Kajian Resistensi Lima Varietas Sorgum Terhadap Sitophilus zeamais (Motsch.) (Coleoptera: Curculionidae)

 
 

KAJIAN RESISTENSI LIMA VARIETAS SORGUM
TERHADAP Sitophilus zeamais (Motsch.) (COLEOPTERA:
CURCULIONIDAE)

SAGITA PHINANTHIE

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

 
 

ABSTRAK

SAGITA PHINANTHIE. Kajian Resistensi Lima Varietas Sorgum Terhadap

Sitophilus zeamais (Motsch.) (Coleoptera: Curculionidae). Dibimbing oleh
IDHAM SAKTI HARAHAP.
Sorgum merupakan salah satu jenis tanaman serealia yang memiliki banyak
manfaat diantaranya sebagai pangan, pakan, serat, pupuk, dan bioenergi. Pada
penyimpanan sorgum banyak mengalami masalah yang disebabkan oleh hama
gudang salah satunya Sitophilus zeamais (Motsch.). Kehilangan hasil yang
disebabkan aktifitas hama ini mencapai 26-29 % (Semple 1985). Tujuan dari
penelitian ini adalah mengetahui resistensi lima varietas sorgum terhadap
serangan S. zeamais selama masa penyimpanan. Penelitian ini dilaksanakan di
Laboratorium Entomologi SEAMEO BIOTROP dari bulan Februari hingga
September 2012. Serangga yang digunakan adalah imago S. zeamais berasal dari
SEAMEO BIOTROP. Uji resistensi dilakukan menurut metode Baimaiyi (2007)
dengan menginfestasi 40 ekor imago S. zeamais ke dalam stoples plastik
bervolume 1000 ml yang berisi 100 gr sorgum. Lima varietas sorgum yang
diujikan yaitu Numbu, Lokal Bandung, Lokal Wonogiri, CTY-33, dan B-76.
Imago S. zeamais diinkubasi selama 14 hari lalu dikeluarkan seluruhnya,
penghitungan imago F1 S. zeamais yang muncul dilakukan setiap hari dimulai
pada hari ke-30 hingga hari ke-80 (Bamaiyi 2007). Penghitungan nilai kehilangan
hasil dilakukan pada hari ke-80 dengan menggunakan metode Adams (1976).
Tingkat resistensi sorgum dihitung dengan Indeks Kerentanan Dobie (IKD).

Varietas yang paling resisten adalah varietas Numbu dengan nilai IKD 6.99. Hasil
uji korelasi menunjukkan faktor kadar tanin, fenol, dan kekerasan biji berkorelasi
negatif dengan jumlah imago F1 S. zeamais, nilai IKD, dan konstanta laju
intrinsik sedangkan untuk dimensi biji tidak berkorelasi dengan seluruh parameter
resistensi.
Kata kunci: Sorgum, Sitophilus zeamais, resistensi, Indeks Kerentanan Dobie
(IKD)

 
 

KAJIAN RESISTENSI LIMA VARIETAS SORGUM
TERHADAP Sitophilus zeamais (Motsch.) (COLEOPTERA:
CURCULIONIDAE)

SAGITA PHINANTHIE

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Pertanian

Pada
Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

 
 

Judul

: Kajian Resistensi Lima Varietas Sorgum terhadap
Sitophilus zeamais (Motsch.) (Coleoptera: Curculionidae)

Nama Mahasiswa

: Sagita Phinanthie


NRP

: A34080090

Disetujui
Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Idham Sakti Harahap, M.Si
NIP. 19591022 198503 1 002

Diketahui
Ketua Departemen Proteksi Tanaman

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si
NIP. 19650621 198910 2 001

Tanggal lulus:

 

 

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pasarminggu, Kecamatan Pasarminggu, Jakarta
Selatan, Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 6 Agustus 1991. Penulis adalah anak
ketiga dari tiga bersaudara dari keluarga Bapak Karman Soedjadi dan Ibu
Sabarwati. Penulis memiliki dua orang kakak yang bernama Shinta Kristianti dan
Satrio Gumilar.
Penulis lulus dari SDN 02 Pasarminggu pada tahun 2003, kemudian
melanjutkan ke SMPN 41 Jakarta dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun yang
sama melanjutkan ke SMAN 34 Jakarta dan lulus pada tahun 2008.
Pada tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswi Institut Pertanian
Bogor melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN)
dan diterima sebagai mahasiswi Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti pendidikan, penulis pernah
menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman (HIMASITA) Divisi
Keprofesian periode 2011/2012. Penulis juga aktif mengikuti pelatihan dan
seminar diantaranya, Seminar National Plant Protection Event “Peran
Perlindungan Tanaman dalam Menunjang Pertanian yang Berkelanjutan untuk

Menjamin Ketahanan Pangan Nasional” pada tahun 2011, Workshop Indonesian
Biotechnology Information Centre “Responsible Conduct of Research” pada
tahun 2012, Workshop “The Current Status of Sorghum Development in
Indonesia” pada tahun 2012, dan mengikuti Pelatihan “Fumigasi yang Baik dan
Benar” pada tahun 2012. Penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Biologi
Patogen Tumbuhan pada semester ganjil tahun ajaran 2010/2011 dan
Pengendalian Hayati dan Pengelolaan Habitat semester ganjil tahun ajaran
2011/2012. Penulis pernah mendapatkan beasiswa Peningkatan Prestasi
Akademik (PPA) tahun 2011 hingga 2012.

 
 

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan hanya untuk Allah SWT atas seluruh
berkah rahmat dan karunia Nya yang telah diberikan kepada seluruh manusia dan
shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah SAW sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kajian Resistensi Lima
Varietas Sorgum Terhadap Sitophilus zeamais (Motsch.) (Coleoptera:

Curculionidae)”.
Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir.
Idham Sakti Harahap, M.Si. sebagai dosen pembimbing skripsi sekaligus
pembimbing akademik serta Drs. Sunjaya dan Ir. Sri Widayanti sebagai
pembimbing di Laboratorium Entomologi SEAMEO BIOTROP yang telah
memberikan pengetahuan, pengarahan, dukungan, dan bimbingan sejak awal
hingga akhir penelitian. Terima kasih kepada Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc. selaku
dosen penguji tamu yang telah memberikan banyak masukan dan koreksi
penulisan skripsi ini. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh
staf pengajar Fakultas Pertanian dan laboran Departemen Proteksi Tanaman yang
telah memberikan ilmu dan pengalaman selama menyelesaikan pendidikan di
Fakultas Pertanian IPB.
Tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih untuk Ibunda Sabarwati
Ayahanda Karman Soedjadi dan kakak tercinta, untuk dukungan, do’a, kasih, dan
sayang yang selalu diberikan hingga menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih
kepada Heri Yanto dan Dr. Supriyanto atas bantuan kerjasama dan dukungan
moril di SEAMEO BIOTROP hingga menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih
kepada teman-teman DPT 45; Fiqi Syaripah, Rizkika Latania, Nia Trikusuma,
Rusman Arif, Keisha Disa, dan teman-teman lainnya atas kebersamaan, semangat,
persahabatan dan dukungannya selama kuliah. Terima kasih kepada teman yang

sekaligus telah menjadi keluarga di Bogor; Mutia Rahim, Teresa Gabriella, Fibria
Mustikarini, atas kebersamaan dan kenangan indah selama ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini.
Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan demi
penulisan yang lebih baik. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan
memberikan pengetahuan bagi siapa saja yang membacanya.
Bogor, Desember 2012

Sagita Phinanthie

 
 

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ...................................................................................................ix
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................................xi
PENDAHULUAN ................................................................................................... 1

Latar Belakang................................................................................................ 1
Tujuan Penelitian ............................................................................................ 2
Manfaat Penelitian .......................................................................................... 2
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................... 3
Sorgum (Sorghum bicolor (L.)) ...................................................................... 3
Taksonomi ............................................................................................. 3
Morfologi dan fisiologi ......................................................................... 3
Kandungan nutrisi ................................................................................. 5
Kandungan kimia biji sorgum ............................................................... 5
Sitophilus zeamais (Motsch.).......................................................................... 6
Mekanisme Resistensi dan Faktor yang Memengaruhi .................................. 8
BAHAN DAN METODE ...................................................................................... 11
Waktu dan Tempat Penelitian ...................................................................... 11
Bahan dan Alat ............................................................................................. 11
Tahap Persiapan............................................................................................ 11
Penyediaan Pakan Serangga Uji ......................................................... 11
Penyediaan Sorgum Uji ...................................................................... 11
Pengembangbiakan Serangga Uji ....................................................... 12
Uji Resistensi ................................................................................................ 12
Analisis dan Pengukuran Karakter Fisik dan Kimia Biji Sorgum ............... 14

Analisis Kekerasan Biji ....................................................................... 14
Pengukuran Karakteristik Fisik Biji Sorgum ...................................... 14
Analisis Kadar Tanin .......................................................................... 14
Analisis Kadar Total Fenol ................................................................. 14

viii
 

Rancangan Penelitian ................................................................................... 15
Analisis Data ................................................................................................ 16

HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................................. 17
Parameter Resistensi Biji Sorgum terhadap S. zeamais ............................... 17
Karakteristik Fisik dan Kimia Biji Sorgum .................................................. 25
Korelasi Parameter Resistensi dengan Faktor-faktor yang Memengaruhi ... 28

KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................................. 31
Kesimpulan ................................................................................................... 31
Saran ............................................................................................................. 31


DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 32
LAMPIRAN ........................................................................................................... 37 

 
 

DAFTAR TABEL

Halaman
1.

Perbandingan kandungan nutrisi sorgum dengan berbagai jenis biji
lainnya………………………...............................................................

2.

Rata-rata jumlah imago F1 S. zeamais yang muncul pada lima
varietas sorgum……………………………………………………….

3.

20

Rata-rata nilai laju perkembangan intrinsik S. zeamais pada lima
varietas sorgum …………………………………………………….....

5.

18

Rata-rata median waktu perkembangan S. zeamais pada lima varietas
sorgum………………………………………………………...............

4.

5

22

Rata-rata nilai kehilangan hasil akibat serangan S. zeamais pada
lima varietas sorgum…………………………………………………..

24

6.

Karakteristik fisik lima varietas sorgum ……………………………...

26

7.

Karakteristik kimia lima varietas sorgum ………………………….....

27

8.

Hasil uji korelasi parameter-parameter daya resistensi dengan
kadar tanin, kadar fenol, dan kekerasan biji ………………………..... 29

9.

Hasil uji korelasi parameter-parameter daya resistensi dengan
lebar biji, panjang biji, dan tebal biji sorgum………………………....

30

 
 

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1.

Penampang membujur biji sorgum …………………………………..

4

2.

Sitophilus zeamais Motschulky………………………………………

7

3.

Struktur kimia tanin ……………………………………………….....

10

4.

Penampakan fisik lima varietas sorgum yang diuji…………………..

12

5.

Stoples berisi serangga uji dan sorgum selama inkubasi…………….. 13

6.

Alat Hardness Tester ………………………………………………...

7.

Grafik pertumbuhan populasi imago F1 S. zeamais pada lima

14

varietas sorgum....................................................................................

19

8.

Grafik rata-rata nilai Indeks Kerentanan Dobie lima varietas sorgum

23

9.

Grafik regresi hubungan antara jumlah imago F1 S. zeamais dan
kehilangan hasil pada lima varietas sorgum……………………......... 25

 
 

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.

Output Analisis sidik ragam jumlah imago F1 S. zeamais, median
waktu perkembangan, konstanta laju perkembangan intrinsik, nilai
Indeks Kerentanan Dobie, kekerasan biji, panjang biji, lebar biji,
tebal biji, dan kehilangan hasil lima varietas sorgum……………….

38

2.

Uji Duncan jumlah imago F1 S. zeamais.......................................

39

3.

Uji Duncan median waktu perkembangan……………………….....

39

4.

Uji Duncan konstanta laju perkembangan intrinsik…………...….....

39

5.

Uji Duncan nilai Indeks Kerentanan Dobie……………………........

40

6.

Uji Duncan kekerasan biji sorgum………………………………......

40

7.

Uji Duncan panjang biji sorgum…………………………………......

40

8.

Uji Duncan lebar biji sorgum……………………………………......

41

9.

Uji Duncan tebal biji sorgum…………………………………….......

41

10.

Uji Duncan nilai kehilangan hasil …………………….....................

41

11.

Uji regresi linier antara jumlah imago F1 S. zeamais dengan nilai
kehilangan hasil………………………………………………….......

12.

42

Uji korelasi parameter-parameter daya resistensi sorgum terhadap S.
zeamais………………………………………………......................

44

 
 

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kebutuhan beras di Indonesia dari tahun ke tahun selalu mengalami
peningkatan seiring dengan pertambahan penduduk. Peningkatan jumlah
penduduk terus berlangsung secara signifikan sehingga peningkatan kebutuhan
beras juga terus terjadi. Pada tahun 2014 Pemerintah Indonesia telah menargetkan
produksi beras sebanyak 75.7 ton gabah kering giling (Suswono 2011). Produksi
beras di Indonesia selama ini bergantung pada hasil produksi padi sawah,
sementara itu luas areal tanaman padi sawah akhir-akhir ini terus menurun akibat
terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Situasi ini tentu
menghambat

peningkatan

produksi

beras,

sebagai

alternatif

dilakukan

diversifikasi budidaya tanaman penghasil karbohidrat sebagai sumber pangan
utama non-beras di lahan kering.
Sorgum merupakan tanaman serealia yang berpotensi dikembangkan di
Indonesia. Sorgum adalah salah satu jenis tanaman pangan yang lebih tahan
terhadap kekeringan dibandingkan tanaman pangan lainnya (Laimheriwa 1990).
Banyaknya lahan marjinal di Indonesia juga menjadi salah satu potensi yang
mendorong untuk pengembangan sorgum di Indonesia. Sorgum juga merupakan
tanaman yang mudah dibudidayakan karena tanaman ini tidak terlalu banyak
membutuhkan input dari luar dan dapat diratun beberapa kali (Nur et al. 2012).
Sorgum dapat digunakan sebagai bahan pangan, pakan ternak, serat, pupuk,
dan bioenergi (bioetanol) (Supriyanto 2012). Hasil olahan sorgum untuk bahan
pangan dapat berupa bubur, kue kering, mie, dan roti. Sorgum merupakan salah
satu sumber karbohidrat penting karena memiliki kandungan nutrisi yang cukup
tinggi, diantaranya kandungan protein dan vitamin B1 yang lebih tinggi
dibandingkan dengan beras, jagung, dan singkong. Kandungan nutrisi lainnya di
dalam biji sorgum juga tinggi dan tidak jauh berbeda dengan kandungan nutrisi
beras, jagung, dan singkong (DEPKES 1992).
Program peningkatan produktivitas sorgum terkait oleh banyak sistem
penanganan mulai dari pemuliaan, perbaikan teknik budidaya, hingga teknik
penyimpanan yang baik. Program pemuliaan varietas sorgum telah dilakukan oleh

2
 

banyak peneliti baik dari balai penelitian maupun perguruan tinggi untuk
menghasilkan varietas sorgum yang unggul. Kriteria dari varietas unggul dicirikan
oleh beberapa komponen, salah satunya adalah resisten terhadap hama atau
penyakit yang menyerang tanaman tersebut.
Di tempat penyimpanan terdapat banyak hama dan patogen yang menyerang
biji sorgum yang dapat mengakibatkan kehilangan hasil yang cukup berarti.
Serangga hama gudang yang banyak menyerang biji sorgum diantaranya
Rhyzoperta dominica, Sitophilus zaemais, Sitotroga cerealella, dan Ephestia
cautella (Wall 1970). Hama yang menyebabkan nilai kehilangan hasil paling
tinggi yaitu R. dominica dan S. zeamais. Kumbang Sitophilus zeamais merupakan
hama pasca panen yang penting pada berbagai komoditas biji-bijian di negara
tropis. Kerusakan yang ditimbulkan oleh hama ini di Indonesia diperkirakan
mencapai 26-29% pada berbagai komoditas di penyimpanan (Semple 1985).
Kerugian yang ditimbulkan akibat serangan S. zeamais yaitu biji yang
diserang menjadi berlubang-lubang dan menghasilkan banyak serbuk hasil
gerekan. Faktor yang memengaruhi resistensi biji sorgum terhadap serangan S.
zeamais perlu diketahui dan pedoman untuk menetapkan indeks resistensi (Indeks
Kerentanan Dobie) biji sorgum terhadap serangan hama gudang S. zeamais
diperlukan sebagai acuan untuk pemuliaan biji sorgum di masa mendatang. Oleh
karena itu, kajian resistensi biji sorgum terhadap S. zeamais perlu dilakukan.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menilai resistensi lima varietas sorgum
terhadap serangan S. zeamais selama masa penyimpanan dan faktor-faktor yang
memengaruhinya.

Manfaat Penelitian
Tersedianya informasi tentang status resistensi berbagai varietas sorgum
terhadap serangan S. zeamais dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Informasi
ini diperlukan sebagai masukan untuk pemulia tanaman yang ingin merakit
varietas resisten.

 
 

TINJAUAN PUSTAKA

Sorgum (Sorghum bicolor (L.))
Taksonomi
Tanaman sorgum termasuk famili Graminae atau rerumputan. Tanaman lain
yang termasuk dalam famili Graminae diantaranya adalah padi, jagung, dan tebu.
Taksonomi tanaman sorgum adalah sebagai berikut:
Kelas

: Monocotyledon

Famili

: Gramineae

Genus

: Sorghum

Spesies

: Sorghum bicolor (L.)
Holchus Sorghum (L.)
Andropogan sorghum (L.)
Sorghum Vulgare (L.)

Berbagai nama lokal untuk sorgum adalah Great Millet, guinea Cora (Afrika
Barat); Kafir Corn (Afrika Selatan); Milo Sorgo (Amerika Serikat); Kaoliang
(Cina); Durra (Sudan); Mtama (Afrika Barat); cantel (Jawa Tengah dan Jawa
Timur); Chotam (India); jagung cantrik (Jawa Barat) (Suprapto 1987).

Morfologi dan fisiologi
Sifat ikatan kulit biji pada biji sorgum yaitu diantara kulit biji dan daging
biji dilapisi oleh lapisan testa dan aleuron, lapisan testa termasuk bagian kulit biji,
dan lapisan aleuron termasuk bagian daging biji. Jaringan kulit biji terikat erat
oleh daging biji, melalui lapisan tipis yang disebut lapisan semen. Pada proses
penggilingan, ikatan kulit biji dengan daging biji ini sulit dipisahkan (Laimheriwa
1990).
Sifat fisik pada biji sorgum umumya berbentuk bulat oval dengan ukuran
biji kira-kira 4x2.5x3.5 mm. Berat biji bervariasi antara 8-50 mg, rata-rata berat
28 mg. Berdasarkan ukurannya sorgum dibagi atas: (a) sorgum biji kecil (8-10
mg), (b) sorgum biji sedang (12-24 mg), dan (c) sorgum biji besar (25-35 mg).

4
 

Gambar 1 Penampang membujur biji sorgum (Laimeheriwa 1990)

Kulit biji sorgum ada yang berwarna putih, merah atau cokelat. Sorgum
putih disebut sorgum kafir dan yang berwarna merah atau cokelat biasanya
termasuk varietas Feterita. Warna biji ini merupakan salah satu kriteria untuk
menentukan

kegunaannya.

Varietas

yang

berwarna

lebih

terang

akan

menghasilkan tepung yang lebih putih dan tepung ini cocok untuk digunakan
sebagai makanan lunak, roti dan lain-lainnya. Sedangkan varietas yang berwarna
gelap akan menghasilkan tepung yang berwarna gelap dan rasanya lebih pahit.
Tepung jenis ini cocok untuk bahan dasar pembuatan minuman. Untuk
memperbaiki warna biji ini, biasanya digunakan larutan asam tamarand atau bekas
cucian beras yang telah difermentasikan dan kemudian digiling menjadi pasta
tepung (Laimeheriwa 1990).
Umumnya warna biji sorgum terkait dengan kadar tanin dalam biji sorgum
yang sebagian besar terdapat pada lapisan testa. Sorgum yang kadar taninnya
tinggi umumnya bijinya berwarna cokelat gelap atau cokelat kemerah-merahan.
Selama proses penepungan komersial, tanin berada dalam tepung, dan dengan
penyaringan tidak dapat dihilangkan. Selama penyosohan dengan perlakuan
perendaman, tanin akan larut dan diusahakan untuk dapat dihilangkan dari kulit

5
 

bijinya. Kehilangan tanin ini akibat terkelupasnya kulit biji dan hilangnya lapisan
testa selama perlakuan. Dengan hilangnya senyawa tanin ini, warna tepung
menjadi lebih putih, dapat menghilangkan rasa pahit, dan yang terpenting dapat
menghilangkan zat anti nutrisi tanin dalam biji sorgum (Suprapto 1987).

Kandungan nutrisi
Sebagai sumber karbohidrat sorgum kaya akan nutrisi. Kandungan nutrisi
pada sorgum juga lebih baik dibandingkan dengan beras. Hal tersebut bisa dilihat
pada Tabel 1.

Tabel 1

Nutrisi

Perbandingan kandungan nutrisi sorgum dengan berbagai jenis sumber
karbohidrat lainnya  
Kandungan per 100 g
Beras

Jagung

Singkong

Sorgum

Kedelai

Kalori (cal)

360

361

146

332

286

Protein (g)

6.8

8.7

1.2

11.0

30.2

Lemak (g)

0.7

4.5

0.3

3.3

15.6

Karbohidrat (g)

78.9

72.4

34.7

73.0

30.1

Kalsium (mg)

6.0

9.0

33.0

28.0

196.0

Besi (mg)

0.8

4.6

0.7

4.4

6.9

Fosfor (mg)

140

380

40

287

506

Vitamin B1
(mg)

0.12

0.27

0.06

0.38

0.93

Sumber: Departemen Kesehatan 1992.

Kandungan kimia biji sorgum
Kandungan kimia dalam biji sorgum yang lain diantaranya fenol terlarut.
Fenol terlarut yang telah diidentifikasi terkandung dalam biji sorgum mencakup 4
jenis proanthocyanidins yaitu epicatechin±(epicatechin)n±catechin, glycosylated
dimeric dan trimeric-avonoids dengan eriodictyol dan taxifolin unit (Gujer et al.
1986). Komponen fenolik dalam biji sorgum dibagi menjadi tiga kategori utama
yaitu asam fenolat, flavonoid, dan tanin. Komponen-komponen tersebut

6
 

ditemukan paling banyak pada lapisan perikarp, testa, dan aleuron (Dicko et al.
2006).
Tanin pada sorgum biasanya dikaitkan dengan dengan kandungan protein
yang rendah. Seluruh jenis tanin termasuk dalam polifenol akan tetapi tidak semua
polifenol pada sorgum adalah tanin. Kandungan polifenol yang tinggi pada
sorgum dicirikan dengan perikarp berwarna coklat dan kulit biji yang berwarna,
pada jenis sorgum dengan perikarp berwarna merah dan tidak memiliki kulit biji
kandungan polifenolnya cukup signifikan sedangkan pada biji sorgum yang tidak
berwarna kandungan polifenol sangat rendah. Keterkaitan antara pigmentasi biji
sorgum dengan kandungan tanin yang dimiliki biji sorgum masih belum dapat
dipastikan (Dogget 1988).

Sitophilus zeamais (Motsch.)
Serangga hama gudang merupakan faktor biologis yang dapat menyebabkan
kerusakan bahan pangan selama penyimpanan (Ileleji et al. 2007). Sitophilus
zeamais adalah serangga hama gudang yang bersifat polifag (keberadaannya
terdeteksi hampir di seluruh komoditas di gudang) (Throne 1986). Kumbang ini
tergolong hama penting dan hama primer. Menurut Rees (2004), biologi hama ini
termasuk kingdom Animalia, filum Arthropoda, kelas Insecta, ordo Coleoptera,
famili Curculionidae, genus Sitophilus, spesies Sitophilus zeamais Motschulky.
Serangga hama ini mengalami metamorfosis sempurna (holometabola) dari
fase telur sampai menjadi imago (Subramanyam dan Hagstrum 1996). Imago
betina meletakkan telur pada biji yang telah dilubangi dengan moncongnya dan
tiap lubang diisi satu butir telur lalu ditutup dengan gelatinous egg plug. Fase telur
berlangsung sekitar 6 hari. Imago betina meletakkan telur hingga 300-400 butir
selama hidup mereka (Sauer 1992).
Larva yang terdapat dalam biji akan terus menggerek biji. Larva tetap
berada di dalam biji sampai terbentuk pupa. Larva tidak bertungkai dan berwarna
putih. Larva tidak bertungkai dikarenakan makanan yang dibutuhkan larva berada
di sekitarnya sehingga tidak butuh pergerakan. Ketika bergerak, larva agak
mengkerut lalu memanjang kembali dan seterusnya. Larva berkembang di dalam

7
 

rongga dalam biji pada suhu optimum 25 0C (Subramanyam dan Hagstrum 1996).
Ukuran serangga ini bergantung pada tempat serangga berkembang biak. Bila
hidup pada jagung, ukurannya lebih besar daripada bila hidup pada beras (Sunjaya
dan Widayanti 2006).

Gambar 2 Sitophilus zeamais Motschulky

Panjang imago bervariasi mulai 2-5 mm tergantung pada kemampuan
makan larva, tetapi pada umumnya S. oryzae berukuran 2-3.5 mm dan S. zeamais
3-3.5 mm (Kalshoven 1981). Satu butir beras hanya dapat ditempati oleh satu
larva kumbang ini sedangkan pada biji yang lebih besar seperti jagung, satu
butirnya dapat ditempati oleh dua larva S. zeamais.
Di Indonesia S. zeamais lebih banyak ditemukan daripada S. oryzae (Pranata
1979). Sitophilus zeamais merupakan serangga yang dapat berkembang biak
dengan cepat, yaitu selama satu tahun dapat menghasilkan 5-7 generasi. Kumbang
betina akan mengunyah lubang kecil di dalam inti biji, kemudian memasukkan
satu telur ke dalamnya kemudian lubang ditutup kembali dengan zat seperti
gelatin yang berfungsi sebagai sumbat telur atau egg plug (Haines 1991).
Telur akan menetas dalam beberapa hari menjadi larva dan memakan bagian
dalam inti biji. Larva kumbang ini berkembang selama 4 stadia. Larva kemudian
menggerek biji dan hidup di dalam biji, umur kurang lebih 20 hari pada suhu 250C
dan kelembaban relatif 70%. Kemudian menjadi pupa, selanjutnya menjadi
kumbang dewasa. Fase pupa berlangsung di dalam biji yang telah kosong
(Kalshoven 1981). Tipe pupa eksarata, dimana semua embelannya bebas atau

8
 

tidak menyatu satu sama lain (Fachry 2005). Selama masa perkembangan
serangga pada biji tertentu tidak dapat dideteksi dengan kasat mata hingga
kemunculan imago kumbang ini akan tetapi pada jagung dan beras keberadaaan
larva dan pupa kumbang ini terkadang dapat terlihat pada bagian perikarp (Sauer
1992).
Imago dapat bertahan hidup cukup lama yaitu dengan makan sekitar 5-8
bulan (Sauer 1992). Serangga ini digolongkan ke dalam hama primer (internal
feeder), yaitu hama menyerang dan mampu berkembang dengan baik pada
komoditas yang masih utuh dengan cara menggerek (Sunjaya dan Widayanti
2006). Perkembangan, aktivitas, dan kopulasi serangga ini dilakukan pada siang
hari dan berlangsung lebih lama dibandingkan dengan masa kopulasi hama
gudang lainnya (Surtikanti 2004).

Mekanisme Resistensi dan Faktor yang Memengaruhi
Definisi dari resistensi tanaman terhadap serangga sangat banyak dan
bervariasi. Dalam arti luas, resistensi tanaman didefinisikan sebagai sifat yang
diwariskan oleh tetuanya yang menghasilkan tanaman yang relatif resisten
(kerusakan berkurang) dibandingkan tanaman yang rentan dengan jumlah OPT
yang menyerang sama. Dalam pengertian praktis tanaman resisten adalah tanaman
yang tahan dan mengalami lebih sedikit kerusakan jika terserang hama tertentu.
Resistensi tanaman adalah relatif dan didasarkan pada perbandingan dengan
tanaman kurang memiliki karakter perlawanan, yaitu tanaman rentan.
Kultivar tanaman tahan serangan hama dapat menekan kelimpahan hama
serangga atau menurunkan tingkat kerusakan tanaman. Dengan kata lain, tanaman
tahan hama dapat mengubah hubungan hama serangga dengan tanaman inang.
Hubungan antara serangga dan tanaman tergantung pada jenis mekanisme
resistensi, misalnya antibiosis, antixenosis (non-preferensi), atau toleransi.
Mekanisme antibiosis memengaruhi biologi serangga sehingga kelimpahan
hama dan kerusakan menurun dibandingkan dengan apa yang akan terjadi jika
serangga tersebut menyerang pada tanaman rentan. Mekanisme antibiosis sering

9
 

menyebabkan kematian meningkat atau panjang umur berkurang dan penurunan
reproduksi serangga.
Mekanisme antixenosis memengaruhi perilaku hama serangga dan biasanya
dinyatakan sebagai non-preferensi serangga pada tanaman tahan dibandingkan
dengan tanaman rentan.
Toleransi adalah respon tanaman terhadap hama serangga. Mekanisme
toleransi terjadi di mana tanaman yang mampu bertahan atau pulih dari kerusakan
yang disebabkan oleh serangan serangga hama dengan kerusakan awal yang sama
dengan tanaman tanpa karakter resistensi (rentan). Dengan demikian, mekanisme
resistensi dengan dasar toleransi berbeda dengan antibiosis dan antixenosis dalam
pengaruhnya terhadap hubungan serangga dan tanaman. Mekanisme antibiosis
dan antixenosis menyebabkan respon serangga saat serangga mencoba untuk
menggunakan tanaman tahan untuk makanan, oviposisi, atau tempat tinggal
(Teetes 2009).
Menurut Chandrashekar dan Satyanarayana (2006), daya resistensi sorgum
terhadap hama dan patogen dipengaruhi komposisi struktur fisik dan kimia dari
biji. Struktur fisik biji seperti ketebalan komposisi lapisan perikarp, tekstur
endosperm, dan bermacam-macam komponen kimia seperti asam hidroksinamat,
asam ferulat, dan bermacam-macam protein endosperm memiliki daya antagonis
terhadap hama dan patogen, sehingga berperan sebagai pertahanan biji.
Menurut Adesuyi (1979) faktor yang memengaruhi tingkat resistensi produk
simpanan terhadap serangan Sitophilus spp. adalah toksin alkaloid atau asam
amino dalam beberapa produk simpanan, pencegah makan serangga, karakteristik
kulit biji yang menghambat oviposisi serta enzim pencernaan dan kekerasan
kernel. Uji resistensi sorgum terhadap Sitophilus oryzae dengan menjadikan fenol
terlarut sebagai indikator resistensi telah dilakukan sebelumnya oleh Ramputh
(1998) dan menunjukkan bahwa kandungan fenol dalam sorgum memiliki
pengaruh terhadap tingkat resistensi sorgum terhadap serangan S. oryzae.
Kandungan fenol di dalam sorgum mungkin terlibat dalam antibiosis untuk S.
oryzae karena memiliki hubungan korelasi negatif dengan munculnya F1
(Ramputh 1998).

10
 

Gambar 3 Struktur kimia tanin (Hagerman et al. 1997)

Tanin merupakan salah satu senyawa dari golongan polifenol dan memiliki
peranan biologis yang kompleks. Fungsi tanin diantaranya dapat menghelat
protein dan logam. Selain itu, tanin juga dapat berfungsi sebagai antioksidan
biologis (Hagerman et al. 1997).
Kekerasan biji adalah salah satu faktor penting yang memengaruhi resistensi
biji terhadap serangga. Pada banyak jenis biji-bijian kekerasan biji pada varietas
yang sama memiliki variasi yang tinggi, hal ini dapat dikarenakan perbedaan
genetik dan kondisi lapangan. Kandungan protein diketahui sebagai penentu
kekerasan biji pada jagung, sorgum, dan millet (Sauer 1992).

 
 

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Entomologi, SEAMEO BIOTROP,
Tajur, Bogor. Penelitian berlangsung dari Februari hingga September 2012.

Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 5 varietas sorgum yaitu
Numbu, Lokal Bandung, Lokal Wonogiri, CTY-33, dan B-76, fluon, dan fosfin
tablet. Alat yang digunakan diantaranya alat pengukur kadar air biji, sample
divider, ayakan besi ukuran 2 mm, ayakan plastik, nampan plastik, stoples plastik
bervolume 1000 ml, kuas, termohygrometer, hardness tester, timbangan sartorius,
plastik zipper, label, pensil, spidol, dan kamera.

Tahap Persiapan
Penyediaan Pakan Serangga Uji
Biji sorgum didapatkan dari pertanaman sorgum di lingkungan SEAMEO
BIOTROP. Biji sorgum yang digunakan yaitu varietas Numbu. Biji sorgum yang
digunakan sebagai pakan sebelumnya difumigasi dengan fosfin tablet (1.5
tablet/m3).

Penyediaan Sorgum Uji
Sorgum yang digunakan dalam penelitian ini didapatkan langsung dari
lapangan meliputi Wonogiri (Lokal Wonogiri), Tangerang (Numbu), Bandung
(Lokal Bandung), dan Bogor (CTY-33 dan B-76). Pada setiap panen dilakukan
pemotongan bagian malai sorgum, selanjutnya malai dikeringkan dengan dijemur
(terkena sinar matahari langsung) selama 2 minggu. Setelah dikeringkan malai
sorgum dirontokkan baik secara manual atau dengan alat perontok, selanjutnya
dilakukan pengayakan untuk memisahkan biji dengan bagian malai yang terbawa.
Varietas lokal yang digunakan diantaranya varietas Lokal Wonogiri dan
Lokal Bandung berasal dari pertanaman petani di daerah tersebut. Varietas

12
 

Numbu berasal dari pertanaman petani di daerah Tangerang, varietas B-76 berasal
dari pertanaman di lingkungan SEAMEO BIOTROP, dan varietas CTY-33
berasal dari pertanaman di daerah Jonggol. Varietas B-76, CTY-33, dan Numbu
merupakan hasil pemuliaan BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional).

Gambar 4 Penampakan fisik lima varietas sorgum yang diuji

Pengembangbiakan Serangga Uji
Serangga uji yang digunakan adalah imago S. zeamais yang berasal dari
koloni koleksi laboratorium Entomologi SEAMEO BIOTROP. Serangga uji
diperbanyak pada 400 gram sorgum varietas Numbu dengan menginfestasi imago
S. zeamais sebanyak 1000 ekor per wadah (stoples). Pengembangbiakan serangga
uji dilakukan sebanyak 10 wadah, setelah itu dilakukan inkubasi selama 2
minggu,

selanjutnya

imago

indukan

dikeluarkan

dan

sorgum

kembali

diinkubasikan hingga hari ke-30. Mulai hari ke-31 imago S. zeamais yang muncul
dipanen setiap harinya dan dipisahkan berdasarkan tanggal panen untuk
mengetahui umur serangga tersebut.

Uji Resistensi
Biji sorgum yang akan diuji sebelumnya diberi perlakuan fumigasi dengan
fosfin (dosis 1.5 tablet/m3) selama 48 jam untuk membunuh seluruh serangga. Biji

13
 

sorgum yang digunakan juga telah disamakan tingkat kadar airnya yang diukur
dengan alat pengukur kadar air biji. Selanjutnya 40 ekor imago S. zeamais
berumur seragam (1-14 hari) dimasukkan ke dalam stoples plastik bevolume 1000
ml yang berisi 100 gram biji sorgum, di bagian atas permukaan dalam wadah
plastik diolesi dengan “fluon” untuk mencegah imago S. zeamais ke luar dari
dalam wadah. Inkubasi dilakukan selama 2 minggu setelah itu seluruh imago
dikeluarkan dari wadah (Dobie 1977 dalam Siwale et al. 2009).
Pada hari ke 31 imago turunan pertama (F1) yang muncul dikeluarkan dan
dihitung setiap harinya hingga 50 hari dengan asumsi seluruh imago F1 telah
menetas secara keseluruhan (Bamaiyi 2007). Inkubasi dilakukan pada ruangan
dengan suhu 26-30 0C dan kelembapan relatif 50-70 %.

Gambar 5 Stoples berisi serangga uji dan sorgum selama inkubasi

Setelah 50 hari penghitungan jumlah imago F1 S. zeamais, setiap ulangan
dilakukan pengambilan sampel biji sorgum sebanyak 25 gram dengan
menggunakan sample divider. Sampel kemudian dipisahkan antara biji utuh
(tidak berlubang, tidak pecah, tidak terdapat gerekan eksternal) dan tidak utuh
setelah itu dilakukan penimbangan ulang untuk setiap biji utuh dan tidak utuh
pada setiap sampel.

14
 

Analisis dan Pengukuran Karakter Fisik dan Kimia Biji Sorgum
Analisis Kekerasan Biji
Analisis kekerasan biji dilakukan di Laboratorium Pengolahan Pangan
Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Institut Pertanian Bogor dengan alat
Hardness Tester. Pengukuran dilakukan sebanyak 10 kali ulangan tiap varietas
sorgum (Gambar 6).

Gambar 6 Alat Hardness Tester

Pengukuran Karakteristik Fisik Biji Sorgum
Pengukuran panjang, lebar, dan tebal biji dilakukan di Laboratorium
Entomologi, SEAMEO BIOTROP dengan menggunakan alat Electronic Digital
Caliper (jangka sorong elektronik). Pengukuran diulang sebanyak 10 kali untuk
setiap varietas sorgum.

Analisis Kadar Tanin
Analisis kadar tanin dilakukan di Laboratorium PT. Saraswati Indo Gentech,
Bogor dengan menggunakan metode Spektrofotometri (Shetty et al. 1995).

Analisis Kadar Total Fenol
Analisis kadar total fenol dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor dengan menggunakan metode
Spektrofotometri (Shetty et al. 1995).

15
 

Rancangan Penelitian
Penelitian terdiri dari 1 faktor yaitu varietas sorgum yang terdiri atas 5 taraf,
perlakuan diulang sebanyak 10 kali ulangan dan disusun dalam rancangan acak
lengkap (RAL) dengan parameter yang diamati adalah nilai kehilangan hasil
(weight loss) dan jumlah imago S. zeamais generasi pertama (F1) yang muncul.
Pada pengamatan kehilangan hasil dilakukan dengan mengambil sampel
sebanyak 25 gram dari setiap perlakuan. Nilai kehilangan hasil dilakukan dengan
rumus sebagai berkut:
Nilai kehilangan hasil
Nilai kehilangan hasil sorgum selama penyimpanan, dihitung menggunakan
formula Adams (Adams 1976), yaitu dengan rumus:

Dimana :
U

= Bobot biji utuh

Nu

= Jumlah biji utuh

D

= Bobot biji berlubang

Nd

= Jumlah biji berlubang

N

= Jumlah biji utuh + jumlah biji berlubang

Laju perkembangan intrinsik (Rm), dihitung dengan formula:

Keterangan :
R = F1/No

No = Jumlah serangga yang diinfestasikan

Dm = Periode perkembangan dalam satuan minggu

Tingkat resistensi biji sorgum dinilai berdasarkan Indeks Kerentanan Dobie
(Dobie 1977 dalam Siwale et al. 2009):

16
 

Keterangan:
F1 = jumlah S. zeamais generasi pertama (generasi F1) yang muncul setelah 31
hari inkubasi
D = Nilai tengah dari waktu peletakkan telur (oviposition periode) hingga 50%
imago F1 muncul.

Analisis Data
Data nilai kehilangan hasil, jumlah imago generasi F1 S. zeamais yang
mucul, kekerasan, dan dimensi biji sorgum (panjang, lebar, tebal) kemudian
dianalisis dengan uji ANOVA (Analysis of Variance) dilanjutkan dengan uji
perbandingan nilai tengah dengan selang berganda DMRT (Duncan’s Multiple
Range Test) dengan tingkat kepercayaan 95%. Selain itu dilakukan uji korelasi
Pearson dan regresi. Analisa statistik dilakukan dengan menggunakan program
SPSS 16.0

 
 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berbagai galur sorgum banyak dikembangkan saat ini mengingat sorgum
memiliki banyak manfaat. Berbagai kriteria ditetapkan untuk mendapatkan
varietas unggul yang diinginkan. Kriteria yang diinginkan bergantung tujuan dari
penggunaan tanaman sorgum itu sendiri karena sorgum dapat dimanfaatkan untuk
berbagai keperluan diantaranya pangan, pakan, energi, serat, dan pupuk. Beberapa
jenis kriteria yang disyaratkan untuk biji sorgum yang digunakan sebagai bahan
pangan diantaranya memiliki biji dengan ukuran besar dan memiliki kandungan
nutrisi yang seimbang, akan tetapi pada proses penyimpanan serangan hama
gudang dirasakan sangat merugikan sehingga kriteria biji sorgum tahan serangan
hama gudang diperlukan.
Lima varietas sorgum yang diuji dalam penelitian ini diantaranya Numbu,
Lokal Bandung, Lokal Wonogiri, CTY-33, dan B-76. Untuk membedakan
varietas Lokal Wonogiri dengan varietas lainnya cukup mudah karena varietas ini
memiliki biji yang berwarna merah sedangkan 4 varietas lain memiliki warna biji
krem. Varietas CTY-33 dan Lokal Bandung memiliki ukuran biji yang relatif
besar, untuk membedakan keduanya varietas CTY-33 memiliki warna yang lebih
terang dibandingkan varietas Lokal Bandung. Varietas Numbu memiliki ciri khas
warna yang agak kusam dibandingkan varietas lainnya. Varietas B-76 memiliki
ukuran biji yang terkecil dibandingkan 4 varietas lainnya dan warna biji sorgum
varietas ini putih kusam. Diantara kelima jenis sorgum yang diuji yang sudah
banyak dikenal adalah varietas Numbu karena varietas ini telah resmi dilepas oleh
Kementrian Pertanian Indonesia.

Parameter Resistensi Biji Sorgum terhadap S. zeamais
Terdapat lima parameter resistensi biji sorgum terhadap S. zeamais yang
diamati pada penelitian ini diantaranya jumlah imago F1 yang muncul, nilai
kehilangan hasil, median waktu perkembangan, nilai Indeks Kerentanan Dobie
(IKD), dan konstanta laju perkembangan intrinsik. Hasil pengamatan selama 50
hari menunjukkan bahwa jumlah imago F1 S. zeamais yang muncul pada setiap
varietas sorgum memiliki jumlah yang beragam. Jumlah imago S. zeamais yang

18
 

muncul pada varietas B-76 dan Lokal Bandung berbeda nyata dengan jumlah
imago yang muncul pada varietas Lokal Wonogiri, CTY-33, dan Numbu (Tabel
2).
Jumlah imago S. zeamais yang muncul paling banyak ditunjukkan oleh
varietas B-76 dan Lokal Bandung dibandingkan dengan 3 varietas lainnya. Hal ini
menunjukkan bahwa varietas Lokal Wonogiri, CTY-33, dan Numbu lebih resisten
terhadap serangan S. zeamais dibandingkan varietas Lokal Bandung dan B-76.

Tabel 2

Rata-rata jumlah imago F1 S. zeamais yang muncul pada lima varietas
sorgum

Varietas

Jumlah F1 yang muncul (individu)

Numbu

247.00b

Lokal Bandung

352.40a

Lokal Wonogiri

233.30b

CTY-33

213.50b

B-76

361.20a

Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji
Duncan pada p=0.05).

Rendahnya jumlah imago S. zeamais yang muncul pada varietas Lokal
Wonogiri, CTY-33, dan Numbu diduga karena terdapat kandungan tanin yang
cukup tinggi pada biji. Kandungan fenol yang cukup tinggi diperkirakan juga
memperanguhi jumlah imago S. zeamais yang muncul. Tingginya jumlah imago
S. zeamais yang muncul pada varietas Lokal Bandung dan B-76 diperkirakan
karena kandungan tanin yang cukup rendah.
Resistensi biji terhadap serangan hama gudang terjadi karena berbagai
faktor diantaranya faktor kimiawi dan fisik biji. Faktor fisik biji meliputi
kekerasan biji dan dimensi biji, sedangkan faktor kimia diantaranya kandungan
senyawa metabolit sekunder seperti fenol dan tanin (Dobie 1977 dalam Siwale et
al. 2009). Russell (1966) menyatakan bahwa panjang umur imago S. zeamais
lebih pendek jika meningkatkan kekerasan biji atau kadar tanin atau dengan
memperkecil ukuran biji.

19
 

Pada gambar 7 terlihat pola pertumbuhan populasi imago F1 S. zeamais
pada lima varitas sorgum yang diuji. Terlihat bahwa kecenderungan pertumbuhan
populasi imago F1 S. zeamais terbagi menjadi 2 kelompok. Hal ini sesuai dengan
hasil uji beda nyata pada jumlah imago F1 S. zeamais pada Tabel 2 yang
menjukkan terdapat 2 kelompok yaitu kelompok Numbu, CTY-33, dan Lokal
Wonogiri serta kelompok Lokal Bandung dan B-76.

Gambar 7 Grafik pertumbuhan populasi imago F1 S. zeamais pada lima varietas
sorgum

Pola pertumbuhan populasi imago F1 S. zeamais pada lima varitas sorgum
yang diuji menunjukkan kecenderungan grafik yang hampir sama antar varietas,
dimana populasi meningkat sangat tajam hingga hari ke-20 setelah 1 bulan
inkubasi. Pada kondisi berikutnya populasi mulai tidak lagi bertambah secara
signifikan di hari ke-30 hingga hari ke-50 setelah 1 bulan inkubasi terlihat dari
garis grafik yang mendatar. Meningkatnya populasi secara signifikan hingga hari
ke-20 setelah 1 bulan inkubasi sesuai dengan yang dinyatakan Lefevre (1953)
dalam Jadhav (2006) yaitu total siklus hidup Sitophilus spp. pada biji sorgum
dengan kadar air 11.8 hingga 12.33 % rata-rata selama 54 hari.

20
 

Median waktu perkembangan adalah lamanya hari dari pertengahan waktu
peletakkan telur (oviposisi) hingga 50% imago dari turunan pertama (F1) S.
zeamais muncul (Dobie 1977 dalam Siwale et al. 2009). Median waktu
perkembangan menggambarkan lamanya waktu perkembangan dari serangga S.
zeamais untuk berkembang di dalam biji.
Hasil pengamatan menunjukkan nilai yang berbeda nyata antara varietas
Numbu dengan 4 varietas lainnya (Tabel 3). Varietas Numbu memiliki nilai
median waktu perkembangan yang lebih panjang dibandingkan dengan 4 varietas
lainnya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa waktu perkembangan yang
dibutuhkan S. zeamais

pada varietas Numbu lebih lama dibandingkan di 4

varietas lainnya.

Tabel 3 Rata-rata median waktu perkembangan S. zeamais pada lima varietas
sorgum
Varietas

Median waktu perkembangan (hari)

Numbu

34.0a

Lokal Bandung

33.1b

Lokal Wonogiri

33.1b

CTY-33

33.0b

B-76

32.8b

Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji
Duncan pada p = 0.05).

Pada empat varietas lainnya; Lokal Bandung, Lokal Wonogiri, CTY-33, dan
B-76 memiliki nilai median waktu perkembangan yang tidak berbeda nyata satu
sama lain. Hal ini menyatakan bahwa rata-rata waktu perkembangan yang
dibutuhkan S. zeamais untuk berkembang pada 4 varietas ini lebih cepat
dibandingkan dengan varietas Numbu. Pada varietas Lokal Bandung, Lokal
Wonogiri, CTY-33, dan B-76 memiliki nilai median waktu perkembangan yang
hampir sama hal ini menunjukkan kesesuaian 4 varietas ini dengan serangga S.
zeamais yang sama.
Median waktu perkembangan menunjukkan kesesuaian antara serangga
dengan inangnya, semakin lama suatu serangga berkembang pada inangnya maka

21
 

inang tersebut dapat dikatakan lebih resisten dibandingkan dengan inang lain yang
sejenis. Varietas Numbu memiliki median waktu perkembangan yang paling
panjang dapat diasosiasikan dengan jumlah imago yang muncul pada varietas
tersebut rendah sedangkan pada varietas B-76 memiliki nilai median waktu
perkembangan paling pendek berhubungan dengan jumlah imago F1 yang muncul
pada varietas B-76 paling tinggi.
Konstanta

laju

perkembangan

intrinsik

adalah

konstanta

yang

menggambarkan dinamika perkembangan suatu populasi serangga. Hal ini erat
kaitannya dengan resistensi varietas karena konstanta laju intrinsik dapat
memperlihatkan kesesuaian suatu habitat dan makanan bagi perkembangan
serangga, jika suatu serangga di suatu varietas memiliki nilai konstanta laju
intrinsik yang semakin rendah maka dapat diasumsikan varietas tersebut relatif
resisten dibandingkan varietas lainnya. Besaran konstanta laju perkembangan
intrinsik yang semakin tinggi maka habitat atau makanan tersebut semakin sesuai
untuk perkembangan hidup serangga (Tarmudji 2008).
Terlihat pada Tabel 4 nilai rata-rata laju perkembangan intrinsik pada
varietas Lokal Bandung dan B-76 berbeda nyata dengan varietas Lokal Wonogiri,
CTY-33, dan Numbu. Varietas B-76 adalah varietas yang memiliki konstanta laju
perkembangan intrinsik paling tinggi yang artinya sorgum varietas B-76 sangat
sesuai untuk perkembangan S. zeamais dibandingkan dengan empat varietas
lainnya. Varietas CTY-33 memiliki konstanta laju intrinsik yang paling kecil
artinya varietas CTY-33 adalah varietas yang paling tidak sesuai untuk
perkembangan S. zeamais. Kesesuaian habitat atau makanan untuk perkembangan
serangga memiliki keterkaitan dengan kandungan fisik ataupun kimia dari habitat
atau makanan tersebut.
Pada lampiran 12 terlihat konstanta laju perkembangan intrinsik berkorelasi
positif sangat signifikan dengan jumlah imago F1 S. zeamais yang muncul dan
berkorelasi negatif sangat signifikan dengan nilai median waktu perkembangan S.
zeamais.

Hal

tersebut

mengindikasikan

bahwa

besaran

kosntanta

laju

perkembangan intrinsik dipengaruhi kedua faktor tersebut. Apabila semakin tinggi
jumlah imago F1 yang mucul maka konstanta laju perkembangan intrinsik
semakin tinggi sedangkan jika semakin panjang median waktu perkembangan

22
 

maka semakin rendah konstanta laju perkembangan intrinsik begitu pula
sebaliknya.
Tabel 4 Rata-rata nilai laju perkembangan intrinsik S. zeamais pada lima varietas
sorgum
Varietas
Laju perkembangan intrinsik
Numbu

0.16b

Lokal Bandung

0.31a

Lokal Wonogiri

0.15b

CTY-33

0.12b

B-76

0.32a

Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji
Duncan pada p = 0.05).

Pengukuran tingkat resistensi biji terhadap serangan hama gudang dapat
dilakukan dengan menghitung nilai Indeks Kerentanan Dobie (IKD). Nilai IKD
menggambarkan tingkat kerentanan biji sehingga semakin tinggi nilai IKD suatu
biji maka biji tersebut semakin rentan sedangkan jika nilai IKDnya semakin
rendah maka biji tersebut semakin resisten terhadap serangan hama gudang.
Komponen yang dimasukkan ke dalam formula IKD adalah jumlah imago F1
yang keluar dan median waktu perkembangan (Dobie 1977 dalam Siwale et al.
2009).
Pada grafik (Gambar 8) terlihat nilai IKD masing-masing varietas sorgum.
Nilai kelima varietas berkisar dari 6.9 hingga 7.75. Nilai IKD varietas Lokal
Bandung dan B-76 berbeda nyata dengan nilai IKD varietas Lokal Wonogiri,
CTY-33, dan Numbu. Nilai IKD tertinggi terdapat pada varietas B-76 yang
artinya dari kelima varietas ini varietas B-76 adalah varietas yang paling rentan
terhadap serangan S. zeamais sedangkan nilai IKD terendah terdapat pada varietas
Numbu yang artinya varietas Numbu adalah varietas yang paling resisten terhadap
serangan S. zeamais diantara varietas sorgum yang diuji

23
 

Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji
Duncan pada p = 0.05).

Gambar 8 Grafik rata-rata nilai Indeks Kerentanan Dobie lima varietas sorgum

Korelasi positif sangat signifikan terlihat pada besarnya jumlah imago F1 S.
zeamais yang muncul dengan nilai IKD sedangkan nilai median waktu
perkembangan dan konstanta laju perkembangan intrinsik memiliki hubungan
korelasi negatif sangat signifikan dengan nilai IKD (Lampiran 12). Korelasi
positif sangat signifikan antara jumlah imago F1 S. zeamais dengan nilai IKD
memiliki arti semakin tinggi jumlah imago F1 S. zeamais maka nilai IKD semakin
tinggi, sementara korelasi negatif sangat signifikan antara nilai IKD dengan nilai
median waktu perkembangan dan konstanta laju perkembangan intrinsik berarti
semakin besarnya nilai median waktu perkembangan dan konstanta laju
perkembangan maka nilai IKD akan semakin rendah.
Menurut Horber (1988), nilai IKD yang tinggi dapat diasumsikan bahwa
semakin banyak jumlah imago F1 yang muncul dan semakin pendeknya median
waktu perkembangan maka biji tersebut semakin rentan terhadap serangan hama
gudang tertentu. Besarnya nilai IKD dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor
fisik maupun kimia dari biji. Hal ini dikarenakan faktor-faktor tersebut dinilai
dapat memengaruhi kemampuan akses makan dari serangga.
Nilai kehilangan hasil (weight loss) adalah nilai dari seberapa besar
kehilangan hasil yang dia