Landuse allocation based on water resources conservation in Cisadane Hulu Sub Watershed

(1)

ALOKASI PENGGUNAAN LAHAN

BERBASIS KONSERVASI SUMBER DAYA AIR

DI SUB DAS CISADANE HULU

DWI MARYANTO

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Alokasi Penggunaan Lahan Berbasis Konservasi Sumber Daya Air di Sub DAS Cisadane Hulu adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2013 Dwi Maryanto NRP A156100061


(4)

(5)

ABSTRACT

DWI MARYANTO. Landuse Allocation Based on Water Resources Conservation in Cisadane Hulu Sub Watershed. Under direction of DWI PUTRO TEJO BASKORO and BABA BARUS.

Problems of land use in Cisadane Hulu sub watershed has led to a decrease in water resources, so that water resources conservation needs more attention. One of the efforts to conserve water resources is allocating landuse properly. For that reason a research was conducted at Cisadane Hulu sub watershed. The objectives of the research were (1) to identify the sub-sub watersheds performance, (2) to evaluate various alternative of the land use allocations, (3) to identify people preference about optimal land use, and (4) to formulate strategic direction of land use allocation. The methods of data processing analysis included spatial analysis, prediction of water discharge, and sedimentation that integrated in the AVGWLF model, and Analytic Hierarchy Process. The parameters used include Land Cover Index (IPL), the runoff coefficient (C), Erosion Hazard Index (IBE) and suspended sediment concentration (SC). Results of the analysis showed that in general Cisadane Hulu sub watershed has “Poor” performance. Among sub-sub watershed, 36 sub-sub watersheds had “Poor” performance and 8 sub-sub watersheds had “Medium” performance. To improve the performance, 3 scenarios were simulated, i.e. land use allocation based on Zone Function, based on Land Capability and based on RTRW. The Zone Function scenario produced the best result, followed by Land Capability and RTRW scenario’s. In the best scenario, Cisadane Hulu sub watershed was devided into 3 main areas with different of land use priority. Protected area is directed for forest, buffer area is directed for forest or mixed plantation and cultivated area is directed for rice field. AHP analysis show that people prefer to use buffer area for mix plantation and cultivation area for rice field. To implement the best allocation, policy strategies is necessary because of the mismatch between both of those results with the determination of the legally status of the area function, socialization, community empowerment and institutional strengthening.

Keywords: Watershed, water resources conservation, land use allocation, AHP, policy strategies.


(6)

(7)

RINGKASAN

DWI MARYANTO. Alokasi Penggunaan Lahan Berbasis Konservasi Sumber Daya Air di Sub DAS Cisadane Hulu. Dibimbing oleh DWI PUTRO TEJO BASKORO dan BABA BARUS.

Permasalahan penggunaan lahan di sub DAS Cisadane Hulu sudah mengganggu kondisi tata airnya, seperti ditunjukkan oleh adanya bencana banjir pada musim hujan dan bencana kekeringan saat kemarau di bagian hilir DAS Cisadane. Bencana lain yang tidak dapat diabaikan adalah erosi di bagian hulu, kualitas air yang menurun akibat meningkatnya sedimen tersuspensi dan sedimentasi di waduk, situ, muara sungai dan tubuh air lainnya. Hal ini menimbulkan banyak kerugian secara sosial, ekonomi, dan ekologi. Oleh sebab itu perlu dikaji penggunaan lahan di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS), karena efek negatif yang ditimbulkan tidak mengenal batas administrasi. Pengelolaan DAS bagian hulu menjadi sangat penting karena dari daerah inilah berawalnya proses yang terkait dengan hidrologi di dalam DAS.

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengidentifikasi kinerja sub-sub DAS di sub DAS Cisadane Hulu, 2) mendapatkan arahan penggunaan lahan terbaik dalam rangka konservasi sumber daya air. 3) mengetahui pendapat berbagai pemangku kepentingan mengenai alokasi penggunaan lahan, dan 4) menyusun arahan strategi penggunaan lahan berbasis konservasi sumber daya air. Analisis yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut meliputi analisis keruangan, prediksi tebal aliran permukaan dan sedimen terlarut yang tergabung dalam model AVGWLF (ArcView Generalized Watershed Loading Function). Empat (4) parameter yaitu IPL (Indeks Penutupan Lahan), C (koefisien limpasan), IBE (Indeks Bahaya Erosi) dan kadar sedimen tersuspensi (Sc) digunakan untuk mengidentifikasi kinerja sub DAS/sub-sub DAS dalam upaya konservasi sumber daya air. Tingkat preferensi masyarakat dianalisis dengan metode AHP.

Hasil interpretasi citra ALOS menunjukkan bahwa penggunaan lahan paling luas di sub DAS Cisadane Hulu adalah sawah irigasi yakni sekitar 23.463 ha atau 27,45% dari luas keseluruhan sub DAS ini, diikuti oleh hutan dengan luas 15.635 ha (18,29%) dan semak/belukar 14.873 ha (17,40%). Penggunaan lahan permukiman di sub DAS Cisadane Hulu seluas 9.938 ha merupakan permukiman jarang dan 1.239 ha merupakan permukiman padat. Kebun campuran menempati sekitar 10.880 ha (12,73%), sedangkan lahan yang digunakan untuk ladang sekitar 6.694 ha (7,83%). Di dalam sub DAS Cisadane Hulu terdapat perkebunan monokultur yaitu perkebunan teh dan kelapa sawit. Terdapat 2 kebun teh yang total luasnya mencapai 1.462 ha (1,71%). Adapun perkebunan kelapa sawit yang berada di barat-laut sub DAS Cisadane Hulu luasnya hanya 164 ha atau sekitar 0,19% dari luas sub DAS. Selain penggunaan lahan di atas, terdapat penggunaan lahan dalam areal yang sempit yaitu tubuh air (termasuk sungai), padang rumput, dan lahan terbuka, masing-masing mempunyai luas kurang dari 1.000 ha (< 1% dari luas total wilayah Sub DAS).

Hasil analisis terhadap parameter IPL, C, IBE, dan kadar sedimen tersuspensi (Sc) menunjukkan bahwa secara umum kondisi tata air di Cisadane Hulu mempunyai kinerja yang tergolong Buruk. Dari 44 sub-sub DAS yang ada di


(8)

dalamnya terdapat 36 sub-sub DAS berkinerja Buruk dan sisanya berkinerja Sedang.

Arahan penggunaan lahan di Sub DAS Cisadane Hulu didasarkan pada skenario terbaik dari 4 skenario yaitu Skenario Aktual, Skenario RTRW, Skenario Kemampuan Lahan, dan Skenario Fungsi Kawasan. Hasil analisis menunjukkan bahwa alokasi lahan berdasarkan Fungsi Kawasan menghasilkan kinerja sub DAS terbaik. Hal ini didasarkan pada hasil perhitungan IPL, C, IBE, dan Sc masing-masing adalah 0,49; 0,191; 0,87; 375,03 mg/l.

Hasil simulasi dengan skenario terbaik menunjukkan bahwa dari 44 sub-sub DAS yang ada, 20 sub-sub-sub-sub DAS berkinerja Baik, dan 24 sub-sub-dub DAS berkinerja Sedang. Jika dibandingkan dengan kinerja sub-sub DAS saat ini, maka terdapat 42 sub DAS mengalami peningkatan kinerja, dengan rincian 14 sub-dub DAS meningkat dari Buruk menjadi Baik, 22 sub-sub-dub DAS dari Baik menjadi Sedang dan 6 sub DAS dari Sedang menjadi Baik. Empat belas (14) sub-sub DAS dengan peningkatan kinerja tinggi menjadi prioritas pertama untuk dikelola, 22 sub-sub DAS menjadi prioritas kedua, dan 6 sub-sub DAS menjadi prioritas ketiga.

Arahan penggunaan lahan agar tercapai kinerja terbaik sesuai dengan skenario adalah dengan penambahan lahan hutan menjadi 39.675 ha, dan sawah irigasi menjadi 2.788 ha dari kondisi saat ini. Adapun kebun campuran dikurangi menjadi 5.580 ha, sedangkan ladang, lahan terbuka, dan semak belukar ditiadakan. Dibandingkan RTRW, arahan tersebut mengalokasikan Kawasan Lindung lebih luas yaitu 31.384 ha, Kawasan Penyangga seluas 25.337 ha, sedangkan Kawasan Budidaya berkurang menjadi 28.758 ha.

Hasil analisis AHP, pada Kawasan Penyangga, menunjukkan bahwa masyarakat cenderung menempatkan kebun campuran sebagai penggunaan lahan prioritas pertama dengan skor 0,274, diikuti oleh sawah (0,236), hutan (0,227) dan ladang (0,197). Pada Kawasan Budidaya, sawah merupakan penggunaan lahan prioritas pertama dengan skor 0,247, diikuti dengan penggunaan lahan kebun campuran (0,244), lading (0,226) dan hutan (0,205).

Ketidaksesuaian antara arahan penggunaan lahan berdasarkan skenario Fungsi Kawasan dengan preferensi masyarakat mengenai penggunaan lahan yang terbaik memerlukan strategi kebijakan agar tujuan konservasi sumber daya air masih tetap terjaga. Strategi tersebut yaitu: penetapan status fungsi kawasan hasil arahan, sosialisasi penggunaan lahan berbasis konservasi sumberdaya air, pemberdayaan masyarakat, dan penguatan kelembagaan.


(9)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(10)

(11)

ALOKASI PENGGUNAAN LAHAN

BERBASIS KONSERVASI SUMBER DAYA AIR

DI SUB DAS CISADANE HULU

DWI MARYANTO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013


(12)

(13)

Judul Tesis : Alokasi Penggunaan Lahan Berbasis Konservasi Sumber Daya Air di Sub DAS Cisadane Hulu

Nama : Dwi Maryanto

NRP : A156100061

Program Studi : Ilmu Perencanaan Wilayah

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc Ketua

Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Perencanaan Wilayah

Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus Tanggal Ujian : 27 Maret 2013

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr. Tanggal Lulus :


(14)

(15)

(16)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat dan rahmatNya sehingga karya ilmiah dengan judul Alokasi Penggunaan Lahan Berbasis Konservasi Sumber Daya Air di Sub DAS Cisadane Hulu dapat diselesaikan.

Dalam penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus, sebagai Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah SPS IPB, yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian, dan masukan demi kesempurnaan tesis ini.

2. Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc dan Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc. selaku ketua dan anggota komisi pembimbing atas segala motivasi, arahan, dan bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hinga penyelesaian tesis ini 3. Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc. selaku penguji luar komisi atas seluruh

masukan dan saran demi kesempur naan tesis ini.

4. Prof (Riset) Dr Aris Poniman, yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama menempuh studi.

5. Segenap dosen pengajar dan asisten di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB atas seluruh ilmu yang telah diberikan, serta kepada staf manajemen atas seluruh pelayanannya.

6. Kementerian Ristek melalui Deputi Bidang Sumber Daya IPTEK beserta jajarannya atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis.

7. Badan Informasi Geospasial yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti program tugas belajar ini.

8. Rekan-rekan PWL kelas Reguler dan Khusus, MBK angkatan 2010 dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini. 9. Keluarga Bpk Ir. Budi Sukarno, MSi, keluarga drh Tri Yunianingsih atas

segala bantuan moril maupun materiil.

Terima kasih yang istimewa khusus disampaikan kepada kedua orang tua, istri dan anakku, atas segala do’a, dukungan, kasih sayang, dan pengorbanan yang telah diberikan selama ini. Semoga Allah SWT membalas kebaikan Bpk/Ibu/Sdr dengan pahala yang berlipat. Amin.

Penulis menyadari adanya keterbatasan ilmu dan kemampuan, sehingga dalam penelitian ini tentu masih terdapat banyak kekurangan. Akhirnya, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Terimakasih.

Bogor, April 2013 Dwi Maryanto


(17)

(18)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 29 April 1974 dari pasangan orang tua Bapak Sudarman (Alm) dan Ibu Sumarsih. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.

Pendidikan dasar hingga menengah penulis tempuh di Kabupaten Sleman DIY. Tahun 1992 penulis lulus dari SMA Negeri Donoharjo dan kemudian melanjutkan ke Universitas Gadjah Mada melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Penulis diterima di jurusan Geografi Fisik, Fakultas Geografi dan menyelesaikan studi pada jenjang sarjana pada tahun 2000.

Pada tahun 2005, penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Badan Informasi Geospasial hingga saat ini. Penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah pascasarjana pada tahun 2010 dan diterima pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) IPB dengan bantuan pembiayaan dari Kementerian Riset dan Teknologi.


(19)

xii DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ……….……… xiv

DAFTAR GAMBAR .……….………. xvi

DAFTAR LAMPIRAN ………..……… xviii

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ……… 1

1.2. Perumusan Masalah ……… 4

1.3. Tujuan Penelitian ……… 5

1.4 Manfaat Penelitian ……….. 6

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penataan Ruang …………...………..…….….... 7

2.2 Pemanfaatan Ruang ………..….. 10

2.3 Konservasi Sumber Daya Air ……….…… 11

2.4 Sistem Informasi Geografi ….……….…... 12

2.5 Model AVGWLF …….……….…. 13

2.6 Prakiraan Jumlah Aliran Permukaan ……….. 15

2.7 Prakiraan Erosi dan Hasil Sedimen ……… 16

2.8 Analytic Hierarchy Process ……….……….…. 19

III. METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran ……… 21

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ……….………….…….… 23

3.3 Bahan dan Alat ……….……… 24

3.4 Metode Pengumpulan Data ………….……….………… 25

3.5 Metode Analisis Data ………..………. 26

3.5.1 Pengolahan Data Awal…….….. .………... 26

3.5.2 Metode Pengolahan Data Utama ………... 27

3.5.3 Arahan Penggunaan lahan ………... 32

3.5.4 Pendapat Pemangku Kepentingan Tentang Penggunaan Lahan Optimal…... 34 IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Kondisi Fisik ………. 37

4.1.1. Topografi ……….… 37

4.1.2. Geologi ……..………..…… 39

4.1.3. Tanah ……….…….……. 40

4.1.4. Iklim ……… 43

4.1.5. Hidrologi ……….….…….….. 44

4.2. Kependudukan ………..………..…… 45

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan ……….. 47

5.2 Kondisi Hidrologi Sub DAS Cisadane Hulu Berdasarkan Model AVGWLF ………. 52 5.2.1 Kalibrasi Model ……….……….. 52


(20)

xiii

5.2.2 Kinerja Sub-sub DAS Saat Ini ………. 54

5.3 Arahan Penggunaan lahan Berbasis Konservasi Sumber Daya Air Terbaik ………. 58 5.3.1 Skenario Aktual ………... 59

5.3.2 Skenario RTRW ……….... 62

5.3.3 Skenario Kemampuan Lahan ……….... 65

5.3.4 Skenario Fungsi Kawasan ………..……….. 69

5.3.5 Penggunaan lahan Berbasis Konservasi Sumber Daya Air Terbaik ………..……… 72

5.3.6 Arahan Penggunaan lahan Terhadap Sub-sub DAS ……... 74

5.3.7 Evaluasi Arahan Fungsi Kawasan RTRW ………... 80

5.4 Pendapat Pemangku Kepentingan Tentang Alokasi Penggunaan Lahan Di Sub DAS Cisadane Hulu ...…………..………… 83

5.4.1. Arti Penting DAS Dalam Perencanaan Penggunaan Lahan ... 83

5.4.2. Prioritas Penggunaan Lahan oleh Pemangku Kepentingan .... 85

5.4.2.1 Kawasan Penyangga ………. 87

5.4.2.2 Kawasan Budidaya ………... 90

5.5 Strategi Arahan Penggunaan lahan .………... 93

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ……….. 99

6.2 Saran ……… 100

DAFTAR PUSTAKA ………. 101


(21)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Kriteria dan indikator kinerja DAS ……….………... 9

2. Klasifikasi nilai IPL .………... 27

3. Klasifikasi nilai C ………... 28

4. Klasifikasi nilai IBE ………... 28

5. Klasifikasi nilai Sc ………... 29

6. Luas wilayah berdasarkan kemiringan lereng ………... 39

7. Satuan peta tanah dan luasannya di Sub DAS Cisadane Hulu …... 42

8. Penggunaan lahan dan luasannya di Sub DAS Cisadane Hulu …... 48

9. Luas penggunaan lahan berdasarkan kemiringan lereng ………... 50

10. Tinggi aliran permukaan hasil observasi dan pemodelan ………... 52

11. Nilai-nilai parameter dan kinerja sub-sub DAS Cisadane Hulu …... 54

12. Kinerja DAS berdasarkan Skenario Aktual ………... 60

13. Luas penggunaan lahan berdasarkan Skenario RTRW dan perubahannya ………... 63

14. Kinerja DAS berdasarkan Skenario RTRW ………... 65

15. Luas penggunaan lahan berdasarkan Skenario KemampuanLahan dan perubahannya ... 66

16. Kinerja DAS berdasarkan Skenario Kemampuan Lahan ……... 67

17. Luas penggunaan lahan berdasarkan Skenario Fungsi Kawasan dan perubahannya …..………..……... 70

18. Kinerja DAS berdasarkan Skenario Fungsi Kawasan ………... 72

19. Perbandingan parameter-parameter kinerja DAS berdasarkan 4 skenario ………... 73

20. Nilai-nilai parameter dan kinerja sub-sub DAS berdasarkan Fungsi Kawasan ………... 74 21. Luas arahan pola ruang kawasan dan peruntukannya ... 22. Matriks Arahan Penggunaa Lahan Sub DAS Cisadane Hulu ... 94


(22)

(23)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Diagram alir kerangka pemikiran penelitian ………... 23 2. Lokasi Penelitian ………... 24 3. Diagram Alir Penelitian ………... 33 4. Struktur hirarki pemilihan penggunaan lahan ... 35 5. Peta kemiringan Lereng ……….... 38 6. Peta Tanah sub DAS Cisadane Hulu ……….... 41 7. Peta sebaran curah hujan sub DAS Cisadane Hulu ………….. 44 8. Kepadatan penduduk per kecamatan ……….... 46 9. Peta Penggunaan Lahan Sub DAS Cisadane Hulu ……..…... 49 10. Grafik tebal limpasan permukaan hasil observasi dengan

pemodelan ………... 53 11. Peta sebaran kinerja sub-sub DAS Cisadane Hulu ………….. 57 12. Peta Skenario penggunaan lahan menurut RTRW ………….. 64 13. Peta Skenario penggunaan lahan menurut Kemampuan lahan. 68 14. Peta Skenario penggunaan lahan menurut Fungsi Kawasan ... 71 15. Peta kinerja sub-sub DAS berdasarkan arahan penggunaan

lahan di sub DAS Cisadane Hulu ..………... 77 16. Peta arahan penggunaan lahan pada sub-sub DAS Cisadane

Hulu ……….. 79

17. Peta arahan penggunaan lahan kawasan terhadap pola ruang

RTRW ……….... 82

18. Hasil analisis hirarki persepsi masyarakat terhadap penggunaan lahan di kawasan penyangga ………... 88 19. Hasil analisis hirarki persepsi masyarakat terhadap penggunaan


(24)

(25)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Pendekatan Kapasitas Air Tersedia (AWC) berdasarkan tekstur

tanah ……….……… 106

2. Pendekatan nilai K (erodibilitas tanah) berdasarkan tekstur tanah ... 106 3. Kelompok hidrologi tanah ……….………. 107 4. Nilai CN pada lahan-lahan di Sub DAS Cisadane Hulu ……..…... 108 5. Nilai faktor C berbagai penggunaan lahan di Sub DAS Cisadane

Hulu ……….……… 108

6. Kategori penggunaan lahan, kode dan padanannya ……… 109 7. Data dan perhitungan OA dan KA ……… 110 8. Sub-sub DAS di Sub DAS Cisadane Hulu ..…………..…………. 112 9. Tabel-tabel luaran hasil analisis model AVGWLF dari 4 skenario 113 10.Luas arahan penggunaan lahan pada masing-masing sub-sub DAS 115 11.Kuesioner Penelitian ……….. 120


(26)

I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Meningkatnya tekanan penduduk menyebabkan degradasi lingkungan sehingga menurunkan daya dukung DAS serta telah menimbulkan sejumlah permasalahan yang serius. Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Jawa (2008) mengidentifikasi beberapa permasalahan yang muncul terkait dengan lahan yang berpengaruh terhadap daya dukung DAS - DAS di Jawa dan Bali. Permasalahan tersebut antara lain alih fungsi lahan menjadi daerah terbangun, pencemaran lingkungan, menurunnya luas daerah resapan, meningkatnya lahan kritis, terdesaknya kawasan lindung, dan bencana alam.

Ditinjau dari sisi penyelenggaraan penataan ruang, masih terdapat kendala serius yang menjadi penyebab permasalahan tersebut di atas. Tata ruang yang tidak mantap menyebabkan penggunaan lahan seringkali tidak sesuai dengan tata ruang yang telah ditetapkan (BPDAS Citarum-Ciliwung 2009). Ketidakmantapan tersebut terjadi pada setiap tahapan penyelenggaraan penataan ruang mulai dari perencanaan hingga ke pengendalian pamanfaatan ruang.

Pada tahap perencanaan tata ruang, produk rencana tata ruang yang dihasilkan masih belum menjadi acuan oleh berbagai pihak dalam pelaksanaan pembangunan. Hal ini di antaranya disebabkan oleh data dan informasi yang digunakan belum akurat, belum mencakup analisis pemanfaatan sumberdaya ke depan, rencana tata ruang hanya untuk memenuhi kewajiban pemerintah (UU dan Perda), atau seringkali dianggap sebagai produk satu instansi tertentu saja dan perencanaan tata ruang belum menggambarkan secara detil kegiatan yang harus dilakukan (Koespramoedyo 2008). Oleh karena itu pada tahap pemanfaatan ruang, seringkali tidak ada kesesuaian antara penggunaan lahan dengan peruntukannya yang ada dalam rencana tata ruang suatu daerah. Salah satu penyebab utamanya adalah perubahan tata guna lahan yang dilakukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan nafkah dan tempat tinggal (Kodoatie et al. 2008). Pada tahap pengendalian pemanfaatan ruang, pemberian izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang oleh pemerintah daerah, baik untuk alasan


(27)

2

ekonomi atau lainnya, juga memberikan andil dalam memperparah permasalahan penataan ruang seperti tersebut di atas (Koespramoedyo 2008).

Permasalahan tersebut terus berlangsung seiring waktu dengan intensitas yang berbeda-beda. Tidak tertanganinya permasalahan tersebut menjadi penyebab semakin parahnya degradasi lingkungan atau munculnya permasalahan yang berantai di berbagai bidang yang lain. Permasalahan seperti inilah yang terjadi di DAS Cisadane, sehingga pemerintah melalui Kemenhut meningkatkan status penanganan dari DAS Prioritas II pada tahun 1999 menjadi DAS Prioritas I pada tahun 2009 (BP DAS Citarum-Ciliwung 2009). Permasalahan utama terkait lahan dan air yang terjadi di DAS Cisadane di antaranya adalah erosi dan sedimentasi, hidrologi permukaan, dan penggunaan lahan.

Permasalahan erosi tanah di Sub DAS Cisadane Hulu, diindikasikan oleh tingginya nilai indeks erosi (IE) yaitu sebesar 2,78 pada Sub-sub DAS Cisadane Hulu (Emilda 2010). Nilai ini telah melampaui batas kriteria sebagai DAS yang tergolong baik dalam mengkonservasi tanah (IE > 1). Nilai TSS (total suspended solid) rata-rata juga cukup tinggi yang mencapai 70 mg/l (Sutopo 2011). Nilai ini telah melampaui kriteria baku mutu air kelas 1 menurut PP No 82 Tahun 2001. Tingginya erosi tanah yang terjadi di bagian hulu menyebabkan meningkatnya kandungan sedimen pada tubuh perairan sehingga menurunkan kualitas air dan menyebabkan pendangkalan saluran di bagian hilir.

Dari sisi hidrologi permukaan, permasalahan yang terjadi di sub DAS Cisadane Hulu salah satunya adalah meningkatnya aliran permukaan akibat perubahan lahan yang terjadi dalam DAS. Salah satunya ditunjukkan oleh nilai koefisien run off (C) di sub-sub DAS Cisadane Hulu yang cenderung meningkat mencapai nilai 0,72 (Emilda 2010), di mana kondisi hidrologi termasuk ”Baik” jika nilai C suatu DAS < 0,5. Indikasi lainnya ditunjukkan dengan adanya kecenderungan menurunnya debit aliran permukaan pada saat musim kemarau (Nugroho 2009). Hal tersebut menunjukkan bahwa sistem DAS Cisadane bagian hulu sudah terganggu, yang pada gilirannya menyokong timbulnya bencana hidrologis berupa banjir di daerah hilir DAS.


(28)

3 Perubahan lahan yang terjadi di Sub DAS Cisadane Hulu umumnya terjadi dari lahan yang mendorong kapasitas infiltrasi tinggi ke lahan yang mempunyai daya infiltrasi rendah. Di Sub-sub DAS Cisadane Hulu pada periode tahun 1987-1995, adanya tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 2,8% per tahun menyebabkan lahan pertanian sawah berkurang sebesar 28%, tegalan 5% dan kebun campuran sebesar 53% yang dikonversi menjadi lahan pemukiman (Puspaningsih 1999). Menurut laporan dari Kementerian Lingkungan Hidup, total DAS Cisadane mengalami penurunan luas hutan dari 18.519 ha pada tahun 2000 menjadi 4.324 ha pada tahun 2009. Pada periode yang sama luas areal permukiman meningkat dari 23.902,82 ha menjadi 42.362 ha (SLHI 2010).

Atas dasar uraian tersebut dapat ditegaskan bahwa penggunaan lahan dalam DAS Cisadane bagian hulu sudah mengganggu kondisi tata airnya. Hal ini ditunjukkan oleh adanya bencana hidrologis seperti banjir pada musim hujan dan bencana kekeringan saat kemarau di Kabupaten/Kota Tangerang yang merupakan bagian hilir DAS Cisadane. Bencana lain yang tidak dapat diabaikan adalah erosi di bagian hulu, kualitas air yang menurun akibat meningkatnya sedimen tersuspensi dan sedimentasi di waduk, situ, muara sungai dan tubuh air lainnya. Hal ini tentu akan menimbulkan banyak kerugian secara sosial, ekonomi, dan ekologi. Oleh sebab itu perlu dikaji penggunaan lahan kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS), karena efek negatif yang ditimbulkan tidak mengenal batas administrasi.

Wilayah ekosistem DAS dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. Bagian hulu DAS merupakan daerah konservasi, bagian tengah sebagai peralihan atau penyangga bagian hulu, sedangkan bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan. Bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap daerah itu sendiri maupun daerah hilirnya. Pemanfaatan di daerah hilir sangat bergantung pada daerah hulunya, karena terdapat keterkaitan biofisik yang erat antara hulu dan hilir terutama melalui daur hidrologi. Oleh sebab itu pengelolaan DAS bagian hulu menjadi sangat penting karena dari daerah inilah berawalnya proses yang terkait dengan hidrologi di dalam DAS.


(29)

4

Penggunaan lahan merupakan setiap bentuk campur tangan manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material ataupun spiritual (Arsyad 1989). Kebutuhan lahan bagi manusia semakin bertambah baik sisi luasannya maupun bentuk penggunaannya. Pertambahan kebutuhan luas lahan disebabkan oleh pertumbuhan penduduk dan kemajuan wilayahnya. Hal ini menjadi permasalahan tersendiri karena luas lahan tidak bertambah.

Permasalahan menjadi lebih kompleks ketika tinjauan wilayahnya berupa DAS. Hal ini disebabkan oleh fungsi hidrologi DAS dalam mengatur tata air permukaan dan air tanah. Fungsi hidrologi tanah tersebut sangat dipengaruhi oleh tata guna lahannya. Penggunaan lahan yang tidak mengikuti kaidah konservasi sumber daya alam akan menurunkan fungsi hidrologi suatu DAS. Oleh sebab itu pengaturan penggunaan lahan menjadi penting mengatasi kebutuhan manusia dan untuk menjaga fungsi hidrologi suatu DAS.

Adanya hubungan yang erat antara hulu dengan hilir, pemanfatan ruang dengan tata air dan sumber daya manusia, alam dan buatan, mengharuskan perencanaan ruang berbasis DAS sangat penting untuk dilaksanakan. Penulis tertarik dengan permasalahan tersebut dan bermaksud mengadakan penelitian mengenai perencanaan penggunaan lahan yang berbasiskan konservasi sumber daya air di Sub DAS Cisadane Hulu.

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut dapat dirumuskan beberapa masalah yang terjadi di daerah penelitian yaitu :

1. Sub DAS Cisadane Hulu merupakan bagian hulu yang harus difokuskan sebagai daerah konservasi sumber daya air, karena sangat berpengaruh terhadap bagian tengah dan hilirnya yang merupakan daerah penyangga ibukota. Harapan ini ternyata tidak selaras dengan fakta di lapangan. Kualitas lingkungan DAS terus mengalami penurunan karena penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Kondisi ini ditandai dengan


(30)

5 jumlah air permukaan, erosi dan kadar sedimen pada aliran permukaan yang tinggi.

2. Bervariasinya unsur-unsur biofisik di sub DAS Cisadane Hulu secara keruangan menyebabkan respon terhadap curah hujan yang jatuh di daerah tersebut juga berbeda-beda. Baik buruknya respon hidrologi tersebut menunjukkan kinerja unsur-unsur dalam DAS. Identifikasi sebaran kinerja DAS, yang disajikan dalam unit analisis sub-sub DAS, diperlukan untuk melihat daerah-daerah mana yang bermasalah.

3. Permasalahan hidrologis yang terjadi di sub DAS Cisadane Hulu, dari sisi perencanaan wilayah, dapat diatasi dengan pendekatan perencanaan penggunaan lahannya. Arahan penggunaan lahan yang berbasis konservasi sumber daya air perlu disusun agar penggunaan lahan yang dilakukan dapat menekan sekecil mungkin efek negatif terhadap kondisi hidrologinya namun mencapai produktifitas tinggi.

4. Arahan penggunaan lahan berbasis konservasi sumber daya air menekankan prinsip keberlanjutan dari aspek ekologi. Hal ini akan menemui kendala ketika akan diterapkan di lapangan, karena masyarakat, swasta maupun pemerintah daerah seringkali lebih menekankan pada aspek ekonomi. Oleh sebab itu perlu ada upaya untuk mendukung pelaksanaan arahan tersebut agar tercapai tujuan konservasi sumber daya air dengan tidak mengabaikan aspek ekonomi dan sosial.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengidentifikasi kinerja sub-sub DAS atas penggunaan lahan saat ini dalam upaya konservasi sumber daya air.

2. Memperoleh arahan penggunaan lahan terbaik dalam rangka konservasi sumber daya air.

3. Mengetahui pendapat berbagai pemangku kepentingan mengenai alokasi penggunaan lahan.


(31)

6

4. Menyusun arahan strategi penggunaan lahan berbasis konservasi sumber daya air.

1.4Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat pada beberapa aspek yaitu :

1. Memberikan masukan pemikiran pada pemerintah daerah khususnya dalam rangka penggunaan lahan yang mengutamakan konservasi sumber daya air, serta umumnya bagi para pengambil kebijakan yang berhubungan dengan penataan ruang wilayah DAS.

2. Sebagai bahan pembelajaran dan evaluasi dalam proses perumusan penataan ruang.


(32)

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penataan Ruang

Penataan ruang suatu wilayah merupakan hal yang sangat penting dalam proses pembangunan karena hasil pembangunan yang diperoleh akan lebih optimal. Penataan ruang merupakan bentuk pembangunan yang menggunakan pendekatan kawasan.Pendekatan kawasan meliputi pembangunan berbagai sektor yang saling terkait dan menunjang satu sama lainnya, yang mengarah kepada tercapainya fungsi tertentu, pada suatu permukaan wilayah dengan batas-batas yang telah ditetapkan (Adisasmita 2010). Penentuan kawasan dengan fungsi tertentu tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan potensi dan kondisi yang dimiliki oleh suatu wilayah, sehingga diharapkan produksi dan produktivitas akan lebih tinggi namum dampak negatif yang ditimbulkan terhadap lingkungan rendah.

Penataan ruang juga merupakan upaya menciptakan keseimbangan antara kepentingan bersifat jangka pendek dan panjang, dan kepentingan lokalitas, regional dan makro (Rustiadi et al. 2009). Keseimbangan antara kepentingan jangka pendek dan panjang bermakna bahwa penataan ruang harus mampu mengatur penggunaan ruang agar dapat memberikan manfaat secara terus menerus. Tujuan ini dapat dicapai jika perencanaan ruang memenuhi kaidah ramah lingkungan sehingga tidak menimbulkan gangguan atau kerusakan terhadap sumber daya di dalam ruang itu sendiri. Keseimbangan kepentingan lokal, regional dan makro berarti bahwa tidak satupun kepentingan pada skala luas daerah mendominasi di atas kepentingan yang lainnya. Kepentingan-kepentingan lokal dibatasi terutama yang menimbulkan efek eksternalitas negatif. Hal ini untuk menjaga keseimbangan pembangunan pada skala regional dan makro.

Konsep wilayah perencanaan tidak selalu berupa administrasi, namun dapat juga berupa wilayah yang mempunyai sifat-sifat tertentu baik bersifat alamiah maupun non alamiah (Rustiadi et al. 2009). Pengertian wilayah yang digunakan dalam perencanaan dapat berarti suatu wilayah yang sangat sempit


(33)

8

atau sangat luas, sepanjang di dalamnya terdapat unsur ruang atau space (Tarigan 2005). Munculnya kesadaran pelestarian sumberdaya alam dalam pembangunan pada dua dasawarsa terakhir, menuntut mulai dikembangkan penataan ruang bagi wilayah-wilayah bersifat alamiah, salah satunya yang paling dikenal yaitu Daerah Aliran Sungai (Marsono 2004). DAS menjadi penting sebagai acuan wilayah dalam penataan ruang karena seluruh daratan terbagi habis menjadi DAS/Sub DAS dan merupakan wilayah dengan matriks dasar kesatuan sistem hidrologis yang bersifat alamiah, yang saling terkait antara hulu, tengah dan hilir (Noordianto 2010).

Konsep tata ruang yang berdasarkan fungsi utama kawasan, seperti yang digunakan di Indonesia, di mana suatu wilayah dibagi ke dalam 2 fungsi kawasan yaitu Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya, sebenarnya analog dengan konsep pewilayahan ekosistem DAS. Apabila ekosistem DAS diklasifikasi menjadi daerah hulu dan hilir, daerah hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, sedangkan daerah hilir dicirikan sebagai daerah pemanfaatan. Dengan demikian DAS bagian hulu sepadan dengan kawasan lindung dan bagian hilirnya sepadan dengan kawasan budidaya. Jadi terdapat kesepadanan fungsi wilayah antara konsep tata ruang dengan pengelolaan DAS. Oleh sebab itu konsep tata ruang tersebut sangat sesuai jika diterapkan pada wilayah DAS.

Pentingnya perencanaan tata ruang wilayah DAS di Indonesia telah diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku terutama UU RI No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU RI No. 7 tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air. Di dalam UU Penataan Ruang disebutkan bahwa pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang dilaksanakan dengan mengembangkan penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara dan penatagunaan sumber daya alam lain. Dalam penatagunaan air dikembangkan Pola Pengelolaan Daerah Aliran Sungai yang melibatkan 2 atau lebih wilayah administrasi untuk menghindari konflik antar daerah hulu dan hilir. Pengelolaan DAS adalah bagian dari pembangunan dalam rangka pemanfaatan sumberdaya alam dengan menerapkan aspek kelestarian lingkungan dengan batas wilayah sasarannya berupa DAS.


(34)

9 Sejalan dengan hal tersebut, dalam UU No 7 tahun 2004 pasal 59, juga mengamanatkan bahwa rencana pengelolaan sumber daya air, yang wilayahnya berupa DAS, merupakan salah satu unsur dalam penyusunan, peninjauan kembali dan/atau penyempurnaan tata ruang wilayah. Selain itu pada pasal 20 disebutkan bahwa konservasi sumber daya air menjadi salah satu acuan dalam perencanaan ruang. Pada pasal 21 lebih khusus menyebutkan bahwa upaya perlindungan dan pelestarian sumber air dijadikan dasar dalam penatagunaan lahan.

Dalam peraturan perundang-undangan lainnya, diterbitkan peraturan yang khusus mengatur tentang wilayah DAS, yaitu KepMenHut No 52/Kpts-II/2001 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan DAS. Di dalamnya menjelaskan tentang kriteria dan indikator penggunaan lahan dan sumber daya air terkait dengan konservasi sumber daya air di dalam DAS, seperti pada Tabel 1 Keputusan Menteri ini dimaksudkan sebagai pedoman/acuan bagi pihak yang terlibat dalam pengelolaan DAS baik tingkat nasional, regional dan lokal.

Tabel 1 Kriteria dan indikator kinerja DAS

Kriteria Indikator Parameter Standar Keterangan

A. Kuanti-tas Air 1.Koefisien Limpasan (C) Tebal Limpasan C = --- Tebal Hujan

C < 0,25 baik C= 0,25-0,5 sedang C > 0,5 buruk

Data SPAS dan perhitungan / pengukuran 2.Penutupan

oleh vegetasi

LVP IPL = --- X 100%

Luas DAS

IPL > 75% ; baik IPL = 30-75% ; sedang

IPL < 30% ; buruk

IPL=Indeks Penutupan Lahan LVP=Luas lahan bervegetasi permanen B. Kualitas Air

3.Indeks Erosi (IE)

Erosi Aktual IE = --- EDP

IE < 1 ; baik IE > 1 ; buruk

EDP=Erosi diperbolehkan

4.Kandungan Pencemar

Muatan Sedimen (Sc) mg/L

Sc ≤ 50; baik Sc = 50-400; sedang Sc = > 400; buruk

PP No 82 Th 2001


(35)

10

2.2 Pemanfaatan Ruang

Pemanfaatan ruang merupakan wujud operasionalisasi dari rencana tata ruang atau pelaksanaan dari pembangunan yang direncanakan. Pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang. Fungsi ruang utama kawasan menurut UU RI No. 26 tahun 2007 diklasifikasikan menjadi Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya. Kawasan Lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam maupun buatan. Kawasan Lindung selain melindungi sumber daya di dalam kawasan itu sendiri juga ditujukan untuk di luar kawasan tersebut. Kawasan Budidaya adalah wilayah dengan fungsi utama untuk dibudidayakan berdasarkan kondisi dan potensi sumber daya alam, buatan dan manusia. Kawasan budidaya digunakan untuk menampung semua kegiatan manusia dalam meningkatkan taraf hidupnya sesuai dengan perencanaan tata ruang yang telah ditetapkan.

Pengaturan pemanfaatan ruang yang paling dikenal dan sering diterapkan adalah berupa pengaturan penggunaan lahan (Lassey 1977; Rustiadi et al. 2009). Pengaturan penggunaan lahan merupakan analisis aspek-aspek fisik yang paling mendasar untuk kepentingan penataan ruang, karena di dalamnya juga telah mencakup sumberdaya air, iklim, vegetasi dan unsur-unsur lahan lainnya (Rustiadi et al. 2009). Pengaturan tersebut sangat penting karena lahan merupakan wadah bagi semua aktivitas manusia. Wadah tersebut mempunyai sifat dan karakteristik yang khas karena dibentuk oleh unsur-unsur sumberdaya yang jumlahnya banyak dan bervariasi nilainya. Hal ini mengakibatkan kemampuan yang dimiliki setiap lahan untuk mendukung aktivitas yang berlangsung di atasnya berbeda-beda pula.

Pengaturan penggunaan lahan juga telah diamanatkan dalam Undang-Undang No 26 tahun 2007 bahwa pemanfaatan ruang dilaksanakan dengan mengembangkan salah satunya adalah penatagunaan tanah/lahan. Penatagunaan tanah adalah sama dengan pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan


(36)

11 pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil (PP No 16 tahun 2004). Dengan demikian penatagunaan tanah/lahan merupakan ujung tombak dalam mengimplementasikan rencana tata ruang.

Dalam pengelolaan wilayah DAS, pengaturan penggunaan lahan salah satunya dimaksudkan untuk mendapatkan hasil konservasi air yang optimal. Tujuan ini dapat dicapai dengan pendekatan yang didasarkan pada peningkatan sistem penggunaan lahan. Sistem tersebut harus dapat melindungi tanah dari erosi dan memaksimumkan penyerapan air (Arsyad 2006). Pendekatan konservasi tersebut ditingkat lapangan mencakup juga penyerapan aspirasi dari masyarakat/petani, karena menyangkut kehidupan mereka yang sebagian besar mengandalkan sumberdaya alam di sekitarnya. Oleh sebab itu dalam perencanaan penggunaan lahan berbasis konservasi air, selain faktor lingkungan perlu diperhatikan juga faktor ekonomi dan sosial agar terdapat keseimbangan di antara ke tiga aspek tersebut. Untuk itu perlu diidentifikasi jenis penggunaan lahan yang memenuhi aspek-aspek tersebut.

2.3 Konservasi Sumber Daya Air

Konservasi sumber daya air adalah upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat dan fungsi sumber daya air agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun yang akan datang (UU No 07 tahun 2004). Sumber daya air merupakan salah satu komponen penting dalam sistem DAS. Terkait dengan tujuan pengelolaan DAS, maka perencanaan wilayah DAS harus menganut asas pemanfaatan sumber daya air sesuai dengan kemampuannya dan asas lestari atau berkelanjutan. Sesuai dengan kemampuannya bermakna bahwa pemanfaatan sumber daya air tidak boleh melampaui daya dukungnya. Keberlanjutan bermakna sumberdaya air diharapkan tersedia jumlahnya dan memenuhi syarat kualitasnya untuk masa kini dan yang akan datang.

Upaya konservasi sumber daya air menghadapi kendala karena adanya penekanan kawasan budidaya untuk berfungsi ekonomis yang setinggi-tingginya,


(37)

12

sehingga mengabaikan terhadap fungsi konservasinya (Marsono 2004). Hal ini menimbulkan isu penting yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu :

a. Penyederhanaan eksosistem kawasan budidaya secara berlebihan sehingga struktur yang terbentuk selalu monokultur, sehingga mengganggu kaidah dan fungsi ekosistem.

b. Stabilitas ekosistem menjadi rendah, natural stabilizing factor tidak berfungsi, sehingga manusia cenderung menggantinya menjadi chemical stabilizing factor yang mahal dan tidak ramah lingkungan.

c. Kemunduran site quality/tapak hutan tanaman, yang ditandai dengan penurunan produktifitas atau kejemuan jenis tanaman tertentu.

d. Faktor hidroorologi belum mendapatkan perhatian yang memadai.

Permasalahan tersebut muncul dan menjadi perhatian bila terjadi di daerah hulu, karena daerah hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap daerah hulu itu sendiri dan daerah di bawahnya. Oleh karena itu bagian hulu DAS biasanya menjadi fokus perhatian dalam upaya konservasi sumber daya air.

2.4 Sistem Informasi Geografi (SIG)

Banyak ahli yang mendefinisikan mengenai SIG, namun jika hal tersebut dirangkum, maka pada intinya SIG merupakan sebuah sistem untuk memasukkan, mengelola, menyimpan, memroses, menganalisis dan menyajikan data yang terkait dengan permukaan bumi (Burrough dan McDonnell 1998; Barus dan Wiradisastra 2000). Sebagai suatu sistem, SIG mempunyai banyak elemen penyusun, dan antar elemen tersebut saling berhubungan dan bekerjasama untuk melakukan suatu proses atau kegiatan. Sebagai Sistem informasi, SIG terbentuk dalam suatu jaringan antara perangkat keras dan lunak yang dapat menjalankan operasi-operasi mulai dari pemasukan, pengolahan, penyimpanan hingga ke penyajian hasilnya. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu atau untuk mendapatkan informasi dalam rangka pengambilan keputusan. Kata Geografi menunjukkan bahwa data yang digunakan serta hasil pengolahannya mempunyai referensi keruangan di permukaan bumi atau mempunyai koordinat geografi.


(38)

13 Operasi-operasi dalam SIG menjadi jauh lebih efisien, akurat dan interaktif karena berbasiskan sistem komputer yang didukung kemajuan teknologi. Kemampuan untuk memanipulasi data spasial dan mengaitkannya dengan informasi atribut dan mengintegrasikannya dengan berbagai tipe data dalam suatu análisis juga semakin meningkat (Barus dan Wiradisastra 2000). Kemampuannya menganalisis spasial secara cepat menjadikan SIG sebagai sistem yang dapat digunakan untuk tujuan perencanaan, deteksi perubahan dan análisis, pemodelan keputusan dan análisis lainnya.

Kajian wilayah dengan penerapan metode SIG untuk satu atau beberapa tujuan tersebut telah banyak digunakan di Indonesia dewasa ini. Emilda (2008) menggunakan metode SIG dan HEC-HMS untuk membantu simulasi guna mendapatkan arahan penggunaan lahan yang optimal dalam menurunkan erosi tanah dan aliran permukaan di sub-sub DAS Cisadane Hulu. Sukondi (2006) menggabungkan metode SIG dengan USLE untuk menganalisis data spasial dalam rangka perencanaan penggunaan lahan berbasis konservasi tanah, seperti yang dilakukan di sub DAS Ciasem Hulu. Broto (2009) menggunakan SIG yang dipadukan dengan USLE dan regresi untuk melihat perubahan penggunaan lahan dan membantu menganalisis secara keruangan dalam proses penyusunan tata ruang kawasan DTA Waduk Batutegi, sedangkan perumusan arahan strategi pengembangan dan pengelolaan ruangnya menggunakan metode SWOT dan QSPM.

2.5 Model AVGWLF (Arc View Generalized Watershed Loading Functions) Kebutuhan data dan informasi mengenai karakteristik hidrologi suatu DAS sangat dibutuhkan untuk pengelolaan DAS atau penataan ruang. Di sisi lain ada keterbatasan dalam hal waktu, biaya, peralatan ataupun lainnya dalam pemantauan atau pengumpulan data di lapangan, apalagi untuk rentang waktu yang lama. Salah satu metode yang saat ini banyak digunakan oleh para ahli adalah pemodelan terhadap DAS. Dalam dua dekade terakhir ini, pemodelan DAS lebih berkembang lagi dengan diintegrasikannya metode Sistem Informasi Geografis.


(39)

14

AVGWLF adalah model simulasi DAS yang merupakan integrasi antara model matematis GWLF (Generalized Watershed Loading Functions) dengan model spasial SIG (Evans et al. 2008). GWLF yang merupakan inti model, awalnya dibangun oleh Haith dan Shoemaker tahun 1987. Pada tahun 2002 dikembangkan software-nya oleh Evans dan rekan-rekannya dari Universitas Pensylvania untuk diintegrasikan dengan perangkat lunak Arc View dan telah diuji secara luas di Amerika dan di tempat lain.

Model AVGWLF merupakan model hidrologi lumped, dengan distribusi spasial melalui pembagian sebuah DAS ke dalam sub DAS atau sub-sub DAS. Model ini mentransformasi curah hujan (input) ke dalam aliran permukaan (output) dengan konsep bahwa semua proses dalam seluruh Sub DAS atau DAS terjadi pada satu titik spasial. Model ini tidak secara spasial menjelaskan distribusi daerah-daerah (sel-sel/grid-grid) sumber, tetapi hanya agregat muatan dari masing-masing daerah sumber (sub-sub DAS/sub DAS) menjadi total Sub DAS atau DAS.

Model AVGWLF menyediakan kemampuan untuk mensimulasikan volume limpasan permukaan, sedimen, dan unsur hara (N dan P) yang dihasilkan dari berbagai sumber-sumber area (non point sources) di suatu DAS. Model ini juga memiliki algoritma untuk menghitung muatan sistem septik dan masuknya muatan dari sumber-sumber titik. Prakiraan kuantitas limpasan permukaan disimulasikan secara kontinyu setiap hari menggunakan data curah hujan dan suhu udara harian. Hasilnya diakumulasi ke dalam satuan waktu bulanan dan tahunan.

Data masukan yang disyaratkan yaitu, sumber dan transpor runoff dan parameter kimia. Paramater transpor meliputi area, bilangan kurva runoff, dan faktor erosi (R,K,L,S,C, dan P) untuk setiap area sumber runoff. Luaran yang dihasilkan oleh AVGWLF dan digunakan dalam penelitian ini adalah prakiraan tinggi aliran permukaan, tinggi aliran sungai, banyaknya tanah tererosi dan hasil sedimen yang terangkut hingga outlet sub DAS/sub-sub DAS.


(40)

15 2.6 Prakiraan Jumlah Aliran Permukaan

Air hujan yang jatuh dalam suatu DAS akan menjadi runoff atau mengalami evaporasi. Runoff, sebagai sumber aliran sungai, merupakan gabungan dari empat komponen aliran yaitu channel runoff, surface runoff, sub surface flow

dan base flow. Channel runoff adalah curah hujan yang jatuh langsung di permukaan air sungai. Jumlahnya bervariasi tergantung pada intensitas hujan, namun proporsinya sangat sedikit dalam hidrograf banjir. Surface runoff adalah aliran di atas permukaan tanah yang terjadi ketika jumlah curah hujan yang jatuh melebihi jumlah air terinfiltrasi. Jumlahnya sangat besar dalam hidrograf banjir, dan berpengaruh penting terhadap puncak banjir. Sub surface flow terjadi ketika air hujan terinfiltrasi mencapai lapisan berdaya transmisi lebih kecil atau impermeabel, kemudian mengalir secara lateral atau horizontal dan muncul di permukaan tanah sebagai rembesan atau mata air. Aliran ini terjadi pada saat hujan berlangsung hingga setelah hujan berhenti. Base flow adalah aliran yang relatif stabil yang berasal dari simpanan alami. Dalam pergerakan aliran air dari hujan menuju sungai sebagai baseflow, membutuhkan waktu beberapa hari, minggu atau bulan. Ketiga jenis aliran yang disebut pertama biasa dikenal dengan

direct runoff.

Aplikasi AVGWLF menggunakan metode Bilangan Kurva (SCS -

Curve Number) untuk menghitung tinggi aliran permukaan. Metode ini dikembangkan oleh US Soil Conservation Service. Metode ini mengkaitkan karakteristik DAS seperti jenis tanah, vegetasi, dan pengelolaan lahan dengan bilangan kurva aliran permukaan CN (runoff curve number) yang menunjukkan potensi aliran permukaan untuk curah hujan tertentu (Asdak 2004). Bilangan Kurva tidak mempunyai satuan dan nilainya berkisar antara 0 hingga 100. Semakin tinggi nilai Bilangan Kurva semakin tinggi pula potensi terjadinya limpasan permukaan.

Metode Bilangan Kurva didasarkan pada 3 asumsi, yaitu :

1. Jumlah air maksimum yang dapat ditahan dalam DAS (S) merupakan simpanan permukaan dan simpanan dalam tanah (Soil storage).


(41)

16

2. Perbandingan antara simpanan aktual dalam tanah (F) terhadap simpanan maksimum potensial (S) sama dengan perbandingan antara runoff (Q) terhadap hujan (P) dikurangi abtsraksi awal (Ia).

3. Harga abstraksi awal (Ia) linier terhadap penahanan air maksimum potensial (S), dengan fungsi, Ia = 0,2S. Artinya 0,2 dari nilai penahanan maksimum potensial digunakan untuk mencukupi harga abstraksi awal sebelum terjadinya limpasan permukaan, 0,8 sisanya merupakan infiltrasi yang terjadi setelah limpasan permukaan.

Limpasan permukaan dihitung berdasarkan data cuaca harian dengan persamaan :

dengan

di mana, S adalah Parameter Retensi, CN adalah Curve Number, P adalah tebal hujan (mm) dan Q adalah tebal limpasan permukaan (mm). Tebal hujan dihitung berdasarkan data tebal hujan harian.

2.7 Prakiraan Erosi dan Hasil Sedimen

Sedimen merupakan hasil proses erosi, baik berupa erosi permukaan, erosi parit, maupun erosi tanah lainnya (Asdak 2004; Arsyad 2006). Erosi disebabkan oleh tenaga kinetis hujan dan aliran permukaan. Tenaga kinetis tersebut melepaskan partikel tanah dari agregatnya serta mengangkutnya menuju ke tempat yang lebih rendah dan terendapkan atau masuk ke dalam tubuh air. Dalam proses transportasinya di dalam saluran/sungai, sedimen terbawa dalam dua bentuk yaitu sedimen melayang (suspended sediment) dan sedimen dasar (bed load). Hal ini dipengaruhi oleh ukuran partikelnya. Hasil sedimen (sediment yield) biasanya hanya diperoleh dari pengukuran sedimen melayang dalam sungai (suspended sediment) (Asdak 2004). Sedimen melayang dalam aliran sungai


(42)

17 dapat menjadi indikator banyaknya erosi dan sedimen dasar di DAS dengan topografi bergunung (Keller 1991).

Demikian pula dalam penentuan kelas kualitas air untuk berbagai peruntukan, persyaratan yang diminta adalah parameter sedimen melayang saja. Hal ini disebabkan sedimen melayang lebih dominan mempengaruhi kualitas air karena mengandung partikel-partikel dan zat hara atau bahan lain yang dapat mencemari air. Sedimen melayang meskipun pada umumnya tidak bersifat racun, namun bila berlebihan akan berpengaruh pada tingkat kekeruhan, penetrasi cahaya matahari, temperatur, dan kandungan oksigen dalam perairan, sehingga dapat menyebabkan kerugian-kerugian lainnya.

Berdasarkan ukuran partikelnya, pengukuran sedimen melayang dibedakan ke dalam 2 kelompok, yaitu Total Suspended Solid (TSS) dan Total Disolved Solid (TDS). TSS menyatakan besarnya jumlah partikel organik dan non-organik yang terlarut dalam kolom perairan. Partikel-partikel tersebut merupakan bahan-bahan tersuspensi dengan diameter > 1 µ m. Partikel tersuspensi tersebut terdiri dari lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik yang terutama disebabkan oleh erosi tanah yang terbawa ke badan air. Saat pengukuran di laboratorium, partikel yang tertahan pada filter dengan ukuran pori 0,45 µ m dimasukkan dalam kelompok TSS. Adapun TDS merupakan konsentrasi jumlah ion bermuatan positif (kation) dan bermuatan negatif (anion) yang terlarut dalam air. Bahan-bahan penyusunnya dapat mencakup antara lain golongan karbonat, bikarbonat, klorida, sulfat, fosfat, nitrat, kalsium magnesium, natrium, ion organik dan ion lainnya. Oleh sebab itu TDS merupakan parameter penting dalam penentuan kualitas air. Di laboratorium partikel yang lolos dari filter dengan ukuran pori 0,45 µm dimasukkan dalam TDS.

Faktor-faktor fisik DAS yang mempengaruhi banyaknya sedimen yang masuk ke perairan adalah tanah, iklim, topografi, vegetasi dan cara pengelolaannya, serta kerapatan saluran/sungai (Asdak 2004). Tanah sebagai sumber sedimen mempunyai karakteristik berupa kepekaan terhadap erosi atau erodibilitas tanah. Terdapat hubungan yang kuat antara erodibilitas tanah dengan banyaknya sedimen yang masuk ke perairan (Ludwig dan Probst 1996). Faktor


(43)

18

iklim yang penting dalam mempengaruhi besarnya sedimen yang masuk ke perairan adalah rata-rata curah hujan tahunan (Ludwig dan Probst 1996; Sharma 1996). Energi kinetik hujan yang dapat mendispersi agregat tanah ditentukan oleh intensitas dan tebal hujan. Curah hujan juga menghasilkan limpasan permukaan yang sangat berperan pula dalam pelepasan dan pengangkutan sedimen dari partikel tanah. Kemiringan lereng DAS merupakan parameter topografi yang paling berpengaruh terhadap jumlah sedimen yang terbawa, karena parameter tersebut sangat menentukan jumlah dan kecepatan aliran permukaan (Ludwig dan Probst 1996; Sharma 1996).

Peranan penutup lahan terhadap banyaknya sedimen yaitu mengurangi pengaruh daya dispersi pukulan air hujan dan topografi terhadap erosi dengan cara merubah butir-butir hujan menjadi air yang terintersepsi. Vegetasi, akar-akar dan proses biologi yang berkaitan dengan pertumbuhannya mempengaruhi stabilitas struktur dan porositas tanah (Arsyad 1989). Selain itu vegetasi juga dapat meningkatkan kapasitas infiltrasi karena menyerap kandungan air tanah, sehingga volume aliran permukaan menjadi berkurang (Mingguo et al. 2007).

Besarnya sedimen yang masuk ke sungai ditentukan juga oleh faktor manusia melalui cara mereka mengelola lahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Asdak 2004). Pengelolaan lahan yang dimaksud adalah tindakan secara fisik, seperti cara bercocok tanam, usaha konservasi tanah dan lain sebagainya. Cara pengelolaan tersebut dapat mencegah atau menambah produksi sedimen karena proses erosi.

Aplikasi AVGWLF memprakirakan besarnya hasil sedimen pada dasarnya menggunakan pendekatan model jumlah tanah tererosi dan metode Sedimen Delivery Ratio (SDR). Persamaan dasar matematisnya adalah sebagai berikut :

S = A.SDR ... (3)

di mana S adalah hasil sedimen (mg), A adalah banyaknya tanah yang tererosi (ton/ha/th); dan SDR adalah nisbah pelepasan sedimen / sedimen delivery ratio. Prakiraan jumlah tanah tererosi (A) menggunakan metode Universal Soil Loss


(44)

19

Equation (USLE). Nilai SDR ditentukan dengan menggunakan grafik hubungan antara luas DAS dan besarnya SDR. Nilai SDR dapat diketahui apabila luas DAS yang diteliti sudah diketahui, setelah diplotkan ke dalam grafik tersebut. Nilai A diperoleh dengan persamaan dasar :

A = R.K.L.S.C.P ... (4)

di mana R adalah faktor erosivitas curah hujan dan limpasan permukaan; K adalah faktor erodibilitas tanah; L adalah faktor panjang lereng; S adalah faktor gradien kemiringan lereng; C adalah faktor pengelolaan/cara bercocok tanam; dan P adalah praktek konservasi tanah (secara mekanik).

2.8 Analytic Hierarchy Process (AHP)

AHP merupakan salah satu metode untuk membantu menyusun prioritas dari berbagai pilihan dengan menggunakan beberapa kriteria (multi kriteria). Metode ini mula-mula dikembangkan oleh Thomas L. Saaty sekitar tahun 1970-an. Model pendukung keputusan ini menguraikan masalah multifaktor atau multi kriteria yang kompleks menjadi suatu hirarki. Hirarki dapat menguraikan masalah yang kompleks ke dalam kelompok-kelompoknya secara berjenjang sehingga permasalahan menjadi terstruktur dan sistematis. Dalam perkembangannya AHP dapat digunakan untuk menganalisis penggunaan lahan dan kesesuaian lahan secara komprehensif, yang mempertimbangkan aspek biofisik, ekonomi, dan sosial (Baja 2002).

Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, stratejik, dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata dalam bentuk hirarki (Marimin 2004). Selanjutnya, tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subyektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel yang lain. Dari berbagai pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut.


(45)

20

Metode AHP didasarkan atas 3 prinsip dasar yaitu: a. Dekomposisi.

Berdasarkan prinsip ini, struktur masalah yang kompleks dibagi menjadi bagian-bagian secara hirarki. Tujuan didefinisikan dari yang umum sampai ke khusus. Dalam bentuk yang paling sederhana struktur akan dibandingkan tujuan, kriteria dan level alternatifnya. Tiap himpunan alternatif mungkin akan dibagi lebih jauh menjadi tingkatan yang lebih detil, mencakup lebih banyak kriteria yang lain. Level paling atas dari hirarki merupakan tujuan yang terdiri atas satu elemen. Level berikutnya mungkin mengandung beberapa elemen, di mana elemen-elemen tersebut bisa dibandingkan, memiliki kepentingan yang hampir sama dan tidak memiliki perbedaan yang terlalu mencolok. Jika perbedaan terlalu besar harus dibuatkan level baru.

b. Perbandingan penilaian/pertimbangan (comparative judgements)

Dengan prinsip ini akan dibangun perbandingan berpasangan dari semua elemen yang ada dengan tujuan menghasilkan skala kepentingan relatif dari elemen. Penilaian menghasilkan skala penilaian yang berupa angka. Perbandingan berpasangan dalam bentuk matriks jika dikombinasikan akan menghasilkan prioritas.

c. Sintesa Prioritas

Sintesa prioritas dilakukan dengan mengalikan prioritas lokal dengan prioritas dan kriteria bersangkutan di level atasnya dan menambahkannya ke tiap elemen dalam level yang dipengaruhi kriteria. Hasilnya merupakan gabungan atau dikenal dengan prioritas global yang kemudian untuk memboboti prioritas lokal dari elemen di level sesuai dengan kriterianya.


(46)

III METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran

Pendekatan wilayah fungsional Daerah Aliran Sungai (DAS) sangat sesuai untuk pengelolaan ruang darat yang terkait dengan permasalahan lahan dan sumber daya air, karena terdapat keterkaitan yang erat antar komponen biotik dan abiotik dalam satu kesatuan ekosistem DAS. Di samping itu juga terdapat keterkaitan antara wilayah bagian hulu, tengah dan hilir melalui daur hidrologi. Bagian hulu sebagai daerah konservasi berfungsi melindungi seluruh bagian DAS, terutama bagian tengah dan hilir sebagai daerah pemanfaatan. Oleh sebab itu pengaturan penggunaan lahan di bagian hulu menjadi penting karena mempengaruhi seluruh bagian DAS. Dengan demikian tujuan penataan ruang dapat dicapai tanpa menimbulkan degradasi lahan dan air atau menimbulkan efek eksternalitas.

Sub DAS Cisadane Hulu merupakan salah satu kawasan yang penting secara ekologis dalam melindungi daerah-daerah penyangga ibukota negara yaitu Kabupaten Bogor dan Tangerang serta Kota Tangerang dan Tangerang Selatan, karena berada dalam satu kesatuan ekosistem DAS Cisadane. Di sisi lain, Sub DAS Cisadane Hulu juga berperan langsung menyangga daerah itu sendiri dan sekitarnya di bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Adanya konflik kepentingan antar berbagai bidang yang dipicu oleh pertambahan jumlah penduduk menyebabkan permasalahan di bidang sumber daya lahan seperti meningkatnya pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan dan kesesuaiannya. Pemanfaatan lahan yang tidak tepat selanjutnya berimplikasi terhadap masalah-masalah keairan di seluruh DAS Cisadane. Untuk itu perlu adanya kajian tentang arahan penggunaan lahan di DAS Cisadane khususnya bagian hulu.

Kajian mengenai arahan penggunaan lahan Sub DAS Cisadane Hulu didasarkan pada permasalahan keairan yang terjadi saat ini. Permasalahan yang muncul dan telah melampaui batas aman yaitu limpasan permukaan dan kandungan sedimennya yang dihasilkan oleh DAS. Permasalahan tersebut harus


(47)

22

diidentifikasi faktor-faktor penyebabnya dan sebaran lokasi sumbernya untuk dapat ditangani dengan tepat.

Koefisien limpasan merupakan indikator kuantitas sumber daya air di suatu DAS, yaitu menunjukkan bagian air hujan yang mengalir sebagai limpasan permukaan. Tinggi rendahnya nilai koefisien limpasan dipengaruhi oleh kondisi fisik DAS seperti curah hujan, jenis tanah, dan penggunaan lahannya. Ketiga faktor tersebut dapat ditentukan nilainya berdasarkan data primer atau sekunder yang ada di daerah penelitian. Dari ketiga faktor tersebut besarnya volume aliran permukaan dihitung menggunakan metode Bilangan Kurva. Hasilnya dapat digunakan untuk melihat kinerja DAS saat ini dan prediksinya pada saat yang akan datang serta melihat sebaran daerah-daerah penyumbang limpasan permukaan.

Indikator kualitas air ditunjukkan oleh salah satunya yaitu kandungan sedimen dalam limpasan permukaan. Banyaknya sedimen di dalam limpasan permukaan sangat dipengaruhi oleh iklim, jenis tanah, lereng, penggunaan lahan beserta pengolahannya dan Sediment Delivery Ratio (SDR). Pendugaan besarnya kandungan sedimen yang terbawa melalui limpasan permukaan dilakukan dengan metode USLE dan SDR. Hasil perhitungan tersebut digunakan untuk melihat kinerja DAS saat ini dan prediksinya untuk saat yang akan datang serta melihat sebaran daerah penyumbang sedimen dalam limpasan permukaan.

Hasil analisis tersebut di atas, digunakan sebagai dasar penyusunan arahan penggunaan lahan di Sub DAS Cisadane. Arahan ditujukan untuk mendapatkan penggunaan lahan yang menghasilkan respon hidrologis yang paling baik. Hasil yang diharapkan dari arahan penggunaan lahan DAS bagian hulu adalah tersedianya air yang memadai baik kuantitas maupun kualitasnya. Memadai secara kuantitas ditunjukkan dengan rendahnya perbandingan antara volume limpasan permukaan terhadap volume air hujan, namun masih mencukupi untuk berbagai kebutuhan. Memadai secara kualitas ditunjukkan oleh kandungan sedimen yang rendah menurut peraturan yang berlaku. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan dalam Gambar 1.


(48)

23

Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran penelitian. 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di DAS Cisadane Hulu, dan secara administrasi sebagian besar berada di wilayah Kabupaten Bogor, dan sebagian lainnya berada

Banjir dan Kekeringan

Arahan Penggunaan Lahan Sub DAS Cisadane Hulu Simulasi Penggunaan Lahan

( Perbandingan skenario ) Kinerja sub-sub DAS

saat ini

Skenario Terbaik Permasalahan hidrologis

Penggunaan Lahan Sub DAS Cisadane Hulu

Pencemaran Sedimen Evaluasi Penggunaan Lahan

Prediksi jumlah aliran permukaan dan indikatornya (Model)

Prediksi jumlah hasil sedimen dan indikatornya (Model)


(49)

24

di Kota Bogor, Jawa Barat, seperti terlihat pada Gambar 2. Waktu penelitian dilakukan bulan Februari hingga Desember 2012.

Gambar 2 Lokasi penelitian.

3.3 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1 : 25.000, Citra ALOS AVNIR resolusi 10 m tahun 2010, Peta Batas sub DAS Cisadane Hulu dan sub-sub DASnya skala 1:50.000, Peta Tanah skala 1 : 250.000, Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025 skala 1:100.000 dan Peta RTRW Kota Bogor Tahun 2010-2029 skala 1:50.000, data Digital Elevation Model (DEM) SRTM resolusi 30 x 30 m, data curah hujan harian, data suhu maksimum dan minimum harian tahun 2010, dan data hasil kuesioner.

Alat yang digunakan adalah GPS, kamera digital dan seperangkat komputer yang dilengkapi dengan software : AVGWLF (Arc View Generalized Watershed Loading Functions), ArcView, ArcGIS, dan Microsoft Office.


(50)

25 3.4 Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu data primer dan sekunder. Data primer terdiri dari peta penggunaan lahan dan persepsi masyarakat terhadap penggunaan lahan yang optimal. Peta penggunaan lahan diperoleh dengan cara interpretasi citra ALOS AVNIR tahun 2010 dan cek lapangan. Data persepsi masyarakat dikumpulkan melalui kuesioner yang diberikan kepada 7 responden dengan pertimbangan responden adalah aktor/pengguna lahan yang dianggap memiliki keahlian atau kemampuan dan mengerti permasalahan terkait serta yang mempengaruhi pengambilan kebijakan baik secara langsung maupun tidak langsung. Ketujuh responden tersebut berasal dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Citarum-Ciliwung, Dinas Tata Ruang dan Pertanahan Kabupaten Bogor, Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kabupaten Bogor, Balai Pengelolaan Sumber Daya Air (BPSDA) Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), masyarakat dari Kawasan Penyangga, dan dari Kawasan Budidaya.

Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui permintaan data atau pembelian data di instansi-instansi yang menjadi walidata setiap bahan/data yang digunakan yaitu: Peta RBI dan SRTM di Badan Informasi Geospasial, Peta Tanah di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian-Kementerian Pertanian, data hujan dan suhu di Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika atau BPSDA Wilayah Sungai Citarum-Cisadane-Kementrian PU, Peta Pola Ruang RTRW di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kab/Kota Bogor, dan data kependudukan dan administrasi di BPS Kab/Kota Bogor.

3.5 Metode Analisis Data 3.5.1 Pengolahan Data Awal

Pengolahan data awal merupakan pengolahan data untuk menyediakan data baru berupa data turunan dari data dasar atau raw data yang akan digunakan dalam analisis utama. Data hasil pengolahan data awal terdiri dari:

a) Data penggunaan lahan, diperoleh dari interpretasi citra ALOS AVNIR tahun perekaman 2010 dengan resolusi 2,5 meter dan didukung oleh


(51)

sumber-26

sumber lainnya. Interpretasi penggunaan lahan dilakukan secara visual dengan teknik konvergensi bukti untuk mengenali suatu obyek (penggunaan lahan). Konvergensi bukti merupakan teknik pengenalan suatu obyek yang didasarkan atas sebanyak-banyaknya penerapan unsur-unsur interpretasi citra. Unsur interpretasi adalah karakteristik obyek yang tergambar dalam citra dan digunakan untuk mengenali obyek. Terdapat delapan unsur interpretasi citra yaitu, rona dan warna, bentuk, ukuran, tekstur, pola, bayangan, situs, asosiasi. Penggunaan lahan yang ada diklasifikasikan menurut Klasifikasi Penggunaan Lahan yang diterbitkan oleh Badan Standarisasi Nasional Nomor SNI 7645:2010 untuk skala peta 1 : 50.000. Hasil interpretasi citra diuji ketelitiannya untuk melihat sejauh mana kesesuaiannya dengan data lapangan. Metode sampling yang digunakan adalah stratified sampling.

Metode uji ketelitian yang digunakan adalah metode Confusion Matrix Calculation (Short 1994). Metode ini menyusun perbandingan hasil interpretasi citra dengan hasil cek lapangan dalam suatu matriks kesalahan (Confusion Matrix). Metode ini dapat menghasilkan nilai yang menunjukkan ketelitian hasil interpretasi dalam Overall Accuracy (OA) dan Kappa Accuracy (KA).

b) Data sub DAS dan sub-sub DAS, diperoleh dari analisis data SRTM yang didetilkan dengan data garis kontur dari peta RBI skala 1:25.000. Pengolahan data menggunakan perangkat lunak Arc-GIS 9.3 dengan Spatial Analyst tools-Hydrology. Hasilnya berupa poligon Sub DAS Cisadene Hulu dan 44 sub-sub DAS.

c) Data isohyet, diperoleh dari data curah hujan rata-rata tahunan 12 stasiun yang ada di dalam dan di sekitar sub DAS Cisadane Hulu. Pengolahan data menggunakan perangkat lunak Arc-GIS 9.3 dengan Spatial Analyst tools-Interpolation-Spline.

d) Data kemiringan lereng, diturunkan dari DEM SRTM daerah sub DAS Cisadane Hulu dan sekitarnya menggunakan Spatial Analyst tools-Slope.

e) Data tanah yang digunakan mempunyai skala 1:250.000, secara spasial tidak dilakukan perbaikan kualitas data, sehingga menjadi salah satu keterbatasan


(52)

27 penelitian ini. Perbaikan kualitas data dilakukan pada atributnya yaitu dengan mengambil data yang lebih detil dari penelitian sebelumnya.

3.5.2 Metode Pengolahan Data Utama

3.5.2.1 Parameter Kinerja sub-sub DAS Aktual

Empat parameter yang digunakan untuk melihat kinerja DAS yang menjadi sasaran, yaitu Indeks Penggunaan Lahan (IPL), koefisien limpasan (C), Indeks Bahaya Erosi (IBE) dan kadar sedimen (SC). Nilai IPL dan C merupakan indikator kriteria kuantitas air, sedangkan IBE dan parameter IBE dan kadar sedimen merupakan indikator kriteria kualitas air. Nilai parameter tersebut kemudian dikelaskan dan diberi skor. Skor keempat parameter tersebut kemudian dijumlahkan, dan jumlah skor tersebut digunakan untuk mengkelaskan kinerja DAS yang bersangkutan.

Parameter IPL diperoleh dari perbandingan antara luas lahan bervegetasi permanen dengan luas sub-sub DAS. Lahan bervegetasi permanen yang dimaksudkan adalah tanaman tahunan seperti hutan dan perkebunan yang dapat berfungsi lindung seperti perkebunan campuran. Lahan tersebut diperoleh dari peta penggunaan lahan. Persamaan yang digunakan adalah :

………(1)

di mana IPL : Indeks Penggunaan Lahan, LVP : luas lahan bervegetasi permanen (ha), LDAS : luas DAS yang menjadi sasaran (ha). Adapun klasifikasi dan skor IPL disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Klasifikasi nilai IPL

No Nilai IPL (%) Kelas Skor

1 > 75 Baik 1

2 30 – 75 Sedang 2


(53)

28

Nilai C diperoleh dari perbandingan antara tebal aliran permukaan dan tebal hujan. Persamaan untuk menghitung nilai tersebut adalah :

di mana C : banyaknya curah hujan yang menjadi aliran permukaan, Qtahunan : tebal aliran permukaan tahunan (cm), Ptahunan : tebal curah hujan tahunan (cm). Klasifikasi nilai C disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Klasifikasi nilai C

No C Kelas Skor

1 < 0,25 Baik 1

2 0,25 – 0,50 Sedang 2

3 0,51 – 1,0 Buruk 3

IBE diperoleh dengan membandingkan antara erosi aktual dengan erosi yang ditoleransi. Persamaan untuk menghitung nilai tersebut adalah :

di mana koefisien IBE : indeks bahaya erosi, A : erosi aktual (ton/ha/th), T : erosi yang masih diperbolehkan (ton/ha/th). Klasifikasi nilai IBE disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Klasifikasi nilai IBE

No IBE Kelas Skor

1 < 1 Baik 1

2 > 1 Buruk 3

Kadar sedimen merupakan banyaknya sedimen yang terdapat pada aliran permukaan. Persamaan yang digunakan untuk menghitung nilai tersebut adalah :


(54)

29 dimana koefisien SC : kadar/konsentrasi sedimen dalam aliran permukaan (mg/l), SY : hasil sedimen tahunan (mg), SFv : jumlah aliran sungai tahunan (l). Klasifikasi nilai SC disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Klasifikasi nilai SC

No SC (mg/l) Kelas Skor

1 < 50 Baik 1

2 50 – 400 Sedang 2

3 > 400 Buruk 3

Kelas kinerja DAS ditentukan berdasarkan jumlah skor empat parameter tersebut. Keempat parameter tersebut dianggap mempunyai bobot yang sama dalam menentukan kinerja DAS. Hal tersebut didasarkan tidak adanya keberpihakan kepada salah satu parameter. Keempat parameter tersebut tidak saling mengkompensasi dimana kelemahan dari salah satu parameter tidak dapat ditutupi oleh parameter yang lain. Setiap parameter mempunyai peran yang saling terlepas terhadap parameter lainnya dalam menentukan kelas kinerja DAS. IPL untuk melihat peran jenis vegetasi kaitannya dengan penyimpanan air dalam tanah, C berperan untuk melihat banyaknya air hujan yang menjadi aliran permukaan, IBE untuk melihat banyaknya erosi tanah yang terjadi pada matra darat, sedangkan SY digunakan untuk melihat banyaknya sedimen yang terdapat pada matra air (aliran permukaan).

Jumlah skor digunakan untuk mengklasifikasi kinerja DAS, jika nilainya diantara 4-6 dimasukkan ke dalam DAS berkinerja Baik, jika diantara 7-9 termasuk DAS berkinerja Sedang, dan jika diantara 10-12 termasuk DAS berkinerja Buruk.

Nilai LVP dan LDAS dihitung dengan metode SIG, sedangkan tebal aliran permukaan, tebal hujan, besarnya erosi tanah dan hasil sedimen diprakirakan menggunakan aplikasi/pemodelan AVGWLF 7.2. Beberapa hal penting dalam pengoperasian aplikasi AVGWLF 7.2. adalah sebagai berikut :

1) Menyusun format data masukan sesuai yang disyaratkan oleh aplikasi. Ada tiga format data yang dipersyaratkan dalam aplikasi ini yaitu vektor, grid dan numerik.


(55)

30

Data vektor yang disediakan harus dalam bentuk shapefile (*.shp). Data vektor yang harus dipenuhi yaitu:

a. Basins, yaitu lapisan data DAS atau Sub DAS yang berbentuk poligon, setidaknya perlu 1 field atribut yaitu ID DAS dengan tipe integer.

b. Streams, yaitu lapisan data jaringan sungai yang berbentuk garis.

c. Weather Stations, yaitu lapisan data lokasi stasiun cuaca berbentuk data titik, yang memiliki informasi terkait cuaca harian. Paling sedikit membutuhkan 2 titik stasiun, dan atribut tiap titik stasiun setidaknya memuat 5 field yaitu; STA_ID (tipe integer), BEGYEAR (tahun awal data, tipe integer), ENDYEAR (tahun akhir data, tipe integer), LAT (Garis Lintang, tipe Real Number, satuan Derajat desimal); dan LONG (Garis Bujur, tipe Real Number, satuan Derajat desimal).

d. Soils, yaitu layer data jenis tanah. Field atribut yang dipersyaratkan minimal terdiri dari :

 “MU_AWC", merupakan nilai available water-holding capacity atau kapasitas air tersedia setiap unit tanah, dalam satuan “Centimeter”, tipe

Real Number. (Nilai AWC unit tanah seperti padaLampiran 1.)

 "MU_KF", merupakan perkiraan nilai erodibilitas tanah atau faktor "K" untuk setiap unit tanah, tipe Real Number. (Nilai K unit tanah seperti padaLampiran 2).

 "MUHSG_DOM", merupakan kelas kelompok hidrologi tanah (KHT) dominan untuk setiap unit tanah. Setiap poligon tanah hanya dapat memiliki nilai teks "A", "B", "C", atau "D", dan kolom untuk selain tanah seperti air dapat dibiarkan kosong, tipe text string. Nilai KHT unit tanah seperti padaLampiran 3.

 "SURF_OM", menjelaskan kandungan bahan organik tanah (%), tipe

Real Number.

Layer data shapfile terkait yang bersifat pilihan antara lain : a. County Bounderies, adalah batas-batas administrasi.

b. Water Extraction. adalah titik-titik lokasi pengambilan air baik air permukaan maupun air tanah.


(56)

31 c. Tile Drains. Digunakan untuk mengidentifikasi lokasi-lokasi

pertanian yang menggunakan pengatusan. Layer data raster/grid yang harus dipenuhi adalah :

a. Land Use/Cover, adalah layer data penggunaan lahan. Atributnya tidak memerlukan kolom khusus namun “grid cell values”-nya harus mengacu pada kode landuse/cover yang telah disediakan. Jenis penggunaan lahan, kode dan padanannya tersaji dalam Lampiran 4. b. Surface Elevation (Topography), adalah layer yang memuat data

ketinggian medan. Data ini digunakan untuk menghitung faktor kemiringan dan panjang lereng. Untuk mendapatkan hasil yang baik, resolusi yang digunakan 100 meter hingga 20 meter.

Data numerik yang harus dimasukkan dalam sistem adalah data hujan harian, data suhu udara maksimum dan minimum harian. Data hujan disiapkan dalam satuan inci sedangkan data suhu dalam derajat Fahrenheit dalam ekstensi *.csv.

2) Aplikasi AVGWLF menyediakan dua pilihan analisis, “Standard Analysis” dan “Urban GWLF (RUNQUAL)”. Analisis yang digunakan untuk penelitian ini yaitu “Standard Analysis”.

3) Perhitungan jumlah aliran permukaan dan jumlah sedimen dilakukan terhadap setiap sub-sub-DAS yang disediakan dalam menu “Individual Basin Analysis”, maupun sub DAS utama melalui “Aggregate Basin Analysis”. 4) Beberapa nilai paramater dapat dirubah sesuai kebutuhan pengguna atau

kondisi lapangan meskipun aplikasi AVGWLF menyediakan secara default. Dalam penelitian ini nilai yang disesuaikan yaitu nilai CN, C dan P.

5) Keluaran hasil perhitungannya disimpan dalam file berekstensi *.csv yang dapat ditampilkan pada MS Excel atau berbentuk gambar grafik.

3.5.2.2 Kalibrasi Model

Metode statistik yang digunakan untuk mengkalibrasi model tersebut adalah dengan menghitung koefisien Nash-Sutcliffe (ENS) dan koefisien determinasi (R2). Jika nilai simulasi model disimbolkan dengan QSi, nilai


(57)

32

observasi QOi, rata-rata nilai observasi QO, rata-rata nilai simulasi QS dan jumlah data n, maka persamaan untuk menghitung ENS dan R2 adalah :

……….. (1)

……….…… (2)

Model layak digunakan apabila telah dikalibrasi sehingga menghasilkan nilai prakiraan tebal aliran permukaan yang mendekati nilai sebenarnya di lapangan. Syaratnya kelayakan model yaitu jika nilai R2 > 0,6 dan ENS > 0,5 (Shanti et al. 2001). Proses kalibrasi dilakukan dengan menyesuaikan nilai-nilai parameter C (pengelolaan tanaman) sehingga diperoleh nilai R2 dan ENS yang terbaik.

3.5.2.3 Analisis Kinerja Sub-sub DAS

Proses ini dimaksudkan untuk melihat kinerja sub-sub DAS saat ini dalam mendukung upaya konservasi sumber daya air di Sub DAS Cisadane Hulu. Caranya adalah dengan memprakirakan nilai-nilai paramater IPL, C, IBE dan SC pada 44 sub-sub-DAS. Tahapan analisis yang dilakukan seperti yang telah dijelaskan di depan.

Hasilnya berupa kelas kinerja seluruh sub-sub DAS yang menunjukkan kondisi hidrologi sub-sub DAS bersangkutan yang dipengaruhi oleh kondisi penggunaan lahan saat ini. Kondisi tersebut kemudian digunakan sebagai dasar untuk menyusun dan menentukan sub-sub DAS yang menjadi prioritas untuk di arahkan penggunaan lahannya agar dapat mendukung pengembangan wilayah yang berbasis konservasi sumber daya air.

3.5.3 Arahan Penggunaan Lahan

Analisis ini menggunakan simulasi dengan 4 skenario untuk dipilih sebagai pedoman dalam arahan penggunaan lahan. Setiap skenario mempunyai


(58)

Gambar 3 Diagram alir penelitian


(59)

34

komposisi penggunaan lahan yang berbeda sesuai dengan dasar penyusunan skenario.

Wilayah yang digunakan adalah sub DAS Cisadane Hulu. Metode yang digunakan seperti yang telah diuraikan di depan, di mana setiap skenario dihitung nilai-nilai parameter C, IPL, IBE dan SC, untuk menentukan kelas kinerja DAS. Hasilnya kemudian digunakan sebagai dasar penentuan penggunaan lahan wilayah optimal yang berbasiskan upaya konservasi sumber daya air. Alokasi penggunaan lahan yang terbaik apabila sub DAS tersebut di atas mempunyai kelas kinerja “Baik” atau keempat parameternya mempunyai nilai yang terbaik.

Empat skenario yang dikembangkan dalam simulasi ini, yakni sebagai berikut :

Skenario Aktual, skenario ini bertujuan untuk melihat kondisi hidrologi yang diakibatkan oleh penggunaan lahan yang berkembang saat ini.

Skenario RTRW, skenario ini bertujuan untuk mengetahui kondisi hidrologinya apabila pemanfatan ruang wilayah diterapkan secara penuh berdasarkan RTRW Kabupaten/Kota Bogor.

Skenario Fungsi Kawasan, skenario ini bertujuan untuk melihat kondisi hidrologinya bila usaha konservasi air dilakukan dengan penggunaan lahan yang diatur sesuai dengan SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980.

Skenario Kemampuan Lahan, skenario ini bertujuan untuk melihat kondisi hidrologinya apabila penggunaan lahannya didasarkan pada Kemampuan Lahannya, sesuai dengan evaluasi lahan menurut USDA.

3.5.4 Pendapat Pemangku Kepentingan Tentang Penggunaan Lahan Optimal

Informasi mengenai persepsi dari berbagai pemangku kepentingan dimaksudkan untuk melihat keinginan mereka dalam memanfaatkan lahan di Kawasan Budidaya. Hasilnya berupa urutan kepentingan penggunaan lahan dalam pemanfaatan ruang di daerah kajian. Selain itu informasi ini juga bermanfaat untuk melihat sejauh mana perbedaan antara arahan penggunaan lahan hasil análisis (skenario terbaik) dengan keinginan masyarakat.


(60)

35 Pemeringkatan jenis penggunaan lahan pada penelitian ini menggunakan metode Analytic Hierarchy Process (AHP). Dalam menyusun hirarki, pendekatan yang digunakan adalah konsep pembangunan berkelanjutan dengan 3 pilar utamanya yaitu aspek keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Struktur hirarkinya seperti disajikan pada Gambar 4. Alternatif yang dipilih yaitu 4 jenis penggunaan lahan yang banyak terdapat di daerah penelitian.

Secara umum wilayah penelitian dibagi dalam 2 zone yaitu

Zone Lindung, adalah wilayah yang pemanfaatan ruangnya diperuntukkan sebagai perlindungan daerah tersebut dan daerah di sekitarnya. Pada zone ini tidak dilakukan pemeringkatan penggunaan lahan karena diasumsikan semua penggunaan lahan dikembalikan fungsinya sebagai kawasan lindung atau penggunaan lahannya hutan.

Zone budidaya, adalah wilayah yang pemanfaatan ruangnya sebagai daerah budidaya. Pada Zone ini dilakukan pemeringakatan penggunaan lahan untuk mendapatkan informasi penggunaan lahan yang optimal. Zone budidaya ini dibagi lagi menjadi Kawasan Penyangga dan Kawasan Budidaya.

Gambar 4 Struktur hirarki pemilihan penggunaan lahan optimal pada daerah penelitian.

Penggunaan Lahan Optimal

Ekonomi Sosial Ekologi

Pendapatan Tenaga Kerja Peluang

Pasar

Konservasi SD Air Kesesuaian

Lahan Penguasaan

Teknik Budidaya

Hutan Kebun Ladang

Campuran


(61)

(1)

Urutan Bobot/Skor (1-9) Kriteria Hutan

Kebun Campuran Sawah


(2)

Kelompok B

Pertanyaan pada Kelompok B ditujukan untuk analisis penggunaan lahan pada Zone Budidaya.

1. Dalam analisis penggunaan lahan optimal di Sub DAS Cisadane Hulu, harus memenuhi 3 fungsi yaitu fungsi ekonomi, sosial, dan ekologi, menurut Bapak/Ibu/Sdr ditinjau dari tingkat kepentingannya jika diurutkan dan dibandingkan ketiga aspek urutannya dengan skala 1-9 berapa perbandingan bobot dari masing-masing kriteria tersebut seharusnya?

Urutan Bobot/Skor (1-9) Kriteria Ekologi Sosial Ekonomi

2.a Apabila kriteria Ekonomi di dirinci ke dalam dua sub-kriteria yaitu peluang pasar hasil produksi (Peluang Pasar) dan sumber pendapatan bagi masyarakat (Sumber Pendapatan), Menurut Bapak/Ibu ditinjau dari tingkat kepentingannya jika diurutkan dan dibandingkan urutannya dengan skala 1-9 berapa perbandingan bobot dari masing-masing sub-kriteria tersebut.

Urutan Bobot/Skor (1-9) Kriteria Peluang Pasar Sumber Pendapatan

b. Apabila kriteria Sosial dirinci ke dalam dua sub-kriteria yaitu kemampuan menyerap tanaga kerja (Tenaga Kerja) dan penguasaan teknik budidaya oleh masyarakat (Penguasaan Teknik Budidaya), menurut Bapak/Ibu ditinjau dari tingkat kepentingannya jika diurutkan dan dibandingkan urutannya


(3)

dengan skala 1-9 berapa perbandingan bobot dari masing-masing sub-kriteria tersebut.

Urutan Bobot/Skor (1-9) Kriteria Tenaga Kerja

Penguasaan Teknik Budidaya

c. Apabila kriteria Ekologi dirinci ke dalam dua sub-kriteria yaitu kesesuaian antara penggunaan lahan dengan karakteristik lahannya (Kesesuaian Lahan) dan kemampuan penggunaan lahan dalam upaya konservasi sumber daya air (Konservasi Sumber Daya Air), menurut Bapak/Ibu ditinjau dari tingkat kepentingannya jika diurutkan dan dibandingkan urutannya dengan skala 1-9 berapa perbandingan bobot dari masing-masing sub-kriteria tersebut.

Urutan Bobot/Skor (1-9) Kriteria

Kesesuaian Lahan

Konservasi Sumber Daya Air

3.a. Berdasarkan sub-kriteria peluang pasar hasil produksinya (Peluang Pasar), dari kelima alternatif penggunaan lahan yaitu hutan, kebun campuran, sawah, ladang dan semak belukar, menurut Bapak/Ibu ditinjau dari tingkat kepentingannya jika diurutkan dan dibandingkan urutannya dengan skala 1-9 berapa perbandingan bobot dari masing-masing alternatif tersebut.

Urutan Bobot/Skor (1-9) Kriteria Hutan

Kebun Campuran Sawah


(4)

b. Berdasarkan sub-kriteria sumber pendapatan bagi masyarakat (Sumber Pendapatan), dari kelima alternatif penggunaan lahan yaitu hutan, kebun campuran, sawah, ladang dan semak belukar, menurut Bapak/Ibu ditinjau dari tingkat kepentingannya jika diurutkan dan dibandingkan urutannya dengan skala 1-9 berapa perbandingan bobot dari masing-masing alternatif tersebut.

Urutan Bobot/Skor (1-9) Kriteria Hutan

Kebun Campuran Sawah

Ladang

c. Berdasarkan sub-kriteria kemampuan menyerap tanaga kerja (Tenaga Kerja), dari kelima alternatif penggunaan lahan yaitu hutan, kebun campuran, sawah, ladang dan semak belukar, menurut Bapak/Ibu ditinjau dari tingkat kepentingannya jika diurutkan dan dibandingkan urutannya dengan skala 1-9 berapa perbandingan bobot dari masing-masing alternatif tersebut.

Urutan Bobot/Skor (1-9) Kriteria Hutan

Kebun Campuran Sawah

Ladang

d. Berdasarkan sub-kriteria penguasaan teknik budidaya oleh masyarakat (Penguasaan Teknik Budidaya), dari kelima alternatif penggunaan lahan yaitu hutan, kebun campuran, sawah, ladang dan semak belukar, menurut Bapak/Ibu ditinjau dari tingkat kepentingannya jika diurutkan dan


(5)

dibandingkan urutannya dengan skala 1-9 berapa perbandingan bobot dari masing-masing alternatif tersebut.

Urutan Bobot/Skor (1-9) Kriteria Hutan

Kebun Campuran Sawah

Ladang

e. Berdasarkan sub-kriteria kesesuaian antara penggunaan lahan dengan karakteristik lahannya (Kesesuaian Lahan), dari kelima alternatif penggunaan lahan yaitu hutan, kebun campuran, sawah, ladang dan semak belukar, menurut Bapak/Ibu ditinjau dari tingkat kepentingannya jika diurutkan dan dibandingkan urutannya dengan skala 1-9 berapa perbandingan bobot dari masing-masing alternatif tersebut.

Urutan Bobot/Skor (1-9) Kriteria Hutan

Kebun Campuran Sawah

Ladang

f. Berdasarkan sub-kriteria kemampuan penggunaan lahan dalam upaya konservasi sumber daya air (Konservasi Sumber Daya Air), dari kelima alternatif penggunaan lahan yaitu hutan, kebun campuran, sawah, ladang dan semak belukar, menurut Bapak/Ibu ditinjau dari tingkat kepentingannya jika diurutkan dan dibandingkan urutannya dengan skala 1-9 berapa perbandingan bobot dari masing-masing alternatif tersebut.


(6)

Urutan Bobot/Skor (1-9) Kriteria Hutan

Kebun Campuran Sawah