 2712 RT dan dikelilingi oleh Wilayah Kabupaten Bogor.
Lokasi penelitian terletak di Jalan Cifor, Dusun Tawakal RT 01/RW 05,
Kelurahan Bubulak, Kecamatan Bogor Barat.
Iklim dan Topografi
Kota Bogor mempunyai rata-rata ketinggian tempat minimum 190 m dpl
dan maksimum 330 m dpl. Kondisi iklim di Kota Bogor suhu rata-rata tiap bulan
26 ºC dengan suhu terendah 21.8 ºC dan suhu tertinggi 30.4 ºC. Kelembaban
udara 70%, Curah hujan rata-rata setiap tahun sekitar 3500-4000 mm dengan
curah hujan terbesar pada bulan Desember dan Januari sekitar 346 mm. Jenis
tanah hampir di seluruh wilayah Bogor adalah Latosol coklat kemerahan dengan
kedalaman efektif tanah lebih dari 90 cm dan tekstur tanah yang halus dan bersifat
agak peka terhadap erosi (Bappeda 2012).
4
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan mulai bulan November 2012 sampai dengan Mei
2013. Penelitian ini dilakukan pada tegakan jabon yang merupakan tanah milik
masyarakat dengan luas lahan 1000 m2 dan umur tegakan empat tahun sejak
tanam, berlokasi di Dusun Tawakal RT 01/RW 05, Kelurahan Bubulak,
Kecamatan Bogor Barat. Pada pengamatan respon pertumbuhan semai jabon
terhadap kompos serasah daun jabon dilakukan di rumah kaca Departemen
Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Analisis tanah, media tanam, dan kompos dilakukan di Laboratorium
Tanah dan Tanaman SEAMEO BIOTROP. Analisis sifat biologi tanah dilakukan
di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas
Pertanian, IPB.
Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serasah daun dari
tegakan jabon dan media tanam bekas pertambangan batubara dari tanah timbunan
PT. Bukit Asam. Tanaman yang digunakan dalam pengukuran respon
pertumbuhan terhadap kompos daun jabon adalah bibit jabon yang berumur dua
bulan .
Alat yang digunakan pada penelitian ini pita meter, litter trap (alat
penampung serasah) yang terbuat dari nylon berukuran 1 m x 1 m, litter bag
(kantong serasah) dari nylon berukuran 30 cm x 30 cm, timbangan digital, oven,
polibag (20 cm x 20 cm), penggaris, haga hypsometer, kaliper, kamera, dan alat
tulis.
Metode Pengambilan Data
Pengumpulan Data Sekunder
Data-data penunjang seperti curah hujan harian, suhu dan kelembaban
harian diperoleh dari Badan Meteorologi dan Gofisika (Stasiun Klimatologi
Dramaga) sebagai penunjang analisis data produktivitas serasah dan laju
dekomposisi serasah.
Pengumpulan Data Primer
a. Pengambilan Data Pohon
Pengambilan data pohon dilakukan dengan metode sensus pada seluruh
areal penelitian yaitu dengan luasan 1000 m2 dan jarak tanam 3 m x 2.5 m. Data
yang diukur adalah tinggi total, tinggi bebas cabang, dan diameter setinggi dada
(1.3 m). Data tersebut diolah kemudian dihitung rata-rata tinggi dan diameter.
b. Pengambilan Contoh Tanah Untuk Analisis Kandungan Hara dan
Biologi Tanah
Untuk menentukan kandungan hara tanah mineral dan analisis biologi
tanah, diambil contoh tanah terganggu pada lapisan tanah atas, yaitu pada
kedalaman 0-20 cm. Pertimbangan menggunakan kedalaman tersebut karena lebih
5
mudah dilakukan dan dapat dibandingkan dengan penelitian-penelitian lain yang
sudah dilakukan.
Untuk mendapatkan contoh yang dapat mewakili dari seluruh area, contoh
tanah yang diambil merupakan hasil komposit yang diambil secara acak. Jumlah
contoh komposit yang diambil berasal dari 5 titik secara acak. Contoh tanah
diambil sebanyak 2 kg berat basah (kondisi tanah segar) dan kemudian dibawa ke
Laboratorium Tanah dan Tanaman untuk analisis biologi tanah. Pengambilan
contoh tanah disimpan dalam wadah plastik yang tidak ditutup rapat agar tidak
terjadi perubahan karakteristik tanah yang cukup signifikan, khususnya yang
berhubungan dengan aktivitas jasad renik tanah. Untuk analisis kandungan hara,
contoh tanah yang diambil kemudian dibawa ke laboratorium untuk dikeringkan
terlebih dahulu dan diproses pada Laboratorium Tanah.
c. Pengukuran Produktivitas Serasah
Kegiatan pengukuran produktivitas serasah dilakukan dengan
menggunakan alat bantu litter trap sebagai alat penangkap serasah. Alat ini berupa
kain kasa nylon yang berukuran 1 m x 1 m persegi yang ditopang dengan kayu di
keempat sudutnya dan berjarak 0.5 m dari atas tanah.
Langkah-langkah pelaksanaannya (Hilwan 1993), adalah:
a. Pada tegakan jabon dibuat plot yang berukuran 20 m x 10 m persegi secara
sistematik, sehingga didapatkan 5 plot
b. Litter trap ditempatkan pada setiap plot
c. Serasah yang tertampung litter trap dikumpulkan setiap minggu untuk
ditimbang
d. Serasah dikeringkan dalam oven dengan suhu 65 °C hingga beratnya
konstan ± 48 jam yang dinyatakan dalam satuan g/m2/periode.
Pengambilan serasah daun dilakukan selama 12 minggu.
Gambar 2 Litter trap
d. Pengamatan Laju Dekomposisi Serasah
Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam pengamatan dekomposisi serasah
(Hilwan 1993), yaitu meliputi:
a. Kantung serasah dengan pori ukuran diameter 1.5 mm, diisi dengan
serasah segar sebanyak 40 g
b. Kantung serasah yang telah diisi serasah diletakkan di lantai tanah,
sehingga kantung serasah dapat langsung menyentuh tanah
6
c. Jumlah kantong serasah yang ditempatkan dalam lokasi penelitian
sebanyak 24 kantong serasah pada setiap plot. Sebagai data untuk berat
kering awal serasah, dalan satu kantong seberat 40 g dikeringkan pada
suhu 65 °C hingga beratnya konstan kemudian ditimbang. Pada
perhitungan laju dekomposisi, diambil 15 kantong serasah, masing-masing
40 g setiap seminggu sekali selama satu bulan pertama, sedangkan untuk
bulan kedua hingga akhir pengamatan, pengambilan kantong serasah
dilakukan setiap dua minggu sekali. Pengambilan kantong serasah
dilakukan lebih sering pada saat awal pengamatan karena diasumsikan
bahwa kecepatan dekomposisi akan terjadi lebih cepat saat proses
dekomposisi tersebut dimulai. Serasah yang diambil kemudian dikeringkan
dalam oven pada suhu 65 °C hingga beratnya konstan dan ditimbang.
Gambar 3 Kantong serasah
e. Pengujian Kandungan Hara Serasah
Analisa ini dilakukan pada serasah daun segar, serasah yang telah
terdekomposisi selama 12 minggu dan kompos daun jabon. Unsur hara yang
dianalisa yaitu N, P, K, Ca, dan Mg.
f. Percobaan Pengaruh Kompos Daun Jabon Terhadap Semai Jabon
Pembuatan kompos dilakukan secara alami di bawah tegakan jabon. Metode yang
digunakan adalah modifikasi dari metode pengomposan Djamaludin dan
Wahyono (2008) yaitu serasah jabon segar dipotong kecil-kecil kemudian
dicampur dengan top soil (5:1) pada tegakan tersebut sebagai aktivator dan
dimasukkan ke dalam kantong nylon. Pembuatan kompos dilakukan ± selama 4
bulan, hingga daun jabon menyerupai bentuk tanah baik warna maupun
bentuknya.
Gambar 4 Pembuatan kompos alami
7
Penanaman menggunakan bibit jabon hasil persemaian dua bulan (tinggi ±
20 cm), selanjutnya dipindahkan ke dalam polibag berukuran 20 cm x 20 cm yang
sudah diisi media tanam tanah bekas tambang batubara yang dicampur kompos
serasah daun jabon, dengan perbandingan komposisi kompos sebagai perlakuan
yaitu 0% sebagai kontrol, 10%, 20%, dan 30%. Masing-masing perlakuan
dilakukan 5 kali ulangan, setiap ulangan terdiri dari 3 unit tanaman.
Parameter yang diukur adalah tinggi tanaman, diameter tanaman, jumlah
ruas daun, perhitungan biomassa kering tanaman, kekompakan media, dan
perhitungan nisbah pucuk akar pada setiap tanaman. Pengukuran tinggi, diameter,
dan jumlah ruas tanaman dilakukan setiap minggu selama 10 minggu.
Pada pengukuran pengaruh kompos digunakan rancangan percobaan
Rancangan Acak Lengkap (RAL). Adapun model rancangan yang digunakan
menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006) adalah sebagai berikut :
Yij = μ + αi + εij
Dimana:
i : 1,2,3,4
j : 1,2,3,4,5
Keterangan :
Yij : Pertumbuhan semai jabon pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ : Nilai rata-rata umum
αi : Nilai pengaruh perlakuan ke-i
εij : Nilai galat dari unit percobaan yang diberikan perlakuan ke-i pada
ulangan ke-j
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang diberikan terhadap peubah
yang diamati, maka dilakukan analisis data dengan menggunakan program
Statistik SAS . Bila perlakuan yang diberikan memberikan pengaruh nyata maka
dilakukan uji lanjut Duncan.
Analisis Data
Analisis Data Produktivitas Serasah
Nilai tengah (rata-rata) produktivitas serasah per plot setiap pengamatan
dengan rumus :
X
∑
gr/m2/periode
Dimana:
X
: rata-rata produksi serasah per plot setiap periode
Xi
: produksi serasah per plot setiap periode
N
: 10
Analisis Data Efisiensi Penggunaan Nutrisi / Nutrient Use Efficiency (NUE)
NUE merupakan konsep yang secara umum mendiskripsikan seberapa
baik tanaman menggunakan hara yang ada di dalam tanah untuk menghasilkan
8
biomassanya. Adapun penghitungannya didapatkan dari perhitungan rumus
(Binkley dan Vitousek 1996):
NUE =
L(%) =
× 100
g/m /tahun
g/m /tahun
Analisis Data Laju Dekomposisi
a. Penurunan bobot didapat dengan rumus (Guo dan Sim 2001):
Dimana:
W
: penurunan bobot
Wo
: bobot kering awal serasah (40 g)
Wt
: bobot kering akhir serasah (g) per periode waktu
b. Laju dekomposisi relatif / relative decomposition rate (RDR) (Dutta dan
Agrawal 2001)
Ln W
Ln Wt
interval pengamatan
RDR =
Dimana:
RDR : nilai dekomposisi relatif (g g-1 minggu-1)
W0
: bobot pada awal pengamatan
Wt
: bobot pada akhir pengamatan
c. Pendugaan Nilai Konstanta Laju Dekomposisi Serasah
Kecepatan dekomposisi serasah daun jabon dapat diduga dengan
menggunakan persamaan Olson (1963) sebagai berikut:
Wt = Wo e-kt
Sesuai dengan rumus tersebut pendugaan nilai konstanta laju dekomposisi serasah
dapat diturunkan melalui rumus sebagai berikut:
Ln (Wt/Wo) = -kt
Dimana:
Wt
: berat kering serasah pada waktu t pengamatan (g)
Wo
: berat kering serasah awal (g)
e
: bilangan logaritma natural (2.72)
k
: konstanta laju dekomposisi serasah
t
: waktu pengamatan
9
d. Pelepasan Hara dari serasah
Berkurangnya berat serasah dan pelepasan hara dihitung dengan
persamaan sebagai berikut (Guo dan Sim 2001):
x 100
R(%) =
Dimana:
R
: hara yang terlepas
Wt
: berat kering serasah pada waktu t pengamatan (g)
Wo
: berat kering serasah awal (g)
Co
: konsentrasi hara pada serasah awal
Ct
: konsentrasi hara pada waktu t pengamatan
Analisis Data Laju Pertumbuhan Relatif Bibit / Relative Growth Rates (RGR)
Kecepatan pertumbuhan dapat diketahui dengan menghitung pertambahan
tinggi dan diameter tanaman. Pertumbuhan relatif tanaman didapatkan dengan
formula (Hunt 1990):
Ln X
Ln X
interval pengamatan
RGR =
Dimana:
RGR : nilai pertumbuhan relatif (cm cm-1 minggu-1)
X1
: tinggi atau diameter pada akhir pengamatan
X0
: tinggi atau diameter pada awal pengamatan
Diagram Alir Penelitian
Secara ringkas, alur dari penelitian yang akan dilaksanakan dapat dilihat
pada Gambar 5.
Gambar 5 Diagram alir penelitian
10
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.)
Jabon merupakan jenis pohon cepat tumbuh dengan nama dagang Kadam.
Nama ilmiah A. cadamba Miq. ini bersinonim dengan Anthocephalus chinensis
(Lamk.) A. Rich. Ex. Walp., Anthocephalus macrophyllus (Roxb.) Havil., Nauclea
cadamba (Roxb.), Neolamarkcia cadamba (Roxb.) Bosser, Sarcocephalus
cadamba (Roxb.) Kurz., Anthocephalus indicus A. Rich., Anthocephalus
morindaefolius Korth.. Nama lokal di Indonesia: galupai, galupai bengkal,
harapean, johan, kalampain, kelampai, kelempi, kiuna, lampaian, pelapaian,
selapaian, serebunaik (Sumatera); jabon, jabun, hanja, kelampeyan, kelampaian
(Jawa); ilan, kelampayan, taloh, tawa telan, tuak, tuneh, tuwak (Kalimantan);
bance, pute, loeraa, pontua, suge manai, sugi manai, pekaung, toa (Sulawesi);
gumpayan, kelapan, mugawe, sencari (Nusa Tenggara); aparabire, masarambi
(Papua) (Martawijaya et al. 1989). Nama lokal di negara lain: bangkal, kaatoan
bangkal (Brunei); mau-lettan-she, maukadon, yemau (Birma); thkoow (Kamboja);
kadam, cadamba, common burr-flower tree (Inggris); koo-somz, sako (Laos);
kelempayan, laran, selimpoh (Malaysia); labula (Papua Nugini); kaatoan bangkal
(Filipina); krathum, krathum-bok, taku (Thailand); c[aa]y g[as]o, c[af] tom, g[as]o
tr[aws]ng (Vietnam) (Soerianegara dan Lemmen 1993).
Taksonomi jabon digolongkan sebagai berikut (Martawijaya et al. 1989):
Kingdom
: Plantae (tumbuhan)
Subkingdom
: Tracheobionta (berpembuluh)
Superdivisio
: Spermatophyta (menghasilkan biji)
Divisi
: Magnoliophyta (berbunga)
Kelas
: Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil)
Sub-kelas
: Asteridae
Ordo
: Rubiales
Familia
: Rubiaceae (suku kopi-kopian)
Genus
: Anthocephalus
Spesies
: Anthocephalus cadamba Miq.
Sifat Botani
Jabon merupakan pohon yang dapat mencapai tinggi sampai 45 meter,
mempunyai batang yang lurus dan silindris dengan tinggi bebas cabang lebih dari
25 meter. Diameter batang dapat mencapai 100-160 cm. Tegakan jabon umur 5
tahun memiliki riap diameter rata-rata 1.2-11.6 cm/tahun dan riap tinggi rata-rata
0.8-7.9 m/tahun (Krisnawati et al. 2011). Jabon termasuk ke dalam jenis intoleran
yang menghendaki adanya cahaya penuh selama periode hidupnya. Batang jabon
berbentuk silindris, bertajuk tinggi, dengan cabang mendatar, berbanir sampai
ketinggian 1.5 m, kulit luar berwarna kelabu-coklat sampai coklat, sedikit beralur
dangkal. Tajuk pohon jabon meninggi, tidak lebat dan agak gepeng dengan sistem
percabangan melingkar yang mengambil ruang secara teratur, sehingga baik sekali
pada pelingkarannya, cabang-cabang primernya biasanya agak mendatar dan
gugur daun di dalam hutan musim (Direktorat Jenderal Kehutanan 1980).
11
Tanaman jabon sudah dikenal masyarakat sejak lama, namun
popularitasnya semakin menanjak karena serangan penyakit yang terjadi pada
tanaman sengon (Falcataria moluccana). Adanya kasus ini menyebabkan petani
mencari alternatif tanaman lain yang pertumbuhannya cepat dengan kualitas kayu
yang bagus dan tahan terdapat serangan hama penyakit. Tanaman jabon berasal
dari daerah beriklim muson tropika. Tanaman ini lebih menyukai tempat yang
lembab, misalnya di tepi sungai dan rawa (Mansur dan Tuheteru 2010).
Daun jabon merupakan daun tunggal, bertangkai panjang 1.5-4 cm dengan
helaian daun agak besar (panjang 15-30 cm dan lebar 7-8 cm). Di awal
pertumbuhannya, yakni 2-3 bulan setelah tanam, pada tanah yang subur dan cukup
air daun jabon dapat berkembang hingga berukuran panjang 68 cm dan lebar 38
cm. Permukaan daun jabon tidak berbulu atau kadang-kadang di sebelah bawah
pada tulang daun terdapat rambut halus yang mudah lepas dan bertulang daun
sekunder jelas (10-12 pasang). Secara fisiologi, daun tanaman jabon umur 12 hari
mulai memiliki kemampuan untuk melakukan fotosintesis, yakni melalui
perluasan daun secara penuh (full leaf expansion=FLE), 15% FLE daun yang
masih muda berwarna merah, 56% FLE daun berwarna hijau kemerahan, 100%
FLE berwarna hijau cerah dan pada daun tua berwarna hijau. Pada daun jabon
mengandung total klorofil 7.92 mg/g berat kering daun (Mansur dan Tuheteru
2010).
Jabon memiliki daun yang saling berhadapan, tumpul, kira-kira duduk
hingga bertangkai. Bentuk daun bulat telur hingga lonjong dengan ukuran panjang
15-50 cm dan lebar 8-25 cm. Bagian pangkal berbentuk agak menyerupai jantung,
bagian ujung lancip di ujungnya. Penumpu antar tangkai berbentuk segitiga
sempit dan mudah rontok. Perkembangbiakan jabon dimungkinkan dengan
regenerasi alam dari biji, dengan semai yang ditumbuhkan di tempat pembibitan,
dengan tunggul dan stek batang. Diperlukan teknik-teknik khusus untuk
memperoleh biji jabon yang sangat kecil (Soerianegara dan Lemmens 1993).
Perbungaan jabon terdiri atas kepala-kepala bulat, menyendiri di ujung
tanpa daun gagang. Bunga agak duduk pada penyangga lokus, berkelamin dua,
aktinomorf, terbagi menjadi 5 bagian. Tabung kelopak berbentuk corong, mahkota
gamopetal, jumlah benang sari 5 yang menipis pada tabung mahkota, tangkai sari
pendek dan kepala sari melekat di pangkal (Soerianegara dan Lemmens 1993).
Produksi benih tanaman jabon biasanya dimulai pada umur 5 tahun. Pohon mulai
berbunga pada umur 4 tahun. Periode berbunga biasanya sekitar 2-5 bulan. Di
Indonesia, musim berbunga umumnya terjadi pada bulan April-Agustus, kadangkadang Maret-November dan musim berbuah terjadi pada bulan Juni-Agustus
(Martawijaya et al. 1989).
Jabon memiliki bakal buah inferior, beruang 2 dan terkadang 4 di bagian
atas, tangkai putik terjulur, kepala putik berbentuk gelondong. Buah kecil, banyak
sekali, agak berdaging bagian atas memuat 4 struktur yang berlubang atau padat
(Soerianegara dan Lemmens 1993). Panjang biji 0.5 mm, biji berbentuk trigonal
atau tidak teratur dan tidak bersayap (Sutisna et al. 1998). Buah jabon
mengandung biji yang sangat kecil, berbentuk kapsul berdaging yang
berkelompok rapat bersama untuk membentuk daging buah yang berisi sekitar 8 x
103 biji, dan jumlah benih kering 2.7 x 107 butir per kilogram (Soerianegara dan
Lemmens 1993).
12
Penyebaran Alami dan Syarat Tumbuh
Pohon jabon tumbuh secara alami di India, Nepal dan Bangladesh ke arah
timur melalui Malaysia hingga Papua Nugini. Jenis ini telah ditanam sebagai
pohon hias dan pohon perkebunan dan telah berhasil diperkenalkan ke Afrika
Selatan, Puerto Rico, suriname, Taiwan, dan Negara-negara lainnya di kawasan
tropika dan subtropika. Sebaran tumbuh di Indonesia sebagaian besar di Jawa
Barat dan jawa Timur, seluruh Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, NTB, dan
Irian Jaya. Jabon dapat tumbuh pada kondisi lahan marginal dengan drainase yang
cukup baik. Jenis ini tumbuh di hutan primer dan banyak terdapat di hutan
sekunder (Soerianegara dan Lemmens 1993).
Habitat alami jabon memiliki karakteristik, antara lain: ketinggian tempat
tumbuh 300-800 m dpl, dengan suhu optimum 23 ºC, curah hujan rata-rata 15005000 mm/tahun, dan dapat hidup pada berbagai tipe tanah. Produktivitas jabon
optimal pada ketinggian tempat kurang dari 500 m dpl. Kondisi lingkungan
tumbuh yang baik untuk jabon ialah: tanah lempung, podsolik cokelat, dan
alluvial lembab yang biasanya terdapat di daerah pinggir sungai, daerah peralihan
antara tanah dan rawa, dan tanah kering yang terkadang tergenang air. Umumnya,
jabon ditemukan di hutan sekunder dataran rendah, dasar lembah, sepanjang
sungai dan punggung-punggung bukit (Mansur dan Tuheteru 2010).
Kegunaan
Jabon merupakan jenis tumbuhan lokal yang dapat direkomendasikan
untuk dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman karena pemanfaatan
kayunya sudah dikenal luas oleh masyarakat. Jabon merupakan jenis kayu yang
mempunyai berat jenis rata-rata 0.42 (0.29-0.56), kelas kuat III-IV dan kelas awet
V. Kayu jabon banyak digunakan untuk korek api, kayu lapis, peti pembungkus,
cetakan beton, mainan anak-anak, pulp dan kertas, kelompen dan konstruksi
darurat yang ringan. Kayunya mudah dibuat venir tanpa perlakuan pendahuluan
dengan sudut kupas 92º untuk tebal 1.5 mm. Perekatan venir kayu jabon dengan
urea-formaldehida menghasilkan kayu lapis yang memenuhi persyaratan standar
Indonesia, Jepang, dan Jerman (Martawijaya et al. 1989).
Jabon memiliki riap yang besar dengan daur pendek. Di Indonesia daur
maksimal jabon adalah 30 tahun yang menghasilkan riap kayu pertukangan ratarata 24 m3ha-1tahun-1. Menurut Direktorat Jenderal Kehutanan (1980) untuk
menghasilkan venir dan kayu lapis diperkirakan daur pada umur 20 tahun.
Sedangkan untuk keperluan pulp dan kertas hanya diperlukan daur 10 tahun.
Jika dikeringkan dengan baik, kayu jabon dapat digunakan untuk membuat
sampan atau perabot. Kayu jabon baik digunakan sebagai lapisan permukaan
maupun lapisan ini dalam industri kayu lapis dan sesuai untuk membuat papan
partikel, papan bersemen, dan papan kertas. Kegunaan kayu jabon terpenting ialah
untuk membuat kertas bermutu rendah hingga sedang. Jabon juga berfungsi
sebagai pohon peneduh yang digunakan untuk reboisasi dan rehabilitasi lahan.
Papagan (kulit batang) yang sudah dikeringkan digunakan untuk mengurangi
demam dan sebagai tonik (Soerianegara dan Lemmens 1993). Daun tanaman
jabon dapat dijadikan sebagai obat kumur dan makanan ternak sedangkan buahnya
dapat dikonsumsi (Lembaga Biologi Nasional 1980).
Di India, jenis jabon mulai dari bunga, buah, daun kulit kayu, dan akarnya
ternyata sudah dimanfaatkan secara komersial. Daun jabon dapat digunakan
13
sebagai obat pelangsing dan obat kumur. Ekstrak daun jabon dipercaya
mengandung senyawa yang bersifat antimikroba. Selain itu daun jabon digunakan
juga sebagai alas makanan dan pakan tenak. Bunga jabon dapat digunakan sebagai
sumber bahan parfum khas India yang disebut ‘attar’. Selain itu, pohon jabon juga
menjadi salah satu jenis yang bunganya dikembangkan untuk mendukung usaha
lebah madu. Getah kuning dan kulit akar dapat digunakan sebagai bahan celupan
pewarna kuning yang dapat dimanfaatkan dalam usaha kerajinan tangan. Kulit
kayu yang telah kering dapat dimanfaatkan untuk mengobati demam dan sebagai
obat kuat. Campuran bubuk kulit kayu jabon dengan kulit mangga (Mangifera
indica) dan tanaman meranti (Shorea robusta) dimanfaatkan untuk mengobati
penyakit kolera dan sroke, sedangkan seduhan kulit batangnya dipercaya dapat
menyembuhkan penyakit disentri (Mansur dan Tuheteru 2010).
Karakteristik Tegakan Jabon
Tegakan jabon yang digunakan dalam penelitian ini ditanam dengan pola
monokultur yaitu tidak mencampurkan dengan jenis lain. Pada lokasi tegakan
seluas 1000 m2 yang ditanam dengan jarak 3 m x 2.5 m terdapat 92 pohon.
Diameter rata-rata tegakan jabon umur 4 tahun adalah 18.60 cm dengan nilai
dimater terbesar 34.10 cm. Sedangkan untuk rata-rata tinggi total pohon adalah
15.50 m dengan tinggi total terbesar adalah 20.25 m. Rata-rata tinggi bebas
cabang adalah 10.50 m dengan tinggi bebas cabang terbesar 14.25 m.
Menurut penelitian Seo (2013) dimana dalam penelitian tersebut
membandingkan 20 lokasi tegakan jabon, termasuk salah satunya adalah lokasi
penelitian ini, pada beberapa lokasi penanaman di Jawa Barat (Bogor, Sukabumi,
Sumedang dan Purwakarta) dikelompokan dalam tiga katagori baik, sedang dan
buruk. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa lokasi penelitian ini termasuk
dalam katagori baik. Menurut Seo (2013), hasil dari perbandingan antara lokasi
baik dan buruk, tampak kondisi lokasi dan kesuburan tanah lebih memberikan
pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan jabon, dibandingkan dengan praktek
silvikultur seperti pemupukan dan pemeliharaan. Hasil analisis tanah tegakan
jabon di lokasi penelitian disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Hasil analisis tanah tegakan jabon
No
1
2
3
5
6
7
Parameter Pengujian
pH
C-org
N Total
P Tersedia
K
Tekstur
Satuan
Nilai
%
%
ppm
ppm
5.2
1.06
0.14
2.7
198.9
liat
Katagori (Sulaeman et
al. 2005)
Masam
Rendah
Rendah
Sangat Rendah
Sangat Tinggi
Selain dilakukan analisis terhadap sifat fisik dan kimia tanah, dilakukan
pula analisis terhadap sifat biologi tanah yaitu makrofauna dan mikroorganisme
tanah. Fauna tanah merupakan salah satu komponen hayati di dalam tanah. Di
kalangan fauna tanah, makrofauna berpotensi besar mempengaruhi langsung sifatsifat fungsional tanah. Golongan tertentu makrofauna tanah yaitu cacing tanah
14
dapat mengubah struktur tanah sehingga dapat mempengaruhi infiltrasi, aerasi dan
yang paling utama mempengaruhi kesuburan tanah.
Diantara fauna tanah di daerah humid sedang, cacing tanah merupakan
penyumbang bahan organik tanah yang besar, yaitu berkisar 100 kg/ha (0.005 %)
dengan populasi 7000 ekor hingga 1000 kg/ha dengan populasi 1 juta ekor (Foth
1984 dalam Hanafiah 2005). Menurut Tian et al. (1995) peranan cacing tanah,
baik secara langsung maupun tak langsung dalam meningkatkan kesuburan tanah
dalam kaitannya terhadap perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah yaitu
menguraikan bahan organik dan meningkatkan laju siklus nutrisi, memindahkan
bahan organik dan mikroorganisme ke dalam tanah, membentuk struktur tanah
dan mengurangi kepadatan tanah, meningkatkan porositas tanah sehingga dapat
meningkatkan infiltrasi air dan mengurangi run off serta dapat meningkatkan
respirasi tanah, meningkatkan aktivitas mikroorganisme, dan membuka lapisan
subsoil sehingga memudahkan pertumbuhan akar tanaman.
Pada lokasi penelitian rata-rata bobot basah cacing tanah adalah 82.4 g m2
. Dalam hal ini bobot basah cacing tanah yang diperoleh lebih besar jika
dibandingkan dengan hasil penelitian Fragoso dan Lavelle (1992) di hutan-hutan
hujan tropik di Meksiko, Amerika Tengah dan Selatan, Afrika Tengah dan Barat
serta Asia Tenggara yang hanya mencapai 12.9 g m-2. Besarnya bobot basah
cacing dapat diduga berhubungan dengan besarnya bahan organik tanah dan iklim
mikro kondisi tegakan tersebut. Tingginya bahan organik tanah dapat diduga dari
jatuhan serasah daun jabon yang melimpah. Hal ini didukung oleh pendapat
Lavelle (1988) bahwa serasah daun-daunan dianggap sebagai sumber yang baik
bagi cacing tanah karena relatif tinggi kandungan karbohidrat yang dapat
diasimilasi dan rendah kandungan lignoselulosanya. Selain itu besarnya bobot
basah dapat pula diduga karena aktivitas, pertumbuhan, respirasi dan reproduksi
cacing tanah sangat dipengaruhi oleh suhu. Hasil penelitian Sihombing et al.
(1982) juga menyatakan bahwa perkembangan cacing tanah lokal lebih baik pada
suhu 26.5 ºC dibandingkan pada suhu 29 ºC pada kisaran pH 6.0-7.5 dan tanah
tempat hidupnya tidak terkena sinar matahari langsung. Pernyataan ini sesuai
dengan kondisi lokasi penelitian dimana suhu rata-rata berkisar antara 24.7 ºC 26.8 ºC dan pH berkisar 5.5 sehingga kondisi ini sesuai bagi perkembangan
cacing tanah hingga didapatkan bobot cacing yang besar.
Aspek biologi tanah yang juga dianalisis adalah mikroorganisme tanah.
Mikroorganisme tanah merupakan jasad hayati tanah yang keberadannya bisa
menguntungkan maupun merugikan. Jasad hayati yang menguntungkan ini,
berperan dalam proses dekomposisi bahan organik dan pengikatan atau
penyediaan unsur hara yang keduanya bermuara pada penyediaan hara tersedia
bagi tanaman. Indikator yang dapat digunakan untuk mencerminkan populasi dan
aktivitas mikroorganisme tanah secara umum adalah dengan mengetahui jumlah
total mikroorganisme dan laju respirasi.
Jumlah total mikroorganisme dalam tanah dapat digunakan sebagai indeks
kesuburan tanah, karena pada tanah yang subur jumlah mikroorganismenya tinggi.
Populasi yang tinggi menggambarkan adanya suplai makanan atau energi yang
cukup ditambah temperatur yang sesuai, ketersediaan air yang cukup, dan kondisi
ekologi lain yang mendukung (Hanafiah 2005). Berdasarkan hasil analisis
laboratorium diketahui pada lokasi tegakan jabon umur 4 tahun jumlah
mikroorganisme tanah sebesar 49 x 106 SPK/g. Nilai ini lebih besar jika
15
dibandingkan dengan tegakan Acacia crassicarpa umur 4 tahun yaitu jumlah
mikroorganisme tanahnya hanya 4.9 x 106 SPK/g (Aprianis 2011).
Pengukuran respirasi (mikroorganisme tanah) merupakan cara yang
pertama kali digunakan untuk menentukan tingkat aktivitas miroorganisme tanah.
Penetapan respirasi tanah didasarkan pada dua penetapan yaitu jumlah CO2 yang
dihasilkan, dan jumlah O2 yang digunakan oleh mikroorganisme tanah. Kecepatan
respirasi lebih mencerminkan aktivitas metabolik daripada jumlah, tipe atau
perkembangan mikroorganisme tanah (Hanafiah 2005). Berdasarkan hasil analilis
laboratorium pada tanah tegakan jabon umur 4 tahun memiliki kecepatan
respirasi 14.7 mg C-CO2/kg tanah/hari.
Produksi Serasah
Serasah merupakan lapisan tanah bagian atas yang terdiri dari bagian
tumbuhan yang telah mati seperti guguran daun, ranting dan cabang, bunga dan
buah, kulit kayu serta bagian lainnya, yang menyebar di permukaan tanah di
bawah hutan sebelum bahan tersebut mengalami dekomposisi (Departemen
Kehutanan 1997). Menurut Nasoetion (1990), serasah dapat diartikan berasal dari
lapisan teratas dari permukaan tanah yang mungkin terdiri atas lapisan tipis sisa
tumbuhan. Spurr dan Burton (1980) mengemukakan bahwa serasah merupakan
bahan organik yang berasal dari tumbuhan atau hewan yang terdapat di atas
permukaan tanah yang tersusun oleh bahan-bahan yang sudah mati.
Soerianegara (1964), menjelaskan bahwa serasah yang jatuh di permukaan
tanah merupakan bagian dari tumbuhan yang telah mati dan belum mengalami
dekomposisi dan meneralisasi. Bahan organik yang hilang melalui jatuhan serasah
dijadikan sebagai salah satu faktor yang dapat dipakai untuk mengetahui nilai
produktivitas primer netto. Serasah berfungsi sebagai penyimpan air sementara
dimana secara berangsur-angsur akan melepaskan ke tanah bersama dengan bahan
organik berbentuk zarah yang larut, memperbaiki struktur tanah, dan menaikkan
kapasitas penyerapan (Arief 1994).
Produktivitas serasah adalah jumlah serasah yang jatuh ke lantai hutan
pada periode tertentu per satuan luas tertentu (Departemen Kehutanan 1997).
Hilwan (1993), menambahkan bahwa produktivitas serasah adalah jumlah serasah
yang jatuh di atas permukaan tanah dalam periode tertentu dan dinyatakan dalam
ton ha-1 tahun-1 atau g m-2 tahun-1 atau kg ha-1 tahun-1.
Soerianegara (1964) mengemukakan bahwa pengukuran produktivitas
serasah dapat dinyatakan dalam berbagai satuan. Dalam kehutanan, produksi
hutan dinyatakan dalam m3 atau m3ha-1, sedangkan dalam ekologi, produktivitas
diukur pada suatu waktu dan disebut biomassa dinyatakan dalam satuan bobot per
satuan luas, misalnya g m-2 atau kg ha-1 tahun-1atau g m-2 hari-1.
Daun merupakan katagori serasah terbesar, diikuti ranting, buah, dan
bunga (Strojan et al. 1979). Sekitar 70% dari total serasah di permukaan tanah
berupa serasah daun. Komposisi dan besarnya produksi serasah sangat bervariasi
dari tahun ke tahun. Deshmukh (1992), menyatakan bahwa dari waktu ke waktu
produktivitas serasah tidak seragam. Komponen pembentuk lapisan serasah
tumbuhan tidak homogen, tersusun atas campuran organ tumbuhan seperti 72%
daun, 16% kayu, dan 7 % bunga dan buah. Produksi rata-rata serasah pertahun
tertinggi dalam hutan tropis dan berangsur menurun menurut garis lintangnya,
16
hingga hutan boreal di daerah kutub dimana produksi serasah tahunannya paling
rendah (Bray dan Gorham 1964).
Produktivitas serasah pada suatu ekosistem hutan dapat digunakan sebagai
penduga sumbangan bahan organik yang berguna bagi kesuburan tanah
lingkungan sekitarnya (Odum 1971). Studi mengenai produktivitas digunakan
untuk membandingkan suatu ekosistem hutan yang berbeda melalui ukuran
produksi serasah. Tujuan utamanya untuk menyediakan informasi dasar dalam
memahami serasah, karbon, dan siklus nutrisi dalam ekosistem hutan sesuai
dengan fungsinya. Produktivitas tidak hanya menyediakan informasi tentang
bagaimana ekosistem hutan beraksi terhadap berbagai perlakuan, tetapi juga
memahami perilaku adaptasi dan integrasi komunitas terhadap lingkungannya
(Spurr dan Burton 1980).
Dalam penelitian ini yang dimaksudkan serasah hanya berfokus pada
sesasah daun saja. Produktivitas serasah adalah jumlah serasah yang jatuh ke
lantai hutan pada periode tertentu per satuan luas tertentu (Departemen Kehutanan
1997). Hilwan (1993), menambahkan bahwa produktivitas serasah adalah jumlah
serasah yang jatuh di atas permukaan tanah dalam periode tertentu dan dinyatakan
dalam ton ha-1 tahun-1 atau g m-2 tahun-1 atau kg ha-1 tahun-1.
Hasil pengamatan produksi serasah pada umur tegakan 4 tahun disajikan
pada Tabel 2.
Tabel 2 Rata-rata produksi serasah daun di lantai hutan jabon pada umur
pengamatan 4 tahun
Berat kering serasah daun A.cadamba selama 12 minggu
Parameter
Ratarata
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Produksi
(g m-2)
21.1
14.2
29.5
15.9
27.7
15.7
20.5
18.4
26.4
22.6
31.0
24.0
22.25
Curah hujan
(mm)
92.3
156.8
121.4
63.8
74.7
105.4
15.8
129.1
259.6
95.3
21.1
122.8
104.84
25.6
25.6
25.6
26.3
26.8
25.3
26
24.7
24.8
25.1
25.8
25.5
25.59
80
86
83
84
85
88
85
91
89
90
85
87
86.08
Temperatur
(ºC)
Kelembaban
Relatif
(%)
Faktor lingkungan yang mempengaruhi produktivitas serasah suatu
ekosistem adalah iklim, topografi, sifat tanah, letak geografis, air, dan ketinggian
dari permukaan laut (Odum 1971). Selain itu produktivitas serasah juga
dipengaruhi oleh umur pohon, kualitas tempat tumbuh serta kerapatan tegakan dan
tumbuhan bawah (Spurr dan Burton 1980).
Berdasarkan Tabel 2, diketahui bahwa rata-rata produktivitas serasah daun
jabon pada umur tegakan 4 tahun , selama 12 minggu pengamatan adalah 22.25 g
m-2 minggu-1. Nilai ini lebih besar jika dibandingkan dengan tegakan A.
crassicarpa umur 4 tahun yang hanya memiliki nilai produktivitas serasah sebesar
10.86 g m-2 minggu-1 (Aprianis 2011). Produksi serasah yang terbesar terdapat
pada pengukuran minggu ke-11. Pada saat produksi serasah yang besar diketahui
17
pada saat curah hujan sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa produksi serasah
diduga ada kaitannya dengan ketersedian air. Menurut Sallata et al. (1990)
produktivitas serasah akan meningkat dan mencapai maksimum pada musim
kemarau dan menurun pada musim hujan. Hal ini terjadi karena pada musim
kemarau persaingan diantara tanaman dan antar organ dalam satu tanaman untuk
mendapat air sehingga akan menyababkan terjadinya efisiensi dalam proses
fotosintesis dan tanaman akan cepat melakukan regenerasi. Selain itu, jenis
penyusunan, tingkat kerapatan pohon, dan luas bidang dasar suatu tegakan
diketahui akan berpengaruh terhadap produktivitas serasah suatu tegakan
(Departemen Kehutanan 1997).
Faktor lain yang mempengaruhi produktivitas serasah menurut Bray dan
Gorham (1964), adalah:
1. Tipe hutan, dimana hutan gymnospermae lebih banyak menggugurkan
serasah dibandingkan hutan angiospermae walaupun hutan angiospermae
cenderung menduduki lahan yang lebih subur.
2. Kondisi linkungan seperti iklim, derajat lintang, ketinggian, k
PELEPASAN HARA SERASAH PADA TEGAKAN JABON
(Anthocephalus cadamba Miq.)
RIFA’ ATUNNISA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Produktivitas, Laju
Dekomposisi, dan Pelepasan Hara Serasah pada Tegakan Jabon (Anthocephalus
cadamba Miq.) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Rifa’ Atunnisa
NIM 451110111
RINGKASAN
RIFA’ ATUNNISA. Produktivitas, Laju Dekomposisi, dan Pelepasan Hara
Serasah pada Tegakan Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.). Dibimbing oleh
IRDIKA MANSUR dan OMO RUSDIANA.
Usaha mempertahankan ketersediaan hara pada tanah merupakan hal yang
sangat penting dalam upaya mempertahankan produktivitas hutan tanaman.
Siklus hara atau daur ulang hara dalam ekosistem memegang peranan penting bagi
ketersediaan hara di dalam ekosistem hutan yang terdiri dari input, simpanan dan
output hara. Pada siklus tersebut, hara yang diserap oleh akar tegakan (pohon)
dikembalikan ke dalam tanah (input hara) oleh serasah yang jatuh, tanaman bawah
yang mati maupun sisa pemanenan yang ditinggal di lahan melalui proses
dekomposisi. Jenis pohon jabon putih (Anthocephalus cadamba Miq.), merupakan
salah satu jenis pohon yang memiliki prospek tinggi untuk hutan tanaman industri
dan tanaman reboisasi (penghijauan) di Indonesia. Penelitian ini bertujuan
menghitung produktivitas, laju dekomposisi, kandungan hara dan pelepasan hara
serasah jabon, dan menguji pengaruh pemberian kompos serasah daun jabon
terhadap pertumbuhan semai jabon yang ditanam pada media tanah bekas
tambang batubara.
Penelitian dilakukan pada tegakan jabon umur 4 tahun. Metode
pengumpulan produktivitas serasah menggunakan litter trap dilakukan setiap satu
minggu sekali selama 12 minggu. Metode pengumpulan data laju dekomposisi
menggunakan 120 kantung serasah yang diletakkan di atas tanah tegakan jabon
yang diambil setiap minggu sekali selama 12 minggu. Pengumpulan data
pertumbuhan semai jabon yang diaplikasikan kompos serasah daun jabon
dilakukan selama 10 minggu.
Hasil penelitian menunjukkan total produktivitas serasah selama 12 minggu
sebesar 22.25 g m-2 minggu-1 atau setara dengan 11.57 ton ha-1 tahun-1. Konstanta
laju dekomposisi (k) sebesar 0.09 (minggu) dan laju dekomposisi relatif adalah
0.086 g g-1 minggu-1. Waktu yang dibutuhkan serasah jabon untuk terdekomposisi
50 % dari berat kering awal (paruh waktu) adalah 53 hari. Besarnya kandungan
hara serasah berturut turut dari yang terbesar adalah Ca, N, Mg, K dan P yaitu
sebesar 238 kg ha-1, 230 kg ha-1, 151 kg ha-1, 110 kg ha-1, dan 44 kg ha-1.
Persentase pelepasan hara serasah terbesar pada unsur Mg yaitu sebesar 98.11 %
selama proses dekomposisi 12 minggu.
Pemberian kompos serasah daun jabon pada media tanam tanah bekas
tambang batubara berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi dan diameter,
laju pertumbuhan relatif tinggi dan diameter, biomassa total, pucuk dan akar,
namun tidak berpengaruh nyata pada rasio pucuk akar pada tingkat kepercayaan
95 %. Dosis pemberian kompos 30 % dapat meningkatkan pertambahan tinggi
sebesar 69 %, tinggi sebesar 74 %, dan meningkatkan biomassa total sebesar 193
% jika dibandingkan dengan kontrol.
Kata kunci: kadam, serasah, laju dekomposisi, unsur hara, pelepasan hara,
tambang batu bara
SUMMARY
RIFA’ ATUNNISA. Litterfall Productivity, Decomposition Rate, and Nutrient
Release of Anthocephalus cadamba Miq. Supervised by IRDIKA MANSUR and
OMO RUSDIANA.
Maintaining the nutrient supply in soil is crucial for sustaining productivity.
Nutrient cycling in ecosystem provide available nutrient through inputs, storage
pools, and outputs. In nutrient cycle, plant nutrient uptake from soil and return to
soil from litterfall, coverground species, and remain harvest plant through
decomposition process. Jabon putih (Anthocephalus cadamba Miq.) is one of
Indonesia native species which has high prospect for plantation forest and
revegetation in degraded ecosystem, such caused by mining operations. The soil
of overburden dumps in coal mining are physically, nutritionally and biologically
poor. This study was conducted to calculate productivity, decomposition rate,
nutrient content and nutrient release to 4-year-old jabon plantation, also to test the
application of jabon compost that applied to jabon seedling with soil from coal
mine as planting media.
Research was conducted at 4-year-old jabon plantation. Method of Litterfall
productivity use litterfall collection traps every week during 12 weeks.
Decomposition rate was used litter bag technique, with 120 of bags which placed
above soil floor. Collecting data for use application of jabon compost was held
during10 weeks.
Total productivity during 12-week is 22.25 g m-2 week-1 or 11.57 ton ha-1
-1
yr . Rate decay constant (k) is 0.09 week-1 and relative decomposition rate was
0.086 g g-1 week-1. Nutrient input from leaf litter, from highest to lowest, in the
following order: Ca (238 kg ha-1 )> N (230 kg ha-1)> Mg (151 kg ha-1)> K (110 kg
ha-1)> P (44 kg ha-1). Magnesium has the highest percentage of nutrient release
that is 98.11 % during 12-week decomposition.
Application of jabon compost to soil from coal mine has significant effects
on height and diameter growth, total biomass, and shoot and root biomass, but it
did not significantly effected on shoot-root ratio. Combination between media and
30 % jabon compost increased plant height by 69 %, diameter by 72 %, and
biomass total by 193 % compared with control treatment.
Keywords: kadam, litter, decomposition rate, nutrient release, coal mine soil
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PRODUKTIVITAS, LAJU DEKOMPOSISI, DAN PELEPASAN
HARA SERASAH PADA TEGAKAN JABON
(Anthocephalus cadamba Miq.)
RIFA’ ATUNNISA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Silvikultur Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Basuki Wasis, MS
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2012 ini ialah
serasah daun jabon, dengan judul Produktivitas, Laju Dekomposisi, dan Pelepasan
Hara Serasah pada Tegakan Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Irdika Mansur dan Bapak
Dr Ir Omo Rusdiana selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada Bapak Sukanto Tanoto melalui Tanoto Foundation telah
memberikan beasiswa kepada penulis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada ayah, ibu, adik-adik, seluruh keluarga, dan teman-teman seperjuangan atas
segala doa, kasih sayang, dan dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2013
Rifa’ Atunnisa
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis
1
1
2
3
3
2 METODE
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Waktu dan Tempat Penelitian
Alat dan Bahan
Metode Pengambilan Data
Analisis Data
3
3
4
4
4
7
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.)
Karakteristik Tegakan Jabon
Produksi Serasah
Efisiensi Penggunaan Hara
Dekomposisi Serasah
Pengaruh Kompos Daun Jabon Terhadap Semai Jabon
10
10
13
15
17
18
26
4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
35
35
36
DAFTAR PUSTAKA
36
LAMPIRAN
40
RIWAYAT HIDUP
41
DAFTAR TABEL
1. Hasil analisis tanah tegakan jabon
2. Rata-rata produksi serasah daun di lantai hutan jabon pada umur
pengamatan 4 tahun
3. Sumbangan unsur hara dari serasah jabon
4. Laju dekomposisi serasah daun jabon
5. Rata-rata produksi serasah dan laju dekomposisi
beberapa jenis tanaman tropis
6. Akumulasi nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, dan magnesium pada
beberapa tanaman tropis
7. Kandungan hara serasah daun segar dan kompos jabon
8. Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam pertumbuhan semai jabon
9. Uji lanjut Duncan pertambahan tinggi semai jabon
10. Uji lanjut Duncan pertambahan diameter semai jabon
11. Uji lanjut Duncan laju pertumbuhan tinggi semai jabon
12. Uji lanjut Duncan laju pertumbuhan diameter semai jabon
13. Uji lanjut Duncan biomassa total semai jabon
14. Uji lanjut Duncan biomassa pucuk semai jabon
15. Uji lanjut Duncan biomassa akar semai jabon
16. Rasio pucuk akar semai jabon
13
16
17
20
24
25
27
28
29
29
30
30
31
31
32
32
DAFTAR GAMBAR
1. Diagram siklus hara
2. Litter trap
3. Kantong serasah
4. Pembuatan kompos alami
5. Diagram alir penelitian
6. Serapan hara dan NUE biomassa serasah daun jabon
7. Persamaan laju dekomposisi serasah tanaman jabon
8. Perubahan serasah daun jabon
9. Persentase pelepasan hara serasah selama proses dekomposisi
10. Bagan analisis hubungan langsung dan tidak langsung dari beberapa
faktor yang mempengaruhi nilai konstanta laju dekomposisi (k)
11. Kompos daun jabon selama pengomposan 3 bulan
12. Pertumbuhan diameter semai jabon
13. Pertumbuhan tinggi semai jabon
14. Perlakuan tanpa pemberian kompos dan dengan pemberian kompos
15. Bibit tanpa pemberian kompos dan dengan pemberian kompos
16. Perakaran pada media tanpa pemberian kompos
dan dengan pemberian kompos
2
5
6
6
9
18
20
21
22
23
27
28
29
32
33
34
DAFTAR LAMPIRAN
1. Hasil analisis tanah tambang
2. Data iklim mikro pada tegakan jabon.
40
40
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Usaha mempertahankan ketersediaan hara pada tanah merupakan hal yang
sangat penting dalam upaya mempertahankan produktivitas hutan tanaman.
Keberadaan hara yang dapat diserap oleh tanaman sangat penting digunakan untuk
pertumbuhan, perkembangan dan proses reproduksi tanaman tersebut.
Siklus hara atau daur ulang hara dalam ekosistem memegang peranan
penting bagi ketersediaan hara di dalam ekosistem hutan yang terdiri dari input,
simpanan dan output hara. Pada siklus tersebut, hara yang diserap oleh akar
tegakan (pohon) dikembalikan ke dalam tanah (input hara) melalui serasah yang
jatuh, tanaman bawah yang mati maupun sisa pemanenan yang ditinggal di lahan.
Output hara dapat diakibatkan oleh hasil panen yang dibawa keluar lahan, erosi,
aliran permukaan, dan pencucian hara, sedangkan simpanan hara merupakan
ketersediaan hara di tanah pada waktu tertentu (Gambar 1). Hilangnya beberapa
unsur hara ini, dapat menyebabkan kesuburan tanah menurun sehingga pada
tingkat tertentu tanah tidak mampu mendukung pertumbuhan tanaman secara
normal. Serasah menjadi sumber bahan organik tanah dimana melalui proses
dekomposisi, yaitu saat serasah jatuh ke lantai tanah terjadi proses perombakan
dan penghancuran bahan organik menjadi partikel yang lebih kecil sehingga
menjadi unsur hara terlarut yang dimediasi oleh organisme dan mikroorganisme
(Thaiutsa dan Granger 1979; Fisher dan Binkley 2000).
Bahan organik tanah merupakan salah satu bahan pembentuk agregat
tanah, yang mempunyai peran sebagai bahan perekat antar partikel tanah untuk
bersatu menjadi agregat tanah, sehingga bahan organik penting dalam
pembentukan struktur tanah. Keberadaan serasah selain sebagai sumber bahan
organik, juga mempunyai peranan penting dalam pemeliharaan produktivitas
tegakan yaitu mencegah erosi dan peningkatan porositas tanah sehingga proses
penyerapan air ke dalam tanah akan berlangsung dengan baik (Fisher dan Binkley
2000). Oleh karena itu, jenis-jenis tanaman yang serasahnya mudah
terdekomposisi sangat baik ditanam pada lahan-lahan kritis seperti lahan bekas
pertambangan.
Jenis pohon jabon putih (Anthocephalus cadamba Miq.), merupakan salah
satu jenis pohon yang memiliki prospek tinggi untuk hutan tanaman industri dan
tanaman reboisasi (penghijauan) di Indonesia, karena pertumbuhannya yang cepat,
kemampuan beradaptasinya pada berbagai kondisi tempat tumbuh, dan perlakuan
silvikulturnya yang relatif mudah. Jenis ini juga diharapkan menjadi semakin
penting bagi industri perkayuan di masa mendatang, terutama ketika bahan baku
pertukangan dari hutan alam diperkirakan akan semakin berkurang. Pada saat ini
jabon banyak dibudidayakan oleh petani, terutama di Kalimantan dan Jawa.
Beberapa daerah di Jawa, jabon pada umumnya ditanam untuk menggantikan
tanaman jati yang miskin riap setelah pemanenan (Nair dan Sumardi 2000). Selain
itu, jenis ini banyak dikembangkan sebagai jenis pionir dalam rangka perbaikan
lahan-lahan marginal seperti lahan-lahan bekas pertambangan (Mansur dan
Tuheteru 2010).
2
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Ruhiyat (1989) dalam
Folster dan Khanna (1997), implikasi dari penanaman jenis cepat tumbuh, terjadi
pengurasan unsur hara yang lebih cepat daripada jenis tanaman dengan rotasi yang
lebih panjang. Oleh karena jabon adalah salah satu jenis cepat tumbuh yang sangat
potensial bagi pengembangan hutan tanaman dan dapat digunakan untuk
keperluan rehabilitasi dan reboisasi, maka diperlukan studi yang mempelajari
aliran input dan output neraca hara agar simpanan hara dapat diketahui.
Gambar 1 Diagram siklus hara
Ketersediaan unsur hara yang cukup dan seimbang melalui pengembalian
unsur hara oleh tanaman ke tanah menjadi kunci penting kesuburan tanah,
terutama bagi jenis cepat tumbuh (Ngao et al. 2009). Produktivitas serasah dan
kecepatan laju dekomposisi dapat digunakan sebagai penduga masukan hara yang
berguna bagi kesuburan tanah di lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, melalui
penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam strategi pengelolaan
nutrisi hara pada hutan tanaman, agar kelestarian produksi terus terjamin.
Perumusan Masalah
Serasah sebagai bahan organik merupakan bagian dari organ tumbuhan
mati yang terdapat di lapisan atas permukaan tanah, yang berkontribusi sebagai
sumber unsur hara dan sangat mempengaruhi kesuburan tanah. Produktivitas
serasah diartikan sebagai jumlah serasah yang jatuh pada permukaan tanah pada
periode waktu tertentu per satuan luas areal. Produktivitas serasah dan kecepatan
laju dekomposisi pada tegakan jabon dapat digunakan sebagai penduga
sumbangan bahan organik yang berguna bagi kesuburan tanah di lingkungan
sekitarnya. Oleh karena itu, penelitian ini dilaksanakan dalam rangka menjawab
beberapa pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaimana produksi serasah daun pada tegakan jabon
2. Bagaimana laju dekomposisi serasah daun jabon
3
3. Bagaimana kandungan hara dan potensi pelepasan hara nutrisi dari serasah
daun jabon
4. Apakah kompos serasah daun jabon dapat membantu meningkatkan
pertumbuhan semai jabon yang ditanam pada media tanah bekas tambang
batubara
Tujuan Penelitian
1
2
3
4
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk:
Menghitung produktivitas serasah daun pada tegakan jabon
Menghitung laju dekomposisi serasah daun jabon
Menganalisi kandungan hara serasah dan pelepasan hara serasah daun
jabon pada tegakan jabon
Menguji pengaruh pemberian kompos serasah daun jabon terhadap
pertumbuhan semai jabon yang ditanam pada media tanah bekas tambang
batubara
Hipotesis
1.
2.
3.
4.
Jenis jabon memiliki nilai produktivitas serasah daun yang tinggi
Jenis jabon memiliki nilai laju dekomposisi serasah daun yang tinggi
Sejumlah hara dilepaskan serasah jabon melalui proses dekomposisi
Kompos serasah daun jabon dapat meningkatkan pertumbuhan semai
jabon
2 METODE PENELITIAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Letak Geografis dan Wilayah Administrasi
Secara geografis Kota Bogor terletak di antara 106’ 48 BT dan 6’ 26’ LS,
kedudukan geografis Kota Bogor di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor
serta lokasinya dekat dengan Ibu Kota Negara. Bappeda (2012) luas wilayah Kota
Bogor adalah 11 850 ha yang terdiri dari 6 kecamatan dan 68 kelurahan. Secara
administrasi kota Bogor terdiri 6 wilayah kecamatan, 31 kelurahan dan 32 desa,
210 dusun, 623 RW, 2712 RT dan dikelilingi oleh Wilayah Kabupaten Bogor.
Lokasi penelitian terletak di Jalan Cifor, Dusun Tawakal RT 01/RW 05,
Kelurahan Bubulak, Kecamatan Bogor Barat.
Iklim dan Topografi
Kota Bogor mempunyai rata-rata ketinggian tempat minimum 190 m dpl
dan maksimum 330 m dpl. Kondisi iklim di Kota Bogor suhu rata-rata tiap bulan
26 ºC dengan suhu terendah 21.8 ºC dan suhu tertinggi 30.4 ºC. Kelembaban
udara 70%, Curah hujan rata-rata setiap tahun sekitar 3500-4000 mm dengan
curah hujan terbesar pada bulan Desember dan Januari sekitar 346 mm. Jenis
tanah hampir di seluruh wilayah Bogor adalah Latosol coklat kemerahan dengan
kedalaman efektif tanah lebih dari 90 cm dan tekstur tanah yang halus dan bersifat
agak peka terhadap erosi (Bappeda 2012).
4
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan mulai bulan November 2012 sampai dengan Mei
2013. Penelitian ini dilakukan pada tegakan jabon yang merupakan tanah milik
masyarakat dengan luas lahan 1000 m2 dan umur tegakan empat tahun sejak
tanam, berlokasi di Dusun Tawakal RT 01/RW 05, Kelurahan Bubulak,
Kecamatan Bogor Barat. Pada pengamatan respon pertumbuhan semai jabon
terhadap kompos serasah daun jabon dilakukan di rumah kaca Departemen
Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Analisis tanah, media tanam, dan kompos dilakukan di Laboratorium
Tanah dan Tanaman SEAMEO BIOTROP. Analisis sifat biologi tanah dilakukan
di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas
Pertanian, IPB.
Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serasah daun dari
tegakan jabon dan media tanam bekas pertambangan batubara dari tanah timbunan
PT. Bukit Asam. Tanaman yang digunakan dalam pengukuran respon
pertumbuhan terhadap kompos daun jabon adalah bibit jabon yang berumur dua
bulan .
Alat yang digunakan pada penelitian ini pita meter, litter trap (alat
penampung serasah) yang terbuat dari nylon berukuran 1 m x 1 m, litter bag
(kantong serasah) dari nylon berukuran 30 cm x 30 cm, timbangan digital, oven,
polibag (20 cm x 20 cm), penggaris, haga hypsometer, kaliper, kamera, dan alat
tulis.
Metode Pengambilan Data
Pengumpulan Data Sekunder
Data-data penunjang seperti curah hujan harian, suhu dan kelembaban
harian diperoleh dari Badan Meteorologi dan Gofisika (Stasiun Klimatologi
Dramaga) sebagai penunjang analisis data produktivitas serasah dan laju
dekomposisi serasah.
Pengumpulan Data Primer
a. Pengambilan Data Pohon
Pengambilan data pohon dilakukan dengan metode sensus pada seluruh
areal penelitian yaitu dengan luasan 1000 m2 dan jarak tanam 3 m x 2.5 m. Data
yang diukur adalah tinggi total, tinggi bebas cabang, dan diameter setinggi dada
(1.3 m). Data tersebut diolah kemudian dihitung rata-rata tinggi dan diameter.
b. Pengambilan Contoh Tanah Untuk Analisis Kandungan Hara dan
Biologi Tanah
Untuk menentukan kandungan hara tanah mineral dan analisis biologi
tanah, diambil contoh tanah terganggu pada lapisan tanah atas, yaitu pada
kedalaman 0-20 cm. Pertimbangan menggunakan kedalaman tersebut karena lebih
5
mudah dilakukan dan dapat dibandingkan dengan penelitian-penelitian lain yang
sudah dilakukan.
Untuk mendapatkan contoh yang dapat mewakili dari seluruh area, contoh
tanah yang diambil merupakan hasil komposit yang diambil secara acak. Jumlah
contoh komposit yang diambil berasal dari 5 titik secara acak. Contoh tanah
diambil sebanyak 2 kg berat basah (kondisi tanah segar) dan kemudian dibawa ke
Laboratorium Tanah dan Tanaman untuk analisis biologi tanah. Pengambilan
contoh tanah disimpan dalam wadah plastik yang tidak ditutup rapat agar tidak
terjadi perubahan karakteristik tanah yang cukup signifikan, khususnya yang
berhubungan dengan aktivitas jasad renik tanah. Untuk analisis kandungan hara,
contoh tanah yang diambil kemudian dibawa ke laboratorium untuk dikeringkan
terlebih dahulu dan diproses pada Laboratorium Tanah.
c. Pengukuran Produktivitas Serasah
Kegiatan pengukuran produktivitas serasah dilakukan dengan
menggunakan alat bantu litter trap sebagai alat penangkap serasah. Alat ini berupa
kain kasa nylon yang berukuran 1 m x 1 m persegi yang ditopang dengan kayu di
keempat sudutnya dan berjarak 0.5 m dari atas tanah.
Langkah-langkah pelaksanaannya (Hilwan 1993), adalah:
a. Pada tegakan jabon dibuat plot yang berukuran 20 m x 10 m persegi secara
sistematik, sehingga didapatkan 5 plot
b. Litter trap ditempatkan pada setiap plot
c. Serasah yang tertampung litter trap dikumpulkan setiap minggu untuk
ditimbang
d. Serasah dikeringkan dalam oven dengan suhu 65 °C hingga beratnya
konstan ± 48 jam yang dinyatakan dalam satuan g/m2/periode.
Pengambilan serasah daun dilakukan selama 12 minggu.
Gambar 2 Litter trap
d. Pengamatan Laju Dekomposisi Serasah
Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam pengamatan dekomposisi serasah
(Hilwan 1993), yaitu meliputi:
a. Kantung serasah dengan pori ukuran diameter 1.5 mm, diisi dengan
serasah segar sebanyak 40 g
b. Kantung serasah yang telah diisi serasah diletakkan di lantai tanah,
sehingga kantung serasah dapat langsung menyentuh tanah
6
c. Jumlah kantong serasah yang ditempatkan dalam lokasi penelitian
sebanyak 24 kantong serasah pada setiap plot. Sebagai data untuk berat
kering awal serasah, dalan satu kantong seberat 40 g dikeringkan pada
suhu 65 °C hingga beratnya konstan kemudian ditimbang. Pada
perhitungan laju dekomposisi, diambil 15 kantong serasah, masing-masing
40 g setiap seminggu sekali selama satu bulan pertama, sedangkan untuk
bulan kedua hingga akhir pengamatan, pengambilan kantong serasah
dilakukan setiap dua minggu sekali. Pengambilan kantong serasah
dilakukan lebih sering pada saat awal pengamatan karena diasumsikan
bahwa kecepatan dekomposisi akan terjadi lebih cepat saat proses
dekomposisi tersebut dimulai. Serasah yang diambil kemudian dikeringkan
dalam oven pada suhu 65 °C hingga beratnya konstan dan ditimbang.
Gambar 3 Kantong serasah
e. Pengujian Kandungan Hara Serasah
Analisa ini dilakukan pada serasah daun segar, serasah yang telah
terdekomposisi selama 12 minggu dan kompos daun jabon. Unsur hara yang
dianalisa yaitu N, P, K, Ca, dan Mg.
f. Percobaan Pengaruh Kompos Daun Jabon Terhadap Semai Jabon
Pembuatan kompos dilakukan secara alami di bawah tegakan jabon. Metode yang
digunakan adalah modifikasi dari metode pengomposan Djamaludin dan
Wahyono (2008) yaitu serasah jabon segar dipotong kecil-kecil kemudian
dicampur dengan top soil (5:1) pada tegakan tersebut sebagai aktivator dan
dimasukkan ke dalam kantong nylon. Pembuatan kompos dilakukan ± selama 4
bulan, hingga daun jabon menyerupai bentuk tanah baik warna maupun
bentuknya.
Gambar 4 Pembuatan kompos alami
7
Penanaman menggunakan bibit jabon hasil persemaian dua bulan (tinggi ±
20 cm), selanjutnya dipindahkan ke dalam polibag berukuran 20 cm x 20 cm yang
sudah diisi media tanam tanah bekas tambang batubara yang dicampur kompos
serasah daun jabon, dengan perbandingan komposisi kompos sebagai perlakuan
yaitu 0% sebagai kontrol, 10%, 20%, dan 30%. Masing-masing perlakuan
dilakukan 5 kali ulangan, setiap ulangan terdiri dari 3 unit tanaman.
Parameter yang diukur adalah tinggi tanaman, diameter tanaman, jumlah
ruas daun, perhitungan biomassa kering tanaman, kekompakan media, dan
perhitungan nisbah pucuk akar pada setiap tanaman. Pengukuran tinggi, diameter,
dan jumlah ruas tanaman dilakukan setiap minggu selama 10 minggu.
Pada pengukuran pengaruh kompos digunakan rancangan percobaan
Rancangan Acak Lengkap (RAL). Adapun model rancangan yang digunakan
menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006) adalah sebagai berikut :
Yij = μ + αi + εij
Dimana:
i : 1,2,3,4
j : 1,2,3,4,5
Keterangan :
Yij : Pertumbuhan semai jabon pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ : Nilai rata-rata umum
αi : Nilai pengaruh perlakuan ke-i
εij : Nilai galat dari unit percobaan yang diberikan perlakuan ke-i pada
ulangan ke-j
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang diberikan terhadap peubah
yang diamati, maka dilakukan analisis data dengan menggunakan program
Statistik SAS . Bila perlakuan yang diberikan memberikan pengaruh nyata maka
dilakukan uji lanjut Duncan.
Analisis Data
Analisis Data Produktivitas Serasah
Nilai tengah (rata-rata) produktivitas serasah per plot setiap pengamatan
dengan rumus :
X
∑
gr/m2/periode
Dimana:
X
: rata-rata produksi serasah per plot setiap periode
Xi
: produksi serasah per plot setiap periode
N
: 10
Analisis Data Efisiensi Penggunaan Nutrisi / Nutrient Use Efficiency (NUE)
NUE merupakan konsep yang secara umum mendiskripsikan seberapa
baik tanaman menggunakan hara yang ada di dalam tanah untuk menghasilkan
8
biomassanya. Adapun penghitungannya didapatkan dari perhitungan rumus
(Binkley dan Vitousek 1996):
NUE =
L(%) =
× 100
g/m /tahun
g/m /tahun
Analisis Data Laju Dekomposisi
a. Penurunan bobot didapat dengan rumus (Guo dan Sim 2001):
Dimana:
W
: penurunan bobot
Wo
: bobot kering awal serasah (40 g)
Wt
: bobot kering akhir serasah (g) per periode waktu
b. Laju dekomposisi relatif / relative decomposition rate (RDR) (Dutta dan
Agrawal 2001)
Ln W
Ln Wt
interval pengamatan
RDR =
Dimana:
RDR : nilai dekomposisi relatif (g g-1 minggu-1)
W0
: bobot pada awal pengamatan
Wt
: bobot pada akhir pengamatan
c. Pendugaan Nilai Konstanta Laju Dekomposisi Serasah
Kecepatan dekomposisi serasah daun jabon dapat diduga dengan
menggunakan persamaan Olson (1963) sebagai berikut:
Wt = Wo e-kt
Sesuai dengan rumus tersebut pendugaan nilai konstanta laju dekomposisi serasah
dapat diturunkan melalui rumus sebagai berikut:
Ln (Wt/Wo) = -kt
Dimana:
Wt
: berat kering serasah pada waktu t pengamatan (g)
Wo
: berat kering serasah awal (g)
e
: bilangan logaritma natural (2.72)
k
: konstanta laju dekomposisi serasah
t
: waktu pengamatan
9
d. Pelepasan Hara dari serasah
Berkurangnya berat serasah dan pelepasan hara dihitung dengan
persamaan sebagai berikut (Guo dan Sim 2001):
x 100
R(%) =
Dimana:
R
: hara yang terlepas
Wt
: berat kering serasah pada waktu t pengamatan (g)
Wo
: berat kering serasah awal (g)
Co
: konsentrasi hara pada serasah awal
Ct
: konsentrasi hara pada waktu t pengamatan
Analisis Data Laju Pertumbuhan Relatif Bibit / Relative Growth Rates (RGR)
Kecepatan pertumbuhan dapat diketahui dengan menghitung pertambahan
tinggi dan diameter tanaman. Pertumbuhan relatif tanaman didapatkan dengan
formula (Hunt 1990):
Ln X
Ln X
interval pengamatan
RGR =
Dimana:
RGR : nilai pertumbuhan relatif (cm cm-1 minggu-1)
X1
: tinggi atau diameter pada akhir pengamatan
X0
: tinggi atau diameter pada awal pengamatan
Diagram Alir Penelitian
Secara ringkas, alur dari penelitian yang akan dilaksanakan dapat dilihat
pada Gambar 5.
Gambar 5 Diagram alir penelitian
10
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.)
Jabon merupakan jenis pohon cepat tumbuh dengan nama dagang Kadam.
Nama ilmiah A. cadamba Miq. ini bersinonim dengan Anthocephalus chinensis
(Lamk.) A. Rich. Ex. Walp., Anthocephalus macrophyllus (Roxb.) Havil., Nauclea
cadamba (Roxb.), Neolamarkcia cadamba (Roxb.) Bosser, Sarcocephalus
cadamba (Roxb.) Kurz., Anthocephalus indicus A. Rich., Anthocephalus
morindaefolius Korth.. Nama lokal di Indonesia: galupai, galupai bengkal,
harapean, johan, kalampain, kelampai, kelempi, kiuna, lampaian, pelapaian,
selapaian, serebunaik (Sumatera); jabon, jabun, hanja, kelampeyan, kelampaian
(Jawa); ilan, kelampayan, taloh, tawa telan, tuak, tuneh, tuwak (Kalimantan);
bance, pute, loeraa, pontua, suge manai, sugi manai, pekaung, toa (Sulawesi);
gumpayan, kelapan, mugawe, sencari (Nusa Tenggara); aparabire, masarambi
(Papua) (Martawijaya et al. 1989). Nama lokal di negara lain: bangkal, kaatoan
bangkal (Brunei); mau-lettan-she, maukadon, yemau (Birma); thkoow (Kamboja);
kadam, cadamba, common burr-flower tree (Inggris); koo-somz, sako (Laos);
kelempayan, laran, selimpoh (Malaysia); labula (Papua Nugini); kaatoan bangkal
(Filipina); krathum, krathum-bok, taku (Thailand); c[aa]y g[as]o, c[af] tom, g[as]o
tr[aws]ng (Vietnam) (Soerianegara dan Lemmen 1993).
Taksonomi jabon digolongkan sebagai berikut (Martawijaya et al. 1989):
Kingdom
: Plantae (tumbuhan)
Subkingdom
: Tracheobionta (berpembuluh)
Superdivisio
: Spermatophyta (menghasilkan biji)
Divisi
: Magnoliophyta (berbunga)
Kelas
: Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil)
Sub-kelas
: Asteridae
Ordo
: Rubiales
Familia
: Rubiaceae (suku kopi-kopian)
Genus
: Anthocephalus
Spesies
: Anthocephalus cadamba Miq.
Sifat Botani
Jabon merupakan pohon yang dapat mencapai tinggi sampai 45 meter,
mempunyai batang yang lurus dan silindris dengan tinggi bebas cabang lebih dari
25 meter. Diameter batang dapat mencapai 100-160 cm. Tegakan jabon umur 5
tahun memiliki riap diameter rata-rata 1.2-11.6 cm/tahun dan riap tinggi rata-rata
0.8-7.9 m/tahun (Krisnawati et al. 2011). Jabon termasuk ke dalam jenis intoleran
yang menghendaki adanya cahaya penuh selama periode hidupnya. Batang jabon
berbentuk silindris, bertajuk tinggi, dengan cabang mendatar, berbanir sampai
ketinggian 1.5 m, kulit luar berwarna kelabu-coklat sampai coklat, sedikit beralur
dangkal. Tajuk pohon jabon meninggi, tidak lebat dan agak gepeng dengan sistem
percabangan melingkar yang mengambil ruang secara teratur, sehingga baik sekali
pada pelingkarannya, cabang-cabang primernya biasanya agak mendatar dan
gugur daun di dalam hutan musim (Direktorat Jenderal Kehutanan 1980).
11
Tanaman jabon sudah dikenal masyarakat sejak lama, namun
popularitasnya semakin menanjak karena serangan penyakit yang terjadi pada
tanaman sengon (Falcataria moluccana). Adanya kasus ini menyebabkan petani
mencari alternatif tanaman lain yang pertumbuhannya cepat dengan kualitas kayu
yang bagus dan tahan terdapat serangan hama penyakit. Tanaman jabon berasal
dari daerah beriklim muson tropika. Tanaman ini lebih menyukai tempat yang
lembab, misalnya di tepi sungai dan rawa (Mansur dan Tuheteru 2010).
Daun jabon merupakan daun tunggal, bertangkai panjang 1.5-4 cm dengan
helaian daun agak besar (panjang 15-30 cm dan lebar 7-8 cm). Di awal
pertumbuhannya, yakni 2-3 bulan setelah tanam, pada tanah yang subur dan cukup
air daun jabon dapat berkembang hingga berukuran panjang 68 cm dan lebar 38
cm. Permukaan daun jabon tidak berbulu atau kadang-kadang di sebelah bawah
pada tulang daun terdapat rambut halus yang mudah lepas dan bertulang daun
sekunder jelas (10-12 pasang). Secara fisiologi, daun tanaman jabon umur 12 hari
mulai memiliki kemampuan untuk melakukan fotosintesis, yakni melalui
perluasan daun secara penuh (full leaf expansion=FLE), 15% FLE daun yang
masih muda berwarna merah, 56% FLE daun berwarna hijau kemerahan, 100%
FLE berwarna hijau cerah dan pada daun tua berwarna hijau. Pada daun jabon
mengandung total klorofil 7.92 mg/g berat kering daun (Mansur dan Tuheteru
2010).
Jabon memiliki daun yang saling berhadapan, tumpul, kira-kira duduk
hingga bertangkai. Bentuk daun bulat telur hingga lonjong dengan ukuran panjang
15-50 cm dan lebar 8-25 cm. Bagian pangkal berbentuk agak menyerupai jantung,
bagian ujung lancip di ujungnya. Penumpu antar tangkai berbentuk segitiga
sempit dan mudah rontok. Perkembangbiakan jabon dimungkinkan dengan
regenerasi alam dari biji, dengan semai yang ditumbuhkan di tempat pembibitan,
dengan tunggul dan stek batang. Diperlukan teknik-teknik khusus untuk
memperoleh biji jabon yang sangat kecil (Soerianegara dan Lemmens 1993).
Perbungaan jabon terdiri atas kepala-kepala bulat, menyendiri di ujung
tanpa daun gagang. Bunga agak duduk pada penyangga lokus, berkelamin dua,
aktinomorf, terbagi menjadi 5 bagian. Tabung kelopak berbentuk corong, mahkota
gamopetal, jumlah benang sari 5 yang menipis pada tabung mahkota, tangkai sari
pendek dan kepala sari melekat di pangkal (Soerianegara dan Lemmens 1993).
Produksi benih tanaman jabon biasanya dimulai pada umur 5 tahun. Pohon mulai
berbunga pada umur 4 tahun. Periode berbunga biasanya sekitar 2-5 bulan. Di
Indonesia, musim berbunga umumnya terjadi pada bulan April-Agustus, kadangkadang Maret-November dan musim berbuah terjadi pada bulan Juni-Agustus
(Martawijaya et al. 1989).
Jabon memiliki bakal buah inferior, beruang 2 dan terkadang 4 di bagian
atas, tangkai putik terjulur, kepala putik berbentuk gelondong. Buah kecil, banyak
sekali, agak berdaging bagian atas memuat 4 struktur yang berlubang atau padat
(Soerianegara dan Lemmens 1993). Panjang biji 0.5 mm, biji berbentuk trigonal
atau tidak teratur dan tidak bersayap (Sutisna et al. 1998). Buah jabon
mengandung biji yang sangat kecil, berbentuk kapsul berdaging yang
berkelompok rapat bersama untuk membentuk daging buah yang berisi sekitar 8 x
103 biji, dan jumlah benih kering 2.7 x 107 butir per kilogram (Soerianegara dan
Lemmens 1993).
12
Penyebaran Alami dan Syarat Tumbuh
Pohon jabon tumbuh secara alami di India, Nepal dan Bangladesh ke arah
timur melalui Malaysia hingga Papua Nugini. Jenis ini telah ditanam sebagai
pohon hias dan pohon perkebunan dan telah berhasil diperkenalkan ke Afrika
Selatan, Puerto Rico, suriname, Taiwan, dan Negara-negara lainnya di kawasan
tropika dan subtropika. Sebaran tumbuh di Indonesia sebagaian besar di Jawa
Barat dan jawa Timur, seluruh Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, NTB, dan
Irian Jaya. Jabon dapat tumbuh pada kondisi lahan marginal dengan drainase yang
cukup baik. Jenis ini tumbuh di hutan primer dan banyak terdapat di hutan
sekunder (Soerianegara dan Lemmens 1993).
Habitat alami jabon memiliki karakteristik, antara lain: ketinggian tempat
tumbuh 300-800 m dpl, dengan suhu optimum 23 ºC, curah hujan rata-rata 15005000 mm/tahun, dan dapat hidup pada berbagai tipe tanah. Produktivitas jabon
optimal pada ketinggian tempat kurang dari 500 m dpl. Kondisi lingkungan
tumbuh yang baik untuk jabon ialah: tanah lempung, podsolik cokelat, dan
alluvial lembab yang biasanya terdapat di daerah pinggir sungai, daerah peralihan
antara tanah dan rawa, dan tanah kering yang terkadang tergenang air. Umumnya,
jabon ditemukan di hutan sekunder dataran rendah, dasar lembah, sepanjang
sungai dan punggung-punggung bukit (Mansur dan Tuheteru 2010).
Kegunaan
Jabon merupakan jenis tumbuhan lokal yang dapat direkomendasikan
untuk dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman karena pemanfaatan
kayunya sudah dikenal luas oleh masyarakat. Jabon merupakan jenis kayu yang
mempunyai berat jenis rata-rata 0.42 (0.29-0.56), kelas kuat III-IV dan kelas awet
V. Kayu jabon banyak digunakan untuk korek api, kayu lapis, peti pembungkus,
cetakan beton, mainan anak-anak, pulp dan kertas, kelompen dan konstruksi
darurat yang ringan. Kayunya mudah dibuat venir tanpa perlakuan pendahuluan
dengan sudut kupas 92º untuk tebal 1.5 mm. Perekatan venir kayu jabon dengan
urea-formaldehida menghasilkan kayu lapis yang memenuhi persyaratan standar
Indonesia, Jepang, dan Jerman (Martawijaya et al. 1989).
Jabon memiliki riap yang besar dengan daur pendek. Di Indonesia daur
maksimal jabon adalah 30 tahun yang menghasilkan riap kayu pertukangan ratarata 24 m3ha-1tahun-1. Menurut Direktorat Jenderal Kehutanan (1980) untuk
menghasilkan venir dan kayu lapis diperkirakan daur pada umur 20 tahun.
Sedangkan untuk keperluan pulp dan kertas hanya diperlukan daur 10 tahun.
Jika dikeringkan dengan baik, kayu jabon dapat digunakan untuk membuat
sampan atau perabot. Kayu jabon baik digunakan sebagai lapisan permukaan
maupun lapisan ini dalam industri kayu lapis dan sesuai untuk membuat papan
partikel, papan bersemen, dan papan kertas. Kegunaan kayu jabon terpenting ialah
untuk membuat kertas bermutu rendah hingga sedang. Jabon juga berfungsi
sebagai pohon peneduh yang digunakan untuk reboisasi dan rehabilitasi lahan.
Papagan (kulit batang) yang sudah dikeringkan digunakan untuk mengurangi
demam dan sebagai tonik (Soerianegara dan Lemmens 1993). Daun tanaman
jabon dapat dijadikan sebagai obat kumur dan makanan ternak sedangkan buahnya
dapat dikonsumsi (Lembaga Biologi Nasional 1980).
Di India, jenis jabon mulai dari bunga, buah, daun kulit kayu, dan akarnya
ternyata sudah dimanfaatkan secara komersial. Daun jabon dapat digunakan
13
sebagai obat pelangsing dan obat kumur. Ekstrak daun jabon dipercaya
mengandung senyawa yang bersifat antimikroba. Selain itu daun jabon digunakan
juga sebagai alas makanan dan pakan tenak. Bunga jabon dapat digunakan sebagai
sumber bahan parfum khas India yang disebut ‘attar’. Selain itu, pohon jabon juga
menjadi salah satu jenis yang bunganya dikembangkan untuk mendukung usaha
lebah madu. Getah kuning dan kulit akar dapat digunakan sebagai bahan celupan
pewarna kuning yang dapat dimanfaatkan dalam usaha kerajinan tangan. Kulit
kayu yang telah kering dapat dimanfaatkan untuk mengobati demam dan sebagai
obat kuat. Campuran bubuk kulit kayu jabon dengan kulit mangga (Mangifera
indica) dan tanaman meranti (Shorea robusta) dimanfaatkan untuk mengobati
penyakit kolera dan sroke, sedangkan seduhan kulit batangnya dipercaya dapat
menyembuhkan penyakit disentri (Mansur dan Tuheteru 2010).
Karakteristik Tegakan Jabon
Tegakan jabon yang digunakan dalam penelitian ini ditanam dengan pola
monokultur yaitu tidak mencampurkan dengan jenis lain. Pada lokasi tegakan
seluas 1000 m2 yang ditanam dengan jarak 3 m x 2.5 m terdapat 92 pohon.
Diameter rata-rata tegakan jabon umur 4 tahun adalah 18.60 cm dengan nilai
dimater terbesar 34.10 cm. Sedangkan untuk rata-rata tinggi total pohon adalah
15.50 m dengan tinggi total terbesar adalah 20.25 m. Rata-rata tinggi bebas
cabang adalah 10.50 m dengan tinggi bebas cabang terbesar 14.25 m.
Menurut penelitian Seo (2013) dimana dalam penelitian tersebut
membandingkan 20 lokasi tegakan jabon, termasuk salah satunya adalah lokasi
penelitian ini, pada beberapa lokasi penanaman di Jawa Barat (Bogor, Sukabumi,
Sumedang dan Purwakarta) dikelompokan dalam tiga katagori baik, sedang dan
buruk. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa lokasi penelitian ini termasuk
dalam katagori baik. Menurut Seo (2013), hasil dari perbandingan antara lokasi
baik dan buruk, tampak kondisi lokasi dan kesuburan tanah lebih memberikan
pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan jabon, dibandingkan dengan praktek
silvikultur seperti pemupukan dan pemeliharaan. Hasil analisis tanah tegakan
jabon di lokasi penelitian disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Hasil analisis tanah tegakan jabon
No
1
2
3
5
6
7
Parameter Pengujian
pH
C-org
N Total
P Tersedia
K
Tekstur
Satuan
Nilai
%
%
ppm
ppm
5.2
1.06
0.14
2.7
198.9
liat
Katagori (Sulaeman et
al. 2005)
Masam
Rendah
Rendah
Sangat Rendah
Sangat Tinggi
Selain dilakukan analisis terhadap sifat fisik dan kimia tanah, dilakukan
pula analisis terhadap sifat biologi tanah yaitu makrofauna dan mikroorganisme
tanah. Fauna tanah merupakan salah satu komponen hayati di dalam tanah. Di
kalangan fauna tanah, makrofauna berpotensi besar mempengaruhi langsung sifatsifat fungsional tanah. Golongan tertentu makrofauna tanah yaitu cacing tanah
14
dapat mengubah struktur tanah sehingga dapat mempengaruhi infiltrasi, aerasi dan
yang paling utama mempengaruhi kesuburan tanah.
Diantara fauna tanah di daerah humid sedang, cacing tanah merupakan
penyumbang bahan organik tanah yang besar, yaitu berkisar 100 kg/ha (0.005 %)
dengan populasi 7000 ekor hingga 1000 kg/ha dengan populasi 1 juta ekor (Foth
1984 dalam Hanafiah 2005). Menurut Tian et al. (1995) peranan cacing tanah,
baik secara langsung maupun tak langsung dalam meningkatkan kesuburan tanah
dalam kaitannya terhadap perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah yaitu
menguraikan bahan organik dan meningkatkan laju siklus nutrisi, memindahkan
bahan organik dan mikroorganisme ke dalam tanah, membentuk struktur tanah
dan mengurangi kepadatan tanah, meningkatkan porositas tanah sehingga dapat
meningkatkan infiltrasi air dan mengurangi run off serta dapat meningkatkan
respirasi tanah, meningkatkan aktivitas mikroorganisme, dan membuka lapisan
subsoil sehingga memudahkan pertumbuhan akar tanaman.
Pada lokasi penelitian rata-rata bobot basah cacing tanah adalah 82.4 g m2
. Dalam hal ini bobot basah cacing tanah yang diperoleh lebih besar jika
dibandingkan dengan hasil penelitian Fragoso dan Lavelle (1992) di hutan-hutan
hujan tropik di Meksiko, Amerika Tengah dan Selatan, Afrika Tengah dan Barat
serta Asia Tenggara yang hanya mencapai 12.9 g m-2. Besarnya bobot basah
cacing dapat diduga berhubungan dengan besarnya bahan organik tanah dan iklim
mikro kondisi tegakan tersebut. Tingginya bahan organik tanah dapat diduga dari
jatuhan serasah daun jabon yang melimpah. Hal ini didukung oleh pendapat
Lavelle (1988) bahwa serasah daun-daunan dianggap sebagai sumber yang baik
bagi cacing tanah karena relatif tinggi kandungan karbohidrat yang dapat
diasimilasi dan rendah kandungan lignoselulosanya. Selain itu besarnya bobot
basah dapat pula diduga karena aktivitas, pertumbuhan, respirasi dan reproduksi
cacing tanah sangat dipengaruhi oleh suhu. Hasil penelitian Sihombing et al.
(1982) juga menyatakan bahwa perkembangan cacing tanah lokal lebih baik pada
suhu 26.5 ºC dibandingkan pada suhu 29 ºC pada kisaran pH 6.0-7.5 dan tanah
tempat hidupnya tidak terkena sinar matahari langsung. Pernyataan ini sesuai
dengan kondisi lokasi penelitian dimana suhu rata-rata berkisar antara 24.7 ºC 26.8 ºC dan pH berkisar 5.5 sehingga kondisi ini sesuai bagi perkembangan
cacing tanah hingga didapatkan bobot cacing yang besar.
Aspek biologi tanah yang juga dianalisis adalah mikroorganisme tanah.
Mikroorganisme tanah merupakan jasad hayati tanah yang keberadannya bisa
menguntungkan maupun merugikan. Jasad hayati yang menguntungkan ini,
berperan dalam proses dekomposisi bahan organik dan pengikatan atau
penyediaan unsur hara yang keduanya bermuara pada penyediaan hara tersedia
bagi tanaman. Indikator yang dapat digunakan untuk mencerminkan populasi dan
aktivitas mikroorganisme tanah secara umum adalah dengan mengetahui jumlah
total mikroorganisme dan laju respirasi.
Jumlah total mikroorganisme dalam tanah dapat digunakan sebagai indeks
kesuburan tanah, karena pada tanah yang subur jumlah mikroorganismenya tinggi.
Populasi yang tinggi menggambarkan adanya suplai makanan atau energi yang
cukup ditambah temperatur yang sesuai, ketersediaan air yang cukup, dan kondisi
ekologi lain yang mendukung (Hanafiah 2005). Berdasarkan hasil analisis
laboratorium diketahui pada lokasi tegakan jabon umur 4 tahun jumlah
mikroorganisme tanah sebesar 49 x 106 SPK/g. Nilai ini lebih besar jika
15
dibandingkan dengan tegakan Acacia crassicarpa umur 4 tahun yaitu jumlah
mikroorganisme tanahnya hanya 4.9 x 106 SPK/g (Aprianis 2011).
Pengukuran respirasi (mikroorganisme tanah) merupakan cara yang
pertama kali digunakan untuk menentukan tingkat aktivitas miroorganisme tanah.
Penetapan respirasi tanah didasarkan pada dua penetapan yaitu jumlah CO2 yang
dihasilkan, dan jumlah O2 yang digunakan oleh mikroorganisme tanah. Kecepatan
respirasi lebih mencerminkan aktivitas metabolik daripada jumlah, tipe atau
perkembangan mikroorganisme tanah (Hanafiah 2005). Berdasarkan hasil analilis
laboratorium pada tanah tegakan jabon umur 4 tahun memiliki kecepatan
respirasi 14.7 mg C-CO2/kg tanah/hari.
Produksi Serasah
Serasah merupakan lapisan tanah bagian atas yang terdiri dari bagian
tumbuhan yang telah mati seperti guguran daun, ranting dan cabang, bunga dan
buah, kulit kayu serta bagian lainnya, yang menyebar di permukaan tanah di
bawah hutan sebelum bahan tersebut mengalami dekomposisi (Departemen
Kehutanan 1997). Menurut Nasoetion (1990), serasah dapat diartikan berasal dari
lapisan teratas dari permukaan tanah yang mungkin terdiri atas lapisan tipis sisa
tumbuhan. Spurr dan Burton (1980) mengemukakan bahwa serasah merupakan
bahan organik yang berasal dari tumbuhan atau hewan yang terdapat di atas
permukaan tanah yang tersusun oleh bahan-bahan yang sudah mati.
Soerianegara (1964), menjelaskan bahwa serasah yang jatuh di permukaan
tanah merupakan bagian dari tumbuhan yang telah mati dan belum mengalami
dekomposisi dan meneralisasi. Bahan organik yang hilang melalui jatuhan serasah
dijadikan sebagai salah satu faktor yang dapat dipakai untuk mengetahui nilai
produktivitas primer netto. Serasah berfungsi sebagai penyimpan air sementara
dimana secara berangsur-angsur akan melepaskan ke tanah bersama dengan bahan
organik berbentuk zarah yang larut, memperbaiki struktur tanah, dan menaikkan
kapasitas penyerapan (Arief 1994).
Produktivitas serasah adalah jumlah serasah yang jatuh ke lantai hutan
pada periode tertentu per satuan luas tertentu (Departemen Kehutanan 1997).
Hilwan (1993), menambahkan bahwa produktivitas serasah adalah jumlah serasah
yang jatuh di atas permukaan tanah dalam periode tertentu dan dinyatakan dalam
ton ha-1 tahun-1 atau g m-2 tahun-1 atau kg ha-1 tahun-1.
Soerianegara (1964) mengemukakan bahwa pengukuran produktivitas
serasah dapat dinyatakan dalam berbagai satuan. Dalam kehutanan, produksi
hutan dinyatakan dalam m3 atau m3ha-1, sedangkan dalam ekologi, produktivitas
diukur pada suatu waktu dan disebut biomassa dinyatakan dalam satuan bobot per
satuan luas, misalnya g m-2 atau kg ha-1 tahun-1atau g m-2 hari-1.
Daun merupakan katagori serasah terbesar, diikuti ranting, buah, dan
bunga (Strojan et al. 1979). Sekitar 70% dari total serasah di permukaan tanah
berupa serasah daun. Komposisi dan besarnya produksi serasah sangat bervariasi
dari tahun ke tahun. Deshmukh (1992), menyatakan bahwa dari waktu ke waktu
produktivitas serasah tidak seragam. Komponen pembentuk lapisan serasah
tumbuhan tidak homogen, tersusun atas campuran organ tumbuhan seperti 72%
daun, 16% kayu, dan 7 % bunga dan buah. Produksi rata-rata serasah pertahun
tertinggi dalam hutan tropis dan berangsur menurun menurut garis lintangnya,
16
hingga hutan boreal di daerah kutub dimana produksi serasah tahunannya paling
rendah (Bray dan Gorham 1964).
Produktivitas serasah pada suatu ekosistem hutan dapat digunakan sebagai
penduga sumbangan bahan organik yang berguna bagi kesuburan tanah
lingkungan sekitarnya (Odum 1971). Studi mengenai produktivitas digunakan
untuk membandingkan suatu ekosistem hutan yang berbeda melalui ukuran
produksi serasah. Tujuan utamanya untuk menyediakan informasi dasar dalam
memahami serasah, karbon, dan siklus nutrisi dalam ekosistem hutan sesuai
dengan fungsinya. Produktivitas tidak hanya menyediakan informasi tentang
bagaimana ekosistem hutan beraksi terhadap berbagai perlakuan, tetapi juga
memahami perilaku adaptasi dan integrasi komunitas terhadap lingkungannya
(Spurr dan Burton 1980).
Dalam penelitian ini yang dimaksudkan serasah hanya berfokus pada
sesasah daun saja. Produktivitas serasah adalah jumlah serasah yang jatuh ke
lantai hutan pada periode tertentu per satuan luas tertentu (Departemen Kehutanan
1997). Hilwan (1993), menambahkan bahwa produktivitas serasah adalah jumlah
serasah yang jatuh di atas permukaan tanah dalam periode tertentu dan dinyatakan
dalam ton ha-1 tahun-1 atau g m-2 tahun-1 atau kg ha-1 tahun-1.
Hasil pengamatan produksi serasah pada umur tegakan 4 tahun disajikan
pada Tabel 2.
Tabel 2 Rata-rata produksi serasah daun di lantai hutan jabon pada umur
pengamatan 4 tahun
Berat kering serasah daun A.cadamba selama 12 minggu
Parameter
Ratarata
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Produksi
(g m-2)
21.1
14.2
29.5
15.9
27.7
15.7
20.5
18.4
26.4
22.6
31.0
24.0
22.25
Curah hujan
(mm)
92.3
156.8
121.4
63.8
74.7
105.4
15.8
129.1
259.6
95.3
21.1
122.8
104.84
25.6
25.6
25.6
26.3
26.8
25.3
26
24.7
24.8
25.1
25.8
25.5
25.59
80
86
83
84
85
88
85
91
89
90
85
87
86.08
Temperatur
(ºC)
Kelembaban
Relatif
(%)
Faktor lingkungan yang mempengaruhi produktivitas serasah suatu
ekosistem adalah iklim, topografi, sifat tanah, letak geografis, air, dan ketinggian
dari permukaan laut (Odum 1971). Selain itu produktivitas serasah juga
dipengaruhi oleh umur pohon, kualitas tempat tumbuh serta kerapatan tegakan dan
tumbuhan bawah (Spurr dan Burton 1980).
Berdasarkan Tabel 2, diketahui bahwa rata-rata produktivitas serasah daun
jabon pada umur tegakan 4 tahun , selama 12 minggu pengamatan adalah 22.25 g
m-2 minggu-1. Nilai ini lebih besar jika dibandingkan dengan tegakan A.
crassicarpa umur 4 tahun yang hanya memiliki nilai produktivitas serasah sebesar
10.86 g m-2 minggu-1 (Aprianis 2011). Produksi serasah yang terbesar terdapat
pada pengukuran minggu ke-11. Pada saat produksi serasah yang besar diketahui
17
pada saat curah hujan sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa produksi serasah
diduga ada kaitannya dengan ketersedian air. Menurut Sallata et al. (1990)
produktivitas serasah akan meningkat dan mencapai maksimum pada musim
kemarau dan menurun pada musim hujan. Hal ini terjadi karena pada musim
kemarau persaingan diantara tanaman dan antar organ dalam satu tanaman untuk
mendapat air sehingga akan menyababkan terjadinya efisiensi dalam proses
fotosintesis dan tanaman akan cepat melakukan regenerasi. Selain itu, jenis
penyusunan, tingkat kerapatan pohon, dan luas bidang dasar suatu tegakan
diketahui akan berpengaruh terhadap produktivitas serasah suatu tegakan
(Departemen Kehutanan 1997).
Faktor lain yang mempengaruhi produktivitas serasah menurut Bray dan
Gorham (1964), adalah:
1. Tipe hutan, dimana hutan gymnospermae lebih banyak menggugurkan
serasah dibandingkan hutan angiospermae walaupun hutan angiospermae
cenderung menduduki lahan yang lebih subur.
2. Kondisi linkungan seperti iklim, derajat lintang, ketinggian, k