Bioecology of Arthroschista hilaralis (Lepidoptera: Pyralidae) on Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.).

BIOEKOLOGI HAMA Arthroschista hilaralis
(Lepidoptera: Pyralidae) PADA TANAMAN JABON
(Anthocephalus cadamba Miq.)

SELVI CHELYA SUSANTY

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Bioekologi Hama
Arthroschista
hilaralis
(Lepidoptera:
Pyralidae)
pada
Tanaman
Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) adalah benar karya saya dengan arahan dari

komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014
Selvi Chelya Susanty
E451110071

RINGKASAN
SELVI CHELYA SUSANTY. Bioekologi Hama Arthroschista hilaralis
(Lepidoptera: Pyralidae) pada Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.).
Dibimbing oleh NOOR FARIKHAH HANEDA dan IRDIKA MANSUR.
Arthroschista hilaralis merupakan hama defoliator yang banyak menyerang
tanaman jabon dengan tingkat kerusakan yang tinggi. Informasi mengenai aspek
biologi dan ekologi A. hilaralis diperlukan dalam menentukan strategi
pengelolaan hama yang tepat. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji aspek
biologi A. hilaralis terkait siklus hidup dan neraca kehidupannya, serta aspek
ekologi A. hilaralis terkait serangannya pada tanaman jabon dengan umur

tanaman dan altitude berbeda.
Penelitian biologi A. hilaralis terkait siklus hidup dilakukan dengan
mengamati setiap tahap perkembangan hidup A. hilaralis, meliputi waktu yang
diperlukan dan ukuran tubuh pada setiap stadium. Penelitian neraca kehidupan
dilakukan dengan mencatat mortalitas individu A. hilaralis dan keperidian setiap
individu imago setiap harinya. Data mortalitas dan keperidian A. hilaralis
dimasukkan ke dalam tabel neraca kehidupan yang kemudian digunakan untuk
menghitung parameter pertumbuhan populasi A. hilaralis, meliputi laju reproduksi
kotor (GRR), laju reproduksi bersih (Ro), rataan masa generasi (T), dan laju
pertumbuhan instrinsik (r). Penelitian ekologi A. hilaralis dilakukan dengan
melakukan pengamatan terhadap serangan A. hilaralis di tegakan Jabon pada
umur tanaman 0.5; 1.0 dan 1.5 tahun, serta pada tegakan jabon yang berada di
dataran rendah dan dataran tinggi, kemudian dilakukan perhitungan persentase
serangan (K) dan intensitas serangan (IS) hama A. hilaralis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa siklus hidup A. hilaralis pada tanaman
jabon memerlukan waktu 25.1 hari, dengan lama stadium telur 2.7 hari; larva
12.6 hari, pupa 6.9 hari dan masa praoviposisi imago 2.9 hari. GRR A. hilaralis
adalah 141 individu/generasi, Ro sebesar 70 individu/induk/generasi, T selama
23.5 hari, dan r sebesar 0.18 individu/induk/hari. Tindakan pengelolaan hama
secara berkala sangat diperlukan dalam mengontrol perkembangan hama ini,

karena tingginya tingkat perkembangan dan cepatnya laju pertumbuhan
A. hilaralis. Persentase serangan A. hilaralis pada umur tanaman jabon 0.5; 1.0
dan 1.5 tidak berbeda nyata, sedangkan intensitas serangan A. hilaralis pada umur
tanam 1.5 tahun berbeda nyata dengan umur tanam 0.5 dan 1 tahun. Sementara itu
serangan A. hilaralis pada tegakan jabon di dataran rendah dan dataran tinggi
tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini menunjukkan bahwa hama
A. hilaralis bersifat kosmopolit, oleh karena itu tindakan pengelolaan hama
A. hilaralis perlu dilakukan pada tegakan jabon baik di dataran rendah maupun di
dataran tinggi, dan tidak hanya pada saat awal penanaman namun juga saat
tegakan jabon telah berumur dewasa. Beberapa parasitoid yang ditemukan
menyerang hama A. hilaralis yaitu Phanerotoma sp., Chelonus sp., Apenteles sp.,
Tetrastichus sp., dan Ooencyrtus sp.
Kata kunci: Anthocephalus cadamba, Arthroschista hilaralis, biologi, ekologi

SUMMARY
SELVI CHELYA SUSANTY. Bioecology of Arthroschista hilaralis
(Lepidoptera: Pyralidae) on Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.). Supervised by
NOOR FARIKHAH HANEDA and IRDIKA MANSUR.
Arthroschista hilaralis is a defoliator of Anthocephalus cadamba with
a high level of damage. The information about bioecology of A. hilaralis is

needed to determine the appropriate pest management strategies. The aim of this
study is to review the biology (life cycle and life table) and ecology of A. hilaralis
(attack of A. hilaralis on jabon in different plantation age and altitude).
The study of life cycle was conducted by observing the development of life
stage A. hilaralis, such as time of life cycle and body size. The study of life table
was conducted by calculating the mortality of A. hilaralis individual and the
number of offspring hatched by individuals at each age. There are some terms
used to calculated the parameters of population growth like gross reproductive
rate (GRR), net reproductive rate (Ro), mean generation time (T), individual per
female per day (r). The ecology research of A. hilaralis has been done by
observing attacks of A. hilaralis on jabon stands at the planting
age 0.5; 1.0 and 1.5 years, as well as in the jabon stands in the lowlands and
highlands, then calculate the percentage of damage level (K) and pest incidence
level (IS) of A. hilaralis.
The results show that life cycle of A. hilaralis is about 25.1 days, while egg
stadium is 2.7 days, larvae 12.6 days, pupae 6.9 days and praoviposisi of adult 2.9
days. Life table of A. hilaralis show that GRR of A. hilaralis on jabon is 141
individual per generation, Ro revealed 70 individual per female per generation,
T is 23.5 days, and the innate capacity for increase (r) 0.18 individual per female
per day. Periodic pest management is needed in the development of pest control,

due to the high level of development and the rapid rate of growth of A. hilaralis.
Percentage of damage level of A. hilaralis on jabon at the planting age of 0.5, 1,
and 1.5 is not significantly different, whereas pest insidence level of A. hilaralis at
planting age 1.5 years was significantly different than the planting ages 0.5 and 1
year. Percentage of damage level and pest incidence level of A. hilaralis on Jabon
stands in the lowlands and highlands showed no pronounce differences. This
mean that the A. hilaralis are cosmopolitan, therefore pest management actions
A. hilaralis needs to be done on both jabon stands in lowland and upland, and not
just at the beginning of planting but also when standing jabon have grown old.
The parasitoid in A. hilaralis are Phanerotoma sp., Chelonus sp., Apenteles sp.,
Tetrastichus sp., dan Ooencyrtus sp.
Keywords: Anthocephalus cadamba, Arthroschista hilaralis, biology, ecology

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

BIOEKOLOGI HAMA Arthroschista hilaralis
(Lepidoptera: Pyralidae) PADA TANAMAN JABON
(Anthocephalus cadamba Miq.)

SELVI CHELYA SUSANTY

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Silvikultur Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Nina Maryana, M.Si

Judul Tesis : Bioekologi Hama Arthroschista hilaralis (Lepidoptera: Pyralidae)
pada Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.)
Nama
: Selvi Chelya Susanty
NIM
: E451110071

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Noor Farikhah Haneda, MS
Ketua

Dr Ir Irdika Mansur, MForSc
Anggota

Diketahui oleh


Ketua Program Studi
Silvikultur Tropika

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Sri Wilarso Budi R, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:
3 Februari 2014

Tanggal Lulus:

Judul Tesis : Bioekologi Hama Arthroschista hilaralis (Lepidoptera: Pyralidae)
pada Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.)
:
Selvi Chelya Susanty
Nama
: E451110071

NIM

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Irdika Mansur, MForSc
Anggota

Dr Ir Noor Farikhah Han da MS
Ketua

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Silvikultur Tropika

Dr Ir Sri Wilarso Budi R, MS

Tanggal Ujian:
3 Februari 2014


Tanggal Lulus:

0i

セ _@

K 2014

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2012 ini ialah
Hama, dengan judul Bioekologi Hama Arthroschista hilaralis (Lepidoptera:
Pyralidae) pada Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Noor Farikhah Haneda,
MS dan Bapak Dr Ir Irdika Mansur, MForSc selaku pembimbing, serta
Dr. Ir. Nina Maryana, M.Si yang telah banyak memberi saran. Penulis juga
menyampaikan terima kasih kepada Beasiswa Unggulan dari DIKTI serta kepada
Dr Akhmad Rizali, SPMSi atas saran yang diberikan dalam penulisan hasil

penelitian. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, suami,
seluruh keluarga, dan sahabat atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2014
Selvi Chelya Susanty

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
2
3
3

2 METODE
Waktu dan Tempat
Alat dan Bahan
Metode Penelitian

3
3
3
3

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Biologi Arthroschista hilaralis
Ekologi Arthroschista hilaralis
Parasitoid pada Arthroschista hilaralis

7
7
20
22

4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

25
25
25

DAFTAR PUSTAKA

26

LAMPIRAN

29

RIWAYAT HIDUP

30

DAFTAR TABEL
1 Neraca kehidupan
2 Kriteria klasifikasi intensitas serangan hama
3 Rata-rata lama stadia dan ukuran pada setiap tahap perkembangan
hidup Arthroschista hilaralis
4 Perbedaan stadium pradewasa dan lama hidup Arthroschista hilaralis
di Malaysia, India, dan Indonesia
5 Perbedaan ukuran tubuh Arthroschista hilaralis di India dan Indonesia
6 Parameter demografi Arthroschista hilaralis
7 Persentase serangan (%) Arthroschista hilaralis pada tanaman jabon
berumur 0.5; 1.0; dan 1.5 tahun
8 Intensitas serangan Arthroschista hilaralis pada tanaman jabon berumur
0.5;1.0; 1.5 tahun

5
7
8
10
17
18
20
20

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23

Plot pengamatan pada setiap lokasi penelitian (Seo 2013)
Ukuran telur Arthroschista hilaralis: a) panjang; b) lebar
Telur Arthroschista hilaralis : a) awal peletakan; b) siap menetas
Proses ganti kulit Arthroschista hilaralis: a) sebelum ganti kulit; b)
eksuvia; c) setelah ganti kulit
Larva Arthroschista hilaralis instar I
Larva Arthroschista hilaralis instar II
Larva Arthroschista hilaralis instar III
Larva Arthroschista hilaralis instar IV
Larva Arthroschista hilaralis instar V
Sebaran panjang tubuh larva Arthroschista hilaralis pada instar I s.d V
Sebaran lebar tubuh larva Arthroschista hilaralis pada instar I s.d V
Kerusakan tanaman jabon akibat serangan A. hilaralis: a) kerusakan
pada daun; b) penampakan kerusakan pada pohon
Pupa Arthroschista hilaralis: a) jantan; b) betina
Pupa Arthroschista hilaralis: a) awal berwarna coklat muda; b) siap
menjadi imago berwarna coklat tua kehijauan
Imago Arthroschista hilaralis
Ujung abdomen imago Arthroschista hilaralis: a) jantan; b) betina
Kurva kesintasan Arthroschista hilaralis
Persentase serangan dan intensitas serangan Arthroschista hilaralis
pada tegakan jabon di dataran rendah dan dataran tinggi
Parasitoid larva Arthroschista hilaralis: Phanerotoma sp.
Parasitoid telur-larva Arthroschista hilaralis: Chelonus sp.
Parasitoid larva Arthroschista hilaralis: Apanteles sp.
Parasitoid larva-pupa Arthochista hilaralis: a). Tetrastichus sp.;
b). pupa inang yang terserang Tetrastichus sp.
Parasitoid larva Arthochista hilaralis: a) Ooencyrtus sp.; b) larva inang
yang terserang Ooencyrtus sp.

6
9
9
10
11
11
12
12
12
13
13
14
15
15
16
16
17
21
22
23
24
24
25

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia memiliki kekayaan hutan tropis yang luas, dan merupakan negara
anggota International Tropical Timber Organization (ITTO) penghasil kayu
terbesar di dunia. Meski demikian, jumlah pasokan kayu Indonesia belum dapat
memenuhi permintaan kayu dalam negeri. Oleh karenanya untuk memenuhi
kebutuhan kayu tersebut, Indonesia mengimpor kayu dari negara lain seperti Cina,
Jepang, Malaysia dan lainnya (ITTO 2011). Berdasarkan data kebutuhan kayu
nasional, tercatat bahwa pada tahun 2009 produksi kayu bulat Indonesia sebesar
31.980.000 m3 dan impor kayu bulat mencapai 79.833 m3 (Mansur dan Tuheteru
2010). Deforestasi yang terjadi pada hutan alam mengakibatkan pasokan kayu
yang berasal dari hutan alam semakin menurun, sehingga pemenuhan kayu saat
ini pun bergantung kepada Hutan Tanaman Industri (HTI) dan hutan rakyat.
Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) merupakan salah satu jenis tanaman
asli Indonesia yang memiliki kemampuan tumbuh yang cepat, memiliki batang
yang lurus dan silindris. Selain itu tanaman ini memiliki kemampuan beradaptasi
yang luas dan relatif tahan terhadap serangan hama penyakit. Kayu jabon dapat
digunakan untuk lapisan depan dan belakang kayu lapis, bahan konstruksi, bahan
baku papan partikel atau bubur kertas, dan lainnya (Mulyana dan Fahmi 2011).
Saat ini jabon tidak hanya dikembangkan di Jawa tetapi juga telah
dikembangkan Kalimantan Timur dan Sumatera (Junaedi dan Pribadi
2011). Tanaman jabon tengah dikembangkan oleh masyarakat baik pada kawasan
rehabilitasi, HTI, maupun pada hutan rakyat. Dengan berbagai kelebihan yang
dimiliki tanaman jabon diharapkan tanaman ini dapat menjadi salah satu tanaman
alternatif dari tanaman sengon yang saat ini banyak terserang penyakit karat puru.
Serangan karat puru pada sengon menyebabkan seluruh bagian tanaman dipenuhi
oleh puru, tanaman menjadi mengering dan menyebabkan kematian.
Penanaman jabon secara monokultur dalam skala luas berpeluang
menjadikan jabon rentan akan serangan hama. Beberapa hama defoliator yang
menyerang jabon di HTI dan hutan rakyat Riau antara lain Arthroschista hilaralis,
Cosmoleptrus sumatranus, Coptotermes, ulat kantong (Pychidae) dan Dysdercus
cingulatus (Pribadi 2010).
A. hilaralis merupakan salah satu hama defoliator yang banyak menyerang
tanaman Jabon. Hama ini menjadi hama dominan dan menyebabkan kerusakan
yang tinggi pada tanaman jabon di Riau dan Kalimantan Timur (Nair 2000;
Pribadi 2010). Serangan A. hilaralis dapat memperlambat pertumbuhan tanaman,
menyebabkan terjadinya dieback (mati pucuk) dan terbentuknya cabang
epikormik (Nair 2007). Pada puncak musim kering serangan A. hilaralis menjadi
lebih tinggi dibandingkan pada pertengahan musim kering (Junaedi dan Pribadi
2011).
Penelitian siklus hidup A. hilaralis pernah dilakukan di India dan Malaysia,
namun di Indonesia penelitian menganai siklus hidup hama ini belum pernah
dilakukan. Selain itu informasi mengenai neraca kehidupan A. hilaralis belum
tersedia baik di Indonesia maupun di negara lain. Informasi terkait siklus hidup
dan neraca kehidupan A. hilaralis di Indonesia diperlukan dalam menentukan

2
strategi pengelolaan hama A. hilaralis yang tepat. Informasi terkait ekologi
A. hilaralis seperti serangan A. hilaralis pada umur tanaman dan altitude berbeda
diperlukan dalam pengambilan keputusan silvikultur yang akan dilakukan.

Perumusan Masalah
Jabon merupakan salah satu tanaman kehutanan yang memiliki kemampuan
tumbuh yang cepat. Tanaman ini dapat dipanen secara komersial pada umur 5-6
tahun. Tanaman jabon memiliki batang yang silindris dan dapat digunakan untuk
pembuatan kayu lapis, bahan konstruksi, bahan baku papan partikel atau bubur
kertas dan lainnya.
Jabon memiliki kemampuan adaptasi yang luas. Meskipun tanaman ini
optimal tumbuh pada ketinggian kurang dari 500 m dpl (Mansur 2012), namun
tanaman ini memiliki tingkat toleransi pada ketinggian 0-1000 m dpl. Selain itu
tanaman ini memiliki daerah penyebaran alami di seluruh wilayah Indonesia
(Mansur dan Tuheteru 2010). Penanaman jabon saat ini telah banyak dilakukan
baik pada dataran rendah maupun dataran tinggi.
Penanaman jenis pohon secara monokultur rawan terhadap serangan hama
dan penyakit. A. hilaralis merupakan hama defoliator yang pada saat ini banyak
menyerang tanaman jabon. Dilaporkan bahwa di Riau hama ini menjadi hama
dominan yang menyerang tanaman jabon dengan tingkat kerusakan yang tinggi
yaitu sebesar 63% (Pribadi 2010). Hama ini juga pernah menyerang jabon di
Kalimantan Timur dan menyebabkan kerusakan yang serius (Nair 2000).
Serangan A. hilaralis jarang menyebabkan kematian tanaman, namun
serangan hama ini dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Serangan
A. hilaralis mempengaruhi pertumbuhan jabon sebesar 46% pada tegakan jabon
berumur 2 tahun (Junaedi dan Pribadi 2011). A. hilaralis yang menyerang daun
akan mengganggu proses fotosintesis sehingga akan menghambat pertumbuhan
tanaman.
Penelitian mengenai A. hilaralis belum banyak di lakukan di Indonesia.
Informasi mengenai aspek biologi dan ekologi A. hilaralis diperlukan dalam
upaya pengelolaan hama tersebut. Informasi mengenai aspek biologi seperti siklus
hidup dan neraca kehidupan diperlukan sebagai dasar dalam menentukan strategi
pengelolaan yang tepat. Informasi siklus hidup dapat digunakan untuk mengetahui
waktu yang tepat dalam melakukan pengendalian sedangkan informasi mengenai
neraca kehidupan dapat digunakan untuk mengetahui laju perkembangan dari
populasi hama tersebut. Informasi ekologi A. hilaralis terkait serangan pada
berbagai umur tanaman dan altitude berbeda dapat menjadi bahan pertimbangan
dalam mengambil keputusan silvikultur yang dilakukan.
Atas dasar uraian di atas, maka penelitian ini ditujukan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Bagaimana aspek biologi dari A. hilaralis, terkait siklus hidup dan neraca
kehidupannya?
2. Bagaimana aspek ekologi dari A. hilaralis, terkait serangan A. hilaralis pada
tanaman jabon dengan umur tanaman dan altitude berbeda?

3
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini ialah :
1. Mengkaji aspek biologi A. hilaralis terkait siklus hidup dan neraca kehidupan.
2. Mengkaji aspek ekologi A. hilaralis terkait serangan A. hilaralis pada tegakan
jabon dengan umur tanaman dan altitude berbeda.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Memberikan informasi mengenai aspek biologi A. hilaralis mencakup siklus
hidup dan neraca kehidupan yang dapat digunakan dalam menentukan strategi
pengelolaan hama yang tepat.
2. Memberikan informasi mengenai aspek ekologi A. hilaralis terkait serangan
pada tanaman jabon dengan umur tanaman dan altitude berbeda sehingga dapat
dimanfaatkan dalam pengambilan keputusan silvikultur yang dilakukan.

2 METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Entomologi Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor dan Hutan Rakyat tanaman jabon yang berada di Jawa
Barat dan Jawa Tengah. Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2012
hingga Juni 2013.

Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian yaitu wadah plastik, kurungan imago,
kuas, mikroskop stereo, kamera mikroskop optilab, tally sheet, meteran, dan pita
penanda pohon. Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian yaitu
serangga uji A. hilaralis, daun jabon (A. cadamba), kertas tisu, kapas dan cairan
madu 10% yang digunakan sebagai bahan makanan bagi imago.

Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dalam dua bagian, yaitu penelitian mengenai aspek
biologi dan penelitian menganai aspek ekologi A. hilaralis. Penelitian aspek
biologi A. hilaralis terkait siklus hidup dan neraca kehidupan dilakukan di
laboratorium dan analisis data dilakukan secara deskriptif. Penelitian mengenai
aspek ekologi dari A. hilaralis terkait persentase serangan dan intensitas serangan
A. hilaralis pada tanaman jabon dengan umur tanaman dan altitude berbeda
dilakukan di hutan rakyat jabon. Analisis data dilakukan dengan menggunakan
program SPSS 16 dengan analisis One Way Anova dan uji lanjut Tukey untuk

4
membandingkan serangan pada ketiga umur tanaman, dan uji Independent Sample
t Test untuk membandingkan serangan pada altitude berbeda.
Biologi A. hilaralis
Penelitian mengenai aspek biologi A. hilaralis meliputi kegiatan persiapan
serangga, pengamatan siklus hidup, pengamatan neraca kehidupan dan
pengolahan data.
Persiapan Serangga
Larva A. hilaralis yang ditemukan pada tanaman jabon di lapang diambil
beserta daun yang terserang kemudian dimasukkan ke dalam wadah plastik untuk
dibawa ke laboratorium. Larva yang telah diperoleh dari lapang dipelihara dengan
diberi pakan daun jabon yang masih segar dan diganti setiap hari. Imago yang
dihasilkan dari pemeliharaan di laboratorium dimasukkan dalam kurungan
tersendiri. Imago diberi makan larutan madu 10% yang diserapkan pada kapas
yang digantung di dalam kurungan. Di dalam kurungan tersebut juga diletakkan
daun jabon sebagai tempat bertelur bagi imago betina. Telur-telur yang berumur
sama dikumpulkan dan diletakkan dalam wadah plastik yang dilapisi tisu lembab.
Telur- telur tersebut digunakan dalam memulai penelitian siklus hidup.
Siklus Hidup
Telur. Telur imago yang memiliki umur yang sama dipindahkan ke dalam
satu wadah plastik yang telah diberi alas tisu lembab. Stadium telur diamati sejak
telur diletakkan sampai menetas menjadi larva instar I. Pengamatan dilakukan
terhadap bentuk, warna, diameter, dan lama stadium telur. Pengukuran diameter
dilakukan pada bagian terpanjang dan terlebar. Pengamatan dilakukan sebanyak
30 ulangan.
Larva. Sebanyak 30 larva yang baru keluar dari telur diletakkan satu per
satu dalam wadah plastik. Stadium larva diamati mulai dari instar pertama sampai
instar terakhir. Pengamatan larva meliputi warna tubuh, panjang dan lebar tubuh,
serta lama stadium larva tiap instar.
Pengukuran panjang tubuh larva diukur dari ujung kepala sampai ujung
abdomen terakhir, sedangkan lebar tubuh diukur dari lebar maksimum thoraks.
Pengukuran panjang kepala larva diukur dari ujung kepala sampai berbatasan
dengan thoraks dan lebar kepala diukur dari lebar maksimum kepala larva
(Boror et al. 1976). Lama stadium larva tiap instar dihitung sejak keluar dari telur
atau ganti kulit hingga terjadi pergantian kulit berikutnya.
Pupa. Pengamatan stadium pupa dilakukan saat pupa terbentuk sampai
menjadi imago. Pada pengamatan ini dibedakan antara pupa jantan dan pupa
betina. Pengamatan pupa meliputi bentuk, warna, lama stadium pupa, panjang dan
lebar pupa yang diukur pada bagian terpanjang dan terlebar.
Imago. Pengamatan imago dilakukan dengan cara mengambil 10 pasang
imago yang baru terbentuk dari pupa, kemudian ditempatkan dalam kurungan.
Setiap kurungan ditempatkan satu pasang imago jantan dan betina. Apabila
perbandingan jantan dan betina tidak mencapai 1:1, maka imago jantan
dipindahkan beberapa kali dalam kurungan imago betina agar semua imago dapat
berkopulasi. Imago diberi makan cairan madu 10% yang digantungkan di dalam

5
kurungan. Pengamatan imago meliputi warna, ukuran, masa praoviposisi dan lama
hidup imago. Pengukuran panjang tubuh dan rentang sayap dilakukan langsung
setelah imago mati. Siklus hidup A. hilaralis dihitung dari awal stadium telur
A. hilaralis hingga menjadi imago dan mulai meletakan telur.
Neraca Kehidupan
Penelitian mengenai neraca kehidupan dimulai dengan menggunakan
30 telur A. hilaralis yang siap menetas, kemudian dilakukan pengamatan dan
pencatatan terhadap mortalitas individu A. hilaralis dan keperidian setiap individu
imago setiap harinya. Data mortalitas dan keperidian A. hilaralis dimasukkan ke
dalam tabel neraca kehidupan.
Tabel 1 Neraca kehidupan
x

ax

lx

mx

lxmx

xlxmx

1
2

Keterangan:
x
: kelas umur kohort (hari).
ax
: jumlah individu yang hidup pada setiap umur pengamatan.
lx
: peluang hidup (survivorship) pada setiap kelas umur (l: living, l x = a x /a 0 ).
mx
: keperidian spesifik individu- individu pada kelas umur x atau jumlah
anak betina perkapita yang lahir pada kelas x.
l x m x : banyaknya anak yang dilahirkan pada kelas umur x
∑ l x m x :proporsi banyaknya anak dilahirkan oleh semua individu (betina)
sepanjang generasi kohort dan disebut laju reproduksi bersih (R 0 ).
Neraca kehidupan yang berisi data daya bertahan hidup (l x ) dan keperidian
spesifik umur (m x ) tersebut kemudian digunakan sebagai dasar untuk menghitung
parameter pertumbuhan populasi. Perhitungan nilai parameter neraca kehidupan
dengan menggunakan rumus (Price 1984):
Ro
= ∑ lxmx
GRR
= ∑ mx
T
= ∑ xl x m x / ∑ l x m x ; x = 1, 2, 3, … n hari
r
= (ln R o ) / T
Keterangan:
Ro
: Laju reproduksi bersih
GRR : Laju reproduksi kotor
T
: Rataan masa generasi
r
: Laju pertumbuhan intrinsik

6
Ekologi A. hilaralis
Kegiatan yang dilakukan dalam penelitian aspek ekologi A. hilaralis terkait
dengan serangan A. hilaralis pada tegakan jabon dengan umur tanaman dan
altitude berbeda meliputi: penentuan lokasi, pembuatan plot pengamatan,
perhitungan persentase serangan dan intensitas serangan.
Penentuan Lokasi
Penelitian mengenai serangan A. hilaralis pada tanaman jabon dengan
umur tanam dan altitude berbeda dilakukan pada lokasi yang berbeda yang telah
ditentukan. Hal tersebut dilakukan karena beragamnya kondisi tegakan jabon yang
ditemukan. Penelitian mengenai serangan A. hilaralis pada berbagai umur tanam,
dilakukan pada tegakan jabon berumur 0.5; 1.0; dan 1.5 tahun (tinggi tanaman
2.73 m; 6.16 m; dan 6.32 m). Sementara itu untuk mengkaji serangan A. hilaralis
pada altitude berbeda, penelitian dilakukan pada 2 lokasi tegakan jabon yang
berada di dataran rendah dan 2 lokasi tegakan jabon yang berada di dataran tinggi
yang berada di Kabupaten Bogor (Jawa Barat) dan Pemalang (Jawa Tengah).
Lokasi penelitian di dataran rendah berada di Kecamatan Ampel Gading
Pemalang (30 m dpl) dan Kecamatan Sukamakmur Bogor (410 m dpl),
sedangkan lokasi penelitian di dataran tinggi berada di Kecamatan Megamendung
Bogor (900 m dpl) dan Kecamatan Penakir Pemalang (1160 m dpl).
Pembuatan Plot Pengamatan
Pada tiap lokasi penelitian yang telah ditentukan masing-masing dibuat
3 (tiga) plot pengamatan, namun pada lokasi penelitian di Kecamatan Ampel
Gading hanya dapat dibuat 2 plot pengamatan karena luasan lahan yang terbatas.
Plot pengamatan berbentuk bujur sangkar dengan ukuran luas plot 0.02 ha, dengan
sistem Random Sampling. Dalam setiap plot dilakukan pengamatan terhadap
serangan A. hilaralis, kemudian dilakukan perhitungan terhadap persentase
serangan dan intensitas serangan.

0.02 ha

Gambar 1 Plot pengamatan pada setiap lokasi penelitian (Seo 2013)
Perhitungan Persentase Serangan (K) dan Intensitas Serangan (IS)
Persentase serangan diperoleh dari banyaknya jumlah pohon yang terserang
hama A. hilaralis di dalam plot pengamatan, dengan menggunakan rumus:

7
K=


× 100%


Keterangan:
K : Persentase serangan
n : Jumlah pohon terserang dalam plot
N : Jumlah total pohon yang diamati

Intensitas serangan A. hilaralis ditentukan dengan mengamati dan
menghitung jumlah daun yang rusak pada setiap pohon kemudian dilakukan
penilaian dengan menggunakan teknik skoring berdasarkan kriteria klasifikasi
Unterstenhofer (1963).
Tabel 2 Kriteria klasifikasi intensitas serangan hama
Intensitas serangan
Sehat
Ringan
Agak Berat
Berat
Sangat Berat

Tanda Kerusakan pada Tanaman
Kerusakan daun < 5%
Kerusakan daun antara 5% - 25%
Kerusakan daun antara 26% - 50%
Kerusakan daun antara 51% - 75%
Pohon gundul/hampir gundul > 75%

Nilai
0
1
2
3
4

Kemudian perhitungan intensitas serangan hama A. hilaralis dilakukan
dengan menggunakan rumus:
∑(ni. vi)
IS =
× 100%
N. Z
Keterangan:
IS : Intensitas Serangan
ni : Jumlah tanaman terserang dengan kategori tertentu
vi : Kategori kerusakan
N : Jumlah tanaman yang diamati
Z : Kategori kerusakan tertinggi

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Biologi A. hilaralis
A. hilaralis termasuk ke dalam ordo Lepidoptera, family Pyralidae.
A. hilaralis memiliki ukuran tubuh yang kecil dengan sayap depan memanjang
dan berbentuk segi tiga dengan sayap belakang yang lebar, serta memiliki palpus
labialis yang mencuat kedepan seperti moncong. Borror et al. (1976) menjelaskan
bahwa famili Pyralidae merupakan famili terbesar ketiga dalam ordo Lepidoptera.
Umumnya spesies pada family ini memiliki ukuran tubuh kecil dan agak halus,
berwarna tidak menarik, memiliki organ timpanum yang berfungsi sebagai alat
pendengaran di abdomen, memiliki sebuah probosisi yang bersisik dan palpus
labialis yang mencuat kedepan. Imago aktif pada malam hari dan hampir sebagian
besar spesies dari famili ini merupakan hama penting pada tanaman.

8

Siklus Hidup
Tahap perkembangan A. hilaralis terdiri dari stadium telur, larva, pupa, dan
imago. Siklus hidup A. hilaralis mulai dari stadium telur hingga masa praoviposisi
memerlukan waktu 25.1 hari dengan rata-rata stadium telur 2.7 hari; larva 12.6
hari, pupa 6.9 hari dan masa praoviposisi 2.9 hari. Perkembangan hidup
A. hilaralis disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3 Rata-rata lama stadium dan ukuran pada setiap tahap perkembangan
hidup Arthroschista hilaralis
Tahap
Jumlah
perkembangan
contoh
Telur
30
Larva: a. Tubuh
Instar I
30
Instar II
30
Instar III
30
Instar IV
30
Instar V
30
b. Kepala
Instar I
30
Instar II
30
Instar III
30
Instar IV
30
Instar V
30
Pupa
30
Imago jantan
10
Rentang sayap
Imago betina
10
Rentang sayap
Praoviposisi
10
Total siklus A.hilaralis

Stadium
(hari) ± sd
2.7 ± 0.5

Panjang
(mm) ± sd
0.42 ± 0.03

Lebar
(mm) ± sd
0.39 ± 0.03

2.5 ± 0.7
2.2 ± 0.4
2.3 ± 0.5
2.2 ± 0.4
3.4 ± 0.9

2.76 ± 0.89
5.02 ± 1.34
8.71 ± 1.90
14.12 ± 3.30
20.26 ± 3.00

0.33 ± 0.12
0.60 ± 0.14
1.00 ± 0.26
1.62 ± 0.47
2.51 ± 0.43

6.9 ± 0.8
4.0 ± 1.3

0.22 ± 0.08
0.41 ± 0.12
0.73 ± 0.28
1.29 ± 0.36
1.97 ± 0.16
14.5 ± 0.73
14.20 ± 0.92

0.28 ± 0.09
0.47 ± 0.13
0.82 ± 0.22
1.22 ± 0.26
1.82 ± 0.16
3.01 ± 0.23
27.85 ± 0.88

6.9 ± 2.9

13.80 ± 0.63
28.30 ± 1.06

2.9 ± 0.7
25.1

Telur. Telur A. hilaralis memiliki rata-rata panjang 0.42 mm dan lebar
0.39 mm, dengan kisaran panjang 0.34-0.50 mm dan lebar 0.34-0.47 mm
(Gambar 2). Telur A. hilaralis berbentuk bulat telur dan akan menetas setelah 2-3
hari diletakkan, dengan rata-rata waktu menetas 2.7 hari. Di West Bengal (India)
periode telur berlangsung selama 3-4 hari (Thapa dan Bhandari 1976). Saat
pertama diletakkan telur berwarna putih keruh. Pada hari berikutnya telur akan
menjadi kemerahan yang menandakan bahwa telur telah siap menetas (Gambar 3).

9

0.50
0.48

Ukuran telur (mm)

0.45
0.43
0.42

0.40
0.39

0.38

0.35

Panjang

Lebar

Gambar 2 Ukuran telur Arthroschista hilaralis: a) panjang; b) lebar

1 mm

1 mm

a

b

Gambar 3 Telur Arthroschista hilaralis : a) awal peletakan; b) siap menetas
Larva. Larva A. hilaralis memiliki tubuh berbentuk silindris dengan tiga
pasang tungkai sejati pada bagian thoraks dan terdapat 4 pasang tungkai semu
pada ruas ketiga hingga keenam abdomen. Stadium larva merupakan fase
perkembangan terlama dalam siklus hidup A. hilaralis. Rata-rata waktu yang
diperlukan A. hilaralis pada stadium ini adalah 12.6 hari dengan kisaran waktu
11-15 hari. Di Sabah (Malaysia) rata-rata waktu yang diperlukan pada stadium
larva 12-16 hari sedang di West Bengal (India) 13-15 hari (Tabel 4) (Thapa 1970;
Thapa dan Bhandari 1976).
Selama stadium larva A. hilaralis mengalami 4 kali ganti kulit (ekdisis)
sehingga terjadi 5 periode instar. Ganti kulit merupakan cara yang dilakukan oleh
serangga untuk menanggalkan rangka luarnya (eksoskeleton) agar ukuran
tubuhnya dapat menjadi lebih besar (Gullan dan Cranston 2000). Proses ganti
kulit dikontrol oleh tiga hormon yaitu PTTH (hormon protorasikotropik), ekdison,
dan JH (hormon juvenil). Hormon protorasikotropik dihasilkan oleh sel-sel
neurosekretorik dalam otak dan merangsang kelenjar-kelenjar protoraks untuk
menghasilkan hormon ekdison yang merangsang apolisis dan mendorong
pertumbuhan JH yang dihasilkan oleh sel-sel dalam korpola allata (Hidayat dan
Sosromarsono 2003). Hormon JH pada fase pradewasa ini berfungsi untuk

10
menghambat pertumbuhan karakter dewasa sehingga larva mengalami
pertumbuhan lebih lanjut dalam bentuk larva.
Tabel 4 Perbedaan stadium pradewasa dan lama hidup Arthroschista hilaralis
di Malaysia, India, dan Indonesia
Fase

Sabah
(Malaysia)*
12-16 hari
4 hari
2-3 hari
2-3 hari
2-3 hari
4-6 hari
4-7 hari

Periode telur
Periode larva
Larva instar 1
Larva instar 2
Larva instar 3
Larva instar 4
Larva instar 5
Periode pupa
Periode Imago

West Bengal
(India)**
3-4 hari
13-15 hari
2-3 hari
2 hari
2 hari
2 hari
3-4 hari
5-7 hari
5-7 hari

Bogor
(Indonesia)
2-3 hari
11-15 hari
2-4 hari
2-3 hari
2-3 hari
2-3 hari
2-5 hari
6-8 hari
4-7 hari

Sumber: * Thapa (1970)
** Thapa dan Bhandari (1976)

Larva A. hilaralis yang akan berganti kulit ditandai dengan adanya
perubahan warna tubuh yang menjadi lebih suram, selain itu larva menjadi kurang
aktif dalam bergerak maupun makan. Larva yang telah selesai ganti kulit akan
tetap berdiam diri. Kepala dan tubuh larva akan berwarna lebih terang dan lebih
bening dibandingkan dengan sebelumnya (Gambar 4). Beberapa saat setelah larva
aktif makan kembali, tubuh larva akan menjadi lebih besar dan integument tubuh
menjadi lebih keras. Kulit tubuh larva yang lama biasanya tidak ditemukan karena
sering kali dimakan oleh larva itu sendiri.

1 cm

1 cm

a

b
1 cm

c

Gambar 4

Proses ganti kulit Arthroschista hilaralis: a) sebelum ganti kulit;
b) eksuvia; c) setelah ganti kulit

11
Instar I. Larva instar I terhitung mulai pada saat telur menetas hingga terjadi
pergantian kulit pertama. Instar ini rata-rata berlangsung selama 2.5 hari dengan
kisaran 2-4 hari. Di Sabah (Malaysia) larva instar I berlangsung selama
4 hari sedangkan di West Bengal (India) 2-3 hari (Tabel 4) (Thapa 1970; Thapa
dan Bhandari 1976). Rata-rata panjang tubuh A. hilaralis pada instar I adalah 2.76
mm dan lebar 0.33 mm dengan rata-rata panjang dan lebar kepala sebesar 0.22
mm dan 0.28 mm (Gambar 5).

1 mm

Gambar 5 Larva Arthroschista hilaralis instar I
Instar II. Larva instar II rata-rata berlangsung selama 2.2 hari dengan
kisaran waktu 2-3 hari. Di Sabah (Malaysia) larva instar II berlangsung selama
2-3 hari sedangkan di West Bengal (India) 2 hari (Tabel 4) (Thapa 1970; Thapa
dan Bhandari 1976). Saat instar II rata-rata panjang tubuh A. hilaralis 5.02 mm
dan lebar tubuh 0.60 mm. Rata-rata panjang dan lebar kepala mencapai 0.41 mm
dan 0.47 mm (Gambar 6).

1 mm

Gambar 6 Larva Arthroschista hilaralis instar II
Instar III. Larva instar III rata-rata berlangsung selama 2.3 hari dengan
kisaran waktu 2-3 hari. Di Sabah (Malaysia) larva instar III berlangsung selama
2-3 hari sedangkan di West Bengal (India) 2 hari (Tabel 4) (Thapa 1970; Thapa
dan Bhandari 1976). Rata-rata panjang tubuh A. hilaralis pada instar ini mencapai
8.71 mm dan lebar tubuh 1.00 mm dengan rata-rata panjang dan lebar kepala
mencapai 0.73 mm dan 0.82 mm (Gambar 7).

12

1 mm

Gambar 7 Larva Arthroschista hilaralis instar III
Instar IV. Larva instar IV rata-rata berlangsung selama 2.2 hari dengan
kisaran waktu 2-3 hari. Di Sabah (Malaysia) larva instar IV berlangsung selama
2-3 hari sedangkan di West Bengal (India) 2 hari (Tabel 4) (Thapa 1970; Thapa
dan Bhandari 1976). Pada instar ini rata-rata panjang tubuh larva A. hilaralis
mencapai 14.12 mm dan lebar tubuh 1.62 mm. Rata-rata panjang dan lebar kepala
mencapai 1.29 mm dan 1.22 mm (Gambar 8).

1 cm

Gambar 8 Larva Arthroschista hilaralis instar IV
Instar V. Larva instar V rata-rata berlangsung selama 3.4 hari dengan
kisaran waktu 2-5 hari. Di Sabah (Malaysia) larva instar V berlangsung selama
4-6 hari sedangkan di West Bengal (India) 3-4 hari (Tabel 4) (Thapa 1970; Thapa
dan Bhandari 1976). Pada instar ini rata-rata panjang tubuh A. hilaralis
20.26 mm dan lebar 2.51 mm. Rata-rata panjang dan lebar kepala mencapai
1.97 mm dan 1.82 mm (Gambar 9).

1 cm

Gambar 9 Larva Arthroschista hilaralis instar V

13
Sebaran panjang dan lebar tubuh dari 30 ulangan larva A. hilaralis pada
instar I hingga instar V disajikan pada Gambar 10 dan Gambar 11.

25

20.26

panjang tubuh (mm)

20

15
14.12

10
8.71

5

5.02
2.76

0

instar 1

Gambar 10

instar 2

instar 3

instar 4

instar 5

Sebaran panjang tubuh larva Arthroschista hilaralis pada
instar I s.d V

4

lebar tubuh (mm)

3

2.51

2

1.62

1

1.00
0.60
0.33

0

stadia 1

stadia 2

stadia 3

stadia 4

stadia 5

Gambar 11 Sebaran lebar tubuh larva Arthroschista hilaralis pada instar I s.d V
Stadium larva merupakan fase merusak dari hama A. hilaralis. Pada
stadium ini A. hilaralis menyerang dan mengganggu pertumbuhan tanaman jabon.
Larva A. hilaralis memakan daun jabon sehingga menggangu proses fotosintesis
dan menghambat pertumbuhan tanaman. Serangan A. hilaralis pada tanaman

14
jabon berumur muda di persemaian dapat menyebabkan kematian pada tanaman.
Larva A. hilaralis memakan daun jabon dari pintalan daun yang dibuatnya.
A. hilaralis memintal daun jabon dengan menggunakan jaring benang sutra yang
berasal dari mulutnya. Pintalan daun ini berfungsi sebagai tempat perlindungan
bagi A. hilaralis dari musuh dan keadaan yang tidak menguntungkan. Saat larva
instar 1-2 A. hilaralis hanya memakan jaringan epidermis daun, lipatan daun yang
dijalin dengan jaring benang sutra tidak begitu rapat (agak terbuka). Saat instar 35 A. hilaralis memakan semua bagian daun hingga yang tersisa hanyalah tulang
daun, lipatan daun yang dijalin sudah tertutup. Upaya pengendalian hama A.
hilaralis yang dilakukan pada saat stadium larva dengan menggunakan insektisida
kontak tidak akan efektif, karena larva A. hilaralis berada di dalam lipatan daun.
Insektisida sistemik akan lebih efektif dibandingkan dengan insektisida kontak.
Insektisida sistemik akan diserap dan diedarkan oleh jaringan tanaman dan dalam
beberapa waktu lamanya akan tersimpan dalam jaringan tanaman dalam jumlah
tertentu dan aktif sebagai insektisida. Larva A. hilaralis yang memakan daun
jabon akan terkena insektisida sistemik, meskipun berada dalam lipatan daun.

Gambar 12 Kerusakan tanaman jabon akibat serangan A. hilaralis:
a) kerusakan pada daun; b) penampakan kerusakan pada pohon
Pupa. Pupa A. hilaralis termasuk ke dalam tipe obtekta. Bagian bakal
antena, bakal mulut, bakal sayap dan bakal tungkai melekat pada tubuh dan tidak
dapat dipisahkan. Pupa A. hilaralis berwarna coklat muda dengan rata-rata
panjang 14.50 mm dan lebar 3.01 mm. Perbedaan pupa jantan dan betina ditandai
oleh adanya tonjolan pada sternum abdomen ruas terakhir pada pupa betina,
sedangkan pada pupa jantan tidak terdapat tonjolan (Gambar 13). Stadium pupa
rata-rata berlangsung salama 6.9 hari dengan kisran waktu 6-8 hari (Tabel 3). Di
West Bengal (India) periode pupa berlangsung selama 5-7 hari (Tabel 4) (Thapa
dan Bhandari 1976). Pupa yang siap menjadi imago dicirikan dengan perubahan
warna dari coklat muda menjadi menjadi coklat tua kehijauan (Gambar 14).
Larva A. hilaralis berubah menjadi pupa di dalam lipatan daun yang
dibuatnya. Saat instar akhir larva A. hilaralis membuat lipatan daun yang lebih
rekat dari lipatan yang dibuat pada instar sebelumnya. Stadium pupa merupakan
fase istirahat. Saat stadium pupa A. hilaralis tidak melakukan aktifitas apapun
selain metabolisme, perombakan jaringan dan pembentukan struktur imago.
Sihombing (1999) menjelaskan bahwa stadium pupa merupakan stadium inkubasi
dan tidak ada aktifitas fisik selain metabolisme (Sihombing 1999). Pada stadium
ini terjadi proses perombakan jaringan dan pembentukan struktur kupu-kupu
(Opler dan Strawn 2000).

15

1 mm
1 mm

a

b

a

j

Gambar 13 Pupa Arthroschista hilaralis: a) jantan; b) betina

a

1 cm

b

1 cm

Gambar 14 Pupa Arthroschista hilaralis: a) awal berwarna coklat muda;
b) siap menjadi imago berwarna coklat tua kehijauan
Imago. Imago A. hilaralis berwarna hijau kebiruan dengan warna kuning
oranye di sepanjang costa sayap (Gambar 15). Imago jantan dan betina memiliki
ukuran tubuh yang tidak berbeda nyata. Berdasarkan pengamatan terhadap
10 pasang imago jantan dan betina, rata-rata panjang tubuh imago jantan
mencapai 14.20 mm dengan rentang sayap 27.85 mm, sedangkan panjang tubuh
imago betina 13.80 mm dengan rentang sayap 28.30 mm (Tabel 3). Lama hidup
imago jantan lebih singkat dari imago betina. Rata-rata lama hidup imago jantan
4.0 hari, sedangkan imago betina 6.9 hari (Tabel 3). Imago jantan dan betina dapat
dibedakan dari bentuk ujung abdomennya. Pada imago jantan ujung abdomen
ditumbuhi rambut-rambut yang lebat dan berwarna hitam, sedang pada imago
betina tidak terdapat rambut-rambut pada ujung abdomen (Gambar 16).
Departemen Kehutanan (1994) menjelaskan bahwa jenis kelamin imago pada
serangga ordo Lepidoptera dapat dibedakan dari warna sayap, ukuran tubuh, atau
melihat langsung alat kelamin serangga tersebut (dari bentuk abdomennya).

16

--1 cm --

Gambar 15 Imago Arthroschista hilaralis

a

b

Gambar 16 Ujung abdomen imago Arthroschista hilaralis: a) jantan; b) betina
Imago A. hilaralis aktif pada malam hari dan tertarik terhadap cahaya.
Imago A. hilaralis meletakan telur pada malam hari pada pintalan benang sutra di
permukaan daun yang dibuat oleh larva A. hilaralis. A. hilaralis meletakkan
telurnya secara satu per satu atau berkelompok dua atau tiga telur. Masa
praoviposisi A. hilaralis rata-rata 2.9 hari (Tabel 3) dengan kisaran waktu 2-4 hari.
Rata-rata jumlah telur yang dihasilkan selama hidupnya mencapai 129 butir,
sedangkan di West Bengal (India) imago betina A. hilaralis menghasilkan 60-70
butir telur. Perbedaan jumlah keperidian imago tersebut dapat disebabkan karena
adanya perbedaan kondisi lingkungan atau faktor makanan. Jayaraj (1981)
menyatakan bahwa tingkat keperidian ditentukan oleh rangsangan kopulasi,
kondisi lingkungan, sifat genetis, dan faktor makanan. Upaya pengendalian
A. hilaralis yang dilakukan pada stadium imago dapat dilakukan secara manual
dengan memanfaatkan perilaku imago A. hilaralis yang aktif pada malam hari dan
tertarik pada cahaya. Upaya pengendalian dapat dilakukan dengan menggunakan
perangkap lampu petromak dan air pada malam hari.
Berdasarkan penelitian ini ditemukan perbedaan dalam siklus hidup
A. hilaralis dengan siklus hidup A. hilaralis di Malaysia (Thapa 1970) dan India
(Thapa dan Bhandari 1976) (Tabel 4). Selain perbedaan siklus hidup, juga
terdapat perbedaan ukuran tubuh (Thapa dan Bhandari 1976) (Tabel 5).
Perbedaan siklus hidup tiap-tiap jenis serangga ditentukan oleh suhu, nutrisi
makanan, kelembaban udara dan sebagainya selama perkembangan serangga
(Wigglesworth 1972). Mavi dan Tupper (2004) menjelaskan bahwa pada suhu

17
tinggi aktivitas serangga akan menjadi lebih cepat dan efisien, tetapi lama hidup
serangga akan berkurang. Pertumbuhan serangga biasanya lebih cepat pada
temperatur yang lebih tinggi (Atmosoedarjo et al. 2000).
Tabel 5 Perbedaan ukuran tubuh Arthroschista hilaralis di India dan Indonesia
Parameter
Panjang telur
Lebar telur
Panjang larva instar 1
Panjang larva instar 2
Panjang larva instar 3
Panjang larva instar 4
Panjang larva instar 5
Panjang pupa
Lebar pupa
Panjang tubuh Imago

Ukuran (mm)
West Bengal
Bogor
(India) *
(Indonesia)
0.6-0.7
0.34-0.50
0.4-0.5
0.34-0.47
4-6
2.76
8-10
5.02
16-18
8.71
20-22
14.12
25-27
20.26
15
14.5
4.5
3.01
15
14

Sumber: * Thapa dan Bhandari (1976)

Neraca Kehidupan
Neraca kehidupan A. hilaralis digunakan untuk mengetahui tingkat
perkembangan populasi dari A. hilaralis. Berdasarkan perhitungan neraca
kehidupan dapat diperoleh informasi berbagai hal mengenai perikehidupan
A. hilaralis, salah satunya kurva kesintasan. Kurva kesintasan (survivorship)
menggambarkan peluang individu A. hilaralis yang hidup pada semua stadium
mulai dari telur, larva, pupa, dan imago (lx), dan keperidian dari imago betina per
hari (mx). Price (1984) menjelaskan bahwa bentuk kurva survivorship ini
diperlukan untuk memahami strategi reproduksi populasi dan langkah-langkah
dalam penangannya.

Gambar 17 Kurva kesintasan Arthroschista hilaralis
Kurva kesintasan (survivorship) A. hilaralis menunjukkan tingkat
kematian yang rendah pada awal perkembangan diikuti dengan tingkat kematian

18
yang tinggi seiring dengan bertambahnya umur. Menurut Price (1984) terdapat
tiga tipe kurva keberhasilan hidup serangga di alam, yaitu tipe I, II, dan III. Kurva
tipe I menggambarkan kematian organisme dalam jumlah sedikit ketika umur
muda dan kematian dalam jumlah besar ketika berumur tua, tipe II
menggambarkan laju kematian yang konstan, dan tipe III menggambarkan
kematian yang lebih besar pada umur muda. Hasil pengamatan dari 30 serangga
A.hilaralis menunjukkan bahwa kurva perkembangan hidup serangga ini termasuk
tipe I yang memperlihatkan kematian yang tinggi pada umur tua. Morgan et al.
(2001) menjelaskan bahwa neraca kehidupan dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu spesies, inang, kondisi iklim tempat penelitian, dan metode perbanyakan
serangga (rearing) yang digunakan.
Pengendalin hama A. hilaralis sebaiknya dilakukan saat A. hilaralis
berumur muda. Hal itu dikarenakan A. hilaralis memiliki tingkat kematian yang
tinggi pada umur tua dan tingkat kematian yang rendah pada umur muda.
Pengendalian hama yang dilakukan saat A. hilaralis berumur tua yaitu saat
mencapai stadium imago menjadi kurang efektif karena tingginya tingkat
kematian A. hilaralis meskipun tanpa usaha pengendalian. Sementara itu
pengendalian A. hilaralis pada umur muda diperlukan karena rendahnya tingkat
kematian A. hilaralis secara alami. Stadium larva merupakan stadium terlama
dalam kehidupan A. hilaralis, dan pada stadium ini A. hilaralis aktif memakan
daun jabon sehingga menimbulkan kerusakan daun dan mengganggu proses
fotosintesis tanaman. Pengendalian A. hilaralis pada stadium sangat diperlukan.
Keperidian imago betina dapat diketahui dengan cara menghitung
banyaknya telur yang diletakkan setiap harinya. Nilai mx menunjukkan
banyaknya telur yang dihasilkan oleh imago betina yang berumur x hari setelah
memperhitungkan nisbah kelamin. Dari kurva kesintasan tampak bahwa
peletakan telur A. hilaralis dimulai pada hari ke-20 hingga hari ke-30, dan puncak
peneluran terjadi pada hari ke-25 dengan rata-rata jumlah telur yang diletakkan
sebanyak 24 butir. Velasco dan Walter (1993) menyatakan bahwa keberhasilan
perkembangan serangga dan fase reproduktif serangga sangat dipengaruhi oleh
kualitas makanan.
Hasil perhitungan neraca kehidupan A. hilaralis meliputi laju reproduksi
kotor (GRR), laju reproduksi bersih (Ro), lama generasi (T), dan laju
pertumbuhan intrinsik (r) ditampilkan pada Tabel 6.
Tabel 6 Parameter demografi Arthroschista hilaralis
Parameter Populasi
GRR
Ro
T
r

Nilai
141 individu/generasi
70 individu/induk/generasi
23.5 hari
0.18 individu/induk/hari

Keterangan: GRR = Laju reproduksi kotor
Ro = Laju reproduksi bersih
T
= Rataan masa generasi
r
= Laju pertumbuhan intrinsik

Laju reproduksi kotor (GRR) menggambarkan rataan jumlah keturunan
betina per induk yang dihasilkan oleh individu A. hilaralis yang hidupnya
mencapai umur maksimal. Nilai GRR A. hilaralis sebesar 141 menunjukkan

19
bahwa A. hilaralis mampu menghasilkan keturunan sebesar 141 individu per
induk per generasi.
Nilai laju reproduksi bersih (Ro) menunjukkan rata-rata banyaknya
keturunan yang dihasilkan oleh seekor induk betina setiap generasi setelah
memperhitungkan kematian atau peluang hidup (lx) dari A. hilaralis. Price (1984)
menjelaskan bahwa suatu populasi dikatakan stabil bila Ro = 0, tetapi bila Ro > 1
populasi akan bertambah dan bila Ro < 1 populasi akan berkurang. Nilai Ro
A. hilaralis sebesar 70 individu/induk/generasi menggambarkan bahwa pada
keadaan lingkungan tersebut populasi A. hilaralis akan meningkat 70 kali
populasi generasi sebelumnya. Tingginya angka pertumbuhan serangga apabila
berada pada kondisi lingkungan yang optimum dapat menyebabkan dengan
serangga tersebut dapat dengan cepet berkembang menjadi wabah.
Nilai rata-rata masa generasi (T) menggambarkan waktu yang dibutuhkan
sejak telur diletakkan sampai saat imago betina yang berasal dari telur tersebut
menghasilkan keturunannya. Nilai T yang semakin kecil menunjukkan semakin
cepat suatu organisme untuk berkembang biak. Nilai T dari A. hilaralis sebesar
23.5 menunjukkan bahwa dalam waktu 23.5 hari induvidu betina A. hilaralis
mampu menghasilkan keturunan kembali. Berdasarkan nilai tersebut dapat
diperkirakan bahwa dalam 1 tahun A. hilaralis mampu menghasilkan 15 generasi.
Thapa dan Bhandari (1976) menyatakan bahwa A. hilaralis di West Bengal India
dalam 1 tahun manghasilkan 11-12 generasi. Perbedaan jumlah generasi yang
dihasilkan dalam penelitian dengan Thapa (1976) dapat disebabkan karena adanya
perbedaan kondisi lingkungan (suhu dan kelembaban) antara lokasi penelitian.
Kondisi lingkungan mempengaruhi lamanya perkembangan serangga.
Atmosoedarjo et al. (2000) menyebutkan bahwa pertumbuhan serangga biasanya
lebih cepat pada temperatur yang lebih tinggi.
Laju pertumbuhan intrinsik (r) merupakan pertumbuhan populasi pada
lingkungan konstan dan sumberdaya yang tidak terbatas (Birch 1948).
Nilai yang diperoleh ditentukan oleh berbagai aspek yang berhubungan dengan
siklus kehidupan organisme tersebut, yaitu kematian, kelahiran, dan waktu
perkembangan. Nilai r A. hilaralis sebesar 0.18 menunjukkan bahwa tingkat
kematian lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kelahiran. Dengan nilai r
sebesar 0.18 menggambarkan adanya peningkatan populasi A. hilaralis sebanyak
0.18 individu/induk pada setiap periode kelas umur. Brewer (1979) menjelaskan
bahwa tinggi rendahnya nilai r dipengaruhi oleh jumlah keturunan per periode
perkembangan, jumlah yang bertahan hidup dan selama masa reproduktif, usia
saat reproduktif dimulai, dan lama usia reproduktif.
Harcourt (1969) menyatakan bahwa neraca kehidupan bukanlah nilai akhir
dari analisis dinamika populasi, tetapi sekedar penampilan sistematik dari data
ketahanan hidup, mortalitas