Sifat Fisis, Anatomi dan Sifat Pengeringan Tiga Jenis Kayu Kurang Dikenal dari Kupang dan Papua

SIFAT FISIS, ANATOMI DAN SIFAT PENGERINGAN
TIGA JENIS KAYU KURANG DIKENAL
DARI KUPANG DAN PAPUA

ELIZA FAUZIAH

DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Sifat Fisis, Anatomi dan Sifat
Pengeringan Tiga Jenis Kayu Kurang Dikenal dari Kupang dan Papua adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2013
Eliza Fauziah
NIM E2409001

ABSTRAK
ELIZA FAUZIAH. Sifat Fisis, Anatomi dan Sifat Pengeringan Tiga Jenis Kayu Kurang
Dikenal dari Kupang dan Papua. Dibimbing oleh Dr Ir TRISNA PRIADI M Eng Sc.
Saat ini, kebutuhan kayu di Indonesia semakin meningkat dan tidak dapat
dipenuhi oleh pasokan kayu komersial dari hutan alam sehingga perlu menggunakan jenis
kayu non-komersial yang kurang dikenal. Untuk memanfaatkan jenis kayu yang kurang
dikenal, membutuhkan pemahaman yang baik pada sifat kayu sehingga dapat
menghasilkan produk kayu berkualitas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
memaparkan sifat fisis, anatomi dan sifat pengeringan dari beberapa jenis kayu kurang
dikenal, seperti kwari (Tetrameles nudiflora), kabesak (Acacia leucophloea) dan timo
(Timonius sericeus). Uji sifat fisis meliputi kadar air, berat jenis, dan penyusutan kayu.
Struktur anatomi kayu diamati setelah mengiris contoh uji kayu dengan mikrotom pada
penampang tangensial, radial dan longitudinal menurut metode IAWA (2008). Uji sifat
pengeringan kayu dilakukan dengan mengeringkan contoh uji pada suhu 100 oC sampai
berat konstan. Evaluasi cacat permukaan dilakukan pada akhir pengujian berdasarkan

metode Terazawa setiap 2 jam.
Kayu dengan kerapatan tinggi (kabesak dan timo) relatif lambat dalam
pengeringan dan mudah terjadi cacat daripada kayu kwari. Kayu kwari memiliki berat
jenis rendah, pori-pori besar dan frekuensi yang tinggi. Pengeringan kayu kabesak dapat
disarankan dengan jadwal pengeringan 45-80 oC dan 90-28%, jadwal pengeringan kayu
timo adalah suhu 50-80 oC dan kelembaban 85-30%, sedangkan kayu kwari adalah 60-85
o
C dan 82-27%.
Kata Kunci : Sifat pengeringan, jadwal pemgeringan, kwari, kabesak dan timo

ABSTRACT
ELIZA FAUZIAH. The Physical, Anatomical and Drying Properties of Three Lesser
Known Wood Species from Kupang and Papua. Supervised by Dr Ir TRISNA PRIADI
M Eng Sc.
Nowdays, the need of woods in Indonesia is increasing and can not be fulfilled by
commercial woods from natural forests so that needs to use non-commercial woods of
lesser known species. To utilize these lesser known species, requires good understanding
on the wood properties so that can result in qualified wood products. The objective of the
research was to analyze the physical properties, anatomy and drying properties of some
lesser known spesies, such as kwari (Tetrameles nudiflora), kabesak (Acacia

leucophloea) and timo (Timoneus seriseus) woods. The tests of physical properties
included moisture content, specific gravity, and shrinkage. The anatomical structure of
wood was observed after slicing wood samples with sliding microtome at tangential,
radial and longitudinal surfaces according to IAWA method (2008). The test of wood
drying property was done by drying samples at 100 oC until their constant weight. Defects
evaluation including surface and end checks were conducted based on Terazawa method
every 2 hours.
The high density woods (kabesak and timo) were slower in drying and more
vurnerable to defects than kwari wood. Kwari wood had the lowest specific gravity, with
large and high frequency of pores. Kabesak wood was sugested to be dried with drying
schedule of 45–80 oC of temperatures and 90–28% of humidities. The drying schedule for
timo wood was 50–80 oC temperatures and 85–30% of humidities, whereas that for kwari
wood were 60–85 oC of temperatures and 82–27% of humidities.
Key words : drying properties, drying schedule, kwari, kabesak, timo

SIFAT FISIS, ANATOMI DAN SIFAT PENGERINGAN
TIGA JENIS KAYU KURANG DIKENAL
DARI KUPANG DAN PAPUA

ELIZA FAUZIAH


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Hasil Hutan

DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Sifat Fisis, Anatomi dan Sifat Pengeringan Tiga Jenis Kayu Kurang
Dikenal dari Kupang dan Papua
Nama
: Eliza Fauziah
NIM
: E24090014


Disetujui oleh

Dr Ir Trisna Priadi M Eng Sc
Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

Prof Dr Ir I Wayan Darmawan M Sc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2012 hingga
September 2012 ini dengan judul “Sifat Fisis, Anatomi dan Sifat Pengeringan
Tiga Jenis Kayu Kurang Dikenal dari Kupang dan Papua”. Karya tulis ini
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Trisna Priadi M Eng Sc
selaku pembimbing yang telah banyak memberikan arahan serta masukan dalam
penyelesaian penelitian serta penulisan skripsi ini. Ungkapan terima kasih juga
penulis sampaikan kepada suami, mama, ibu, dan seluruh keluarga atas segala
bantuan dan kasih sayangnya, serta temen-teman Departemen Hasil Hutan atas
dukungan dan doanya.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dan keterbatasan
dalam penulisan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua
pihak yang membacanya.

Bogor, Desember 2013
Eliza Fauziah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR


vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian


1

TINJAUAN PUSTAKA

1

Air dalam Kayu

1

Pengeringan Kayu

2

Cacat dalam Pengeringan Kayu

4

Jadwal Pengeringan Kayu


6

METODOLOGI PENELITIAN

7

Waktu dan Tempat Penelitian

7

Alat dan Bahan

7

Prosedur Pengujian

7

Pengujian Sifat Fisis


7

Pengamatan Struktur Anatomi

8

Pengujian Sifat Dasar Pengeringan

8

HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat Fisis Kayu

8
8

Sifat Anatomi Kayu

10


Sifat Pengeringan Kayu

12

Kecepatan Pengeringan Kayu

12

Sifat Dasar Pengeringan

13

Jadwal Pengeringan

14

SIMPULAN DAN SARAN

16

Simpulan

16

Saran

16

DAFTAR PUSTAKA

16

LAMPIRAN

18

RIWAYAT HIDUP

25

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7

Sifat fisis kayu kwari, kabesak dan timo
Perbandingan ciri anatomi ketiga jenis kayu uji
Sifat pengeringan kayu kwari, kabesak dan timo
Suhu dan kelembaban pengeringan kayu kwari, kabesak dan timo
Jadwal pengeringan kayu jenis kwari (T. nudiflora) T10-F4
Jadwal pengeringan kayu jenis kabesak (A. leucophloea) T4-C2
Jadwal pengeringan kayu jenis kwari (T. sericeus) T6-A3

9
11
13
14
14
15
15

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Cacat bentuk dalam pengeringan
Kondisi kayu dalam uji garpu
Cacat retak permukaan dan pecah ujung
Cacat honeycombing pada papan quartersawn dan flatsawn
Kayu yang mengalami collapse
Berat jenis dan susut volume kayu uji
Kayu kwari, kabesak dan timo
Struktur anatomi tiga jenis kayu uji
Kecepatan pengeringan

4
5
5
5
6
9
10
11
12

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Nilai dan klasifikasi sifat pengeringan berdasarkan cacat
Nilai dan kondisi cacat permukaan, deformasi dan retak dalam
Suhu dan kelembaban awal dan akhir pengeringan berdasarkan cacat
Pengaturan suhu pengeringan berdasarkan kadar air kayu
Hubungan suhu bola kering dan basah dengan kelembaban relatif
Kadar air awal ketiga jenis kayu uji
Sifat fisis ketiga jenis kayu uji

18
19
20
21
22
23
24

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebutuhan kayu di Indonesia sangat tinggi dan tidak dapat dipenuhi oleh
pasokan kayu komersial dari hutan alam sehingga diperlukan penggunaan kayukayu non-komersial yang kurang dikenal. Untuk pengolahan kayu kurang
dikenal tersebut diperlukan pemahaman yang baik dalam sifat dasar dan sifat
pengolahannya sehingga dapat dihasilkan produk kayu yang berkualitas. Salah
satu syarat penting pengolahan kayu adalah kadar air yang sesuai dengan kondisi
penggunaan sehingga dimensi dan bentuk produk kayu tidak berubah dalam
pemakaiannya.
Upaya pengeluaran air dari dalam kayu melalui pengeringan perlu
mendapat perhatian serius karena sering disertai dengan terjadinya cacat yang
merugikan seperti retak, pecah, perubahan bentuk (deformasi/collapse),
pewarnaan permukaan, dan lain sebagainya. Hal tersebut dipengaruhi oleh
banyak faktor, diantaranya adalah struktur anatomi kayu, porsi kayu remaja, dan
berat jenis (Basri et al. 2000). Oleh karena itu dalam pengeringan konvensional
diperlukan jadwal pengeringan yang mengatur suhu dan kelembaban
pengeringan dalam kilang pengering. Jadwal pengeringan yang lazim digunakan
ialah dengan mengatur perubahan suhu dan kelembaban udaranya berdasarkan
kadar air kayu yang sedang dikeringkan (Basri et al. 2000).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan sifat fisis, anatomi, dan sifat
pengeringan kayu kurang dikenal Acacia leucophloea dan Timonius sericeus
dari Kupang, serta Tetrameles nudiflora dari Papua.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini sangat diharapkan dapat memberikan informasi sifat
dasar dan pengolahan kayu kurang dikenal asal Kupang dan Papua sehingga
menjadi alternatif dalam memenuhi kebutuhan industri hasil hutan, selain itu
dapat bermanfaat dalam meningkatkan produktivitas dan kualitas produk
industri kayu.

TINJAUAN PUSTAKA
Air dalam Kayu
Kayu berasal dari pohon yang dalam pertumbuhannya membutuhkan air
sebagai sarana transportasi hara dari tanah dan hasil asimilasi dari daun ke
seluruh bagian jaringan pohon. Secara alami air akan keluar dari dalam kayu,
tapi membutuhkan waktu berbulan-bulan tergantung dari jenis dan ukuran
kayunya.

2

Air diserap dari tanah oleh akar dan diangkut melalui batang pohon, oleh
karena itu kayu pada batang pohon hidup mengandung banyak air, berkisar
antara 60-200% dari berat kering tanur kayu. Perbandingan antara berat air yang
ada dalam suatu batang kayu dengan berat kering tanur kayu yang bersangkutan
disebut sebagai kadar air kayu. Kadar air kayu merupakan perbandingan antara
berat air yang terdapat dalam kayu dengan berat kering tanur kayunya yang telah
dikeringkan dengan oven dan dinyatakan dalam persen.
Kadar air kayu sebagai bahan bangunan maupun mebel, harus berada pada
kisaran antara 8–14% (Desch 1968, diacu dalam Basri dan Rahmat 2001).
Tobing (1988) menjelaskan, saat pohon ditebang, kayu akan segera mengalami
penurunan kadar air sebagai akibat dari usaha kayu untuk mencapai
keseimbangan dengan kelembaban lingkungan. Air bebas keluar pertama kali
dan ketika seluruh air bebas habis, maka kayu mencapai kondisi titik jenuh serat.
Pada seluruh jenis kayu, titik jenuh serat berkisar pada kadar air 30 %, hal itu
memberikan arti bahwa apabila sepotong kayu telah mencapai kadar air 30 %,
maka ruang sel maupun ruang antar sel tidak mengandung air lagi. Kadar air
titik jenuh serat penting dalam pengeringan, karena selayaknya dibutuhkan
energi panas yang lebih besar untuk menguapkan air terikat, dinding sel tidak
menyusut hingga dicapainya titik jenuh serat, perubahan besar terhadap sifat
fisis dan mekanis kayu mulai terjadi setelah kadar air titik jenuh serat tercapai.
Pengeringan Kayu
Tujuan pengeringan ialah untuk menjaga stabilitas dimensi kayu dalam
penggunaannya. Pengeringan juga dapat mengurangi berat kayu, meningkatkan
kekuatan kayu (dengan berkurangnya kadar air dibawah titik jenuh serat),
menghindari serangan jamur, mempermudah proses pengerjaan lanjutan, dan
mempermudah pemasukan bahan pengawet (Coto 2004).
Kayu remaja merupakan bagian kayu yang terbentuk oleh kambium
berumur muda yang memiliki banyak serat spiral dan dinding sel yang tipis.
Kayu remaja berpotensi susut arah longitudinal lebih besar dibandingkan bagian
kayu lainnya. Cacat yang sering terjadi pada bagian ini adalah deformasi
(perubahan bentuk) seperti cacat bungkuk (crook) dan collapse (Bowyer et al.
2007). Menurut (Pandit et al. 2008), jari-jari kayu terdiri dari sel-sel berdinding
tipis oleh karena itu relatif lemah terutama jari-jari yang rapat, sehingga bagian
ini sering mengalami cacat pengeringan seperti retak permukaan, pecah atau
retak dalam. Sifat pengeringan kayu gubal dan kayu teras berbeda yang
diakibatkan oleh berat jenisnya yang berbeda. Oleh karena itu penyusutan arah
radial dan tangensial kayu sering diikuti oleh deformasi.
Mata kayu memiliki berat jenis yang lebih tinggi dibandingkan bagian
kayu disekitarnya. Pada saat pengeringan, mata kayu rentan mengalami pecah
dan lepas (loose knots). Hal ini dapat menurunkan mutu kayu hasil pengeringan
(Tobing 1988). Menurut Bowyer et al. (2007), kayu reaksi berpotensi
mengalami deformasi saat pengeringan, seperti crook (bungkuk), twist (muntir)
dan sebagainya. Hal ini disebabkan penyusutan longitudinal kayu reaksi yang
lebih besar dibandingkan dengan penyusutan normalnya. Dampak serat kayu
yang miring terhadap sifat pengeringan hampir sama dengan kayu reaksi, yaitu
mengalami penyusutan longitudinal yang lebih besar dibanding kayu yang

3

berserat lurus (Pandit et al. 2008). Tobing (1988) menjelaskan bahwa tekstur
kayu yang tidak merata dapat mengakibatkan cacat pada proses pengeringan,
terutama berupa retak permukanaan dan pecah.
Penyusutan adalah penurunan dimensi kayu akibat keluarnya air terikat
dari dinding sel. Faktor-faktor sifat kayu yang berpengaruh terhadap penyusutan
kayu antara lain: kadar air, kerapatan, struktur/anatomi kayu, kadar ekstraktif,
kandungan/ komposisi bahan penyusun kimia (Tsoumis 1991). Kelembaban
relatif merupakan penentu kapasitas pengeringan. Rendahnya nilai kelembaban
relatif mengakibatkan semakin tingginya air yang dapat ditampung udara yang
diuapkan dari dalam kayu, sehingga kadar air kayu dapat semakin rendah.
Sirkulasi udara berperan sebagai pembawa panas ke kayu yang diperlukan
untuk menguapkan air dari dalam kayu dan memindahkan uap air di sekitar kayu.
Kecepatan angin yang cukup dan keseragaman sirkulasi udara di sekitar kayu
yang sedang dikeringkan sangat penting agar pengeringan kayu cepat dan merata.
Metode pengeringan kayu secara umum terbagi menjadi dua, yaitu metode
pengeringan alami dan pengeringan buatan. Pengeringan alami sering disebut
juga pengeringan udara. Pengeringan alami dilakukan dengan menumpuk kayu
menurut susunan tertentu dan membiarkan tumpukan itu beberapa lama di
lapangan pada kondisi terbuka ataupun di bawah naungan (Budianto 1996).
Tobing (1988) menerangkan bahwa terdapat beberapa gaya yang
mempengaruhi pergerakan air secara simultan. Beberapa gaya tersebut antara lain
ialah gaya kapiler yang menyebabkan air bebas bergerak dari lumen, melalui
noktah dan membran sel. Gaya ini berhenti ketika kayu mencapai kadar air di
bawah titik jenuh serat. Perbedaan tekanan uap air menyebabkan uap air bergerak
dari lumen, melalui noktah, membran noktah dan ruang antar sel. Gerakan ini
efektif pada temperatur tinggi dan pada kayu dengan berat jenis rendah.
Perbedaan kadar air menyebabkan air bergerak melalui dinding sel. Gerakan ini
penting pada pengeringan kayu dengan temperatur rendah. Budianto (1996)
menerangkan, bahwa mekanisme keluarnya air dari dalam kayu dipengaruhi oleh
permeabilitas kayu, proses difusi dan penguapan. Difusi ini dialami uap air dan
air terikat dalam kayu.
Metode pengeringan alami banyak dilakukan sebagai perlakuan awal untuk
membantu mangurangi cacat serta mempercepat waktu pada pengeringan buatan.
Sistem pengeringan buatan tidak tergantung pada kondisi cuaca. Beberapa model
pengeringan buatan, antara lain ialah: metode pengeringan dehumidifer, metode
pengeringan vakum, metode pengeringan fan, metode pengeringan kilang
pengering (konvensional). Coto (2004) menerangkan bahwa kilang pengering
kayu konvensional paling sering digunakan karena pengoprasiannya mudah,
efisien dan ekonomis. Prinsip yang digunakan dalam metode pengeringan ini
adalah mengalirkan udara panas dari sumber panas melalui uap air dan
diradiasikan melalui udara oleh plat metal. Udara panas bergerak keatas.
Dinding atas dan sekat akan mengarahkan udara ke tumpukan kayu sehingga air
keluar dari dalam kayu. Udara di sekitar kayu menjadi lembab dan bergerak ke
bawah. Sebagian uap air udara tersebut akan mengembun dan jatuh ke dasar
kilang. Adanya sekat, lantai dan dinding mengarahkan pergerakan udara ke plat
metal, menyerap panas, bergerak ke atas dan seterusnya berkelanjutan hingga
kayu pada tumpukan tersebut mengering. Metode pengeringan ini dapat
digunakan untuk semua jenis kayu.

4

Cacat dalam Pengeringan Kayu
Kayu diameter kecil atau kayu muda memiliki kelemahan antara lain ialah
cukup banyak mengandung serat spiral, rasio penyusutan tengensial/radial yang
besar, dinding sel relatif tipis dengan sudut mikrofibril dalam dinding sel
yang besar sehingga penyusutan longitudinalnya besar. Kondisi tersebut
menyebabkan sortimen dari kayu diameter kecil cenderung berubah bentuk
(warping), dan atau collapse pada saat dikeringkan (Walker 2007).
Menurut Walker (2007), terdapat beberapa cacat kayu yang sering terjadi
dalam proses pengeringan diantaranya adalah perubahan warna yang dapat
terjadi karena serangan jamur pewarna terutama pada kayu segar, hal ini dapat
ditangani dengan meminimalisir waktu antara penebangan dengan pengolahan.
Penumpukan kayu perlu dilakukan secepatnya agar permukaannya cepat
mengering dan mencapai kadar air kurang dari 20%. Pewarnaan pada kayu hasil
pengeringan dapat juga terjadi oleh ganjal yang digunakan, serta bahan-bahan
dalam ruang pengering yang mengalami kondensasi seperti karat pada besi.
Cacat bentuk pada umumnya terjadi akibat perbedaan susut pada arah
radial dan tangensial (Walker 2007). Terjadinya cacat bentuk ini dapat juga
disebabkan kesalahan dalam pemilihan jadwal pengeringan serta proses
penumpukan kayu yang tidak benar. Beberapa jenis perubahan bentuk yang
sering dijumpai dapat dilihat pada Gambar 1, 2, dan 3 (Tsoumis 1991).
(a) Cuping

(b) Bowing
(c) Twisting

(d) Diamonding

(e) Crooking

Sumber : Tsoumis (1991)

Gambar 1 Cacat bentuk dalam pengeringan: (a) memangkuk (cuping) (b)
membusur (bowing) (c) memuntir (twisting) (d) diamonding
(e) membungkuk (crooking)

5

Case hardening merupakan tegangan sisa yang terjadi di permukaan kayu.
Cacat ini tampak pada waktu pengerjaan kayu dan sangat mengganggu pada saat
kayu akan diserut atau dipotong. Untuk mengetahui ada tidaknya cacat jenis ini
dapat dilakukan uji garpu (Gambar 2) pada kayu (Walker 2007).

a

b

c

d

Sumber : Walker (2007)

Gambar 2 Kondisi kayu dalam uji garpu: (a) kondisi awal kayu; (b) tidak terjadi
case hardening; (c) terjadi case hardening (d) reverse case hardening
Retak pada kayu dapat dibagi menjadi beberapa macam, yaitu retak
permukan (surface check) dan retak ujung (end check) dan retak dalam (honey
comb). Menurut Tsoumis (1991), retak diakibatkan perubahan dimensi yang
tidak sama antara permukaan kayu dengan bagian dalamnya. Retak pada
umumnya terjadi pada sepanjang jari-jari karena merupakan bagian terlemah
pada kayu.

Sumber : Tsoumis (1991)

Gambar 3 Cacat retak permukaan (a) dan cacat pecah ujung (b)
Retak dalam dapat disebabkan oleh retak permukaan yang berkelanjutan
atau karena besarnya tegangan tegak lurus serat melebihi kekuatan kayu tersebut.
Cara untuk menghindari terjadinya cacat ini adalah dengan memberikan
kelembaban udara yang tinggi pada permulaan pengeringan dengan suhu
yang tidak terlalu tinggi (Walker 2007).

(a)

(b)

Sumber : Walker (2007)

Gambar 4 Cacat honeycombing pada papan quartersawn (a) dan pada papan
flatsawn (b)

6

Apabila kadar air kayu cukup tinggi, rongga sel penuh berisi air, dan
terjadi proses pengeringan yang sangat cepat, air bebas akan bergerak dari dalam
rongga sel kayu keluar melalui kapiler yang berakibat tegangan vakum pada
lumen sehingga dinding sel mengalami collapse. Collapse terjadi pada kayu
ketika tegangan kapiler di rongga sel melebihi keteguhan tekan tegak lurus serat
(Walker 2007).

Sumber : Walker (2007)

Gambar 5 Kayu yang mengalami collapse
Tsoumis (1991) menyatakan bahwa collapse merupakan penyusutan
sel yang sangat parah sehingga permukaan papan tampak berkerut (Gambar 5).
Agar cacat collapse dapat dihindari, maka kayu yang rawan collapse perlu
mendapatkan pengeringan pendahuluan (predrying) dengan suhu rendah selama
beberapa hari atau dilakukan pengeringan alami dalam beberapa minggu. Selain
itu terdapat beberapa cara yang menjelaskan pencegahan terjadinya collapse,
antara lain mengganti air yang berada dalam kayu dengan cairan lain yang
mempunyai tegangan permukaan yang lebih rendah dari air, seperti metanol dan
etanol, sehingga tegangan cairan yang terbentuk lebih kecil. Namun usaha ini
masih terlalu mahal untuk diterapkan walaupun usaha ini berhasil mencegah
collapse (Siau 1984). Usaha yang cukup efektif dan efisien untuk mencegah
collapse adalah dengan menggunakan kondisi awal pengeringan yang lunak,
karena suhu yang tinggi dan kondisi pengeringan yang terlalu keras pada awal
pengeringan merupakan penyebab utama sel collapse.
Jadwal Pengeringan Kayu
Menurut Coto (2004), jadwal pengeringan adalah pengaturan faktor
pengering (kelembaban dan suhu) pada setiap tahapan pengeringan agar waktu
pengeringan dapat dilakukan sesingkat-singkatnya dan cacat yang terjadi pada
kayu yang dikeringkan pun seminimal mungkin. Basri (1990) menjelaskan bahwa
jadwal pengeringan sangat penting dalam pengeringan kayu. Jadwal pengeringan
yang lazim digunakan ialah perubahan suhu dan kelembabannya berdasarkan
kadar air kayu yang dikeringkan. Jadwal pengeringan yang berbasis kadar air
merupakan pedoman umum yang memuat langkah-langkah perubahan suhu dan
kelembaban udara berdasarkan kadar air rerata kayu.

7

METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Proses pelaksanaan penelitian ini di Laboratorium Teknologi Peningkatan
Mutu Kayu Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor dan Labarotorium Anatomi Pusat Teknologi Pengolahan Hasil Hutan
Bogor. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juli hingga bulan September 2012
dan bulan Mei hingga bulan Juni 2013.
Alat dan Bahan
Perlatan yang digunakan dalam penelitian ini berupa timbangan, kaliper,
oven, mikroskop, desikator dan alat tulis. Adapun bahan yang digunakan adalah
kayu kwari (T. nudiflora) dari Papua, kayu kabesak (A. leucophloea) dan kayu
timo (T. sericeus) yang berasal dari Kupang.
Prosedur Pengujian
Pengujian Sifat Fisis
Pengujian sifat fisis meliputi penentuan berat jenis (BS: 737-1957) dan
susut volume dengan ukuran contoh uji 2 cm x 2 cm x 2 cm. Volume awal
contoh uji ditentukan menggunakan metode archimedes, yaitu dengan cara
contoh uji ditenggelamkan sedikit di bawah permukaan air dalam bejana kaca,
sehingga terbaca perubahan berat pada timbangan yang dikonversi ke ukuran
volume kayu (Va, volume awal). Selanjutnya contoh uji kayu tersebut dioven
pada suhu 103±2 °C hingga beratnya konstan. Contoh uji selanjutnya ditimbang
untuk memperoleh berat kering tanur (BKT) dan diukur kembali volumenya
(Vt). Dengan demikian, susut volume dan berat jenis dapat ditentukan
menggunakan rumus sebagai berikut :

Keterangan:
SV
: Susut volume kayu (%)
Va
: Volume awal kayu (cm3)
Vt
: Volume kering kayu (cm3)


Keterangan:
BJ
: Berat jenis
BKT : Berat kering tanur (gram)
Va
: Volume awal (cm3)
: Kerapatan standar air (pada suhu 4 oC, 1 atm = 1 gram/cm 3)

8

Pengamatan Struktur Anatomi
Beberapa contoh uji berukuran 2 cm x 2 cm x 5 cm untuk pembuatan slide
mikrotom bidang lintang, radial dan tangensial disayat dengan ketebalan 12-20
µm. Pembuatan slide mikrotom menggunakan pisau Spencer. Namun sebelum
penyayatan kayu direbus supaya lunak. Sayatan direndam dalam alkohol 50%
dan dilanjutkan perendaman dalam alkohol 30%, 20%, 10% dan akuades. Lalu
sayatan diwarnai safranin 2% dan disimpan selama 6-8 jam. Safranin dibuang
dan diganti berturut-turut dengan rendaman alkohol 30%, 50%, 70%, 90%,
100% dan silol. Sayatan dipindah ke gelas obyek dan diberi kanada balsam dan
ditutup dengan gelas penutup. Slide mikrotom dikeringkan dengan slide warmer
beberapa saat pada suhu 40-50 oC. Pengamatan struktur anatomi kayu dilakukan
dengan mikroskop cahaya dengan pembesaran 25x.
Pengujian Sifat Dasar Pengeringan
Contoh uji kayu bebas cacat berukuran 20 cm x 10 cm x 2.5 cm dengan
delapan kali pengulangan dikeringkan di dalam oven pada suhu 100 oC hingga
mencapai kadar air kering tanur. Evaluasi cacat yang terjadi yaitu, retak ujung
dan retak permukaan dilakukan tiap dua jam selama pengeringan tersebut
sampai terjadi kerusakan maksimum berdasarkan metode Terazawa (1965).
Ketika kayu mencapai kondisi kering tanur, dilakukan pengamatan deformasi
(perubahan bentuk) dan retak dalam kayu. Penilaian sifat pengeringan kayu
didasarkan pada nilai tertinggi dari ketiga jenis cacat tersebut. Semakin tinggi
nilai cacat yang terjadi pada contoh uji kayu semakin sulit pengeringannya.
Berdasarkan nilai cacat tertinggi tersebut disusun jadwal pengeringan dasar
untuk setiap jenis kayu, yaitu berupa suhu awal dan akhir serta kelembaban awal
dan akhir sehingga kayu tersebut dapat dikeringkan secara optimal. Perubahan
suhu dan kelembaban untuk setiap perubahan kadar air kayu selama pengeringan
untuk setiap jenis kayu mengacu pada jadwal pengeringan Forest Product
Laboratory (FPL) Madison (Torgeson, 1951 dalam Basri et al. 2000).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat Fisis Kayu
Hasil pengujian sifat fisis menunjukkan bahwa kayu kwari, kabesak, dan
timo yang digunakan masih dalam kondisi segar, kadar airnya lebih dari 30%,
sehingga masih dapat digunakan dalam uji penentuan jadwal pengeringan dasar.
Menurut Siau (1984), kadar air kayu segar bervariasi menurut jenis dan tempat
tumbuh pohonnya. Kadar air kayu segar juga dipengaruhi kandungan air tanah
tempat tumbuh karena kayu memiliki sifat higroskopis yang mampu melepas
dan mengikat air sesuai dengan kelembaban udara di sekitarnya. Terdapat dua
jenis air yang berada di dalam struktur anatomi kayu, yaitu air bebas dan air
terikat. Air bebas terdapat dalam rongga sel dan rongga antar sel yang akan lebih
dulu keluar pada proses pengeringan. Air bebas umumnya tidak mempengaruhi
sifat dan bentuk kayu kecuali berat kayu. Air terikat terdapat di dalam dinding
sel dan sangat mempengaruhi hampir seluruh sifat fisis maupun mekanis kayu
yang lebih sulit dikeluarkan dibanding air bebas (Tobing 1988).

9

Tabel 1 Sifat fisis kayu kwari, kabesak, dan timo
Kadar Air
Susut Volume
Jenis Kayu
Berat Jenis
(%)
(%)
Kwari
107.51
0.27
6.52
Kabesak
59.70
0.57
7.22
Timo
43.00
0.63
8.29

Kelas Kuat*
V
III
II

*(Daftar I PKKI 1961)

Susut Volume (%)

Kayu timo memiliki berat jenis yang paling tinggi sebesar 0.62 dengan
susut volume yang paling besar yaitu 8.30%. Berat jenis kayu kabesak 0.57
dengan susut volume 7.22% sedangkan kayu kwari memiliki berat jenis paling
rendah yaitu 0.27 dengan susut volume yang rendah juga yaitu 6.52%. Kayu
dengan berat jenis tinggi cenderung memiliki susut volume yang lebih besar
dibandingkan kayu dengan berat jenis rendah hal ini sesuai dengan yang
diungkapkan Bramhall dan Wellwood (1976) yang menyatakan bahwa tingginya
berat jenis menyebabkan susut volume kayu yang besar dan cenderung
memerlukan waktu yang lebih lama dalam proses pengeringan karena kayu yang
memiliki berat jenis tinggi memiliki dinding sel kayu yang tebal.
10,00
9,00
8,00
7,00
6,00
5,00
4,00
3,00
2,00
1,00
0,00

y = 4.04x + 5.38
R² = 0.51

0,00

0,10

0,20

0,30

0,40

0,50

0,60

0,70

Berat Jenis
Gambar 6 Berat jenis dan susut volume kayu uji
Kayu timo dan kayu kabesak yang berat jenisnya lebih tinggi dari pada
kayu kwari, memiliki kelas kuat yang tinggi (II) dan (III), sedangkan kayu kwari
termasuk kelas kuat (V). Semakin tinggi berat jenis kayu maka semakin baik
kelas kuatnya. Menurut Walker (2007), sifat pengeringan kayu juga dipengaruhi
oleh sifat fisisnya. Berat jenis merupakan suatu indikator yang dapat digunakan
untuk menduga mudah atau tidaknya suatu kayu dikeringkan. Kayu yang
memiliki berat jenis tinggi pada umumnya mempunyai sifat pengeringan yang
lebih lambat serta kemungkinan mengalami cacat yang lebih besar
dibandingkan kayu yang berat jenisnya rendah.

10

Sifat Anatomi Kayu
Ketiga jenis kayu yang diuji memiliki penampilan yang menarik termasuk
kayu kabesak yang memiliki garis lingkar tumbuh yang jelas. Adapun tekstur
kwari adalah yang paling kasar, sedangkan tekstur kayu timo dan kabesak relatif
halus. Kayu kabesak memiliki bau yang khas, yaitu bau seperti kemenyan
sedangkan kayu timo dan kwari tidak memiliki bau yang khas. Selain itu warna
pada kayu kabesak merah kecokelatan, sedangkan warna kayu kwari dan timo
yaitu putih kekuningan. Serat pada tiga jenis kayu uji memiliki serat yang lurus.

Kwari

Kabesak

Timo

Gambar 7 Kayu kwari, kabesak dan timo
Hasil pengamatan sifat anatomi secara mikroskopis dari ketiga jenis kayu
yang kurang dikenal dari Kupang dan Papua dapat dipaparkan bahwa kayu
kabesak memiliki pembuluh semi tata lingkar sedangkan kayu kwari dan kayu
timo memiliki pembuluh tata baur (Gambar 8). Kayu kabesak dan timo samasama memiliki sel pembuluh soliter dan berganda. Kayu kwari memiliki
diameter pori paling besar ± 220 µm sedangkan diameter pori kayu kabesak dan
timo ± 160 µm dan ± 80 µm. Frekuensi pori pada kayu kwari paling tinggi yaitu
8-12 pori sedangkan kayu timo memiliki frekuensi pori terkecil kurang dari 5
pori. Dari ketiga jenis kayu yang diamati hanya kayu kabesak yang terdapat
endapan dalam porinya. Kayu kwari dan kayu kabesak memiliki jari-jari relatif
lebih lebar dibandingkan kayu timo yaitu 4-10 sel sedangkan kayu timo hanya
memiliki lebar jari-jari 1-3 sel. Ketiga jenis kayu dari Papua dan Kupang ini
memiliki tinggi jari-jari yang sama yaitu lebih besar dari 1 mm. Kayu timo
memiliki dinding sel lebih tebal dari pada kayu kabesak dan kwari. Menurut
Bowyer et al. (2007), kayu yang memiliki sel pembuluh yang berdiameter
besar dan tidak tersumbat tylosis maupun zat amorf pada umumnya relatif
mudah dikeringkan, sedangkan sel kayu yang pembuluhnya berdiameter kecil
dan berisi banyak tylosis cenderung lambat proses pengeluaran airnya dari
dalam kayu, sehingga menimbulkan gradien kadar air yang cukup besar
antara bagian permukaan dengan bagian dalam kayu yang dapat mengakibatkan
cacat pengeringan.

11

Table 2 Perbandingan ciri anatomi ketiga jenis kayu uji
Ciri anatomi
Pembuluh : - Penyebaran
Pembuluh : - Pengelompokan
Pembuluh : - Diameter
Pembuluh : - Frekuensi/mm2
Pembuluh : - Endapan
Jari-jari : - Lebar
Jari-jari : - Tinggi
Dinding Sel

Kayu kari
Baur
Soliter
± 220 µm
8-12 pori
tidak ada
4-10 sel
lebih dari 1 mm
Tipis

Kayu kabesak
semi tata lingkar
soliter dan berganda
± 160 µm
5-10 pori
ada endapan
4-8 sel
lebih dari 1 mm
sedang

Kayu timo
baur
soliter dan berganda
± 80 µm
kurang dari 5 pori
tidak ada
1-3 sel
lebih dari 1 mm
tebal

Penampang lintang

Penampang radial

Penampang tangensial

Perbesaran 25x

Perbesaran 25x

Perbesaran 25x

Perbesaran 25x

Perbesaran 25x

Perbesaran 25x

Kwari

Kabesak

Timo

Perbesaran 50x

Perbesaran 25x

Perbesaran 50x

Gambar 8 Struktur anatomi tiga jenis kayu uji

12

Sifat Pengeringan Kayu

Kecepatan Pengeringan (%/jam)

Kecepatan Pengeringan
Hasil penelitian sifat pengeringan menunjukan bahwa kayu kwari lebih
cepat dikeringkan dibanding kayu kabesak dan timo (Gambar 9). Kecepatan
pengeringan kayu yang tinggi pada umumnya didukung oleh sifat struktur kayu,
seperti dinding sel kayu yang tipis, ukuran pori yang besar serta tidak adanya
hambatan berupa tylosis dan zat amorf. Kecepatan pengeringan merupakan
indikator yang menentukan kesulitan kayu untuk dikeringkan. Hal ini terkait
waktu yang dibutuhkan untuk melepaskan air dari dalam kayu. Proses
pengeringan kayu dipengaruhi oleh sifat-sifat kayu dan lingkungan pengeringan.
Sifat kayu yang berpengaruh terhadap proses pengeringan adalah struktur
anatomi, diantaranya adalah kayu gubal merupakan bagian dalam batang pohon
yang terdiri dari bagian xylem yang masih hidup dan berfungsi sebagai penyalur
cairan dan menyimpan cadangan makanan. Bagian kayu gubal cenderung basah
dan lebih mudah dikeringkan. Sedangkan pada kayu teras seluruh proses
fisiologi sudah tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya dan banyak
mengandung zat ekstraktif sehingga permeabilitas kayu menurun sehingga sulit
dikeringkan dan mudah mengalami cacat pengeringan (Pandit et al. 2008).
6,00
5,20

5,00
4,00

3,55
2,84

3,00
2,00
1,00
0,00
Kwari

Kabesak
Jenis Kayu

Timo

Gambar 9 Kecepatan pengeringan
Kayu kwari memiliki berat jenis terendah (0.27) dibandingkan kayu
lainnya. Berat jenis yang rendah identik dengan dinding sel kayu yang tipis.
Tipisnya dinding sel tersebut memudahkan proses keluarnya air dari dalam
rongga sel kayu. Selain itu tidak terdapat endapan tylosis dan zat amorf didalam
kayu kwari, sehingga proses pengeluaran air dari dalam kayu ini relatif lancar
dan paling cepat keringnya (5.20%/jam).
Kecepatan pengeringan kayu timo sebesar 2.84%/jam. Nilai ini
menandakan kayu timo relatif lebih sulit dikeringkan. Adapun hal yang
mempengaruhi lambatnya pengeringan kayu timo antara lain, berat jenisnya
cukup tinggi yaitu 0.63 yang menunjukan dinding selnya tebal sehingga masa

13

kayu yang harus dilewati air cukup banyak. Sel-sel pori pada kayu timo juga
memiliki diameter pembuluh yang kecil yaitu kurang lebih 80 µm dan lebar jarijari yaitu 1-3 sel. Kayu kabesak memiliki kecepatan pengeringan relatif lambat
juga (3.55%/jam), hal ini karena berat jenisnya relatif tinggi yaitu 0.57 yang
berarti memiliki dinding sel cukup tebal. Lebar jari-jari pada umumnya yaitu 4-8
sel dan sel-sel pori kayu kabesak banyak mengandung tylosis.
Sifat Dasar Pengeringan
Hasil pengujian sifat dasar pengeringan menggunakan metode Terazawa
(1965) pada Tabel 3 menunjukkan kayu timo dan kabesak lebih sulit dikeringkan
dari pada kayu kwari.
Tabel 3 Sifat pengeringan kayu kwari, kabesak dan timo
Nilai Cacat
Jenis kayu
Kwari
Kabesak
Timo

Retak
permukaan
Max Min
3
1
7
1
5
1

Retak dalam

Deformasi

max
1
1
1

max
1
2
2

Min
1
1
1

min
1
1
1

Nilai
cacat
terparah

Sifat
pengeringan

3
7
5

Agak baik
Sangat buruk
Agak buruk

Kayu timo yang berat jenisnya tertinggi memiliki sifat pengeringan agak
buruk karena dinding selnya paling tebal sehingga pergerakan air dari dalam
kayu relatif lambat serta sel pembuluh berdiameter kecil yaitu kurang lebih 80
µm. Sifat pengeringan kayu kabesak tergolong sangat buruk karena kayu ini
memiliki dinding sel cukup tebal juga yang ditandai dengan berat jenis yang
cukup tinggi (0.57), sel porinya tata lingkar, berkelompok dan berganda 2-4.
Memiliki diameter pori cukup besar (± 160 µm) sehingga dapat menjadi awal
terjadinya retak halus (microcheck). Sedangkan kayu kwari sifat pengeringannya
tergolong agak baik. Hal ini didukung dengan berat jenis yang rendah (0.27)
yang menunjukan dinding sel cukup tipis. Kayu ini memiliki pembuluh tata baur
dan soliter serta diameter pembuluh paling besar 220 µm sehingga mendukung
pergerakan air yang cepat ke permukaan kayu. Semakin tinggi berat jenis kayu
maka semakin tebal dinding sel kayu, dengan demikian pergerakan air dari
dalam rongga keluar permukaan lambat, sehingga terjadi perbedaan kadar air di
dalam dan diluar yang menimbulkan perbedaan penyusutan dan tegangan
regangan di dalam pengeringan kayu yang dapat memicu terjadinya retak
terutama pada permukaan kayu. Menurut Tobing (1988), semakin tebal dinding
sel kayu, maka semakin banyak jumlah air terikat yang harus dikeluarkan dari
dalam kayu dibandingkan dengan kayu yang memiliki dinding sel tipis. Dinding
sel yang tebal juga menyebabkan masa kayu yang harus dilewati secara difusi
oleh air lebih banyak, masa kayu yang mengalami penyusutan juga lebih besar,
sehingga mendorong terjadinya cacat deformasi atau retak permukaan dan retak
ujung.

14

Jadwal Pengeringan
Berdasarkan hasil data pengeringan diperoleh bahwa jadwal pengeringan
dasar untuk ketiga jenis kayu yaitu kayu kwari, kabesak dan timo ditentukan
oleh masalah retak permukaan sebagai cacat terparah. Oleh karena itu suhu dan
kelembaban relatif untuk ketiga kayu tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Suhu dan kelembaban pengeringan kayu kwari, kabesak, dan timo
Jenis
kayu

Suhu (0C)*
RH (%)*
Awal Akhir Awal Akhir
Kwari
60
85
82
27
Kabesak
45
80
90
28
Timo
50
80
85
30
*Berdasarkan metode Terazawa
**Berdasarkan metode Torgeson

Jadwal
suhu**

KA awal
(%)

Kode jadwal
pengeringan**

T10
T4
T6

107.51
59.70
43.00

T10 – F4
T4 – C2
T6 – A3

Merujuk pada jadwal pengeringan Forest Product Laboratory (FPL)
Madison (Torgeson 1951 dalam Basri et al. 2000), dari uji jadwal pengeringan
yang dihasilkan maka ketiga jenis kayu memiliki jadwal pengeringan masingmasing yaitu untuk kayu kwari, kabesak dan timo secara berurutan berdasarkan
pada Tabel 5, 6 dan 7.
Tabel 5 Jadwal pengeringan kayu jenis kwari (T. nudiflora) T10-F4
Kadar air
(%)

TBK
(Temperatur
bola kering)
(0C)

DBB
(Depresi
bola basah)
(0C)

> 110
60
4
110-70
60
4
70-60
60
6
60-50
60
9
50-40
60
15
40-35
60
25
35-30
60
27
30-25
65
27
25-20
70
27
20-15
75
27
60
45
60-40
45
40-35
45
35-30
45
30-25
50
25-20
55
20-15
60
40
50
40-30
50
30-25
55
25-20
60
20-15
65
15-10
80
5 – 10
>10 – 20
>20 – 30
>30 – 50
>50 – 70
> 70
Selisih ukuran tebal (mm)
0 – 0.3
0.3 – 0.6
0.6 – 1.2
1.2 – 1.8
1.8 – 2.5
2.5 – 3.5
> 3.5
Jumlah cacat pecah dalam
0
1 besar/ 2 kecil
2 besar/ 4 - 5 kecil
4 besar/ 7 - 9 kecil
6 – 8 besar/ 15 kecil
17 besar/ banyak kecil

Sumber : Terrazawa (1965)

Klasifikasi
1
2
3
4
5
6
7
Klasifikasi
1
2
3
4
5
6
7
Klasifikasi
1
2
3
4
5
6

Sifat Pengeringan
Sangat baik
Baik
Agak baik
Sedang
Agak buruk
Buruk
Sangat buruk
Sifat Pengeringan
Sangat baik
Baik
Agak baik
Sedang
Agak buruk
Buruk
Sangat buruk
Sifat Pengeringan
Sangat baik
Baik
Agak baik
Sedang
Buruk
Sangat buruk

19

Lampiran 2 Nilai dan kondisi cacat permukaan, deformasi dan retak dalam

1
7
5
2
3

8

4

6

a

1
2
3
4
5
6
b

Keterangan gambar:
a. Nilai dan kondisi cacat permukaan
b. Nilai dan kondisi cacat deformasi
c. Nilai dan kondisi cacat retak dalam
Sumber : Terrazawa (1965)

c

20
20

Lampiran 3 Suhu dan kelembaban awal dan akhir pengeringan berdasarkan cacat
Jenis cacat
Variety of defect
I. Retak/ pecah
permukaan
Surfacecheck
II.Deformasi
deformation
III.Retak/ pecah
dalam
honeycomb

Suhu oC dan
kelembaban, %
temperature
Suhu awal ooCC
Kelembaban awal, %
Suhu akhir oC
Kelembaban akhir, %
Suhu awal oC
Kelembaban awal, %
Suhu akhir oC
Kelembaban akhir, %
Suhu awal oC
Kelembaban awal, %
Suhu akhir oC
Kelembaban akhir, %

Sumber : Terrazawa (1965)

Tingkat cacat (defect degree)
1
70
75
95
29
70
75
95
29
70
75
95
29

2
65
78
90
29
65
75
90
29
55
81
80
27

3
60
82
85
27
60
82
80
25
50
80
75
25

4
55
83
80
30
50
81
80
27
50
85
70
27

5
50
85
80
30
50
81
75
28
45
83
70
27

6
50
90
80
28
50
85
75
27
45
89
70
27

7
45
90
80
28
45
85
70
27
-

8
45
90
80
28
45
89
70
27
-

21
Lampiran 4 Pengaturan suhu pengeringan berdasarkan kadar air kayu
KA pada
tahap awal
Initial-30
30-25
25-20
20-15