Sifat Fisis dan Pengeringan Kayu Rambutan, Nangka, dan Kecapi serta Penggunaan Larutan Urea dalam Pengendalian Cacat Pengeringannya.
SIFAT FISIS DAN PENGERINGAN KAYU RAMBUTAN, NANGKA,
DAN KECAPI SERTA PENGGUNAAN LARUTAN UREA DALAM
PENGENDALIAN CACAT PENGERINGANNYA
ARI SUHARDIANTO
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Sifat Fisis dan
Pengeringan Kayu Rambutan, Nangka, dan Kecapi serta Penggunaan
Larutan Urea dalam Pengendalian Cacat Pengeringannya” adalah benarbenar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum
pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2013
Ari Suhardianto
NIM E24080080
ABSTRAK
ARI SUHARDIANTO. Sifat Fisis dan Pengeringan Kayu Rambutan, Nangka, dan
Kecapi serta Penggunaan Larutan Urea dalam Pengendalian Cacat
Pengeringannya. Dibimbing oleh TRISNA PRIADI.
Penggunaan jenis-jenis kayu dari hutan rakyat yang semakin meningkat
perlu didukung dengan pengembangan teknologi untuk mengasilkan kualitas
produk yang baik dan sesuai dengan tujuan penggunaannya. Salah satu faktor
yang mempengaruhi dan menjadi syarat adalah kadar air yang harus sesuai dengan
kondisi lingkungan agar dimensinya stabil selama penggunaannya. Oleh sebab itu
tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui sifat fisis, sifat pengeringan,
serta mengetahui teknik pengendalian cacat pada pengeringan kayu rambutan
(Nephelium spp), kecapi (Sandoricum koetjapi), dan nangka (Artocarpus
heterophyllus).
Prosedur pengujian yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari 3
bagian yaitu, pengujian sifat fisis kayu (BS: 373-1957), pengujian sifat dasar
pengeringan berdasarkan metode Terazawa (1965), dan pengujian pengendalian
cacat pengeringan dengan menggunakan larutan urea jenuh.
Hasil penelitian menunjukan bahwa kayu dengan berat jenis tinggi
(rambutan) lebih lambat mengering serta lebih mudah mengalami cacat
pengeringan dibandingkan dengan kayu nangka dan kecapi yang memiliki berat
jenis sedang dan rendah. Kayu rambutan memiliki sifat pengeringan yang buruk,
karena mengalami cacat terparah terutama retak permukaan.Sedangkan kayu
nangka dan kecapi memiliki sifat pengeringan yang agak baik. Perendaman kayu
dalam larutan urea jenuh terbukti mengurangi cacat retak pada ketiga jenis kayu
tersebut hingga 75%.
Kata kunci: cacat pengeringan, larutan urea, rambutan, nangka, kecapi
ABSTRACT
ARI SUHARDIANTO. Physical and Drying properties of Rambutan, Nangka,
and Kecapi Woods and The Use of Urea Solution in Controlling Defects Drying.
Supervised by TRISNA PRIADI.
The use of woods from community forest should be supported by proper
technology to produce good products quality and in accordance with their
intended uses. One of the factors that influences and being a requirement in wood
products is the suitable moisture content to the environmental condition that
stabilize the products dimension in the use. Therefore the objectives of this study
was to determine the physical properties, drying properties, as well as developing
the defects control technique in the drying of rambutan (Nephelium spp), kecapi
(Sandoricum koetjapi) and nangka (Artocarpus heterophyllus) woods. The
procedures performed in this study consisted of the physical properties testing of
woods (BS: 373-1957), the test for basic drying properties based on Terazawa
(1965), and drying defects control using saturated urea solution.The results
showed that wood with higher density (rambutan) dried more slowly and more
prone to defects compared to nangka and kecapi woods, wich had medium and
low densities. Rambutan wood had a poor drying properties that was prone to
surface cracking. While nangka and kecapi woods had a rather good drying
properties. The soaking treatment in saturated urea solution, significantly reduced
checking defect in the three tested wood species.
Keywords: drying defects, urea solution, rambutan, nangka, kecapi
SIFAT FISIS DAN PENGERINGAN KAYU RAMBUTAN, NANGKA,
DAN KECAPI SERTA PENGGUNAAN LARUTAN UREA DALAM
PENGENDALIAN CACAT PENGERINGANNYA
ARI SUHARDIANTO
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan pada
Departemen Hasil Hutan
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi
Nama Mahasiswa
NRP
: Sifat Fisis dan Pengeringan Kayu Rambutan, Nangka, dan
Kecapi serta Penggunaan Larutan Urea dalam
Pengendalian Cacat Pengeringannya.
: Ari Suhardianto
: E24080080
Disetujui oleh
Dr. Ir. Trisna Priadi, M.Eng.Sc
NIP. 19670425 199302 1 001
Diketahui oleh
Prof. Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M. Sc.
NIP. 19660212 199103 1 002
Tanggal Lulus:
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan kontribusi kepada penulis dalam melakukan penelitian ini dan selama
menempuh pendidikan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Untuk itu
penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Trisna Priadi, M.Eng.Sc selaku dosen pembimbing atas segala
bimbingan, saran, dan ilmu yang telah diberikan kepada penulis.
2. Bapak Jaya Supriadinata S.Pd dan Ibu Sri Nursasih S.Pd atas do’a, semangat,
kasih sayang, nasehat, dan kepercayaan sepenuhnya kepada penulis hingga saat
ini.
3. Ani Suprianingsih S.T dan Arif Adi S.T atas do’a, semangat, kasih sayang, dan
nasehatnya kepada penulis.
4. Dewi Putri Santami atas inspirasi, do’a, dan semangat yang diberikan kepada
penulis.
5. Rekan-rekan seperjuangan Icha, Silva, Karyo, Ades, Kecap, Muhran, Liza,
Kanti, Andri, Prabu dan lain-lain yang telah membantu selama proses
penelitian sampai terselesaikannya penulisan skiripsi ini.
6. Bapak Suhada, Bapak Kadiman, dan Ibu Esti di Lab. Teknologi Peningkatan
Mutu Kayu atas bantuan dan bimbingan selama penelitian.
7. Kawan-kawan THH 45 dan Fahutan 45 yang tidak mungkin disebutkan satupersatu. Terima kasih atas kebersamaannya.
8. Kawan-kawan seperjuangan IKABON 45 yang tidak mungkin disebutkan satupersatu. Terima kasih atas semangat dan kebersamaannya.
9. Seluruh pihak yang turut mendorong dan memberikan motivasi kepada penulis
hingga saat ini.
PRAKATA
Assalamu’alaikum wr.wb
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Sholawat serta salam
senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta
keluarga, sahabat, dan para pengikutnya sampai akhir zaman.
Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan pada Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor. Skripsi ini berjudul “Sifat Fisis dan Pengeringan Kayu
Rambutan, Nangka, dan Kecapi serta Penggunaan Larutan Urea dalam
Pengendalian Cacat Pengeringannya”.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna, namun
penulis berharap agar skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat untuk berbagai
pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan skripsi ini.
Wassalamu’alaikum wr.wb
Bogor, Februari 2013
Ari Suhardianto
DAFTAR ISI
PRAKATA .............................................................................................................. x
DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiii
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
Latar Belakang .................................................................................................... 1
Tujuan Penelitian ................................................................................................. 1
Manfaat Penelitian ............................................................................................... 2
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 2
Hubungan Air dan Kayu ...................................................................................... 2
Proses Pengeringan Kayu .................................................................................... 3
Mekanisme Keringnya Kayu ............................................................................... 3
Faktor yang Mempengaruhi Pengeringan Kayu .................................................. 3
Metode Pengeringan Kayu .................................................................................. 5
Cacat Pengeringan Kayu ..................................................................................... 7
Jadwal Pengeringan ............................................................................................. 9
Kayu dari Lahan Milik Rakyat .......................................................................... 10
Rambutan (Nephelium spp – Sapindaceae) ................................................... 10
Kecapi (Sandoricum koetjape – Meliaceae) .................................................. 10
Nangka (Artocarpus heterophyllus - Moraceae) ............................................ 10
Perlakuan Pendahuluan Sebelum Pengeringan ................................................. 11
METODOLOGI PENELITIAN ............................................................................ 11
Bahan ................................................................................................................. 11
Alat .................................................................................................................... 11
Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................................... 12
Prosedur Pengujian ............................................................................................ 12
Pengujian Sifat Fisis ...................................................................................... 12
Pengujian Perlakuan Pendahuluan Sifat Pengeringan ................................... 12
Rendaman Menggunakan Urea ...................................................................... 13
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 13
Sifat Fisis Kayu ................................................................................................. 13
Sifat Pengeringan ............................................................................................... 14
Jadwal Pengeringan Dasar ................................................................................. 15
Pengendalian Cacat Pengeringan dengan Perendaman Larutan Urea ............... 17
SIMPULAN DAN SARAN................................................................................... 18
Simpulan ............................................................................................................ 18
Saran .................................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 19
LAMPIRAN .......................................................................................................... 21
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... 26
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Sifat fisis kayu rambutan, nangka, dan kecapi .................................... 13
Tabel 2 Sifat pengeringan kayu rambutan, nangka, dan kecapi ....................... 14
Tabel 3 Suhu dan kelembaban awal dan akhir ketiga jenis kayu ..................... 16
Tabel 4 Jadwal pengeringan dasar kayu rambutan ........................................... 16
Tabel 5 Jadwal pengeringan dasar kayu nangka dan kecapi ............................ 17
Tabel 6 Nilai cacat kayu setelah perlakuan rendaman larutan urea jenuh ....... 18
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Cacat bentuk dalam pengeringan kayu. ............................................. 7
Gambar 2 Cacat collapse pada kayu. ................................................................. 8
Gambar 3 Cacat retak permukaan (a) dan retak ujung (b). ................................ 9
Gambar 4 Grafik hubungan susut volume dengan berat jenis kayu. ................ 14
Gambar 5 Cacat retak permukaan (a) pada kayu rambutan ............................. 15
Gambar 6 Cacat bentuk cupping (a) pada kayu rambutan ............................... 15
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Klasifikasi cacat dan sifat pengeringan (Terazawa 1965). ........... 21
Lampiran 2 Nilai cacat dalam uji pengeringan kayu (Terazawa 1965). .......... 22
Lampiran 3 Perubahan suhu dan kelambaban pada awal dan akhir
pengeringan kayu (Terazawa 1965). ............................................. 23
Lampiran 4 Suhu bola kering dan depresi suhu bola basah berdasarkan
kadar air kayu (Torgeson 1951). ................................................... 24
Lampiran 5 Nilai kelembaban udara relatif berdasarkan suhu bola kering
dan depresi bola basah. .................................................................. 25
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan hutan rakyat merupakan salah satu solusi untuk mengatasi
masalah kelangkaan bahan baku kayu untuk industri perkayuan. Upaya ini juga
dinilai sebagai langkah yang tepat untuk mendayagunakan potensi masyarakat
sekitar hutan, pencegahan erosi dan banjir, konservasi sumber air dan
meningkatkan produktifitas lahan agar dapat meningkatkan taraf hidup
masyarakat melalui bidang kehutanan. Saat ini hutan rakyat telah memberikan
manfaat sosial ekonomi seperti menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan
pendapatan rakyat melalui perdagangan kayu yang berasal dari hutan rakyat.
Hutan rakyat ialah hutan yang dibangun dan dikelola oleh rakyat,
kebanyakan berada di atas tanah milik atau adat, meskipun ada pula yang berada
di tanah negara atau kawasan hutan negara. Hutan rakyat ini pada umumnya
berbentuk wanatani yaitu campuran antara pohon-pohonan dengan jenis tanaman
bukan pohon, baik berupa wanatani sederhana ataupun wanatani kompleks
(agroforestry) yang strukturnya mirip dengan hutan alam. Hutan rakyat ialah
hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luasan minimal 0,25 ha dengan penutupan
tajuk tanaman kayu-kayuan atau jenis lainnya lebih dari 50% dan atau tanaman
sebanyak minimal 500 tanaman tiap hektar (Anonim 2005).
Karakteristik pengelolaan hutan rakyat bersifat individual, oleh keluarga
dan tidak memiliki manajemen formal. Karakteristik seperti itu dalam
perkembangannya kedepan kurang memiliki daya saing tinggi, tidak memiliki
posisi tawar yang tinggi dengan pedagang dan industri, serta kelestarian hutannya
tidak dapat dijamin.
Kayu dari hutan rakyat umumnya merupakan jenis cepat tumbuh dan tidak
dirawat seperti dalam hutan tanaman sehingga memilki kualitas batang yang
rendah. Oleh karena itu diperlukan penilitian yang dapat meningkatkan kualitas
dan nilai jual kayu yang berasal dari hutan rakyat tersebut, diantaranya ialah
penelitian mengenai sifat pengeringan. Pengeringan kayu bertujuan untuk
menurunkan kadar air kayu sehingga dalam pemakaiannya kayu akan menjadi
stabil. Kadar air menentukan stabilitas dimensi selama pemakaian kayu, yaitu
perlu adanya keseimbangan kadar air dalam kayu dengan kadar air lingkungannya.
Dengan teknik pengeringan yang benar, stabilitas dimensi kayu akan semakin baik
dan kayu akan lebih mudah diproses pada tahap selanjutnya sehingga kualitas
produk kayu akan lebih baik.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisis, sifat pengeringan,
serta mengetahui teknik pengendalian cacat pengeringan pada kayu rambutan,
nangka, dan kecapi.
2
Manfaat Penelitian
Dengan diketahui teknik pengeringan dan pengolahan kayu yang baik,
maka jenis-jenis kayu bermutu rendah dari hutan rakyat dapat digunakan untuk
berbagai produk komersial terutama furniture.
TINJAUAN PUSTAKA
Hubungan Air dan Kayu
Kayu berasal dari pohon yang dalam pertumbuhan atau kehidupannya
membutuhkan air sebagai sarana transportasi hara dari tanah dan hasil asimilasi
dari daun ke seluruh bagian jaringan pohon lainnya. Air dalam kayu berada di
rongga sel yang sangat kecil sehingga sulit untuk keluar. Secara alami, keluarnya
air dari dalam kayu membutuhkan waktu yang cukup lama tergantung dari jenis
dan ukuran kayunya. Kayu segar mengandung air yang terdapat di rongga dan
bagian dinding sel. Kadar air kayu segar bervariasi menurut jenis dan tempat
tumbuhnya. Pada bagian ini kadar air kayu segar juga dipengaruhi kandungan air
tanah tempat tumbuh karena kayu memiliki sifat higroskopis yang mampu
melepas dan mengikat air sesuai dengan kelembaban udara sekitarnya.
Kadar air merupakan banyaknya air yang dikandung kayu dinyatakan
dalam persen terhadap berat kering tanurnya (Brown et al, 1952). Tsoumis (1991)
mengemukakan bahwa besarnya kadar air dalam pohon hidup bervariasi antara
30-300 % tergantung dari spesies pohon (hardwood atau softwood), posisi dalam
batang (vertikal atau horizontal) serta musim (salju, semi, panas, dan gugur).
Ada dua jenis air di dalam kayu yaitu air terikat dan air bebas. Air terikat
yang terdapat di dalam dinding sel dan mikrofoid sangat mempengaruhi sifat fisis
dan mekanis kayu. Selain itu air terikat lebih sulit dikeluarkan dibandingkan
dengan air bebas. Air bebas yang terdapat didalam rongga sel kayu, umumnya
tidak mempengaruhi sifat dan bentuk kayu kecuali berat kayu itu sendiri (Siau
1984). Keadaan dimana air bebas telah semuanya keluar dan dinding sel kayu
masih jenuh dengan air disebut kadar air titik jenuh serat.
Tobing (1988) menjelaskan bahwa pada umumnya kadar air titik jenuh
serat kayu adalah sekitar 30%. Kadar air titik jenuh serat sangatlah penting dalam
pengeringan karena:
1. Diperlukan energi yang lebih besar untuk mengeluarkan air terikat
2. Penyusutan dinding sel kayu terjadi ketika kadar air kayu dibawah titik jenuh
serat.
3. Perubahan kadar air dibawah titik jenuh serat mengakibatkan perubahan sifat
fisis dan mekanis kayu.
4. Penurunan kadar air kayu akan berlangsung terus hingga tercapainya kondisi
kayu yang tidak lagi dapat melepas air ke lingkungannya. Kadar air pada
kondisi ini disebut kadar air kesetimbangan.
3
Proses Pengeringan Kayu
Pengeringan kayu adalah proses penurunan kadar air kayu sampai kadar
air tertentu atau kadar air yang sesuai dengan kondisi tempat kayu tersebut berada
yang disebut dengan kadar air seimbang. Menurut Coto (1996) ada beberapa
alasan dari kegiatan pengeringan kayu, diantaranya:
1. Menghindari cacat bentuk dan menjaga stabilitas dimensi kayu teruatama
setelah proses pengoalahan dengan cara memastikan penyusutan kayu telah
terjadi sebelum kayu digunakan.
2. Untuk memperbaiki permukaan kayu sebelum tahapan proses pengolahan
selanjutnya, seperti perekatan dan pewarnaan.
3. Agar lebih tahan dari pelapukan akibat serangan jamur.
4. Memudahkan impregnasi dengan bahan pengawet.
5. Menurunkan berat kayu serta mengurangi biaya angkutan.
Mekanisme Keringnya Kayu
Proses pengeluaran air disebabkan adanya perbedaan kadar air permukaan
dan bagian dalam kayu. Bagian permukaan kayu akan segera mencapai
keseimbangan dengan udara sekelilingnya dan terjadi gradien kadar air dalam
kayu, yang menyebabkan pergerakan air dari dalam kayu ke luar. Pergerakan air
yang tercepat terjadi pada arah longitudinal, sedangkan yang paling lambat terjadi
pada arah tangensial. Air dapat bergerak dalam bentuk cairan (air bebas dan air
terikat) maupun dalam bentuk uap.
Tobing (1988) menerangkan bahwa terdapat beberapa gaya yang
mempengaruhi pergerakan air secara simultan. Beberapa gaya tersebut antara lain
ialah:
1. Gaya kapiler menyebabkan air bebas bergerak dari lumen melalui noktah dan
membran sel. Gaya ini berhenti ketika kayu mencapai kadar air dibawah titik
jenuh serat.
2. Perbedaan tekanan uap air menyebabkan uap air bergerak dari lumen melalui
noktah, membran noktah dan ruang antar sel. Gerakan ini efektif pada
temperatur tinggi dan pada kayu dengan berat jenis rendah.
3. Perbedaan kadar air menyebabkan air bergerak melalui dinding sel. Gerakan
ini penting pada pengeringan kayu dengan temperatur rendah.
Budianto (1996) menerangkan, bahwa mekanisme keluarnya air dari
dalam kayu dipengaruhi oleh permeabilitas kayu, proses difusi dan penguapan.
Difusi ini dialami uap air dan air terikat dalam kayu.
Faktor yang Mempengaruhi Pengeringan Kayu
Proses pengeringan kayu dipengaruhi oleh sifat-sifat kayu dan lingkungan
pengeringan. Sifat anatomi kayu yang berpengaruh terhadap proses pengeringan,
diantaranya adalah:
4
1. Kayu gubal dan kayu teras
Kayu gubal merupakan bagian dalam batang pohon yang terdiri dari
bagian xylem yang masih hidup dan berfungsi sebagai penyalur cairan dan
menyimpan cadangan makanan. Bagian kayu gubal cenderung basah dan lebih
mudah dikeringkan. Sedangkan pada kayu teras seluruh proses fisiologi sudah
tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya dan banyak mengandung zat
ekstraktif sehingga permeabilitas kayu menurun sehingga sulit dikeringkan dan
mudah mengalami cacat pengeringan (Pandit 2008).
2. Empulur (pith)
Menurut Tobing (1988), sifat pengeringan bagian empulur berbeda dengan
jaringan kayu lainnya, karena empulur memiliki ikatan yang lebih lemah dengan
jaringan kayu disekelilingnya sehingga terkadang mudah terlepas dalam proses
pengeringannya terutama pada pengeringan suhu yang relatif tinggi.
3. Kayu remaja (Juvenile wood)
Kayu remaja merupakan bagian kayu yang terbentuk oleh kambium
berumur muda yang memiliki banyak serat spiral dan dinding sel yang tipis. Kayu
remaja berpotensi susut arah longitudinal lebih besar dibandingkan bagian kayu
lainnya. Cacat yang sering terjadi pada bagian ini adalah deformasi (perubahan
bentuk) seperti cacat bungkuk (crook) dan collapse (Haygreen dan Bowyer 2007).
4. Jari-jari kayu
Menurut Pandit (2008), jari-jari kayu terdiri dari sel-sel berdinding tipis,
oleh karena itu relatif lebih lemah terutama jari-jari yang rapat, sehingga bagian
ini sering mengalami cacat pengeringan seperti retak permukaan atau retak dalam.
5. Riap tumbuh
Pada penampang lintang batang dapat dilihat adanya garis-garis konsentris
nyata ataupun samar. Garis-garis konsentris ini memusat pada empulur dan
disebut riap tumbuh. Dalam satu riap tumbuh terdiri dari dua bagian kayu, yaitu
kayu gubal dan kayu teras (Pandit 2008). Sifat pengeringan kayu gubal dan kayu
teras berbeda yang diakibatkan oleh berat jenisnya yang berbeda. Oleh karena itu
penyusutan arah radial dan tangensial kayu sering diikuti oleh deformasi.
6. Mata kayu
Mata kayu memiliki berat jenis yang lebih tinggi dibandingkan bagian
kayu disekitarnya. Pada saat pengeringan, mata kayu rentan mengalami pecah dan
lepas (loose knots). Hal ini dapat menurunkan mutu kayu hasil pengeringan
(Tobing 1988).
7. Kayu reaksi
Menurut Haygreen dan Bowyer (2007), kayu reaksi berpotensi mengalami
deformasi saat pengeringan, seperti crook (bungkuk), twist (muntir) dan
sebagainya. Hal ini disebabkan penyusutan longitudinal kayu reaksi yang lebih
besar dibandingkan dengan penyusutan normalnya.
8. Serat miring
Dampak serat kayu yang miring terhadap sifat pengeringan hampir sama
dengan kayu reaksi, yaitu mengalami penyusutan longitudinal yang lebih besar
dibanding kayu yang berserat lurus (Pandit 2008).
9. Tekstur kayu
Tobing (1988) menjelaskan bahwa tekstur kayu yang tidak merata dapat
mengakibatkan
cacat
pada
proses
pengeringan,
terutama
berupa
retakpermukanaan dan pecah.
5
10. Sel pembuluh
Kayu yang memiliki sel pembuluh yang berdiameter besar dan tidak
tersumbat tylosis maupun zat amorf pada umumnya relatif mudah dikeringkan.
Sedangkan proses pengeluaran air dari kayu yang sel-sel pembuluhnya
berdiameter kecil dan berisi banyak tylosis cenderung lambat, sehingga
menimbulkan gradien kadar air yang cukup besar antara bagian permukaan
dengan bagian dalam kayu yang dapat mengakibatkan cacat pengeringan
(Haygreen dan Bowyer 2007). Jumlah pori yang sedikit dan noktah pada
pembuluh yang sempit juga dapat menghambat keluarnya air pada proses
pengeringan.
11. Dinding sel
Semakin tebal dinding sel kayu, maka semakin banyak jumlah air terikat
yang harus dikeluarkan dari dalam kayu dibandingkan dengan kayu yang
memiliki dinding sel tipis. Dinding sel yang tebal juga menyebabkan masa kayu
yang harus dilewati secara difusi oleh air lebih banyak; selain itu masa kayu yang
mengalami penyusutan juga lebih besar, sehingga dapat mendorong terjadinya
cacat deformasiataupun retak permukaan dan retak ujung.
12. Parenkim
Kayu dengan parenkim berbentuk pita apalagi yang kondisinya rapat
beraturan dapat memudahkan keluarnya air ke arah tebal dan lebar sortimen.
Sehingga pengeringannya relatif cepat (Pandit 2008).
Metode Pengeringan Kayu
Budianto (1996) menjelaskan bahwa metode pengeringan kayu secara
umum terbagi menjadi dua, antara lain ialah metode pengeringan alami dan
metode pengeringan buatan. Pengeringan alami sering juga disebut dengan
pengeringan udara, walaupun cara pengeringan ini tradisional dan sederhana
namun dapat memberikan hasil yang memuaskan jika dikerjakan dengan
semestinya. Pengeringan alami merupakan cara pengeringan kayu dengan
menumpuk kayu menurut susunan tertentu dan membiarkan tumpukkan itu
beberapa lama di lapangan pada kondisi terbuka ataupun di bawah naungan.
Tujuan dari pengeringan alami ialah untuk menjaga stabilitas dimensi (akibat sifat
kembang susut kayu) yang seringkali menimbulkan cacat bentuk, mengurangi
berat kayu, meningkatkan kekuatan kayu (dengan berkurangnya kadar air di
bawah titik jenuh serat), menghindari serangan agen perusak biologis,
mempermudah proses pengerjaan selanjutnya, dan mempermudah pemasukkan
bahan pengawet dengan cara menyesuaikan kadar air kayu dengan lingkungan
sekitar. Namun pengeringan alami memiliki kelemahan, yakni waktu
pengeringannya sangat tergantung pada kondisi cuaca dan lokasi, sulit mencapai
kadar air 15 %, perlu pencegahan terhadap berbagai faktor perusak kayu selama
proses pengeringan, waktu pengeringan relatif lama dan perlu area yang cukup
luas. Oleh karena itu, untuk mengatasi kesulitan dan kendala-kendala tersebut,
maka dikembangkanlah sistem-sistem pengeringan lain guna menjamin
kelangsungan proses produksi serta guna mengurangi cacat pengering yang terjadi.
Sistem pengeringan tersebut dikenal dengan sistem pengeringan buatan. Sistem
pengeringan buatan tidak tergantung pada kondisi cuaca. Beberapa model
6
pengeringan buatan, antara lain ialah sistem pengeringan dehumidifier, vakum,
fan, dan sistem pengeringan kilang pengering.
1. Metode pengeringan dehumidifier
Prinsip pengeringan dehumidifier adalah dengan pemanasan udara dan
penurunan kelembaban sehingga air dalam kayu terevaporasi keluar. Udara yang
menjadi lembab oleh uap air dari kayu, dihisap ke dalam mesin untuk
dikondensasikan dan dibuang keluar oven. Udara keringnya disalurkan kembali
ke dalam ruang oven melalui elemen pemanas (Budianto 1996).
2. Metode pengeringan vakum
Sistem pengering vakum menggunakan penurunan tekanan udara untuk
mengevaporasikan kandungan air dalam kayu. Sistem ini cukup baik untuk
mencegah perubahan warna kayu (Budianto 1996).
3. Metode pengeringan fan
Penyebaran molekul air yang keluar dari kayu ke udara di sekitarnya
tergantung pada kecepatan pergerakkan udara. Penggunaan fan sangat efektif pada
pengeringan kayu yang tergolong mudah dan relatif cepat untuk dikeringkan dan
kadar airnya masih tinggi. Pengaruh percepatan srikulasi udara oleh fan pada kayu
yang sulit kering dan kadar airnya rendah tidak nyata (Coto 2004).
4. Metode pengeringan kilang pengering (konvensional)
Coto (2004) menerangkan bahwa oven pengering kayu konvensional
paling sering digunakan karena pengoperasinya mudah, efisien dan rendah biaya
pengoperasiannya. Prinsipnya ialah udara panas dari sumber panas dikonveksikan
(dialirkan melalui uap air) dan diradiasikan (dialirkan melalui udara) oleh plat
metal dan bergerak ke atas. Dinding atas dan sekat akan mengarahkan udara ke
tumpukan yang akan digunakan oleh molekul air untuk keluar dari dalam kayu.
Udara di sekitar papan pada tumpukan yang mengandung molekul air yang keluar
dari kayu akan bergerak ke bawah (turun) karena lebih berat. Karena bagian
bawah tumpukan lebih dingin, sebagian uap air di udara tersebut akan
mengembun dan jatuh ke lantai kilang. Adanya sekat, lantai dan dinding
mengarahkan pergerakkan udara ke plat metal, menyerap panas, bergerak ke atas
dan seterusnya secara berkelanjutan hingga kayu di tumpukan mengering.
Pengeringan dengan metode ini dapat digunakan untuk semua jenis kayu.
Selain dari metode pengeringan di atas, Tobing (1988) menjelaskan bahwa
teknik penumpukan juga memegang peranan penting dalam menentukan lamanya
waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan kayu. Pemberian beban yang cukup
pada permukaan tumpukan bagian atas serta pengaturan jarak ganjal yang baik
akan menghasilkan kayu kering berkualitas baik. Kayu yang ditumpuk dengan
ganjal (sticker) pemisah antar lapisan-lapisannya bertujuan untuk menyingkap
seluruh permukaan papan terhadap sirkulasi udara yang terjadi di dalam tumpukan.
Rasmussen (1961), He dan Lin (1989) diacu dalam Martawijaya dan Barly (1995)
menyarankan upaya untuk mengatasi permasalahan lamanya waktu pengeringan
dengan melakukan kombinasi pengeringan alami dan penggunaan dapur
pengering. Selain itu, pemberian uap panas (pengukusan) pada kayu selama 12
hingga 24 jam menjelang akhir pengeringan dapat memulihkan cacat collapse,
namun demikian teknik ini pun tidak selalu cocok dengan setiap jenis kayu,
terutama kayu muda, selain itu pengaruh suhu pengukusan yang tinggi dalam
waktu lama dikhawatirkan dapat menurunkan kekuatan kayu muda tersebut (Basri
et al. 2000).
7
Cacat Pengeringan Kayu
Menurut Walker (1993), terdapat beberapa cacat (defects) yang
diakibatkan oleh proses pengeringan diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Perubahan warna (staining)
Serangan jamur pewarna terhadap kayu yang akan dikeringkan dapat
ditangani dengan meminimalisasi selang waktu antara penebangan dengan waktu
kayu tersebut dipotong atau diolah. Selain itu, penumpukan kayu secepat mungkin
diperlukan agar permukaan papan dapat cepat mengering dan mencapai kadar air
dibawah 20 %. Pewarnaan pada kayu hasil pengeringan dapat juga terjadi oleh
ganjal yang digunakan, serta bahan-bahan dalam ruang pengeringan yang
mengalami kondensasi seperti dari besi yang berkarat.
2. Cacar bentuk (warping)
Cacat bentuk ini merupakan akibat dari perbedaan susut arah radial dan
tangensial (Walker, 1993). Tsoumis (1991) menambahkan bahwa terjadinya cacat
bentuk diakibatkan oleh kesalahan didalam memilih jadwal pengeringan terhadap
kayu yang akan dikeringkan serta proses penumpukan atau penyusunan yang tidak
benar. Beberapa fenomena perubahan bentuk yang terjadi dapat dilihat pada
gambar berikut:
Gambar 1 Cacat bentuk dalam pengeringan kayu.
8
1. Collapse
Tsoumis (1991) menyatakan bahwa collapse adalah distorsi sel-sel yang
sangat kuat sehingga menyebabkan permukaan papan tampak berkerut-kerut.
Untuk menghindari collapse, kayu-kayu tersebut perlu mendapatkan pengeringan
pendahuluan (pre-heating) dengan suhu rendah selama beberapa hari atau
ditumpuk dan dibiarkan mengalami pengeringan alami untuk beberapa minggu.
Gambar 2 Cacat collapse pada kayu.
2. Case hardening
Case hardening terjadi akibat tegangan sisa pengeringan yang terjadi pada
permukaan kayu. Cacat ini menjadi masalah pada saat pengerjaan kayu, dan
sangat mengganggu pada kayu yang akan diserut atau dipotong. Untuk
mengetahui ada tidaknya case hardening pada kayu dapat dilakukan uji garpu
(Walker 1993).
Retak dalam (honey combing) disebabkan oleh retak permukaan yang
berkelanjutan atau besarnya tegangan tegak lurus serat melebihi kekuatan yang
dimiliki oleh kayu tersebut. Untuk menghindari terjadinya retak dalam pada
proses pengeringan diberikan kelembaban udara yang tinggi pada permulaan
pengeringan dengan suhu yang tidak terlalu tinggi (Walker 1993).
3. Retak (checking)
Retak dapat dibagi dua bagian yaitu retak permukaan (surface check) dan
retak ujung (end check). Tsoumis (1991) menyatakan bahwa retak terjadi
disebabkan oleh perubahan dimensi yang tidak sama antara permukaan dengan
bagian dalam dari sepotong kayu. Retak biasanya terjadi pada sepanjang jari-jari
karena merupakan bagian terlemah pada kayu.
9
Gambar 3 Cacat retak permukaan (a) dan retak ujung (b).
Jadwal Pengeringan
Menurut Coto (2004), jadwal pengeringan adalah pengaturan faktor
pengering (kelembaban dan suhu) pada setiap tahapan pengeringan agar waktu
pengeringan dapat dilakukan sesingkat-singkatnya dan cacat yang terjadi pada
kayu yang dikeringkan pun seminimal mungkin. Basri (1990) menjelaskan bahwa
jadwal pengeringan sangat penting dalam pengeringan kayu. Jadwal pengeringan
yang lazim digunakan ialah yang perubahan suhu dan kelembabannya berdasarkan
kadar air kayu yang dikeringkan. Jadwal pengeringan yang berbasis kadar air
merupakan pedoman umum yang memuat langkah-langkah perubahan suhu dan
kelembaban udara berdasarkan kadar air rerata kayu.
Basri dan Rahmat (2001) menerangkan bahwa jadwal pengeringan kayu
ditetapkan secara individual atau per jenis kayu melalui beberapa kali percobaan
pengeringan. Penetapan suhu dan kelembaban dari awal hingga akhir pengeringan
dilakukan agar kayu dapat mengering dalam waktu yang optimal tanpa merusak
kualitas kayu, memerlukan pengetahuan dasar tentang sifat pengeringan kayu.
Pendugaan sifat pengeringan kayu yang lazim didasarkan pada berat jenis kayu.
Kayu yang memiliki berat jenis yang kurang lebih sama, diduga memiliki sifat
pengeringan yang sama.
Menurut Basri (1990), jadwal pengeringan umumnya dibuat
denganmelakukan pengujian pengeringan pendahuluan (sifat dasar pengeringan)
menggunakan suhu tinggi (100 0C). Pengujian pendahuluan ini ditujukan untuk
menduga sifat pengeringan (kepekaan) kayu dalam dapur pengering. Hasil
pengujian pendahuluan ini dapat digunakan untuk merancang jadwal pengeringan
dasar melalui evaluasi tingkat cacat yang terjadi pada contoh uji selama
pengeringan hingga mencapai berat kering tanur. Kemudian jadwal pengeringan
diuji lagi di dapur pengering percobaan. Cacat pengeringan yang diamati ialah
yang terkait dengan dampak proses pengeringan seperti retak ujung dan
permukaan, retak dalam serta deformasi (collapse).
Evaluasi cacat pengeringan yang terjadi dibuat dengan menggunakan
sistem penilaian secara visual. Cacat retak permukaan kayu menggunakan nilai 18, nilai 1-6 digunakan untuk retak bagian dalam kayu dan untuk cacat deformasi.
Semakin tinggi nilai yang digunakan, maka semakin parah tingkat cacat yang
terjadi pada contoh uji kayu. Walaupun dari seluruh contoh uji hanya satu contoh
uji saja yang mengalami cacat terparah, maka penetapan suhu dan kelembaban
tersebut mengacu pada tingkat cacat yang teraparah tersebut (Basri 1990).
10
Kayu dari Lahan Milik Rakyat
Rambutan (Nephelium spp – Sapindaceae)
Rambutan merupakan jenis pohon yang memiliki manfaat ganda yang
disebut MPTS (Multi Purpose Tree Species). Pohon rambutan di Indonesia
tumbuh menyebar dari dataran rendah sampai ketinggian 600 meter diatas
permukaan laut. Tetapi hasil yang baik akan diperoleh pada lahan-lahan yang
lebih rendah yakni antara 0-250 meter. Penyebaran tumbuh tanaman rambutan di
beberapa wilayah tumbuh Indonesia bagian barat dan merata ke hampir semua
pulau besar di Indonesia.
Kayu rambutan mempunyai dinding yang tebal dan memiliki berat jenis
0,57. Kayu pohon rambutan cukup keras dan kering, tetapi mudah retak sehingga
kurang baik untuk bahan bangunan. Pada umumnya kayu rambutan bagus sekali
untuk kayu bakar dan arang.
Kecapi (Sandoricum koetjape – Meliaceae)
Pohon kecapi termasuk ke dalam pohon buah-buahan. Tingginya dapat
mencapai 25–30 m dengan diameter 70–90 cm. Di Jawa pohon kecapi tumbuh di
bawah 1000 m di atas permukaan laut dan banyak ditanam oleh penduduk. Kayu
kecapi mempunyai kayu teras berwarna putih-kelabu sampai cokelat muda,
gambar polos, dan tektur agak kasar (Mandang 1993).
Menurut Kamil dan Kliwon (1973) kayu ini mempunyai BJ 0,49, dengan
kelas awet IV–V, dan kelas kuat III–IV . Kayunya baik digunakan untuk
konstruksi bangunan, kerajinan untuk membuat perabotan rumah tangga serta
untuk peralatan lainnya (Verbeij dan Coronel 1997).
Nangka (Artocarpus heterophyllus - Moraceae)
Nangka memiliki nama botani A. Heterophyllus Lamk. Menurut Verheij
dan Coronel (1992), nangka memiliki nama lain seperti jackfruit (Inggris),
jacqueir (Prancis), langka (Philipina), khanun (Thailand). Di Indonesia pohon
nangka tersebar di hampir seluruh pulau di Indonesia, nangka memiliki nama
bermacam-macam juga di Indonesia, seperti nangko atau nangka (Jawa), ana-ane
(Ambon), panaih (Aceh), lumasa atau malasa (Lampung), dan nama lainnya.
Pohon nangka umumnya berukuran sedang, memiliki tinggi 20-30 m, berdiameter
batang mencapai 100 cm, seluruh bagian mengeluarkan getah putih bila dilukai.
Daun tunggal, tersebar, helai daun agak tebal seperti kulit, kaku, bertepi rata, bulat
telur berbalik hingga jorong (memanjang). Warna kayu nangka mengalami
perubahan warna dari kuning muda pada wakyu kayu gubal menjadi kuning sitrun
pada kayu teras. Kandungan bagian teras nangka termasuk besar, semakin besar
persentase bagian teras maka kayu tersebut memiliki keawetan alami yang
semakin baik (Isrianto 1997).
Isrianto (1997) mengemukakan kayu nangka memiliki struktur anatomi
antara lain porinya tersebar secara tata baur, 30–80 % berpori soliter dan sisanya
bergabung secara radial. Porinya berbentuk bulat sampai oval dengan jumlah pori
7 – 8 per mm2. Diameter tangensial rata-rata adalah 200-360 mikron dan tidak ada
tilosis namun sering kali ada endapan. Jumlah parenkim kayu cukup sampai
11
banyak dengan bentuk selubung sampai aliform dan kadang-kadang bergabung
serta berisi resin berwarna terang sampai oranye. Jari-jari berukuran sedang
sampai cukup lebar (50–150 mikron) dan jumlahnya antara 4–6 per mm2,
heteroseluler, dan tidak ada silika. Saluran radial terdapat pada jari-jari dan
kadang terlihat titik-titik coklat pada bidang tangensial (Pandit dan Kurniawan
2008).
Menurut Isrianto (1997), kayu nangka memiliki berat jenis maksimum
0,71 dan berat jenis minimum adalah 0,55 dengan berat jenis rata-rata 0,61
sehingga masuk ke dalam kelas kuat II. Kayu yang masuk dalam kelas kuat II-III
baik digunakan untuk tujuan struktural. Kayu nangka dapat digunakan untuk
pembuatan meubel, konstruksi bangunan pembubutan, tiang kapal, dayung,
perkakas, dan alat musik. Selain itu, kayu nangka juga banyak digunakan sebagai
bahan pembuat tiang bangunan, kentongan, lesung, dan bahan untuk meubel.
Perlakuan Pendahuluan Sebelum Pengeringan
Urea yang biasa digunakan sebagai pupuk buatan, mengandung unsur
utama nitrogen, berbentuk butiran (prill) atau gelintiran (granular) dengan rumus
kimia CO (NH2)2. Mayoritas pupuk urea yang beredar di pasaran mengandung
unsur hara nitrogen (N) dengan kadar 46%. Artinya setiap 100 kg pupuk urea,
mengandung 46 kilogram nitrogen didalamnya. Zat nitrogen dapat membantu
proses metabolisme tanaman. Umumnya, pupuk urea memiliki tekstur yang cukup
kasar. Pupuk urea berbentuk butiran-butiran seperti kristal dengan warna putih.
Pupuk urea mudah larut di dalam air. Pupuk urea termasuk jenis pupuk yang bisa
dengan mudah berikatan dengan air (higroskopis).
Selain penggunaan sebagai pupuk, urea juga pernah diteliti oleh Kadir
(1977) dalam pengolahan kayu.Perendaman kayu dalam 50% larutan urea
memberikan pengaruh nyata terhadap pencegahan retak pada kayu dibandingkan
tanpa rendaman (kontrol). Hal tersebut disebabkan oleh konsentrasi laruran urea
yang tinggi berperan sebagai zat bulking agent yang menahan penyusutan kayu
sehingga dimensi kayu stabil.
METODOLOGI PENELITIAN
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu rambutan
(Nephelium spp), nangka (Artocarpus heterophyllus), dan kecapi (Sandoricum
koetjape) berupa log berdiameter 25-30 cm yang diperoleh dari sawmill di daerah
Cibeureum. Adapun bahan lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah
larutan urea jenuh
Alat
Peralatan yang digunakan yaitu, cutter, kaliper, desikator, timbangan digital,
kalkulator, alumunium foil, oven, lem, dan alat tulis lainnya.
12
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai bulan November 2012.
Adapun tempat pelaksanaan penelitian ini di Laboratorium Pengeringan Kayu,
Bagian Teknologi Peningkatan Mutu Kayu, Departemen Hasil Hutan, Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Prosedur Pengujian
Pengujian Sifat Fisis
Pengujian sifat fisis meliputi pengukuran berat jenis dan susut volume dari
ketiga jenis kayu tersebut dengan ukuran contoh 2 cm x 2 cm x 2 cm sesuai
dengan standar BS: 373-1957. Sebelumnya contoh uji dibersihkan menggunakan
cutter dan amplas, lalu ditandai garis tengah pada setiap sisinya untuk pengukuran
dimensi sehingga bisa dihitung volume awalnya (Va). Setelah pengukuran
dimensi, contoh uji di oven pada suhu 103±2 0C selama 48 jam. Contoh uji
selanjutnya ditimbang untuk memperoleh BKT dan diukur kembali Volumenya
(Vo). Data tersebut digunakan untuk penentuan kadar air (KA), berat jenis (BJ),
dan susut volume (SV).
KA
a – KT
KT
KT
a
S
a– o
a
Keterangan:
KA
= Kadar air (%)
BJ
= Berat jenis
Ba
= Berat awal (gr)
Va
= Volume segar (cm3)
BKT = Berat kering tanur (gr)
SV
= Susut volume (%)
3
Va
= Volume awal (cm )
Vo
= Volume kering tanur (cm3)
Ρ
= Kerapatan standar air pada suhu 40C (1gr/cm3)
Pengujian Perlakuan Pendahuluan Sifat Pengeringan
Contoh uji kayu rambutan, nangka, dan kecapi berukuran 20 cm x 10 cm x
2,5 cm dengan lima kali pengulangan pada masing-masing jenis kayu dibersihkan
dengan menggunakan cutter dan amplas. Selanjutnya contoh uji disusun
bertumpuk dengan menggunakan kayu (sticker) di dalam oven. Contoh uji
tersebut dipanaskan pada suhu 100 0C hingga mencapai kadar air kering tanur.
Evaluasi cacat yang terjadi terutama retak dilakukan tiap dua jam sampai berat
konstan. Ketika kayu mencapai kering tanur, maka diamati deformasi atau
perubahan bentuknya serta retak dalam pada kayu.Pengujian metode suhu tinggi
dan evaluasi cacat yang terjadi ini mengacu pada metode Terazawa (1965).
Penilaian sifat pengeringan kayu didasarkan pada tiga jenis cacat tersebut dan
tingkat kerusakan masing-masing jenis cacat menggunakan sistem nilai. Semakin
tinggi nilai yang digunakan maka semakin parah cacat yang terjadi pada contoh
uji kayu (Lampiran 1 dan 2). Penyusunan suatu rancangan jadwal pengeringan
untuk setiap jenis kayu tersebut, yaitu berupa suhu awal dan akhir serta
kelembaban awal dan akhir sehingga kayu tersebut dapat dikeringkan secara
optimal. Perubahan tingkat suhu dan kelembaban untuk setiap perubahan kadar air
dalam jadwal pengeringan yang dibuat dari setiap jenis kayu mengacu pada
13
jadwal pengeringan Forest Product Laboratory (FPL) Madison (Torgeson, 1951
dalam Basri et al. 2000).
Rendaman Menggunakan Urea
Contoh uji kayu berukuran 20 cm x 10 cm x 2,5 cm dari jenis rambutan,
nangka, dan kecapi dengan masing-masing tiga kali pengulangan dibersihkan
menggunakan cutter dan amplas. Selanjutnya contoh uji direndam dalam larutan
urea jenuh masing-masing 0,5 jam, 1 jam, 1,5 jam, dan 2 jam. Masing-masing
contoh uji kemudian ditimbang dan dikeringkan di dalam oven pada suhu 70 0C
hingga mencapai berat konstan. Evaluasi cacat yang terjadi, yaitu retak ujung dan
retak permukaan dilakukan tiap dua jam. Ketika kayu mencapai berat konstan,
maka diamati deformasi (perubahan bentuk) serta retak dalam kayu tersebut.
Pengujian pengeringan dan evaluasi cacat yang terjadi ini mengacu pada metode
Terazawa (1965). Evaluasi sifat pengeringan kayu didasarkan pada cacat-cacat
yang terjadi. Semakin tinggi nilai cacat maka semakin parah cacat yang terjadi
pada contoh uji kayu (Lampiran 1 dan 2).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat Fisis Kayu
Hasil pengujian sifat fisis menunjukan bahwa kayu rambutan, nangka, dan
kecapi yang digunakan masih dalam kondisi segar dengan kadar air dari setiap
jenis kayu lebih dari 30%, sehingga dapat digunakan untuk penentuan jadwal
pengeringan dasar.
Tabel 1Sifat fisis kayu rambutan, nangka, dan kecapi
Jenis Kayu
Rambutan
Nangka
Kecapi
Kadar Air
(%)
32,32
59,07
31,35
Susut Volume
(%)
Berat Jenis
Umum *
0,57
0,61
0,49
Uji
0,69
0,58
0,41
12,11
8,85
7,7
*(Martawijaya et al2005)
Pada Tabel 1 dapat dilihat nilai berat jenis dari masing-masing jenis kayu
berbeda. Kayu rambutan memiliki BJ tertinggi (0,69) dibandingkan jenis lainnya,
sedangkan BJ terendah dimiliki kayu kecapi (0,41). Tampak adanya sedikit
perbedaan berat jenis pada hasil penelitian ini dengan yang dilakukan Martawijya
et al (2005), hal ini disebabkan oleh proporsi kayu teras serta gubalnya atau dapat
juga dipengaruhi oleh perbedaan tempat tumbuh dari masing-masing ketiga jenis
kayu tersebut. Kayu dengan berat jenis tinggi (rambutan) cenderung mengalami
14
Susut Volume (%)
susut volume yang lebih tinggi dibandingkan dengan kayu yang memiliki berat
jenis rendah (nangka dan kecapi). Bramhall dan Wellwood (1976) menyatakan
bahwa tingginya berat jenis kayu akan menghasilkan nilai susut volume yang
besar. Ini disebabkan oleh dinding sel yang lebih tebal, sehingga air terikat yang
perlu dikeluarkan dari dinding sel lebih banyak. Selain itu penyusutan kayu
berberat jenis tinggi cenderung lebih besar. Berat jenis juga mempengaruhi kelas
kuat kayu, semakin tinggi berat jenisnya maka kekuatan kayu semakin tinggi.
0.69
12
9
0.58
Rambutan
0.41
6
Nangka
Kecapi
3
0
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
Berat Jenis
Gambar 4 Grafik hubungan susut volume dengan berat jenis kayu.
Sifat Pengeringan
Hasil pengujian sifat pengeringan menggunakan metode Terazawa (1965)
menunjukan bahwa kayu rambutan lebih sulit dikeringkan dibandingkan kayu
nangka dan kecapi. Hal ini terbukti kayu rambutan memiliki nilai cacat terburuk
untuk ketiga jenis cacat yang menjadi penentu dalam jadwal pengeringan dasar,
yaitu cacat retak permukaan, retak dalam, dan cacat deformasi atau cacat bentuk
(Tabel 2).
Tabel 2 Sifat pengeringan kayu rambutan, nangka, dan kecapi
Pecah
Pecah
Deformasi Tingkat
Permukaan
Dalam
Jenis
Cacat
diambil
Min
Max Min Max Min Max
Rambutan
1
6
1
4
1
4
6
Nangka
1
2
1
2
1
3
3
Kecapi
1
3
1
1
1
1
3
Sifat
Pengeringan
Buruk
Agak baik
Agak baik
Kayu rambutan memiliki sifat pengeringan yang buruk, terutama cacat
retak permukaan dengan nilai maksimal 6 dan menjadi indikator penentu jadwal
pengeringan dasar kayu rambutan. Retak permukaan yang terjadi dapat
dipengaruhi oleh berat jenis kayu rambutan yang tinggi. Kayu dengan berat jenis
tinggi cenderung menyusut lebih banyak sehingga terjadi tegangan tarik yang
tinggi pada permukaan kayu karena permukaan kayu lenih cepat mengering
dibandingkan bagian dalam kayu. Selain itu dapat juga dipengaruhi oleh
15
permeabilitas kayu yang rendah, di mana kadar air yang ada di permukaan dan
bagian dalam kayu berbeda, sehingga terjadi tegangan tarik di permukaan dan
tegangan tekan di dalam kayu. Adapun cacat bentuk yang terjadi pada kayu
rambutan adalah cupping (mencawan) dan crooking (membungkuk). Kayu nangka
memiliki sifat dasar pengeringan yang agak baik. Cacat bentuk atau deformasi
menjadi cacat terparah pada kayu nangka dengan nilai maksimal 3. Cacat bentuk
yang terjadi pada kayu nangka adalah cupping yang terutama disebabkan oleh
perbedaan penyusutan yang besar pada arah radial dan tangensial. Menurut
Bramhall dan Wellwood (1976), cacat bentuk umumnya terjadi pada kayu yang
basah dengan permeabilitas yang rendah dan atau terdapatnya penyumbatan pada
pori kayu. Seperti halnya kayu nangka, kayu kecapi juga memiliki sifat
pengeringan yang agak baik, dengan nilai maksimal retak permukaan sebesar 3
sehingga menjadi indikator penentu jadwal pengeringan dasar kayu kecapi.
Perbedaan sifat pengeringan ketiga jenis kayu tersebut dapat dipengaruhi oleh
faktor fisis, kimia, dan anatomi kayunya.
a
Gambar 5 Cacat retak permukaan (a) pada kayu rambutan
Gambar 6 Cacat bentuk cupping (a) pada kayu rambutan
Jadwal Pengeringan Dasar
Dalam uji pengeringan pendahuluan kayu rambutan, retak permukaan
merupakan cacat terparah dengan nilai maksimal 6, maka dari itu suhu dan
16
kelembaban awal yang dianjurkan untuk pengeringannya berada pada kisaran 5081 0C dan 90-28%. Pada kayu nangka cacat bentuk merupakan cacat terparah
dengan nilai maksimal 3 sehingga suhu dan kelembaban yang dianjurkan adalah
58-83 0C dan 78-25%. Sedangkan pada kayu kecapi retak permukaan merupakan
cacat terparah dengan niali maksimal 3 sehingga suhu dan kelembaban yang
dianjurkan untuk kayu kecapi ada pada kisaran 55-85 0C dan 82-85%, diuraikan
pada Tabel 3.
Berdasarkan konversi yang mengacu pada standar Forest Product
Laboratory (FPL) Madison (Torgeson 1951 dalam Basri et al 2000), maka jadwal
pengeringan dasar dapat dikelompokan menjadi dua yaitu jadwal pengeringan
dengan suhu 50-80 0C (kayu rambutan) dan jadwal pengeringan dengan suhu 5580 0C (kayu nangka dan rambutan). Mengacu pada Torgeson (1951), maka jadwal
pengeringan yang dapat dibuat untuk ketiga jenis kayu tersebut diuraikan pada
Tabel 4 dan 5.
Tabel 3 Suhu dan kelembaban awal dan akhir ketiga jenis kayu
RH
(%)*
Suhu (0C)*
Suhu
(0C)**
Jenis
Awal
Akhir
Awal
Akhir
Awal
Akhir
Jadwal
KA
Kode
Suhu*
*
Awal
(%)
Jadwal
Pengeringan
Rambutan
50
81
90
28
50
80
T-6
59,07
T6-C2
Nangka
58
83
78
25
55
80
T-8
32,32
T8-A4
Kecapi
55
85
82
27
55
80
T-8
31,35
T8-A4
*) Berdasarkan metode Terazawa (1965)
**) Berdasarkan metode Torgeson (1951)
Tabel 4 Jadwal pengeringan dasar kayu rambutan
KA (%)
TBK (0C)
DBB (0C)
TBB (0C)
60-40
50
2
48
40-35
50
3
47
35-30
50
5
45
30-25
55
8
47
25-20
60
18
42
20-15
65
21
44
DAN KECAPI SERTA PENGGUNAAN LARUTAN UREA DALAM
PENGENDALIAN CACAT PENGERINGANNYA
ARI SUHARDIANTO
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Sifat Fisis dan
Pengeringan Kayu Rambutan, Nangka, dan Kecapi serta Penggunaan
Larutan Urea dalam Pengendalian Cacat Pengeringannya” adalah benarbenar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum
pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2013
Ari Suhardianto
NIM E24080080
ABSTRAK
ARI SUHARDIANTO. Sifat Fisis dan Pengeringan Kayu Rambutan, Nangka, dan
Kecapi serta Penggunaan Larutan Urea dalam Pengendalian Cacat
Pengeringannya. Dibimbing oleh TRISNA PRIADI.
Penggunaan jenis-jenis kayu dari hutan rakyat yang semakin meningkat
perlu didukung dengan pengembangan teknologi untuk mengasilkan kualitas
produk yang baik dan sesuai dengan tujuan penggunaannya. Salah satu faktor
yang mempengaruhi dan menjadi syarat adalah kadar air yang harus sesuai dengan
kondisi lingkungan agar dimensinya stabil selama penggunaannya. Oleh sebab itu
tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui sifat fisis, sifat pengeringan,
serta mengetahui teknik pengendalian cacat pada pengeringan kayu rambutan
(Nephelium spp), kecapi (Sandoricum koetjapi), dan nangka (Artocarpus
heterophyllus).
Prosedur pengujian yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari 3
bagian yaitu, pengujian sifat fisis kayu (BS: 373-1957), pengujian sifat dasar
pengeringan berdasarkan metode Terazawa (1965), dan pengujian pengendalian
cacat pengeringan dengan menggunakan larutan urea jenuh.
Hasil penelitian menunjukan bahwa kayu dengan berat jenis tinggi
(rambutan) lebih lambat mengering serta lebih mudah mengalami cacat
pengeringan dibandingkan dengan kayu nangka dan kecapi yang memiliki berat
jenis sedang dan rendah. Kayu rambutan memiliki sifat pengeringan yang buruk,
karena mengalami cacat terparah terutama retak permukaan.Sedangkan kayu
nangka dan kecapi memiliki sifat pengeringan yang agak baik. Perendaman kayu
dalam larutan urea jenuh terbukti mengurangi cacat retak pada ketiga jenis kayu
tersebut hingga 75%.
Kata kunci: cacat pengeringan, larutan urea, rambutan, nangka, kecapi
ABSTRACT
ARI SUHARDIANTO. Physical and Drying properties of Rambutan, Nangka,
and Kecapi Woods and The Use of Urea Solution in Controlling Defects Drying.
Supervised by TRISNA PRIADI.
The use of woods from community forest should be supported by proper
technology to produce good products quality and in accordance with their
intended uses. One of the factors that influences and being a requirement in wood
products is the suitable moisture content to the environmental condition that
stabilize the products dimension in the use. Therefore the objectives of this study
was to determine the physical properties, drying properties, as well as developing
the defects control technique in the drying of rambutan (Nephelium spp), kecapi
(Sandoricum koetjapi) and nangka (Artocarpus heterophyllus) woods. The
procedures performed in this study consisted of the physical properties testing of
woods (BS: 373-1957), the test for basic drying properties based on Terazawa
(1965), and drying defects control using saturated urea solution.The results
showed that wood with higher density (rambutan) dried more slowly and more
prone to defects compared to nangka and kecapi woods, wich had medium and
low densities. Rambutan wood had a poor drying properties that was prone to
surface cracking. While nangka and kecapi woods had a rather good drying
properties. The soaking treatment in saturated urea solution, significantly reduced
checking defect in the three tested wood species.
Keywords: drying defects, urea solution, rambutan, nangka, kecapi
SIFAT FISIS DAN PENGERINGAN KAYU RAMBUTAN, NANGKA,
DAN KECAPI SERTA PENGGUNAAN LARUTAN UREA DALAM
PENGENDALIAN CACAT PENGERINGANNYA
ARI SUHARDIANTO
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan pada
Departemen Hasil Hutan
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi
Nama Mahasiswa
NRP
: Sifat Fisis dan Pengeringan Kayu Rambutan, Nangka, dan
Kecapi serta Penggunaan Larutan Urea dalam
Pengendalian Cacat Pengeringannya.
: Ari Suhardianto
: E24080080
Disetujui oleh
Dr. Ir. Trisna Priadi, M.Eng.Sc
NIP. 19670425 199302 1 001
Diketahui oleh
Prof. Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M. Sc.
NIP. 19660212 199103 1 002
Tanggal Lulus:
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan kontribusi kepada penulis dalam melakukan penelitian ini dan selama
menempuh pendidikan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Untuk itu
penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Trisna Priadi, M.Eng.Sc selaku dosen pembimbing atas segala
bimbingan, saran, dan ilmu yang telah diberikan kepada penulis.
2. Bapak Jaya Supriadinata S.Pd dan Ibu Sri Nursasih S.Pd atas do’a, semangat,
kasih sayang, nasehat, dan kepercayaan sepenuhnya kepada penulis hingga saat
ini.
3. Ani Suprianingsih S.T dan Arif Adi S.T atas do’a, semangat, kasih sayang, dan
nasehatnya kepada penulis.
4. Dewi Putri Santami atas inspirasi, do’a, dan semangat yang diberikan kepada
penulis.
5. Rekan-rekan seperjuangan Icha, Silva, Karyo, Ades, Kecap, Muhran, Liza,
Kanti, Andri, Prabu dan lain-lain yang telah membantu selama proses
penelitian sampai terselesaikannya penulisan skiripsi ini.
6. Bapak Suhada, Bapak Kadiman, dan Ibu Esti di Lab. Teknologi Peningkatan
Mutu Kayu atas bantuan dan bimbingan selama penelitian.
7. Kawan-kawan THH 45 dan Fahutan 45 yang tidak mungkin disebutkan satupersatu. Terima kasih atas kebersamaannya.
8. Kawan-kawan seperjuangan IKABON 45 yang tidak mungkin disebutkan satupersatu. Terima kasih atas semangat dan kebersamaannya.
9. Seluruh pihak yang turut mendorong dan memberikan motivasi kepada penulis
hingga saat ini.
PRAKATA
Assalamu’alaikum wr.wb
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Sholawat serta salam
senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta
keluarga, sahabat, dan para pengikutnya sampai akhir zaman.
Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan pada Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor. Skripsi ini berjudul “Sifat Fisis dan Pengeringan Kayu
Rambutan, Nangka, dan Kecapi serta Penggunaan Larutan Urea dalam
Pengendalian Cacat Pengeringannya”.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna, namun
penulis berharap agar skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat untuk berbagai
pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan skripsi ini.
Wassalamu’alaikum wr.wb
Bogor, Februari 2013
Ari Suhardianto
DAFTAR ISI
PRAKATA .............................................................................................................. x
DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiii
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
Latar Belakang .................................................................................................... 1
Tujuan Penelitian ................................................................................................. 1
Manfaat Penelitian ............................................................................................... 2
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 2
Hubungan Air dan Kayu ...................................................................................... 2
Proses Pengeringan Kayu .................................................................................... 3
Mekanisme Keringnya Kayu ............................................................................... 3
Faktor yang Mempengaruhi Pengeringan Kayu .................................................. 3
Metode Pengeringan Kayu .................................................................................. 5
Cacat Pengeringan Kayu ..................................................................................... 7
Jadwal Pengeringan ............................................................................................. 9
Kayu dari Lahan Milik Rakyat .......................................................................... 10
Rambutan (Nephelium spp – Sapindaceae) ................................................... 10
Kecapi (Sandoricum koetjape – Meliaceae) .................................................. 10
Nangka (Artocarpus heterophyllus - Moraceae) ............................................ 10
Perlakuan Pendahuluan Sebelum Pengeringan ................................................. 11
METODOLOGI PENELITIAN ............................................................................ 11
Bahan ................................................................................................................. 11
Alat .................................................................................................................... 11
Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................................... 12
Prosedur Pengujian ............................................................................................ 12
Pengujian Sifat Fisis ...................................................................................... 12
Pengujian Perlakuan Pendahuluan Sifat Pengeringan ................................... 12
Rendaman Menggunakan Urea ...................................................................... 13
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 13
Sifat Fisis Kayu ................................................................................................. 13
Sifat Pengeringan ............................................................................................... 14
Jadwal Pengeringan Dasar ................................................................................. 15
Pengendalian Cacat Pengeringan dengan Perendaman Larutan Urea ............... 17
SIMPULAN DAN SARAN................................................................................... 18
Simpulan ............................................................................................................ 18
Saran .................................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 19
LAMPIRAN .......................................................................................................... 21
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... 26
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Sifat fisis kayu rambutan, nangka, dan kecapi .................................... 13
Tabel 2 Sifat pengeringan kayu rambutan, nangka, dan kecapi ....................... 14
Tabel 3 Suhu dan kelembaban awal dan akhir ketiga jenis kayu ..................... 16
Tabel 4 Jadwal pengeringan dasar kayu rambutan ........................................... 16
Tabel 5 Jadwal pengeringan dasar kayu nangka dan kecapi ............................ 17
Tabel 6 Nilai cacat kayu setelah perlakuan rendaman larutan urea jenuh ....... 18
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Cacat bentuk dalam pengeringan kayu. ............................................. 7
Gambar 2 Cacat collapse pada kayu. ................................................................. 8
Gambar 3 Cacat retak permukaan (a) dan retak ujung (b). ................................ 9
Gambar 4 Grafik hubungan susut volume dengan berat jenis kayu. ................ 14
Gambar 5 Cacat retak permukaan (a) pada kayu rambutan ............................. 15
Gambar 6 Cacat bentuk cupping (a) pada kayu rambutan ............................... 15
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Klasifikasi cacat dan sifat pengeringan (Terazawa 1965). ........... 21
Lampiran 2 Nilai cacat dalam uji pengeringan kayu (Terazawa 1965). .......... 22
Lampiran 3 Perubahan suhu dan kelambaban pada awal dan akhir
pengeringan kayu (Terazawa 1965). ............................................. 23
Lampiran 4 Suhu bola kering dan depresi suhu bola basah berdasarkan
kadar air kayu (Torgeson 1951). ................................................... 24
Lampiran 5 Nilai kelembaban udara relatif berdasarkan suhu bola kering
dan depresi bola basah. .................................................................. 25
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan hutan rakyat merupakan salah satu solusi untuk mengatasi
masalah kelangkaan bahan baku kayu untuk industri perkayuan. Upaya ini juga
dinilai sebagai langkah yang tepat untuk mendayagunakan potensi masyarakat
sekitar hutan, pencegahan erosi dan banjir, konservasi sumber air dan
meningkatkan produktifitas lahan agar dapat meningkatkan taraf hidup
masyarakat melalui bidang kehutanan. Saat ini hutan rakyat telah memberikan
manfaat sosial ekonomi seperti menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan
pendapatan rakyat melalui perdagangan kayu yang berasal dari hutan rakyat.
Hutan rakyat ialah hutan yang dibangun dan dikelola oleh rakyat,
kebanyakan berada di atas tanah milik atau adat, meskipun ada pula yang berada
di tanah negara atau kawasan hutan negara. Hutan rakyat ini pada umumnya
berbentuk wanatani yaitu campuran antara pohon-pohonan dengan jenis tanaman
bukan pohon, baik berupa wanatani sederhana ataupun wanatani kompleks
(agroforestry) yang strukturnya mirip dengan hutan alam. Hutan rakyat ialah
hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luasan minimal 0,25 ha dengan penutupan
tajuk tanaman kayu-kayuan atau jenis lainnya lebih dari 50% dan atau tanaman
sebanyak minimal 500 tanaman tiap hektar (Anonim 2005).
Karakteristik pengelolaan hutan rakyat bersifat individual, oleh keluarga
dan tidak memiliki manajemen formal. Karakteristik seperti itu dalam
perkembangannya kedepan kurang memiliki daya saing tinggi, tidak memiliki
posisi tawar yang tinggi dengan pedagang dan industri, serta kelestarian hutannya
tidak dapat dijamin.
Kayu dari hutan rakyat umumnya merupakan jenis cepat tumbuh dan tidak
dirawat seperti dalam hutan tanaman sehingga memilki kualitas batang yang
rendah. Oleh karena itu diperlukan penilitian yang dapat meningkatkan kualitas
dan nilai jual kayu yang berasal dari hutan rakyat tersebut, diantaranya ialah
penelitian mengenai sifat pengeringan. Pengeringan kayu bertujuan untuk
menurunkan kadar air kayu sehingga dalam pemakaiannya kayu akan menjadi
stabil. Kadar air menentukan stabilitas dimensi selama pemakaian kayu, yaitu
perlu adanya keseimbangan kadar air dalam kayu dengan kadar air lingkungannya.
Dengan teknik pengeringan yang benar, stabilitas dimensi kayu akan semakin baik
dan kayu akan lebih mudah diproses pada tahap selanjutnya sehingga kualitas
produk kayu akan lebih baik.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisis, sifat pengeringan,
serta mengetahui teknik pengendalian cacat pengeringan pada kayu rambutan,
nangka, dan kecapi.
2
Manfaat Penelitian
Dengan diketahui teknik pengeringan dan pengolahan kayu yang baik,
maka jenis-jenis kayu bermutu rendah dari hutan rakyat dapat digunakan untuk
berbagai produk komersial terutama furniture.
TINJAUAN PUSTAKA
Hubungan Air dan Kayu
Kayu berasal dari pohon yang dalam pertumbuhan atau kehidupannya
membutuhkan air sebagai sarana transportasi hara dari tanah dan hasil asimilasi
dari daun ke seluruh bagian jaringan pohon lainnya. Air dalam kayu berada di
rongga sel yang sangat kecil sehingga sulit untuk keluar. Secara alami, keluarnya
air dari dalam kayu membutuhkan waktu yang cukup lama tergantung dari jenis
dan ukuran kayunya. Kayu segar mengandung air yang terdapat di rongga dan
bagian dinding sel. Kadar air kayu segar bervariasi menurut jenis dan tempat
tumbuhnya. Pada bagian ini kadar air kayu segar juga dipengaruhi kandungan air
tanah tempat tumbuh karena kayu memiliki sifat higroskopis yang mampu
melepas dan mengikat air sesuai dengan kelembaban udara sekitarnya.
Kadar air merupakan banyaknya air yang dikandung kayu dinyatakan
dalam persen terhadap berat kering tanurnya (Brown et al, 1952). Tsoumis (1991)
mengemukakan bahwa besarnya kadar air dalam pohon hidup bervariasi antara
30-300 % tergantung dari spesies pohon (hardwood atau softwood), posisi dalam
batang (vertikal atau horizontal) serta musim (salju, semi, panas, dan gugur).
Ada dua jenis air di dalam kayu yaitu air terikat dan air bebas. Air terikat
yang terdapat di dalam dinding sel dan mikrofoid sangat mempengaruhi sifat fisis
dan mekanis kayu. Selain itu air terikat lebih sulit dikeluarkan dibandingkan
dengan air bebas. Air bebas yang terdapat didalam rongga sel kayu, umumnya
tidak mempengaruhi sifat dan bentuk kayu kecuali berat kayu itu sendiri (Siau
1984). Keadaan dimana air bebas telah semuanya keluar dan dinding sel kayu
masih jenuh dengan air disebut kadar air titik jenuh serat.
Tobing (1988) menjelaskan bahwa pada umumnya kadar air titik jenuh
serat kayu adalah sekitar 30%. Kadar air titik jenuh serat sangatlah penting dalam
pengeringan karena:
1. Diperlukan energi yang lebih besar untuk mengeluarkan air terikat
2. Penyusutan dinding sel kayu terjadi ketika kadar air kayu dibawah titik jenuh
serat.
3. Perubahan kadar air dibawah titik jenuh serat mengakibatkan perubahan sifat
fisis dan mekanis kayu.
4. Penurunan kadar air kayu akan berlangsung terus hingga tercapainya kondisi
kayu yang tidak lagi dapat melepas air ke lingkungannya. Kadar air pada
kondisi ini disebut kadar air kesetimbangan.
3
Proses Pengeringan Kayu
Pengeringan kayu adalah proses penurunan kadar air kayu sampai kadar
air tertentu atau kadar air yang sesuai dengan kondisi tempat kayu tersebut berada
yang disebut dengan kadar air seimbang. Menurut Coto (1996) ada beberapa
alasan dari kegiatan pengeringan kayu, diantaranya:
1. Menghindari cacat bentuk dan menjaga stabilitas dimensi kayu teruatama
setelah proses pengoalahan dengan cara memastikan penyusutan kayu telah
terjadi sebelum kayu digunakan.
2. Untuk memperbaiki permukaan kayu sebelum tahapan proses pengolahan
selanjutnya, seperti perekatan dan pewarnaan.
3. Agar lebih tahan dari pelapukan akibat serangan jamur.
4. Memudahkan impregnasi dengan bahan pengawet.
5. Menurunkan berat kayu serta mengurangi biaya angkutan.
Mekanisme Keringnya Kayu
Proses pengeluaran air disebabkan adanya perbedaan kadar air permukaan
dan bagian dalam kayu. Bagian permukaan kayu akan segera mencapai
keseimbangan dengan udara sekelilingnya dan terjadi gradien kadar air dalam
kayu, yang menyebabkan pergerakan air dari dalam kayu ke luar. Pergerakan air
yang tercepat terjadi pada arah longitudinal, sedangkan yang paling lambat terjadi
pada arah tangensial. Air dapat bergerak dalam bentuk cairan (air bebas dan air
terikat) maupun dalam bentuk uap.
Tobing (1988) menerangkan bahwa terdapat beberapa gaya yang
mempengaruhi pergerakan air secara simultan. Beberapa gaya tersebut antara lain
ialah:
1. Gaya kapiler menyebabkan air bebas bergerak dari lumen melalui noktah dan
membran sel. Gaya ini berhenti ketika kayu mencapai kadar air dibawah titik
jenuh serat.
2. Perbedaan tekanan uap air menyebabkan uap air bergerak dari lumen melalui
noktah, membran noktah dan ruang antar sel. Gerakan ini efektif pada
temperatur tinggi dan pada kayu dengan berat jenis rendah.
3. Perbedaan kadar air menyebabkan air bergerak melalui dinding sel. Gerakan
ini penting pada pengeringan kayu dengan temperatur rendah.
Budianto (1996) menerangkan, bahwa mekanisme keluarnya air dari
dalam kayu dipengaruhi oleh permeabilitas kayu, proses difusi dan penguapan.
Difusi ini dialami uap air dan air terikat dalam kayu.
Faktor yang Mempengaruhi Pengeringan Kayu
Proses pengeringan kayu dipengaruhi oleh sifat-sifat kayu dan lingkungan
pengeringan. Sifat anatomi kayu yang berpengaruh terhadap proses pengeringan,
diantaranya adalah:
4
1. Kayu gubal dan kayu teras
Kayu gubal merupakan bagian dalam batang pohon yang terdiri dari
bagian xylem yang masih hidup dan berfungsi sebagai penyalur cairan dan
menyimpan cadangan makanan. Bagian kayu gubal cenderung basah dan lebih
mudah dikeringkan. Sedangkan pada kayu teras seluruh proses fisiologi sudah
tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya dan banyak mengandung zat
ekstraktif sehingga permeabilitas kayu menurun sehingga sulit dikeringkan dan
mudah mengalami cacat pengeringan (Pandit 2008).
2. Empulur (pith)
Menurut Tobing (1988), sifat pengeringan bagian empulur berbeda dengan
jaringan kayu lainnya, karena empulur memiliki ikatan yang lebih lemah dengan
jaringan kayu disekelilingnya sehingga terkadang mudah terlepas dalam proses
pengeringannya terutama pada pengeringan suhu yang relatif tinggi.
3. Kayu remaja (Juvenile wood)
Kayu remaja merupakan bagian kayu yang terbentuk oleh kambium
berumur muda yang memiliki banyak serat spiral dan dinding sel yang tipis. Kayu
remaja berpotensi susut arah longitudinal lebih besar dibandingkan bagian kayu
lainnya. Cacat yang sering terjadi pada bagian ini adalah deformasi (perubahan
bentuk) seperti cacat bungkuk (crook) dan collapse (Haygreen dan Bowyer 2007).
4. Jari-jari kayu
Menurut Pandit (2008), jari-jari kayu terdiri dari sel-sel berdinding tipis,
oleh karena itu relatif lebih lemah terutama jari-jari yang rapat, sehingga bagian
ini sering mengalami cacat pengeringan seperti retak permukaan atau retak dalam.
5. Riap tumbuh
Pada penampang lintang batang dapat dilihat adanya garis-garis konsentris
nyata ataupun samar. Garis-garis konsentris ini memusat pada empulur dan
disebut riap tumbuh. Dalam satu riap tumbuh terdiri dari dua bagian kayu, yaitu
kayu gubal dan kayu teras (Pandit 2008). Sifat pengeringan kayu gubal dan kayu
teras berbeda yang diakibatkan oleh berat jenisnya yang berbeda. Oleh karena itu
penyusutan arah radial dan tangensial kayu sering diikuti oleh deformasi.
6. Mata kayu
Mata kayu memiliki berat jenis yang lebih tinggi dibandingkan bagian
kayu disekitarnya. Pada saat pengeringan, mata kayu rentan mengalami pecah dan
lepas (loose knots). Hal ini dapat menurunkan mutu kayu hasil pengeringan
(Tobing 1988).
7. Kayu reaksi
Menurut Haygreen dan Bowyer (2007), kayu reaksi berpotensi mengalami
deformasi saat pengeringan, seperti crook (bungkuk), twist (muntir) dan
sebagainya. Hal ini disebabkan penyusutan longitudinal kayu reaksi yang lebih
besar dibandingkan dengan penyusutan normalnya.
8. Serat miring
Dampak serat kayu yang miring terhadap sifat pengeringan hampir sama
dengan kayu reaksi, yaitu mengalami penyusutan longitudinal yang lebih besar
dibanding kayu yang berserat lurus (Pandit 2008).
9. Tekstur kayu
Tobing (1988) menjelaskan bahwa tekstur kayu yang tidak merata dapat
mengakibatkan
cacat
pada
proses
pengeringan,
terutama
berupa
retakpermukanaan dan pecah.
5
10. Sel pembuluh
Kayu yang memiliki sel pembuluh yang berdiameter besar dan tidak
tersumbat tylosis maupun zat amorf pada umumnya relatif mudah dikeringkan.
Sedangkan proses pengeluaran air dari kayu yang sel-sel pembuluhnya
berdiameter kecil dan berisi banyak tylosis cenderung lambat, sehingga
menimbulkan gradien kadar air yang cukup besar antara bagian permukaan
dengan bagian dalam kayu yang dapat mengakibatkan cacat pengeringan
(Haygreen dan Bowyer 2007). Jumlah pori yang sedikit dan noktah pada
pembuluh yang sempit juga dapat menghambat keluarnya air pada proses
pengeringan.
11. Dinding sel
Semakin tebal dinding sel kayu, maka semakin banyak jumlah air terikat
yang harus dikeluarkan dari dalam kayu dibandingkan dengan kayu yang
memiliki dinding sel tipis. Dinding sel yang tebal juga menyebabkan masa kayu
yang harus dilewati secara difusi oleh air lebih banyak; selain itu masa kayu yang
mengalami penyusutan juga lebih besar, sehingga dapat mendorong terjadinya
cacat deformasiataupun retak permukaan dan retak ujung.
12. Parenkim
Kayu dengan parenkim berbentuk pita apalagi yang kondisinya rapat
beraturan dapat memudahkan keluarnya air ke arah tebal dan lebar sortimen.
Sehingga pengeringannya relatif cepat (Pandit 2008).
Metode Pengeringan Kayu
Budianto (1996) menjelaskan bahwa metode pengeringan kayu secara
umum terbagi menjadi dua, antara lain ialah metode pengeringan alami dan
metode pengeringan buatan. Pengeringan alami sering juga disebut dengan
pengeringan udara, walaupun cara pengeringan ini tradisional dan sederhana
namun dapat memberikan hasil yang memuaskan jika dikerjakan dengan
semestinya. Pengeringan alami merupakan cara pengeringan kayu dengan
menumpuk kayu menurut susunan tertentu dan membiarkan tumpukkan itu
beberapa lama di lapangan pada kondisi terbuka ataupun di bawah naungan.
Tujuan dari pengeringan alami ialah untuk menjaga stabilitas dimensi (akibat sifat
kembang susut kayu) yang seringkali menimbulkan cacat bentuk, mengurangi
berat kayu, meningkatkan kekuatan kayu (dengan berkurangnya kadar air di
bawah titik jenuh serat), menghindari serangan agen perusak biologis,
mempermudah proses pengerjaan selanjutnya, dan mempermudah pemasukkan
bahan pengawet dengan cara menyesuaikan kadar air kayu dengan lingkungan
sekitar. Namun pengeringan alami memiliki kelemahan, yakni waktu
pengeringannya sangat tergantung pada kondisi cuaca dan lokasi, sulit mencapai
kadar air 15 %, perlu pencegahan terhadap berbagai faktor perusak kayu selama
proses pengeringan, waktu pengeringan relatif lama dan perlu area yang cukup
luas. Oleh karena itu, untuk mengatasi kesulitan dan kendala-kendala tersebut,
maka dikembangkanlah sistem-sistem pengeringan lain guna menjamin
kelangsungan proses produksi serta guna mengurangi cacat pengering yang terjadi.
Sistem pengeringan tersebut dikenal dengan sistem pengeringan buatan. Sistem
pengeringan buatan tidak tergantung pada kondisi cuaca. Beberapa model
6
pengeringan buatan, antara lain ialah sistem pengeringan dehumidifier, vakum,
fan, dan sistem pengeringan kilang pengering.
1. Metode pengeringan dehumidifier
Prinsip pengeringan dehumidifier adalah dengan pemanasan udara dan
penurunan kelembaban sehingga air dalam kayu terevaporasi keluar. Udara yang
menjadi lembab oleh uap air dari kayu, dihisap ke dalam mesin untuk
dikondensasikan dan dibuang keluar oven. Udara keringnya disalurkan kembali
ke dalam ruang oven melalui elemen pemanas (Budianto 1996).
2. Metode pengeringan vakum
Sistem pengering vakum menggunakan penurunan tekanan udara untuk
mengevaporasikan kandungan air dalam kayu. Sistem ini cukup baik untuk
mencegah perubahan warna kayu (Budianto 1996).
3. Metode pengeringan fan
Penyebaran molekul air yang keluar dari kayu ke udara di sekitarnya
tergantung pada kecepatan pergerakkan udara. Penggunaan fan sangat efektif pada
pengeringan kayu yang tergolong mudah dan relatif cepat untuk dikeringkan dan
kadar airnya masih tinggi. Pengaruh percepatan srikulasi udara oleh fan pada kayu
yang sulit kering dan kadar airnya rendah tidak nyata (Coto 2004).
4. Metode pengeringan kilang pengering (konvensional)
Coto (2004) menerangkan bahwa oven pengering kayu konvensional
paling sering digunakan karena pengoperasinya mudah, efisien dan rendah biaya
pengoperasiannya. Prinsipnya ialah udara panas dari sumber panas dikonveksikan
(dialirkan melalui uap air) dan diradiasikan (dialirkan melalui udara) oleh plat
metal dan bergerak ke atas. Dinding atas dan sekat akan mengarahkan udara ke
tumpukan yang akan digunakan oleh molekul air untuk keluar dari dalam kayu.
Udara di sekitar papan pada tumpukan yang mengandung molekul air yang keluar
dari kayu akan bergerak ke bawah (turun) karena lebih berat. Karena bagian
bawah tumpukan lebih dingin, sebagian uap air di udara tersebut akan
mengembun dan jatuh ke lantai kilang. Adanya sekat, lantai dan dinding
mengarahkan pergerakkan udara ke plat metal, menyerap panas, bergerak ke atas
dan seterusnya secara berkelanjutan hingga kayu di tumpukan mengering.
Pengeringan dengan metode ini dapat digunakan untuk semua jenis kayu.
Selain dari metode pengeringan di atas, Tobing (1988) menjelaskan bahwa
teknik penumpukan juga memegang peranan penting dalam menentukan lamanya
waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan kayu. Pemberian beban yang cukup
pada permukaan tumpukan bagian atas serta pengaturan jarak ganjal yang baik
akan menghasilkan kayu kering berkualitas baik. Kayu yang ditumpuk dengan
ganjal (sticker) pemisah antar lapisan-lapisannya bertujuan untuk menyingkap
seluruh permukaan papan terhadap sirkulasi udara yang terjadi di dalam tumpukan.
Rasmussen (1961), He dan Lin (1989) diacu dalam Martawijaya dan Barly (1995)
menyarankan upaya untuk mengatasi permasalahan lamanya waktu pengeringan
dengan melakukan kombinasi pengeringan alami dan penggunaan dapur
pengering. Selain itu, pemberian uap panas (pengukusan) pada kayu selama 12
hingga 24 jam menjelang akhir pengeringan dapat memulihkan cacat collapse,
namun demikian teknik ini pun tidak selalu cocok dengan setiap jenis kayu,
terutama kayu muda, selain itu pengaruh suhu pengukusan yang tinggi dalam
waktu lama dikhawatirkan dapat menurunkan kekuatan kayu muda tersebut (Basri
et al. 2000).
7
Cacat Pengeringan Kayu
Menurut Walker (1993), terdapat beberapa cacat (defects) yang
diakibatkan oleh proses pengeringan diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Perubahan warna (staining)
Serangan jamur pewarna terhadap kayu yang akan dikeringkan dapat
ditangani dengan meminimalisasi selang waktu antara penebangan dengan waktu
kayu tersebut dipotong atau diolah. Selain itu, penumpukan kayu secepat mungkin
diperlukan agar permukaan papan dapat cepat mengering dan mencapai kadar air
dibawah 20 %. Pewarnaan pada kayu hasil pengeringan dapat juga terjadi oleh
ganjal yang digunakan, serta bahan-bahan dalam ruang pengeringan yang
mengalami kondensasi seperti dari besi yang berkarat.
2. Cacar bentuk (warping)
Cacat bentuk ini merupakan akibat dari perbedaan susut arah radial dan
tangensial (Walker, 1993). Tsoumis (1991) menambahkan bahwa terjadinya cacat
bentuk diakibatkan oleh kesalahan didalam memilih jadwal pengeringan terhadap
kayu yang akan dikeringkan serta proses penumpukan atau penyusunan yang tidak
benar. Beberapa fenomena perubahan bentuk yang terjadi dapat dilihat pada
gambar berikut:
Gambar 1 Cacat bentuk dalam pengeringan kayu.
8
1. Collapse
Tsoumis (1991) menyatakan bahwa collapse adalah distorsi sel-sel yang
sangat kuat sehingga menyebabkan permukaan papan tampak berkerut-kerut.
Untuk menghindari collapse, kayu-kayu tersebut perlu mendapatkan pengeringan
pendahuluan (pre-heating) dengan suhu rendah selama beberapa hari atau
ditumpuk dan dibiarkan mengalami pengeringan alami untuk beberapa minggu.
Gambar 2 Cacat collapse pada kayu.
2. Case hardening
Case hardening terjadi akibat tegangan sisa pengeringan yang terjadi pada
permukaan kayu. Cacat ini menjadi masalah pada saat pengerjaan kayu, dan
sangat mengganggu pada kayu yang akan diserut atau dipotong. Untuk
mengetahui ada tidaknya case hardening pada kayu dapat dilakukan uji garpu
(Walker 1993).
Retak dalam (honey combing) disebabkan oleh retak permukaan yang
berkelanjutan atau besarnya tegangan tegak lurus serat melebihi kekuatan yang
dimiliki oleh kayu tersebut. Untuk menghindari terjadinya retak dalam pada
proses pengeringan diberikan kelembaban udara yang tinggi pada permulaan
pengeringan dengan suhu yang tidak terlalu tinggi (Walker 1993).
3. Retak (checking)
Retak dapat dibagi dua bagian yaitu retak permukaan (surface check) dan
retak ujung (end check). Tsoumis (1991) menyatakan bahwa retak terjadi
disebabkan oleh perubahan dimensi yang tidak sama antara permukaan dengan
bagian dalam dari sepotong kayu. Retak biasanya terjadi pada sepanjang jari-jari
karena merupakan bagian terlemah pada kayu.
9
Gambar 3 Cacat retak permukaan (a) dan retak ujung (b).
Jadwal Pengeringan
Menurut Coto (2004), jadwal pengeringan adalah pengaturan faktor
pengering (kelembaban dan suhu) pada setiap tahapan pengeringan agar waktu
pengeringan dapat dilakukan sesingkat-singkatnya dan cacat yang terjadi pada
kayu yang dikeringkan pun seminimal mungkin. Basri (1990) menjelaskan bahwa
jadwal pengeringan sangat penting dalam pengeringan kayu. Jadwal pengeringan
yang lazim digunakan ialah yang perubahan suhu dan kelembabannya berdasarkan
kadar air kayu yang dikeringkan. Jadwal pengeringan yang berbasis kadar air
merupakan pedoman umum yang memuat langkah-langkah perubahan suhu dan
kelembaban udara berdasarkan kadar air rerata kayu.
Basri dan Rahmat (2001) menerangkan bahwa jadwal pengeringan kayu
ditetapkan secara individual atau per jenis kayu melalui beberapa kali percobaan
pengeringan. Penetapan suhu dan kelembaban dari awal hingga akhir pengeringan
dilakukan agar kayu dapat mengering dalam waktu yang optimal tanpa merusak
kualitas kayu, memerlukan pengetahuan dasar tentang sifat pengeringan kayu.
Pendugaan sifat pengeringan kayu yang lazim didasarkan pada berat jenis kayu.
Kayu yang memiliki berat jenis yang kurang lebih sama, diduga memiliki sifat
pengeringan yang sama.
Menurut Basri (1990), jadwal pengeringan umumnya dibuat
denganmelakukan pengujian pengeringan pendahuluan (sifat dasar pengeringan)
menggunakan suhu tinggi (100 0C). Pengujian pendahuluan ini ditujukan untuk
menduga sifat pengeringan (kepekaan) kayu dalam dapur pengering. Hasil
pengujian pendahuluan ini dapat digunakan untuk merancang jadwal pengeringan
dasar melalui evaluasi tingkat cacat yang terjadi pada contoh uji selama
pengeringan hingga mencapai berat kering tanur. Kemudian jadwal pengeringan
diuji lagi di dapur pengering percobaan. Cacat pengeringan yang diamati ialah
yang terkait dengan dampak proses pengeringan seperti retak ujung dan
permukaan, retak dalam serta deformasi (collapse).
Evaluasi cacat pengeringan yang terjadi dibuat dengan menggunakan
sistem penilaian secara visual. Cacat retak permukaan kayu menggunakan nilai 18, nilai 1-6 digunakan untuk retak bagian dalam kayu dan untuk cacat deformasi.
Semakin tinggi nilai yang digunakan, maka semakin parah tingkat cacat yang
terjadi pada contoh uji kayu. Walaupun dari seluruh contoh uji hanya satu contoh
uji saja yang mengalami cacat terparah, maka penetapan suhu dan kelembaban
tersebut mengacu pada tingkat cacat yang teraparah tersebut (Basri 1990).
10
Kayu dari Lahan Milik Rakyat
Rambutan (Nephelium spp – Sapindaceae)
Rambutan merupakan jenis pohon yang memiliki manfaat ganda yang
disebut MPTS (Multi Purpose Tree Species). Pohon rambutan di Indonesia
tumbuh menyebar dari dataran rendah sampai ketinggian 600 meter diatas
permukaan laut. Tetapi hasil yang baik akan diperoleh pada lahan-lahan yang
lebih rendah yakni antara 0-250 meter. Penyebaran tumbuh tanaman rambutan di
beberapa wilayah tumbuh Indonesia bagian barat dan merata ke hampir semua
pulau besar di Indonesia.
Kayu rambutan mempunyai dinding yang tebal dan memiliki berat jenis
0,57. Kayu pohon rambutan cukup keras dan kering, tetapi mudah retak sehingga
kurang baik untuk bahan bangunan. Pada umumnya kayu rambutan bagus sekali
untuk kayu bakar dan arang.
Kecapi (Sandoricum koetjape – Meliaceae)
Pohon kecapi termasuk ke dalam pohon buah-buahan. Tingginya dapat
mencapai 25–30 m dengan diameter 70–90 cm. Di Jawa pohon kecapi tumbuh di
bawah 1000 m di atas permukaan laut dan banyak ditanam oleh penduduk. Kayu
kecapi mempunyai kayu teras berwarna putih-kelabu sampai cokelat muda,
gambar polos, dan tektur agak kasar (Mandang 1993).
Menurut Kamil dan Kliwon (1973) kayu ini mempunyai BJ 0,49, dengan
kelas awet IV–V, dan kelas kuat III–IV . Kayunya baik digunakan untuk
konstruksi bangunan, kerajinan untuk membuat perabotan rumah tangga serta
untuk peralatan lainnya (Verbeij dan Coronel 1997).
Nangka (Artocarpus heterophyllus - Moraceae)
Nangka memiliki nama botani A. Heterophyllus Lamk. Menurut Verheij
dan Coronel (1992), nangka memiliki nama lain seperti jackfruit (Inggris),
jacqueir (Prancis), langka (Philipina), khanun (Thailand). Di Indonesia pohon
nangka tersebar di hampir seluruh pulau di Indonesia, nangka memiliki nama
bermacam-macam juga di Indonesia, seperti nangko atau nangka (Jawa), ana-ane
(Ambon), panaih (Aceh), lumasa atau malasa (Lampung), dan nama lainnya.
Pohon nangka umumnya berukuran sedang, memiliki tinggi 20-30 m, berdiameter
batang mencapai 100 cm, seluruh bagian mengeluarkan getah putih bila dilukai.
Daun tunggal, tersebar, helai daun agak tebal seperti kulit, kaku, bertepi rata, bulat
telur berbalik hingga jorong (memanjang). Warna kayu nangka mengalami
perubahan warna dari kuning muda pada wakyu kayu gubal menjadi kuning sitrun
pada kayu teras. Kandungan bagian teras nangka termasuk besar, semakin besar
persentase bagian teras maka kayu tersebut memiliki keawetan alami yang
semakin baik (Isrianto 1997).
Isrianto (1997) mengemukakan kayu nangka memiliki struktur anatomi
antara lain porinya tersebar secara tata baur, 30–80 % berpori soliter dan sisanya
bergabung secara radial. Porinya berbentuk bulat sampai oval dengan jumlah pori
7 – 8 per mm2. Diameter tangensial rata-rata adalah 200-360 mikron dan tidak ada
tilosis namun sering kali ada endapan. Jumlah parenkim kayu cukup sampai
11
banyak dengan bentuk selubung sampai aliform dan kadang-kadang bergabung
serta berisi resin berwarna terang sampai oranye. Jari-jari berukuran sedang
sampai cukup lebar (50–150 mikron) dan jumlahnya antara 4–6 per mm2,
heteroseluler, dan tidak ada silika. Saluran radial terdapat pada jari-jari dan
kadang terlihat titik-titik coklat pada bidang tangensial (Pandit dan Kurniawan
2008).
Menurut Isrianto (1997), kayu nangka memiliki berat jenis maksimum
0,71 dan berat jenis minimum adalah 0,55 dengan berat jenis rata-rata 0,61
sehingga masuk ke dalam kelas kuat II. Kayu yang masuk dalam kelas kuat II-III
baik digunakan untuk tujuan struktural. Kayu nangka dapat digunakan untuk
pembuatan meubel, konstruksi bangunan pembubutan, tiang kapal, dayung,
perkakas, dan alat musik. Selain itu, kayu nangka juga banyak digunakan sebagai
bahan pembuat tiang bangunan, kentongan, lesung, dan bahan untuk meubel.
Perlakuan Pendahuluan Sebelum Pengeringan
Urea yang biasa digunakan sebagai pupuk buatan, mengandung unsur
utama nitrogen, berbentuk butiran (prill) atau gelintiran (granular) dengan rumus
kimia CO (NH2)2. Mayoritas pupuk urea yang beredar di pasaran mengandung
unsur hara nitrogen (N) dengan kadar 46%. Artinya setiap 100 kg pupuk urea,
mengandung 46 kilogram nitrogen didalamnya. Zat nitrogen dapat membantu
proses metabolisme tanaman. Umumnya, pupuk urea memiliki tekstur yang cukup
kasar. Pupuk urea berbentuk butiran-butiran seperti kristal dengan warna putih.
Pupuk urea mudah larut di dalam air. Pupuk urea termasuk jenis pupuk yang bisa
dengan mudah berikatan dengan air (higroskopis).
Selain penggunaan sebagai pupuk, urea juga pernah diteliti oleh Kadir
(1977) dalam pengolahan kayu.Perendaman kayu dalam 50% larutan urea
memberikan pengaruh nyata terhadap pencegahan retak pada kayu dibandingkan
tanpa rendaman (kontrol). Hal tersebut disebabkan oleh konsentrasi laruran urea
yang tinggi berperan sebagai zat bulking agent yang menahan penyusutan kayu
sehingga dimensi kayu stabil.
METODOLOGI PENELITIAN
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu rambutan
(Nephelium spp), nangka (Artocarpus heterophyllus), dan kecapi (Sandoricum
koetjape) berupa log berdiameter 25-30 cm yang diperoleh dari sawmill di daerah
Cibeureum. Adapun bahan lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah
larutan urea jenuh
Alat
Peralatan yang digunakan yaitu, cutter, kaliper, desikator, timbangan digital,
kalkulator, alumunium foil, oven, lem, dan alat tulis lainnya.
12
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai bulan November 2012.
Adapun tempat pelaksanaan penelitian ini di Laboratorium Pengeringan Kayu,
Bagian Teknologi Peningkatan Mutu Kayu, Departemen Hasil Hutan, Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Prosedur Pengujian
Pengujian Sifat Fisis
Pengujian sifat fisis meliputi pengukuran berat jenis dan susut volume dari
ketiga jenis kayu tersebut dengan ukuran contoh 2 cm x 2 cm x 2 cm sesuai
dengan standar BS: 373-1957. Sebelumnya contoh uji dibersihkan menggunakan
cutter dan amplas, lalu ditandai garis tengah pada setiap sisinya untuk pengukuran
dimensi sehingga bisa dihitung volume awalnya (Va). Setelah pengukuran
dimensi, contoh uji di oven pada suhu 103±2 0C selama 48 jam. Contoh uji
selanjutnya ditimbang untuk memperoleh BKT dan diukur kembali Volumenya
(Vo). Data tersebut digunakan untuk penentuan kadar air (KA), berat jenis (BJ),
dan susut volume (SV).
KA
a – KT
KT
KT
a
S
a– o
a
Keterangan:
KA
= Kadar air (%)
BJ
= Berat jenis
Ba
= Berat awal (gr)
Va
= Volume segar (cm3)
BKT = Berat kering tanur (gr)
SV
= Susut volume (%)
3
Va
= Volume awal (cm )
Vo
= Volume kering tanur (cm3)
Ρ
= Kerapatan standar air pada suhu 40C (1gr/cm3)
Pengujian Perlakuan Pendahuluan Sifat Pengeringan
Contoh uji kayu rambutan, nangka, dan kecapi berukuran 20 cm x 10 cm x
2,5 cm dengan lima kali pengulangan pada masing-masing jenis kayu dibersihkan
dengan menggunakan cutter dan amplas. Selanjutnya contoh uji disusun
bertumpuk dengan menggunakan kayu (sticker) di dalam oven. Contoh uji
tersebut dipanaskan pada suhu 100 0C hingga mencapai kadar air kering tanur.
Evaluasi cacat yang terjadi terutama retak dilakukan tiap dua jam sampai berat
konstan. Ketika kayu mencapai kering tanur, maka diamati deformasi atau
perubahan bentuknya serta retak dalam pada kayu.Pengujian metode suhu tinggi
dan evaluasi cacat yang terjadi ini mengacu pada metode Terazawa (1965).
Penilaian sifat pengeringan kayu didasarkan pada tiga jenis cacat tersebut dan
tingkat kerusakan masing-masing jenis cacat menggunakan sistem nilai. Semakin
tinggi nilai yang digunakan maka semakin parah cacat yang terjadi pada contoh
uji kayu (Lampiran 1 dan 2). Penyusunan suatu rancangan jadwal pengeringan
untuk setiap jenis kayu tersebut, yaitu berupa suhu awal dan akhir serta
kelembaban awal dan akhir sehingga kayu tersebut dapat dikeringkan secara
optimal. Perubahan tingkat suhu dan kelembaban untuk setiap perubahan kadar air
dalam jadwal pengeringan yang dibuat dari setiap jenis kayu mengacu pada
13
jadwal pengeringan Forest Product Laboratory (FPL) Madison (Torgeson, 1951
dalam Basri et al. 2000).
Rendaman Menggunakan Urea
Contoh uji kayu berukuran 20 cm x 10 cm x 2,5 cm dari jenis rambutan,
nangka, dan kecapi dengan masing-masing tiga kali pengulangan dibersihkan
menggunakan cutter dan amplas. Selanjutnya contoh uji direndam dalam larutan
urea jenuh masing-masing 0,5 jam, 1 jam, 1,5 jam, dan 2 jam. Masing-masing
contoh uji kemudian ditimbang dan dikeringkan di dalam oven pada suhu 70 0C
hingga mencapai berat konstan. Evaluasi cacat yang terjadi, yaitu retak ujung dan
retak permukaan dilakukan tiap dua jam. Ketika kayu mencapai berat konstan,
maka diamati deformasi (perubahan bentuk) serta retak dalam kayu tersebut.
Pengujian pengeringan dan evaluasi cacat yang terjadi ini mengacu pada metode
Terazawa (1965). Evaluasi sifat pengeringan kayu didasarkan pada cacat-cacat
yang terjadi. Semakin tinggi nilai cacat maka semakin parah cacat yang terjadi
pada contoh uji kayu (Lampiran 1 dan 2).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat Fisis Kayu
Hasil pengujian sifat fisis menunjukan bahwa kayu rambutan, nangka, dan
kecapi yang digunakan masih dalam kondisi segar dengan kadar air dari setiap
jenis kayu lebih dari 30%, sehingga dapat digunakan untuk penentuan jadwal
pengeringan dasar.
Tabel 1Sifat fisis kayu rambutan, nangka, dan kecapi
Jenis Kayu
Rambutan
Nangka
Kecapi
Kadar Air
(%)
32,32
59,07
31,35
Susut Volume
(%)
Berat Jenis
Umum *
0,57
0,61
0,49
Uji
0,69
0,58
0,41
12,11
8,85
7,7
*(Martawijaya et al2005)
Pada Tabel 1 dapat dilihat nilai berat jenis dari masing-masing jenis kayu
berbeda. Kayu rambutan memiliki BJ tertinggi (0,69) dibandingkan jenis lainnya,
sedangkan BJ terendah dimiliki kayu kecapi (0,41). Tampak adanya sedikit
perbedaan berat jenis pada hasil penelitian ini dengan yang dilakukan Martawijya
et al (2005), hal ini disebabkan oleh proporsi kayu teras serta gubalnya atau dapat
juga dipengaruhi oleh perbedaan tempat tumbuh dari masing-masing ketiga jenis
kayu tersebut. Kayu dengan berat jenis tinggi (rambutan) cenderung mengalami
14
Susut Volume (%)
susut volume yang lebih tinggi dibandingkan dengan kayu yang memiliki berat
jenis rendah (nangka dan kecapi). Bramhall dan Wellwood (1976) menyatakan
bahwa tingginya berat jenis kayu akan menghasilkan nilai susut volume yang
besar. Ini disebabkan oleh dinding sel yang lebih tebal, sehingga air terikat yang
perlu dikeluarkan dari dinding sel lebih banyak. Selain itu penyusutan kayu
berberat jenis tinggi cenderung lebih besar. Berat jenis juga mempengaruhi kelas
kuat kayu, semakin tinggi berat jenisnya maka kekuatan kayu semakin tinggi.
0.69
12
9
0.58
Rambutan
0.41
6
Nangka
Kecapi
3
0
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
Berat Jenis
Gambar 4 Grafik hubungan susut volume dengan berat jenis kayu.
Sifat Pengeringan
Hasil pengujian sifat pengeringan menggunakan metode Terazawa (1965)
menunjukan bahwa kayu rambutan lebih sulit dikeringkan dibandingkan kayu
nangka dan kecapi. Hal ini terbukti kayu rambutan memiliki nilai cacat terburuk
untuk ketiga jenis cacat yang menjadi penentu dalam jadwal pengeringan dasar,
yaitu cacat retak permukaan, retak dalam, dan cacat deformasi atau cacat bentuk
(Tabel 2).
Tabel 2 Sifat pengeringan kayu rambutan, nangka, dan kecapi
Pecah
Pecah
Deformasi Tingkat
Permukaan
Dalam
Jenis
Cacat
diambil
Min
Max Min Max Min Max
Rambutan
1
6
1
4
1
4
6
Nangka
1
2
1
2
1
3
3
Kecapi
1
3
1
1
1
1
3
Sifat
Pengeringan
Buruk
Agak baik
Agak baik
Kayu rambutan memiliki sifat pengeringan yang buruk, terutama cacat
retak permukaan dengan nilai maksimal 6 dan menjadi indikator penentu jadwal
pengeringan dasar kayu rambutan. Retak permukaan yang terjadi dapat
dipengaruhi oleh berat jenis kayu rambutan yang tinggi. Kayu dengan berat jenis
tinggi cenderung menyusut lebih banyak sehingga terjadi tegangan tarik yang
tinggi pada permukaan kayu karena permukaan kayu lenih cepat mengering
dibandingkan bagian dalam kayu. Selain itu dapat juga dipengaruhi oleh
15
permeabilitas kayu yang rendah, di mana kadar air yang ada di permukaan dan
bagian dalam kayu berbeda, sehingga terjadi tegangan tarik di permukaan dan
tegangan tekan di dalam kayu. Adapun cacat bentuk yang terjadi pada kayu
rambutan adalah cupping (mencawan) dan crooking (membungkuk). Kayu nangka
memiliki sifat dasar pengeringan yang agak baik. Cacat bentuk atau deformasi
menjadi cacat terparah pada kayu nangka dengan nilai maksimal 3. Cacat bentuk
yang terjadi pada kayu nangka adalah cupping yang terutama disebabkan oleh
perbedaan penyusutan yang besar pada arah radial dan tangensial. Menurut
Bramhall dan Wellwood (1976), cacat bentuk umumnya terjadi pada kayu yang
basah dengan permeabilitas yang rendah dan atau terdapatnya penyumbatan pada
pori kayu. Seperti halnya kayu nangka, kayu kecapi juga memiliki sifat
pengeringan yang agak baik, dengan nilai maksimal retak permukaan sebesar 3
sehingga menjadi indikator penentu jadwal pengeringan dasar kayu kecapi.
Perbedaan sifat pengeringan ketiga jenis kayu tersebut dapat dipengaruhi oleh
faktor fisis, kimia, dan anatomi kayunya.
a
Gambar 5 Cacat retak permukaan (a) pada kayu rambutan
Gambar 6 Cacat bentuk cupping (a) pada kayu rambutan
Jadwal Pengeringan Dasar
Dalam uji pengeringan pendahuluan kayu rambutan, retak permukaan
merupakan cacat terparah dengan nilai maksimal 6, maka dari itu suhu dan
16
kelembaban awal yang dianjurkan untuk pengeringannya berada pada kisaran 5081 0C dan 90-28%. Pada kayu nangka cacat bentuk merupakan cacat terparah
dengan nilai maksimal 3 sehingga suhu dan kelembaban yang dianjurkan adalah
58-83 0C dan 78-25%. Sedangkan pada kayu kecapi retak permukaan merupakan
cacat terparah dengan niali maksimal 3 sehingga suhu dan kelembaban yang
dianjurkan untuk kayu kecapi ada pada kisaran 55-85 0C dan 82-85%, diuraikan
pada Tabel 3.
Berdasarkan konversi yang mengacu pada standar Forest Product
Laboratory (FPL) Madison (Torgeson 1951 dalam Basri et al 2000), maka jadwal
pengeringan dasar dapat dikelompokan menjadi dua yaitu jadwal pengeringan
dengan suhu 50-80 0C (kayu rambutan) dan jadwal pengeringan dengan suhu 5580 0C (kayu nangka dan rambutan). Mengacu pada Torgeson (1951), maka jadwal
pengeringan yang dapat dibuat untuk ketiga jenis kayu tersebut diuraikan pada
Tabel 4 dan 5.
Tabel 3 Suhu dan kelembaban awal dan akhir ketiga jenis kayu
RH
(%)*
Suhu (0C)*
Suhu
(0C)**
Jenis
Awal
Akhir
Awal
Akhir
Awal
Akhir
Jadwal
KA
Kode
Suhu*
*
Awal
(%)
Jadwal
Pengeringan
Rambutan
50
81
90
28
50
80
T-6
59,07
T6-C2
Nangka
58
83
78
25
55
80
T-8
32,32
T8-A4
Kecapi
55
85
82
27
55
80
T-8
31,35
T8-A4
*) Berdasarkan metode Terazawa (1965)
**) Berdasarkan metode Torgeson (1951)
Tabel 4 Jadwal pengeringan dasar kayu rambutan
KA (%)
TBK (0C)
DBB (0C)
TBB (0C)
60-40
50
2
48
40-35
50
3
47
35-30
50
5
45
30-25
55
8
47
25-20
60
18
42
20-15
65
21
44