Pengaruh SWA (Super Water Absorbent) Pati Singkong Terhadap Sifat Retensi Air Tanah

PENGARUH SWA (SUPER WATER ABSORBENT) PATI
SINGKONG TERHADAP SIFAT RETENSI AIR TANAH

ROSIANA HABAYAHAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh SWA (Super
Water Absorbent) Pati Singkong Terhadap Sifat Retensi Air Tanah adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Rosiana Habayahan
NIM A14080056

ABSTRAK
ROSIANA HABAYAHAN. Pengaruh SWA (Super Water Absorbent) Pati
Singkong Terhadap Sifat Retensi Air Tanah. Dibimbing oleh SURIA DARMA
TARIGAN dan DWI PUTRO TEJO BASKORO.
Pengembangan pertanian lahan kering sering kali menghadapi kendala,
terutama terkait dengan kebutuhan air yang sangat bergantung air hujan.
Perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini mengakibatkan pola turunnya
hujan menjadi tidak menentu. Untuk lebih menjamin ketersediaan air bagi
pertumbuhan tanaman dibutuhkan teknologi yang dapat membantu
mempertahankan kondisi air tanah. Salah satu teknologi yang dapat digunakan
adalah penggunaan SWA (Super Water Absorbent) pati singkong. Penelitian ini
bertujuan untuk mengkaji pengaruh pemberian SWA pati singkong dan
perbandingannya terhadap water absorbent lain pada dua tekstur tanah yang
berbeda (klei dan klei berpasir). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian
SWA pati singkong tidak berbeda nyata dengan water absorbent lain terhadap

kemampuan tanah mempertahankan kadar airnya. Kinerja SWA pati singkong
pada tanah bertekstur klei lebih baik dibandingkan tanah bertekstur klei berpasir.
Kata kunci: Kadar Air, SWA pati singkong.

ABSTRACT
ROSIANA HABAYAHAN. Effect of Cassava-starch SWA (Super Water
Absorbent) on Soil Water Retention. Supervised by SURIA DARMA TARIGAN
and DWI PUTRO TEJO BASKORO.
The development of dry-land agriculture often face some constraints,
especially when it is related to water needs which is depending on rainwater.
Global climate change, that occurs lately has made rainfall patterns become more
erratic and less predictable. Therefore, new technology that could help
maintaining soil water content is needed to ensure that water availability for plant
growth is still sufficient. SWA (Super Water Absorbent) cassava starch is one of a
technology that can be used for this purpose. This study was aimed to assess the
effect of SWA cassava starch and its comparison to the other water absorbent, for
maintaining soil water retention on two different soil textures (clay and sandy
clay). The results showed that addition of SWA cassava starch was not
significantly different from the other soil water absorbent for maintaining soil
water retention. SWA cassava starch performance at clay textured soil was better

than sandy clay-textured soil.
Keywords: Soil Water Content, SWA cassava starch.

PENGARUH SWA (SUPER WATER ABSORBENT) PATI
SINGKONG TERHADAP SIFAT RETENSI AIR TANAH

ROSIANA HABAYAHAN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013

Judul Skripsi : Pengaruh SWA (Super Water Absorbent) Pati Singkong Terhadap

Sifat Retensi Air Tanah
Nama
: Rosiana Habayahan
NIM
: A14080056

Disetujui oleh

Dr Ir Suria Darma Tarigan, MSc
Pembimbing I

Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Syaiful Anwar, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:


Judul Skripsi : Pengaruh SWA (Super Water Absorbent) Pati Singkong Terhadap
Sifat Retensi Air Tanah
Nama
: Rosiana Habayahan
NIM
: A14080056

Disetujui oleh

MSc

Tanggal Lulus:

D2 JUL

lUU

MSc


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis masih diberikan kesehatan untuk
dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini merupakan hasil penelitian penulis yang digunakan sebagai
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Suria Darma Tarigan,
MSc dan Bapak Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc selaku dosen pembimbing
atas segala bimbingan dan saran yang telah diberikan. Di samping itu, penulis
juga ingin menyampaikan terimakasih kepada Bapak Dr Darmawan Darwis,
MSc,Apt dan Ibu Tita Puspitasari, MSi dari Badan Tenaga Nuklir Nasional
(BATAN) atas segala bantuan yang telah diberikan. Juga kepada Bapak Saipul
selaku Staf Laboratorium Fisika Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya
Lahan IPB yang telah banyak membantu dalam proses pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih yang sangat tinggi penulis sampaikan kepada ayah, ibu,
seluruh keluarga, dan seluruh teman-teman mahasiswa Manajemen Sumberdaya
Lahan Angkatan 45 atas segala doa dan kasih sayangnya.
Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi semua
pihak yang membutuhkannya. Untuk itu, saran dan kritik yang membangun sangat

penulis harapkan.
Bogor, Agustus 2013

Rosiana Habayahan

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN

x

PENDAHULUAN


1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1

Hipotesis

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Soil Conditioner


2

SWA (Super Water Absorbent) Pati Singkong

3

Hubungan Air dan Udara dalam Tanah

4

Soil Water Storage

4

Hubungan Tanah-Air-Tanaman

6

METODOLOGI PENELITIAN


8

Waktu dan Lokasi Penelitian

8

Bahan

8

Alat

8

Rancangan Penelitian

8

Pelaksanaan Penelitian


9

Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN

11
12

Volume Air yang Ditahan Tanah

12

Penurunan Kadar Air Tanah

13

Variasi Mingguan Kadar Air Tanah

15

SIMPULAN DAN SARAN

20

Simpulan

20

Saran

20

DAFTAR PUSTAKA

21

LAMPIRAN

23

RIWAYAT HIDUP

27

DAFTAR TABEL
1 Bermacam-Macam Bahan Pembenah Tanah yang Banyak Digunakan
untuk Memperbaiki Struktur Tanah
2 Penentuan Volume Air Siraman
3 Besar Penurunan Kadar Air pada Tanah Bertekstur Klei dan Tanah
Bertekstur Klei Berpasir (Hari 1 dan Hari 28)
4 Variasi Mingguan Penurunan Kadar Air Tanah

3
10
14
16

DAFTAR GAMBAR
1 Volume Air yang Ditahan Tanah Setelah Penyiraman (% Air Siraman)
2 Variasi Mingguan Penurunan Kadar Air SWA Dosis 0.025 g/kg pada
Tanah Bertekstur Klei dan Klei Berpasir
3 Variasi Mingguan Penurunan Kadar Air SWA Dosis 0.1 g/kg pada
Tanah Bertekstur Klei dan Klei Berpasir
4 Variasi Mingguan Penurunan Kadar Air SWA Dosis 0.2 g/kg pada
Tanah bertekstur Klei dan Klei Berpasir

12
17
18
19

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Sifat Fisik Tanah
Volume Air yang Ditahan Setelah Penyiraman
Hasil Penetapan Kelas Tekstur
Kadar Air pF Tanah Bertekstur Klei
Kadar Air pF Tanah Bertekstur Klei Berpasir
Variasi Harian Kadar Air Tanah Bertekstur Klei
Variasi Harian Kadar Air Tanah Bertekstur Klei Berpasir

23
23
23
24
24
25
26

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia memiliki sumber daya lahan yang sangat luas untuk
pengembangan berbagai komoditas pertanian. Ditinjau dari potensi dan
kesesuaian lahan pertanian, luas daratan Indonesia adalah 188 juta ha. Luasan
tersebut terdiri dari: lahan potensial cocok untuk pertanian seluas 94.1 juta ha
(50%) (Manan 2008). Walaupun curah hujan cukup besar, rata-rata lebih dari
2000 mm/tahun, namun keterbatasan sumberdaya air menjadi masalah yang sering
dihadapi di lahan kering (Haryani dan Sutrisno 2005).
Dalam dua dasa warsa terakhir, kelangkaan air (water scarcity) semakin
terasa karena persaingan berbagai kepentingan. Pada waktu yang tidak terlalu
lama, kelangkaan air akan semakin terasa bagi kepentingan di bidang pertanian,
yang pada akhirnya akan menurunkan produktifitas lahan (Setiabudi dan Fagi
2009).
Pada sistem pertanian lahan kering yang mengandalkan air hujan,
pemenuhan kebutuhan air untuk tanaman akan sangat bergantung pada
kemampuan tanah menahan air. Akan tetapi, kemampuan tanah menahan air juga
terbatas. Sementara itu, perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini
mengakibatkan pola turunnya hujan semakin tidak teratur. Hal ini akan
mempengaruhi air tersedia tanah. Untuk itu dibutuhkan teknologi yang dapat
membantu mempertahankan kadar air tanah. Salah satu teknologi yang dapat
digunakan adalah penggunaan SWA (Super Water Absorbent) pati singkong
sebagai soil conditioner. Soil conditioner didefinisikan sebagai bahan sintetis atau
alami, organik atau mineral, berbentuk padat maupun cair yang mampu
memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Suriadikarta et al. 2005). SWA
ini terbuat dari bahan organik (pati singkong) sehingga lebih ramah lingkungan.
SWA (Super Water Absorbent) pati singkong merupakan salah satu bahan
absorban yang mampu mengembang (swelling) dan menyerap air dalam jumlah
besar. SWA pati singkong ini merupakan hasil produksi dari Laboratorium Bahan
Industri, Bidang Proses Radiasi, Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi
(PATIR) Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) dan merupakan hasil crosslinking antara pati singkong, KOH dan asam akrilat yang selanjutnya diberi
radiasi sinar gamma. SWA pati singkong ini diharapkan dapat meningkatkan
efisiensi penggunaan air tanah oleh tanaman sehingga dapat mengurangi frekuensi
penyiraman dan menghemat biaya.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh SWA (Super Water
Absorbent) pati singkong terhadap sifat retensi air tanah pada dua tekstur tanah
yang berbeda. Selain itu juga untuk mengetahui bagaimana perbandingannya
dengan bahan absorban lain dalam mempertahankan retensi air tanah.

2
Hipotesis
Pemberian SWA (Super Water Absorbent) pati singkong dapat
meningkatkan sifat retensi air tanah dan apabila hendak diaplikasikan pada
tanaman, tanaman dapat memanfaatkan air yang terserap dalam SWA tersebut
untuk mengurangi frekuensi penyiraman tanaman. Dengan kata lain, SWA pati
singkong ini dapat mengefisiensikan penggunaan air sehingga dapat dimanfaatkan
pada lahan-lahan pertanian di daerah kering dan juga dapat dimanfaatkan saat
musim kemarau.

TINJAUAN PUSTAKA
Soil Conditioner
Soil conditioner didefinisikan sebagai bahan sintetis atau alami, organik
atau mineral, berbentuk padat maupun cair yang mampu memperbaiki sifat fisik,
kimia dan biologi tanah (Suriadikarta et al. 2005).
Pemberian soil conditioner ke dalam tanah merupakan salah satu bentuk
konservasi tanah dengan metode kimia. Arsyad (2000) mengemukakan bahwa
pada tahun 1952, Monsanto Chemical Company mengumumkan pembuatan soil
conditioner dengan merk dagang krilium. Krilium merupakan senyawa garam
Natrium dari polyacrilanitrile yang terhidrolisa.
Perkembangan penggunaan bahan pembenah tanah pada awalnya cukup
baik, tetapi berhubung mahalnya bahan-bahan tersebut, penggunaannya semakin
terbatas, khususnya pada lahan-lahan sempit. Walaupun telah terbukti bahwa
penggunaan pembenah tanah tidak hanya mampu meningkatkan kemantapan
agregat tanah, tetapi juga mampu meningkatkan hasil tanaman (Suripin 2004).
Bahan pembenah tanah yang baik harus mempunyai sifat-sifat sebagai
berikut (Seta 1987) :
a. Mempunyai sifat yang adhesif serta dapat bercampur dengan tanah
secara merata.
b. Dapat merubah sifat hidrofobik atau hidrofilik tanah yang dengan
demikian dapat merubah kurva penahanan air tanah.
c. Dapat meningkatkan kapasitas tukar kation tanah, yang berarti
mempengaruhi kemampuan tanah dalam menahan air.
d. Daya tahan sebagai pembenah tanah cukup memadai, tidak terlalu
singkat atau terlalu lama.
e. Tidak bersifat racun (phytotoxix) dan harganya terjangkau.
Beberapa macam bahan pembenah tanah yang banyak digunakan dalam
rangka konservasi tanah dan air dapat dilihat pada tabel berikut:

3
Tabel 1 Bermacam-Macam Bahan Pembenah Tanah yang Banyak Digunakan
untuk Memperbaiki Struktur Tanah (Gabriels et al. 1977 dalam Suripin
2004)
Nama Kimia

Polyacrilamide (PAM)
Polyvinyl pyrrolidone
Asphalt
Polyvynil alkohol (PVa)
Polyurethane
Polyethyneglycol

Wujud Komersial dagang
Curasol AE
emulsi
Curasol AH
larutan
Hum, PAM
larutan
Hum, PAM
emulsi
bitumen
larutan
bitumen
larutan
PRB 2006
larutan
PRB 2006

Latex

emulsi

Polyvinyl acetate (PVa)

Petroset SB

Produsen
Farbwerk Hoeechst
Germany
Labofina, Belgium
Labofina, Belgium
Labofina, Belgium
Labofina, Belgium
N.V PRB, Belgium
N.V PRB, Belgium
Philips Petrolium
Company USA

SWA (Super Water Absorbent) Pati Singkong
Singkong (Manihot utilissima) merupakan penghasil pangan kedua
terbesar setelah padi di Indonesia, sehingga mempunyai prospek yang besar
sebagai sumber karbohidrat untuk bahan pangan dan keperluan industri. Produksi
ubi kayu pada tahun 1996 mencapai jumlah 16.91 ton (BPS 1996). Salah satu
industri yang banyak memanfaatkan singkong yaitu industri tapioka.
Pati (starch/amilum) merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan αglikosidik. Pati terdiri dari 2 fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi
terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin (Winarno 2008).
Amilosa adalah molekul linier yang terdiri dari α-glukopiranosil yang
terikat sebagai ikatan 1,4-glikosidik sedangkan amilopektin adalah rantai komplek
dengan ikatan 1,4-glikopiranosil pada 1,4-glikosida dan ikatan 1,6-glikosida
sebagai rantai cabangnya. Pati tapioka adalah salah satu jenis pati yang
mengandung 16% amilosa dengan kisaran bobot molekul 200000 – 700000, dan
84% amilopektin dengan bobot molekul antara 100-200 juta. Studi struktur ultra
menunjukkan bahwa pati mempunyai dua morfologi utama yaitu kristalin yang
disusun oleh amilopektin dan amorf yang disusun oleh amilosa (Beiitz dan Grosch
1987 dalam Kurniadi 2010).
Penelitian mengenai pemanfaatan pati tapioka dalam bidang pertanian
telah cukup banyak dikembangkan. Salah satunya dengan melakukan grafting
pada pati tapioka dengan asam poliakrilat (starch-g-poly acrilid acid) untuk
digunakan sebagai soil conditioner (Shimona et al. 2002 dalam Kurniadi 2010).
BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional) Indonesia mengembangkan
penelitian mengenai pemanfaatan pati singkong ini untuk dijadikan sebagai soil
conditioner yaitu dengan melakukan cross-linking antara pati singkong dengan
KOH dan asam akrilat dengan perbandingan 1:0.6:2. Hasil cross-linking ini
kemudian diberi radiasi sinar gamma dengan dosis 20 kGy (Darwis dan
Puspitasari 2012). SWA pati singkong ini mampu mengembang (swelling) dan
menyerap air dalam jumlah besar.

4
Hubungan Air dan Udara di Dalam Tanah
Air dan udara dalam tanah bersaing untuk mengisi pori tanah. Total udara
yang terdapat dalam tanah bergantung pada jumlah pori dalam tanah dan jumlah
cairan (liquid) yang terdapat dalam pori tanah.
Porositas dan Bobot Isi
Porositas total (porosity) adalah proporsi ruang pori total (ruang kosong)
yang terdapat dalam satuan volume tanah yang dapat ditempati oleh air dan udara,
sehingga merupakan indikator kondisi drainase dan aerasi tanah (Hanafiah 2005).
Sedangkan bobot isi (bulk density) adalah bobot kering suatu unit volume tanah
dalam keadaan utuh. Brady dan Weil (2002) dalam Encyclopedia of Soil Science
mendefinisikan bobot isi sebagai bobot tanah dalam suatu unit volume tanah
kering. Bobot isi mempengaruhi porositas total dalam tanah. Besarnya porositas
tanah berlawanan dengan besarnya bobot isi tanah. Apabila bobot isi tanah tinggi
maka porositasnya semakin menurun.
Bobot isi dan porositas tanah dipengaruhi oleh kandungan bahan organik,
tekstur tanah dan kedalaman tanah (soil depth) (Coyne dan Thompson 2006).
Tanah yang mengandung bahan organik tinggi memiliki bobot isi rendah dan
porositas tinggi sehingga memungkinkan tanah tersebut untuk memegang air lebih
banyak dan ditransmisikan lebih cepat. Tanah mineral memiliki bobot isi tinggi
dan porositas rendah, tergantung kepada jumlah klei yang terkandung di dalamnya
(Singer dan Munns 2006). Tanah berpasir memiliki bobot isi lebih tinggi
dibandingkan tanah berklei. Pada tanah berpasir, agregasinya lebih rendah
sebaliknya pada tanah berklei terdapat banyak pori mikro di antara agregat
tanahnya (Coyne dan Thompson 2006).

Soil Water Storage
Ketersediaan air tanah merupakan salah satu faktor penting bagi tanaman.
Pada dasarnya, tanaman menyimpan air dalam jumlah sedikit dan akan langsung
hilang karena adanya proses transpirasi. Tanpa adanya air tanah, tanaman akan
sulit untuk bertahan hidup.
Secara praktis, dapat dikatakan bahwa soil water storage dan ketersediaan
air bagi tanaman akan mencapai jumlah maksimum apabila (Singer dan Munns
2006):
1. Solum tanah dalam.
2. Akar tanaman mampu mencapai sebagian besar volume tanah.
3. Setiap horizon tanah menahan air dalam jumlah besar.
4. Air yang ada di dalam pori tidak dipegang terlalu kuat agar akar
tanaman dapat memanfaatkannya.
Retensi Air Tanah (Soil Water Retention)
Singer dan Munns (2006) menyatakan bahwa tanah dapat memegang air
karena adanya gaya kohesi antar-molekul air dan adanya gaya adhesi antara air
dengan bagian permukaan partikel tanah dan bahan organik. Kapasitas retensi air
tanah ini dipengaruhi oleh:

5
1. Koloid tanah – klei dan humus – yang menentukan besarnya total
permukaan partikel tanah dimana air dapat dipegang.
2. Jumlah pori, kontinuitas pori dan proporsi pori tanah pada berbagai
ukuran (pori makro dan pori mikro).
Kadar Air Tanah (Soil Water Content)
Kadar air tanah merupakan ukuran dari jumlah air yang terdapat dalam
tanah, baik dalam satuan bobot maupun satuan volume, dan merupakan air yang
hilang dari tanah saat tanah dikeringkan hingga mencapai massa konstan pada
suhu 105°C selama 24 jam (Kirkham 2005).
Potensial Air Tanah (Soil Water Potential)
Air bergerak dari potensial tinggi ke potensial rendah. Istilah potensial air
tanah mengacu pada energi relatif yang terdapat dalam air tanah. Potensial air
tanah memiliki karakteristik yaitu: relatif (relative), negatif (negative), kontinuitas
(continuity), bervariasi (variability), dinamis (dynamic) dan merupakan energi
penggerak (driving force) dimana potensial air tanah-lah yang mengakibatkan
terjadinya pergerakan air tanah (Lal dan Shukla 2004).
Potensial air tanah memiliki empat komponen sebagai berikut:
1. Potensial tekanan (ψp), yaitu gaya yang timbul akibat adanya
perbedaan tekanan di dalam tanah sebagai hasil bekerjanya tekanan
udara terhadap air tanah (Hanafiah 2005). Pada tanah jenuh air,
potensial tekanan mempunyai nilai positif. Pada tanah tak jenuh air,
potensial tekanan bernilai nol (Tan 1991).
2. Potensial matrik (ψm), yaitu gaya yang timbul akibat adanya daya
tarik/atraksi (attraction) antara bahan padatan tanah terhadap air
(Kirkham 2005). Potensial matrik dapat diukur dengan suatu alat yang
disebut tensiometer.
3. Potensial osmotik (ψo), yaitu bagian dari potensial air yang berasal dari
tarikan zat-zat terlarut (solute) terhadap air melalui gaya osmotik (Tan
1991). Potensial osmotik selalu bernilai negatif (Gardiner dan Miller
2004), akan tetapi nilainya biasanya diabaikan dalam menetukan
pergerakan air dalam tanah, kecuali pada tanah salin (Kirkham 2005).
4. Potensial gravitasi (ψg), tergantung pada posisi air tanah dan biasanya
ketinggiannya diukur berdasarkan titik referensi pada posisi vertikal
(Lal dan Shukla 2004; Kirkham 2005).
Potensial air merupakan penjumlahan dari potensial matrik, potensial
osmotik dan potensial tekanan; tidak termasuk potensial gravitasi. Hasil
penjumlahan dari keempat komponen tersebut disebut potensial total air (Gardiner
dan Miller 2004).

6
Hubungan Tanah-Air-Tanaman
Menurut Gardiner dan Miller (2004), klasifikasi air tanah dalam kaitannya
dengan tanaman dapat dibagi menjadi istilah-istilah sebagai berikut :
1. Air gravitasi (gravitational water), yaitu air yang dipegang secara
longgar oleh tanah pada tekanan 33 kPa. Air ini akan segera terdrainase
bebas akibat adanya gaya gravitasi. Pada tanah berpasir, kondisi ini
terjadi pada tekanan 10 kPa.
2. Kapasitas lapang (field capacity), yaitu banyaknya air yang dapat
dipegang tanah pada tekanan sama dengan 33 kPa (10 kPa untuk tanah
berpasir). Kondisi ini merupakan jumlah air terbanyak yang dapat
ditahan tanah saat tanah dijenuhkan dan air gravitasi terdrainase semua.
Lapisan atas tanah yang dianggap memiliki drainase normal akan
mencapai keadaan kapasitas lapang satu hari setelah terjadi hujan.
3. Titik layu permanen (the permanent wilting point), yaitu jumlah air yang
ditahan tanah pada tekanan 1500 kPa. Pada kondisi ini, air ditahan
dengan sangat kuat oleh tanah sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh
tanaman.
4. Kapasitas air tersedia (available water capacity), yaitu jumlah air yang
tersedia bagi tanaman dan dapat digunakan oleh tanaman untuk
memenuhi kebutuhannya. Kondisi ini terjadi di antara kapasitas lapang
dan titik layu permanen.
Air Gravitasi (Gravitational Water)
Air gravitasi dalam tanah merupakan bagian dari air tanah yang mengisi
pori tanah, dan mengalir ke bagian bawah tanah karena adanya pengaruh gaya
gravitasi. Air gravitasi tidak dapat bertahan lama. Jumlah maksimum air gravitasi
terjadi pada saat seluruh pori-pori tanah terisi penuh oleh air. Pada tanah-tanah
pada sistem pertanian lahan kering, kondisi ini mencapai 35% hingga 40% dari
bobot kering tanah (Widtsoe 2008).
Kapasitas Lapang (Field Capacity)
Kirkham (2005) menyatakan bahwa pada umumnya, setelah terjadi hujan
atau irigasi, air tanah akan langsung terdrainase ke dalam tanah. Setelah satu atau
dua hari, seiring dengan berjalannya waktu, air tanah akan mencapai keadaan
konstan. Kondisi disebut kapasitas lapang. Faktor-faktor yang mempengaruhi
kapasitas lapang antara lain (Hillel 1971 dalam Kirkham 2005):
1. Kondisi air tanah sebelumnya (previous soil water history): tanah yang
sebelumnya telah dibasahi atau dikeringkan memegang air dalam
jumlah yang berbeda. Tanah jenuh yang kemudian dikeringkan
memiliki kapasitas lapang yang lebih tinggi dibandingkan tanah yang
sedang dijenuhkan.
2. Tekstur dan struktur tanah (soil texture and structure): tanah berklei
menahan air lebih banyak dan lebih lama dibandingkan tanah berpasir.
Semakin halus tekstur suatu tanah, semakin tinggi kapasitas lapangnya
dan semakin lama pula ia ditahan.
3. Tipe klei (type of clay): semakin besar kandungan montmorilonit
dalam suatu tanah, semakin baik ia menahan air.

7
4. Bahan organik (organic matter): bahan organik dapat membantu tanah
menahan air.
5. Temperatur: banyaknya air yang ditahan pada kondisi kapasitas lapang
semakin menurun seiring dengan meningkatnya temperatur tanah.
6. Muka air tanah (water table).
7. Depth of wetting.
8. Adanya lapisan penghalang (impeding layers) seperti klei, pasir atau
kerikil.
9. Evapotranspirasi: kecepatan dan pola ekstraksi air dari dalam tanah
oleh akar tanaman dapat mempengaruhi gradien dan arah aliran air
dalam profil tanah.
Titik Layu Permanen (Permanent Wilting Point)
Titik layu permanen merupakan jumlah air (baik dalam %-b atau %-v),
diekspresikan dalam satuan persen (%), yang dipegang sangat kuat oleh matriks
tanah, dimana akar tanaman tidak dapat mengabsorbsi air tersebut. Pada kondisi
ini, tanaman akan mengalami layu permanen (Kirkham 2005). Titik layu
permanen mengindikasikan rendahnya ketersediaan air dalam tanah. Pada kondisi
tersebut, tanaman tidak dapat kembali ke kondisi semula kecuali adanya
penambahan jumlah air ke dalam tanah (Gardiner and Miller 2004).
Kapasitas Air Tersedia (Available Water Capacity)
Air tersedia berada pada kondisi di antara kapasitas lapang dan titik layu
permanen. Ketersediaan air tanah dipengaruhi oleh tekstur tanah, kadar bahan
organik tanah, senyawa kimiawi dan kedalaman solum (Hanafiah 2005).
Tanah berpasir, memiliki fraksi pasir yang lebih banyak dibandingkan tanah
berklei. Plaster (2002) mengemukakan butiran pasir memiliki ukuran yang relatif
besar sehingga luas permukaannya relatif kecil. Hal ini menyebabkan banyaknya
air yang diikat juga menjadi sedikit. Selain itu, banyaknya pori makro yang
terbentuk mengakibatkan tanah berpasir lebih sulit menahan air terhadap gaya
gravitasi. Sebaliknya, tanah berklei yang memiliki fraksi liat yang lebih banyak,
memiliki luas permukaan yang lebih besar sehingga air yang dapat ditahan juga
menjadi lebih banyak. Pori yang terbentuk merupakan pori mikro, dimana jarak
antar pori-pori tersebut sangat dekat sehingga air yang ada dapat dipegang lebih
kuat melawan gaya gravitasi.
Kadar bahan organik juga dapat mempengaruhi ketersediaan air tanah.
Tanah mineral yang drainasenya baik dan kadar bahan organiknya 5% akan
memungkinkan kapasitas air tersedia lebih banyak dibandingkan tanah yang sama
tetapi mengandung bahan organik 3% (Soegiman 1992).

8

METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dimulai pada bulan Juni 2012 sampai bulan Oktober 2012 yang
dilakukan di Laboratorium Fisika Tanah Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor. Analisis tekstur tanah dilakukan di
Laboratorium Sumberdaya Fisik Lahan, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya
Lahan, Institut Pertanian Bogor.
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: SWA pati
singkong, water absorbent komersial lain, H2O2 30%, HCl 0.4 N, natrium
pirofosfat 0.0006 molar, air destilata, serta tanah bertekstur klei berpasir
(campuran antara latosol dan pasir dengan rasio 1:1) dan tanah bertekstur klei
(tanah podsolik).

Alat
Alat-alat yang digunakan yaitu: pot, ring sampel untuk mengambil contoh
tanah, gelas ukur, cangkul, sekop, ember, corong, pressure plate, oven, eksikator,
timbangan dan alat-alat laboratorium lainnya.

Rancangan Penelitian
Penelitian dilakukan di laboratorium. Jenis tanah yang digunakan yaitu
tanah bertekstur klei (dalam hal ini digunakan tanah podsolik) dan tanah
bertekstur klei berpasir yang merupakan campuran dari pasir dan latosol dengan
rasio 1:1. Perlakuan yang diberikan yaitu :
K
: kontrol (tanpa bahan absorban)
C
: kompos (1 g/kg tanah)
S
: SWA komersial lain (0.1 g/kg tanah)
D1L1 : SWA pati singkong dosis 0.2 g/kg tanah disebar
D1L2 : SWA pati singkong dosis 0.2 g/kg tanah dikonsentrasikan
D2L1 : SWA pati singkong dosis 0.1 g/kg tanah disebar
D2L2 : SWA pati singkong dosis 0.1 g/kg tanah dikonsentrasikan
D3L1 : SWA pati singkong dosis 0.025 g/kg tanah disebar
D3L2 : SWA pati singkong dosis 0.025 g/kg tanah dikonsentrasikan
Percobaan ini merupakan percobaan faktor tunggal dengan 9 perlakuan dan
3 kali ulangan sehingga diperoleh jumlah satuan percobaan sebanyak 27
percobaan untuk masing-masing jenis tanah. Rancangan yang dipakai adalah
rancangan acak lengkap (RAL).

9
Parameter yang diamati yaitu volume air yang ditahan tanah saat dilakukan
penyiraman, penurunan kadar air tanah dalam satu bulan serta variasi mingguan
penurunan kadar air tanah.

Pelaksanaan Penelitian
Persiapan Contoh Tanah
Penelitian ini menggunakan dua jenis tanah dengan tekstur yang berbeda.
Tanah tersebut dikeringudarakan selama dua minggu dan diayak hingga lolos
ayakan 2 mm. Tanah yang telah diayak kemudian ditimbang sebanyak 5 kg lalu
dimasukkan ke dalam pot. Bahan absorban dimasukkan pada kedalaman 10 cm
dari permukaan tanah dalam pot sesuai dengan dosis yang telah ditentukan secara
disebar atau dikonsentrasikan. Pada bagian dasar pot diletakkan jaring berukuran
30 cm x 30 cm untuk mencegah adanya tanah yang keluar dari lubang di bagian
bawah pot.
Penetapan Tekstur Tanah dan Kurva pF
Penetapan tekstur tanah dilakukan dengan menggunakan metode pipet,
sebagai berikut:
a. Contoh tanah ditimbang sebanyak 10 g, lalu dimasukkan ke dalam gelas
piala.
b. Tambahkan 25 ml H2O2 30% ke dalam gelas piala, siram di atas bak berisi
air untuk mencegah terjadinya reaksi yang hebat. Kocok dengan hati-hati
lalu dibiarkan selama satu malam. Bila tanah mengandung MnO2, maka
pada saat penambahan H2O2 perlu ditambahkan asam asetat pekat (99%).
c. Gelas piala berisi tanah tadi dipanaskan. Mula-mula dengan api kecil,
ditambahkan H2O2 sedikit demi sedikit sambil terus diaduk sampai semua
bahan organik habis, yang ditandai dengan tidak terlihat lagi adanya buih.
Pemanasan dilakukan terus sampai terlihat gejala peptisasi/dispersi.
d. Apabila tanah mengandung banyak CaCO3 bebas, maka perlu ditambahkan
45 ml HCl 0.4 N, didihkan selama 60 menit dan dibiarkan mengendap.
Lakukan pencucian terhadap tanah yang mengendap lalu uji Cl- dengan
menambahkan AgNO3 sampai tidak ada endapan AgCl yang berwarna
putih.
e. Dinginkan dan langsung disaring melalui ayakan 50µ untuk memisahkan
fraksi pasir.
f. Tambahkan 3 tetes HCl pekat, kocok dan biarkan tanahnya mengendap.
Kelebihan HCl dicuci secara dekantasi (mengendap-tuangkan) sampai uji
Cl- negatif.
g. Tambahkan 5 ml larutan Natrium pirofosfat 0.1 M, aduk dengan sempurna
dan langsung dipipet sebanyak 50 ml pada kedalaman separuh tabung.
Tuangkan ke dalam cawan porselen. Lalu keringkan pada suhu 105°C
(merupakan fraksi debu dan liat).
h. Pemipetan kedua sebanyak 20 ml dilakukan setelah 4 jam 10 menit
kemudian (sejak gelas ukur selesai dikocok) dilakukan pada kedalam 6.25
cm dari permukaan tabung. Tuangkan ke dalam cawan porselen, lalu
keringkan pada suhu 105°C (merupakan fraksi liat).

10
i. Timbang masing-masing bobot pasir, debu dan liat yang diperoleh. Lalu
dikonversi ke dalam bentuk persen.
j. Tekstur tanah ditetapkan dengan menggunakan segitiga tekstur.
Dari hasil penetapan tekstur tanah ini diketahui bahwa tanah podsolik
memiliki kelas tekstur klei sedangkan campuran latosol dan pasir menghasilkan
kelas tekstur klei berpasir. Selanjutnya kedua jenis tanah ini disebut tanah
bertekstur klei dan tanah bertekstur klei berpasir. Hasil penetapan tekstur tanah
disajikan dalam Lampiran 3.
Penentuan kurva pF tanah (hasil disajikan dalam Lampiran 4 dan 5)
dilakukan dengan menggunakan alat pressure plate dengan metode sebagai
berikut:
a. Contoh tanah agregat utuh ditimbang terlebih dahulu kemudian dibagi 4
bagian sama besar. Setiap potongan diatur pada piring (plate) berpori.
b. Contoh tanah kemudian dijenuhi selama kurang lebih 48 jam, dan
kemudian dimasukkan ke dalam “Pressure Plate Apparatus” yang dapat
diatur tekanannya sehingga dapat diketahui kadar air tanah pada masingmasing hisapan.
Penentuan Volume Air Siraman
Penentuan volume air siraman diperoleh dari data kadar air kering udara
tanah yang kemudian disesuaikan dengan kadar air kapasitas lapang berdasarkan
pengukuran pF.
Tabel 2 Penentuan Volume Air Siraman
Kadar Air
Kering Udara
(%)
34.40
18.84

Kadar Air
pF 2.54
(%)
51.44
38.39

Selisih
Kadar Air
(%)
17.04
19.55

Air yang Harus
Ditambahkan
(liter)
0.85
0.98

Air yang
Disiramkan
(liter)
2.20
2.20

Tanah bertekstur klei membutuhkan air sebanyak 0.85 liter untuk mencapai
keadaan kapasitas lapangnya sedangkan tanah bertekstur klei berpasir
membutuhkan air sebanyak 0.98 liter. Akan tetapi karena keadaan tanah di lapang
tidak selalu konstan, maka volume air siraman ditambah hingga 2.2 liter.
Penambahan volume air siraman tersebut bertujuan untuk memastikan bahwa
setiap perlakuan telah mencapai keadaan kapasitas lapangnya. Air diberikan
dalam jumlah yang sama untuk kedua jenis tanah dengan tujuan untuk mengetahui
bahwa dengan jumlah air siraman yang sama, dapat diketahui perlakuan apa yang
menahan air lebih banyak.
Pengukuran Volume Air yang Ditahan Tanah
Sebelum dilakukan penyiraman, di bagian bawah setiap pot diberikan
sebuah mangkuk kecil sebagai penampung air yang keluar. Air disiram sebanyak
2.2 liter pada setiap pot. Air yang keluar dari setiap pot kemudian ditampung
selama kurang lebih dua jam setelah penyiraman, kemudian diukur volumenya.

11
Dari volume air yang tertampung tersebut dapat diketahui berapa volume air yang
ditahan tanah, yaitu dengan menghitung selisih antara volume air yang disiramkan
(y) dengan volume air yang tertampung dalam mangkuk (a). Hasil ini kemudian
dibagi dengan volume air siraman sehingga diperoleh hasil dalam satuan % air
siraman.

Variasi Harian dan Variasi Mingguan Kadar Air Tanah
Setiap perlakuan yang telah disiram, diukur kadar airnya setiap hari, selama
sebulan, tanpa dilakukan penyiraman lagi. Pengukuran kadar air dilakukan dengan
metode gravimetri sebagai berikut:
c. Sampel tanah diambil sebanyak ±15 gram secara komposit pada
kedalaman 5 cm dari permukaan tanah. Sampel tersebut kemudian
dimasukkan ke dalam cawan tahan panas yang bobotnya telah ditimbang
sebelumnya (a). Cawan yang telah berisi sampel tanah kemudian
ditimbang (b). Bobot kering udara tanah (x) diperoleh dari hasil
pengurangan antara (a) dan (b).
d. Cawan berisi sampel tanah dioven pada suhu 105°C selama 24 jam.
Setelah 24 jam, sampel tanah beserta cawannya ditimbang kembali (c).
Bobot kering mutlak (y) diperoleh dari hasil pengurangan antara (a) dan
(c).
e. Kadar air tanah dapat dihitung dari bobot kering udara (x) dan bobot
kering mutlak (y).

Variasi harian kadar air tanah disajikan dalam Lampiran 4 dan Lampiran 5.
Variasi mingguan diperoleh dengan menghitung rata-rata kadar air setiap minggu
dan disajikan dalam Tabel 3.
Penurunan Kadar Air Tanah
Pengukuran parameter ini bertujuan untuk mengetahui perlakuan apa yang
memiliki kemampuan retensi yang lebih baik. Pengukurannya dilakukan dengan
menghitung selisih kadar air hari pertama dan hari terakhir setiap perlakuan.

Analisis Data
Data diolah dengan menggunakan analisis sidik ragam, apabila hasil uji F
hitung lebih besar dari F tabel, maka analisis dapat dilanjutkan dengan
menggunakan uji beda nyata Duncan.

12

HASIL DAN PEMBAHASAN
Volume Air yang Ditahan Tanah

Air yang Ditahan Tanah (% Air Siraman)

Volume air yang ditahan tanah pada setiap perlakuan disajikan dalam
Gambar 1. Gambar 1 menunjukkan bagaimana perbedaan tanah bertekstur klei
dan tanah bertekstur klei berpasir dalam menahan air yang diberikan.
Secara keseluruhan, dalam Gambar 1 terlihat bahwa air yang ditahan tanah
bertekstur klei lebih sedikit dibandingkan tanah bertekstur klei berpasir. Hal ini
disebabkan karena kadar air kering udara (sebelum dilakukan penyiraman) tanah
bertekstur klei lebih besar dibandingkan tanah bertekstur klei berpasir. Kadar air
kering udara tanah bertekstur klei yaitu sebesar 34.40% sedangkan tanah
bertekstur klei berpasir sebesar 18.84%. Tanah bertekstur klei kondisinya lebih
lembab dibandingkan tanah bertekstur klei berpasir sehingga pada saat diberikan
85
80
75
70
65
60
55
50
K

C

S

D1L1

Tanah bertekstur klei

D1L2

D2L1

D2L2

D3L1

D3L2

Tanah bertekstur klei berpasir

Ket: Air yang disiramkan sebanyak 2.2 liter. K = tanpa absorban, C = kompos, S = SWA
lain, D1L1 = SWA 0.2 g/kg disebar, D1L2 = SWA 0.2 g/kg dikonsentrasikan, D2L1 =
SWA 0.1 g/kg disebar, D2L2 = SWA 0.1 g/kg dikonsentrasikan, D3L1 = SWA 0.025
g/kg disebar, D3L2 = SWA 0.025 g/kg dikonsentrasikan.

Gambar 1 Volume Air yang Ditahan Tanah Setelah Dilakukan Penyiraman
(% Air Siraman)
perlakuan penyiraman, air yang ditahan tanah bertekstur klei lebih sedikit
dibandingkan tanah bertekstur klei berpasir yang kondisinya lebih kering.
Pada perlakuan SWA pada tanah bertekstur klei, volume air yang ditahan
paling besar ditunjukkan oleh perlakuan D2L2 yaitu sebesar 79.62% dari volume
air yang disiramkan (2.2 liter) sedangkan yang paling kecil ditunjukkan oleh
perlakuan D1L2 yaitu sebesar 73.26% dari volume air yang disiramkan. Akan
tetapi, volume air yang ditahan oleh perlakuan D2L2 tidak lebih besar
dibandingkan perlakuan K yaitu perlakuan tanpa bahan absorban. Bahkan semua
perlakuan SWA pada tanah bertekstur klei tidak menunjukkan hasil yang lebih
besar dari perlakuan K, walaupun jika diperhatikan secara seksama (Lampiran 2),

13
hasilnya tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Hal ini dapat disebabkan
oleh berbagai faktor, salah satu faktor yang memungkinkan adalah pengaplikasian
SWA pati singkong itu sendiri. SWA pati singkong merupakan bahan absorban
yang mampu mengembang dan menyerap air dalam jumlah besar. Untuk dapat
mengembang dengan maksimal, SWA pati singkong membutuhkan ruang dan
waktu yang cukup. Dalam penelitian ini, SWA pati singkong yang masih dalam
keadaan kering, dimasukkan ke dalam tanah lalu disiram dengan lama penyiraman
selama 3-5 menit saja. Hal ini menyebabkan SWA pati singkong tidak mampu
bekerja dengan maksimal sebab tidak ada ruang dan waktu yang cukup bagi SWA
tersebut untuk mengembang, sehingga air yang disiramkan langsung terdrainase
tanpa sempat diserap oleh SWA pati singkong.
Metode penyiraman yang tidak secara kontinu juga dapat menjadi penyebab
mengapa SWA pati singkong tidak bekerja secara efektif, mengingat bahwa SWA
pati singkong membutuhkan waktu selama dua hingga tiga jam untuk dapat
mengembang secara maksimal. Air disiramkan hanya satu kali saja dan dalam
waktu yang relatif singkat, tidak secara terus menerus. Hasil yang disajikan dalam
Gambar 1 lebih kepada variasi hasil bukan karena pengaruh SWA pati singkong
itu sendiri.
Pada tanah bertekstur klei berpasir, volume air yang ditahan tanah tidak
menunjukkan perbedaan nyata, terlihat dari ketinggian grafik yang hampir sama
antara perlakuan yang satu dengan yang lainnya. Namun dari hasil grafik di atas
dapat terlihat bahwa volume air yang ditahan paling besar ditunjukkan oleh
perlakuan D3L2 yaitu sebesar 81.52% dari volume air yang disiramkan,
sedangkan yang paling kecil ditunjukkan oleh perlakuan D2L1 yaitu sebesar
76.74% dari volume air yang disiramkan. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa
pemberian bahan-bahan absorban ke dalam tanah bertekstur klei berpasir tidak
menunjukkan perbedaan nyata dalam meningkatkan kemampuan tanah menahan
air. Namun pemberian SWA pati singkong menunjukkan hasil yang sedikit lebih
baik dibandingkan kontrol.

Penurunan Kadar Air Tanah
Hasil pengamatan penurunan kadar air pada tanah bertekstur klei dan tanah
bertekstur klei berpasir selama empat minggu disajikan dalam Tabel 3.
Secara keseluruhan, dapat terlihat bahwa kadar air tanah bertekstur klei
berpasir selalu lebih kecil dibandingkan tanah bertekstur klei, namun penurunan
kadar airnya selalu lebih besar. Penurunan kadar air yang lebih besar ini
menunjukkan bahwa kemampuan retensi air tanah bertekstur klei berpasir tersebut
lebih kecil dibandingkan tanah bertekstur klei. Tanah bertekstur klei berpasir
memiliki jumlah pori makro lebih banyak dibandingkan tanah bertekstur klei
berpasir sehingga air tidak bisa ditahan oleh partikel tanah dan menjadi air
drainase. Tanah bertekstur klei, seluruh porinya didominasi oleh pori mikro
sehingga air yang masuk dalam tanah dapat ditahan. Brady (2002) mengemukakan
bahwa pada kadar air yang sama, air ditahan lebih kuat oleh tanah bertekstur klei
daripada tanah bertekstur lempung atau pasir. Hal ini berkaitan erat dengan
kandungan klei yang berbeda pada masing-masing contoh tanah tersebut. Semakin
tinggi kandungan klei pada suatu tanah maka akan semakin besar kemampuannya

14
dalam mengikat air. Tanah bertekstur klei berpasir, memiliki kandungan pasir
yang lebih tinggi sehingga pori makronya lebih banyak dan lebih mudah dalam
meloloskan air. Jury dan Horton (2004) mengemukakan bahwa tanah berpasir
tidak mampu mempertahankan air secara signifikan sehingga membutuhkan
penambahan air lebih sering untuk menghindari cekaman air daripada tanah yang
dalam iklim yang sama mengandung sejumlah besar klei.
Tabel 3 Besar Penurunan Kadar Air pada Tanah Bertekstur Klei dan Tanah
Bertekstur Klei Berpasir (Hari 1 dan Hari 28)
Hari 1
Perlakuan

K
C
S
D1L1
D1L2
D2L1
D2L2
D3L1
D3L2

Tanah
bertekstur
klei

67.00
66.31
65.53
65.05
68.53
66.54
65.91
68.03
67.14

Tanah
bertekstur
klei
berpasir

Hari 28
Tanah
Tanah
bertekstur
bertekstur
klei
klei
berpasir

...kadar air (%)...
50.21
53.20
50.47
52.19
51.37
51.36
50.80
51.51
50.55
53.35
51.17
53.29
52.39
55.70
50.34
53.71
50.37
54.19

33.62
35.76
34.88
32.33
33.20
33.87
35.15
33.56
34.97

Penurunan
Tanah
Tanah
bertekstur
bertekstur
klei
klei
berpasir

13.80
14.13
14.16
13.54
15.19
13.24
10.21
14.32
12.95

16.59
14.71
16.49
18.47
17.35
17.30
17.23
16.78
15.40

Ket: K = tanpa absorban, C = kompos, S = SWA lain, D1L1 = SWA 0.2 g/kg disebar, D1L2 =
SWA 0.2 g/kg dikonsentrasikan, D2L1 = SWA 0.1 g/kg disebar, D2L2 = SWA 0.1 g/kg
dikonsentrasikan, D3L1 = SWA 0.025 g/kg disebar, D3L2 = SWA 0.025 g/kg
dikonsentrasikan.

Penurunan kadar air paling kecil pada tanah bertekstur klei berpasir
ditunjukkan oleh perlakuan C (kompos) yaitu sebesar 14.71%, sedangkan
penurunan yang paling besar ditunjukkan oleh perlakuan D1L1 (disebar) yaitu
sebesar 18.47%.
Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa pada tanah bertekstur klei
berpasir, perlakuan kompos lebih mampu mempertahankan kadar air tanah
dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini tentunya sesuai dengan manfaat kompos
yang mampu mempertahankan kadar air tanah karena kandungan bahan
organiknya. Setiawan (2006) menyatakan kompos ibarat multivitamin untuk tanah
pertanian. Pemberian kompos akan meningkatkan kesuburan tanah dan
merangsang perakaran yang sehat serta memperbaiki struktur tanah dengan
penambahan kandungan bahan organik. Selain itu juga dapat meningkatkan
kemampuan tanah dalam mempertahankan kandungan air tanah.
Kemampuan kompos meningkatkan kapasitas menahan air tanah disebabkan
oleh adanya fungsi ganda dari kompos itu sendiri. Fungsi pertama adalah
kemampuan kompos dalam memegang air yang cukup tinggi, sehingga pemberian
kompos ke dalam tanah akan mampu meningkatkan kapasitas tanah menahan air.
Bahan organik biasanya porous dan dapat mengabsorbsi serta memegang air
dalam jumlah yang cukup besar sampai 20 kali beratnya (Stevenson 1994). Fungsi

15
kedua yaitu mampu memperbaiki sifat fisik tanah (struktur tanah) terutama tanah
yang didominasi oleh fraksi pasiran. Kompos mampu memperbaiki agregasi tanah
dan meningkatkan pori-pori tanah yang berukuran sedang yang menyebabkan air
dapat ditahan lebih lama sehingga tanaman dapat memanfaatkannya (Soepardi
1983).
Penurunan kadar air paling kecil pada tanah bertekstur klei ditunjukkan oleh
perlakuan D2L2 yaitu sebesar 10.21%, sedangkan yang paling besar ditunjukkan
oleh perlakuan D1L2 yaitu sebesar 15.19%. Pemberian SWA pati singkong ke
dalam tanah bertekstur klei tidak memberikan perbedaan yang nyata dalam
mempertahankan retensi air tanah. Pada Tabel 3 dapat terlihat bahwa kadar air
tanah bertekstur klei pada hari ke-1 maupun pada hari ke-28 tidak menunjukkan
perbedaan nyata antara perlakuan yang satu dengan perlakuan yang lainnya. Sifat
retensi airnya juga tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, walaupun perlakuan
D2L2 menunjukkan penurunan yang paling kecil, namun hasil tersebut tidak
berbeda nyata dengan perlakuan yang lain.
Penambahan SWA pati singkong ke dalam tanah tidak memberikan
pengaruh nyata terhadap sifat retensi air tanah pada kedua macam tekstur tanah
yang digunakan. Sifat SWA pati singkong ini lebih kepada absorbansi air bukan
kepada restrukturisasi tanah seperti sifat kompos. Kompos mengandung bahan
organik yang dapat memperbaiki sifat-sifat tanah. Terhadap sifat fisik tanah,
bahan organik dapat memperbaiki struktur tanah, merangsang proses granulasi
dan agregasi tanah, menurunkan plastisitas dan kohesi tanah, warna tanah menjadi
cokelat sampai kehitaman dan menaikkan kemampuan tanah menahan air.
Terhadap sifat kimia tanah, bahan organik mampu menyediakan unsur hara
lengkap walaupun jumlahnya sedikit dan ketersediaannya lambat dan
meningkatkan kapasitas tukar kation tanah. Terhadap sifat biologi tanah, bahan
organik sebagai sumber karbon dan energi bagi mikroorganisme tanah (Suriadi
2004). SWA pati singkong juga mengandung bahan organik, yaitu pati singkong.
Namun karena adanya radiasi sinar gamma, sifat bahan organik tersebut
mengalami perubahan. SWA pati singkong hanya memiliki sifat menyerap air
tetapi tidak turut membantu dalam memperbaiki sifat fisik tanah seperti kompos.

Variasi Mingguan Kadar Air Tanah
Hasil pengamatan variasi mingguan kadar air tanah pada tanah bertekstur
klei dan tanah bertekstur klei berpasir disajikan dalam Tabel 4. Dari tabel tersebut
dapat dilihat bahwa kadar air akhir tanah bertekstur klei yang paling kecil
ditunjukkan oleh perlakuan S dan D1L1, sedangkan yang paling besar
ditunjukkan oleh perlakuan D2L2. Akan tetapi, perbedaan kadar air antarperlakuan tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Kadar air akhir
tanah bertekstur klei berpasir yang paling kecil ditunjukkan oleh perlakuan
kontrol, dan yang paling besar ditunjukkan oleh perlakuan kompos. Antara
perlakuan yang satu dengan perlakuan yang lain juga tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata.

16
Tabel 4 Variasi Mingguan Kadar Air Tanah
Minggu
ke-

K

C

Tanah bertekstur klei
1
64.44 64.37
2
59.14 60.24
3
57.16 57.46
4
54.69 53.67

S

Perlakuan
D1L1 D1L2 D2L1 D2L2 D3L1 D3L2
...kadar air (%)...

64.50
60.39
57.76
53.11

63.08
58.83
56.14
53.11

63.08
59.30
56.68
54.77

64.98
61.72
58.55
55.09

64.48
60.62
58.79
56.48

65.86
61.25
58.76
55.41

64.86
60.98
59.03
55.84

Tanah bertekstur klei berpasir
1
46.04 45.35 45.35
2
40.51 40.81 40.66
3
38.31 38.75 38.81
4
34.78 36.80 36.52

47.02
40.47
38.03
34.64

44.80
39.58
37.80
35.09

46.52
40.75
38.53
35.05

45.46
40.51
38.53
36.17

44.85
39.81
37.87
34.65

45.43
40.76
38.84
36.18

Ket: K = tanpa absorban, C = kompos, S = SWA lain, D1L1 = SWA 0.2 g/kg disebar, D1L2 =
SWA 0.2 g/kg dikonsentrasikan, D2L1 = SWA 0.1 g/kg disebar, D2L2 = SWA 0.1 g/kg
dikonsentrasikan, D3L1 = SWA 0.025 g/kg disebar, D3L2 = SWA 0.025 g/kg
dikonsentrasikan.

Seperti yang telah disebutkan pada subbab sebelumnya, pemberian SWA
pati singkong ke dalam tanah tidak memberikan pengaruh nyata terhadap sifat
retensi air pada kedua macam tekstur yang digunakan. Pada Tabel 4 terlihat
bahwa nilai kadar air semua perlakuan tidak berbeda nyata antara satu dengan
yang lainnya. Hasil di atas belum dapat menggambarkan bagaimana pengaruh
SWA pati singkong terhadap sifat retensi air tanah.
Pada tanah bertekstur klei, kadar air semua perlakuan di minggu keempat
lebih besar dari kadar air kapasitas lapang (pF 2.54), yaitu 51.44%. Hal ini dapat
dipengaruhi oleh proses evaporasi tanah itu sendiri. Akan tetapi karena percobaan
dilakukan di laboratorium, nilai evaporasi tersebut mungkin saja sangat kecil.
Sehingga kadar air pada tanah bertekstur klei tetap lebih besar dari kadar air
kapasitas lapang, walaupun telah dibiarkan selama empat minggu. Selain itu,
kandungan klei yang sangat tinggi pada tanah tersebut (75.78%) mengakibatkan
air dipegang dengan sangat kuat.
Pada tanah bertekstur klei berpasir, kadar air semua perlakuan di minggu
keempat lebih kecil dari kadar air kapasitas lapang (pF 2.54), yaitu 38.39%. Akan
tetapi pada minggu ketiga, hampir semua perlakuan telah mencapai keadaan
kapasitas lapangnya. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa tanah bertekstur klei
berpasir telah mencapai keadaan kapasitas lapangnya dalam waktu tiga minggu.
Hal ini dipengaruhi oleh kandungan pori makro yang lebih banyak (pasir 46.35%)
dibandingkan tanah bertekstur klei sehingga retensinya tidak sekuat tanah
bertekstur klei. Kehilangan air terjadi karena adanya drainase dan evaporasi.

SWA Pati Singkong Dosis 0.025 g/kg Tanah
Variasi mingguan penurunan kadar air SWA pati singkong dosis 0.025 g/kg
tanah pada dua jenis tekstur tanah yang berbeda disajikan dalam Gambar 2. Dari
Gambar 2a terlihat bahwa perbandingan penurunan kadar air antara K (tanah
tanpa bahan absorban), C (kompos) dan S (SWA lain) dengan perlakuan D3L2

17
(disebar) dan D3L1 (dikonsentrasikan) pada tanah bertekstur klei tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata. Akan tetapi, garis kurva penurunan kadar air
tanah yang diberikan SWA dosis 0.025 g/kg ini berada sedikit di atas K, C dan S.
Hal ini menunjukkan bahwa SWA pati singkong mampu mempertahankan
kadar air tanah bertekstur klei sedikit lebih baik dibandingkan kompos, walaupun
hasilnya tidak berbeda nyata. Begitu pula dengan SWA komersial lain.
Kemampuan menahan air SWA komersial lain yang bersifat anorganik ini berada
di bawah kemampuan SWA pati singkong, dimana kadar air akhir K sebesar
54.69%, kadar C sebesar 53.67% dan kadar air S sebesar 53.11 %. Sedangkan
kadar air D3L2 dan D3L1 berturut-turut sebesar 55.84% dan 55.41%.
Pada tanah bertekstur klei berpasir (Gambar 2b), kadar air akhir perlakuan C,
S dan D3L2 lebih besar dibandingkan K dan D3L1. Pada minggu-minggu pertama,
kelima kurva berada pada jalur yang hampir sama namun pada minggu keempat
perlakuan C, S dan D3L2 masih mampu mempertahankan kadar airnya. Akan
tetapi, kadar air C dan S sedikit lebih tinggi dibandingkan perlakuan D3L2. Kadar
air akhir C yaitu sebesar 36.80%, kadar air S sebesar 36.25% sedangkan kadar air
D3L2 sebesar 36.18%. Kadar air akhir K dan D3L1 berturut-turut sebesar 34.78%
dan 34.65%. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian SWA pati singkong dosis
0.025 g/kg tidak memberikan pengaruh nyata terhadap sifat retensi tanah
bertekstur klei berpasir.
Secara keseluruhan, pemberian SWA pati singkong dosis 0.025 g/kg ke
dalam tanah bertekstur klei tidak berpengaruh nyata dalam mempertahankan sifat
retensi air tanah, walaupun kurva SWA pati singkong (D3L1 dan D3L2) berada di
68

48
K
C
S
D3L1
D3L2

66

62

44
Kadar Air (%)

Kadar Air (%)

64

60
58

42
40

56

38

54

36

52

K
C
S
D3L1
D3L2

46

34
1

2

3

Minggu ke-

(a) Tanah bertekstur klei

4

1

2
3
Minggu ke-

4

(b) Tanah bertekstur klei berpasir

*Ket: K = tanpa absorban, C = kompos, S = SWA lain, D3L1 = SWA 0.025 g/kg disebar,
D3L2 = SWA 0.025 g/kg dikonsentrasikan.

Gambar 2 Variasi Mingguan Penurunan Kadar Air SWA Dosis 0.025 g/kg pada
Tanah Bertekstur Klei dan Tanah Bertekstur Klei Berpasir

18
atas perlakuan lain (K, C dan S). Pada tanah bertekstur klei berpasir, pemberian
bahan absorban seperti kompos, SWA lain ataupun SWA pati singkong juga tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap sifat retensi air tanah (Gambar
2b). Bahan absorban yang cukup memberikan pengaruh yaitu kompos dan SWA
lain. Pemberian SWA pati singkong secara disebar kurang dapat mempertahankan
kadar air tanah dibandingkan dengan pemberian SWA secara dikonsentrasikan.
SWA Pati Singkong Dosis 0.1 g/kg Tanah
Hasil peng