Sustainable Farming System Planning Based On Cocoa In Way Semah Sub Watershed Lampung Province

(1)

PERENCANAAN USAHA TANI BERKELANJUTAN

BERBASIS KAKAO DI SUB DAS WAY SEMAH

PROVINSI LAMPUNG

YANTI RAHAYU

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014


(2)

RINGKASAN

YANTI RAHAYU. Perencanaan Usahatani Berkelanjutan Berbasis Kakao di Sub DAS Way Semah Provinsi Lampung. Dibimbing oleh SURIA DARMA TARIGAN dan NAIK SINUKABAN.

Kakao merupakan salah satu komoditas unggulan Provinsi Lampung selain kopi, karena areal perkebunan kakao tersebar luas di seluruh kabupaten di Propinsi Lampung. Salah satu sentra kakao adalah Sub DAS Way Semah yang secara administratif masuk ke dalam wilayah Kabupaten Pesawaran. Meskipun demikian produktivitas kakao masih rendah karena belum ada penataan pola usaha tani berkelanjutan berbasis kakao. Sehingga berimplikasi pada rendahnya pendapatan rata-rata petani dari usaha tani kakao. Selain itu sistem usaha tani yang ada belum menerapkan teknik-teknik konservasi yang menyebabkan tingginya nilai prediksi erosi di Sub DAS Way Semah.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik usaha tani kakao dan menyusun perencanaan usaha tani berkelanjutan berbasis kakao di Sub DAS Way Semah. Agroteknologi yang direkomendasikan adalah agroteknologi yang memenuhi kriteria sitem pertanian berkelanjutan yaitu (1) usaha tani yang ada mempunyai nilai prediksi erosi lebih kecil daripada nilai erosi yang dapat ditoleransikan (ETol); (2) pendapatan bersih petani lebih besar daripada standar kebutuhan hidup layak (KHL); dan (3) agroteknologi harus mudah diterima dan diterapkan oleh petani.

Pada penelitian ini kelas kemampuan lahan dievaluasi dengan metode Klingebiel dan Montgomery, erosi yang terjadi diprediksi dengan menggunakan persamaan USLE (the Universal Soil Loss Equation) yang dibangun oleh Wischmeier dan Smith, sedangkan siatem usaha tani dianalisa dengan analisa anggaran arus uang tunai. Terdapat 4 (empat) tipe usahatani di lokasi penelitian intensif yaitu monokultur kakao (UT1), kakao-kelapa (UT2), kakao-kelapa-tangkil (UT3) dan kombinasi kakao-tanaman kayu-tanaman buah (UT4).

Hasil penelitian menunjukkan prediksi erosi pada agroteknologi aktual lebih besar daripada nilai ETol, yaitu berkisar antara 89.90 sampai 425.80 ton ha

-1

th-1 dengan ETol 18.42 sampai 32.30 ton ha-1th-1. Total pendapatan bersih petani pada agroteknologi aktual lebih rendah daripada standar kebutuhan hidup layak (KHL) yaitu berkisar antara Rp15 995 000 sampai Rp22 880 000 kk-1 ha-1 th-1, dengan KHL sebesar Rp30 000 000. Untuk menambah penghasilan, petani beternak ayam dan kambing. Hasil simulasi agroteknologi menunjukkan bahwa teknik konservasi pembuatan rorak mampu menurunkan nilai prediksi erosi menjadi yaitu 7.55 sampai 24.53 ton ha-1 tahun-1 dan agroteknologi penanaman tanaman penaung menghasilkan nilai prediksi erosi menjadi 1.31 sampai 4.26 ton ha-1 tahun-1 lebih kecil daripada ETol. Penggunaan pupuk dan tambahan usaha ternak meningkatkan produksi kakao dan meningkatkan pendapatan petani menjadi yaitu Rp23 775 000 sampai Rp33 675 000 kk-1 tahun-1 lebih besar dari KHL.


(3)

SUMMARY

YANTI RAHAYU. Sustainable Farming System Planning based on Cocoa in Way Semah Sub Watershed Lampung Province. Supervised by SURIA DARMA TARIGAN and NAIK SINUKABAN.

Cocoa is a leading commodity in Lampung Province after coffee, because the cocoa plantations are widespread in almost district. One of the center of cocoa is Way Semah Sub Watershed which is including Pesawaran District administratively. However, cocoa productivity is still low because there is no arrangement of sustainable farming system based on cocoa. Thus have implication for lower average farmer’s income. Moreover, there is no soil conservation actions in actual farming systerm

This study aimed to identify land use characteristics and to analyze the agrotechnologies and to compose sustainable farming system planning based on cocoa in Way Semah Sub Watershed. The rcommended agrotechnologies were meet sustainable farming system citeria : (1) the farming system which haspredicted erosion was lower than tolerable soil loss (ETol); (2) the farmer’s income was higher than a decent income; and (3) the agrotechnologies must be applicable and replicable by farmers.

In this study, Land capability was evaluated using Klingebiel and Montgomery method, erosion was predicted using USLE (the Universal Soil Loss Equation ) equation developed by Wischmeier and Smith, and farming system was analyzed using cash flos analysis method. There is 4 (four) farming system type in intensive study site : cocoa monoculture (UT1), cocoa-coconuts (UT2), cocoa-coconuts-tangkil (UT3), and cocoa-trees-fruit plants.

Result of this study showed that predicted erosion in actual agrotechnologies and cropping patterns was higher than ETol. It ranged from 89.90 to 425.80 tons hectare-1year-1 while ETol ranged from 18.42 to 32.30 tons hectare-1 year-1. Total farmer’s income were lower (Rp15 995 000 to Rp22 880 000 householder-1year-1) than a decent income (Rp.30.000.000 householder-1year-1). To increase farmer’s income, the source of income such as livestock was introduced into the existing farming system. Result of agrotechnologies simulation showed that conservation techniques of split pitch

decrease predicted erosion ranged from 7.55 to 24.53 tons hectare-1year-1 and planting a shade plants result1.31 to 4.26 tons hectare-1year-1 lower than

ETol. Fertilizer and livestock increase cocoa productivity and farmer’s income (Rp23 775 000 to Rp33 675 000 householder-1year-1) higher than a decent living. Key words : watershed, erosion, cocoa


(4)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN x

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Kerangka Pemikiran 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

Daerah Aliran Sungai 6

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai 6

Evaluasi Kemampuan Lahan 7

Erosi dan Prediksi Erosi 9

Erosi yangDitoleransikan 9

Usahatani Kakao 10

Pertanian Berkelanjutan 11

Standar Hidup Layak 11

3 METODE PENELITIAN 12

Lokasi dan Waktu Penelitian 12

Bahan dan Alat Penelitian 12

Metode Penelitian 13

Analisa Data 14

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 18

Umum 18

Biofisik 19

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 21

Hasil 21

Pembahasan 28

6 SIMPULAN DAN SARAN 40

Simpulan 40

Saran 40


(5)

DAFTAR TABEL

3.1 Kriteria klasifikasi kemampuan lahan 14

4.1 Jumlah penduduk di Sub DAS Way Semah 19

4.2 Kelas lereng pada Sub DAS Way Semah 19

4.3 Jenis tanah di Sub DAS Way Semah 20

4.4 Penggunaan lahan di Sub DAS Way Semah 20

5.1 Kelas kemampuan lahan pada setiap satuan lahan pengamatan

intensif di Sub DAS Way Semah 23

5.2 Luas penggunaan lahan pada lokasi penelitian intensif 25 5.3 Berbagai tipe usaha tani pada masing-masing satuan lahan

di Sub DAS Way Semah 26

5.4 Perbandingan hasil prediksi erosi dan ETol pada berbagai

usaha tani di Sub DAS Way Semah 29

5.5 Pengaruh penerapan alternatif agroteknologi 1 terhadap prediksi

erosi pada setiap tipe usaha tani di Sub DAS Way Semah 31 5.6 Pengaruh penerapan alternatif agroteknologi 2 terhadap prediksi

erosi pada setiap tipe usaha tani di Sub DAS Way Semah 32 5.7 Pendapatan bersih petani pada berbagai tipe usaha tani aktual

berbasis kakao di Sub DAS Way Semah 33

5.8 Pengaruh alternatif agroteknologi 1 terhadap pendapatan bersih

petani pada setiap usaha tani di Sub DAS Way Semah 35 5.9 Pengaruh alternatif agroteknologi 2 terhadap pendapatan bersih

petani pada setiap usaha tani di Sub DAS Way Semah 35 5.10 Rekomendasi alternatif agroteknologi berbasis kakao pada lahan

seluas 1 ha di Sub DAS Way Semah 37

DAFTAR GAMBAR

1.1 Kerangka pemikiran pelaksanaan penelitian 5 2.1 Skema hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas

dan macam penggunaan lahan 8

3.1 Lokasi penelitian 12

5.1 Lokasi pengamatan intensif di Sub DAS Way Semah Provinsi Lampung

22 5.2 Rekomendasi agroteknologi 1 di Sub DAS Way Semah Provinsi

Lampung

38 5.3 Rekomendasi agroteknologi 2 di Sub DAS Way Semah Provinsi

Lampung


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta Penggunaan Lahan Sub DAS Way Semah Provinsi Lampung 43 2 Peta Kelas Lereng Sub DAS Way Semah Provinsi Lampung 44 3 Peta jenis tanah Sub DAS Way Semah Provinsi Lampung 45 4 Peta satuan lahan Sub DAS Way Semah Provinsi Lampung 46 5 Karakteristik satuan lahan Sub DAS Way Semah 47 6 Kode struktur tanah dan permeabilitas profil tanah 48

7 Nilai faktor C (pengelolaan tanaman) 49

8 Nilai faktor P (konservasi tanah) 50

9 Faktor kedalaman ekivalen untuk 30 sub ordo tanah 51 10 Kedalaman minimum untuk beberapa jenis tanaman 52 11 Faktor penghambat dan penentuan kelas kemampuan lahan 53 12 Sebaran curah hujan bulanan (mm) Sub DAS Way Semah 55 13 Curah hujan bulanan (cm) dan nilai EI30 (R) Sub DAS Way Semah 56

14 Nilai erodibilitas (K) Sub DAS Way Semah 57

15 Nilai panjang dan kecuraman lereng (LS) Sub DAS Way Semah 58 16 Nilai erosi yang dapat ditoleransikan (ETol) Sub DAS Way Semah 59 17 Tipe usaha tani aktual dan agroteknologi aktual pada lokasi

pengamatan intensif 60

18 Kalsifikasi kelas kemampuan lahan Sub DAS Way Semah 61

19 Nilai CP maksimum Sub DAS Way Semah 62

20 Contoh perhitungan biaya dan pendapatan pada pola usaha tani aktual

kakao-kelapa (UT2) di Sub DAS Way Semah 63

21 Analisa usaha ternak ayam (20 ekor) Sub DAS Way Semah 63 22 Analisa usaha ternak kambing (2 ekor) Sub DAS Way Semah 64 23 Analisa usaha ternak kambing (3 ekor) Sub DAS Way Semah 64 24 Analisa usaha ternak kambing (4 ekor) Sub DAS Way Semah 65 25 Analisa usaha ternak kambing (5 ekor) Sub DAS Way Semah 65 26 Contoh analisa usaha tani pada agroteknologi 1 pola usaha tani

kakao-kelapa (UT2) di Sub DAS Way Semah 65

27 Contoh skema tanaman pada usaha tani kakao-kelapa (UT2) seluas 1

ha di Sub DAS Way Semah 66


(7)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sumberdaya lahan merupakan modal pembangunan yang sangat penting karena dibutuhkan dalam kehidupan manusia pada berbagai bidang seperti untuk pertanian, perkebunan, areal pemukiman, daerah industri, sarana jalan untuk transportasi, daerah rekreasi atau daerah-daerah yang akan digunakan sebagai daerah konservasi.

Meningkatnya jumlah penduduk dan semakin berkembangnya proses industrialisasi menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara jumlah pengguna lahan dengan luas lahan yang semakin berkurang karena adanya konversi lahan pertanian menjadi areal penggunaan lain. Selain itu, ketergantungan manusia terhadap lahan semakin tinggi, sehingga terjadi pemanfaatan lahan melebihi daya dukung lahan.

Meningkatnya kebutuhan dan persaingan dalam penggunaan lahan baik untuk keperluan produksi pertanian maupun untuk keperluan lainnya memerlukan pemikiran yang seksama dalam mengambil pemanfaatan yang paling menguntungkan dari sumberdaya lahan yang terbatas (Sitorus 2004).

Sub DAS Way Semah dengan luas wilayah 25 135 ha merupakan bagian dari DAS Way Sekampung dengan luas 484 192 ha. Sejak tahun 1984 DAS Way Sekampung sudah menjadi DAS Prioritas I, dan pada tahun 1999 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 284 Tahun 1999 ditetapkan kembali untuk ditangani menjadi DAS Prioritas I. Pada tanggal 12 Juni 2009 DAS Way Sekampung masih menjadi DAS Prioritas I dengan dikeluarkannya SK Menteri Kehutanan Nomor: SK.328/Menhut-II/2009 tentang DAS Prioritas Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2010-2014 (Dephut 2009). Meskipun DAS Way Sekampung sudah sangat penting untuk ditangani dan sebagian besar kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, baik dari kementerian kehutanan maupun dari pemerintah provinsi Lampung, difokuskan di wilayah tersebut , namun kerusakan di DAS tersebut tidak berkurang. Alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian menjadi awal terjadinya degradasi lahan. Semakin luas lahan yang terdegradasi, semakin luas lahan kritis.

Luas lahan kritis di Provinsi Lampung pada tahun 2008 mencapai 3 332 028 ha yang tersebar di 14 Kabupaten dan Kota (Dishut Lampung 2008). Sementara itu luas lahan kritis di kabupaten Pesawaran sampai tahun 2011 mencapai 130 710 ha (Disbunhut Pesawaran 2011).

Daerah hulu Sub DAS Way Semah berada di Kabupaten Pesawaran. Oleh karena itu, secara administratif Sub DAS Way Semah terletak di Kabupaten Pesawaran yaitu Kecamatan Gedung Tataan, Negeri Katon, Tegineneng dan Way Lima, Kabupaten Pringsewu yaitu Kecamatan Gading Rejo, Kabupaten Lampung Selatan yaitu Kecamatan Natar, serta Kota Bandar Lampung yaitu Kecamatan Kemiling dan Rajabasa.

Topografi di Sub DAS Way Semah bervariasi dari datar sampai dengan sangat curam. Sebagian besar wilayah Sub DAS Way Semah berada pada kondisi datar atau kelas lereng I (0 sampai 8%) seluas 16 182 ha (64.38%), kelas lereng II


(8)

(8 sampai 15%) seluas 5 055 ha (20.11%), kelas III (15 sampai 25%) seluas 1 735 ha (6.90%), kelas IV (25 sampai 40%) seluas 1 348 ha (5.36%) dan kelas V (>40%) seluas 815 ha (3.24%).

BPDAS Way Seputih Way Sekampung (2007) melaporkan bahwa tingkat bahaya erosi yang terdapat di Sub DAS Way Semah terdiri dari bahaya erosi ringan (<25% lapisan tanah atas hilang) seluas 20 508 ha, erosi berat (>75% tanah lapisan atas hilang) seluas 171ha dan sangat berat (semua lapisan tanah atas hilang) seluas 4 293 ha. Erosi yang terjadi berdampak pada menurunnya produktivitas lahan dan pendangkalan sungai. Erosi yang terjadi ditunjukkan dengan prediksi erosi pada areal model DAS mikro yang terdapat di Sub DAS Way Semah yaitu 62.49 ton ha-1 dimana penggunaan lahan terbesar di areal tersebut adalah kebun campuran dengan tanaman kakao sebagai komoditi utama (BPDAS Way Seputih Way Sekampung 2010).

Penggunaan lahan di Sub DAS Way Semah sebagian besar merupakan kebun campuran, yaitu seluas 13 706 ha (54.53%) yang sebagian besar berada di Kabupaten Pesawaran. Usaha tani yang dominan dilakukan petani di daerah ini adalah tanaman kakao.

Kakao merupakan salah satu komoditas unggulan Provinsi Lampung selain kopi, karena areal perkebunan kakao tersebar luas di seluruh kabupaten di Propinsi Lampung. Areal perkebunan kakao di Provinsi Lampung pada tahun 2009 seluas 39 576 ha (36 378 ha perkebunan rakyat dan 4 037 ha perkebunan swasta) dengan produksi mencapai 26 037 ton. Sebagian besar areal perkebunan kakao berada di DAS Way Sekampung yaitu seluas 22 322 ha atau 61.4% dari luas areal kakao di Provinsi Lampung dengan produksi mencapai 11 964 ton atau 46% dari produksi kakao provinsi.

Kakao juga merupakan salah satu komoditas yang menjadi penyumbang devisa yang cukup besar bagi Provinsi Lampung. Ekspor kakao Lampung ditujukan ke negara Malaysia, Singapura, dan Thailand. Ekspor kakao selama bulan Oktober 2012 mencapai 4 493 ton senilai 11 juta dolar AS, mengalami kenaikan bila dibandingkan dengan bulan sebelumnya, yakni sebesar 711 ton dan menghasilkan devisa senilai 1.6 juta dolar Amerika. Kabupaten Pesawaran sendiri pada bulan Oktober 2012 dicanangkan sebagai Bumi Kakao oleh Pemerintah Daerah setempat. Hal ini karena luasnya areal perkebunan kakao yang mencapai 15 146 ha atau 35% dari luas perkebunan di Kabupaten Pesawaran.

Data produksi kakao di Sub DAS Way Semah menunjukkan bahwa produktivitas tanaman kakao masih rendah yaitu 661 kg ha-1tahun-1 (Disbun Lampung, 2010) dengan pendapatan rata-rata petani Rp7 560 000 kk-1tahun-1. Harga komoditi kakao per kilogramnya masih rendah yaitu Rp21 000 untuk kakao kering dan Rp10 000 untuk kakao basah (Pemda Pesawaran 2010) dibandingkan harga kakao nasional pada tahun 2009 yang mencapai US$ 3,25 kg-1 atau kira-kira setara dengan Rp29 259 kg-1 pada nilai rupiah Rp9 000 US$-1.

Pada wilayah Sub DAS Way Semah juga terdapat hutan primer yaitu sebagian dari Gunung Pesawaran seluas 998 ha yang yang merupakan bagian dari Register 19 Gunung Betung atau sekarang bernama Taman Hutan Raya Wan Abdurrahman. Luasan hutan tersebut sudah berkurang karena adanya alih fungsi hutan menjadi kebun kakao (Disbunhut Pesawaran 2010). Pada tahun 2008, kerusakan akibat perambahan hutan mencapai 61% dari luas total hutan yang ada


(9)

di Provinsi Lampung. Lahan yang masih bervegetasi hutan sekitar 39% dari total luas Tahura sekitar 22 249 ha, sementara kebun campuran meliputi 55%, semak belukar 1% dan perladangan sekitar 5% (Dishut Lampung 2009).

Jumlah penduduk di Sub DAS Way Semah mencapai 145 606 jiwa dengan kepadatan penduduk 579 jiwa km-2 (BPDAS Way Seputih Way Sekampung, 2007). Sedangkan laju pertumbuhan penduduk mencapai 1.29% pada tahun 2010 lebih rendah dari laju pertumbuhan nasional sebesar 1.49% per tahun (Pemda Pesawaran 2010).

Perumusan masalah

Berdasarkan uraian di atas, masalah yang perlu dikaji dalam penelitian ini adalah : (1) Sistem usaha tani di Sub DAS Way Semah belum menerapkan teknik-teknik konservasi, sehingga memicu terjadinya prediksi erosi sebesar 62.49 ton ha-1 tahun-1 pada kebun campuran dengan komoditi utama kakao (BPDAS Way Seputih Way Sekampung 2010); (2) Produktivitas kakao masih rendah yaitu 661 kg ha-1tahun-1 sehingga menyebabkan pendapatan rata-rata petani dari usaha tani masih rendah yaitu Rp7 560 000 kk-1 tahun-1 (Disbun Lampung 2010); (3) Belum ada penataan pola usaha tani lahan kering berkelanjutan khususnya usaha tani kakao di Sub DAS Way Semah.

Kerangka Pemikiran

Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan peningkatan kebutuhan akan pangan sehingga tekanan terhadap lahan semakin meningkat pula. Hal ini memicu terjadinya perluasan lahan pertanian tanpa memandang kesesuaian lahan tersebut. Perluasan lahan pertanian memicu terjadinya alih fungsi hutan sehingga mengakibatkan degradasi lahan dan penurunan produktivitas hasil pertanian apabila tanpa memperhatikan konservasi tanah dan air. Permasalahan tersebut pada akhirnya bermuara pada terganggunya fungsi hidrologi suatu DAS. Oleh karena itu diperlukan suatu pemahaman tentang pola penggunaan lahan dan pemanfaatan sumber daya alam pertanian sehingga dapat tercapai sistem pertanian berkelanjutan. Permasalahan yang terjadi di lokasi penelitian berupa masalah ekologi dan sosial ekonomi, perlu diselesaikan secara bersama dengan konsep pengelolaan DAS berkelanjutan. Pengelolaan DAS berkelanjutan dimulai dengan melakukan evaluasi kemampuan lahan dan identifikasi satuan lahan dengan prediksi erosi lebih kecil daripada erosi yang ditoleransikan. Sistem pertanian berkelanjutan hanya akan tercapai apabila pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam saat ini masih menjamin kelangsungan pemanfaatan sumber daya alam bagi kepentingan generasi mendatang dengan syarat terpenuhinya 3 indikator yaitu (1) pendapatan petani yang tinggi dengan sistem pertanian yang cocok dan menguntungkan; (2) erosi yang terjadi harus lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan; dan (3) teknologi yang dianjurkan harus dapat diterima dan mudah diterapkan (applicable dan replicable) (Sinukaban 2007).

Penggunaan lahan dan sumberdaya alam yang dilakukan masyarakat pada dasarnya merupakan resultan dari berbagai faktor sosial, ekonomi, dan kondisi


(10)

sumber daya alam yang dihadapi (Ahsoni 2008). Secara umum terdapat 4 kelompok faktor yang memiliki pengaruh terhadap pola penggunaan lahan dan sumber daya alam, yaitu: (1) faktor lingkungan sosial ekonomi; (2) karakteristik rumah tangga petani; (3) teknologi; dan (4) faktor lingkungan biofisik yang dihadapkan pada petani.

Evaluasi penggunaan lahan dan kondisi sosial ekonomi dilakukan pada lokasi pengamatan intensif. Identifikasi data biofisik berupa penggunaan lahan dan data sosial ekonomi dilakukan dengan metode survey lapangan dan wawancara dengan masyarakat yang dipilih sebagai responden. Data penggunaan lahan kemudian dievaluasi kesesuaiannya dengan kelas kemampuan lahan. Apabila penggunaan lahan yang ada sudah sesuai maka diteruskan dengan evaluasi pola tanam, namun apabila belum sesuai, dibuat rekomendasi alternatif penggunaan lahan lain.

Evaluasi dilanjutkan pada pola tanam dan agroteknologi yang ada. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui jenis tanaman yang diusahakan, pola tanam yang digunakan dan agroteknologi yang sudah dilakukan oleh petani kakao setempat. Hasil evaluasi ini digunakan untuk memprediksi laju erosi yang terjadi dan erosi yang dapat ditoleransikan. Apabila laju erosi lebih besar dari laju erosi yang dapat ditoleransikan, maka direkomendasikan dilakukan perubahan agroteknologi dengan mengajukan beberapa alternatif sistem usaha tani. Alternatif yang diajukan adalah agroteknologi yang dikombinasikan dengan tindakan konservasi tanah yang sesuai dengan kondisi topografi lahan. Tujuannya adalah agroteknologi dapat diterapkan di daerah tersebut agar erosi yang tejadi dapat diperkecil atau lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan.

Analisis sosial ekonomi dilakukan terhadap pola tanam dan agroteknologi aktual untuk mengetahui pendapatan bersih yang bisa dihasilkan. Variabel yang diukur adalah penerimaan dan biaya usaha tani. Analisa usahatani ini dilakukan untuk mengetahui apakah pendapatan petani sudah memenuhi kriteria hidup layak atau belum. Apabila hasil analisa usaha tani menunjukkan bahwa nilai pendapatan bersih lebih kecil dari standar hidup layak maka disarankan melakukan peningkatan pendapatan petani dengan mencari penghasilan sampingan seperti beternak atau usaha lain sehingga standar hidup layak dapat tercapai dan kebutuhan hidup terpenuhi. Namun, apabila hasil analisa usaha tani terhadap alternatif agroteknologi menunjukkan bahwa nilai pendapatan bersih sudah melebihi standar hidup layak, maka perubahan pola tanam dan agroteknologi tersebut dapat direkomendasikan. Rekomendasi agroteknologi ini dituangkan dalam peta rekomendasi agroteknologi di Sub DAS Way Semah

Tujuan Penelitian

1. Mengidentifikasi karakteristik usaha tani kakao di Sub DAS Way Semah Provinsi Lampung.

2. Menyusun perencanaan usaha tani berkelanjutan berbasis kakao di Sub DAS Way Semah Provinsi Lampung.


(11)

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi :

1. Para pengguna lahan sebagai bahan masukan dalam mengelola lahannya terutama pemilik lahan dengan tanaman kakao.

2. Pemerintah Kabupaten Pesawaran dan instansi terkait dalam pengelolaan lahan di Sub DAS Way Semah Provinsi lampung.

Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran Pelaksanaan Penelitian

Tidak Ya

Tidak

Tidak

Sumber Pendapatan dari bidang lain : beternak

ayam, kambing, dll Analisis Sosial

Ekonomi Peta Kelas Lereng Peta Jenis Tanah Peta Penggunaan lahan

Overlay

Peta Satuan Unit Lahan

Survei Pendahuluan

Penentuan Lokasi Pengamatan Intensif

Survei Utama

Pengambilan Data Sekunder dan Data Sosial Ekonomi

Pengamatan, Pengukuran, dan Pengambilan Data Biofisik

Evaluasi Penggunaan Lahan

Sesuai Alternatif Penggunaan Lahan

Evaluasi Pola Tanam

Karakteristik Agroteknologi

Prediksi Erosi

A<ETol Perubahan Agroteknologi

Alternatif Agroteknologi

Pendapatan Bersih > Standar Hidup Layak

Rekomendasi Agroteknologi Kelas Kemampuan Lahan


(12)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Daerah Aliran Sungai

Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU Sumber Daya Air No. 7 Tahun 2004).

Berdasarkan pengertian yang tersebut di atas dapat disarikan bahwa DAS merupakan: (a) suatu wilayah yang dibatasi oleh topografis secara alami; (b) satu satuan wilayah tata air yang menampung dan menyimpan air hujan yang jatuh di atasnya kemudian mengalirkan melalui satu sungai utama sebagai titik pembuangan yang sama dan (c) sistem hidrologi yang terdiri dari masukan (curah hujan), proses (intersepsi, infiltrasi, perkolasi dan timbunan air permukaan) dan luaran (kualitas dan kuantitas aliran sungai) (Asdak 1995).

Ruang yang ada di dalam DAS dipengaruhi oleh aliran air, sehingga bila ada kegiatan di suatu tempat yang tidak sesuai akan berpengaruh terhadap daerah lain. Oleh karena itu suatu DAS perlu dikelola dengan baik karena di dalamnya terdapat saling ketergantungan (interdependensi) antara berbagai sektor.

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai adalah proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumberdaya alam dan manusia yang terdapat di daerah aliran sungai untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya air dan tanah (Asdak 1995).

Pengelolaan DAS juga merupakan suatu penggunaan sumber daya lahan secara rasional untuk mendapatkan produksi yang maksimal dalam kurun waktu yang tidak terbatas, dengan menekan bahaya kerusakan seminimal mungkin, sehingga menghasilkan distribusi air yang merata di semua wilayah DAS (Sinukaban 2007).

Suatu pengelolaan DAS yang baik mempunyai ciri-ciri yaitu (1) pendapatan dan produktifitas masyarakat di dalam DAS yang relatif tinggi; (2) Kuantitas dan kualitas air di dalam DAS berada dalam kondisi baik dan distribuasi merata; (3) erosi yang terjadi harus lebih kecil dari erosi yang ditoleransi yang ditandai dengan rendahnya sedimen; (4) DAS berada dalam kondisi lentur (resilient) yaitu apabila terjadi suatu persoalan di salah satu bagian DAS, tidak menjadi persoalan bagi bagian DAS yang lain; dan (5) agroteknologi yang diterapkan dapat diterima dan dikembangkan (applicable dan replicable) oleh petani dengan sumberdaya lokal yang ada (Sinukaban 2007).

Pengelolaan DAS dipandang sebagai suatu perencanaan dari : (1) aktivitas pengelolaan sumberdaya termasuk tataguna lahan, praktek pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya setempat, dan praktek pengelolaan sumberdaya di luar


(13)

daerah kegiatan; (2) alat implementasi untuk menempatkan usaha-usaha pengelolaan DAS seefektif mungkin melalui elemen-elemen masyarakat dan perseorangan; dan (3) pengaturan organisasi dan kelembagaan di wilayah program yang direncanakan (Asdak 1995).

Menurut Asdak (1995), sasaran umum yang ingin dicapai dalam pengelolaan DAS adalah (1) rehabilitasi lahan terlantar atau lahan yang masih produktif tetapi digarap dengan cara tidak menindahkan prinsip-prinsip konservasi tanah dan air; (2) perlindungan terhadap lahan-lahan yang umumnya sensitive terhadap terjadinya erosi dan atau tanah longsor atau lahan-lahan yang diperkirakan memerlukan tindakan rehabilitasi di kemudian hari; dan (3) peningkatan atau pengembangan sumber daya air, dengan cara manipulasi satu atau lebih komponen penyusun ekosistem DAS yang diharapkan mempunyai pengaruh terhadap proses-proses hidrologi atau kualitas air.

Evaluasi Kemampuan Lahan

Evaluasi lahan adalah proses penilaian potensi suatu lahan untuk penggunaan-pengunaan tertentu (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Sedangkan evaluasi kemampuan lahan adalah evaluasi potensi lahan bagi penggunaan berbagai sistem pertanian secara luas dan tidak membicarakan peruntukan jenis tanaman tertentu . Lahan dengan kemampuan tinggi diharapkan berpotensi tinggi dalam berbagai penggunaan (Sitorus 2004).

Klasifikasi kemampuan lahan merupakan penilaian lahan (komponen-komponen lahan) secara sistematik dan pengelompokkannya ke dalam beberapa kategori berdasarkan atas sifat-sifat yang merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaannya secara lestari (Arsyad 2010).

Sistem klasifikasi kemapuan lahan yang digunakan adalah sistem klasifikasi yang dikemukakan oleh Klingebiel dan Montgomery (1973) diacu dalam Arsyad (2010), dimana lahan dikelompokkan ke dalam tiga kategori utama, yaitu Kelas, Sub Kelas dan Satuan Kemampuan (capability units) atau satuan pengelolaan (management units). Dalam tingkat kelas, kemampuan lahan menunjukkan kesamaan besarnya faktor-faktor penghambat. Tanah dikelompokkan ke dalam kelas I sampai kelas VIII, dimana semakin tinggi kelasnya, kualitas lahannya semakin jelek. Hal ini berarti resiko kerusakan dan besarnya faktor penghambat bertambah dan pilihan penggunaan lahan yang dapat diterapkan semakin terbatas.

Kelas I

Lahan kelas I sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian tanpa memerlukan tindakan pengawetan tanah yang khusus. Lahan kelas I mempunyai sedikit hambatan yang membatasi penggunaannya. Tanah-tanah dalam kelas kemampuan I mempunyai sifat : topografi datar (kemiringan lereng ≤ 3%), kepekaan erosi rendah, drainase baik, kedalaman efektif yang dalam, mudah diolah, subur atau responsive terhadap pemupukan, tidak terancam banjir dan iklim yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman umumnya.


(14)

Kelas Kemampuan

Lahan

Intensitas dan macam penggunaan lahan meningkat

Cagar alam Hutan

Penggembalaan Pertanian

terbatas sedang intensif terbatas sedang Intensif Sangat intensif

Hambatan meningkat dan pilihan pengguna an lahan berkurang

I II III IV V VI VII VIII

Gambar 2.1 Skema hubungan antara Kelas Kemampuan Lahan dengan intensitas dan macam penggunaan lahan.

Kelas II

Lahan kelas II mempunyai beberapa penghambat yang dapat mengurangi pilihan jenis tanaman yang diusahakan atau memerlukan usaha pengawetan tanah yang sedang, seperti pengolahan menurut kontur, pupuk hijau, pembuatan guludan, disamping tindakan-tindakan pemupukan. Salah satu faktor penghambat adalah lereng yang melandai (gentle slope) atau berombak (> 3% sampai 8%)

Kelas III

Lahan kelas III mempunyai penghambat yang agak berat yang membatasi pilihan tanaman yang diusahakan dan memerlukan pengelolaan yang hati-hati. Faktor penghambat lereng yang agak curam atau bergelombang (>8 sampai 15%). Tindakan pengawetan tanah yang diperlukan antara lain pembuatan guludan bersaluran, penggunaan mulsa, penanaman dalam strip, pembuatan teras, dan pergiliran tanaman.

Kelas IV

Lahan kelas IV mempunyai penghambat yang berat yang membatasi pilihan tanaman yang diusahakan dan memerlukan pengelolaan yang hati-hati. Pada lahan berlereng curam atau berbukit (>15 sampai 30%), bila digunakan untuk tanaman semusim memerlukan pembuatan teras atau pergiliran tanaman penutup tanah. Untuk tanah berdrainase buruk, diperlukan saluran-saluran drainase.

Kelas V

Lahan kelas V mempunyai sedikit atau tanpa bahaya erosi, tetapi mempunyai penghambat lain yang praktis sukar dihilangkan, sehingga dapat membatasi penggunaan lahan ini. Tanah-tanah pada kelas ini terletak pada topografi datar tetapi tergenang, selalu dilanda banjir atau berbatu-batu. Lahan kelas ini hanya cocok untuk tanaman rumput ternak secara permanen atau dihutankan.


(15)

Kelas VI

Lahan kelas VI mempunyai penghambat yang sangat berat sehingga tidak sesuai untuk pertanian dan hanya sesuai untuk tanaman rumput ternak atau dihutankan. Bila dihutankan penebangan kayu harus selektif. Dan bila digubakan untuk tanaman semusim, harus dibuat teras bangku. Namun lahan kelas ini mempunyai faktor penghambat yang sulit diperbaiki, diantaranya adalah lereng yang sangat curam (>30 sampai 45%) sehingga dikhawatirkan terjadi erosi yang sangat berat.

Kelas VII

Lahan kelas VII sama sekali tidak sesuai untuk lahan pertanian semusim dan hanya sesuai untuk padang penggembalaan atau dihutankan. Salah satu faktor penghambat adalah lereng yang sangat terjal (>45 sampai 65%) dan tanah dangkal berbatu. Jika digunakan untuk tanaman pertanian, harus dibuat teras bangku dengan konservasi vegetatif dan tindakan pemupukan.

Kelas VIII

Lahan kelas VIII tidak sesuai untuk produksi pertanian dan harus dibiarkan dalam keadaan alami atau dibawah vegetasi hutan. Lahan ini dapat dicadangkan untuk cagar alam atau hutan lindung.

Erosi dan Prediksi Erosi

Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian-bagain tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami. Erosi menyebabkan hilangnya lapisan tanah yang subur dan baik untuk pertumbuhan tanaman, serta berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air (Arsyad 2010).

Untuk memperkirakan laju erosi yang akan terjadi pada sebidang tanah dalam suatu penggunaan lahan dan pengelolaan tertentu dilakukan prediksi erosi pada lahan tersebut. Jika erosi yang akan terjadi dapat diperkirakan dan erosi yang masih dapat dibiarkan dapat ditetapkan, maka kebijaksanaan penggunaan dan tindakan konservasi yang diperlukan sudah bisa ditentukan.

Metode prediksi erosi yang digunakan adalah persamaan USLE atau the Universal Soil Loss Equation yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978) yaitu :

A = R.K.L.S.C.P

dimana : A = banyaknya tanah tererosi dalam ton-1ha-1tahun-1 (laju erosi); R = faktor erosivitas hujan; K = faktor erodibilitas tanah; L = faktor panjang lereng; S = faktor kemiringan lereng, C = faktor pengelolaan tanaman; dan P = faktor teknik konservasi.

Erosi yang Ditoleransikan

Menurut Arsyad (2010), erosi yang masih dapat dibaiarkan atau erosi yang ditoleransikan (permissible atau tolerable erosion) adalah laju erosi yang terbesar


(16)

atau masih dapat dapat dibiarkan atau ditoleransikan agar terpelihara suatu kedalaman yang cukup bagi pertumbuhan tanaman sehingga memungkinkan tercapainya produktivitas yang tinggi secara lestari. Erosi yang ditoleransikan dinyatakan dalam mm tahun-1 atau ton ha-1 tahun-1.

Wischmeier dan Smith (1978) dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) mengemukakan bahwa dalam menentukan erosi yang ditoleransikan harus mempertimbangkan ketebalan lapisan tanah atas; sifat fisik tanah; pencegahan terjadinya erosi; penurunan kandungan bahan organik; dan kehilangan zat hara tanaman. Hammer (1981) dalam Arsyad (2010) menetapkan laju erosi yang ditoleransikan dengan mempertimbangkan umur guna tanah, kedalaman ekivalen ditambah laju pembentukan tanah atau kecepatan pembentukan tanah.

Kecepatan pembentukan tanah di Indonesia beragam, tergantung dari jenis batuan (bahan) induk dan faktor-faktor pembentuk tanah lainnya. Kecepatan pembentukan tanah di daerah tropika basah diperkirakan dua kali lebih besar daripada daerah beriklim sedang (Arsyad 2010). Hardjowigeno (1992) mengemukakan bahwa tanah-tanah yang berasal dari abu vulkanik gunung Krakatau di Pulau Rakata, kecepatan pembentukan tanahnya mencapai 2,5 mm tahun-1. Bila 2,5mm tahun-1 dianggap sebagai kecepatan tertinggi pembentukan tanah di Indonesia, maka rata-rata proses pembentukan tanah di Indonesia mencapai 1 mm tahun-1.

Usahatani Kakao

Kakao ( Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditi andalan nasional Indonesia, sumber pendapatan para petani kako, dan sumber devisa bagi negara. Kakao Indonesia mengalami perkembangan yang pesat dari tahun 1990 sampai 2002 yang mencapai luas 776 900 ha dengan produksi mencapai 433 411 ton. Dari luasan yang ada, 72,07 % dari total perkebunan kakao adalah milik rakyat (Puslit Kopi dan Kakao Indonesia 2006). Bahkan pada tahun 2000 perkebunan rakyat memiliki jumlah area terbesar yaitu 86% dari total area perkebunan kakao di Indonesia.

Pada Tahun 2009, lahan kakao di Indonesia bertambah luas menjadi 1 592 983 ha dengan produksi mencapai 849 876 ton. Dari luas tersebut, perkebunan rakyat memiliki jumlah area terbesar, yaitu 92.07% (1 479 753 ha) dengan produksi mencapai 773 858 ton (Puslit Kopi dan Kakao Indonesia 2010). Pada tahun yang sama luas areal perkebunan kakao di Provinsi Lampung mencapai 39 576 ha atau 2.5% dari luas kakao nasional, dengan produksi 26 037 ton atau 3.4% dari produksi nasional. Sentra produksi Kakao berada di Kabupaten

Tanggamus, Pesawaran, Lampung Tengah, dan Lampung Timur (Dishutbun Provinsi Lampung 2010). Kabupaten Tanggamus, Pesawaran, dan Lampung

Tengah termasuk ke dalam wilayah DAS Way Sekampung (BPDAS Way Seputih Way Sekampung 2007).

Berdasarkan data dari Dinas Perkebunan Provinsi Lampung (2010), pada Tahun 2009 volume ekspor komoditas perkebunan mencapai 4 643 393.68 ton dengan nilai 4.080.552.124 US $ dan khusus Kakao mencapai 96 979.65 ton atau 2.08 % dengan nilai 228 546 507 US $ atau 5.60 %.


(17)

Kakao dapat berproduksi tinggi bila diusahakan pada lingkungan yang sesuai. Faktor lahan sangat berpengaruh terhadap tingkat produktivitas kakao. Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produktivitas kakao adalah iklim dan tanah. Pertumbuhan dan produksi kakao banyak ditentukan oleh ketersediaan air sehingga kakao dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di tempat dengan cuah hujan yang relatif sedikit tetapi merata sepanjang tahun (Puslit Kopi dan Kakao Indonesia 2006).

Pertumbuhan kakao juga dipengaruhi oleh adanya pohon pelindung. Keberadaan pohon pelindung ini dapat mengurangi sinar matahari, suhu udara, dan kecepatan angin. Tanaman kakao akan tumbuh baik bila selama sehari hanya mendapatkan 2 jam penyinaran langsung (Roesmanto 1991).

Pertanian Berkelanjutan

Pertanian berkelanjutan adalah pertanian yang dirancang secara sistematis menggunakan akal sehat dan usaha keras berkesinambungan, sehingga produktif secara terus menerus. Di samping itu, pertanian berkelanjutan juga harus menghasilkan produksi yang luas sehingga dapat menyediakan bahan baku agroindustri dan produk-produk eksport secara luas dan lestari (Sinukaban 2010). Pertanian berkelanjutan mempunyai cirri-ciri antara lain : berwawasan ekologis (erosi aktual < erosi yang dapat ditoleransi), teknologi yang dipakai bersifat applicable dan replicable, dan bisa berlanjut secara ekonomi (Sinukaban 2010). Produksi pertanian dapat dipertahankan secara berkesinambungan apabila erosi yang terjadi lebih kecil daripada erosi yang dapat ditoleransi. Hal ini dapat dicapai apabila pengelolaan lahan pertanian bertumpu pada kaidah-kaidah konservasi tanah dan air. Oleh karena itu dibutuhkan teknologi yang mudah diterima dan diterapkan oleh masyarakat setempat sehingga dapat menghasilkan produksi pertanian yang berkesinambungan dalam jangka waktu yang lama dengan tidak merusak sumberdaya alam yang ada (lestari).

Standar Hidup Layak

Standar kebutuhan hidup layak ditentukan berdasarkan kebutuhan beras per kapita per tahun disesuaikan dengan harga beras yang berlaku di suatu daerah. Nilai ambang kecukupan untuk tingkat pengeluaran rumah tangga di pedesaan berkisar antara 240 sampai 320 kg orang-1tahun-1 dan di perkotaan berkisar antara 360 sampai 480 kg orang-1tahun-1 (Sajogyo et al. 1990). Hal ini merupakan dasar penetapan kebutuhan fisik minimum.

Menurut Sinukaban (2007) kebutuhan hidup layak merupakan kebutuhan fisik minimum (KFM) ditambah kebutuhan hidup tambahan. Kebutuhan fisik minimum per KK adalah setara dengan 400 kg beras per kapita per tahun untuk pangan, pakaian, dan rumah. Sehingga besarnya kebutuhan hidup layak adalah 250% dari kebutuhan fisik minimum. Sedangkan kebutuhan hidup tambahan yaitu kebutuhan akan pendidikan dan kegiatan sosial (50% KFM), kesehatan dan rekreasi (50% KFM), serta kebutuhan asuransi dan tabungan (50% KFM).


(18)

3 METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2012 sampai dengan Maret 2013 di Sub DAS Way Semah seluas 25 135 ha. Pengambilan sampel difokuskan pada lokasi penelitian intensif seluas 9 720 ha yang secara administratif terletak di Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung.

Gambar 3.1 Lokasi Penelitian

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer yang digunakan berupa data fisik dan data sosial ekonomi hasil pengumpulan data di lapangan. Data fisik merupakan data hasil analisa sampel tanah untuk menentukan nilai K yang meliputi data struktur tanah, tekstur tanah, bahan organik, dan permeabilitas tanah. Sedangkan data sekunder meliputi data curah hujan untuk menentukan nilai R, serta data-data pendukung lainnya seperti data kependudukan, luas dan produktivitas kakao, serta data lainnya yang diperoleh dari instansi terkait di Provinsi Lampung. Untuk menentukan lokasi pengamatan intensif digunakan peta penggunaan lahan yang bersumber dari Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1 : 50 000, peta kelas lereng skala 1 : 100 000, dan peta jenis tanah yang bersumber dari Bakosurtanal skala 1 : 250 000. Alat-alat yang digunakan antara lain GPS (Global Positioning System ) untuk menentukan titik koordinat pengambilan sampel, meteran rol untuk mengukur panjang lereng, ring sampel dan plastik untuk pengambilan sampel tanah, dan alat tulis serta alat dokumentasi.


(19)

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode survey yang dilakukan dalam tiga tahap, yaitu: (1) persiapan yang meliputi pengumpulan data sekunder yang diperlukan, pembuatan peta satuan lahan yang homogen untuk menentukan lokasi penelitian intensif dengan mengoverlay peta penggunaan lahan (Lampiran 1), peta kelas lereng (Lampiran 2), dan peta jenis tanah (Lampiran 3); (2) survey lapangan dan pengumpulan data biofisik dan sosial ekonomi pada lokasi penelitian intensif; (3) analisis data dan penyajian hasil penelitian.

Persiapan

Persiapan yang dilakukan adalah studi literatur, pengumpulan data-data yang sudah ada dari sumber-sumber yang relevan, dan hasil-hasil penelitian terdahulu. Persiapan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui secara mendalam kondisi umum daerah penelitian dan langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk memulai penelitian. Penentuan lokasi pengamatan dilakukan dengan penentuan peta satuan unit lahan sebagai peta kerja. Peta satuan lahan merupakan hasil overlay antara peta tanah, peta kelas lereng, dan peta penggunaan lahan di Sub DAS Way Semah. Berdasarkan peta satuan lahan ini ditentukan lokasi pengamatan intensif yang mewakili keadaan satuan lahan dominan pada seluruh Sub DAS Way Semah.

Survei Lapangan dan Pengumpulan Data

Survei lapangan dilakukan dengan mengamati kondisi lokasi intensif dan melakukan pengumpulan data biofisik dan data sosial ekonomi. Pengambilan data biofisik dilakukan dengan cara :

- Pengambilan sampel tanah untuk dianalisis sifat-sifat fisiknya, yaitu tekstur tanah, struktur tanah, bahan organik, dan permeabilitas tanah. Data tersebut digunakan untuk memperoleh nilai M dalam mencari nilai Erodibilitas tanah (K).

- Pengukuran panjang dan kemiringan lereng untuk menentukan nilai LS

- Penggunaan lahan eksisting dan metode konservasi tanah untuk menentukan nilai CP.

- Kedalaman tanah efektif dan bobot isi tanah untuk menentukan erosi yang dapat ditoleransi.

- Pengamatan drainase, erosi aktual, ancaman banjir, dan kondisi batuan untuk menentukan kelas kemampuan lahan.

Pengumpulan data sosial ekonomi dilakukan dengan cara wawancara terhadap responden di daerah penelitian. Responden yang dipilih sebanyak 150 orang petani yang ditemui pada saat melakukan survey di lokasi penelitian dan kelompok tani yang merupakan binaan dari dinas kehutanan setempat. Adapun data yang dikumpulkan meliputi : (a) kependudukan dan karakteristik keluarga petani : jenis pekerjaan, jumlah anggota keluarga, luas kepemilikan lahan, luas tanah garapan (b) pendapatan riil dan komponen biaya produksi untuk keperluan analisa usahatani; (c) pemahaman tentang konservasi tanah dan pengalaman dalam usahatani.


(20)

Analisa Data

Analisa data yang dilakukan meliputi analisa biofisik dan sosial ekonomi. Analisa data biofisik meliputi evaluasi kemampuan lahan, karakteristik lahan, karakakterirtik usaha tani, prediksi erosi, erosi yang dapat ditoleransikan (ETol) dan perencanaan penggunaan lahan alternatif. Sedangkan analisa sosial ekonomi meliputi analisa usaha tani dan standar hidup layak. Selanjutnya berdasarkan hasil analisa tersebut disusun perencanaan usaha tani berbasis kakao dengan agroteknologi yang mudah diterima dan diterapkan oleh petani. Agroteknologi yang direkomendasikan adalah agroteknologi dengan prediksi erosi di bawah erosi yang dapat ditoleransi (ETol) dan pendapatan usaha tani berbasis kakao di atas standar kebutuhan hidup layak (KHL). Rekomendasi agroteknologi tersebut kemudian diekstrapolasi ke seluruh wilayah Sub DAS Way Semah.

Evaluasi Kemampuan Lahan

Klasifikasi kemampuan lahan dilakukan menurut USDA yang dikemukakan oleh Klingebiel dan Montgomery (1973) dan dimodifikasi oleh Arsyad (2010). Faktor-faktor penghambat dalam penentuan kelas kemampuan lahan adalah : lereng permukaan, kepekaan erosi, tingkat erosi, kedalaman tanah, tekstur, permeabilitas, drainase, batuan, ancaman banjir dan salinitas.

Tabel 3.1 Kriteria Klasifikasi Kemampuan Lahan (Arsyad 2010)

No Faktor Penghambat I II Kelas Kemampuan Lahan III IV V VI VII VIII

1. Lereng permukaan (l) l0 l1 l2 l3 l0 l4 l5 l6 2. Kepekaan erosi (KE) 1-2 3 4-5 6 (*) (*) (*) (*)

3. Tingkat erosi (e) 0 1 2 3 (**) 4 5 (*)

4. Kedalaman tanah (k) 0 1 2 3 (*) 3 (*) (*)

5. Tekstur lapisan atas (t) 1-3 1-3 1-4 1-4 (*) 1-4 1-4 5

6. Tekstur lapisan bawah (t) 1-3 1-3 1-4 1-4 (*) 1-4 1-4 5

7. Permeabilitas (p) 2-3 2-3 2-4 2-4 1 (*) (*) 5

8. Drainase (d) 1 2 3 4 5 (**) (**) 0

9. Kerikil/batuan (b) 0 0 1 2 3 (*) (*) 4

10. Ancaman banjir (0) 0 1 2 3 4 (**) (**) (*)

11. Garam/Salinitas (g) (***) 0 1 2 3 (**) 3 (*) (*) (*) Dapat mempunyai sebaran sifat faktor penghambat

(**) Tidak berlaku

(***) Umumnya terdapat di daerah beriklim kering

Analisa Usahatani

Pada analisa usaha tani perlu diketahui mengenai penerimaan, biaya dan pendapatan. Analisa terhadap ketiga variabel ini dilakukan dengan menggunakan analisa anggaran arus uang tunai (cash flow analyze) (Soekartawi 2002). Variabel-variabel yang dianalisa meliputi : penerimaan usahatani, biaya usahatani, dan pendapatan usahatani.

Penerimaan Usahatani

Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual.


(21)

TRi = Yi . Pyi

dimana : TRi : Total penerimaan ke-i (Rp); Yi : Produksi yang diperoleh

dalam suatu usahatani ke-i; Pyi : Harga komoditas ke-i (Rp)

Biaya Usahatani

Biaya usahatani merupakan biaya semua biaya baik masukan maupun keluaran yang dipakai dalam satu musim tanam selama proses produksi berlangsung.

TC = Σ Xi . Pxi

dimana : TC : Biaya tetap (fixed cost); Xi : Jumlah fisik dari input yang membentuk biaya tetap; PXi : Harga input ke-i; i : macam komoditas yang dikembangkan dalam suatu usahatani.

Pendapatan Usahatani

Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya. Pd = TR - TC

dimana : Pd: Pendapatan usahatani; TR : Total penerimaan; TC : Total biaya

Standar Kebutuhan Hidup Layak

Standar kebutuhan hidup layak ditentukan berdasarkan kebutuhan beras per kapita per tahun disesuaikan dengan harga beras yang berlaku di suatu daerah. Nilai ambang kecukupan untuk tingkat pengeluaran rumah tangga di pedesaan berkisar antara 240 sampai 320 kg orang-1tahun-1 dan di perkotaan berkisar antara 360 sampai 480 kg orang-1tahun-1 (Sajogyo et al. 1990). Hal ini merupakan dasar penetapan kebutuhan fisik minimum.

Menurut Sinukaban (2007) kebutuhan hidup layak merupakan kebutuhan fisik minimum ditambah kebutuhan akan pendidikan, kesehatan, asuransi, dan tabungan. Kebutuhan fisik minimum per kk adalah setara dengan 400 kg beras per kapita per tahun untuk pangan, pakaian, dan rumah. Sehingga besarnya kebutuhan hidup layak adalah 250% dari kebutuhan fisik minimum. Jika setiap rumah tangga terdiri dari 5 orang dan harga beras adalah Rp6 000 kg-1. Maka kebutuhan hidup layak (KHL) adalah 400 x 5 orang kk-1 x Rp6 000 x 2.5 = Rp30 000 000 kk-1 tahun-1. Agar petani bisa dikatakan hidup layak dan usahatani dapat berlangsung terus, maka pendapatan bersih yang diperoleh harus lebih besar dari Rp30 000 000 tahun-1.

Prediksi erosi

Prediksi erosi pada sebidang tanah adalah metode untuk memperkirakan laju erosi yang akan terjadi dari tanah yang digunakan dalam suatu penggunaan lahan dan pengelolaan tertentu (Arsyad 2010). Metode prediksi erosi yang digunakan adalah persamaan USLE ( the Universal Soil Loss Equation) yaitu :

A = R.K.L.S.C.P

dimana : A = banyaknya tanah tererosi dalam ton-1ha-1tahun-1 (laju erosi); R = faktor erosivitas hujan; K = faktor erodibilitas tanah; L = faktor panjang lereng; S = faktor kemiringan lereng, C = faktor pengelolaan tanaman; dan P = faktor teknik konservasi.


(22)

Faktor Erosivitas Hujan (R)

Nilai R merupakan daya perusak hujan atau erosivitas hujan tahunan yang dihitung berdasarkan data curah hujan bulanan, jumlah hari hujan dalam satu bulan, dan jumlah hujan maksimum dalam satu hari. Hal ini didasarkan pada persamaan Bols (1978) :

EI30 = 6.119 (RAIN)1.21 (DAYS)-0.47 (MAXP)0.53

dimana : EI30 adalah indeks erosi hujan bulanan, RAIN adalah curah hujan

rata-rata bulanan dalam cm, DAYS adalah jumlah hari hujan rata-rata-rata-rata perbulan, dan MAXP adalah curah hujan maksimum selama 24 jam dalam bulan bersangkutan dalam cm. EI30 tahunan adalah jumlah EI30 bulanan.

Faktor Erodibilitas (K)

Nilai K dihitung dengan menggunakan persamaan Wischmeir dan Smith (1978) dalam Arsyad (2010) yaitu :

100 K = 1.292 [2.1 M1.14 (10-4) (12-a) + 3.25 (b-2) + 2.5 (c-3)]

dimana : M adalah persentase pasir sangat halus dan debu x 100% liat, a adalah persentase bahan organik, b adalah kode struktur tanah yang digunakan dalam klasifikasi tanah, dan c adalah kelas permeabilitas profil tanah.

Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng (LS)

Nilai faktor panjang lereng (L) dan faktor kecuraman lereng (S) dapat dihitung sekaligus sebagai nilai faktor LS. LS adalah rasio antara besarnya erosi dari sebidang tanah dengan panjang lereng dan kecuraman tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah yang identik terletak pada lereng dengan panjang lereng 22 meter dan kecuraman 9%. Nilai LS dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :

LS = √ X (0.0138 + 0.0095s + 0.00138s²)

dimana : X adalah panjang lereng (m) dan s adalah kecuraman lereng (%) Faktor Pengelolaan Tanaman (C)

Nilai Faktor C adalah nisbah antara besarnya erosi dari tanah yang bertanaman dengan pengelolaan tertentu terhadap besarnya erosi tanah yang tidak ditanami dan diolah bersih. Nilai faktor C ditentukan dengan melihat jenis tanaman dan pola tanam yang dilakukan di lapangan, kemudian dikonversi dengan nilai faktor C berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang telah baku digunakan (Lampiran 7).

Faktor Pengelolaan Tanah (P)

Faktor P adalah nisbah besarnya erosi dari tanah dengan suatu tindakan konservasi tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah yang diolah menurut arah lereng. Tindakan yang termasuk dalam konservasi tanah adalah penanaman dalam strip, pengolahan tanah menurut kontur, guludan dan teras. Nilai faktor P ditentukan dengan melihat tindakan konservasi yang dilakukan di lapangan, kemudian dikonversi dengan nilai faktor P berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang telah baku digunakan (Lampiran 8).


(23)

Erosi yang masih dapat ditoleransi (ETol)

Penetapan batas tertinggi laju erosi yang masih dapat ditoleransikan adalah perlu, karena tidak mungkin menekan laju erosi menjadi nol dari tanah-tanah yang diusahakan untuk pertanian, terutama pada tanah-tanah yang berlereng. Erosi yang dapat ditoleransikan adalah laju erosi yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan agar terpelihara suatu kedalaman tanah yang cukup bagi pertumbuhan tanaman sehingga memungkinkan tercapainya produktivitas yang tinggi secara lestari (Arsyad 2010).

Penentuan nilai erosi yang dapat ditoleransikan menggunakan metode Hammer (1981). Dalam menetapkan nilai tersebut digunakan konsep kedalaman ekivalen (equivalent depth) dan umur guna tanah (resources life).

ETol = −

+

dimana, ETol = laju erosi yang masih dapat ditoleransikan (mm tahun-1), DE = kedalaman ekivalen yaitu hasil kali nilai kedalaman efektif dengan nilai faktor kedalaman (mm); Dmin = kedalaman tanah minimum yang masih memungkinkan tanaman yang akan ditanam dapat berproduksi (mm); UGT = Umur Guna Tanah; LPT = Rata-rata Laju Pembentukan Tanah di Indonesia. Perencanaan Penggunaan Lahan Alternatif

Perencanaan penggunaan lahan ditentukan untuk setiap satuan lahan dengan menggunakan dasar nilai CP (faktor tanaman dan pengelolaan tanah) maksimum yang dapat diterapkan untuk berbagai jenis pengelolaan lahan melalui simulasi agroteknologi. Simulasi agroteknologi ini dirancang untuk mendapatkan hasil prediksi erosi yang lebih kecil atau sama dengan erosi yang ditoleransikan, serta menentukan kombinasi tanaman yang bisa memberikan penghasilan yang lebih besar dari standar kebutuhan hidup layak.

Kriteria untuk menetapkan CP maksimum yang akan direkomendasikan dengan pendekatan sebagai berikut :

A ≤ ETol RKLSCP ≤ ETol CP maksimum ≤

CP rekomendasi ≤ CP maksimum

Selanjutnya ditentukan nilai CP untuk setiap jenis penggunaan lahan dan unit kemampuan lahan, dimana nilai R, K, dan LS pada setiap satuan lahan dianggap konstan, maka besarnya prediksi erosi selanjutnya sebanding dengan nilai CP yang telah dipilih selama simulasi. Jika nilai CP yang diperoleh telah maksimal tetapi belum memenuhi syarat untuk standar KHL, maka harus ada penyempurnaan usahatani, seperti usaha ternak atau usaha lainnya seperti pemupukan, sehingga diperoleh penghasilan yang melebihi standar hidup layak dan kebutuhan hidup petani dapat tercukupi.

Tahap akhir dari analisa adalah memberikan rekomendasi untuk pengelolaan penggunaan lahan dengan agroteknologi yang sesuai dengan karakteristik lahan yang ada dan dapat diterima oleh masyarakat setempat untuk seluruh Sub DAS Way Semah.


(24)

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Umum Letak Geografis

Sub DAS Way Semah merupakan salah satu sub DAS yang terletak di dalam DAS Way Sekampung Provinsi Lampung dengan luas 25 134.94 ha. Secara administratif, sebagian besar Sub DAS Way Semah berada di dalam wilayah Kabupaten Pesawaran, yaitu Kecamatan Gedung Tataan, Negeri Katon, Tegineneng dan Way Lima, sebagian lagi berada di wilayah Kabupaten Pringsewu tepatnya di Kecamatan Gading Rejo dan wilayah Kota Bandar Lampung yaitu Kecamatan Kemiling dan Rajabasa. Sub DAS Way Semah secara geografis terletak antara 05’10”00 sampai 05’30”00 Lintang Selatan dan 105’00”00 sampai 105’15” Bujur Timur. Sub DAS Way Semah berbatasan dengan Kabupaten Lampung Selatan di sebelah Utara, di sebelah Selatan dengan Kabupaten Pesawaran di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Pringsewu, dan Kota Bandar Lampung di sebelah Timur.

Iklim

Iklim Sub DAS Way Semah termasuk ke dalam klasifikasi Schmidt dan Ferguson tipe B (basah) dengan suhu harian rata-rata berkisar antara 27 sampai 30 °C. Curah hujan rata-rata yang terjadi di Sub DAS Way Semah cukup rendah yaitu sebesar 151.5 mm bulan-1 dengan rata-rata jumlah hari hujan 12 hari bulan-1. Kelembaban nisbi berkisar antara 75 sampai 80% (BPS Kabupaten Pesawaran 2012).

Hidrologi

Hasil identifikasi terhadap karakteristik Sub DAS Way Semah (BPDAS Way Seputih Way Sekampung 2010) menunjukkan bahwa debit rata-rata bulanan sungai Way Semah sebesar 58.89 m³ detik-1. Debit maksimum terjadi pada bulan Januari yaitu sebesar 624.19 m³ detik-1 dan debit minimum pada bulan Agustus sebesar 1.00 m³ detik-1.

Penduduk

Secara administratif, Sub DAS Way Semah terdiri dari 8 kecamatan dengan jumlah penduduk mencapai 147 484 jiwa dengan kepadatan penduduk mencapai 586 jiwa km-2.

Sebagian besar penduduk di lokasi penelitian intensif mempunyai mata pencaharian di bidang pertanian. Hal ini berkaitan dengan luasnya wilayah agraris yaitu 11 817 ha dengan jumlah KK bermata pencaharian sebagai petani sebanyak 15 615 kk (BPS Kabupaten Pesawaran 2012). Namun demikian, luas kepemilikan lahan pada lokasi penelitian intensif sangat rendah yaitu berkisar antara 0.5 sampai 1 ha.


(25)

Tabel 4.1 Jumlah Penduduk di Sub DAS Way Semah

Kecamatan Jumlah Penduduk (Jiwa) Luas Wilayah (ha)

Gading Rejo 12 866 1 591.10

Gedong Tataan 86 991 9 706.00

Kemiling 34 466 1 319.05

Natar 11 373 2 251.24

Negeri Katon 31 419 7 760.01

Rajabasa 22 0.66

Tegineneng 5 910 1 753.88

Way Lima 2 245 753

Jumlah 185 291 25 135

Sumber : BPS Provinsi Lampung (2012)

Biofisik Topografi

Topografi di Sub DAS Way Semah bervariasi dari datar sampai dengan sangat curam. Kelas kelerengan Sub DAS Way Semah dibagi ke dalam lima kelas yaitu kelas lereng I (0 sampai 8%), kelas lereng II (8 sampai 15%), kelas lereng III (15 sampai 25%), kelas lereng IV (25 sampai 40%), dan kelas V (>40%). Sebagian besar wilayah Sub DAS Way Semah berada pada kondisi datar atau kelas lereng I (0 sampai 8%) seluas 16 182.09 ha (64,38%). Lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 4.2

Tabel 4.2 Kelas Lereng pada Sub DAS Way Semah

No Kelas Lereng Luas (ha) %

1 0 – 8 % 16 182 64.38

2 8 – 15 % 5 055 20.11

3 15 – 25 % 1 735 6.90

4 25 – 40 % 1 347 5.36

5 >40% 815 3.24

Jumlah 25 135 100

Sumber : Diolah dari Peta Rupa Bumi Indonesia (2007) Tanah

Jenis tanah yang terdapat di Sub DAS Way Semah dikelompokkan ke dalam 4 jenis tanah yaitu Dystropepts, Humitropepts, Tropudults, dan Paleudults. Tanah di Sub DAS Way Semah didominasi oleh jenis Dystropepts yaitu seluas 15 887.35 ha atau 63.21%. Sedangkan jenis Paleudults hanya 0.66% dari luas sub DAS (166 ha) seperti yang terlihat pada Tabel 4.3 berikut.


(26)

Tabel 4.3 Jenis Tanah di Sub DAS Way Semah

No. Jenis Tanah Luas (ha) %

1 Dystropepts 15 887 63.21

2 Humitropepts 4 293 17.08

3 Tropudults 4 788 19.05

4 Paleudults 166 0.66

Jumlah 25 135 100

Sumber : BPDAS Way Seputih Way Sekampung (2007)

Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan di Sub DAS Way Semah dikelompokkan ke dalam 5 jenis penggunaan lahan, yaitu hutan primer, kebun campuran, perkebunan, permukiman, dan sawah. Jenis penggunaan lahan terbesar adalah kebun campuran yaitu 13.706 ha atau 54.53 % dari luas Sub DAS Way Semah. Sedangkan jenis penggunaan lahan terkecil adalah hutan primer yaitu 998 ha (3,97%). Hutan primer ini merupakan bagian dari Register 19 Gunung Betung yang sebagian lagi termasuk ke dalam wilayah Kota Bandar Lampung. Secara lebih lengkap, jenis-jenis penggunaan lahan di Sub DAS Way Semah dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Penggunaan Lahan di Sub DAS Way Semah

No. Penggunaan Lahan Luas (Hektar) %

1 Hutan Primer 998 3.97

2 Kebun Campuran 13 706 54.53

3 Perkebunan 6 732 26.78

4 Areal Penggunaan Lain 1 179 4.69

5 Sawah 2 519 10.02

Jumlah 25 135 100


(27)

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Karakteristik Lahan Sub DAS Way Semah

Berdasarkan hasil identifikasi, penggunaan lahan pada Sub DAS Way Semah dikelompokkan menjadi lima jenis penggunaan lahan yaitu Hutan Primer (998 ha), Kebun Campuran (13 706 ha), Perkebunan (6 731 ha), areal penggunaan lain (1 179 ha) dan Sawah (2 519 ha). Dari kelima jenis penggunaan lahan tersebut, kebun campuran merupakan yang terluas, mencapai 54.53% dari luas Sub DAS Way Semah yaitu 25 135 ha. Topografi Sub DAS Way Semah dikelompokkan ke dalam lima kelas yaitu kelas lereng I (0 sampai 8%) seluas 16 182.10 ha, kelas lereng II (8 sampai 15%) seluas 5 055 ha, kelas lereng III (15 sampai 25%) seluas 1 735 ha, kelas lereng IV (25 sampai 40%) seluas 1 347 ha , dan kelas V (>40%) dengan luas 815 ha. Sebagian besar wilayah Sub DAS Way Semah (64.38%) berada pada kondisi datar atau kelas lereng I (0 sampai 8%). Jenis tanah yang terdapat di Sub DAS Way Semah dikelompokkan ke dalam 4 jenis kelompok tanah yaitu Dystropepts (15 887 ha), Humitropepts (4 293 ha), Tropudults (4 788 ha) dan Paleudults (166 ha). Tanah di Sub DAS Way Semah didominasi oleh jenis Dystropepts yaitu 63.21% dari luas sub DAS.

Dari kondisi di atas, dibuat satuan lahan yang dijadikan lokasi pengamatan intensif. Satuan lahan tersebut diperoleh dari hasil overlay tiga jenis peta yaitu peta penggunaan lahan (Lampiran 1), peta kelas lereng (Lampiran2), dan peta jenis tanah (Lampiran 3). Lokasi pengamatan intensif ini dtentukan dengan pertimbangan bahwa pada lokasi tersebut terdapat satuan-satuan lahan yang mewakili seluruh jenis satuan lahan yang terdapat di Sub DAS Way Semah. Selanjutnya diambil sebanyak 14 satuan lahan untuk dijadikan satuan lahan pengamatan intensif yang tersebar dalam lokasi pengamatan seluas 9 720 ha. Satuan lahan pengamatan intersif tersebut merupakan keterwakilan dari penggunaan lahan berupa hutan primer sebanyak 2 satuan lahan (128.47 ha), kebun campuran 11 satuan lahan (9 580 ha), dan sawah 1 satuan lahan (12.43 ha).

Pada ke-14 lokasi pengamatan intensif di atas dilakukan pengamatan biofisik meliputi kelerengan, erosi yang terjadi, tekstur tanah, kepekaan erosi, permeabilitas, drainase, batuan, dan ancaman banjir. Kelerengan yang landai berada pada satuan lahan 52, 46, 91, 119, 154, 159 dan 162. Lahan-lahan tersebut berada pada topografi datar berombak (0 sampai 8 %) sampai agak miring atau bergelombang (8 sampai 15 %). Lereng yang landai akan mengurangi kecepatan aliran permukaan, sehingga material yang terangkut lebih lama sampai di ujung lereng dan endapan yang terbentuk umumnya berupa material tanah yang halus. Lahan dengan topografi miring atau berbukit (15 sampai 25 %) sampai bergunung (25 sampai 40%) berada pada satuan lahan 63, 95,107, dan 168. Pada lahan dengan kemiringan tersebut, lereng yang curam menyebabkan kecepatan aliran permukaan menjadi lebih cepat dan material yang terangkut lebih cepat sampai di ujung lereng. Semakin miring lereng, maka jumlah tanah yang terpercik oleh tumbukan butir-butir hujan semakin banyak (Arsyad 2010). Pada unit lahan 1, dan 8 dengan penggunaan lahan berupa hutan, tidak tampak terjadi erosi, hal ini


(28)

disebabkan oleh kondisi tanaman yang rapat. Meskipun unit lahan 8 berada pada topografi berbukit (25 sampai 40%), tetapi kondisi tegakan yang rapat dengan pohon dan tanaman penutup tanah, melindungi tanah dari pukulan air hujan, karena energi perusak hujan dapat diredam oleh tajuk tanaman yang rapat. Demikian juga dengan unit lahan 273 berupa sawah kemungkinan kecil untuk terjadi erosi (e0) pada kondisi topografi yang datar (0 sampai 8%). Kepekaan

erosi atau erodibilitas tanah (K) dipengaruhi oleh tekstur tanah, permeabilitas dan bahan organik. Umumnya lahan-lahan pada lokasi pengamatan intensif mempunyai kepekaan erosi rendah (KE2) sampai sedang (KE3) yaitu pada semua

satuan lahan kecuali 119, 162, dan 168 dengan nilai K di atas 0,33. Artinya lahan dengan kepekaan erosi rendah sampai sedang, tahan sampai peka terhadap erosi sedangkan lahan dengan kepekaan erosi tinggi rentan terhadap terjadinya erosi. Pada lokasi pengamatan juga tidak terdapat adanya batu-batuan dan tidak ada genangan air yang terjadi.

Kondisi biofisik di atas selanjutnya dijadikan faktor penghambat dalam penentuan kelas kemampuan lahan dari unit lahan pada lokasi pengamatan intensif tersebut. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah penggunaan lahan yang ada telah sesuai dengan kapasitas lahan tersebut untuk suatu macam penggunaan lahannya.

Gambar 5.1 Lokasi Pengamatan Intensif di Sub DAS Way Semah Provinsi Lampung

Kelas Kemampuan Lahan

Penentuan kelas kemampuan lahan dilakukan dengan mengevaluasi kondisi penggunaan lahan aktual pada lokasi pengamatan intensif. Klasifikasi kelas kemampuan lahan didasarkan kepada faktor-faktor penghambat seperti yang dikemukakan oleh Klingebiel dan Montgomery (1973) yang kemudian


(29)

dimodifikasi oleh Arsyad (2010). Faktor-faktor penghambat dalam penentuan kelas kemampuan lahan adalah : lereng permukaan, kepekaan erosi, tingkat erosi, kedalaman tanah, tekstur, permeabilitas, drainase, batuan, ancaman banjir dan salinitas (Lampiran 11) seperti yang telah diuraikan pada sub bab sebelumnya.

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap penggunaan lahan aktual dan kondisi biofisik di lapangan, satuan lahan di lokasi pengamatan intensif didominasi oleh kelas kemampuan lahan kelas I pada 1 unit lahan, kelas II pada 2 unit lahan, dan kelas III pada 6 unit lahan. Kemudian 3 unit lahan dengan kelas kemampuan lahan IV dan kelas VI pada 2 unit lahan (Tabel 6).

Lahan dengan kelas kemampuan I berada pada unit lahan 273 (12 ha) dengan penggunaan lahan sawah. Hal ini sesuai untuk pertanian intensif karena dengan kelerengan 0-8% tidak ada faktor yang membatasi penggunaan lahan tersebut.

Lahan dengan kelas kemampuan II terdapat pada nomor unit lahan 52 dan 162 (7.432 ha). Kelas kemampuan II sesuai untuk lahan garapan pertanian terbatas sampai dengan pertanian intensif. Faktor penghambat yang dijumpai adalah faktor lereng dengan kemiringan 0-8%.

Tabel 5.1 Kelas Kemampuan Lahan pada Setiap Satuan lahan Pengamatan Intensif di Sub DAS Way Semah

Satuan Lahan

Penggunaan Lahan

Faktor Penghambat Kelas Kemampuan

Lahan

Evaluasi Penggunaan

Lahan 1 Hutan L2 III Sesuai

8 Hutan L4 VI Sesuai

52 Kebun Campuran L1 II Sesuai

63 Kebun Campuran L3 IV Sesuai

46 Kebun Campuran L2 III Sesuai

91 Kebun Campuran L2 III Sesuai

95 Kebun Campuran L3 IV Sesuai

107 Kebun Campuran L4 VI Tidak sesuai

119 Kebun Campuran L2 III Sesuai

154 Kebun Campuran L2 III Sesuai

159 Kebun Campuran L2 III Sesuai

162 Kebun Campuran L1 II Sesuai

168 Kebun Campuran L3 IV Sesuai

273 Sawah L0 I Sesuai

L0 : kecuraman lereng 0 sampai ≤ 3%, L1 : kecuraman lereng > 3 sampai 8%, L2 : kecuraman

lereng >8 sampai 15%, L3 : kecuraman lereng > 15 sampai 30%, L4 : kecuraman lereng >30

sampai 45%

Lahan dengan kelas kemampuan lahan III terdapat pada unit lahan 1, 46, 91, 119, 154, 159 dengan luas total 1 711 ha. Penggunaan lahan yang ada telah sesuai dengan kelas kemampuan lahan, meskipun terdapat faktor penghambat berupa kelas lereng 8% sampai 15% (L2) dan erosi ringan. Untuk unit lahan 1,

dengan penggunaan lahan aktual berupa hutan primer, kelerengan 8% sampai 15% tidak menjadikannya sebagai faktor penghambat. Karena kelas kemampuan III bisa dijadikan penggunaan lahan cagar alam, hutan sampai lahan garapan sedang.


(30)

Lahan dengan kelas kemampuan lahan IV terdapat pada unit lahan 63, 95, dan 168 dengan luas 297 ha. Penggunaan lahan yang ada pada unit lahan tersebut berupa kebun campuran, dan masih sesuai dengan kriteria kelas kemampuan lahan karena masih bisa digunakan sebagai lahan garapan terbatas.. Namun adanya faktor penghambat berupa lereng 15% sampai 25% (L3) dan erosi sedang, maka

disarankan untuk melakukan tindakan konservasi yang lebih intensif pada lahan tersebut.

Lahan dengan kelas kemampuan lahan VI terdapat pada unit lahan 107 (156 ha). Lahan dengan kelas kemampuan VI tidak bisa dijadikan sebagai lahan garapan, karena hanya dapat digunakan sebagai cagar alam, hutan, sampai dengan penggembalaan sedang saja. Adanya faktor pembatas berupa kelerengan antara 25% sampai 40% (L4) dan erosi sedang, mengindikasikan bahwa penggunaan

lahan selain tempat penggembalaan atau hutan atau cagar alam bisa menimbulkan dampak yang berbahaya bagi kelestarian lingkungan.

Dari hasil klasifikasi kemampuan lahan dengan mempertimbangkan faktor-faktor pembatas berupa kondisi biofisik lahan, dapat disimpulkan bahwa pada umumnya lahan di lokasi pengamatan intensif telah sesuai dengan kelas kemampuan lahan kecuali pada unit lahan 107 yang berada pada kelas VI. Penggunaan lahan yang sesuai untuk lahan dengan kelas kemampuan VI adalah pengayaan tanaman penghijauan atau reboisasi. Untuk penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahannya perlu dilakukan evaluasi terhadap penggunaan lahan yang ada dan diajukan alternatif penggunaan lahan lain sehingga tidak saja sesuai dengan kapasitas lahan tersebut tetapi juga masih dapat menguntungkan secara ekonomi bagi petani pemilik lahan.

Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan yang dijadikan lokasi pengamatan intensif meliputi penggunaan lahan hutan primer, kebun campuran dan sawah. Penggunaan lahan kebun campuran yang dijadikan lahan pengamatan adalah kebun campuran dengan jenis tanaman Kakao dan jenis tanaman lain yang merupakan tanaman pelindung atau tanaman naungan. Penggunaan lahan kebun campuran merupakan penggunaan lahan terbanyak yang dijadikan lokasi pengamatan intensif, yaitu sebanyak 11 satuan lahan. Jenis tanaman yang terdapat pada kebun campuran selain Kakao (Theobroma cacao), antara lain ; Kelapa (Cocos nucifera), Tangkil (Gnetum gnemon), Cempaka (Michelia campaka)), Durian (Durio zibetinus), Pisang (Musa sp), dan Sonosiso (Dalbergia sissoo Roxb). Sebanyak 98.55% dari luas satuan lahan pengamatanan intensif merupakan kebun campuran dengan jenis tanaman dominan adalah Kakao. Hal ini pula yang menjadi pertimbangan pemerintah kabupaten pada Tahun 2012 lalu mencanangkan Kabupaten Pesawaran, yang merupakan lokasi penelitian, sebagai Bumi Kakao karena luasnya areal tanaman kakao sehingga sebagian besar masyarakat Kabupaten Pesawaran menyandarkan hidupnya dari usaha tani kakao.

Berdasarkan hasil evaluasi kemampuan lahan, hutan primer pada unit lahan 1 termasuk ke dalam kelas III, sehingga sudah sesuai dengan peruntukkan lahan tersebut dimana kelas kemampuan III dapat digunakan mulai dari garapan sedang sampai dengan cagar alam. Sedangkan hutan primer pada satuan lahan 8


(31)

termasuk ke dalam kelas kemampuan VI, dimana lahan tersebut memang sudah seharusnya dijadikan cagar alam atau hutan lindung.

Penggunaan lahan berupa sawah masuk kelas kemampuan lahan I, sehingga sudah sesuai dengan peruntukkannya, karena kemampuan I sesuai untuk berbagai jenis penggunaan pertanian, mulai dari tanaman semusim (dan tanaman pertanian umumnya), padang rumput, hutan produksi, sampai dengan hutan lindung atau cagar alam. Sawah pada unit lahan 273 terletak pada topografi datar (kemiringan lereng < 3%).

Terdapat 11 unit lahan dengan penggunaan lahan kebun campuran pada lokasi penelitian intensif. Unit lahan 52 dan 162 masuk ke dalam kelas kemampuan II dan unit lahan 46, 91, 119, 154, dan 159 termasuk ke dalam kelas kemampuan III. Sedangkan unit lahan 63, 95, dan 168 termasuk ke dalam kelas kemampuan IV. Ke-11 unit lahan tersebut berdasarkan hasil klasifikasi kemampuan lahan, sudah sesuai dengan peruntukkan lahannya sebagai kebun campuran, sehingga tidak perlu dilakukan penggantian penggunaan lahan. Unit lahan 107 dengan penggunaan lahan kebun campuran termasuk kelas kemampuan VI. Unit lahan ini tidak sesuai untuk dijadikan lahan pertanian karena mempunyai faktor hambatan yang sangat berat yaitu berada pada tanah dengan kemiringan 25% sampai 40%, sehingga perlu dilakukan alternatif penggunaan lahan lain yaitu reboisasi atau penghijauan. Namun adanya keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup dari petani pemilik lahan tersebut, maka lahan yang ada bisa diganti dengan tanaman keras tetapi tetap menghasilkan secara ekonomi yaitu kombinasi antara tanaman kayu-kayuan dengan tanaman MPTS (Multi Purpose Tree Species) berupa tanaman buah-buahan dengan komposisi 70 : 30, sehingga masih dapat diperoleh pendapatan dari kayu bakar dan hasil buah.

Tabel 5.2 Luas Penggunaan Lahan pada Lokasi Pengamatan Intensif di sub DAS Way Semah

Penggunaan Lahan Satuan Lahan Luas (ha)

Hutan 1, 8 128

Kebun Campuran 52, 63, 46, 91, 95, 107, 119,

154, 159, 162, 168 9 580

Sawah 273 12

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum satuan lahan yang dijadikan lokasi pengamatan intensif sudah sesuai dengan kelas kemampuan lahannya. Untuk penggunaan lahan yang lestari maka semua unit lahan harus memenuhi kriteria berkelanjutan, salah satunya adalah erosi yang terjadi tidak melebihi erosi yang ditoleransikan (ETol). Untuk melihat hal tersebut, harus dilakukan prediksi erosi pada setiap penggunaan lahan yang ada, sesuai dengan kelas kemampuan lahan masing-masing.

Karakteristik Tipe Usaha Tani di Sub DAS Way Semah

Tipe usaha tani dominan yang dilakukan oleh petani di lokasi pengamatan intensif adalah Kakao, Kelapa, Tangkil, tanaman buah-buahan seperti Durian dan Pisang, serta tanaman Kayu seperti Cempaka. Ada 4 (empat) jenis pola usaha tani


(32)

dominan di Sub DAS Way Semah. yaitu terdiri dari : Monokultur kakao (UT1) seluas 280 ha, Kakao-kelapa (UT2) 6 495 ha, Kakao-kelapa-tangkil (UT3) 31 ha, serta Kakao dan tanaman buah-buahan + tanaman kayu-kayuan (UT4) seluas 2 774 ha.

Tabel 5.3 Berbagai Tipe Usaha Tani pada Masing-masing Satuan lahan di Sub DAS Way Semah

Tipe Usaha Tani Unit Lahan Populasi Tanaman ha-1 Luas (ha)

Monokultur Kakao (UT1) + T1 63,154,162 1100 kakao 280 Kakao-Kelapa (UT2) + T2 52, 46,159 1100 kakao, 83 kelapa 6 495 Kakao-Kelapa-Tangkil (UT3) + T3 91 1100 kakao, 83 kelapa,

25 tangkil

31 Kakao-tanaman buah-kayu (UT4) + T4 107,119,168,95 1100 kakao, 25 durian,

pisang, cempaka.

2 774

Jumlah 9 580

T1 : Ternak kambing 5 ekor, T2 : Ternak ayam 20 ekor dan kambing 3 ekor, T3 : Ternak ayam 20 ekor dan kambing 2 ekor, T4 : Ternak kambing 4 ekor

Tipe usahatani UT1 merupakan pola usaha tani dengan jenis tanaman Kakao, tanpa mengkombinasikannya dengan tanaman lain. Kakao ditanam dengan jarak tanam 3m x 3m, sehingga pada areal seluas 1 ha, terdapat tanaman kakao sebanyak 1100 buah. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, sebagian areal ada yang dilakukan pemupukan dan pengendalian hama penyakit tanaman seperlunya. Produksi tanaman kakao pada usahatani monokultur pernah mencapai 800 kg ha-1 tahun-1, karena adanya perlakuan pemupukan Urea dan TSP. Dengan harga kakao sebesar Rp20 000 kg-1, maka setiap petani mendapatkan pendapatan bersih sebesar Rp9 995 000 ha-1 sesudah dikurangi biaya produksi, termasuk biaya pemupukan. Selain dari hasil panen kakao, petani pada tipe ini juga memperoleh pendapatan dari usaha lain berupa ternak kambing sebanyak 5 ekor (T1). Pada areal monokultur sering dilakukan pembersihan tanaman bawah sehingga permukaan tanah cenderung terbuka, hanya sedikit yang ditumbuhi rumput liar dan ditutupi banyak serasah. Usahatani kakao monokultur sebagian besar dilakukan pada lokasi-lokasi dengan aksesibilitas tinggi dan mudah dijangkau karena berdekatan dengan jalan. Namun tidak ada yang melakukan konservasi tanah baik pada areal datar maupun areal yang miring. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya pada tanaman kakao dewasa (umur tanaman > 8 tahun), tipe usaha tani UT1 (monokultur kakao) mempunyai nilai faktor pengelolaan tanaman (C) sebesar 0,277 (Hidayat 2009).

Tipe usahatani UT2 merupakan pola usaha tani dengan jenis tanaman utama Kakao dan jenis tanaman naungan Kelapa. Kakao ditanam dengan jarak tanam 3m x 3m, sedangkan kelapa ditanam di sela-sela tanaman kakao dengan jarak tanam 12m x 10m. Sehingga dalam satu hektar diperkirakan terdapat 1100 pohon kakao dan 83 pohon kelapa. Tumpangsari jenis ini paling banyak dilakukan oleh para petani kakao. Dari hasil pengamatan di lapangan, penyiangan pada tanaman kakao terkadang masih dilakukan seperlunya tanpa adanya pemupukan. Produksi yang dihasilkan masih rendah yaitu mencapai 660 kg ha-1 tahun-1. Namun para petani tidak hanya mendapat penghasilan dari hasil kakao saja, tetapi juga mendapat tambahan dari hasil penjualan kelapa dengan produksi sebesar 2 075 pasang buah kelapa ha-1 tahun-1. Selain dari hasil kakao dan kelapa,


(1)

Lampiran 19 Nilai CP Maksimum Sub DAS Way Semah No. Unit

Lahan R K LS RKLS ETol CPMaks

1 1 501.98 0.28 3.34 1 404.47 23.10 0.02

8 1 501.98 0.13 4.81 917.21 20.88 0.02

52 1 501.98 1.32 2.12 1 023.85 31.98 0.03

63 1 501.98 1.30 3.40 1 535.43 25.80 0.02

76 1 501.98 0.20 2.73 833.09 32.30 0.04

91 1 501.98 0.29 3.34 1 444.79 30.90 0.02

95 1 501.98 0.29 3.90 1 694.23 30.94 0.02

107 1 501.98 0.17 3.58 898.98 30.42 0.03

119 1 501.98 0.41 3.24 1 984.97 31.98 0.02

154 1 501.98 0.18 3.14 863.96 18.70 0.02

159 1 501.98 0.23 1.93 654.95 19.80 0.03

168 1 501.98 0.36 2.94 1 586.44 18.42 0.01

162 1 501.98 0.38 1.93 1 103.01 25.08 0.02


(2)

20 Contoh Perhitungan Biaya dan Pendapatan pada Pola Tanam Aktual Kakao-Kelapa (UT2) seluas 1 ha di Sub DAS Way Semah

No Uraian Vol Satuan Harga Satuan

(Rp)

Jumlah (Rp) 1 Biaya

a. Tenaga Kerja

- Persiapan Lahan 14 HOK 30 000 420 000

- Pengolahan Tanah 14 HOK 30 000 420 000

- Penanaman 14 HOK 30 000 420 000

- Pemeliharaan Tanaman 14 HOK 30 000 420 000

- Panen 14 HOK 30 000 420 000

- Pasca Panen 14 HOK 30 000 420 000

Jumlah (a) 2 520 000

b. Sarana Produksi

- Bibit Kakao 1100 Batang 2 500 2 750 000

- Bibit Kelapa 83 Buah 1 000 83 000

- Peralatan usaha tani 1 Set 400 000 400 000

- Tenaga kerja penyiangan 12 bulan 50 000 600 000

Jumlah (b) 3 833 000

Jumlah (1) = (a) + (b) 6 353 000

2. Pendapatan Kotor

a. Biji kakao (kering) 660 Kg 20 000 13 200 000

b. Buah Kelapa 2075 Pasang 3 000 622 500

Jumlah (2) 19 425 000

I. Pendapatan bersih = (2) – (1) 13 072 000

II. Pendapatan ternak 7 225 000

III. Pendapatan Total = (I) +(II) 20 297 000

Lampiran 21 Analisa Usaha Ternak Ayam (20 ekor) di Sub DAS Way Semah

No Uraian Vol Satuan Harga

Satuan (Rp)

Jumlah (Rp) 1 Ternak Ayam Kampung

Bibit Ayam 20 ekor 5 000 100 000

Pakan ternak (dedak) 10 karung 50 000 1 000 000

Upah kerja 12 bulan 100 000 1 200 000

Jumlah (1) 1 800 000

2 Pendapatan Kotor

Ayam Dewasa 55 ekor 65 000 3 575 000

Telur 3600 butit 1 500 5 400 000

Jumlah (2) 8 975 000


(3)

Lampiran 22 Analisa Usaha Ternak Kambing (2 ekor) di Sub DAS Way Semah

No Uraian Vol Satuan Harga

Satuan (Rp)

Jumlah (Rp) 1 Anak Kambing (bibit)

Pejantan 1 ekor 600 000 600 000

Betina 1 ekor 540 000 540 000

Kandang 1 buah 500 000 500 000

Jumlah (1) 1 640 000

2 Pendapatan Kotor

Kambing Dewasa 5 ekor 2 000 000 10 000 000

Jumlah (2) 10 000 000

Pendapatan bersih: (2)-(1) 8 360 000

Lampiran 23 Analisa Usaha Ternak Kambing (3 ekor) di Sub DAS Way Semah

No Uraian Vol Satuan Harga

Satuan (Rp)

Jumlah (Rp) 1 Anak Kambing (bibit)

Pejantan 2 ekor 600 000 1 200 000

Betina 1 ekor 540 000 540 000

Kandang 1 buah 500 000 500 000

Jumlah (1) 2 240 000

2 Pendapatan Kotor

Kambing Dewasa 5 ekor 2 000 000 10 000 000

Jumlah (2) 10 000 000

Pendapatan bersih: (2)-(1) 7 760 000

Lampiran 24 Analisa Usaha Ternak Kambing (4 ekor) di Sub DAS Way Semah

No Uraian Vol Satuan Harga

Satuan (Rp)

Jumlah (Rp)

1 Anak Kambing (bibit)

Pejantan 3 ekor 600 000 1 800 000

Betina 1 ekor 540 000 540 000

Kandang 1 buah 500 000 500 000

Jumlah (1) 2 840 000

2 Pendapatan Kotor

Kambing Dewasa 7 ekor 2 000 000 14 000 000

Jumlah (2) 14 000 000


(4)

Lampiran 25 Analisa Usaha Ternak Kambing (5 ekor) di Sub DAS Way Semah

No Uraian Vol Satuan Harga

Satuan (Rp)

Jumlah (Rp)

1 Anak Kambing (bibit)

Pejantan 3 ekor 600 000 1 800 000

Betina 2 ekor 540 000 1 080 000

Kandang 1 buah 500 000 500 000

Jumlah (1) 3 380 000

2 Pendapatan Kotor

Kambing Dewasa 9 ekor 2.000.000 18 000 000

Jumlah (2) 18 000 000

Pendapatan bersih: (2)-(1) 14 620 000

Lampiran 26 Analisa Usaha Tani pada Alternatif Agroteknologi 1 pada Kakao-Kelapa (UT2) seluas 1 ha di Sub DAS Way Semah

No Uraian Vol Satuan Harga Satuan

(Rp)

Jumlah (Rp) 1 Biaya

a. Tenaga Kerja

- Persiapan Lahan 14 HOK 30 000 420 000

- Pengolahan Tanah 14 HOK 30 000 420 000

- Penanaman 14 HOK 30 000 420 000

- Pemeliharaan Tanaman 14 HOK 30 000 420 000

- Panen 14 HOK 30 000 420 000

- Pasca Panen 14 HOK 30 000 420 000

Jumlah (a) 2 520 000

b. Sarana Produksi

- Bibit Kakao 1100 Batang 2 500 2 750 000

- Bibit Kelapa 83 Buah 1 000 83 000

- Peralatan usaha tani 1 Set 400 000 30 000

- Pupuk Urea 200 kg 1 600 320 000

- Pupuk TSP 100 kg 2 000 200 000

- Pupuk KCl dan ZA 100 kg 3 150 315 000

Jumlah (b) 4 068 000

c. Konservasi Tanah

- Pembuatan rorak 28 HOK 30 000 840 000

Jumlah (c) 840 000

(1) = (a) + (b) + (c) 7 428 000

2. Pendapatan Kotor

a. Biji kakao (kering) 800 Kg 20 000 16 000 000

b. Buah Kelapa 2 275 Pasang 3 000 6 825 000

Jumlah (2) 22 825 000

I. Pendapatan bersih = (2) – (1) 15 397 000

II. Pendapatan ternak 14 935 000


(5)

Lampiran 27 Contoh Skema Tanaman pada Usaha Tani Kakao-Kelapa (UT2) seluas 1 ha di Sub DAS Way Semah

O O O O O O O O O O O O O O

O O O O O O O O O O O O O O

O O O O O O O O O O O O O O

X X X X

O O O O O O O O O O O O O O

O O O O O O O O O O O O O O

O O O O O O O O O O O O O O

X X X X

O O O O O O O O O O O O O O

O O O O O O O O O O O O O O

O O O O O O O O O O O O O O

X X X X

O O O O O O O O O O O O O O

O O O O O O O O O O O O O O

O O O O O O O O O O O O O O

O : Tanaman kakao jarak tanam 3 x 3


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 12 Juni 1973 sebagai anak

ketujuh dari pasangan Maman dan Yaya Rohaya. Pendidikan sarjana ditempuh di

Program Studi Silvikultur Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut

Pertanian Bogor, lulus pada tahun 1996. Kesempatan untuk melanjutkan ke

program magister pada Program Studi Ilmu Pengelolaan DAS dan pada perguruan

tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2010. Beasiswa pendidikan pascasarjana

diperoleh dari Kementerian Kehutanan Republik Indonesia.

Pada tahun 1997 penulis diangkat menjadi pegawai negeri sipil pada

Kementerian Kehutanan. Sampai sekarang penulis masih bekerja pada Balai

Pengelolaan DAS Way Seputih Way Sekampung di Provinsi Lampung.