Struktur Anatomi dan Sifat Fisis serta Alternatif Tujuan Penggunaan Tiga Jenis Kayu Asal Kalimantan

STRUKTUR ANATOMI DAN SIFAT FISIS SERTA
ALTERNATIF TUJUAN PENGGUNAAN
TIGA JENIS KAYU ASAL KALIMANTAN

GILANG TEGUH RAHARJO

DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Struktur Anatomi dan
Sifat Fisis serta Alternatif Tujuan Penggunaan Tiga Jenis Kayu Asal Kalimantan
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2013
Gilang Teguh Raharjo
NIM E24080019

ABSTRAK
GILANG TEGUH RAHARJO. Struktur Anatomi dan Sifat Fisis serta Alternatif
Tujuan Penggunaan Tiga Jenis Kayu Asal Kalimantan. Dibimbing oleh IMAM
WAHYUDI.
Kayu merupakan produk organisme hidup sehingga masing-masing jenis
mempunyai sifat, karakter dan penampilan yang khas dan unik. Indonesia
memiliki sekitar 4000 jenis pohon penghasil kayu, tetapi baru sekitar 95 jenis
yang telah diteliti sifatnya secara lengkap. Oleh karena itu penelitian tentang sifatsifat kayu penting untuk terus dilakukan sebagai dasar untuk menentukan tujuan
penggunaan dan proses pengolahan yang paling optimal. Diantara ribuan jenis
pohon yang ada, Belangeran (Shorea Balangeran (Korth.) Buck), Bungur
(Lagerstroemia speciosa Pers.) dan Medang (Cinnamomum spp.) merupakan tiga
jenis pohon asal Kalimantan yang pemanfaatan kayunya masih belum optimal.
Melalui penelitian tentang struktur anatomi dan sifat fisisnya diharapkan dapat
lebih mengoptimalkan penggunaan ketiga jenis kayu tersebut dan bila
memungkinkan dapat dijadikan alternatif sebagai kayu-kayu pengganti jenis-jenis

yang selama ini telah digunakan yang ketersediaannya cenderung terus berkurang.
Bahan utama adalah potongan kecil berupa lempengan kayu setebal 5 cm
yang diambil dari bagian batang utama masing-masing jenis pada ketinggian 1,30
m dari permukaan tanah. Dari setiap lempeng diambil contoh uji yang mewakili
parameter yang diteliti. Ciri makroskopis yang diamati terdiri dari warna, corak,
tekstur kayu, arah serat, kilap, kesan raba, bau dan kekerasan, sedangkan ciri
mikroskopisnya meliputi susunan, penggabungan, pengelompokan, tipe bidang
perforasi dan isi pori; komposisi, ukuran, tipe dan isi jari-jari; tipe sel parenkim;
serta dimensi serat. Pengamatan mikroskopis dilakukan terhadap preparat
maserasi Schlutze dan preparat mikrotom Sass. Sifat fisis yang diuji meliputi
kadar air, berat jenis dan kerapatan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa warna ketiga jenis kayu yang diteliti
bervariasi. Kayu Belangeran coklat kemerahan, kayu Bungur coklat pucat
kemerahan, sedangkan kayu Medang coklat kekuningan. Perbedaan antara kayu
teras dan gubalnya hanya terlihat jelas pada kayu Belangeran, sedangkan
lingkaran tumbuh hanya terlihat jelas pada kayu Bungur. Kayu Belangeran dan
Medang memiliki pola penyebaran pori tata baur, sedangkan kayu Bungur
memiliki pola penyebaran pori tata lingkar. Susunan sel pembuluh (pori-pori
kayu)nya soliter dan bergabung secara radial 2-4 sel. Noktah berumbai, tilosis dan
saluran interseluler merupakan ciri khas pada kayu Belangeran, sedangkan ciri

khas kayu Bungur adalah noktah berumbai dan kristal prismatik. Ciri khas pada
kayu Medang berupa padatan putih kekuningan dan sel minyak. Kualitas serat
ketiga jenis kayu yang diteliti dalam hubungannya sebagai bahan baku pulp dan
kertas termasuk Kelas III. Dari segi kekuatan, kayu Belangeran cocok untuk
tujuan struktural Kelas Kuat II, sedangkan kayu Bungur dan Medang Kelas Kuat
III. Kayu Belangeran dan Bungur juga berpotensi sebagai bahan baku mebel dan
furniture
Kata kunci: Belangeran, Bungur, Medang, anatomi, fisis

ABSTRACT
GILANG TEGUH RAHARJO. Anatomical Structure, Physical Properties and the
Alternative Utilization of Three Wood Species from Kalimantan. Supervised by
IMAM WAHYUDI.
Wood is a product of living organism that has special characteristic and
appearance. Every single species has its own character. Indonesia has about 4000
species of woody plants, but only 95 species have been studied comprehensively.
Therefore, study on wood properties is very important not only for determining
their proper utilization, but also for better processing and further treatments.
Among thousands of existing wood species in Kalimantan, utilization of
Belangeran (Shorea Balangeran (Korth.) Buck), Bungur (Lagerstroemia speciosa

Pers.) and Medang (Cinnamomum spp.) woods is still limited and has not
optimize yet. Through well understanding of their wood characteristics and
properties, utilization of these three wood species become more optimize. It was
hope that these three woods could be utilized as the alternative to replace the
conventional species which tended to decrease year by year.
The main material used is a small piece of wood (a disc 5 cm thick)
extracted from tree stem at 1.3 meters above the ground from each species. From
each disc, wood sample for every measurement was taken representatively
following procedural standard. Macroscopic characteristics consist of wood color,
figure, texture, grain, lustre, odor and hardness, while microscopic characteristics
consist of pore (its arrangement and distribution, perforation plate, pitting
structure on the cell wall and contain); ray parenchym (its size, composition and
contain); type of axial parenchym and fiber morphology. Microscopic observation
was conducted through the maceration specimens of Schlutze and the microtome
specimens of Sass. Physical properties of wood consist of moisture content as
well as density and specific gravity.
The result showed that wood color of three species studied varied: reddish
brown in Belangeran, pale brown to reddish in Bungur and yellowish brown in
Medang. Heartwood and sapwood demarcation is clearly distinguished only in
Belangeran wood, while growth ring is clearly only in Bungur wood. Diffuse

pattern of pore was found in Belangeran and Medang woods, while ring porous
pattern in Bungur wood. Generally, their vessels are solitary and radially multiple
2-4 cells. Vestured pit, tilosis and axial intercellular channels are the specific
characters of Belangeran wood, while Bungur wood are vestured pit and prismatic
crystal. Specific characters of Medang wood is yellowish white of amorphous
material and oil cell (laticifer). Regarding to pulp and paper raw material, fiber
quality of three wood species studied belong to Class III. In term of strengthness,
these three wood species are suitable for structural purposes: Belangeran is for
Strength Class II, while Medang and Bungur Strength Class III. Belangeran and
Bungur woods are also potential as raw material of meubel and furniture.
Keywords: Belangeran, Bungur, Medang, anatomy, physical

STRUKTUR ANATOMI DAN SIFAT FISIS SERTA
ALTERNATIF TUJUAN PENGGUNAAN
TIGA JENIS KAYU ASAL KALIMANTAN

GILANG TEGUH RAHARJO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Hasil Hutan

DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Struktur Anatomi dan Sifat Fisis serta Alternatif Tujuan
Penggunaan Tiga Jenis Kayu Asal Kalimantan
Nama
NIM

: Gilang Teguh Raharjo
: E24080019

Disetujui oleh


Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS
Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

Prof. Dr. Ir. I Wayan Darmawan, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2012 ini ialah
struktur anatomi dan sifat fisis kayu, dengan judul Struktur Anatomi dan Sifat
Fisis serta Alternatif Tujuan Penggunaan Tiga Jenis Kayu Asal Kalimantan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi,
MS selaku pembimbing, Bapak Dr. Ir. Jarwadi Budi Hernowo, M.Sc dari
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata sebagai Dosen Penguji
serta Dr. Ir. Sucahyo Sadiyo, MS sebagai Ketua Sidang. Ungkapan terima kasih

disampaikan kepada bapak, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa,
keikhlasan, bantuan, dukungan, pengertian dan perhatian yang diberikan.
Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada Rizka Fitriani Wahyuningtyas,
S.Hut dan keluarga atas perhatian, keikhlasan, bantuan dan dukungannya. Di
samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Esti Prihatini, S.Si,
Bapak Kadiman, Ibu Dra. Sri Rulliaty S, M.Sc, Bapak Usep, Bapak Romi, bi Isay,
serta seluruh keluarga Bagian TPMK dan seluruh pegawai Pustekolah Bogor atas
bantuannya selama melaksanakan penelitian.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2013
Gilang Teguh Raharjo

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii


DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2


TINJAUAN PUSTAKA

2

Ciri Makroskopis Kayu

2

Ciri Makroskopis Kayu

4

Sifat Fisis Kayu

8

Belangeran

9


Bungur

9

Medang

10

METODE

11

Waktu dan Tempat

11

Alat dan Bahan

11

Pelaksanaan Penelitian

12

Analisis Data

15

HASIL DAN PEMBAHASAN

15

Shorea balangeran (Korth.) Burck. - Dipterocarpaceae

15

Lagerstroemia speciosa Pers. - Lythraceae

18

Cinnamomum spp. - Lauraceae

21

Alternatif Penggunaan Berdasarkan Sifat Kayu

24

SIMPULAN DAN SARAN

26

Simpulan

26

Saran

26

DAFTAR PUSTAKA

26

LAMPIRAN

28

RIWAYAT HIDUP

44

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6

Kriteria kualitas serat kayu Indonesia untuk bahan baku pulp dan kertas
Berat jenis dan kelas kuat beberapa jenis kayu Medang
Rata-rata dimensi serat dan sifat fisis kayu Belangeran
Rata-rata dimensi serat dan sifat fisis kayu Bungur
Rata-rata dimensi serat kayu Medang
Nilai turunan dimensi serat dan kualitas serat ketiga jenis kayu yang
diteliti
7 Corak, sifat fisis dan kelas kuat ketiga jenis kayu yang diteliti

8
11
18
21
24
25
25

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7

Diagram Pengambilan Contoh Uji
Shorea balangeran (Korth.) Burck.
Shorea balangeran (Korth.) Burck.
Lagerstroemia speciosa Pers.
Lagerstroemia speciosa Pers.
Cinnamomum spp.
Cinnamomum spp.

12
16
17
19
20
22
23

DAFTAR LAMPIRAN
1 Rata-rata panjang serat kayu Belangeran dari empulur ke kulit
2 Rata-rata tebal dinding serat kayu Belangeran dari empulur ke kulit
3 Rata-rata tebal dinding serat kayu Belangeran dari empulur ke kulit
4 Rata-rata diameter lumen serat kayu Belangeran dari empulur ke kulit
5 Rata-rata panjang pori kayu Belangeran dari empulur ke kulit
6 Rata-rata diameter pori kayu Belangeran dari empulur ke kulit
7 Rata-rata panjang serat kayu Bungur dari empulur ke kulit
8 Rata-rata tebal dinding serat kayu Bungur dari empulur ke kulit
9 Rata-rata diameter serat kayu Bungur dari empulur ke kulit
10 Rata-rata diameter serat kayu Bungur dari empulur ke kulit
11 Rata-rata panjang pori kayu Bungur dari empulur ke kulit
12 Rata-rata diameter pori kayu Bungur dari empulur ke kulit
13 Rata-rata panjang serat kayu Medang dari empulur ke kulit
14 Rata-rata tebal dinding serat kayu Medang dari empulur ke kulit
15 Rata-rata diameter serat kayu Medang dari empulur ke kulit
16 Rata-rata diameter serat kayu Medang dari empulur ke kulit
17 Rata-rata panjang pori kayu Medang dari empulur ke kulit
18 Rata-rata diameter pori kayu Medang dari empulur ke kulit
19 Nilai kadar air, berat jenis dan kerapatan tiga jenis kayu yang diteliti

28
29
30
31
32
32
33
34
35
36
37
37
38
39
40
41
42
42
43

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kayu merupakan produk organisme hidup sehingga mempunyai sifat dan
karakteristik yang sangat berbeda dibandingkan logam, plastik atau kaca. Masingmasing jenis kayu bahkan memiliki sifat, karakter dan penampilan yang unik dan
khas. Sifat, karakter dan penampilan kayu yang unik dan khas tersebut inherent
dalam struktur anatomi sel-sel penyusunnya (Bodig and Jayne 1982; Bowyer et al,
2003). Oleh karena itu dalam rangka pemanfaatan kayu secara bijak, sifat dan
karakter yang ada dalam satu jenis perlu mendapat perhatian.
Di hutan alam Indonesia diperkirakan terdapat lebih dari 4000 jenis
tumbuhan penghasil kayu potensial. Sepuluh persen diantaranya atau sekitar 400
jenis memegang peranan penting sebagai penghasil kayu untuk berbagai tujuan
penggunaan, dimana 258 jenis sudah diperdagangkan paling tidak secara lokal.
Menurut Mandang dan Martawijaya (1987), sampai tahun 1986 baru sekitar 95
jenis yang telah diteliti sifat dasarnya secara lengkap. Oleh karena itu penelitian
tentang sifat-sifat dasar kayu, khususnya kayu kurang dikenal sehingga kurang
dimanfaatkan penting untuk terus dilakukan.
Kegunaan kayu sangat bervariasi mulai dari sebagai bahan konstruksi
bangunan dan perumahan, papan komposit, pulp dan kertas, hingga energi dan
kayu bakar. Hal tersebut menjadikan kayu sebagai salah satu kebutuhan utama
bagi manusia. Meskipun tersedia bahan lain sebagai pengganti kayu, manfaat
penggunaan kayu tidak tergantikan.
Sumberdaya hutan di Indonesia tersebar seluruh wilayah dari Sabang
hingga Merauke. Jumlah flora di Pulau Kalimantan lebih banyak dibandingkan
dengan jumlah flora yang ada Benua Afrika. Kekayaan flora di Pulau Kalimantan
bahkan setara dengan kekayaan flora di hutan Amazon yang ada di Brazilia, yang
merupakan 2/3 kekayaan flora di dunia. Di pulau Kalimantan tercatat ada
sebanyak 3000 jenis pohon. Pulau ini dikenal juga sebagai pusatnya famili
Dipterocarpaceae, yaitu jenis pohon penghasil kayu komersial terpenting di Asia
Tenggara.
Diantara ribuan jenis pohon yang ada, tiga jenis pohon khas dari Kalimantan
adalah Belangeran (Shorea balangeran (Korth.) Buck), Bungur (Lagerstroemia
speciosa Pers.) dan Medang (Cinnamomum spp.). Meskipun ketiga jenis kayu
tersebut telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat, pemanfaatannya masih
belum optimal karena masih bisa ditingkatkan. Melalui penelitian struktur
anatomi dan sifat fisis kayunya, diharapkan dapat mengarahkan tujuan
penggunaan yang lebih tepat. Kegiatan ini sekaligus dapat digunakan untuk
menemukan kayu-kayu alternatif pengganti jenis-jenis kayu yang selama ini telah
digunakan yang ketersediaannya cenderung terus berkurang. Dengan pengetahuan
yang lebih lengkap tentang sifat-sifat dasar yang dimiliki, maka tujuan
pemanfaatan ketiga jenis kayu tersebut dipastikan akan lebih optimal.

2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari struktur anatomi termasuk nilai
turunan dimensi serat serta beberapa sifat fisis dari kayu Belangeran, Bungur dan
Medang asal Kalimantan.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar dalam menentukan
tujuan pemanfaatan dan pengolahan kayu yang lebih optimal. Informasi ilmiah
terkait struktur anatomi, nilai turunan dimensi serat serta beberapa sifat fisis kayu
yang dihasilkan akan berkontribusi langsung dalam kegiatan promosi
pemanfaatan kayu tersebut dan dalam hal pengembangan proses serta teknologi
pengolahan lebih lanjut.

TINJAUAN PUSTAKA
Ciri Makroskopis Kayu
Sifat makroskopis kayu adalah sejumlah sifat atau ciri kayu yang dapat
dilihat dengan jelas hanya dengan menggunakan mata atau maksimal dengan
bantuan kaca pembesar (loupe) 10-20X. Disebut makroskopis karena pengamatan
ini tidak membutuhkan mikroskop. Ciri makroskopis kayu juga penting karena
sering ciri tersebut memberikan petunjuk tentang kondisi tumbuh pohonnya, sifatsifat fisiknya dan membantu dalam pengenalan jenis kayunya (Haygreen dan
Bowyer, 1989). Mandang dan Pandit (2002) menyebutkan bahwa ciri umum kayu
yang dapat diamati secara makroskopis diantaranya adalah warna dan corak,
tekstur, arah serat, kilap, kesan raba, bau dan rasa serta kekerasan.
Warna dan Corak
Warna asli kayu sangat bervariasi dari hampir putih sampai berwarna hitam.
Perbedaan warna kayu tidak terjadi pada macam atau jenis kayu yang berbeda
saja, tetapi juga dapat terjadi dalam jenis yang sama, bahkan pada sebatang pohon.
Warna kayu terkait dengan kandungan zat ekstraktif yang ada.
Warna merupakan salah satu karakteristik kayu yang paling mencolok dan
merupakan salah satu unsur penting yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi
serta menambahkan nilai estetika suatu jenis. Biasanya, hanya kayu teras yang
memiliki warna khusus. Warna kayu teras pada umumnya berwarna krem hingga
hitam dengan corak yang paling umum adalah coklat dan coklat kemerahan (Core
et al., 1979).
Corak kayu terdapat pada beberapa jenis tertentu dan corak tersebut sulit
untuk dijelaskan. Corak kayu merupakan gambaran khas pada permukaan kayu.
Menurut Mandang dan Pandit (2002), corak dapat ditimbulkan oleh beberapa
faktor yaitu:
1. Adanya lingkaran tumbuh yang jelas akibat perbedaan kerapatan antara bagian
kayu awal dan kayu akhir dalam satu riap tumbuh. Contoh pada kayu jati
(Tectona grandis).

3
2. Adanya perbedaan warna jaringan penyusun kayu, seperti pada kayu bintangur
(Calophyllum bicolor).
3. Adanya perbedaan intensitas pewarnaan pada lapisan-lapisan kayu yang
dibentuk dalam jangka waktu yang berbeda, seperti pada kayu eboni
(Diospyros celebica).
Tekstur
Tekstur berkaitan dengan kualitas permukaan kayu yang ditentukan oleh
ukuran relatif sel-sel dominan penyusun kayu. Dikatakan bertekstur halus jika selsel dominan penyusun kayu terutama pembuluh dan serat berukuran kecil,
sebaliknya bertekstur kasar jika sel-sel dominannya berukuran relatif besar
(Mandang dan Pandit 2002).
Menurut Wheeler et al. (2008), apabila diameter pori < 100 μm, maka kayu
dikatakan bertekstur halus sedangkan apabila ukurannya > 200 μm, maka kayu
dikatakan bertekstur kasar. Dengan diameter pori antara 100-200 μm, maka kayu
dikatakan bertekstur sedang.
Arah Serat
Arah serat adalah orientasi longitudinal dari sel-sel dominan penyusun kayu
(Bowyer et al. 2003). Kayu dikatakan berserat lurus jika orientasi longitudinal
dari sel-sel dominan penyusun kayu sejajar dengan arah sumbu batang dan
dikatakan berserat miring jika orientasi longitudinal dari sel-sel dominan tersebut
membentuk sudut terhadap sumbu batang. Serat miring dibedakan atas 4 macam
yaitu serat terpadu (interlocked grain), serat berombak (wavy grain), serat terpilin
(spiral grain) dan serat diagonal (Bowyer et al. 2003; Pandit dan Kurniawan
2008).
Kilap
Suatu jenis kayu dikatakan mengkilap jika permukaannya memantulkan
cahaya. Ada jenis-jenis kayu yang kusam, agak mengkilap dan sangat mengkilap
(Mandang & Pandit 2002).
Kesan Raba
Kesan raba dinilai dari licin atau kesatnya permukaan kayu. Penetapannya
dilakukan dengan menggosok-menggosokan jari ke permukaan kayu. Beberapa
jenis kayu terasa licin jika diraba. Biasanya kayu yang mempunyai tekstur halus
dan berat jenis tinggi menimbulkan kesan raba yang licin. Kesan yang licin dapat
pula bertambah jika kayu mengadung minyak (Mandang dan Pandit 2002).
Bau dan Rasa
Pada umumnya kayu mempunyai bau dan rasa tertentu apalagi waktu masih
segar, tetapi kebanyakan bau dan rasa tersebut sulit untuk diterangkan. Hanya
beberapa diantaranya yang mempunyai bau dan/atau rasa yang mudah dikenal
(Mandang dan Pandit 2002).
Kekerasan
Kekerasan dinilai sangat lunak, lunak, agak lunak, agak keras, dan sangat
keras. Penetapannya dilakukan dengan menyayat kayu pada arah tegak lurus serat.

4
Kayu yang semakin keras akan semakin sukar disayat dan bekas sayatannya pun
mengkilap (Mandang dan Pandit 2002).

Ciri Makroskopis Kayu
Menurut Pandit dan Kurniawan (2008), sifat mikroskopis kayu adalah sifatsifat objektif yang baru dapat terlihat dengan jelas apabila menggunakan
mikroskop sebagai alat bantu. Sifat mikroskopis umumnya bersifat struktural,
artinya berhubungan langsung dengan struktur dan jaringan penyusun kayu. Sifat
mikroskopis yang umumnya diamati adalah:
Sel Pembuluh (Pori)
Sel pembuluh atau pori hanya terdapat pada kayu daun lebar (Tsoumis
1991). Menurut Panshin dan de Zeeuw (1980), daun lebar (hardwood) berbeda
dibandingkan kayu daun jarum (softwood) karena memiliki sel pembuluh yang
ketika diamati pada penampang lintang terlihat seperti pori-pori kulit. Sel
pembuluh berbentuk seperti pipa atau tabung yang tersusun secara longitudinal
atau vertikal dan saling berhubungan membentuk saluran.
Jaringan ini berfungsi untuk menyalurkan cairan dan sedikit hara mineral di
dalam pohon. Ciri pembuluh dapat berbeda dari satu jenis kayu ke jenis yang lain.
Ciri tersebut meliputi sebaran, susunan, diameter, frekuensi, bentuk bidang
perforasi dan isi (Mandang dan Pandit 2002).
Menurut Bowyer et al. (2003); Pandit dan Kurniawan (2008), struktur yang
dapat diamati pada sel pembuluh adalah:
1. Bidang perforasi (Perforastion plates)
Bidang perforasi adalah pertemuan antar dua sel pembuluh yang berurutan.
Bidang perforasi ada tiga macam yaitu bidang perforasi tipe sederhana (simple
perforation plate), bentuk tangga (scalariform perforation plate) dan bentuk
saringan (reticulate perforation plate) atau bentuk jala (foraminate perforation
plate)
2. Penyebaran pori
Pola penyebaran pori pada kayu daun lebar dapat dibedakan menjadi tiga yaitu
tata baur (diffuse porous), tata lingkar (ring porous) dan semi tata lingkar
(semi ring porous). Dikatakan tata baur apabila pori-pori besar dan kecil
tersebar merata di bidang lintang. Pola tata lingkar menandakan adanya zonasi
antara pori besar dan pori kecil dalam satu riap tumbuh. Peralihan diantara
keduanya merupakan pola semi tata lingkar.
3. Pengelompokkan pori
Terdapat tiga susunan pengelompokan pori yaitu:
a. Pengelompokan radial dimana pori-pori berderet ke arah radial atau tersusun
menurut arah jari-jari.
b. Pengelompokan miring (oblique arrangement) dimana pori-pori tersusun
menurut deretan miring atau membentuk sudut terhadap jarijari.
c. Pengelompokan bentuk gerombol (pore cluster) dimana pori-pori
bergerombol pada zona-zona tertentu, sementara pada zona lainnya kosong

5
4. Penyusunan atau penggabungan pori
Pori-pori kayu tersusun atas dua pola yakni soliter dan bergabung. Dikatakan
soliter apabila pori-pori terpisah satu dengan lainnya dan dikatakan bergabung
bila pori-pori bersinggungan sedemikian rupa membentuk bidang singgung
yang datar
5. Noktah antar sel pembuluh
Noktah memiliki fungsi sebagai penghubung antara pori yang satu dengan
pori yang terletak di sebelahnya. Noktah pada dinding pori pada dasarnya ada
tiga tipe yaitu berhadap-hadapan (opposite), berselang-seling (alternate) dan
berbentuk tangga (scalariform).
6. Diameter pori
Diameter pori pada panampang lintang berbeda untuk tiap jenis kayu.
Diameter pori dapat diukur dengan bantuan mikrometer. Ukuran diameter pori
dibagi menjadi tiga kategori yaitu kecil (< 100 μm), sedang (100-200 μm) dan
besar (> 200 μm).
7. Jumlah pori per satuan luas
Jumlah pori per mm² terdiri dari tiga kelas:
a. Sedikit, bila jumlah pori < 5 sel per mm²
b. Sedang, bila jumlah pori 5-10 sel per mm²
c. Banyak, bila jumlah pori > 10 sel per mm²
8. Isi sel pembuluh
Isi pori dapat berupa tilosis atau endapan padat berwarna tergantung dari jenis
kayu. Tilosis adalah suatu zat yang dimampatkan di dalam pori, tidak padat
dan juga tidak cair, tidak berwarna tetapi bening dan dapat memantulkan
cahaya. Zat pengisi selain tilosis dapat berupa padatan atau amorf dengan
warna tertentu. Warna padatan ini sering khas menurut jenis tertentu sehingga
mempunyai nilai yang penting untuk identifikasi.
Sel Parenkim
Parenkim merupakan jaringan yang berfungsi untuk menyimpan bahan
makanan cadangan. Menurut penyusunnya, parenkim dibedakan menjadi 2
macam yaitu parenkim aksial yang tersusun vertikal dan parenkim jari-jari yang
tersusun secara horizontal (Pandit dan Kurniawan 2008).
Wheeler et al. (2008) menyebutkan jenis parenkim yang digunakan sebagai
dasar identifikasi, yaitu:
1. Parenkim aksial apotrakeal, yaitu parenkim yang tidak berhubungan dengan
pembuluh, terdiri dari parenkim aksial baur (diffuse) dan parenkim aksial
kelompok baur (diffuse in aggregate).
2. Parenkim aksial paratrakeal, yaitu parenkim aksial yang berhubungan dengan
pembuluh atau trakeida vaskular. Parenkim aksial paratrakeal terdiri dari
parenkim aksial paratrakeal jarang, parenkim aksial vasisentrik, parenkim
aksial paratrakeal sepihak.
3. Parenkim aksial bentuk pita, terdiri dari parenkim bentuk pita dengan lebar
lebih dari tiga sel, parenkim bentuk pita tipis 1-3 sel, parenkim aksial bentuk
jala (bentuk retikulat), bentuk tangga (scalariform) dan parenkim marginal
atau menyerupai pita-pita marginal.
4. Untaian parenkim, yaitu jajaran sel-sel parenkim aksial yang terbetuk melalui
pembagian secara transversal terhadap satu sel kambium fusiform awal.

6
Serat
Serat adalah sel-sel dominan penyusun kayu dan berfungsi sebagai penyedia
tenaga mekanis bagi batang. Pada kelompok hardwood, yang dimaksud dengan
serat adalah sel-sel serabut, sedangkan pada kelompok softwood adalah sel-sel
trakeida aksial. Serat pada umumnya merupakan sel yang langsing (panjangnya
lebih dari 10X ukuran diameternya) dan berdinding relatif tebal dibandingkan sel
lainnya, meski juga bervariasi (Pandit dan Kurniawan 2008). Dimensi serat yang
umum diamati adalah panjang, diameter, tebal dinding dan diameter lumennya.
Panjang serat berpengaruh terhadap sifat-sifat fisik kertas seperti kekuatan
dan kekakuan. Serat panjang memungkinkan terjadinya ikatan antar serat yang
lebih kuat, tetapi akan mengakibatkan kertas menjadi semakin kasar. Serat kayu
yang lebih panjang akan menghasilkan kertas yang semakin kaku karena memiliki
daerah ikatan antar serat yang lebih luas pada saat penggilingan, serta sifat
penyebaran tekanan (stress transfer) yang lebih baik. Di sisi lain, kertas yang
terbuat dari serat yang pendek akan lebih halus dan seragam. Sifat kekuatan
lembaran kertas yang dipengaruhi oleh ukuran panjang serat adalah ketahanan
sobek, ketahanan tarik dan ketahanan lipat (Casey 1980).
Diameter serat berpengaruh terhadap sifat kekuatan pulp, pembentukan
lembaran, ikatan antar serat dan kekuatan serat dalam lembaran. Serat dengan
diameter besar dan berdinding tipis mampu memberikan ikatan antar serat yang
kuat dengan kekuatan lembaran tinggi. Ada dua pengertian diameter yaitu
diameter serat dan diameter lumen. Casey (1980) menggolongkan diameter serat
menjadi tiga kelas, yaitu: serat berdiameter besar (0,025-0,040 mm), serat
berdiameter sedang (0,010-0,025 mm), serat berdiameter kecil (0,020-0,010 mm).
Casey (1980) menyatakan bahwa tebal dinding serat dapat menentukan
sifat-sifat kertas. Dinding serat yang tebal akan membuat lembaran kertas menjadi
kasar dan tebal serta memiliki kekuatan sobek yang tinggi, tetapi kekuatan tarik
dan lipat dari lembaran kertas tersebut relatif rendah. Hal tersebut terjadi karena
serat berdinding tipis lunak dan mudah memipih, sehingga memberikan
permukaan yang luas untuk ikatan antar serat yang lebih baik.
Kualitas serat merupakan salah satu dasar untuk mengetahui kemungkinan
penggunaan suatu jenis kayu sebagai bahan baku pulp dan kertas. Penetapan
kualitas serat diantaranya berdasarkan pada nilai dimensi serat beserta turunannya.
Nilai-nilai turunan dimensi serat yang umum digunakan adalah:
1. Perbandingan Runkel atau Runkel ratio (RR)
RR menyatakan perbandingan antara dua kali tebal dinding serat dengan
diameter lumen. Jenis-jenis kayu tropis digolongkan ke dalam:
a. Golongan I
: dinding serat sangat tipis, lumen lebar, RR = 0,25
b. Golongan II : dinding serat tipis, lumen lebar, RR = 0,25-0,50
c. Golongan III : dinding serat dan lumen sedang, RR = 0,50-1,00
d. Golongan IV : dinding serat tebal, lumen sempit, RR = 1,00-2,00
e. Golongan V : dinding serat sangat tebal, lumen sempit, RR = 2,00
Serat dengan RR yang rendah menunjukkan bahwa serat tersebut memiliki
dinding yang tipis tetapi diameter lumennya lebar, sehingga pulp yang
dihasilkan akan lebih mudah digiling dan memiliki daerah ikatan antar serat
yang lebih luas sehingga akan menghasilkan lembaran kertas yang memiliki
kekuatan tarik dan kekuatan lipat yang tinggi.

7
2. Daya tenun atau felting power (FP)
FP adalah perbandingan antara panjang serat dengan diameter serat, yang
berpengaruh terhadap kekuatan sobek kertas. Serat berdinding tipis akan
cenderung memberikan kekuatan sobek yang rendah. Jalinan ikatan antar serat
yang baik dapat diperoleh dari serat yang lebih panjang, dan dapat berperan
meningkatkan kekuatan sobek kertas.
3. Perbandingan Muhlsteph atau Muhlsteph ratio (MR)
MR adalah perbandingan antara luas penampang dinding serat dengan luas
penampang lintang serat yang dihitung dengan rumus: MR = {(d2 - l2) / d2} x
100%, dimana: d = diameter serat, dan l = diameter lumen. MR berpengaruh
terhadap kerapatan lembaran pulp. Serat kayu dengan MR yang tinggi
memiliki luas permukaan yang lebih kecil sehingga luas daerah ikatan dan
kontak antar seratnya berkurang. Hal ini menyebabkan lembaran kertas yang
dihasilkan cenderung memiliki ketahan tarik dan ketahanan retak yang rendah.
4. Perbandingan fleksibilitas atau flexibility ratio (FR)
FR adalah perbandingan antara diameter lumen dengan diameter serat, yang
berperan dalam perkembangan kontak antar serat (fiber to fiber contact). Serat
dengan FR tinggi, tebal dindingnya relatif tipis dan mudah berubah bentuk.
Kemampuan berubah bentuk ini menyebabkan persinggungan antar
permukaan serat lebih leluasa dan lebih mudah ditarik kedalam kontak yang
dekat satu sama lain oleh gaya tegangan permukaan ketika air menguap pada
tahap pembuatan lembaran dan pengeringan kertas. Hal ini mendukung
terjadinya ikatan antar serat yang lebih sempurna sehingga menghasilkan
lembaran dengan sifat kekuatan yang baik, porositas yang rendah dan
kerapatan kertas yang tinggi.
5. Koefisien kekakuan atau coefficient of rigidity (CR)
CR adalah perbandingan antara tebal dinding serat dengan diameter serat,
dimana nilai koefisien ini mempunyai hubungan negatif dengan kekuatan tarik
kertas. CR yang tinggi menunjukkan bahwa serat tersebut memiliki kerapatan
yang tinggi pula. Panshin dan de Zeeuw (1980) menyatakan bahwa kerapatan
serat yang tinggi berpengaruh baik terhadap rendemen pulp. Selain itu, jenis
serat kayu berkerapatan tinggi juga dapat menghasilkan lembaran kertas
dengan opasitas tinggi, lebih kasar, dimensi yang lebih besar dan ketahanan
sobek tinggi. Namun, lembaran kertas yang dihasilkan lebih kaku sehingga
memiliki ketahanan lipat yang rendah. Jumlah ikatan serat yang terdapat pada
lembaran kertas juga lebih sedikit sehingga cenderung memiliki ketahanan
tarik dan retak yang rendah. Tabel 1 memuat kriteria kualitas serat sebagai
bahan baku pulp dan kertas.

8
Tabel 1 Kriteria kualitas serat kayu Indonesia untuk bahan baku pulp dan kertas
Kriteria
Panjang Serat (μ)
Runkel Ratio (RR)
Felting Power (FP)
Muhlsteph Ratio (MR)
Flexibility Ratio (FR)
Coefficient of Rigidity
(CR)
Nilai

Syarat
> 2000
< 0,25
> 90
< 30
> 0,80
< 0,10

Kelas I
Nilai
100
100
100
100
100
100

450-600

Kelas II
Syarat
Nilai
1000-2000
50
0,25-0,50
50
50-90
50
30-60
50
0,50-0,80
50
0,10-0,15
50
225-449

Kelas III
Syarat
Nilai
< 1000
25
0,50-1,0
25
< 50
25
60-80
25
< 0,50
25
> 0,15
25
< 225

Sumber: Rachman dan Siagian (1976)

Sifat Fisis Kayu
Sifat fisis kayu ialah karakteristik kuantitatif dan ketahanan terhadap
pengaruh dari luar. Menurut Bowyer et al. (2003) sifat fisis kayu yang penting
dan mempengaruhi sifat mekanis kayu adalah kadar air, kerapatan dan berat jenis.
Kadar Air
Panshin dan de Zeeuw (1980) mendefinisikan kadar air sebagai banyaknya
air yang terkandung dalam kayu. Kadar air kayu sangat dipengaruhi oleh sifat
higroskopis kayu. Air dalam kayu tediri dari air bebas dan air terikat dimana
keduanya secara bersama-sama menentukan kadar air kayu. Air yang terdapat
dalam rongga sel kayu disebut sebagi air bebas (free water), sedangkan yang
terdapat di dalam dinding sel dinamakan air terikat (bounded water). Kadar air
segar dalam satu pohon bervariasi tergantung tempat tumbuh dan umur pohon.
Kadar air kayu akan berubah sesuai dengan kondisi iklim tempat dimana kayu
berada akibat dari perubahan suhu dan kelembaban udara (Bowyer et al. 2003).
Berat Jenis (Spesific gravity)
Berat jenis merupakan nilai perbandingan antara kerapatan kayu dengan
kerapatan benda standar. Berat standar yang digunakan adalah air destilata yang
pada suhu 4ºC mempunyai kerapatan 1 gram per centimeter2. Berat jenis juga
didefinisikan sebagai berat kayu kering per satuan volume (Bowyer et al. 2003).
Berat jenis kayu tergantung dari jumlah zat kayu, rongga sel, kadar air dan zat
ekstraktif didalamnya. Umumnya makin tinggi BJ kayu, kayu semakin berat dan
semakin kuat pula.
Kerapatan (Density)
Kerapatan kayu merupakan perbandingan antara massa atau berat kayu
dengan volumenya yang dinyatakan dalam kg/m³ atau g/cm³. Kerapatan kayu
didefinisikan sebagai jumlah bahan penyusun dinding sel kayu maupun zat-zat
lain, dimana bahan tersebut memberikan sifat kekuatan pada kayu (Bowyer et al.
2003).

9
Belangeran
Martawijaya et al. (2005) menjelaskan ciri botanis pohon dan kayu
Belangeran sebagai berikut: nama ilmiah dari Belangeran adalah Shorea
balangeran (Korth.) Burck anggota dari famili Dipterocarpaceae. Nama
daerahnya adalah belangeran, belangir, belangiran dan melangir (Sumatera); serta
balangiran, belangiran, kahoi, kahui dan kawi (Kalimantan). Pohon ini tersebar di
daerah Sumatera Selatan (Bangka dan Belitung), Kalimantan Barat, Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Tengah. Tinggi pohon dapat mencapai 20-25 m dengan
panjang batang bebas cabang sampai 15 m, diameter 50 cm dan tidak memiliki
banir. Kulit luar pohon ini berwarna merah tua sampai hitam, sedikit beralur
dangkal, dengan tebal kulit 1-3 cm dan kulit tidak mengelupas.
Ciri diagnostik kayu Belangeran dapat dilihat dari aspek warna, yaitu kayu
teras berwarna coklat-merah atau coklat tua sedangkan kayu gubalnya berwarna
putih kekuning-kuningan atau merah muda. Memiliki tekstur agak kasar sampai
kasar dengan arah serat lurus atau agak berpadu.
Strukrur anatomi kayu Belangeran yaitu memiliki pori yang sebagian besar
soliter kadang-kadang terdapat gabungan pori 2-4 dalam arah radial, diameter pori
100-300 µm dan berjumlah 4-10 pori per mm2, dengan pori yang berisi tilosis dan
kadang-kadang berisi zat berwarna coklat, dengan bidang perforasi sederhana. Sel
parenkim paratrakeal berupa selubung lengkap, aliform dan konfluen, parenkim
apotrakeal berbentuk pita di sekeliling saluran damar. Jari-jari heteroselular,
umumnya multiseriat, dengan lebar 50-200 µm, tinggi 220-1090 µm dengan
frekuensi 5-10 per mm.
Kayu Belangeran memiliki berat jenis 0,86 (0,73-0,98) dengan kelas kuat III dan kelas awet II-(I-III). Kayu Belangeran dapat digunakan untuk balok dan
papan pada bangunan perumahan dan jembatan, lunas perahu, bantalan dan tiang
listrik (diawetkan).

Bungur
Menurut Martawijaya et al. (2005), ciri botanis pohon dan kayu Bungur
adalah sebagai berikut: nama latinnya adalah Lagerstroemia speciosa Pers. dari
famili Lythraceae. Nama daerahnya adalah bungur, ketangi dan wungu (Jawa);
Bungur dan Bungur lilin (Sumatera); Bungur atau muhur (Kalimantan); langoti,
lohuwa dan omdolu (Sulawesi); serta bungir atau mundi (NTT). Pohon ini
tersebar di daerah Riau, Jambi, Sumatera Selatan (Palembang), Lampung, seluruh
Jawa dan Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, serta seluruh Selawesi dan
Nusa Tenggara Timur. Tinggi pohon dapat mencapai 30 m dengan panjang batang
bebas cabang sampai 17 m, diameter sampai 90 cm dan tidak berbanir. Kulit luar
berwarna kelabu, tidak beralur dan mengelupas dalam lembaran tipis.
Ciri umum kayu Bungur diantaranya adalah teras berwarna coklat-merah
pucat sampai coklat kuning kemerah-merahan atau coklat-merah. Kayu gubal
berwarna coklat-kuning muda sampai putih kelabu, kadang-kadang semu merah
jambu. Tekstur kayu agak halus sampai agak kasar dan tidak merata dengan arah
serat yang lurus atau berpadu.

10
Struktur anatomi kayu Bungur yaitu pori tersusun dalam tata lingkar,
sebagian soliter, sebagian bergabung 2-3 dalam arah radial, diameter pori pada
batas lingkaran tumbuh 200-300 µm, sedangkan diantara lingkaran tumbuh 100200 µm. Pori berisi tilosis dengan jumlah pori 2-6 pori per mm2. Kayu Bungur
memiliki sel parenkim yang sangat banyak, termasuk tipe paratrakeal
bersambungan, terutama pada bagian kayu di antara batas lingkaran tumbuh. Jarijarinya homoselular, uniseriat dan biseriat, dengan lebar 16-25 µm, tinggi 238-445
µm dan frekuensi 9-17 per mm.
Kayu Bungur memiliki berat jenis 0,69 (0,58-0,81) dengan Kelas Kuat II-III
dan Kelas Awet II-III. Kayu Bungur dapat digunakan untuk bangunan perumahan
(papan, balok, tiang, rangka pintu dan jendela), jembatan, bantalan, perkapalan
(kulit dan gading-gading), roda, jari-jari roda, batang cikar, papan dinding, papan
lantai, alat-alat pertanian (misalnya weluku), alu, tong dan barang bubutan. Selain
itu karena coraknya yang indah, mungkin baik digunakan juga untuk mebel.

Medang
Menurut Martawijaya et al. (2005), nama Medang berlaku untuk semua
jenis kayu dalam famili Lauraceae, kecuali genus Eusideroxylon. Jumlah genus
dan spesies dalam famili ini sangat banyak. Karena terdapat masalah taksonomi
yang begitu kompleks dan memerlukan revisi, terdapat ketidakpastian dalam hal
pemberian nama genus maupun spesies. Oleh karena itu jenis-jenis kayu dalam
famili ini (kecuali Eusideroxylon) untuk sementara masih dikelompokkan dalam
satu jenis kayu perdagangan dengan nama medang, meskipun mungkin ada genus
atau spesies yang mempunyai sifat yang berlainan.
Oleh karena penjelasan di atas, terdapat beberapa nama botanis dari
Medang, yaitu Alseodaphne spp., Cinnamomum spp., Dehaasia spp., Litsea spp.,
family Lauraceae (terutama Alseodaphne umbelliflora Hook.f., Cinnamomum
parthenoxylon Meissn., Dehaasia caesia BI., D. cuneata BI., Litsea firma
Hook.f., Litsea odorifera Val., Phoebe opaca BI.).
Pohon Medang tersebar di seluruh Indonesia. Tinggi pohon dapat mencapai
35 m, panjang batang bebas cabang 10-25 m, diameter sampai 90 cm. batang pada
umumnya berdiri tegak, berbentuk silindris, kulit luar berwarna kelabu, kelabucoklat, coklat-merah sampai merah tua, kadang-kdang beralur dangkal atau
mengelupas kecil-kecil. Pada L. firma dan L. odorifera banir dapat mencapai
tinggi 2 m, sedangkan C. parthenoxylon tidak berbanir.
Ciri umum kayu Medang yaitu teras bervariasi dari kuning sampai hijau
zaitun, coklat-merah muda, merah-coklat, coklat-kuning, coklat tua, bahkan
sampai coklat kehitam-hitaman tergantung kepada jenis botanisnya. Kayu gubal
umumnya berwarna putih atau kuning muda dan mempunyai batas yang jelas
dengan kayu teras. Tektur kayu Medang agak halus atau agak kasar dan merata
dengan arah serat lurus, agak bergelombang atau berpadu.
Hampir semua kayu Medang berbau aromatis bila masih segar, terutama
pada L. odorifera dan Cinnamomum spp. Bau aromatis ini lambat laun
menghilang, tetapi pada beberapa jenis dapat bertahan beberapa tahun atau
muncul kembali jika dibuat sayatan baru. Terdapat ciri khas lainnya dari kayu
Medang yaitu memiliki noda di bagian empulur.

11
Struktur anatomis kayu Medang (dalam hal ini untuk C. parthenoxylon)
adalah pori soliter dan bergabung 2-4 sel dalam arah radial, tersusun dalam
kelompok mengarah radial atau tangensial, kadang-kadang bergerombol, diameter
50-200 µm, terkadang sampai 300 µm dan umumnya berisi tilosis. Sel parenkim
jarang sampai agak banyak, termasuk tipe paratrakeal berbentuk selubung
lengkap, cenderung untuk bersambungan, kadang-kadang terdapat parenkim
terminal. Jari-jari sangat halus atau agak halus, sangat pendek atau pendek,
terkadang tampak susunan jari-jari tidak teratur pada bagian transversal. Tabel 2
memuat data berat jenis dan kelas kuat untuk kayu Medang.
Tabel 2 Berat jenis dan kelas kuat beberapa jenis kayu Medang
Spesies
A. umbelliflora
C. parthenoxylon
D. caesia
D. cuneata
L. firma
L. firma
P. opaca

Berat Jenis
0,52 (0,49-0,75)
0,63 (0,40-0,86)
0,82 (0,70-1,08)
0,77 (0,59-0,97)
0,56 (0,39-0,76)
0,51 (0,42-0,58)
0,57 (0,48-0,62)

Kelas Kuat
III
II-III
II
II
III-(II)
III
III

Sumber: (Martawijaya et al. 2005)

Kayu Medang termasuk Kelas Awet II-IV. Jenis Medang yang kurang awet
biasa dipakai untuk membuat papan dan kano, sedangkan jenis yang lebih awet
dapat dipakai untuk tiang, balok dan rusuk. Kayu C. parthenoxylon lazim
digunakan untuk membuat lesung. Kayu Medang mempunyai banyak jenis yang
cocok untuk barang kerajinan (Martawijaya et al. 2005).

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan mulai September hingga Desember 2012 di
Laboratorium Sifat Dasar Kayu, Bagian Teknologi Peningkatan Mutu Kayu,
Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor dan di
Laboratorium Anatomi Tumbuhan, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Keteknikan Hutan dan Pengolahan Hasil Hutan (PUSTEKOLAH), Bogor.

Alat dan Bahan
Bahan utama yang digunakan adalah potongan kayu Belangeran (Shorea
balangeran (Korth.) Buck), Bungur (Lagerstroemia speciosa Pers.) dan Medang
(Cinnamomum spp.) yang berbentuk lempengan (disk) setebal 5 cm. Lempengan
tersebut berasal dari bagian batang utama pada ketinggian sekitar 1,30 m dari
permukaan tanah. Umur pohon tidak diketahui, namun diameter batang masingmasing jenis tercatat sebesar 20,25 cm (Belangeran), 23,30 cm (Bungur) dan
23,30 cm (Medang). Ketiga jenis kayu berasal dari Desa Muara Muntai Ilir,
Kecamatan Muara Muntai, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Bahan lainnya terdiri dari alkohol 10%, 30%, 50%, 70% dan alkohol absolut,
safranin, gliserin, aquades, KClO3, HNO3 50%, karboksilen, toluena dan entelan.

12
Peralatan yang digunakan adalah object glass, cover glass, tabung reaksi,
gelas ukur, cawan petri, pipet, waterbath, wadah bekas film, kuas, kertas saring,
kertas lakmus, gergaji, cutter, loupe, mikroskop, kamera digital, kamera mikrofoto
dan mikrotom datar.

Pelaksanaan Penelitian
Persiapan contoh uji
Untuk keperluan pengamatan makroskopis dan pembuatan sayatan
mikrotom dibuat contoh uji dengan ukuran 5 cm x 2 cm x 2 cm, sedangkan untuk
pembuatan sayatan maserasi dan uji sifat fisis dibuat contoh uji berukuran 5 cm x
1 cm x 1 cm. Metode pengambilan contoh uji dari masing-masing pohon disajikan
pada Gambar 1.

Gambar 1 Diagram Pengambilan Contoh Uji
Keterangan: (a) Batang Pohon, (b) Lempengan (disc),
(c) Contoh uji ciri makroskopis dan mikrotom, (d)
Contoh uji sayatan maserasi (e) Contoh uji sifat fisis

Pengamatan ciri makroskopis
Ciri makroskopis yang diamati meliputi warna, corak, tekstur dan arah serat,
kilap, kesan raba, bau dan kekerasan. Pengamatan dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
1. Warna. Dokumentasi warna kayu dilakukan terhadap penampang
tangensialnya. Permukaan kayu terlebih dahulu dihaluskan dan dibasahkan

13

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

agar lebih segar. Warna kayu bagian teras ataupun gubal dalam kondisi kering
pada penampang melintang juga diamati.
Corak. Pengamatan corak dilakukan berdasarkan gambaran lingkaran (riap)
tumbuh di penampang lintang atau jelas tidaknya perbedaan antara kayu awal
dan kayu akhir di penampang tangensial atau radial.
Tekstur. Tekstur kayu diamati secara kuantitatif dengan membaginya kedalam
beberapa kategori yaitu halus, sedang dan kasar berdasarkan ukuran diameter
tangensial pori (Wheeler et al. 2008).
Arah Serat. Penentuan arah serat dilakukan dengan mengamati arah orientasi
longitudinal sel-sel dominan penyusun kayu terhadap sumbu batang. Arah
serat juga dapat diamati melalui hasil dokumentasi warna atau corak kayu.
Kilap. Ada jenis kayu yang kusam, agak mengkilap dan ada pula yang sangat
mengkilap tanpa dipolitur. Suatu jenis kayu dikatakan mengkilap jika
permukaannya bersifat memantulkan cahaya.
Kesan raba. Kesan raba dinilai licin atau kesat dengan cara menggosokgosokkan jari ke permukaan kayu. Biasanya kayu yang mempunyai tekstur
halus serta berat jenis tinggi menimbulkan kesan raba yang licin. Kesan licin
dapat pula bertambah jika kayunya memang mengandung minyak atau lemak.
Bau. Pada umumnya kayu mempunyai bau tertentu apalagi waktu masih segar.
Akan tetapi kebanyakan bau pada kayu sukar diterangkan. Hanya beberapa
diantaranya yang mempunyai bau yang mudah dikenal.
Kekerasan. Kekerasan dinilai sangat lunak, lunak, agak lunak, agak keras,
keras dan sangat keras. Penetapannya dilakukan dengan cara menyayat contoh
pada arah tegak lurus serat. Makin keras makin sukar disayat. Bekas
sayatannya pun mengkilap.

Pengamatan ciri mikroskopis dan pengukuran dimensi serat
1. Pembuatan preparat maserasi
Contoh uji dipotong-potong menjadi seukuran batang korek api (chip)
kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi larutan KClO3
dan HNO3 50%. Tabung reaksi selanjutnya dimasukkan kedalam waterbath
dengan suhu 60°C sampai warna chip berubah menjadi putih kekuningan dan
terlihat lunak. Tabung berisi chip didinginkan lalu isinya dituangkan ke kertas
saring, kemudian chip yang telah menjadi serat dicuci bersih dengan akuades
hingga bebas asam. Serat-serat tersebut selanjutnya dipindahkan ke dalam
wadah bekas film, diberi pewarna (safranin) sekitar 3-5 tetes dan didiamkan
selama 3-6 jam. Serat yang telah diwarnai selanjutnya dicuci kembali dengan
akuades hingga bersih lalu didehidrasi bertingkat menggunakan alkohol 10%,
30% dan 50%. Serat-serat individu terpilih lalu diletakkan di atas object glass,
selanjutnya ditutup dengan cover glass dan siap untuk diamati dan diukur.
Sel yang diamati adalah pembuluh dan serat (sel serabut). Dimensi sel
pembuluh yang diukur meliputi panjang dan diameternya, sedangkan dimensi
serat meliputi panjang dan diameter serat serta diameter lumen. Jumlah sel
pembuluh yang diukur sebanyak 15 sampel, sedangkan jumlah serat sebanyak
30 sampel. Panjang serat, panjang pembuluh dan diameter pembuluh diukur
menggunakan perbesaran empat kali, sedangkan diameter serat dan diameter
lumen menggunakan perbesaran 10-20 kali.

14
2. Pembuatan sayatan mikrotom
Contoh uji direbus dalam air selama 3 hari lalu dipindahkan dan direndam
dalam wadah yang berisi larutan gliserin dan alkohol 96% dengan
perbandingan 1:1 hingga lunak. Contoh uji diangkat lalu ditiriskan dan siap
disayat. Sayatan yang dihasilkan kemudian dicuci dengan akuades lalu
diwarnai dengan safranin. Selanjutnya sayatan diproses menurut metode Sass
(1961) yaitu didehidrasi dalam alkohol bertingkat mulai 30% hingga alkohol
absolut dan kemudian direndam dalam karboksilen lalu dalam toluena selama
5 menit untuk membebaskan sayatan dari sisa safranin yang ada. Sayatan
terpilih kemudian diletakkan di atas object glass, ditetesi entelan dan ditutup
dengan cover glass. Selanjutnya diamati dibawah mikroskop dan siap untuk
didokumentasi.
Ciri-ciri mikroskopis yang diamati adalah:
a. Pori (sel pembuluh)
Pada penampang lintang yang diamati adalah pengelompokan pori,
penggabungan pori, pola penyebaran pori, diameter pori dan jumlah pori
per mm², sedangkan pada penampang radial dan tangensial meliputi tipe
bidang peforasi dan tipe noktah antar pembuluh
b. Jari-jari
Pada penampang lintang yang diamati adalah ukuran (seri) dan frekuensi
jari-jari, di penampang radial komposisi jari-jari, sedangkan di penampang
tangensial adalah lebar dan tinggi jari-jari.
c. Parenkim aksial
Pengamatan tipe sel parenkim aksial dilakukan dengan bantuan mikroskop
mikrofoto untuk mempertegas hasil pengamatan makroskopis
Pengujian sifat fisis
Sifat fisis kayu yang diukur terdiri dari kadar air, kerapatan dan berat jenis :
1. Kadar Air (KA)
Contoh uji yang digunakan berukuran 5 cm x 1 cm x 1 cm. Kayu yang telah
dikondisikan kemudian ditimbang berat awalnya (BA) lalu dikeringkan di
dalam oven bersuhu (103 ± 2)ºC hingga beratnya konstan (BKT). Sebelum
ditimbang, contoh uji terlebih dahulu di-conditioning-kan di dalam desikator
beberapa menit. Kadar air dihitung dengan persamaan:

KA = (BA – BKT) / BKT x 100%

2. Berat Jenis (BJ)
Contoh uji yang digunakan juga berukuran 5 cm x 1 cm 1 cm. Nilai berat jenis
kayu merupakan perbandingan antara nilai kerapatan kayu dengan kerapatan
benda standar (air destilata pada suhu 4ºC), yakni sebesar 1 g/cm3. Contoh uji
diukur dimensinya (panjang, lebar dan tebal) lalu dikeringkan dalam oven
(103±2)ºC hingga beratnya konstan. Pengukuran dimensi dilakukan dengan
caliper masing-masingnya pada dua titik, sedangkan nilai volume kayu
diperoleh dari hasil kali dimensi rata-ratanya. Berat jenis kayu dihitung
dengan persamaan:

BJ = (BKT / Volume Basah) / ρAir

3. Kerapatan
Nilai kerapatan kayu diperoleh dari perbandingan antara berat kayu dengan
volumenya pada kondisi basah. Contoh uji yang digunakan berukuran 5 cm x

15
1 cm 1 cm. Pengukuran volume dilakukan dengan mengukur dimensi kayu
meliputi panjang, lebar dan tebal menggunakan caliper sebanyak dua kali
ulangan. Nilai kerapatan dapat ditentukan dengan persamaan:

Kerapatan = Berat Basah/ Volume Basah
Analisis Data
Data yang bersifat kualitatif seperti warna, corak, tekstur dan arah serat
kayu disajikan dalam bentuk deskriptif. Data yang bersifat kuantitatif seperti
panjang dan diameter serat, diameter lumen, serta panjang, diameter pembuluh,
kadar air, berat jenis dan kerapatan dihitung nilai rata-rata dan simpangan
bakunya menggunakan program Microsoft Excel 2010. Data yang dihasilkan
kemudian ditabulasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Shorea balangeran (Korth.) Burck. - Dipterocarpaceae
Nama lokal: Belangeran
Sifat Anatomi
Ciri makroskopis:
Warna: bagian teras coklat kemerahan, dapat dengan jelas dibedakan dari bagian
gubal yang coklat keabuan. Corak: bergaris gelap. Tekstur: kasar. Arah serat:
lurus. Kilap: mengkilap. Kesan raba: licin. Bau: tidak berbau. Kekerasan: keras.
Ciri mikroskopis:
Lingkar tumbuh: tidak jelas (ciri nomor 2). Pembuluh: porositas tata baur (5);
soliter (9) dan bergabung radial 2-4 sel (10); diameter rata-rata 224,69 ± 35,28 μm
(43); frekuensi 3-8 pori/mm2 (46); panjang rata-rata 417,14 ± 12,72 μm; bidang
perforasi sederhana (13); noktah antar pembuluh berselang-seling (22), sedang
(26) dan berumbai (29); noktah antara pembuluh dan jari-jari sama dan seukuran
dengan noktah antar pembuluh (30); mengandung banyak tilosis (56). Parenkim
aksial: apotrakeal yang tersebar dalam kelompok (77) dan paratrake