Kontribusi Kegiatan Wisata Di Desa Blimbingsari terhadap Kelestarian Taman Nasional Bali Barat
i
KONTRIBUSI KEGIATAN WISATA DI DESA
BLIMBINGSARI TERHADAP KELESTARIAN
TAMAN NASIONAL BALI BARAT
KENNY APRILLIANI
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kontribusi Kegiatan
Wisata di Desa Blimbingsari terhadap Kelestarian Taman Nasional Bali Barat
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013
Kenny Aprilliani
NIM E34090127
ii
ABSTRAK
KENNY APRILLIANI. Kontribusi Kegiatan Wisata di Desa Blimbingsari
terhadap Kelestarian Taman Nasional Bali Barat. Dibimbing oleh EVA
RACHMAWATI dan METI EKAYANI.
Taman Nasional Bali Barat (TNBB) terletak berdekatan dengan beberapa
desa. Hal ini menyebabkan pemanfaatan sumber daya alam (SDA) oleh
masyarakat desa masih terjadi. Salah satunya adalah Desa Blimbingsari.
Masyarakat mengambil kayu bakar dan rumput serta menggembalakan ternak di
dalam kawasan hutan TNBB. Pengelola TNBB mengembangkan kegiatan wisata
pada tahun 2010 untuk meminimalisir pemanfaatan SDA. Kegiatan wisata dapat
memberikan perubahan pada aspek wisata, pekerjaan masyarakat, pendapatan, dan
interaksi masyarakat dengan kawasan hutan TNBB. Penelitian dilakukan pada
bulan Mei hingga Juni 2013 dengan observasi lapang, wawancara, dan studi
literatur. Hasil yang diperoleh adalah kegiatan wisata di Desa Blimbingsari
mengalami perkembangan dari aspek atraksi dan objek wisata, program wisata,
dan pengelolaan wisata. Pekerjaan sambilan masyarakat berubah 100% dari
perambahan hutan menjadi penyedia usaha dan jasa wisata. Pendapatan
masyarakat dari kegiatan wisata adalah pendapatan sambilan. Pendapatan dari
perambahan hutan lebih besar daripada wisata dengan selisih Rp 89 466
sedangkan pendapatan total setelah ada wisata meningkat sebesar Rp 223
659/bulan. Bentuk interaksi masyarakat dengan kawasan TNBB berubah dari
kegiatan perusakan SDA menjadi pelestarian.
Kata kunci: desa Blimbingsari, interaksi, pekerjaan, pendapatan, wisata
ABSTRACT
KENNY APRILLIANI. Contribution of Tourism Activities in Blimbingsari
Village towards Sustainability of Bali Barat National Park. Supervised by EVA
RACHMAWATI and METI EKAYANI.
Bali Barat National Park (BBNP) is located adjacent to several villages,
which lead to the occurrences of natural resources used by the community. One of
the village is Blimbingsari village. The community takes firewood and grasses
from the forest, and conducts livestock herding in forest area. BBNP had
developed tourism activites since 2010 to reduce the use of natural resources.
Tourism can give provide change in relation to the aspects of tourism, job, income,
and community interaction with the forest. This study was conducted from Mei
until June 2013. The result showed that tourism activity in Blimbingsari village
experienced development in the sense of its tourism attractions, programs, and
management. People’s side changed 100% from forest encroachers to tourism
sevices providers. Tourism provided side income for the people. People’s income
from forest encroachment was higher than tourism income with Rp 89 466
difference, while the total income with tourism increased to Rp 223 659/month.
Community interaction with BBNP area had changed from exploitation
conservation.
Keywords: Blimbingsari village, income, interaction, job, tourism
iii
KONTRIBUSI KEGIATAN WISATA DI DESA
BLIMBINGSARI TERHADAP KELESTARIAN
TAMAN NASIONAL BALI BARAT
KENNY APRILLIANI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
iv
v
Judul Skripsi : Kontribusi Kegiatan Wisata Di Desa Blimbingsari terhadap
Kelestarian Taman Nasional Bali Barat
Nama
: Kenny Aprilliani
NIM
: E34090127
Disetujui oleh
Eva Rachmawati, SHut, MSi
Pembimbing I
Dr Meti Ekayani, SHut, MSc
Pembimbing II
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
vi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei hingga Juni 2013 ini
adalah wisata dengan judul Kontribusi Kegiatan Wisata di Desa Blimbingsari
terhadap Kelestarian Taman Nasional Bali Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Eva Rachmawati, SHut, MSi dan
Ibu Dr Meti Ekayani, SHut, MSc selaku pembimbing yang telah banyak memberi
saran dan arahan selama penelitian berlangsung dan dalam penulisan skripsi ini.
Penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak John Ronny selaku kepala desa
Blimbingsari, Komite Pariwisata Blimbingsari serta Bapak Yudi sebagai
pembimbing lapang yang telah banyak membantu selama pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, dan seluruh keluarga
atas doa dan kasih sayangnya, Maiser Syaputra, Maria Edna Herawati, Putri
Wahyuningrum, keluarga besar Himakova terutama Himakova 46 (Anggrek
Hitam) dan pihak lain yang telah membantu memberikan dukungan dalam
penyelesaian studi ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2013
Kenny Aprilliani
vii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan
2
Manfaat
2
METODE
3
Lokasi dan Waktu
3
Alat dan Bahan
3
Metode Pengumpulan Data
3
Metode Analisis Data
5
Batasan Penelitian
7
HASIL DAN PEMBAHASAN
7
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
7
Perkembangan Wisata
8
Pekerjaan dan Usaha Masyarakat
17
Pendapatan Masyarakat
21
Interaksi Masyarakat dengan Kawasan TNBB
23
Kontribusi Kegiatan Wisata Desa Blimbingsari terhadap
Kelestarian TNBB
27
SIMPULAN DAN SARAN
28
Simpulan
28
Saran
28
DAFTAR PUSTAKA
29
LAMPIRAN
32
viii
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Jumlah wisatawan di Desa Blimbingsari (2010-2012)
Jumlah sampel pemilik unit usaha dan jasa wisata
Jenis data yang dikumpulkan
Perkembangan atraksi dan objek wisata Desa Blimbingsari
Negara asal wisatawan Desa Blimbingsari (2010-2012)
Bentuk pendampingan masyarakat oleh pengelola TNBB
Pekerjaan sampingan masyarakat Desa Blimbingsari tahun 2009
dan tahun 2013
Persentase proporsi pendapatan wisata terhadap pendapatan total
Pendapatan rata-rata masyarakat tahun 2009 dan tahun 2013
Perubahan pendapatan sambilan masyarakat Desa Blimbingsari
Perubahan interaksi masyarakat terhadap kawasan TNBB tahun 2009
dan tahun 2013
2
3
4
8
12
16
18
21
22
23
24
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Gereja Pniel
Objek dan atraksi wisata alam
Sarana dan prasarana wisata Desa Blimbingsari
Pekerjaan utama masyarakat Blimbingsari tahun 2009 dan 2013
Usaha dan jasa wisata masyarakat Blimbingsari
Ukuran kamar homestay
Interaksi masyarakat dengan kawasan TNBB tahun 2009 dan tahun
2013
Pengambil kayu bakar
Penggembalaan ternak
9
10
12
17
19
19
23
25
26
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
Skema hubungan kerjasama wisata Desa Blimbingsari
Pekerjaan dan pendapatan masyarakat Desa Blimbingsari
(pemanfaatan SDA hutan)
Kuisioner untuk pemilik unit usaha dan jasa wisata
Panduan wawancara
32
33
36
39
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Taman Nasional Bali Barat (TNBB) merupakan salah satu kawasan
pelestarian alam yang ditetapkan melalui SK Menteri Kehutanan No. 493/KptsII/1995 pada tanggal 15 September 1995. Luas kawasan TNBB sebesar 19 002.89
ha meliputi daratan serta lautan yang berbatasan langsung dengan enam desa
(TNBB 2009). Kedekatan wilayah antara TNBB dengan desa menyebabkan
kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam TNBB yang dilakukan secara sembunyisembunyi dan bersifat merusak seperti pengambilan kayu bakar, penggembalaan
ternak di hutan, serta pengeboman ikan hias dan terumbu karang masih terjadi,
padahal kegiatan pemanfaatan tersebut sudah dilarang oleh pengelola TNBB
(Gustave dan Hidayat 2008).
Salah satu desa yang masyarakatnya memanfaatkan sumberdaya alam
TNBB adalah Desa Blimbingsari. Masyarakat mengambil kayu bayur
(Pterospermum javanicum) serta kayu majigau (Dysoxylum densiflorum) untuk
dijual dan digunakan sebagai kayu bakar. Masyarakat juga menggembalakan
ternaknya di dalam kawasan hutan. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam yang
dilakukan secara terus-menerus seperti itu merupakan ancaman yang serius
terhadap kelestarian kawasan hutan TNBB karena berpotensi menimbulkan
kerusakan hutan (TNBB 2009). Selain itu, ketersediaan kayu majigau juga akan
menipis padahal menurut pengelola TNBB kayu ini adalah kayu jenis endemik
yang hanya dapat ditemukan di TNBB. Adanya ancaman terhadap kelestarian
kawasan TNBB membuat pengelola mulai melakukan upaya pembinaan. Salah
satu bentuk upaya tersebut adalah melalui pengembangan kegiatan wisata alam
yang dimulai sejak tahun 2010. Wisata alam dianggap mampu mengubah kegiatan
masyarakat di hutan dari kegiatan perusakan ke kegiatan pelestarian hutan,
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus menjalin hubungan dan
komunikasi yang baik antara pengelola taman nasional dan masyarakat.
Penelitian Rusdianto (2010) tentang pengaruh wisata alam bagi masyarakat
lokal di Bunaken menyatakan bahwa kehadiran wisata alam di Bunaken telah
mengubah interaksi masyarakat terhadap sumberdaya alam. Masyarakat menjadi
lebih peduli terhadap alam dan ikut dalam kegiatan konservasi seperti
membersihkan pantai dan pemeliharaan fauna serta flora di lokasi konservasi yang
menjadi objek wisata. Masyarakat terlibat dalam penanaman mangrove,
pengaturan pintu air di saat pasang surut, membangun jalan setapak di lingkungan
pesisir untuk memberi kemudahan turis bersosialisasi bersama dengan masyarakat
lokal. Partisipasi masyarakat memelihara lingkungan adalah gambaran dari
spontanitas masyarakat sendiri dan bukan karena adanya himbauan penguasa lokal.
Munculnya kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan karena penduduk
sadar bahwa lingkungan yang lestari mendorong wisata di tempat mereka yang
dapat menambah pendapatan.
Pengelola TNBB mengajak masyarakat untuk memanfaatkan potensi flora
dan fauna hutan serta grojogan (air terjun) sebagai objek wisata dan mulai
mengembangkan kegiatan birdwatching, tracking, dan sightseeing di dalam
kawasan hutan TNBB. Desa Blimbingsari juga dijadikan salah satu destinasi
wisata dalam paket wisata TNBB. Upaya yang dilakukan oleh pengelola TNBB
2
tersebut membuat kegiatan wisata di Desa Blimbingsari semakin berkembang. Hal
ini ditandai dengan jumlah wisatawan yang terus meningkat. Tabel 1 menjelaskan
tentang jumlah wisatawan dari tahun 2010 hingga tahun 2012. Jumlah wisatawan
pada tahun 2010 sebanyak 1 847 orang sedangkan pada tahun 2011 mencapai 3
512 orang dan tahun 2012 berjumlah 2 593 orang.
Tabel 1 Jumlah wisatawan di Desa Blimbingsari (2010-2012)
2010
2011
2012
Jenis wisatawan
(orang)
(orang)
(orang)
Wisman (Wisatawan mancanegara)
427
270
174
Wisdom (Wisatawan domestik)
1 420
3 242
2 419
Total
1 847
3 512
2 593
Sumber: Komite Pariwisata Blimbingsari (2012).
Peningkatan jumlah wisatawan tentu memberikan perubahan terhadap
kehidupan masyarakat terutama pada aspek pendapatan dan pekerjaan. Hal ini
dapat dilihat dari adanya usaha dan jasa wisata yang dikelola secara penuh oleh
masyarakat seperti usaha penginapan, penyediaan makanan dan minuman,
transportasi, akomodasi, guiding serta usaha lainnya untuk memenuhi kebutuhan
wisatawan (Ismayanti 2010). Perubahan pada aspek pendapatan dan pekerjaan
akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan
konservasi dan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya kawasan
(Waluya 2011). Berdasarkan pernyataan itu maka diperlukan penelitian mengenai
kontribusi kegiatan wisata di Desa Blimbingsari terhadap kelestarian TNBB.
Informasi yang diperoleh dari penelitian ini dapat digunakan untuk menerangkan
seberapa besar perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Desa
Blimbingsari akibat adanya kegiatan wisata serta manfaatnya bagi kelestarian
kawasan TNBB.
Tujuan
1.
2.
3.
4.
5.
Tujuan penelitian ini adalah :
Mengkaji perkembangan wisata di Desa Blimbingsari.
Mengkaji perubahan pekerjaan dan usaha masyarakat sebelum dan sesudah
adanya kegiatan wisata dari pengelola TNBB.
Menganalisis perubahan besarnya pendapatan masyarakat sebelum dan
sesudah adanya kegiatan wisata dari pengelola TNBB.
Mengkaji perubahan interaksi masyarakat dengan kawasan hutan TNBB
sebelum dan sesudah adanya kegiatan wisata dari pengelola TNBB.
Menganalisis kontribusi kegiatan wisata bagi kelestarian TNBB.
Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan serta bahan pertimbangan
bagi pengelola kawasan konservasi dalam upaya menyelaraskan pelestarian
kawasan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan.
3
METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Desa Blimbingsari, salah satu desa penyangga
Taman Nasional Bali Barat yang terletak di Kecamatan Melaya, Kabupaten
Jembrana, Provinsi Bali. Pengambilan data dilakukan dari bulan Mei hingga Juni
2013.
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, kamera, dan
laptop sedangkan bahan penelitian berupa panduan wawancara dan kuisioner.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah :
1. Observasi lapang
Kegiatan ini bertujuan untuk mengamati, mencatat, dan mengambil foto
kondisi lokasi penelitian, objek dan atraksi wisata, sarana dan prasarana wisata,
serta pekerjaan dan usaha yang dimiliki oleh masyarakat.
2. Wawancara terstruktur
Wawancara terstruktur merupakan kegiatan wawancara menggunakan
kuisioner untuk mendapatkan data terkait karakteristik responden (umur, jenis
kelamin, tingkat pendidikan), pekerjaan dan usaha, pendapatan, interaksi
masyarakat terhadap kawasan TNBB. Total sampel responden yang diambil
adalah 30% dari populasi. Sugiyono (2009) menyatakan bahwa sampel yang
berukuran 30% dari populasi sudah cukup mewakili populasi. Responden
kuisioner adalah masyarakat Blimbingsari yang terlibat dalam kegiatan wisata
yakni pemilik usaha dan jasa wisata yang dipilih dengan metode cluster random
sampling. Jumlah total sampel sebesar 96 orang sedangkan jumlah sampel tiap
kelompok usaha dan jasa wisata dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Jumlah sampel pemilik unit usaha dan jasa wisata
Jumlah populasi
Jumlah sampel
No. Jenis usaha dan jasa wisata
(orang)
(orang)
1
Penginapan (Homestay)
80
2
Transportasi / angkutan
15
3
Catering (Food & beverage)
7
4
Kios cinderamata
3
5
10
Home industry
6
Peternakan Babi
75
7
Peternakan Sapi
50
8
Peternakan Ayam
75
9
Pemandu (Guide)
6
Jumlah
321
24
8
4
3
5
16
14
16
6
96
4
4. Wawancara mendalam (In-depth interview)
Wawancara dilakukan kepada informan kunci (key informan) yang mengerti
kondisi desa dan mayarakat serta pengelolaan wisata seperti kepala desa, kepala
dusun, komite pariwisata, dan petugas lapang TNBB.
5. Studi literatur
Studi literatur bertujuan untuk memperoleh data berupa kondisi demografi
penduduk dan kelembagaan desa. Sumber data berasal dari profil Desa
Blimbingsari, skripsi, tesis, jurnal, dan website. Data yang dikumpulkan dalam
penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Jenis data yang dikumpulkan
No. Parameter
Variabel
Metode
1.
Perkembangan Atraksi & objek a. Wawancara
wisata
wisata
mendalam
Program wisata
(in-depth
Aktivitas
interview)
wisatawan
Sarana dan
prasarana
b. Observasi
Kelembagaan
lapang
wisata
c. Studi
Harga fasilitas
literatur
Wisata
Sumber
a. Aparat desa,
Komite
pariwisata
Blimbingsari,
Pengelola
TNBB (Key
informan)
b. Lapangan
c. Literatur
2.
Pekerjaan dan
usaha
Jenis dan jumlah
a. Wawancara a. Pelaku usaha
pekerjaan sebelum
terstruktur
wisata
dan sesudah
b. Lapangan
b. Observasi
adanya wisata
TNBB
lapang
(pekerjaan utama,
Pekerjaan
sampingan, usaha
wisata)
3.
Pendapatan
Besarnya
a. Wawancara
pendapatan
terstruktur
dari tiap pekerjaan
dan usaha
masyarakat tahun
2009 dan 2013
a. Pelaku usaha
wisata
4.
Interaksi
masyarakat
dengan
kawasan
hutan TNBB
Intensitas masuk a. Wawancara
hutan, Aktivitas di
mendalam
dalam hutan,
(in-depth
Frekuensi, jumlah,
interview)
jenis SDA
b. Wawancara
Usaha pelestarian
terstruktur
c. Studi
literatur
a. Pengelola
TNBB
b. Pelaku usaha
wisata
c. Literatur
5
Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa analisis
deskriptif dan analisis pendapatan.
1. Perkembangan wisata
Data perkembangan wisata disajikan dalam bentuk tabulasi dan gambar
kemudian dideskripsikan berdasarkan jenis dan jumlah atraksi dan objek wisata,
program wisata, sarana dan prasarana wisata serta kelembagaan wisata.
Perkembangan wisata akan dilihat dari bertambah atau berkurangnya jenis dan
jumlah atraksi dan objek wisata serta program wisata, ada atau tidaknya
partisipasi aktif dari komunitas lokal, ada atau tidaknya kerjasama yang kuat antar
stakeholder dalam kegiatan wisata serta tersedianya komunitas masyarakat lokal
yang telah terorganisasi dengan baik dan kohesif dalam menjalankan kegiatan
wisata yang ditunjukkan oleh beberapa aspek seperti (Sally et al. 2010) :
a) Memiliki infrastruktur yang layak seperti kantor kesekretariatan dan sumber
daya manusia yang memadai,
b) Memiliki aturan main yang mengatur keanggotaannya dan tidak rentan
terhadap perselisihan antar anggota,
c) Memiliki divisi-divisi yang terorganisir dengan baik,
d) Memiliki aset dan sumber keuangan sendiri,
e) Memiliki individu yang dapat memimpin kegiatan wisata dan didukung oleh
komunitas tersebut,
f) Memiliki jaringan yang mengerti bagaimana bekerja dengan industri wisata,
pemerintah, dan partner lainnya.
2. Pekerjaan dan usaha masyarakat
Data pekerjaan dan usaha masyarakat disajikan dalam bentuk tabel dan
gambar kemudian dideskripsikan berdasarkan jenis pekerjaan utama, jenis
pekerjaan sampingan, serta jumlah dan jenis usaha dan jasa wisata. Perubahan
yang terjadi pada pekerjaan dan usaha masyarakat akan dilihat dari bertambah
atau berkurangnya jumlah dan jenis pekerjaan dan usaha masyarakat baik
pekerjaan utama, sampingan serta usaha wisata sebelum (2009) dan sesudah
adanya wisata dari pengelola TNBB (2013).
3. Pendapatan masyarakat
Data pendapatan masyarakat disajikan secara tabulasi dan grafik kemudian
dilakukan analisis pendapatan. Pendapatan masyarakat sebelum dan sesudah
adanya wisata dianalisis dengan menggunakan analisis pendapatan untuk melihat
perubahan pendapatan masyarakat sebelum dan sesudah adanya kegiatan wisata
dari pengelola TNBB di Desa Blimbingsari. Perubahan pendapatan masyarakat
diperoleh dengan perhitungan pendapatan rata-rata berdasarkan kelompok
pekerjaan usaha dan jasa wisata. Pendapatan rata-rata dihitung dengan
mengurangi pendapatan masyarakat setelah adanya kegiatan wisata dari pengelola
TNBB di Desa Blimbingsari (tahun 2013) dan pendapatan masyarakat sebelum
adanya kegiatan wisata dari pengelola TNBB di Desa Blimbingsari (tahun 2009).
Rumus yang digunakan adalah :
∆IKW = IKW2-IKW1................................................. (1)
Keterangan :
∆IKW = Perubahan pendapatan rata-rata masyarakat dari adanya kegiatan wisata
6
IKW2
IKW1
= Pendapatan rata-rata masyarakat setelah adanya kegiatan wisata
= Pendapatan rata-rata masyarakat sebelum adanya kegiatan wisata
Pendapatan masyarakat pada tahun 2009 perlu dilakukan perhitungan
present value. Tujuannya adalah untuk menyamakan nilai mata uang pada tahun
2009 dengan nilai mata uang pada tahun 2013 karena adanya perbedaan nilai mata
uang akibat inflasi, reinvestasi, dan resiko. Perhitungan present value
menggunakan suku bunga Bank Indonesia pada saat ini (April 2013) yaitu sebesar
5,75%. Penggunaan suku bunga dilakukan untuk mempermudah proses
perhitungan. Perhitungan present value menggunakan rumus compounding :
FV = PV (1+i)t .................................................... (2)
Keterangan :
FV
= Future Value (Nilai uang di masa depan)
PV
= Present Value (Nilai uang saat ini)
i
= tingkat suku bunga
t
= banyaknya waktu (tahun)
Data pendapatan dari kegiatan wisata akan dianalisis untuk mencari
besarnya proporsi pendapatan yang diperoleh masyarakat dari kegiatan wisata
terhadap pendapatan total. Hasil analisis dapat digunakan untuk menunjukkan
apakah pendapatan yang diperoleh masyarakat dari kegiatan wisata merupakan
pendapatan utama atau bukan.
Persentasi proporsi pendapatan yang diperoleh melalui kegiatan wisata
dapat dihitung dengan rumus :
% IKW = IW x 100% ............................................ (3)
IKWtot
Keterangan :
% IKW = Persentase proporsi pendapatan rata-rata masyarakat dari adanya
kegiatan wisata terhadap total pendapatan
IW
= Pendapatan rata-rata masyarakat hanya dari kegiatan wisata
IKWtot = Total pendapatan rata-rata masyarakat
Soehadji (1995) diacu dalam Soetanto (2002) menjelaskan persentase
tipologi usaha terhadap pendapatan total seseorang yaitu :
a. Usaha yang mendatangkan proporsi pendapatan kurang dari 30% disebut
sebagai usaha sambilan.
b. Usaha yang mendatangkan proporsi pendapatan antara 30-70 % disebut
sebagai usaha sampingan.
c. Usaha yang mendatangkan proporsi pendapatan antara 70-100% disebut
sebagai usaha utama atau pokok.
Hasil analisis pendapatan akan dideskripsikan berdasarkan besarnya
pendapatan yang diterima masyarakat sebelum dan sesudah adanya kegiatan
wisata serta pendapatan dari aspek wisata. Perubahan pendapatan masyarakat
akan dilihat dari penambahan dan pengurangan pendapatan masyarakat serta
selisih antara pendapatan masyarakat setelah adanya wisata dengan pendapatan
sebelum adanya wisata pada tiap jenis usaha dan jasa wisata. Selain itu,
7
berdasarkan besarnya pendapatan masyarakat hanya dari kegiatan wisata akan
dilihat apakah wisata dapat menjadi pendapatan utama bagi masyarakat atau tidak.
4. Interaksi masyarakat terhadap kawasan TNBB
Data interaksi masyarakat terhadap kawasan TNBB akan disajikan dalam
bentuk tabulasi dan gambar kemudian dideskripsikan berdasarkan aktivitas yang
dilakukan masyarakat di dalam hutan, frekuensi pengambilan SDA, jumlah dan
jenis SDA yang diambil serta upaya pelestarian kawasan yang dilakukan
masyarakat. Perubahan interaksi masyarakat terhadap kawasan TNBB akan dilihat
dari bentuk aktivitas masyarakat di dalam hutan baik aktivitas yang merusak
ataupun menjaga kawasan hutan, penambahan atau pengurangan frekuensi
pengambilan SDA, jenis dan jumlah SDA yang diambil, serta ada tidaknya upaya
pelestarian kawasan yang dilakukan masyarakat.
Kegiatan analisis data ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai
kontribusi kegiatan wisata di Desa Belimbingsari terhadap kelestarian TNBB
berdasarkan perubahan yang terjadi pada aspek wisata, pekerjaan dan usaha
masyarakat, pendapatan masyarakat, serta interaksi masyarakat terhadap kawasan
TNBB
Batasan Penelitian
Beberapa batasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Masyarakat Desa Blimbingsari yang menjadi sampel responden kuisioner
adalah penduduk asli Desa Blimbingsari yang tinggal sejak sebelum adanya
kegiatan wisata dari pengelola TNBB yang menjadi pemilik usaha dan jasa
wisata.
2. Pendapatan sebelum adanya kegiatan wisata adalah pendapatan masyarakat
pada kondisi terakhir sebelum dilakukan pengembangan kegiatan wisata oleh
pengelola TNBB yakni tahun 2009 sedangkan pendapatan setelah adanya
kegiatan wisata adalah pendapatan masyarakat setelah dilakukan
pengembangan kegiatan wisata oleh pengelola TNBB pada kondisi terkini
yakni kondisi saat penelitian ini dilakukan pada tahun 2013.
3. Interaksi masyarakat dengan kawasan hutan TNBB adalah keterkaitan dan
perilaku masyarakat Blimbingsari terhadap kawasan hutan TNBB yang
meliputi intensitas masyarakat masuk ke dalam kawasan hutan, aktivitas
masyarakat di dalam hutan, frekuensi pengambilan sumberdaya hutan, jumlah
dan jenis sumberdaya hutan yang dimanfaatkan serta upaya pelestarian
kawasan yang dilakukan oleh masyarakat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Desa Blimbingsari terbentuk sejak tahun 1939. Desa ini berbatasan
langsung dengan kawasan hutan TNBB di sebelah utara dan sebelah barat
sedangkan di sebelah selatan dengan Desa Melaya dan sebelah timur dengan Desa
Ekasari. Luas wilayah desa adalah 450 ha yang terdiri dari dari 2 dusun yakni
Dusun Ambyarsari dan Dusun Blimbingsari. Jumlah penduduk desa adalah 1095
8
jiwa. Semua penduduk Blimbingsari beragama Kristen Protestan. Saat ini
mayoritas penduduk yang tinggal Desa Blimbingsari adalah orang-orang tua
dengan kisaran usia 50-an tahun ke atas. Masyarakat Desa Blimbingsari berasal
dari berbagai etnis seperti etnis Bali (76,7%), Jawa (18,3%), Flores (2,4%),
Madura (1,5%), dan lainnya (1,1%). Tingkat pendidikan penduduk Desa
Blimbingsari dapat dikatakan cukup baik. Mayoritas penduduk adalah tamatan
SMA/sederajat (91,9%) sedangkan yang paling tinggi adalah tamatan S1 (0,9%)
dan yang paling rendah adalah tamatan SMP/sederajat (7,2%). Desa Blimbingsari
dapat ditempuh selama + 4 jam dari Bandara Ngurah Rai Denpasar dengan
menggunakan kendaraan pribadi ke arah Kecamatan Melaya. Apabila
menggunakan kendaraan umum maka dapat ditempuh dengan bis tujuan
Denpasar-Gilimanuk dari Terminal Ubung Denpasar berhenti di Kecamatan
Melaya lalu naik ojek ke Desa Blimbingsari.
Perkembangan Wisata di Desa Blimbingsari
Atraksi dan Objek Wisata
Atraksi dan objek wisata Desa Blimbingsari mengalami perkembangan dari
waktu ke waktu (Tabel 4).
Tabel 4 Perkembangan atraksi dan objek wisata Desa Blimbingsari
Waktu
Jenis kegiatan wisata
Jenis atraksi dan objek wisata
Wisata rohani (menginap di Gereja Pniel
Tahun 2004gereja, beribadah,
2009
mendengarkan sejarah desa
dan gereja)
November
2010
Wisata rohani
Wisata alam (birdwatching,
tracking, camping, hiking,
sightseeing)
Gereja Pniel
Flora dan fauna, grojogan (air
terjun)
Januari 2011
Wisata rohani
Wisata alam
Wisata air (diving dan
snorkeling),
Gereja Pniel
Flora dan fauna grojogan (air
terjun)
Terumbu karang dan ikan hias
Mei 2011Sekarang
Wisata rohani
Wisata alam
Wisata air
Agrotourism
Wisata Pendidikan
(Kunjungan ke Home
industry, sekolah dan panti
asuhan Blimbingsari)
Wisata Budaya (Penampilan
kesenian Bali berupa
JEGOG, tabuh dan gong)
Bersepeda
Gereja Pniel
Flora dan fauna, grojogan (air
terjun)
Terumbu karang dan ikan hias
Kebun cokelat, kelapa, dan
pisang
Kopra, gula merah, biogas,
sapu lidi, ternak babi, sapi, dan
ayam, tari JEGOG.
9
Atraksi dan objek wisata adalah segala sesuatu yang ada di daerah tujuan
wisata yang berfungsi sebagai daya tarik agar wisatawan mau berkunjung ke
tempat tersebut (Marpaung 2002). Kegiatan wisata di Desa Blimbingsari telah
berkembang sejak tahun 2004 atas inisiatif dari seorang pendeta. Kegiatan wisata
dimulai dengan memanfaatkan potensi desa berupa gereja Protestan yang bernama
gereja Pniel (Gambar 1).
Gambar 1 Gereja Pniel
Gereja Pniel memiliki keunikan baik dari segi sejarah, religi, maupun
budaya. Jika dilihat dari sejarah dan religi, gereja ini adalah simbol perjuangan
masyarakat Kristen Protestan sedangkan dari segi budaya dapat dilihat dari bentuk
gedung gereja yang seperti pura dengan hiasan ukiran Bali. Keunikan tersebut
menyebabkan gereja Pniel menjadi objek wisata pertama di Desa Blimbingsari.
Gereja itu dimanfaatkan dalam kegiatan wisata rohani. Wisata rohani pada saat itu
merupakan wisata tunggal yang ada di Desa Blimbingsari. Kegiatan wisata rohani
meliputi aktivitas menginap di gereja, beribadah, dan mendengarkan sejarah desa
dan gereja. Setiap minggu pertama di awal bulan selalu diadakan ibadah
kontekstual yakni melakukan ibadah dengan menggunakan adat bali, mulai dari
alat musik Bali, bahasa Bali hingga pakaian Bali.
Bulan November tahun 2010 dilakukan penambahan kegiatan wisata oleh
pengelola TNBB. Pengelola TNBB berinisiatif untuk mengkombinasikan wisata
rohani dengan wisata alam. Kegiatan wisata alam dikembangkan dengan harapan
dapat mengubah aktivitas perusakan SDA (pengambilan kayu bakar,
penggembalaan ternak di dalam hutan TNBB) menjadi aktivitas pelestarian.
Selama ini masyarakat Desa Blimbingsari melakukan kegiatan perambahan hutan
untuk menambah pendapatan. Sudarto (1999) menyatakan bahwa kegiatan wisata
alam dapat menjadi kegiatan alternatif yang memberikan pendapatan tanpa harus
melakukan kegiatan perusakan terhadap SDA. Jika kegiatan wisata alam dapat
memberikan pendapatan yang memadai maka masyarakat akan merasa kegiatan
wisata alam itu penting dan pada akhirnya masyarakat akan melestarikan SDA
demi keberlanjutan wisata alam (Waskito 2013).
Langkah awal yang dilakukan oleh pengelola TNBB dalam pengembangan
kegiatan wisata alam adalah mengubah status kawasan hutan yang ada di Desa
Blimbingsari dari zona rimba menjadi zona pemanfaatan tradisional. Perubahan
status kawasan itu tercantum dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No. SK: 143/IV-KK/2010 Tentang
10
Zonasi Taman Nasional Bali Barat. Perubahan zonasi ini sangat memberikan
keuntungan bagi masyarakat Desa Blimbingsari. Masyarakat dapat memanfaatkan
kawasan hutan yang selama ini dilarang oleh pihak taman nasional. CIFOR (2010)
menyatakan bahwa dengan adanya perubahan zonasi dapat meningkatkan akses
masyarakat untuk memanfaatkan hutan.
Masyarakat diberikan izin untuk mengelola dan memanfaatkan kawasan
hutan seluas + 2 036 ha, flora dan fauna serta potensi lainnya dalam kegiatan
wisata alam secara bebas tanpa adanya larangan. Pengelola TNBB dan masyarakat
mulai membangun dan memperbaiki kondisi di sekitar grojogan (air terjun),
membuat jalur tracking dan birdwatching. Hal itu membuat atraksi wisata dan
objek wisata Desa Blimbingsari bertambah. Selain gereja Pniel, objek wisata yang
tersedia berupa flora (berbagai jenis pohon), fauna (berbagai jenis burung), dan
grojogan (air terjun) sedangkan atraksi wisata yang muncul akibat adanya
pengembangan kegiatan wisata alam itu adalah tracking, birdwatching,
sightseeing, camping, dan hiking (Gambar 2).
Jenis kegiatan wisata air mulai dikembangkan masyarakat pada bulan
Januari 2011. Jenis atraksi wisata air itu adalah diving dan snorkeling. Kegiatan
diving dan snorkeling dilakukan di dalam kawasan TNBB yakni di Pulau
Menjangan. Kegiatan wisata ini muncul karena adanya kerja sama dengan
pengelola TNBB.
Gambar 2 Objek dan atraksi wisata alam : (a) Grojogan, (b) Birdwatching,
(c) Tracking
Berkat dukungan dan pendampingan yang dilakukan oleh pengelola TNBB
membuat masyarakat Desa Blimbingsari pada bulan Mei 2011 mulai
memanfaatkan potensi yang ada di desanya sebagai objek dan atraksi wisata.
Objek dan atraksi wisata itu berupa agrotourism (kebun cokelat, kelapa, dan
11
pisang), mengunjungi industri rumah tinggi (kopra, gula merah, biogas, sapu lidi,
ternak babi, ternak sapi, dan ternak ayam), mengunjungi sekolah dan panti asuhan
di Blimbingsari, bersepeda, serta penampilan kesenian Bali berupa jegog, tabuh
dan gong.
Beragamnya jenis objek dan atraksi wisata yang tersedia di Desa
Blimbingsari sangat mendukung kelanjutan kegiatan wisata desa terutama
peningkatan kunjungan wisatawan. Zalukhu (2009) menyatakan bahwa salah satu
komponen yang diperlukan untuk meningkatkan kunjungan wisatawan adalah
tersedianya beraneka ragam objek dan atraksi wisata yang menarik. Wisatawan
tidak akan merasa bosan jika atraksi wisata yang tersedia di suatu tempat beraneka
ragam. Purnomo (2009) menyebutkan bahwa jumlah dan jenis objek serta atraksi
wisata dapat mempengaruhi lama tinggal dan belanja pengunjung di tempat wisata.
Semakin banyak objek dan atraksi wisata yang unik maka semakin lama pula para
wisatawan tinggal di suatu daerah wisata.
Program Wisata
Program wisata adalah suatu perjalanan wisata yang direncanakan atau
diselenggarakan oleh pengelola wisata yang acara dan lamanya waktu wisata,
tempat yang akan dikunjungi, akomodasi, transportasi, makanan dan minuman
telah ditentukan (Yoeti 1983). Program wisata pertama Desa Blimbingsari muncul
bersamaan dengan adanya objek wisata pertama yakni Gereja Pniel pada tahun
2004. Program wisata itu adalah kegiatan camping pemuda gereja selama 3 hari 2
malam. Para pemuda melakukan kegiatan wisata rohani (menginap di gereja,
beribadah, dan mendengarkan sejarah desa dan gereja). Namun, wisatawan yang
berkunjung ke desa dan melakukan wisata rohani tidak dikenakan biaya apapun.
Keberadaan pihak TNBB membuat program wisata di Desa Blimbingsari
mengalami perubahan. Pihak TNBB bersama masyarakat membuat suatu program
wisata yang bernama Live in program. Program wisata ini ditawarkan sejak bulan
November 2010. Live in program merupakan kegiatan menginap dan tinggal
bersama masyarakat. Melalui program ini, wisatawan diajak untuk mengikuti
keseharian masyarakat Desa Blimbingsari sekaligus menikmati kegiatan wisata
yang telah diatur bersama komite pariwisata. Manfaat adanya program live in ini
adalah masyarakat dan wisatawan dapat berbagi ilmu dan pengetahuan sehingga
tingkat pengetahuan masyarakat meningkat.
Wisata Desa Blimbingsari belum memiliki paket wisata yang baku baik
kegiatan yang dilakukan maupun harga. Komite pariwisata biasanya melakukan
negosiasi dengan perwakilan wisatawan untuk menentukan atraksi dan harga
wisata. Mekanisme penentuan atraksi dan harga wisata seperti ini menurut Yoeti
(1983) termasuk ke dalam mekanisme tailor made tour yakni program wisata
yang disusun sesuai dengan permintaan wisatawan.
Sarana dan Prasarana Wisata
Sarana dan prasarana wisata merupakan kelengkapan daerah tujuan wisata
yang diperlukan dalam menikmati perjalanan wisata (Prasetya 2009).
Pembangunan sarana dan prasarana wisata di daerah tujuan wisata harus
disesuaikan dengan kebutuhan wisatawan baik dari kapasitas maupun kualitasnya.
Terpenuhi atau tidaknya standar pemenuhan sarana ini akan tercermin melalui
kepuasan wisatawan yang menerima pelayanan tersebut (Prasetya 2009).
12
Sarana dan prasarana yang digunakan dalam kegiatan wisata merupakan
sarana dan prasarana milik gereja dan desa seperti convention hall (800-1 000
orang) dan taman bermain. Sarana dan prasarana ini telah didirikan sebelum
kegiatan wisata berkembang di Desa Blimbingsari tetapi baru digunakan dalam
kegiatan wisata pada tahun 2010. Desa Blimbingsari membangun sarana
prasarana penunjang keberlanjutan kegiatan wisata yakni papan penunjuk objek
wisata dan tourist information center pada tahun 2011 (Gambar 3).
Gambar 3 Sarana dan prasarana wisata Desa Blimbingsari: (a) Convention
hall, (b) Tourist information centre
Pembangunan tourist information dan papan penunjuk objek wisata ini
adalah hasil kerja sama dan pendampingan pihak TNBB. Masyarakat membangun
sarana dan prasarana ini secara mandiri tanpa ada bantuan dari pihak luar
(swadaya masyarakat baik tenaga maupun dana). Hal ini dilakukan masyarakat
dengan tujuan kegiatan wisata Desa Blimbingsari dapat berjalan dengan baik.
Pengunjung
Wisatawan yang datang ke Desa Blimbingsari berasal dari berbagai negara
seperti Indonesia, Jepang, Jerman, USA, Afrika Selatan, Singapura, Korea Selatan,
China, Prancis, Belanda dan Austria (Tabel 5).
Tabel 5 Negara asal wisatawan Desa Blimbingsari (2010-2012)
Asal
wisatawan
Indonesia
Australia
Korea Selatan
Singapura
Perancis
Jerman
Jepang
Amerika
Belanda
Austria
Cina
Afrika Selatan
2010
2011
2012
(kunjungan) (kunjungan) (kunjungan)
30
21
22
20
10
10
2
1
2
4
2
1
4
1
1
2
2
2
3
1
1
0
1
1
0
1
2
0
0
1
0
0
1
0
1
3
Jumlah kunjungan
73
40
5
7
6
6
5
2
3
1
1
4
13
Berdasarkan Tabel 5, wisatawan asal Indonesia lebih sering berkunjung ke
Desa Blimbingsari yakni sebanyak 73 kunjungan kemudian disusul oleh
wisatawan Australia sebanyak 40 kunjungan. Wisatawan Austria dan Cina
merupakan wisatawan yang paling jarang berkunjung ke Desa Blimbingsari yakni
hanya 1 kali kunjungan. Perbedaan intensitas kunjungan wisatawan berdasarkan
negara asalnya diduga karena adanya perbedaan aksesibilitas. Widyaningrum
(2010) menyatakan bahwa domisili calon pengunjung dan aksesibilitas menuju
lokasi wisata menjadi faktor yang menentukan keramaian maupun frekuensi
kunjungan kawasan wisata.
Waktu kunjungan wisatawan tertinggi adalah pada bulan Juni hingga
Desember. Bulan Juni hingga Desember adalah rentang bulan yang termasuk
waktu liburan dan banyak dimanfaatkan oleh wisatawan untuk berwisata. Atraksi
wisata yang sering dilakukan oleh wisatawan adalah wisata rohani dan wisata
alam. Hal ini dikarenakan wisatawan yang berkunjung ke Desa Blimbingsari
didominasi oleh pelajar dan mahasiswa.
Kelembagaan Wisata
Kelembagaan wisata adalah wahana yang dibentuk untuk memenuhi
kebutuhan yang ada dalam suatu masyarakat terkait kegiatan wisata (Rahardjo
1999). Kelembagaan wisata memiliki 3 fungsi penting yakni 1) Sebagai pedoman
masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam dalam wisata sehingga
menghasilkan output yang baik bagi alam dan masyarakat, 2) Menjaga keutuhan
masyarakat sehingga wisata dapat tetap berjalan dengan baik, dan 3) Sebagai
sistem pengendalian sosial yang dapat menjadi kontrol dalam menjaga keutuhan
wisata.
Kegiatan wisata Desa Blimbingsari awalnya dikelola oleh persekutuan
gereja pusat senode. Hal ini dikarenakan wisata yang ada di Desa Blimbingsari
hanya berupa wisata rohani sehingga untuk mempermudah pengkoordinasian
maka persekutuan gereja pusat senode dipilih sebagai pengelola wisata. Namun
sejak tahun 2005, pengelolaan wisata tersebut telah diambil alih oleh pihak komite
pariwisata. Komite ini dibentuk oleh tiga elemen penting yakni pemerintah desa
Blimbingsari, GKPB (Gereja Kristen Protestan Bali) Jemaat Pniel Blimbingsari,
dan Paguyuban warga Blimbingsari (diaspora). Tujuan pembentukan komite ini
adalah untuk mengorganisir kegiatan wisata Desa Blimbingsari serta melakukan
koordinasi dengan wisatawan dan masyarakat. Adanya komite pariwisata ini
diharapkan dapat membuat pengelolaan kegiatan wisata Desa Blimbingsari
berjalan dengan baik.
Komite pariwisata Desa Blimbingsari telah melakukan pengembangan desa
wisata dari tahun 2007. Arah pengembangan desa wisata mencakup empat hal
penting yakni meningkatkan kunjungan wisatawan, meningkatkan aktivitas
ekonomi pariwisata, pemberdayaan masyarakat setempat, dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Namun, adanya pendampingan dan kerja sama dengan
TNBB melalui kegiatan wisata alam pada tahun 2010 menyebabkan arah
pengembangan desa wisata bertambah selain aspek ekonomi, aspek pelestarian
juga diperhatikan. Sistem pengelolaan wisata yang digunakan oleh komite
pariwisata dalam mengelola wisata adalah CBT (Community-Based Tourism)
yang telah diterapkan sejak tahun 2008. Alasan penggunaan CBT adalah untuk
mempermudah tercapainya tujuan pengembangan desa wisata. CBT merupakan
14
sebuah produk wisata yang didasari oleh partisipasi aktif dari masyarakat lokal
(Tomàs et al. 2011). Partisipasi aktif yang dimaksud yaitu keterlibatan masyarakat
sekitar dalam perencanaan dan pengambilan keputusan dalam pengelolaan wisata.
Persentase masyarakat yang terlibat dalam kegiatan wisata adalah + 50% dari
jumlah total penduduk. Bentuk dukungan masyarakat dalam kegiatan wisata
terlihat dari adanya usaha dan jasa wisata yang diciptakan oleh masyarakat seperti
homestay, catering, home industry, pemandu, dan lainnya.
Komite pariwisata Desa Blimbingsari telah memiliki kantor keseketariatan
yang berupa tourist information centre. Kantor ini juga berfungsi sebagai pusat
informasi wisata Desa Blimbingsari. Tourist information centre dibangun pada
bulan November 2011 dan diresmikan oleh Wakil Bupati Jembrana pada tanggal
25 Desember 2011.
Komite pariwisata memperbolehkan masyarakat untuk bergabung sebagai
penyedia usaha dan jasa wisata tanpa syarat dan biaya yang harus dikeluarkan.
Namun, yang diberi izin itu hanya masyarakat asli Desa Blimbingsari. Hal ini
dilakukan untuk mendukung terciptanya kesejahteraan masyarakat asli Desa
Blimbingsari. Ada beberapa peraturan yang diterapkan oleh komite pariwisata
dalam mengelola kegiatan wisata yakni peraturan yang mengatur keuntungan
usaha dan jasa wisata serta peraturan pemanduan. Penyedia usaha dan jasa wisata
harus menyerahkan 20% dari keuntungan yang didapat kepada komite pariwisata.
Biaya 20% tersebut akan digunakan untuk donasi bagi gereja, desa, panti asuhan,
dan keperluan administrasi.
Peraturan pemanduan yang diterapkan oleh komite pariwisata Blimbingsari
adalah jika pihak taman nasional membawa wisatawan yang ingin melakukan
birdwatching, hiking, dan tracking maka pihak taman nasional wajib mengajak
pemandu lokal untuk ikut serta dalam kegiatan itu. Alasan diberlakukannya
peraturan itu adalah komite pariwisata ingin agar kemampuan dan keahlian
pemandu lokal dalam kegiatan wisata dapat meningkat sehingga kegiatan wisata
desa dapat berjalan dengan baik. Komite pariwisata juga melakukan sistem rotasi
dalam menggunakan usaha dan jasa wisata milik masyarakat. Usaha dan jasa
wisata yang digunakan tidak hanya terpaku milik satu individu tertentu saja tetapi
bergantian. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi konflik antar masyarakat sekaligus
dapat mengikutsertakan seluruh masyarakat dalam kegiatan wisata.
Komite pariwisata Desa Blimbingsari belum memiliki divisi-divisi yang
jelas. Struktur organisasi komite pariwisata hanya terdiri dari penasehat,
penanggung jawab, ketua, sekretaris, dan bendahara serta masyarakat sebagai
anggota yang menyediakan kebutuhan wisatawan (homestay, guiding, food and
beverage, dan lainnya). Aset yang dimiliki oleh komite pariwisata berupa
perlengkapan administrasi (ATK, laptop, printer, website, dan brosur wisata).
Sumber keuangan komite pariwisata berasal dari donasi sebesar 20% yang
diambil dari keuntungan usaha dan jasa wisata milik masyarakat.
Komite pariwisata dipimpin oleh seorang tokoh masyarakat yang bernama I
Gede Sudigda. Bapak Sudigda pernah bekerja di bidang pariwisata di Denpasar
selama + 20 tahun sehingga beliau sangat mengetahui segala hal terkait wisata.
Selain itu, pengurus komite pariwisata lainnya juga memiliki kapasitas yang
tinggi dalam hal wisata baik dalam hal pelayanan tamu, manajemen wisata,
komunikasi dengan tamu, dan promosi. Kapasitas tersebut disalurkan kepada
masyarakat sehingga secara tidak langsung dapat meningkatkan kapasitas
15
masyarakat dalam hal wisata. Pengurus komite pariwisata sangat didukung dan
dihormati oleh masyarakat Desa Blimbingsari. Hal ini terlihat dari sikap
masyarakat yang sangat patuh dan menerima setiap kebijakan terkait wisata yang
dibuat oleh komite pariwisata. Selain itu, masyarakat juga tidak berani
berkomunikasi dengan tamu sebelum tamu itu bertemu dan meminta izin kepada
komite pariwisata. Hal ini membuktikan bahwa koordinasi antara masyarakat
dengan komite pariwisata cukup baik.
Komite pariwisata telah memiliki jaringan dengan pihak profesional di
bidang wisata dan kerjasama dengan berbagai pihak seperti dinas pariwisata
provinsi, dinas pariwisata kabupaten, taman nasional, Universitas Dhiana Pura,
dan pihak lainnya. Secara umum, kelembagaan komite pariwisata Blimbingsari
telah memenuhi kriteria kelembagaan kohesif yang mampu mengelola wisata
menurut Sally et al. (2010). Hal ini terlihat dari adanya infrastruktur yang layak
(tourist information centre), peraturan wisata yang diterapkan, aset dan sumber
keuangan sendiri, individu yang mampu menjadi memimpin kegiatan wisata, dan
jaringan kerjasama dengan berbagai pihak. Skema hubungan kerjasama wisata
Desa Blimbingsari dapat dilihat pada Lampiran 1.
Kelembagaan wisata terdiri dari dua jenis yakni kelembagaan formal dan
kelembagaan informal (Rahardjo 1999). Kelembagaan formal adalah sistem tata
aturan yang berdiri berdasarkan legalitas formal, salah satu contohnya regulasi
pemerintahan sedangkan kelembagaan informal adalah sistem tata aturan yang
dibentuk berdasarkan kesepakatan masyarakat itu sendiri contohnya aturan adat.
Berdasarkan pernyataan itu, maka komite pariwisata Blimbingsari dapat
dikategorikan sebagai kelembagaan informal wisata. Hal ini dikarenakan
peraturan wisata yang diberlakukan merupakan hasil kesepakatan antara komite
pariwisata Blimbingsari dengan masyarakat
Kerjasama Wisata
Kerjasama antara berbagai pihak sangat diperlukan dalam pengembangan
kegiatan wisata. Soebagyo (2012) menyatakan bahwa salah satu syarat
pengembangan wisata yang efektif adalah adanya kerjasama dari berbagai pihak
seperti pemerintah pusat, kalangan swasta, pemerintah daerah setempat, pengelola
wisata, dan masyarakat lokal. Komite pariwisata Blimbingsari telah melakukan
kerjasama dengan berbagai stakeholder. Salah satunya adalah pengelola TNBB.
Pengelola TNBB memberikan pendampingan dan pelatihan serta promosi untuk
memajukan kegiatan wisata alam di Desa Blimbingsari sekaligus meningkatkan
kapasitas masyarakat dalam mengelola kegiatan wisata alam (Tabel 6).
Komite pariwisata juga bekerja sama dengan stakeholder lain seperti Dinas
Pariwisata Provinsi Bali, Dinas Pariwisata Kabupaten Jembrana, Universitas
Dhyana Pura Bali (Undhira Bali), Majelis Sinode GKPB (Gereja Kristen
Protestan di Bali), Dewan Gereja/Persekutuan Gereja Indonesia (PGI), Dewan
Gereja Dunia (WCC), beberapa biro perjalanan, dan Diaspora Blimbingsari. Kerja
sama komite pariwisata dengan berbagai stakeholder itu sangat bernilai penting
bagi kelanjutan kegiatan wisata. Keterlibatan setiap stakeholder merupakan kunci
keberhasilan dari kegiatan wisata (FAO 2001). Hal ini dikarenakan setiap
stakeholder memiliki peranan yang dapat mengembangkan kegiatan wisata Desa
Blimbingsari, sebagai contoh Undhira Bali. Undhira Bali membantu
pengembangan wisata desa melalui peningkatan kemampuan masyarakat dalam
16
melayani tamu. Undhira memberikan pelatihan housekeeping, etika melayani
wisatawan, serta pengaturan food and beverage.
Tabel 6 Bentuk pendampingan masyarakat oleh pengelola TNBB
No. Waktu
Bentuk kerja sama dan pendampingan
1.
Februari 2011 - Penanaman bibit mahoni bersama masyarakat di sekitar
jalur wisata grojogan.
- Pembuatan peta potensi desa wisata.
- Pembuatan website desa wisata Blimbingsari.
- Pemasangan tanda penunjuk wisata grojogan.
- Pembangunan tourist information centre (pusat
informasi wisata sekaligus kantor sekertariat komite
pariwisata).
2.
Maret 2011
- Pembuatan jalur wisata alam (tracking dan
birdwatching) bersama masyarakat.
- Pelatihan pemandu wisata.
- Pembangunan gapura selamat datang sebelum
memasuki kawasan wisata grojogan.
3.
April 2011
- Praktek pemanduan dan pemasangan nama jenis pohon.
4.
Mei 2011
- Pembersihan jalur wisata grojogan.
5.
Juni 2011
6.
November
2011
- Pendampingan masyarakat ketika berkunjung ke desa
penyangga lain seperti Desa Gilimanuk (Kelompok
nelayan Karangsewu) dan Desa Sumberklampok
(Kelompok Penangkar Manuk Jegeg). Kunjungan
tersebut bertujuan untuk menciptakan kerja sama
bidang wisata antara desa penyangga TNBB.
- TN menjadikan Desa Blimbingsari sebagai salah satu
destinasi wisata dan mengajak wisatawan untuk
berkunjung dan melakukan atraksi wisata di desa ini.
Hal tersebut memberikan nilai positif bagi kegiatan
promosi dan perkembangan kegiatan wisata.
Berkembangnya komponen-komponen wisata Desa Blimbingsari mulai dari
atraksi dan objek wisata, kelembagaan wisata, program wisata, sarana prasarana,
pengunjung, dan kerjasama wisata merupakan bukti bahwa kegiatan wisata di
Desa Blimbingsari sudah berhasil. Ismayanti (2010) menyatakan bahwa kegiatan
wisata dapat dikatakan berhasil jika komponen wisata yang terdiri dari objek dan
atraksi wisata, program wisata, kelembagaan wisata, sarana dan prasarana, jumlah
pengunjung, dan kerja samawisata telah tersedia dan memadai.
Keberhasilan itu membuat Desa Blimbingsari terpilih dan ditetapkan
sebagai Desa Wisata mewakili Kabupaten Jembrana bersama 6 desa lainnya di
Provinsi Bali oleh Bank Indonesia. Acara penetapan dilakukan oleh Gubernur Bali
dan Direktur Bank Indonesia Bali pada tanggal 16 Desember 2011 di Denpasar.
Hal tersebut menyebabkan nama desa Blimbingsari berubah menjadi Blimbingsari
17
The Promissed Land (Desa Wisata) sebagai bagian dari Bali Community Based
Tourism Association (Bali COBTA) (Komite Pariwisata Blimbingsari 2012).
Pekerjaan dan Usaha Masyarakat
Masyarakat Blimbingsari memiliki berbagai jenis pekerjaan utama seperti
petani, peternak, pedagang, buruh, pegawai swasta, PNS, dan lain-lain. Gambar 4
menjelaskan tentang jumlah masyarakat berdasarkan jenis pekerjaan utamanya
pada tahun 2009 dan tahun 2013.
Gambar 4 Pekerjaan utama masyarakat Blimbingsari tahun 2009 dan 2013
Berdasarkan Gambar 4, mata pencaharian utama masyarakat yang paling
dominan pada tahun 2009 dan 2013 adalah petani. Hal ini dikarenakan rata-rata
tiap warga memiliki lahan yang berasal dari orang tuanya. Tanah tersebut
digunakan sebagai sumber utama pemenuhan kebutuhan hidup. Cokelat dan
kelapa merupakan komoditas utama pertanian. Hal ini dikarenakan perawatan dan
pemeliharaan kebun cokelat dan kelapa cukup murah serta pendapatan yang
diperoleh dari hasil penjualan kedua jenis buah tersebut cukup tinggi. Buah
cokelat dapat dipanen setiap minggu apabila musim panen raya tiba sedangkan
jika tidak musim panen raya maka dilakukan pemanenan 1 kali setiap 6 bulan.
Harga jual biji cokelat adalah Rp 15 000 – Rp 19 000/kg. Buah kelapa dipanen
oleh masyarakat setiap 2 bulan sekali dengan harga jual sekitar Rp 2 600-Rp 3
000/butir. Jumlah buah kelapa yang berhasil dijual oleh masyarakat tergantung
dengan luasan lahan kelapa yang dimiliki.
Berdasarkan Gambar 4, jumlah masyarakat tiap pekerjaan utama terutama
petani, peternak, dan pegawai swasta meningkat pada tahun 2013. Hal ini diduga
karena adanya peminjaman lahan pertanian, penambahan jenis komoditas ternak,
dan penambahan lapangan pekerjaan di sektor swasta. Bertambahnya jenis
komoditas ternak yang berupa ternak ayam memberikan dampak positif dan
negatif. Dampak positifnya berupa peningkatan lapangan pekerjaan sedangkan
dampak negatifnya adalah meningkatnya populasi lalat. Lalat tersebut aka
KONTRIBUSI KEGIATAN WISATA DI DESA
BLIMBINGSARI TERHADAP KELESTARIAN
TAMAN NASIONAL BALI BARAT
KENNY APRILLIANI
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kontribusi Kegiatan
Wisata di Desa Blimbingsari terhadap Kelestarian Taman Nasional Bali Barat
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013
Kenny Aprilliani
NIM E34090127
ii
ABSTRAK
KENNY APRILLIANI. Kontribusi Kegiatan Wisata di Desa Blimbingsari
terhadap Kelestarian Taman Nasional Bali Barat. Dibimbing oleh EVA
RACHMAWATI dan METI EKAYANI.
Taman Nasional Bali Barat (TNBB) terletak berdekatan dengan beberapa
desa. Hal ini menyebabkan pemanfaatan sumber daya alam (SDA) oleh
masyarakat desa masih terjadi. Salah satunya adalah Desa Blimbingsari.
Masyarakat mengambil kayu bakar dan rumput serta menggembalakan ternak di
dalam kawasan hutan TNBB. Pengelola TNBB mengembangkan kegiatan wisata
pada tahun 2010 untuk meminimalisir pemanfaatan SDA. Kegiatan wisata dapat
memberikan perubahan pada aspek wisata, pekerjaan masyarakat, pendapatan, dan
interaksi masyarakat dengan kawasan hutan TNBB. Penelitian dilakukan pada
bulan Mei hingga Juni 2013 dengan observasi lapang, wawancara, dan studi
literatur. Hasil yang diperoleh adalah kegiatan wisata di Desa Blimbingsari
mengalami perkembangan dari aspek atraksi dan objek wisata, program wisata,
dan pengelolaan wisata. Pekerjaan sambilan masyarakat berubah 100% dari
perambahan hutan menjadi penyedia usaha dan jasa wisata. Pendapatan
masyarakat dari kegiatan wisata adalah pendapatan sambilan. Pendapatan dari
perambahan hutan lebih besar daripada wisata dengan selisih Rp 89 466
sedangkan pendapatan total setelah ada wisata meningkat sebesar Rp 223
659/bulan. Bentuk interaksi masyarakat dengan kawasan TNBB berubah dari
kegiatan perusakan SDA menjadi pelestarian.
Kata kunci: desa Blimbingsari, interaksi, pekerjaan, pendapatan, wisata
ABSTRACT
KENNY APRILLIANI. Contribution of Tourism Activities in Blimbingsari
Village towards Sustainability of Bali Barat National Park. Supervised by EVA
RACHMAWATI and METI EKAYANI.
Bali Barat National Park (BBNP) is located adjacent to several villages,
which lead to the occurrences of natural resources used by the community. One of
the village is Blimbingsari village. The community takes firewood and grasses
from the forest, and conducts livestock herding in forest area. BBNP had
developed tourism activites since 2010 to reduce the use of natural resources.
Tourism can give provide change in relation to the aspects of tourism, job, income,
and community interaction with the forest. This study was conducted from Mei
until June 2013. The result showed that tourism activity in Blimbingsari village
experienced development in the sense of its tourism attractions, programs, and
management. People’s side changed 100% from forest encroachers to tourism
sevices providers. Tourism provided side income for the people. People’s income
from forest encroachment was higher than tourism income with Rp 89 466
difference, while the total income with tourism increased to Rp 223 659/month.
Community interaction with BBNP area had changed from exploitation
conservation.
Keywords: Blimbingsari village, income, interaction, job, tourism
iii
KONTRIBUSI KEGIATAN WISATA DI DESA
BLIMBINGSARI TERHADAP KELESTARIAN
TAMAN NASIONAL BALI BARAT
KENNY APRILLIANI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
iv
v
Judul Skripsi : Kontribusi Kegiatan Wisata Di Desa Blimbingsari terhadap
Kelestarian Taman Nasional Bali Barat
Nama
: Kenny Aprilliani
NIM
: E34090127
Disetujui oleh
Eva Rachmawati, SHut, MSi
Pembimbing I
Dr Meti Ekayani, SHut, MSc
Pembimbing II
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
vi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei hingga Juni 2013 ini
adalah wisata dengan judul Kontribusi Kegiatan Wisata di Desa Blimbingsari
terhadap Kelestarian Taman Nasional Bali Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Eva Rachmawati, SHut, MSi dan
Ibu Dr Meti Ekayani, SHut, MSc selaku pembimbing yang telah banyak memberi
saran dan arahan selama penelitian berlangsung dan dalam penulisan skripsi ini.
Penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak John Ronny selaku kepala desa
Blimbingsari, Komite Pariwisata Blimbingsari serta Bapak Yudi sebagai
pembimbing lapang yang telah banyak membantu selama pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, dan seluruh keluarga
atas doa dan kasih sayangnya, Maiser Syaputra, Maria Edna Herawati, Putri
Wahyuningrum, keluarga besar Himakova terutama Himakova 46 (Anggrek
Hitam) dan pihak lain yang telah membantu memberikan dukungan dalam
penyelesaian studi ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2013
Kenny Aprilliani
vii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan
2
Manfaat
2
METODE
3
Lokasi dan Waktu
3
Alat dan Bahan
3
Metode Pengumpulan Data
3
Metode Analisis Data
5
Batasan Penelitian
7
HASIL DAN PEMBAHASAN
7
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
7
Perkembangan Wisata
8
Pekerjaan dan Usaha Masyarakat
17
Pendapatan Masyarakat
21
Interaksi Masyarakat dengan Kawasan TNBB
23
Kontribusi Kegiatan Wisata Desa Blimbingsari terhadap
Kelestarian TNBB
27
SIMPULAN DAN SARAN
28
Simpulan
28
Saran
28
DAFTAR PUSTAKA
29
LAMPIRAN
32
viii
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Jumlah wisatawan di Desa Blimbingsari (2010-2012)
Jumlah sampel pemilik unit usaha dan jasa wisata
Jenis data yang dikumpulkan
Perkembangan atraksi dan objek wisata Desa Blimbingsari
Negara asal wisatawan Desa Blimbingsari (2010-2012)
Bentuk pendampingan masyarakat oleh pengelola TNBB
Pekerjaan sampingan masyarakat Desa Blimbingsari tahun 2009
dan tahun 2013
Persentase proporsi pendapatan wisata terhadap pendapatan total
Pendapatan rata-rata masyarakat tahun 2009 dan tahun 2013
Perubahan pendapatan sambilan masyarakat Desa Blimbingsari
Perubahan interaksi masyarakat terhadap kawasan TNBB tahun 2009
dan tahun 2013
2
3
4
8
12
16
18
21
22
23
24
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Gereja Pniel
Objek dan atraksi wisata alam
Sarana dan prasarana wisata Desa Blimbingsari
Pekerjaan utama masyarakat Blimbingsari tahun 2009 dan 2013
Usaha dan jasa wisata masyarakat Blimbingsari
Ukuran kamar homestay
Interaksi masyarakat dengan kawasan TNBB tahun 2009 dan tahun
2013
Pengambil kayu bakar
Penggembalaan ternak
9
10
12
17
19
19
23
25
26
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
Skema hubungan kerjasama wisata Desa Blimbingsari
Pekerjaan dan pendapatan masyarakat Desa Blimbingsari
(pemanfaatan SDA hutan)
Kuisioner untuk pemilik unit usaha dan jasa wisata
Panduan wawancara
32
33
36
39
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Taman Nasional Bali Barat (TNBB) merupakan salah satu kawasan
pelestarian alam yang ditetapkan melalui SK Menteri Kehutanan No. 493/KptsII/1995 pada tanggal 15 September 1995. Luas kawasan TNBB sebesar 19 002.89
ha meliputi daratan serta lautan yang berbatasan langsung dengan enam desa
(TNBB 2009). Kedekatan wilayah antara TNBB dengan desa menyebabkan
kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam TNBB yang dilakukan secara sembunyisembunyi dan bersifat merusak seperti pengambilan kayu bakar, penggembalaan
ternak di hutan, serta pengeboman ikan hias dan terumbu karang masih terjadi,
padahal kegiatan pemanfaatan tersebut sudah dilarang oleh pengelola TNBB
(Gustave dan Hidayat 2008).
Salah satu desa yang masyarakatnya memanfaatkan sumberdaya alam
TNBB adalah Desa Blimbingsari. Masyarakat mengambil kayu bayur
(Pterospermum javanicum) serta kayu majigau (Dysoxylum densiflorum) untuk
dijual dan digunakan sebagai kayu bakar. Masyarakat juga menggembalakan
ternaknya di dalam kawasan hutan. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam yang
dilakukan secara terus-menerus seperti itu merupakan ancaman yang serius
terhadap kelestarian kawasan hutan TNBB karena berpotensi menimbulkan
kerusakan hutan (TNBB 2009). Selain itu, ketersediaan kayu majigau juga akan
menipis padahal menurut pengelola TNBB kayu ini adalah kayu jenis endemik
yang hanya dapat ditemukan di TNBB. Adanya ancaman terhadap kelestarian
kawasan TNBB membuat pengelola mulai melakukan upaya pembinaan. Salah
satu bentuk upaya tersebut adalah melalui pengembangan kegiatan wisata alam
yang dimulai sejak tahun 2010. Wisata alam dianggap mampu mengubah kegiatan
masyarakat di hutan dari kegiatan perusakan ke kegiatan pelestarian hutan,
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus menjalin hubungan dan
komunikasi yang baik antara pengelola taman nasional dan masyarakat.
Penelitian Rusdianto (2010) tentang pengaruh wisata alam bagi masyarakat
lokal di Bunaken menyatakan bahwa kehadiran wisata alam di Bunaken telah
mengubah interaksi masyarakat terhadap sumberdaya alam. Masyarakat menjadi
lebih peduli terhadap alam dan ikut dalam kegiatan konservasi seperti
membersihkan pantai dan pemeliharaan fauna serta flora di lokasi konservasi yang
menjadi objek wisata. Masyarakat terlibat dalam penanaman mangrove,
pengaturan pintu air di saat pasang surut, membangun jalan setapak di lingkungan
pesisir untuk memberi kemudahan turis bersosialisasi bersama dengan masyarakat
lokal. Partisipasi masyarakat memelihara lingkungan adalah gambaran dari
spontanitas masyarakat sendiri dan bukan karena adanya himbauan penguasa lokal.
Munculnya kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan karena penduduk
sadar bahwa lingkungan yang lestari mendorong wisata di tempat mereka yang
dapat menambah pendapatan.
Pengelola TNBB mengajak masyarakat untuk memanfaatkan potensi flora
dan fauna hutan serta grojogan (air terjun) sebagai objek wisata dan mulai
mengembangkan kegiatan birdwatching, tracking, dan sightseeing di dalam
kawasan hutan TNBB. Desa Blimbingsari juga dijadikan salah satu destinasi
wisata dalam paket wisata TNBB. Upaya yang dilakukan oleh pengelola TNBB
2
tersebut membuat kegiatan wisata di Desa Blimbingsari semakin berkembang. Hal
ini ditandai dengan jumlah wisatawan yang terus meningkat. Tabel 1 menjelaskan
tentang jumlah wisatawan dari tahun 2010 hingga tahun 2012. Jumlah wisatawan
pada tahun 2010 sebanyak 1 847 orang sedangkan pada tahun 2011 mencapai 3
512 orang dan tahun 2012 berjumlah 2 593 orang.
Tabel 1 Jumlah wisatawan di Desa Blimbingsari (2010-2012)
2010
2011
2012
Jenis wisatawan
(orang)
(orang)
(orang)
Wisman (Wisatawan mancanegara)
427
270
174
Wisdom (Wisatawan domestik)
1 420
3 242
2 419
Total
1 847
3 512
2 593
Sumber: Komite Pariwisata Blimbingsari (2012).
Peningkatan jumlah wisatawan tentu memberikan perubahan terhadap
kehidupan masyarakat terutama pada aspek pendapatan dan pekerjaan. Hal ini
dapat dilihat dari adanya usaha dan jasa wisata yang dikelola secara penuh oleh
masyarakat seperti usaha penginapan, penyediaan makanan dan minuman,
transportasi, akomodasi, guiding serta usaha lainnya untuk memenuhi kebutuhan
wisatawan (Ismayanti 2010). Perubahan pada aspek pendapatan dan pekerjaan
akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan
konservasi dan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya kawasan
(Waluya 2011). Berdasarkan pernyataan itu maka diperlukan penelitian mengenai
kontribusi kegiatan wisata di Desa Blimbingsari terhadap kelestarian TNBB.
Informasi yang diperoleh dari penelitian ini dapat digunakan untuk menerangkan
seberapa besar perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Desa
Blimbingsari akibat adanya kegiatan wisata serta manfaatnya bagi kelestarian
kawasan TNBB.
Tujuan
1.
2.
3.
4.
5.
Tujuan penelitian ini adalah :
Mengkaji perkembangan wisata di Desa Blimbingsari.
Mengkaji perubahan pekerjaan dan usaha masyarakat sebelum dan sesudah
adanya kegiatan wisata dari pengelola TNBB.
Menganalisis perubahan besarnya pendapatan masyarakat sebelum dan
sesudah adanya kegiatan wisata dari pengelola TNBB.
Mengkaji perubahan interaksi masyarakat dengan kawasan hutan TNBB
sebelum dan sesudah adanya kegiatan wisata dari pengelola TNBB.
Menganalisis kontribusi kegiatan wisata bagi kelestarian TNBB.
Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan serta bahan pertimbangan
bagi pengelola kawasan konservasi dalam upaya menyelaraskan pelestarian
kawasan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan.
3
METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Desa Blimbingsari, salah satu desa penyangga
Taman Nasional Bali Barat yang terletak di Kecamatan Melaya, Kabupaten
Jembrana, Provinsi Bali. Pengambilan data dilakukan dari bulan Mei hingga Juni
2013.
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, kamera, dan
laptop sedangkan bahan penelitian berupa panduan wawancara dan kuisioner.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah :
1. Observasi lapang
Kegiatan ini bertujuan untuk mengamati, mencatat, dan mengambil foto
kondisi lokasi penelitian, objek dan atraksi wisata, sarana dan prasarana wisata,
serta pekerjaan dan usaha yang dimiliki oleh masyarakat.
2. Wawancara terstruktur
Wawancara terstruktur merupakan kegiatan wawancara menggunakan
kuisioner untuk mendapatkan data terkait karakteristik responden (umur, jenis
kelamin, tingkat pendidikan), pekerjaan dan usaha, pendapatan, interaksi
masyarakat terhadap kawasan TNBB. Total sampel responden yang diambil
adalah 30% dari populasi. Sugiyono (2009) menyatakan bahwa sampel yang
berukuran 30% dari populasi sudah cukup mewakili populasi. Responden
kuisioner adalah masyarakat Blimbingsari yang terlibat dalam kegiatan wisata
yakni pemilik usaha dan jasa wisata yang dipilih dengan metode cluster random
sampling. Jumlah total sampel sebesar 96 orang sedangkan jumlah sampel tiap
kelompok usaha dan jasa wisata dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Jumlah sampel pemilik unit usaha dan jasa wisata
Jumlah populasi
Jumlah sampel
No. Jenis usaha dan jasa wisata
(orang)
(orang)
1
Penginapan (Homestay)
80
2
Transportasi / angkutan
15
3
Catering (Food & beverage)
7
4
Kios cinderamata
3
5
10
Home industry
6
Peternakan Babi
75
7
Peternakan Sapi
50
8
Peternakan Ayam
75
9
Pemandu (Guide)
6
Jumlah
321
24
8
4
3
5
16
14
16
6
96
4
4. Wawancara mendalam (In-depth interview)
Wawancara dilakukan kepada informan kunci (key informan) yang mengerti
kondisi desa dan mayarakat serta pengelolaan wisata seperti kepala desa, kepala
dusun, komite pariwisata, dan petugas lapang TNBB.
5. Studi literatur
Studi literatur bertujuan untuk memperoleh data berupa kondisi demografi
penduduk dan kelembagaan desa. Sumber data berasal dari profil Desa
Blimbingsari, skripsi, tesis, jurnal, dan website. Data yang dikumpulkan dalam
penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Jenis data yang dikumpulkan
No. Parameter
Variabel
Metode
1.
Perkembangan Atraksi & objek a. Wawancara
wisata
wisata
mendalam
Program wisata
(in-depth
Aktivitas
interview)
wisatawan
Sarana dan
prasarana
b. Observasi
Kelembagaan
lapang
wisata
c. Studi
Harga fasilitas
literatur
Wisata
Sumber
a. Aparat desa,
Komite
pariwisata
Blimbingsari,
Pengelola
TNBB (Key
informan)
b. Lapangan
c. Literatur
2.
Pekerjaan dan
usaha
Jenis dan jumlah
a. Wawancara a. Pelaku usaha
pekerjaan sebelum
terstruktur
wisata
dan sesudah
b. Lapangan
b. Observasi
adanya wisata
TNBB
lapang
(pekerjaan utama,
Pekerjaan
sampingan, usaha
wisata)
3.
Pendapatan
Besarnya
a. Wawancara
pendapatan
terstruktur
dari tiap pekerjaan
dan usaha
masyarakat tahun
2009 dan 2013
a. Pelaku usaha
wisata
4.
Interaksi
masyarakat
dengan
kawasan
hutan TNBB
Intensitas masuk a. Wawancara
hutan, Aktivitas di
mendalam
dalam hutan,
(in-depth
Frekuensi, jumlah,
interview)
jenis SDA
b. Wawancara
Usaha pelestarian
terstruktur
c. Studi
literatur
a. Pengelola
TNBB
b. Pelaku usaha
wisata
c. Literatur
5
Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa analisis
deskriptif dan analisis pendapatan.
1. Perkembangan wisata
Data perkembangan wisata disajikan dalam bentuk tabulasi dan gambar
kemudian dideskripsikan berdasarkan jenis dan jumlah atraksi dan objek wisata,
program wisata, sarana dan prasarana wisata serta kelembagaan wisata.
Perkembangan wisata akan dilihat dari bertambah atau berkurangnya jenis dan
jumlah atraksi dan objek wisata serta program wisata, ada atau tidaknya
partisipasi aktif dari komunitas lokal, ada atau tidaknya kerjasama yang kuat antar
stakeholder dalam kegiatan wisata serta tersedianya komunitas masyarakat lokal
yang telah terorganisasi dengan baik dan kohesif dalam menjalankan kegiatan
wisata yang ditunjukkan oleh beberapa aspek seperti (Sally et al. 2010) :
a) Memiliki infrastruktur yang layak seperti kantor kesekretariatan dan sumber
daya manusia yang memadai,
b) Memiliki aturan main yang mengatur keanggotaannya dan tidak rentan
terhadap perselisihan antar anggota,
c) Memiliki divisi-divisi yang terorganisir dengan baik,
d) Memiliki aset dan sumber keuangan sendiri,
e) Memiliki individu yang dapat memimpin kegiatan wisata dan didukung oleh
komunitas tersebut,
f) Memiliki jaringan yang mengerti bagaimana bekerja dengan industri wisata,
pemerintah, dan partner lainnya.
2. Pekerjaan dan usaha masyarakat
Data pekerjaan dan usaha masyarakat disajikan dalam bentuk tabel dan
gambar kemudian dideskripsikan berdasarkan jenis pekerjaan utama, jenis
pekerjaan sampingan, serta jumlah dan jenis usaha dan jasa wisata. Perubahan
yang terjadi pada pekerjaan dan usaha masyarakat akan dilihat dari bertambah
atau berkurangnya jumlah dan jenis pekerjaan dan usaha masyarakat baik
pekerjaan utama, sampingan serta usaha wisata sebelum (2009) dan sesudah
adanya wisata dari pengelola TNBB (2013).
3. Pendapatan masyarakat
Data pendapatan masyarakat disajikan secara tabulasi dan grafik kemudian
dilakukan analisis pendapatan. Pendapatan masyarakat sebelum dan sesudah
adanya wisata dianalisis dengan menggunakan analisis pendapatan untuk melihat
perubahan pendapatan masyarakat sebelum dan sesudah adanya kegiatan wisata
dari pengelola TNBB di Desa Blimbingsari. Perubahan pendapatan masyarakat
diperoleh dengan perhitungan pendapatan rata-rata berdasarkan kelompok
pekerjaan usaha dan jasa wisata. Pendapatan rata-rata dihitung dengan
mengurangi pendapatan masyarakat setelah adanya kegiatan wisata dari pengelola
TNBB di Desa Blimbingsari (tahun 2013) dan pendapatan masyarakat sebelum
adanya kegiatan wisata dari pengelola TNBB di Desa Blimbingsari (tahun 2009).
Rumus yang digunakan adalah :
∆IKW = IKW2-IKW1................................................. (1)
Keterangan :
∆IKW = Perubahan pendapatan rata-rata masyarakat dari adanya kegiatan wisata
6
IKW2
IKW1
= Pendapatan rata-rata masyarakat setelah adanya kegiatan wisata
= Pendapatan rata-rata masyarakat sebelum adanya kegiatan wisata
Pendapatan masyarakat pada tahun 2009 perlu dilakukan perhitungan
present value. Tujuannya adalah untuk menyamakan nilai mata uang pada tahun
2009 dengan nilai mata uang pada tahun 2013 karena adanya perbedaan nilai mata
uang akibat inflasi, reinvestasi, dan resiko. Perhitungan present value
menggunakan suku bunga Bank Indonesia pada saat ini (April 2013) yaitu sebesar
5,75%. Penggunaan suku bunga dilakukan untuk mempermudah proses
perhitungan. Perhitungan present value menggunakan rumus compounding :
FV = PV (1+i)t .................................................... (2)
Keterangan :
FV
= Future Value (Nilai uang di masa depan)
PV
= Present Value (Nilai uang saat ini)
i
= tingkat suku bunga
t
= banyaknya waktu (tahun)
Data pendapatan dari kegiatan wisata akan dianalisis untuk mencari
besarnya proporsi pendapatan yang diperoleh masyarakat dari kegiatan wisata
terhadap pendapatan total. Hasil analisis dapat digunakan untuk menunjukkan
apakah pendapatan yang diperoleh masyarakat dari kegiatan wisata merupakan
pendapatan utama atau bukan.
Persentasi proporsi pendapatan yang diperoleh melalui kegiatan wisata
dapat dihitung dengan rumus :
% IKW = IW x 100% ............................................ (3)
IKWtot
Keterangan :
% IKW = Persentase proporsi pendapatan rata-rata masyarakat dari adanya
kegiatan wisata terhadap total pendapatan
IW
= Pendapatan rata-rata masyarakat hanya dari kegiatan wisata
IKWtot = Total pendapatan rata-rata masyarakat
Soehadji (1995) diacu dalam Soetanto (2002) menjelaskan persentase
tipologi usaha terhadap pendapatan total seseorang yaitu :
a. Usaha yang mendatangkan proporsi pendapatan kurang dari 30% disebut
sebagai usaha sambilan.
b. Usaha yang mendatangkan proporsi pendapatan antara 30-70 % disebut
sebagai usaha sampingan.
c. Usaha yang mendatangkan proporsi pendapatan antara 70-100% disebut
sebagai usaha utama atau pokok.
Hasil analisis pendapatan akan dideskripsikan berdasarkan besarnya
pendapatan yang diterima masyarakat sebelum dan sesudah adanya kegiatan
wisata serta pendapatan dari aspek wisata. Perubahan pendapatan masyarakat
akan dilihat dari penambahan dan pengurangan pendapatan masyarakat serta
selisih antara pendapatan masyarakat setelah adanya wisata dengan pendapatan
sebelum adanya wisata pada tiap jenis usaha dan jasa wisata. Selain itu,
7
berdasarkan besarnya pendapatan masyarakat hanya dari kegiatan wisata akan
dilihat apakah wisata dapat menjadi pendapatan utama bagi masyarakat atau tidak.
4. Interaksi masyarakat terhadap kawasan TNBB
Data interaksi masyarakat terhadap kawasan TNBB akan disajikan dalam
bentuk tabulasi dan gambar kemudian dideskripsikan berdasarkan aktivitas yang
dilakukan masyarakat di dalam hutan, frekuensi pengambilan SDA, jumlah dan
jenis SDA yang diambil serta upaya pelestarian kawasan yang dilakukan
masyarakat. Perubahan interaksi masyarakat terhadap kawasan TNBB akan dilihat
dari bentuk aktivitas masyarakat di dalam hutan baik aktivitas yang merusak
ataupun menjaga kawasan hutan, penambahan atau pengurangan frekuensi
pengambilan SDA, jenis dan jumlah SDA yang diambil, serta ada tidaknya upaya
pelestarian kawasan yang dilakukan masyarakat.
Kegiatan analisis data ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai
kontribusi kegiatan wisata di Desa Belimbingsari terhadap kelestarian TNBB
berdasarkan perubahan yang terjadi pada aspek wisata, pekerjaan dan usaha
masyarakat, pendapatan masyarakat, serta interaksi masyarakat terhadap kawasan
TNBB
Batasan Penelitian
Beberapa batasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Masyarakat Desa Blimbingsari yang menjadi sampel responden kuisioner
adalah penduduk asli Desa Blimbingsari yang tinggal sejak sebelum adanya
kegiatan wisata dari pengelola TNBB yang menjadi pemilik usaha dan jasa
wisata.
2. Pendapatan sebelum adanya kegiatan wisata adalah pendapatan masyarakat
pada kondisi terakhir sebelum dilakukan pengembangan kegiatan wisata oleh
pengelola TNBB yakni tahun 2009 sedangkan pendapatan setelah adanya
kegiatan wisata adalah pendapatan masyarakat setelah dilakukan
pengembangan kegiatan wisata oleh pengelola TNBB pada kondisi terkini
yakni kondisi saat penelitian ini dilakukan pada tahun 2013.
3. Interaksi masyarakat dengan kawasan hutan TNBB adalah keterkaitan dan
perilaku masyarakat Blimbingsari terhadap kawasan hutan TNBB yang
meliputi intensitas masyarakat masuk ke dalam kawasan hutan, aktivitas
masyarakat di dalam hutan, frekuensi pengambilan sumberdaya hutan, jumlah
dan jenis sumberdaya hutan yang dimanfaatkan serta upaya pelestarian
kawasan yang dilakukan oleh masyarakat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Desa Blimbingsari terbentuk sejak tahun 1939. Desa ini berbatasan
langsung dengan kawasan hutan TNBB di sebelah utara dan sebelah barat
sedangkan di sebelah selatan dengan Desa Melaya dan sebelah timur dengan Desa
Ekasari. Luas wilayah desa adalah 450 ha yang terdiri dari dari 2 dusun yakni
Dusun Ambyarsari dan Dusun Blimbingsari. Jumlah penduduk desa adalah 1095
8
jiwa. Semua penduduk Blimbingsari beragama Kristen Protestan. Saat ini
mayoritas penduduk yang tinggal Desa Blimbingsari adalah orang-orang tua
dengan kisaran usia 50-an tahun ke atas. Masyarakat Desa Blimbingsari berasal
dari berbagai etnis seperti etnis Bali (76,7%), Jawa (18,3%), Flores (2,4%),
Madura (1,5%), dan lainnya (1,1%). Tingkat pendidikan penduduk Desa
Blimbingsari dapat dikatakan cukup baik. Mayoritas penduduk adalah tamatan
SMA/sederajat (91,9%) sedangkan yang paling tinggi adalah tamatan S1 (0,9%)
dan yang paling rendah adalah tamatan SMP/sederajat (7,2%). Desa Blimbingsari
dapat ditempuh selama + 4 jam dari Bandara Ngurah Rai Denpasar dengan
menggunakan kendaraan pribadi ke arah Kecamatan Melaya. Apabila
menggunakan kendaraan umum maka dapat ditempuh dengan bis tujuan
Denpasar-Gilimanuk dari Terminal Ubung Denpasar berhenti di Kecamatan
Melaya lalu naik ojek ke Desa Blimbingsari.
Perkembangan Wisata di Desa Blimbingsari
Atraksi dan Objek Wisata
Atraksi dan objek wisata Desa Blimbingsari mengalami perkembangan dari
waktu ke waktu (Tabel 4).
Tabel 4 Perkembangan atraksi dan objek wisata Desa Blimbingsari
Waktu
Jenis kegiatan wisata
Jenis atraksi dan objek wisata
Wisata rohani (menginap di Gereja Pniel
Tahun 2004gereja, beribadah,
2009
mendengarkan sejarah desa
dan gereja)
November
2010
Wisata rohani
Wisata alam (birdwatching,
tracking, camping, hiking,
sightseeing)
Gereja Pniel
Flora dan fauna, grojogan (air
terjun)
Januari 2011
Wisata rohani
Wisata alam
Wisata air (diving dan
snorkeling),
Gereja Pniel
Flora dan fauna grojogan (air
terjun)
Terumbu karang dan ikan hias
Mei 2011Sekarang
Wisata rohani
Wisata alam
Wisata air
Agrotourism
Wisata Pendidikan
(Kunjungan ke Home
industry, sekolah dan panti
asuhan Blimbingsari)
Wisata Budaya (Penampilan
kesenian Bali berupa
JEGOG, tabuh dan gong)
Bersepeda
Gereja Pniel
Flora dan fauna, grojogan (air
terjun)
Terumbu karang dan ikan hias
Kebun cokelat, kelapa, dan
pisang
Kopra, gula merah, biogas,
sapu lidi, ternak babi, sapi, dan
ayam, tari JEGOG.
9
Atraksi dan objek wisata adalah segala sesuatu yang ada di daerah tujuan
wisata yang berfungsi sebagai daya tarik agar wisatawan mau berkunjung ke
tempat tersebut (Marpaung 2002). Kegiatan wisata di Desa Blimbingsari telah
berkembang sejak tahun 2004 atas inisiatif dari seorang pendeta. Kegiatan wisata
dimulai dengan memanfaatkan potensi desa berupa gereja Protestan yang bernama
gereja Pniel (Gambar 1).
Gambar 1 Gereja Pniel
Gereja Pniel memiliki keunikan baik dari segi sejarah, religi, maupun
budaya. Jika dilihat dari sejarah dan religi, gereja ini adalah simbol perjuangan
masyarakat Kristen Protestan sedangkan dari segi budaya dapat dilihat dari bentuk
gedung gereja yang seperti pura dengan hiasan ukiran Bali. Keunikan tersebut
menyebabkan gereja Pniel menjadi objek wisata pertama di Desa Blimbingsari.
Gereja itu dimanfaatkan dalam kegiatan wisata rohani. Wisata rohani pada saat itu
merupakan wisata tunggal yang ada di Desa Blimbingsari. Kegiatan wisata rohani
meliputi aktivitas menginap di gereja, beribadah, dan mendengarkan sejarah desa
dan gereja. Setiap minggu pertama di awal bulan selalu diadakan ibadah
kontekstual yakni melakukan ibadah dengan menggunakan adat bali, mulai dari
alat musik Bali, bahasa Bali hingga pakaian Bali.
Bulan November tahun 2010 dilakukan penambahan kegiatan wisata oleh
pengelola TNBB. Pengelola TNBB berinisiatif untuk mengkombinasikan wisata
rohani dengan wisata alam. Kegiatan wisata alam dikembangkan dengan harapan
dapat mengubah aktivitas perusakan SDA (pengambilan kayu bakar,
penggembalaan ternak di dalam hutan TNBB) menjadi aktivitas pelestarian.
Selama ini masyarakat Desa Blimbingsari melakukan kegiatan perambahan hutan
untuk menambah pendapatan. Sudarto (1999) menyatakan bahwa kegiatan wisata
alam dapat menjadi kegiatan alternatif yang memberikan pendapatan tanpa harus
melakukan kegiatan perusakan terhadap SDA. Jika kegiatan wisata alam dapat
memberikan pendapatan yang memadai maka masyarakat akan merasa kegiatan
wisata alam itu penting dan pada akhirnya masyarakat akan melestarikan SDA
demi keberlanjutan wisata alam (Waskito 2013).
Langkah awal yang dilakukan oleh pengelola TNBB dalam pengembangan
kegiatan wisata alam adalah mengubah status kawasan hutan yang ada di Desa
Blimbingsari dari zona rimba menjadi zona pemanfaatan tradisional. Perubahan
status kawasan itu tercantum dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No. SK: 143/IV-KK/2010 Tentang
10
Zonasi Taman Nasional Bali Barat. Perubahan zonasi ini sangat memberikan
keuntungan bagi masyarakat Desa Blimbingsari. Masyarakat dapat memanfaatkan
kawasan hutan yang selama ini dilarang oleh pihak taman nasional. CIFOR (2010)
menyatakan bahwa dengan adanya perubahan zonasi dapat meningkatkan akses
masyarakat untuk memanfaatkan hutan.
Masyarakat diberikan izin untuk mengelola dan memanfaatkan kawasan
hutan seluas + 2 036 ha, flora dan fauna serta potensi lainnya dalam kegiatan
wisata alam secara bebas tanpa adanya larangan. Pengelola TNBB dan masyarakat
mulai membangun dan memperbaiki kondisi di sekitar grojogan (air terjun),
membuat jalur tracking dan birdwatching. Hal itu membuat atraksi wisata dan
objek wisata Desa Blimbingsari bertambah. Selain gereja Pniel, objek wisata yang
tersedia berupa flora (berbagai jenis pohon), fauna (berbagai jenis burung), dan
grojogan (air terjun) sedangkan atraksi wisata yang muncul akibat adanya
pengembangan kegiatan wisata alam itu adalah tracking, birdwatching,
sightseeing, camping, dan hiking (Gambar 2).
Jenis kegiatan wisata air mulai dikembangkan masyarakat pada bulan
Januari 2011. Jenis atraksi wisata air itu adalah diving dan snorkeling. Kegiatan
diving dan snorkeling dilakukan di dalam kawasan TNBB yakni di Pulau
Menjangan. Kegiatan wisata ini muncul karena adanya kerja sama dengan
pengelola TNBB.
Gambar 2 Objek dan atraksi wisata alam : (a) Grojogan, (b) Birdwatching,
(c) Tracking
Berkat dukungan dan pendampingan yang dilakukan oleh pengelola TNBB
membuat masyarakat Desa Blimbingsari pada bulan Mei 2011 mulai
memanfaatkan potensi yang ada di desanya sebagai objek dan atraksi wisata.
Objek dan atraksi wisata itu berupa agrotourism (kebun cokelat, kelapa, dan
11
pisang), mengunjungi industri rumah tinggi (kopra, gula merah, biogas, sapu lidi,
ternak babi, ternak sapi, dan ternak ayam), mengunjungi sekolah dan panti asuhan
di Blimbingsari, bersepeda, serta penampilan kesenian Bali berupa jegog, tabuh
dan gong.
Beragamnya jenis objek dan atraksi wisata yang tersedia di Desa
Blimbingsari sangat mendukung kelanjutan kegiatan wisata desa terutama
peningkatan kunjungan wisatawan. Zalukhu (2009) menyatakan bahwa salah satu
komponen yang diperlukan untuk meningkatkan kunjungan wisatawan adalah
tersedianya beraneka ragam objek dan atraksi wisata yang menarik. Wisatawan
tidak akan merasa bosan jika atraksi wisata yang tersedia di suatu tempat beraneka
ragam. Purnomo (2009) menyebutkan bahwa jumlah dan jenis objek serta atraksi
wisata dapat mempengaruhi lama tinggal dan belanja pengunjung di tempat wisata.
Semakin banyak objek dan atraksi wisata yang unik maka semakin lama pula para
wisatawan tinggal di suatu daerah wisata.
Program Wisata
Program wisata adalah suatu perjalanan wisata yang direncanakan atau
diselenggarakan oleh pengelola wisata yang acara dan lamanya waktu wisata,
tempat yang akan dikunjungi, akomodasi, transportasi, makanan dan minuman
telah ditentukan (Yoeti 1983). Program wisata pertama Desa Blimbingsari muncul
bersamaan dengan adanya objek wisata pertama yakni Gereja Pniel pada tahun
2004. Program wisata itu adalah kegiatan camping pemuda gereja selama 3 hari 2
malam. Para pemuda melakukan kegiatan wisata rohani (menginap di gereja,
beribadah, dan mendengarkan sejarah desa dan gereja). Namun, wisatawan yang
berkunjung ke desa dan melakukan wisata rohani tidak dikenakan biaya apapun.
Keberadaan pihak TNBB membuat program wisata di Desa Blimbingsari
mengalami perubahan. Pihak TNBB bersama masyarakat membuat suatu program
wisata yang bernama Live in program. Program wisata ini ditawarkan sejak bulan
November 2010. Live in program merupakan kegiatan menginap dan tinggal
bersama masyarakat. Melalui program ini, wisatawan diajak untuk mengikuti
keseharian masyarakat Desa Blimbingsari sekaligus menikmati kegiatan wisata
yang telah diatur bersama komite pariwisata. Manfaat adanya program live in ini
adalah masyarakat dan wisatawan dapat berbagi ilmu dan pengetahuan sehingga
tingkat pengetahuan masyarakat meningkat.
Wisata Desa Blimbingsari belum memiliki paket wisata yang baku baik
kegiatan yang dilakukan maupun harga. Komite pariwisata biasanya melakukan
negosiasi dengan perwakilan wisatawan untuk menentukan atraksi dan harga
wisata. Mekanisme penentuan atraksi dan harga wisata seperti ini menurut Yoeti
(1983) termasuk ke dalam mekanisme tailor made tour yakni program wisata
yang disusun sesuai dengan permintaan wisatawan.
Sarana dan Prasarana Wisata
Sarana dan prasarana wisata merupakan kelengkapan daerah tujuan wisata
yang diperlukan dalam menikmati perjalanan wisata (Prasetya 2009).
Pembangunan sarana dan prasarana wisata di daerah tujuan wisata harus
disesuaikan dengan kebutuhan wisatawan baik dari kapasitas maupun kualitasnya.
Terpenuhi atau tidaknya standar pemenuhan sarana ini akan tercermin melalui
kepuasan wisatawan yang menerima pelayanan tersebut (Prasetya 2009).
12
Sarana dan prasarana yang digunakan dalam kegiatan wisata merupakan
sarana dan prasarana milik gereja dan desa seperti convention hall (800-1 000
orang) dan taman bermain. Sarana dan prasarana ini telah didirikan sebelum
kegiatan wisata berkembang di Desa Blimbingsari tetapi baru digunakan dalam
kegiatan wisata pada tahun 2010. Desa Blimbingsari membangun sarana
prasarana penunjang keberlanjutan kegiatan wisata yakni papan penunjuk objek
wisata dan tourist information center pada tahun 2011 (Gambar 3).
Gambar 3 Sarana dan prasarana wisata Desa Blimbingsari: (a) Convention
hall, (b) Tourist information centre
Pembangunan tourist information dan papan penunjuk objek wisata ini
adalah hasil kerja sama dan pendampingan pihak TNBB. Masyarakat membangun
sarana dan prasarana ini secara mandiri tanpa ada bantuan dari pihak luar
(swadaya masyarakat baik tenaga maupun dana). Hal ini dilakukan masyarakat
dengan tujuan kegiatan wisata Desa Blimbingsari dapat berjalan dengan baik.
Pengunjung
Wisatawan yang datang ke Desa Blimbingsari berasal dari berbagai negara
seperti Indonesia, Jepang, Jerman, USA, Afrika Selatan, Singapura, Korea Selatan,
China, Prancis, Belanda dan Austria (Tabel 5).
Tabel 5 Negara asal wisatawan Desa Blimbingsari (2010-2012)
Asal
wisatawan
Indonesia
Australia
Korea Selatan
Singapura
Perancis
Jerman
Jepang
Amerika
Belanda
Austria
Cina
Afrika Selatan
2010
2011
2012
(kunjungan) (kunjungan) (kunjungan)
30
21
22
20
10
10
2
1
2
4
2
1
4
1
1
2
2
2
3
1
1
0
1
1
0
1
2
0
0
1
0
0
1
0
1
3
Jumlah kunjungan
73
40
5
7
6
6
5
2
3
1
1
4
13
Berdasarkan Tabel 5, wisatawan asal Indonesia lebih sering berkunjung ke
Desa Blimbingsari yakni sebanyak 73 kunjungan kemudian disusul oleh
wisatawan Australia sebanyak 40 kunjungan. Wisatawan Austria dan Cina
merupakan wisatawan yang paling jarang berkunjung ke Desa Blimbingsari yakni
hanya 1 kali kunjungan. Perbedaan intensitas kunjungan wisatawan berdasarkan
negara asalnya diduga karena adanya perbedaan aksesibilitas. Widyaningrum
(2010) menyatakan bahwa domisili calon pengunjung dan aksesibilitas menuju
lokasi wisata menjadi faktor yang menentukan keramaian maupun frekuensi
kunjungan kawasan wisata.
Waktu kunjungan wisatawan tertinggi adalah pada bulan Juni hingga
Desember. Bulan Juni hingga Desember adalah rentang bulan yang termasuk
waktu liburan dan banyak dimanfaatkan oleh wisatawan untuk berwisata. Atraksi
wisata yang sering dilakukan oleh wisatawan adalah wisata rohani dan wisata
alam. Hal ini dikarenakan wisatawan yang berkunjung ke Desa Blimbingsari
didominasi oleh pelajar dan mahasiswa.
Kelembagaan Wisata
Kelembagaan wisata adalah wahana yang dibentuk untuk memenuhi
kebutuhan yang ada dalam suatu masyarakat terkait kegiatan wisata (Rahardjo
1999). Kelembagaan wisata memiliki 3 fungsi penting yakni 1) Sebagai pedoman
masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam dalam wisata sehingga
menghasilkan output yang baik bagi alam dan masyarakat, 2) Menjaga keutuhan
masyarakat sehingga wisata dapat tetap berjalan dengan baik, dan 3) Sebagai
sistem pengendalian sosial yang dapat menjadi kontrol dalam menjaga keutuhan
wisata.
Kegiatan wisata Desa Blimbingsari awalnya dikelola oleh persekutuan
gereja pusat senode. Hal ini dikarenakan wisata yang ada di Desa Blimbingsari
hanya berupa wisata rohani sehingga untuk mempermudah pengkoordinasian
maka persekutuan gereja pusat senode dipilih sebagai pengelola wisata. Namun
sejak tahun 2005, pengelolaan wisata tersebut telah diambil alih oleh pihak komite
pariwisata. Komite ini dibentuk oleh tiga elemen penting yakni pemerintah desa
Blimbingsari, GKPB (Gereja Kristen Protestan Bali) Jemaat Pniel Blimbingsari,
dan Paguyuban warga Blimbingsari (diaspora). Tujuan pembentukan komite ini
adalah untuk mengorganisir kegiatan wisata Desa Blimbingsari serta melakukan
koordinasi dengan wisatawan dan masyarakat. Adanya komite pariwisata ini
diharapkan dapat membuat pengelolaan kegiatan wisata Desa Blimbingsari
berjalan dengan baik.
Komite pariwisata Desa Blimbingsari telah melakukan pengembangan desa
wisata dari tahun 2007. Arah pengembangan desa wisata mencakup empat hal
penting yakni meningkatkan kunjungan wisatawan, meningkatkan aktivitas
ekonomi pariwisata, pemberdayaan masyarakat setempat, dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Namun, adanya pendampingan dan kerja sama dengan
TNBB melalui kegiatan wisata alam pada tahun 2010 menyebabkan arah
pengembangan desa wisata bertambah selain aspek ekonomi, aspek pelestarian
juga diperhatikan. Sistem pengelolaan wisata yang digunakan oleh komite
pariwisata dalam mengelola wisata adalah CBT (Community-Based Tourism)
yang telah diterapkan sejak tahun 2008. Alasan penggunaan CBT adalah untuk
mempermudah tercapainya tujuan pengembangan desa wisata. CBT merupakan
14
sebuah produk wisata yang didasari oleh partisipasi aktif dari masyarakat lokal
(Tomàs et al. 2011). Partisipasi aktif yang dimaksud yaitu keterlibatan masyarakat
sekitar dalam perencanaan dan pengambilan keputusan dalam pengelolaan wisata.
Persentase masyarakat yang terlibat dalam kegiatan wisata adalah + 50% dari
jumlah total penduduk. Bentuk dukungan masyarakat dalam kegiatan wisata
terlihat dari adanya usaha dan jasa wisata yang diciptakan oleh masyarakat seperti
homestay, catering, home industry, pemandu, dan lainnya.
Komite pariwisata Desa Blimbingsari telah memiliki kantor keseketariatan
yang berupa tourist information centre. Kantor ini juga berfungsi sebagai pusat
informasi wisata Desa Blimbingsari. Tourist information centre dibangun pada
bulan November 2011 dan diresmikan oleh Wakil Bupati Jembrana pada tanggal
25 Desember 2011.
Komite pariwisata memperbolehkan masyarakat untuk bergabung sebagai
penyedia usaha dan jasa wisata tanpa syarat dan biaya yang harus dikeluarkan.
Namun, yang diberi izin itu hanya masyarakat asli Desa Blimbingsari. Hal ini
dilakukan untuk mendukung terciptanya kesejahteraan masyarakat asli Desa
Blimbingsari. Ada beberapa peraturan yang diterapkan oleh komite pariwisata
dalam mengelola kegiatan wisata yakni peraturan yang mengatur keuntungan
usaha dan jasa wisata serta peraturan pemanduan. Penyedia usaha dan jasa wisata
harus menyerahkan 20% dari keuntungan yang didapat kepada komite pariwisata.
Biaya 20% tersebut akan digunakan untuk donasi bagi gereja, desa, panti asuhan,
dan keperluan administrasi.
Peraturan pemanduan yang diterapkan oleh komite pariwisata Blimbingsari
adalah jika pihak taman nasional membawa wisatawan yang ingin melakukan
birdwatching, hiking, dan tracking maka pihak taman nasional wajib mengajak
pemandu lokal untuk ikut serta dalam kegiatan itu. Alasan diberlakukannya
peraturan itu adalah komite pariwisata ingin agar kemampuan dan keahlian
pemandu lokal dalam kegiatan wisata dapat meningkat sehingga kegiatan wisata
desa dapat berjalan dengan baik. Komite pariwisata juga melakukan sistem rotasi
dalam menggunakan usaha dan jasa wisata milik masyarakat. Usaha dan jasa
wisata yang digunakan tidak hanya terpaku milik satu individu tertentu saja tetapi
bergantian. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi konflik antar masyarakat sekaligus
dapat mengikutsertakan seluruh masyarakat dalam kegiatan wisata.
Komite pariwisata Desa Blimbingsari belum memiliki divisi-divisi yang
jelas. Struktur organisasi komite pariwisata hanya terdiri dari penasehat,
penanggung jawab, ketua, sekretaris, dan bendahara serta masyarakat sebagai
anggota yang menyediakan kebutuhan wisatawan (homestay, guiding, food and
beverage, dan lainnya). Aset yang dimiliki oleh komite pariwisata berupa
perlengkapan administrasi (ATK, laptop, printer, website, dan brosur wisata).
Sumber keuangan komite pariwisata berasal dari donasi sebesar 20% yang
diambil dari keuntungan usaha dan jasa wisata milik masyarakat.
Komite pariwisata dipimpin oleh seorang tokoh masyarakat yang bernama I
Gede Sudigda. Bapak Sudigda pernah bekerja di bidang pariwisata di Denpasar
selama + 20 tahun sehingga beliau sangat mengetahui segala hal terkait wisata.
Selain itu, pengurus komite pariwisata lainnya juga memiliki kapasitas yang
tinggi dalam hal wisata baik dalam hal pelayanan tamu, manajemen wisata,
komunikasi dengan tamu, dan promosi. Kapasitas tersebut disalurkan kepada
masyarakat sehingga secara tidak langsung dapat meningkatkan kapasitas
15
masyarakat dalam hal wisata. Pengurus komite pariwisata sangat didukung dan
dihormati oleh masyarakat Desa Blimbingsari. Hal ini terlihat dari sikap
masyarakat yang sangat patuh dan menerima setiap kebijakan terkait wisata yang
dibuat oleh komite pariwisata. Selain itu, masyarakat juga tidak berani
berkomunikasi dengan tamu sebelum tamu itu bertemu dan meminta izin kepada
komite pariwisata. Hal ini membuktikan bahwa koordinasi antara masyarakat
dengan komite pariwisata cukup baik.
Komite pariwisata telah memiliki jaringan dengan pihak profesional di
bidang wisata dan kerjasama dengan berbagai pihak seperti dinas pariwisata
provinsi, dinas pariwisata kabupaten, taman nasional, Universitas Dhiana Pura,
dan pihak lainnya. Secara umum, kelembagaan komite pariwisata Blimbingsari
telah memenuhi kriteria kelembagaan kohesif yang mampu mengelola wisata
menurut Sally et al. (2010). Hal ini terlihat dari adanya infrastruktur yang layak
(tourist information centre), peraturan wisata yang diterapkan, aset dan sumber
keuangan sendiri, individu yang mampu menjadi memimpin kegiatan wisata, dan
jaringan kerjasama dengan berbagai pihak. Skema hubungan kerjasama wisata
Desa Blimbingsari dapat dilihat pada Lampiran 1.
Kelembagaan wisata terdiri dari dua jenis yakni kelembagaan formal dan
kelembagaan informal (Rahardjo 1999). Kelembagaan formal adalah sistem tata
aturan yang berdiri berdasarkan legalitas formal, salah satu contohnya regulasi
pemerintahan sedangkan kelembagaan informal adalah sistem tata aturan yang
dibentuk berdasarkan kesepakatan masyarakat itu sendiri contohnya aturan adat.
Berdasarkan pernyataan itu, maka komite pariwisata Blimbingsari dapat
dikategorikan sebagai kelembagaan informal wisata. Hal ini dikarenakan
peraturan wisata yang diberlakukan merupakan hasil kesepakatan antara komite
pariwisata Blimbingsari dengan masyarakat
Kerjasama Wisata
Kerjasama antara berbagai pihak sangat diperlukan dalam pengembangan
kegiatan wisata. Soebagyo (2012) menyatakan bahwa salah satu syarat
pengembangan wisata yang efektif adalah adanya kerjasama dari berbagai pihak
seperti pemerintah pusat, kalangan swasta, pemerintah daerah setempat, pengelola
wisata, dan masyarakat lokal. Komite pariwisata Blimbingsari telah melakukan
kerjasama dengan berbagai stakeholder. Salah satunya adalah pengelola TNBB.
Pengelola TNBB memberikan pendampingan dan pelatihan serta promosi untuk
memajukan kegiatan wisata alam di Desa Blimbingsari sekaligus meningkatkan
kapasitas masyarakat dalam mengelola kegiatan wisata alam (Tabel 6).
Komite pariwisata juga bekerja sama dengan stakeholder lain seperti Dinas
Pariwisata Provinsi Bali, Dinas Pariwisata Kabupaten Jembrana, Universitas
Dhyana Pura Bali (Undhira Bali), Majelis Sinode GKPB (Gereja Kristen
Protestan di Bali), Dewan Gereja/Persekutuan Gereja Indonesia (PGI), Dewan
Gereja Dunia (WCC), beberapa biro perjalanan, dan Diaspora Blimbingsari. Kerja
sama komite pariwisata dengan berbagai stakeholder itu sangat bernilai penting
bagi kelanjutan kegiatan wisata. Keterlibatan setiap stakeholder merupakan kunci
keberhasilan dari kegiatan wisata (FAO 2001). Hal ini dikarenakan setiap
stakeholder memiliki peranan yang dapat mengembangkan kegiatan wisata Desa
Blimbingsari, sebagai contoh Undhira Bali. Undhira Bali membantu
pengembangan wisata desa melalui peningkatan kemampuan masyarakat dalam
16
melayani tamu. Undhira memberikan pelatihan housekeeping, etika melayani
wisatawan, serta pengaturan food and beverage.
Tabel 6 Bentuk pendampingan masyarakat oleh pengelola TNBB
No. Waktu
Bentuk kerja sama dan pendampingan
1.
Februari 2011 - Penanaman bibit mahoni bersama masyarakat di sekitar
jalur wisata grojogan.
- Pembuatan peta potensi desa wisata.
- Pembuatan website desa wisata Blimbingsari.
- Pemasangan tanda penunjuk wisata grojogan.
- Pembangunan tourist information centre (pusat
informasi wisata sekaligus kantor sekertariat komite
pariwisata).
2.
Maret 2011
- Pembuatan jalur wisata alam (tracking dan
birdwatching) bersama masyarakat.
- Pelatihan pemandu wisata.
- Pembangunan gapura selamat datang sebelum
memasuki kawasan wisata grojogan.
3.
April 2011
- Praktek pemanduan dan pemasangan nama jenis pohon.
4.
Mei 2011
- Pembersihan jalur wisata grojogan.
5.
Juni 2011
6.
November
2011
- Pendampingan masyarakat ketika berkunjung ke desa
penyangga lain seperti Desa Gilimanuk (Kelompok
nelayan Karangsewu) dan Desa Sumberklampok
(Kelompok Penangkar Manuk Jegeg). Kunjungan
tersebut bertujuan untuk menciptakan kerja sama
bidang wisata antara desa penyangga TNBB.
- TN menjadikan Desa Blimbingsari sebagai salah satu
destinasi wisata dan mengajak wisatawan untuk
berkunjung dan melakukan atraksi wisata di desa ini.
Hal tersebut memberikan nilai positif bagi kegiatan
promosi dan perkembangan kegiatan wisata.
Berkembangnya komponen-komponen wisata Desa Blimbingsari mulai dari
atraksi dan objek wisata, kelembagaan wisata, program wisata, sarana prasarana,
pengunjung, dan kerjasama wisata merupakan bukti bahwa kegiatan wisata di
Desa Blimbingsari sudah berhasil. Ismayanti (2010) menyatakan bahwa kegiatan
wisata dapat dikatakan berhasil jika komponen wisata yang terdiri dari objek dan
atraksi wisata, program wisata, kelembagaan wisata, sarana dan prasarana, jumlah
pengunjung, dan kerja samawisata telah tersedia dan memadai.
Keberhasilan itu membuat Desa Blimbingsari terpilih dan ditetapkan
sebagai Desa Wisata mewakili Kabupaten Jembrana bersama 6 desa lainnya di
Provinsi Bali oleh Bank Indonesia. Acara penetapan dilakukan oleh Gubernur Bali
dan Direktur Bank Indonesia Bali pada tanggal 16 Desember 2011 di Denpasar.
Hal tersebut menyebabkan nama desa Blimbingsari berubah menjadi Blimbingsari
17
The Promissed Land (Desa Wisata) sebagai bagian dari Bali Community Based
Tourism Association (Bali COBTA) (Komite Pariwisata Blimbingsari 2012).
Pekerjaan dan Usaha Masyarakat
Masyarakat Blimbingsari memiliki berbagai jenis pekerjaan utama seperti
petani, peternak, pedagang, buruh, pegawai swasta, PNS, dan lain-lain. Gambar 4
menjelaskan tentang jumlah masyarakat berdasarkan jenis pekerjaan utamanya
pada tahun 2009 dan tahun 2013.
Gambar 4 Pekerjaan utama masyarakat Blimbingsari tahun 2009 dan 2013
Berdasarkan Gambar 4, mata pencaharian utama masyarakat yang paling
dominan pada tahun 2009 dan 2013 adalah petani. Hal ini dikarenakan rata-rata
tiap warga memiliki lahan yang berasal dari orang tuanya. Tanah tersebut
digunakan sebagai sumber utama pemenuhan kebutuhan hidup. Cokelat dan
kelapa merupakan komoditas utama pertanian. Hal ini dikarenakan perawatan dan
pemeliharaan kebun cokelat dan kelapa cukup murah serta pendapatan yang
diperoleh dari hasil penjualan kedua jenis buah tersebut cukup tinggi. Buah
cokelat dapat dipanen setiap minggu apabila musim panen raya tiba sedangkan
jika tidak musim panen raya maka dilakukan pemanenan 1 kali setiap 6 bulan.
Harga jual biji cokelat adalah Rp 15 000 – Rp 19 000/kg. Buah kelapa dipanen
oleh masyarakat setiap 2 bulan sekali dengan harga jual sekitar Rp 2 600-Rp 3
000/butir. Jumlah buah kelapa yang berhasil dijual oleh masyarakat tergantung
dengan luasan lahan kelapa yang dimiliki.
Berdasarkan Gambar 4, jumlah masyarakat tiap pekerjaan utama terutama
petani, peternak, dan pegawai swasta meningkat pada tahun 2013. Hal ini diduga
karena adanya peminjaman lahan pertanian, penambahan jenis komoditas ternak,
dan penambahan lapangan pekerjaan di sektor swasta. Bertambahnya jenis
komoditas ternak yang berupa ternak ayam memberikan dampak positif dan
negatif. Dampak positifnya berupa peningkatan lapangan pekerjaan sedangkan
dampak negatifnya adalah meningkatnya populasi lalat. Lalat tersebut aka