Pengaruh Kegiatan Wisata Terhadap Karakteristik Biofisik Ekosistem Gua Di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
PENGARUH KEGIATAN WISATA TERHADAP KARAKTERISTIK
BIOFISIK EKOSISTEM GUA DI TAMAN NASIONAL
BANTIMURUNG BULUSARAUNG
ANUGRO PURWIDIATMOKO
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Kegiatan
Wisata Terhadap Karakteristik Biofisik Ekosistem Gua di Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Anugro Purwidiatmoko
NIM E34100137
ABSTRAK
ANUGRO PURWIDIATMOKO. Pengaruh Kegiatan Wisata Terhadap
Karakteristik Biofisik Ekosistem Gua di Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung. Dibimbing oleh ARZYANA SUNKAR dan YANTO SANTOSA
Gua merupakan salah satu ekosistem unik yang berbeda dari ekosistem lain
karena memiliki keterbatasan sinar matahari, sumber bahan organik, kadar oksigen,
dan iklim mikro. Perubahan kondisi biofisik di dalam gua dapat mempengaruhi
kondisi lingkungan gua, seperti adanya kegiatan wisata di dalam gua. Sehingga
sangat penting bagi pengelola untuk memperhatikan dampak kegiatan wisata
terhadap kondisi biofisik gua dalam perencanaan dan pengembangan gua wisata.
Penelitian ini dilakukan di gua wisata dan gua bukan wisata di dalam kawasan
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung pada bulan Agustus dan September
2014, dengan menggunakan analisis uji t berpasangan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara beberapa karakteristik fisik dengan
karakteristik biologi gua. Panjang lorong gua memiliki hubungan positif dengan
keanekaragaman fauna gua, dan intensitas cahaya dalam gua memiliki hubungan
positif dengan jumlah individu spesies. Hasil analisis uji t berpasangan
menunjukkan tidak ada perubahan parameter gua biofisik sebelum dan setelah
kegiatan wisata, namun terdapat potensi kenaikan di suhu udara. Aktivitas fotografi
dan peralatan pencahayaan dapat mempengaruhi peningkatan suhu udara.
Kata kunci: biofisik, ekosistem gua, pengunjung, wisata
ABSTRACT
ANUGRO PURWIDIATMOKO. Impact of Tourism Activities on Biophysical
Characteristics of Cave Ecosystem in Bantimurung Bulusaraung National Park.
Supervised by ARZYANA SUNKAR and YANTO SANTOSA
Cave is one of the unique ecosystems that are distict due to its limited sunlight,
organic matter, oxygen and microclimate conditions. Changes in the biophysical
conditions in caves could affect the overall cave environment, such as tourism
activities. Therefore, it is very important for the cave manager to consider tourism
activites in their show cave planning and development. This reserach was
conducted inside show and non-show caves in bantimurung-Bulusaraung national
Park from August to September 2014, using paired t-test analysis. Results of the
research showed that some physical characteristics were related with some
biological characteristics of the caves. Cave passage was positively related to the
diversity of cave fauna, and the light intensity inside the caves was related with the
number of individual species. The results of paired t test analysis showed that there
were no changes in biophysical cave parameters before and after tourism activities.
However, there was a potensial rise in air temperature. Photography and the use of
lighting equipment,could affect the rise of air temperature inside the caves.
Keywords : biophysical,cave ecosystems, tourism, tourist
PENGARUH KEGIATAN WISATA TERHADAP KARAKTERISTIK
BIOFISIK EKOSISTEM GUA DI TAMAN NASIONAL
BANTIMURUNG BULUSARAUNG
ANUGRO PURWIDIATMOKO
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Judul Skripsi
Nama
NIM
: Pengaruh Kegiatan Wisata Terhadap Karakteristik Biofisik Ekosistem Gua di
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
: Anugro Purwidiatmoko
: E34100137
Disetujui oleh
Dr Ir Arzyana Sunkar, MSc
Pembimbing I
Tanggal Lulus
3 1 AUG 2015
Prof Dr Ir Yanto Santosa,DEA
Pembimbing II
PRAKATA
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah dan karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Topik yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan pada bulan Agustus sampai September 2014 ini adalah
mengenai gua wisata, dengan judul Pengaruh Kegiatan Wisata Terhadap
Karakteristik Biofisik Ekosistem Gua di Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Arzyana Sunkar, MSc selaku
pembimbing pertama dan Bapak Prof Dr Ir Yanto Santosa, DEA selaku pembimbing
kedua tugas akhir yang telah membimbing dan banyak memberikan saran. Penghargaan
penulis sampaikan kepada Kepala Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
dan para staff yang telah memberikan izin dan kemudahan dalam melakukan penelitian
ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayahanda Purbatinhadi, ibunda
Wuryaningsih, kedua kakak Heryani Purwanita dan Dian Purbaningrum, serta seluruh
keluarga besar Fahutan 47, Nepenthes rafflesiana 47, KPG XVII (Coli, Keong, Bacem,
Ngacay, Brew, dan Kumel), Kost Binaiya, dan Paguyuban Putra Atlas (Patra Atlas),
atas segala doa dan kasih sayangnya sehingga penulisan karya ilmiah ini dapat
terselesaikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2015
Anugro Purwidiatmoko
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN
Latar Belakang
2
2
1
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
2
2
Jenis Data yang Dikumpulkan
3
Alat dan Instrumen
3
Metode Pengumpulan Data
3
Analisis Data
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perbandingan Karakteristik Biofisik Gua
5
5
Karakteristik Kunjungan Wisata Gua Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung
10
Pengaruh Kegiatan Wisata terhadap Biofisik Gua
12
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
14
14
14
15
2
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
Jenis data yang dikumpulkan
Hasil pengukuran panjang lorong, rataan suhu, dan rataan kelembaban
Keanekaragaman jenis fauna gua di gua lokasi penelitian
Jumlah individu setiap jenis fauna gua pada lokasi penelitian
Karakteristik kunjungan gua wisata di Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung
6 Nilai rataan variabel biofisik Rhaphidophora sp
7 Nilai rataan variabel biofisik Heteropoda beroni
8 Nilai rataan variabel biofisik kelelawar
9 Suhu rataan di luar lingkungan gua
10 Hasil uji t berpasangan dari variabel suhu, kelembaban, lux, dan jarak
3
6
9
9
10
12
12
12
13
13
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
Peta koordinat lokasi gua penelitian di Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung
2
Grafik perbandingan intensitas cahaya antara gua wisata dan gua bukan
wisata.
7
Mulut gua a) Gua Batu; b) Gua Mimpi; c) Gua Saripa; d) Gua Batu Depan;
e) Gua Sulaeman; f) Gua Hamid
8
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Karst merupakan bentang alam yang memiliki peran penting sebagai
pemasok air, bahan galian tambang, penghasil sarang burung walet, objek
pariwisata dan sumber penghidupan bagi masyarakat lokal. Menurut Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA), ekosistem
karst merupakan kawasan ekosistem esensial, yaitu ekosistem penyangga
kehidupan yang memiliki keunikan dan atau fungsi penting dari habitat dan atau
jenis. Selain itu, ekosistem esensial juga memiliki fungsi sebagai penyedia jasa air.
Hal tersebut menunjukkan bahwa karst memiliki nilai ekologi dan ekonomi bagi
masyarakat di sekitarnya.
Gua merupakan salah satu ekosistem ciri khas kawasan karst yang terbentuk
dari proses karstifikasi pada batuan kapur. Keterbatasan yang dimiliki ekosistem
gua terkait sinar matahari, sumber bahan organik, kadar oksigen, dan iklim mikro
yang relatif stabil baik temperatur, kelembaban, kandungan karbondioksida dan
oksigen, sehingga kehidupan di dalam gua sangat rentan terhadap adanya
perubahan (Rahmadi dan Suhardjono 2007). Rentannya lingkungan gua
mengharuskan pengelolaan gua sebagai obyek wisata harus, untuk memperhatikan
kondisi ekologi gua dalam perencanaan dan pengembangan gua wisata dan wisata
gua.
Kondisi lingkungan gua yang berbeda dengan lingkungan di luar gua juga
menjadikan pengelolaan wisata gua tidak dapat disamakan dengan pengelolaan
wisata pada umumnya. Pengelolaan wisata gua lebih mengutamakan teknik
pengelolaan lingkungan yang sesuai dengan mempertimbangkan kondisi gua yang
rentan terhadap aktivitas manusia (de Freitas 2010; Sunkar 2014). Pengelolaan yang
tidak sesuai akan berdampak langsung pada ekosistem gua, seperti yang terjadi di
Gua Maquine, Brazil, yang berakibat pada rusaknya ornamen gua, sedimen dan
permukaan batu akibat masalah dari instalasi, pemeliharaan, dan pengoprasian
infrastruktur dan manajemen arus pengunjung (Alt dan Moura 2013)
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh aktivitas
pengunjung terhadap kondisi di dalam gua (Bosch et al.1997; Hoyos et al. 1998;
Barciova et al., 2010). Cahaya lampu penerangan ataupun suhu tubuh penggunjung,
dapat meningkatkan energi di dalam gua (Cigna 1993). Intensitas cahaya lampu
penerangan dapat mengganggu keberadaan fauna gua seperti kelelawar, terutama
untuk kelelawar betina pada masa berkembangbiak, karena kelelawar
menghabiskan energi untuk merespon cahaya yang datang dan tidak dapat
memenuhi kebutuhan untuk anak maupun betina tersebut (Mann et al. 2002).
Karst Maros-Pangkep di Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu
kawasan karst tropika terluas di Indonesia dan dikenal memiliki keunikan lanskap
dan gua yang bervariasi. Gua-gua Maros terkenal dengan ukurannya yang besar dan
terpanjang di Asia Tenggara dengan dekorasi terindah (Expedition Thai-Maros
1985 diacu dalam Suhardjono et al. 2012). Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung (TN Babul) merupakan bagian dari kawasan Karst Maros-Pangkep.
Sebagai kawasan konservasi, TN Babul harus mampu meminimalisir dampak yang
2
ditimbulkan dari kegiatan wisata. Sampai saat ini, di Indonesia belum ada pustaka
yang meninjau secara khusus mengenai pengaruh kegiatan wisata terhadap biofisik
gua. Oleh karena itu, penelitian ini penting dilakukan sebagai bahan pertimbangan
dalam pengambilan kebijakan untuk pengelolaan gua wisata yang berkelanjutan.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Mengidentifikasi karakteristik biofisik gua wisata
2. Mengidentifikasi aktivitas pengunjung gua wisata.
3. Mengidentifikasi dan menentukan peubah-peubah yang terpengaruh oleh
kegiatan wisata.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan bermanfaat untuk memberikan informasi
mengenai pengaruh kegiatan wisata terhadap biofisik gua karst dan peubah-peubah
yang mempengaruhinya. Informasi tersebut akan menjadi data awal dalam
monitoring pengelolaan ekosistem gua terhadap dampak kegiatan wisata. Selain itu,
penelitian ini akan bermanfaat sebagain bahan informasi dalam pendugaan adanya
perubahan biofisik gua akibat kegiatan wisata gua.
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di TN Bantimurung Bulusaraung, Karst Maros,
Sulawesi Selatan. Gua yang dijadikan sebagai objek penelitian adalah 3 gua wisata
dan 3 gua bukan wisata. Lokasi gua bukan wisata dipilih untuk membandingkan
karakteristik biofik di dalam gua. Lokasi gua bukan wisata yang diambil juga tidak
terlalu jauh dari lolasi gua wisata.
Gambar 1 Peta koordinat lokasi gua penelitian di Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung
3
Gua wisata yang dijadikan obyek penelitian adalah Gua Batu, Gua Saripa,
dan Gua Mimpi/Istani Toakala. Sedangkan gua bukan-wisata yaitu Gua Sulaeman,
Gua Batu Depan, dan Gua Hamid. Koordinat lokasi gua penelitian disajikan pada
Gambar 1. Penelitian dilakukan pada bulan 19 Agustus 2014 hingga 17 September
2014.
Jenis Data yang Dikumpulkan
Jenis data yang dikumpulkan selama penelitian disajikan dalam Tabel 1 di
bawah ini.
No Jenis Data
1 Pengelola
2
Pengunjung
3
Fisik gua
4
Fauna gua
5
Iklim mikro
Tabel 1 Jenis data yang dikumpulkan
Data yang diambil
Metode
Wawancara
Sejarah pengelolaan
Jenis wisata
Pembangunan fasilitas
Volume pengunjung
Wawancara
Karakteristik
dan observasi
pengunjung
Aktivitas pengunjung
dan pemandu wisata
Pengukuran
Koordinat gua
langsung
Panjang gua
Lebar gua
Tinggi gua
Inventarisasi
Nama jenis
Substrat
Lokasi ditemukan
Pengukuran
Suhu
langsung
Kelembaban
Intensitas cahaya
Sumber Data
Pengelola gua
wisata
Pengunjung dan
pemandu wisata
Lokasi gua yang
diamati
Lokasi gua yang
diamati
Lokasi gua yang
diamati
Alat dan Instrumen
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: alat penelusuran gua (helm,
headlamp, coverall, sarung tangan, sepatu boot), GPS, jam tangan, recorder,
kompas, klinometer, meteran gulung, meteran jahit, termometer (Dry wet),
luxmeter, alat tulis dan kamera. Sedangkan instrumen ynag digunakan adalah
kuesioner.
Metode Pengumpulan Data
Wawancara
Wawancara dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam
(in-depth interview) dengan Kepala Resort dan PEH (Pengendali Ekosistem Hutan)
Balai TN Babul, Dinas Pariwisata, dan pemandu wisata. Wawancara dilakukan
secara fleksibel tetapi fokus kepada data yang akan diambil. Convenient sampling
4
digunakan untuk menentukan responden (pengunjung gua wisata), yang
menghasilkan sebanyak 63 responden. Penggunaan convenient sampling pada
penelitian ini didasari pada kesediaan pengunjung untuk menjawab kuesioner. Pada
umumnya, pengunjung datang dengan tujuan rekreasi sehingga tidak semua
memiliki banyak waktu untuk di wawancara atau mengisi kuesioner. Teknik
convenient sampling merupakan teknik pengambilan sampling berdasarkan
kesediaan dan kenyamanan responden yang diwawancarai.
Observasi
Metode observasi dilakukan dengan cara mengumpulkan data berdasarkan
pada pengamatan langsung terhadap aktivitas pemandu wisata dan pengunjung di
dalam gua. Data yang dikumpulkan melalui metode observasi ini digunakan untuk
memperkuat data aktivitas pengunjung hasil wawancara terhadap pemandu wisata
dan pengunjung wisata gua.
Inventarisasi fauna gua
Cara kerja dalam inventarisasi fauna gua yang dilakukan adalah sebagai
berikut:
1. Penelusuran dilakukan oleh beberapa orang selaku tim surveyor.
2. Pencarian dan pengambilan spesies dilakukan di sepanjang lorong gua
serta tempat-tempat di dalam gua seperti ceruk, ornamen-ornamen gua,
dan langit-langit gua.
3. Pengukuran dilakukan pada spesies yang ditemukan dan dicatat dalam
tallysheet.
4. Spesies yang berukuran besar diambil dengan cara manual (tangan)
ataupun dengan pinset. Sedangkan spesies yang berukuran kecil diambil
dengan menggunakan kuas, kemudian dimasukkan ke dalam plastik
specimen.
5. Pengambilan foto dilakukan untuk dokumentasi atau identifikasi lanjut.
6. Pengidentifikasian spesies dilakukan dengan mencocokkan dengan
fieldguide atau informasi dari LIPI.
Pengukuran langsung
Parameter fisik gua yang diukur adalah jarak fauna gua dari pintu gua, suhu,
kelembaban, dan intensitas cahaya. Pengukuran biofisik sebelum kegiatan wisata
dilakukan pada pukul 09.00 WITA dan setelah wisata dilakukan pada pukul 14.00
WITA. Pengukuran jarak dilakukan dengan menggunakan meteran gulung. Jarak
yang diukur adalah posisi fauna gua dari mulut gua. Pengukuran suhu dan
kelembaban dilakukan dengan menggunakan termometer bola kering dan bola
basah (Dry Wet) pada setiap lokasi fauna gua ditemukan. Nilai kelembaban
diperoleh dari nilai selisih bola kering dan bola basah. Sedangkan intensitas cahaya
pada lokasi fauna gua yang ditemukan diukur dengan menggunakan luxmeter.
Analisis Data
Analisis uji t berpasangan
Analisis uji t berpasangan (paired t-test) dilakukan untuk mengetahui
pengaruh kegiatan wisata gua terhadap karakteristik biofisik gua (suhu, kelembaban,
5
intensitas cahaya, dan jarak). Variabel yang akan dibandingkan adalah karakteristik
biofisik sebelum dan sesudah kegiatan wisata. Tahapan uji hubungan parameter
dengan uji t berpasangan (t) adalah sebagai berikut:
1. Hipotesis :
H0 : tidak terdapat perbedaan karakteristik biofisik antara gua sebelum wisata
dengan gua setelah wisata.
H1 : Terdapat perbedaan karakteristik biofisik gua antara gua sebelum wisata
dengan gua setelah wisata
2. Kriteria Pengujian
Jika t hitung = t tabel (tolak H1, terima H0) berarti tidak terdapat pengaruh
pada karakteristik biofisik gua pada gua yang belum dijadikan obyek wisata dan
yang sudah dijadikan obyek wisata. Sedangkan jika t hitung > t tabel (tolak H0,
terima H1) berarti terdapat perbedaan karakteristik biofisik gua pada gua sebelum
wisata dan gua setelah wisata. Dimana, a = 0,05 (5%) dengan tingkat keyakinan
95%.
3. Rumus
� =
Dimana :
Keterangan
�
̅̅̅
�− �
��
⁄
√�
∑�
̅̅̅̅
�
� = n
:D
n
�̅
��
�� = √
�−
{∑ � −
= Nilai selisih � dan �
= Jumlah sampel gua
= Rata-rata x
= Standar deviasi dari d
∑� 2
�
}
Analisis deskriptif
Analisis deskriptif dilakukan untuk menguraikan data-data yang didapat
sehingga diperoleh gambaran perubahan biofisik gua dengan peubah-peubah yang
mempengaruhinya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perbandingan Karakteristik Biofisik Gua
Karakteristik biofisik dapat memberikan suatu gambaran mengenai kondisi
lingkungan di dalam gua. Kondisi biofisik gua antara gua wisata dengan gua bukan
wisata diperoleh melalui perbandingan karakteristik biofisik Gua Batu, Gua Mimpi,
dan Gua Saripa (gua wisata) dengan Gua Batu Depan, Gua Sulaeman, dan Gua
Hamid (gua bukan wisata).
6
Perbandingan karakteristik fisik
Hasil pengukuran fisik berupa panjang lorong, rataan suhu, dan rataan
kelembaban disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Panjang lorong, rataan suhu, dan rataan kelembaban
Gua Wisata
Gua Bukan wisata
Variabel
Batu
Batu Mimpi
Saripa
Sulaeman Hamid
Depan
Panjang lorong (m)
88.0
686.0 1736.0 194.0
910.0 500.0
0
Suhu ( )
22.4
22.9
25.1
25.6
26.0
23.1
Kelembaban (%)
88.1
90.8
89.9
79
85.1
85.4
Tabel 2 menunjukkan bahwa gua-gua yang diteliti memiliki panjang lorong
yang bervariasi. Kondisi iklim mikro gua pada setiap gua juga berbeda-beda yang
ditentukan oleh tipe batuan, curah hujan, dan proses erosi yang terjadi dalam
pembentukan gua. Air asam (H2O + CO2 = H2CO3) dari air hujan memanfaatkan
setiap celah yang ada pada batuan gamping, secara bertahap melarutkan batuan
dasar dan menciptakan bukaan yang lebih besar sebagai tempat air mengalir
sehingga terbentuk sistem drainase bawah tanah dan gua (Stokes et al. 2010). Oleh
karena itu, panjang atau besar lorong gua akan bergantung pada proses pelarutan
batuan tersebut.
Gua Batu merupakan gua wisata dengan pajang lorong terpendek (panjang
lorong 88 m), dimana sepanjang 60 m sudah difasilitasi jalan beton. Sedangkan
panjang lorong Gua Mimpi merupakan gua fosil yang memiliki panjang lorong
sekitar 686 m yang memiliki dua mulut gua. Gua Saripa memiliki panjang lorong
total 1736 m dengan variasi lorong horizontal dan vertikal serta cabang lorong yang
banyak.
Pengunjung gua wisata dengan tujuan rekreasi lebih memilih kondisi gua
pendek dengan aksesibilitas yang mudah. Sebagai contoh Gua Jatijajar yang
merupakan gua wisata sepanjang ±250 m dengan fasilitas jembatan untuk
mempermudah pengunjung (Asriadi 2010).
Karakteristik fisik lain yang diukur adalah suhu. Gua Mimpi dan Gua Batu
memiliki suhu rataan 22.9oC dan 22.4oC. Pengukuran suhu di dalam Gua Batu dan
Gua Mimpi yang dilakukan oleh Himakova (2007) mendapatkan besaran suhu di
dalam Gua Batu yaitu 24.75 oC dan Gua Mimpi sebesar 25,25 oC. Suhu di dalam
gua dipengaruhi oleh suhu di luar gua. Hal tersebut di dukung oleh Poulson and
White (1969) dalam Whitten et al.(1987) yang menyatakan fluktuasi suhu masih
terjadi pada zona terang dan zona peralihan (lorong yang berada tidak jauh dari
pintu masuk gua. Suhu di luar gua yang terukur pada Gua Batu dan Gua Mimpi
yakni 23.2 oC dan 23.1 oC. Sedangkan suhu di luar gua yang tercatat (Himakova
2007), Gua Batu sebesar 23.4 oC dan Gua Mimpi 24.5 oC. Suhu di luar gua pada
saat dilakukannya penelitian lebih rendah dibandingkan dengan Himakova (2007)
suhu di dalam gua yang diukur oleh Himakova (2007) bisa lebih tinggi dari suhu
yang terukur saat penelitian dilakukan. Tingginya suhu di dalam gua juga dapat
disebabkan oleh aktivitas pengunjung gua.
Jika dibandingkan dengan kondisi gua wisata lain, seperti Gua Jatijajar yang
memiliki suhu rataan sebesar 28.2 oC, gua-gua di daerah tropis cenderung lebih
hangat karena variasi suhunya yang kecil (Asriadi 2010). Pada gua bukan wisata,
7
Gua Sulaeman memiliki suhu yang tertinggi dibandingkan gua bukan wisata
lainnya dengan suhu 26oC.
Pengukuran fisik gua lain yang diukur adalah kelembaban. Kelembaban gua
adalah salah satu aspek penting dari atmosfer gua. Berbeda dengan kondisi di
permukaan, kelembaban di dalam gua biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan
kondisi di luar gua. Menurut Michie (1997), gua biasanya memiliki kelembaban
yang tinggi dan banyak menipis pada siklus harian maupun siklus tahunan.
Gua Mimpi merupakan gua yang memiliki kelembaban tertinggi, yakni
90.8%. Pengukuran kelembaban yang dilakukan sebelumnya oleh Himakova
(2007) mencatat kelembaban Gua Mimpi sebesar 90.25% sehingga tidak terdapat
perbedaan yang tinggi pada kelembaban relatif. Meskipun setiap gua memiliki
kelembaban yang bervariasi, tetapi nilai kelembaban rata-rata gua yang diteliti
masih cukup tinggi. Pada gua wisata lain seperti Gua Jatijajar memiliki kelembaban
tinggi sebesar 89% (Asriadi 2010). Gua pada umumnya memiliki kelembaban
relatif yang tinggi. Pada daerah gua yang dalam, banyak kasus kelembaban relatif
dan absolut cenderung tinggi (mendekati titik jenuh), karena kelembaban yang
terjadi akibat perkolasi pada batu yang membentuk kondensasi air (embun) di
dinding, langit-langit dan ornamen gua (Palmer 2007 diacu dalam Lobo 2012).
Kelembaban rataan terendah terdapat pada Gua Batu Depan (79%). Kelembaban di
gua wisata lebih tinggi karena kondisi di dalam gua yang lebih basah dan banyaknya
genangan air di dalam lorong gua.
Intensitas cahaya juga merupakan salah satu karakteristik fisik yang diukur
dalam penelitian. Gambar 2 menunjukkan intensitas cahaya dari 6 lokasi gua yang
diteliti. Intensitas cahaya yang tinggi dapat dipengaruhi oleh bentuk dari mulut gua.
Bentuk mulut gua dan kontur gua akan mempengaruhi jarak untuk masing-masing
zona di setiap gua (Sierra Nevada Recreation Corporation 2007). Gua Mimpi
merupakan gua yang memiliki intensitas cahaya yang paling tinggi karena memiliki
pintu gua yang cukup luas sehingga memungkinkan cahaya dapat masuk ke dalam
gua dengan mudah.
35.0
A Gua Batu
Intensitas cahaya (lux)
30.0
B Gua Mimpi
25.0
C Gua Saripa
20.0
Gua Batu
Depan
15.0
D
10.0
E Gua Sulaeman
5.0
F Gua Hamid
0.0
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Panjang gua (m)
Gambar 2 Grafik perbandingan intensitas cahaya antara gua wisata dan gua bukan
wisata
Mulut gua (Gambar 3) merupakan daerah yang menghubungkan lingkungan
luar gua dengan lingkungan di dalam gua dan masih mendapatkan cahaya matahari.
8
Jika dibandingkan dengan gua wisata lain, seperti Gua Jatijajar, intensitas cahaya
di Gua Mimpi masih tergolong rendah. Gua Jatijajar memiliki intensitas cahaya
3.63 Klux/m (Asriadi 2010) yang diakubatkan adanya fasilitas berupa lampu
penerangan permanen pada lorong gua.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Gambar 3 Mulut gua: a) Gua Batu; b) Gua Mimpi; c) Gua Saripa; d) Gua Batu
Depan; e) Gua Sulaeman; f) Gua Hamid
Karakteristik biologi
Jumlah jenis
Spesies yang hidup di dalam ekosistem gua mampu beradaptasi dengan
kondisi lingkungan yang berbeda dengan kondisi habitat di luar gua. Gua
menyediakan berbagai macam habitat bagi spesies tertentu, yang beberapa
diantaranya sepenuhnya tergantung pada gua untuk bertahan hidup. Kondisi lorong
yang berbeda-beda sangat menentukan kekayaan fauna di dalam gua karena variasi
habitat berkorelasi positif dengan keanekaragaman fauna gua (Poulson dan Culver
1967 diacu dalam Rahmadi dan Suhardjono., 2007).
Hasil pengamatan (Tabel 3) menunjukkan Gua Saripa memiliki jumlah
spesies yang paling banyak dibandingkan gua lainnya yakni 8 jenis, sedangkan Gua
Batu memiliki jumlah spesies yang paling sedikit dengan 3 jenis. Jumlah total
spesies yang ditemukan di 6 gua yang diteliti berjumlah 11 spesies. Rhaphidophora
sp, Heteropoda beroni, dan kelelawar merupakan spesies yang umum ditemui di
gua wisata maupun di gua bukan wisata.
9
Tabel 3 Keanekaragaman jenis fauna gua di gua lokasi penelitian
Gua Wisata
Gua Bukan Wisata
Jenis
Batu
Batu Mimpi Saripa Depan Sulaeman Hamid
Amblypygy (Charon sp)
√
√
√
√
√
Hypocambala sp
√
√
Ikan buta (Bostrychus sp)
√
Jangkrik gua (Rhaphidophora
sp)
√
√
√
√
√
√
Kelelawar
√
√
√
√
√
Laba-laba (Heteropoda beroni)
√
√
√
√
√
√
Kepiting
√
Katak
√
√
Kupu-kupu
√
Udang
√
Kecoa gua
√
Jumlah
3
5
8
5
6
5
Gua Saripa yang memiliki lorong gua yang terpanjang (1736 m)
memungkinkan terbentuknya variasi habitat yang lebih banyak. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan Graening et al. (2006) mengenai fauna gua di
Buffalo National Rivel yang menunjukkan kekayaan spesies berbanding lurus
dengan panjang lorong gua dan berhubungan dengan faktor-faktor habitat seperti
jenis sumberdaya air dan organik.
Jumlah individu
Fauna yang banyak ditemukan dalam jumlah besar adalah Rhaphidophora sp,
Heteropoda beroni, kelelawar, dan udang (Tabel 4). Udang hanya ditemukan di
Gua Saripa dan dalam jumlah besar. Fauna aquatik hanya ditemukan di Gua Saripa
seperti udang atau ikan buta (Bostrychus sp) dan Gua Batu Depan yakni kepiting.
Tabel 4 Jumlah individu setiap jenis fauna gua pada lokasi penelitian
Jenis
Charon sp
Hypocambala sp
Bostrychus sp
Rhaphidophora sp
Kelelawar
Heteropoda beroni
Kepiting
Katak
Kupu-kupu
Udang
Kecoa gua
Jumlah
Bat
u
0
0
0
2
47
1
0
0
0
0
0
50
Gua Wisata
Mimp
i
Saripa
1
3
2
0
0
1
89
7
54
18
39
12
0
0
0
0
0
1
0
26
0
1
185
69
Gua Bukan Wisata
Batu
Depan Sulaeman Hamid
1
2
1
0
1
0
0
0
0
10
12
15
0
6
6
3
3
8
0
2
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
15
26
31
JƩ
8
3
1
135
131
66
2
2
1
26
1
376
10
Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah individu spesies gua paling banyak
ditemukan di Gua Mimpi. Spesies yang paling sering ditemukan adalah
Rhaphidophora sp. Fauna gua, seperti Rhaphidophora sp bergantung pada makanan
atau nutrisi yang terbawa dari luar ke dalam gua. Kelelawar merupakan salah satu
spesies yang membawa sumber pakan ke dalam gua. Gua-gua yang melimpah
guanonya biasanya didominasi oleh jangkrik dan kaki seribu (Diplopoda) dalam
jumlah yang sangat melimpah (Rahmadi dan Suhardjono 2007). Arthropoda
merupakan spesies penting di dalam ekosistem gua. Arthropoda memiliki populasi
yang tinggi dan peran yang besar dalam jaringan rantai makanan. Salah satu
kontribusi Arthropoda adalah berupa keanekaragaman dan populasi yang tinggi
sehingga membuat keberadaan mereka sangat menentukan (Suhardjono et al.2012).
Hasil pengamatan jumlah individu spesies (Tabel 4) memiliki hubungan
positif dengan intensitas cahaya (Gambar 2) yang masuk ke dalam gua. Intensitas
cahaya yang masuk ke dalam gua ditemukan pada lorong sekitar mulut gua.
Intensitas cahaya sendiri mempengaruhi sumber energi yang ada di dalam gua
termasuk dalam sumber pakan. Tidak adanya energi surya yang masuk ke dalam
gua, akan meningkatkan ketergantungan ekosistem gua pada bahan-bahan organik
yang jatuh, tercuci ataupu terbawa ke dalam gua. (Baker et al 2013).
Rhaphidophora sp dan Heteropoda beroni banyak ditemukan di sekitar zona terang
dan peralihan pada Gua Mimpi, Gua Hamid, Gua Sulaeman dan Gua Batu Depan.
Sumber pakan yang tinggi berpotensi meningkatkan jumlah individu suatu spesies.
Karakteristik Kunjungan Wisata Gua Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung
Aktivitas pengunjung sangat mempengaruhi kondisi perubahan lingkungan
yang terjadi di dalam gua. Kerusakan dapat terjadi akibat pencemaran atau
bertambahnya tingkat energi di dalam gua akibat aktivitas dari wisata (Cigna 2011).
Oleh karena itu, aktivitas pengunjung juga merupakan salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap perubahan biofisik gua. Tabel 5 menunjukkan karakteristik
kunjungan di ketiga gua wisata.
Tabel 5
Karakteristik kunjungan gua wisata di Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung
No
Variabel
1 Aktivitas
Melihat ornamen
Fauna gua
Foto
Budaya
2 Teman seperjalanan
Teman
Keluarga
N
%
52
7
47
16
83%
11%
75%
25%
48
15
76%
24%
No
Variabel
3 Durasi
< 15 menit
15-30 menit
30-60 menit
1-3 jam
> 3 jam
4 Frekuesi
Pertama kali
Pernah
N
%
6
24
30
3
0
10%
38%
48%
5%
0%
56
7
89%
11%
11
Aktivitas pengunjung
Tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian besar pengunjung lebih tertarik
melihat ornamen gua (83%) seperti stalaktit atau stalakmit, dan melakukan aktivitas
fotografi (75%). Hanya beberapa pengunjung yang tertarik terhadap fauna gua
karena keunikannya (11%). Kurangnya minat pengunjung untuk melihat fauna gua,
sebenarnya dapat menurunkan potensi terganggunya habitat fauna gua, tetapi
tingginya aktivitas fotografi di sekitar habitat fauna gua dapat menurunkan kualitas
habitatnya. Cahaya langsung dari flash kamera dapat mengganggu biota yang ada
di dalam gua, seperti kelelawar (NPRSR 2014). Kelelawar merespon cahaya yang
datang dengan terbang, suara, ataupun pada aktivitas koloni (Mann et al. 2002)
Teman seperjalanan
Pengunjung yang datang ke gua, mayoritas merupakan pelajar sehingga
mereka lebih memilih berwisata bersama teman (76%). Pelajar maupun pegawai
negeri sipil (PNS) melakukan wisata bersama teman atau relasinya di sela-sela
liburan. Menurut penelitian yang dilakukan Rachmawati dan Sunkar (2013) pada
gua wisata di Jawa Barat, banyak pelajar yang melakukan wisata di gua wisata
karena biaya yang murah.
Durasi kunjungan
Lama kunjungan di dalam gua yang paling tinggi adalah 30-60 menit (48%).
Lamanya kunjungan di dalam gua menurut Rachmawati dan Sunkar (2013),
dipengaruhi oleh aktivitas pengunjung di dalam gua yang akan bergantung pada
beberapa faktor seperti panjang lorong gua, objek daya tarik, dan pembangunan
yang dilakukan di dalam gua. Semakin panjang lorong gua maka akan semakin
banyak potensi dan daya tarik yang dapat dieksplorasi oleh pengunjung. Gua Batu
merupakan gua wisata dengan panjang lorong terpendek (88 m) sehingga
pengunjung tidak terlalu lama untuk mengeksplorasi gua. Lama kunjungan
terpendek (< 15 menit) seluruhnya merupakan pengunjung Gua Batu dan sekitar
92% (22 pengunjung) lama kunjungan 15-30 menit merupakan pengunjung dari
Gua Batu. Berbeda dengan Gua Saripa yang memiliki lorong panjang (1736 m)
sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama (1-3 jam).
Pengembangan gua wisata akan berpengaruh terhadap aksesibilitas
pengunjung ke dalam gua seperti pembuatan jalan beton ataupun jembatan.
Sebagian besar pengunjung gua wisata dengan tujuan rekreasi tidak puas dengan
kondisi lorong yang sulit karena tujuan mereka berkunjung adalah untuk mencari
kesenangan dan menghilangkan kelelahan rutinitas sehari-hari (Rachmawati dan
Sunkar 2013). Pada Gua Mimpi telah dibangun jembatan kayu yang dapat
memberikan akses lebih mudah dan membuat koridor kepada terhadap fauna gua.
Adanya jembatan sebagai jalur pengunjung untuk masuk ke dalam gua akan
meminimalisir gangguan terhadap fauna gua yang memiliki habitat pada lantai gua
seperti Rhaphidophora sp. Dampak pengunjung yang berjalan di lantai gua dapat
mengakibatkan pengerasan substrat lantai gua yang sangat penting untuk peletakan
telur jangkrik Rhaphidophora sp. Namun, kondisi jembatan kayu yang sudah tidak
layak membuat pengunjung lebih memilih berjalan di lantai gua. Penggunaan
jembatan menggunakan kayu lebih rentan mengalami kerusakan (pelapukan).
Menurut Cigna (2011), pembuatan jalur pengunjung lebih baik menggunakan
bahan seperti plastik ataupun stainless steel.
12
Frekuensi kunjungan
Rata-rata pengunjung baru pertama kali datang ke gua wisata di TN Babul
(89%). Sedangkan pengunjung yang datang lebih dari satu kali lebih mengajak
teman atau keluarga yang belum pernah datang mengunjungi gua.
Pengaruh Kegiatan Wisata terhadap Biofisik Gua
Penelitian yang dilakukan oleh Baker (2002), Barciova et al., (2010), dan
Merritt dan Clarke (2013), menemukan hubungan antara dampak yang ditimbulkan
oleh pengunjung dengan keanekaragaman spesies di dalam gua. Oleh karena itu
dampak kegiatan wisata terhadap fauna gua dapat menjadi salah satu faktor yang
dipertimbangkan untuk mengetahui dampak kegiatan wisata gua.
Dampak aktivitas wisata terhadap habitat fauna gua
Tabel 6-8 menunjukkan data rataan variabel fisik dari Rhaphidophora sp,
Heteropoda beroni, dan kelelawar sebelum dan setelah kegiatan wisata.
Tabel 6 Nilai rataan variabel biofisik Rhaphidophora sp
Rataan
Kelembaban
Intensitas
Suhu (0C)
Jarak (m)
Gua
(%)
cahaya (lux)
BW
TW
BW
TW
BW TW
BW
TW
Gua Batu
22.41 23.52 88.00 88.00 0.50 1.00
34.00
56.00
Gua Mimpi 22.85 23.15 90.81 92.92 0.04 0.08 150.85 216.46
Gua Saripa 25.04 25.12 89.50 82.67 0.17 0.00 154.67
110
Ket: BW = Sebelum wisata, TW = Setelah wisata
Tabel 7 Nilai rataan variabel biofisik Heteropoda beroni
Rataan
Kelembaban
Intensitas
Suhu (0C)
Jarak (m)
Gua
(%)
cahaya (lux)
BW
TW
BW
TW
BW TW
BW
TW
Gua Batu
22.24 23.41 90.00 92.50 1.00 1.00
23.00
46.15
Gua Mimpi 22.90 23.15 90.48 91.00 0.61 2.04 139.23 166.19
Gua Saripa 24.86 25.98 89.40 85.75 0.20 0.25 155.10
88.25
Ket: BW = Sebelum wisata, TW = Setelah wisata
Tabel 8 Nilai rataan variabel biofisik kelelawar
Gua
Suhu (0C)
BW
TW
Rataan
Kelembaban
Intensitas
(%)
cahaya (lux)
BW
TW BW TW
Gua Batu
22.50 23.23 86.75 89.25 1.00
Gua Mimpi 22.98 23.15 90.00 92.27 0.00
Gua Saripa 25.51 25.69 84.00 79.50 2.00
Ket: BW = Sebelum wisata, TW = Setelah wisata
1.00
0.00
0.00
Jarak (m)
BW
TW
27.50 31.10
225.83 237.18
6.00
6.00
13
Uji pengaruh kegiatan wisata terhadap biofisik gua
Adanya pengaruh suhu dari luar gua, maka dilakukan uji t (Tabel 9) terhadap
suhu di luar gua sebelum dan sesudah kegiatan wisata untuk menentukan perubahan
kondisi biofisik akibat kegiatan wisata. Menurut Poulson and White (1969) diacu
dalam Whitten et. al., (1987), fluktuasi suhu masih terjadi pada zona terang dan
zona peralihan.
No
1
2
3
Tabel 9 Suhu rataan di luar lingkungan gua
Suhu
Gua
Sebelum wisata
Setelah wisata
Batu
23.2
22.6
Mimpi
23.1
23.7
Saripa
25.5
25.8
Hasil uji t menunjukkan bahwa suhu di luar gua sebelum dan sesudah
kegiatan wisata tidak berbeda nyata. Hasil uji t yang didapatkan adalah t hitung =
0.28 dengan t tabel = 4.30 pada taraf nyata 0.05, yang berarti suhu di luar
lingkungan gua tidak berubah selama kegiatan wisata dilakukan. Hasil ini
mengindikasikan bahwa perubahan kondisi biofisik di dalam gua selama aktivitas
wisata berlangsung disebabkan oleh aktivitas pengunjung. Hasil pengujian
perubahan kondisi biofisik gua menggunakan uji t berpasangan (Tabel 10) pada
taraf nyata 0,05 (Ttabel = 4.30), mengindikasikan tidak adanya perubahan kondisi
biofisik gua sebelum dan setelah kegiatan wisata.
Tabel 10 Hasil uji t berpasangan dari variabel suhu, kelembaban, intensitas cahaya,
dan jarak
Uji t
Jenis
Suhu
Kelembaban
Lux
Jarak
Rhaphidophora sp
-1.59
0.58
-0.62
-0.45
Heteropoda beroni
-2.83
0.12
-1.05
0.18
Kelelawar
-1.95
-0.04
1.00
-1.49
Keterangan : ttabel = 4.30
Rekomendasi bagi pengelolaan gua wisata
Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa secara umum, dalam jangka pendek,
kondisi biofisik gua tidak dipengaruhi oleh kegiatan wisata. Namun, penelitian
dengan jangka waktu yang lebih panjang akan mampu menggambarkan perubahan
kondisi biofisik di dalam gua, karena berbagai hasil penelitian menunjukkan adanya
peningkatan suhu dalam jangka panjang sebagai akibat kegiatan wisata. Oleh
karenanya, salah satu faktor yang perlu diperhatikan oleh pengelola adalah
peningkatan suhu. Penelitian mengenai aktivitas pengunjung di Gua Marvels,
Spanyol (Bosch et al.1997) menunjukkan bahwa salah satu dampak pengunjung ke
lingkungan gua adalah peningkatan suhu udara yang berdampak serius pada kondisi
fisik gua. Pencahayaan gua bisa meningkatkan panas dan mengeringkan udara
sekitar, sehingga menghambat pertumbuhan ornamen gua (de Freitas 2010).
14
Peningkatan suhu dapat bersumber dari cahaya lampu yang digunakan
ataupun suhu tubuh pengunjung (Cigna 1993). Sehingga semakin banyak frekuensi
dan durasi aktivitas pengunjung di dalam gua akan meningkatkan suhu di dalam
gua. Menurut Cigna (2011), seseorang yang berjalan akan merilis energi hampir
sebanyak bohlam 200 watt pada suhu sekitar 37° C. Selain itu, pemandu wisata di
Gua Batu menggunakan lampu petromak sebagai alat penerangan. Lampu petromak
melepaskan energi panas secara langsung untuk mendapatkan cahaya penerangan.
Meminimalisir dampak dari aktivitas wisata dapat dilakukan pengelola dengan
menggunakan alat penerangan yang lebih ramah lingkungan dapat meminimalisir
terjadinya peningkatan suhu di dalam gua.
Dalam melakukan pengelolaan pemanfaatan gua wisata yang berkelanjutan
terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh pengelola, yaitu
keanekaragaman hayati, sejarah, dan budaya (DENR-PAWB 2008). Oleh karena
itu, sistem monitoring yang dilakukan secara periodik dapat memungkinkan
pengelola untuk menilai dampak perubahan dan memodifikasi strategi manajemen
yang sesuai (de Freitas 2010). Pengelola juga perlu memperhatikan aktivitas dan
kenaikan jumlah pengunjung pada setiap hari kunjungan. Menurut Borges et al.
(2011), kenaikan jumlah pengunjung dapat menjadi masalah jika mekanisme
perlindungan kawasan tidak sesuai dengan daya dukung lingkungan. Menurut
keterangan pihak taman nasional, lonjakan pengunjung tertinggi biasanya terjadi
pada musim libur panjang atau libur hari besar. Oleh karena itu, pengelola tidak
bisa mengabaikan energi yang dilepaskan oleh ratusan pengunjung dalam satu hari
kunjungan. Gua Batu, Gua Mimpi, dan Gua Saripa merupakan gua wisata yang
belum memiliki batasan dalam pengunjung yang dapat memberikan dampak pada
ekosistem di dalam gua saat lonjakan pengunjung tinggi.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Terdapat hubungan antara faktor fisik dengan faktor biologis. Panjang lorong
memiliki hubungan positif dengan jumlah jenis yang ditemukan di dalam gua.
Sedangkan intensitas cahaya memiliki hubungan positif dengan jumlah
individu jenis.
2. Aktivitas yang banyak dilakukan pengunjung adalah melihat ornamen dan
fotografi. Waktu kunjungan di dalam gua rata-rata 30-60 menit. Sebagian besar
pengunjung baru pertama kali datang ke wisata gua wisata di TN Babul.
3. Kegiatan wisata tidak berpengaruh terhadap kondisi biofisik gua wisata.
Kondisi biofisik gua tidak terjadi perubahan secara signifikan pada saat
sebelum adanya kegiatan wisata dan setelah adanya kegiatan wisata. Namun,
perlu diwaspadai adanya potensi peningkatan suhu di dalam gua.
Saran
1. Monitoring secara berkala untuk mengidentifikasi perubahan kondisi biofisik
gua dapat dilakukan untuk mengetahui perbedaan kondisi biofisik gua pada
musim kemarau dan musim penghujan.
15
2. Informasi mengenai data jumlah pengunjung gua wisatasecara periodik dapat
digunakan untuk mengontrol jumlah pengunjung yang masuk ke dalam gua
wisata.
3. Peningkatan suhu dapat dicegah dengan pembatasan pengunjung, tetapi juga
dapat diminimalisir dengan penggunaan alat penerangan yang lebih efisien dan
ramah lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Alt L, Moura V. 2013 Use of Impact Mapping for Plannning The Infrastructure in
Tourist Caves – Case Study: Maquine Cave, Brazil. 20th National Cave and
Karst Management Symposium.
Asriadi A. 2010. Kelimpahan, Sebaran , dan Keanekaragaman Jenis Kelelawar
(Chiroptera) Pada Beberapa Gua dengan Pola Pengelolaan Berbeda Di
Kawasan Karst Gombong Jawa Tengah. Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah. Jakarta
Baker C. 2002. A biological basis for management of glow-worm populations of
ecotourism significance. Queensland.
Baker GM, Steven JT, Shawn T, Rick O, Kathy L, Marie D, Steven CT, Hazel B,
Kurt LH, Rene O et al. 2013. National Park Service Cave Ecology Inventory
and Monitoring Framework. 20th National Cave and Karst Management
Symposium.
Barciova T, Lubomir K, Dana M. 2010. Impact of Tourism Upon Structure and
Diversityof Collembola Assemblages (Hexapoda) – A Case Study of The
Gombasecká Cave, Slovak Karst (Slovakia). Acta Carsologica v. 48, n. 2,
p. 271-283
Beata M, Mucsi L. 2014. Investigation of the spatial and temporal trends of the air
temperature of the Hajnóczy cave in the Bükk mountains. Geographica
Pannonica vol. 18, Issue 3, p. 51-61
Borges MA, Giulia C, Robyn B, Tilman J. 2011. Sustainable tourism and natural
word heritage: priorities for action. Switzerland (CN): International Union
for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN).
Bosch AP, Rosales WM, Chicano ML, Navarro CM, Vallejos A. 1997 Human
Impact in A Tourist Karstic Cave (Aracena, Spain). Environmental Geology
31 (3/4). Springer-Vertag.
Cigna AA. 1993. Environmental management of tourist caves. The examples of
Grotta di Castellana and Grotta Grande del Vento, Italy. Enviromental
Geology, v. 21, n. 3, p. 173-180
Cigna AA. 2011. Show Cave Development with Special References to Active
Caves. Tourist and Karst Areas, 4(1).
de Freitas CR. 2010. The Role and Importance of Cave Microclimate In The
Sustainable Use and Management of Show Caves. Acta Carsologica v. 39,
n. 3, p. 477-489
[DENR] Department of Environment and Natural Resources Republic of the
Philippines. 2008. Caves: A Handbook on Cave Classification for the
Philippines. Philippines.
16
Graening GO, Michael ES, Bitting C. 2006. Cave Fauna of The Buffalo National
River. Journal of Cave and Karst Studies, v. 68, no. 3, p. 153-163
Himakova. 2007. Studi Konservasi Lingkungan.[Laporan Kegiatan]. Himpunan
Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekowisata. Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.
Hoyos M, Soler V, Canaveras JC, Moral SS, Rubio ES. 1998. Microclimatic
characterization of a karstic cave: human impact on microenvironmental
parameters of a prehistoric rock art cave (Candamo Cave, northern Spain).
Environmental Geology 33 (4). Springer-Vertag
Lobo HAS. 2012. Speleoclimate and Its Applications In Tourism Management In
Caves. Journal of Geography Department-USP, Issue 23, p. 27-54.
Mann AL, Steidl RJ, Dalton V. 2002. Effects of Cave Tours on Breeding Myotis
veliver. J. Wildl. Manage. 66 (3)
Merritt DJ, Clarke AK. 2013. The impact of cave lighting on the bioluminescent
display of the Tasmanian glow-worm Arachnocampa tasmaniensis. J. Insect
Conserv. 17:147-153
Michie NA. 1997. An Invstigation of The Climate, Carbon Dioxide and Dust in
Jenolan Caves NSW. [Thesis]. School of Earth Sciences, Macquarie
University.
[NPRSR] National Parks, Recreation, Sport and Racing. 2014. Queensland
Adventure Activity Standards:Recreational Caving. Brisbane: Department
of National Parks, Recreation, Sport and Racing, Queensland Government.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
Rachmawati E, Sunkar A. 2013. Consumer-Based Cave Travel and Tourism Market
Characteristics in West Java, Indonesia. Tourist and Karst Areas, 4(1).
Sunkar A. 2007. Ekosistem Karst dan Gua: Gudangnya Keanekaragaman Hayati
yang Unik. Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong. Cibinong
Rahmadi C, Suhardjono Y. 2007. Arthropoda Gua Di Nusakambangan Cilacap,
Jawa Tengah. Zoo Indonesia Vol. 16(1):21 - 29
Sierra Nevada Recreation Corporation. 2007. Caverns Make Great Classroom:
Cavern Life [Internet]. [diunduh 2015 Mar 17]. Tersedia pada:
www.caverntours.com/Downloads/Cave_Life.pdf
Suhardjono YR, Ristiyanti MM, Anang SA, Nur SI, Pungki L, Agustinus S, Cahyo
R, Sigit W, Hari N, Daisy W, Kurnianingsih. 2012. Fauna Karst dan Gua
Maros, Sulawesi Selatan. Jakarta: LIPI Press
Sunkar A. 2014. Pedoman Sistem Klasifikasi Gua Karst: Kunci Pemanfaatan Gua
Karst Berkelanjutan. Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan. Vol. 1
No. 1: 1-6
Stokes T, Griffiths P, Ramsey C. 2010. Karst geomorphology, Hydrology, and
Management. Compendium of Forest Hydrology and Geomorphology in
British Columbia.
Whitten JA, Mustafa M, Henderson GS. 1987. The Ecology of Sulawesi. Gadjah
Mada University Press: Yogyakarta.
Williams P. 2008. Worl Heritage Caves and Karst. IUCN: Gland, Switzerland
17
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ungaran pada tanggal 2 Januari 1992 dari pasangan
Purbatinhadi dan Wuryaningsih. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara.
Penulis menempuh jenjang pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Ungaran pada
tahun 2007-2010. Pada tahun 2010, penulis diterima di Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB)
melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
Selama masa perkuliahan, penulis mengikuti organisasi kemahasiswaan yaitu
Kelompok Pemerhati Gua (KPG) sebagai ketua KPG (2012/2013) dan anggota
Kelompok Pemerhati Kupu-kupu (KPK) Himpunan Mahasiswa Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (Himakova). Bersama Himakova, penulis mengikuti
kegiatan Eksplorasi Fauna, Flora, dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) di Cagar
Alam Sukawayana, Sukabumi (2012). Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) di
Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (2012) dan Taman Nasional Manusela (2013).
Penulis melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Taman
Nasional Gunung Ciremai dan KPH Indramayu pada tahun 2012, Praktek Pengelolaan
Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat pada tahun 2013, dan Praktek Kerja
Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Gunung Rinjani pada tahun 2014. Untuk
memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis melakukan penelitian skripsi
dengan judul Pengaruh Kegiatan Wisata Terhadap Karakteristik Biofisik Ekosistem
Gua di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung di bawah bimbingan Dr Ir
Arzyana Sunkar, MSc dan Prof Dr Ir Yanto Santosa, DEA.
BIOFISIK EKOSISTEM GUA DI TAMAN NASIONAL
BANTIMURUNG BULUSARAUNG
ANUGRO PURWIDIATMOKO
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Kegiatan
Wisata Terhadap Karakteristik Biofisik Ekosistem Gua di Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Anugro Purwidiatmoko
NIM E34100137
ABSTRAK
ANUGRO PURWIDIATMOKO. Pengaruh Kegiatan Wisata Terhadap
Karakteristik Biofisik Ekosistem Gua di Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung. Dibimbing oleh ARZYANA SUNKAR dan YANTO SANTOSA
Gua merupakan salah satu ekosistem unik yang berbeda dari ekosistem lain
karena memiliki keterbatasan sinar matahari, sumber bahan organik, kadar oksigen,
dan iklim mikro. Perubahan kondisi biofisik di dalam gua dapat mempengaruhi
kondisi lingkungan gua, seperti adanya kegiatan wisata di dalam gua. Sehingga
sangat penting bagi pengelola untuk memperhatikan dampak kegiatan wisata
terhadap kondisi biofisik gua dalam perencanaan dan pengembangan gua wisata.
Penelitian ini dilakukan di gua wisata dan gua bukan wisata di dalam kawasan
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung pada bulan Agustus dan September
2014, dengan menggunakan analisis uji t berpasangan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara beberapa karakteristik fisik dengan
karakteristik biologi gua. Panjang lorong gua memiliki hubungan positif dengan
keanekaragaman fauna gua, dan intensitas cahaya dalam gua memiliki hubungan
positif dengan jumlah individu spesies. Hasil analisis uji t berpasangan
menunjukkan tidak ada perubahan parameter gua biofisik sebelum dan setelah
kegiatan wisata, namun terdapat potensi kenaikan di suhu udara. Aktivitas fotografi
dan peralatan pencahayaan dapat mempengaruhi peningkatan suhu udara.
Kata kunci: biofisik, ekosistem gua, pengunjung, wisata
ABSTRACT
ANUGRO PURWIDIATMOKO. Impact of Tourism Activities on Biophysical
Characteristics of Cave Ecosystem in Bantimurung Bulusaraung National Park.
Supervised by ARZYANA SUNKAR and YANTO SANTOSA
Cave is one of the unique ecosystems that are distict due to its limited sunlight,
organic matter, oxygen and microclimate conditions. Changes in the biophysical
conditions in caves could affect the overall cave environment, such as tourism
activities. Therefore, it is very important for the cave manager to consider tourism
activites in their show cave planning and development. This reserach was
conducted inside show and non-show caves in bantimurung-Bulusaraung national
Park from August to September 2014, using paired t-test analysis. Results of the
research showed that some physical characteristics were related with some
biological characteristics of the caves. Cave passage was positively related to the
diversity of cave fauna, and the light intensity inside the caves was related with the
number of individual species. The results of paired t test analysis showed that there
were no changes in biophysical cave parameters before and after tourism activities.
However, there was a potensial rise in air temperature. Photography and the use of
lighting equipment,could affect the rise of air temperature inside the caves.
Keywords : biophysical,cave ecosystems, tourism, tourist
PENGARUH KEGIATAN WISATA TERHADAP KARAKTERISTIK
BIOFISIK EKOSISTEM GUA DI TAMAN NASIONAL
BANTIMURUNG BULUSARAUNG
ANUGRO PURWIDIATMOKO
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Judul Skripsi
Nama
NIM
: Pengaruh Kegiatan Wisata Terhadap Karakteristik Biofisik Ekosistem Gua di
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
: Anugro Purwidiatmoko
: E34100137
Disetujui oleh
Dr Ir Arzyana Sunkar, MSc
Pembimbing I
Tanggal Lulus
3 1 AUG 2015
Prof Dr Ir Yanto Santosa,DEA
Pembimbing II
PRAKATA
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah dan karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Topik yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan pada bulan Agustus sampai September 2014 ini adalah
mengenai gua wisata, dengan judul Pengaruh Kegiatan Wisata Terhadap
Karakteristik Biofisik Ekosistem Gua di Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Arzyana Sunkar, MSc selaku
pembimbing pertama dan Bapak Prof Dr Ir Yanto Santosa, DEA selaku pembimbing
kedua tugas akhir yang telah membimbing dan banyak memberikan saran. Penghargaan
penulis sampaikan kepada Kepala Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
dan para staff yang telah memberikan izin dan kemudahan dalam melakukan penelitian
ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayahanda Purbatinhadi, ibunda
Wuryaningsih, kedua kakak Heryani Purwanita dan Dian Purbaningrum, serta seluruh
keluarga besar Fahutan 47, Nepenthes rafflesiana 47, KPG XVII (Coli, Keong, Bacem,
Ngacay, Brew, dan Kumel), Kost Binaiya, dan Paguyuban Putra Atlas (Patra Atlas),
atas segala doa dan kasih sayangnya sehingga penulisan karya ilmiah ini dapat
terselesaikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2015
Anugro Purwidiatmoko
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN
Latar Belakang
2
2
1
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
2
2
Jenis Data yang Dikumpulkan
3
Alat dan Instrumen
3
Metode Pengumpulan Data
3
Analisis Data
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perbandingan Karakteristik Biofisik Gua
5
5
Karakteristik Kunjungan Wisata Gua Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung
10
Pengaruh Kegiatan Wisata terhadap Biofisik Gua
12
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
14
14
14
15
2
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
Jenis data yang dikumpulkan
Hasil pengukuran panjang lorong, rataan suhu, dan rataan kelembaban
Keanekaragaman jenis fauna gua di gua lokasi penelitian
Jumlah individu setiap jenis fauna gua pada lokasi penelitian
Karakteristik kunjungan gua wisata di Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung
6 Nilai rataan variabel biofisik Rhaphidophora sp
7 Nilai rataan variabel biofisik Heteropoda beroni
8 Nilai rataan variabel biofisik kelelawar
9 Suhu rataan di luar lingkungan gua
10 Hasil uji t berpasangan dari variabel suhu, kelembaban, lux, dan jarak
3
6
9
9
10
12
12
12
13
13
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
Peta koordinat lokasi gua penelitian di Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung
2
Grafik perbandingan intensitas cahaya antara gua wisata dan gua bukan
wisata.
7
Mulut gua a) Gua Batu; b) Gua Mimpi; c) Gua Saripa; d) Gua Batu Depan;
e) Gua Sulaeman; f) Gua Hamid
8
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Karst merupakan bentang alam yang memiliki peran penting sebagai
pemasok air, bahan galian tambang, penghasil sarang burung walet, objek
pariwisata dan sumber penghidupan bagi masyarakat lokal. Menurut Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA), ekosistem
karst merupakan kawasan ekosistem esensial, yaitu ekosistem penyangga
kehidupan yang memiliki keunikan dan atau fungsi penting dari habitat dan atau
jenis. Selain itu, ekosistem esensial juga memiliki fungsi sebagai penyedia jasa air.
Hal tersebut menunjukkan bahwa karst memiliki nilai ekologi dan ekonomi bagi
masyarakat di sekitarnya.
Gua merupakan salah satu ekosistem ciri khas kawasan karst yang terbentuk
dari proses karstifikasi pada batuan kapur. Keterbatasan yang dimiliki ekosistem
gua terkait sinar matahari, sumber bahan organik, kadar oksigen, dan iklim mikro
yang relatif stabil baik temperatur, kelembaban, kandungan karbondioksida dan
oksigen, sehingga kehidupan di dalam gua sangat rentan terhadap adanya
perubahan (Rahmadi dan Suhardjono 2007). Rentannya lingkungan gua
mengharuskan pengelolaan gua sebagai obyek wisata harus, untuk memperhatikan
kondisi ekologi gua dalam perencanaan dan pengembangan gua wisata dan wisata
gua.
Kondisi lingkungan gua yang berbeda dengan lingkungan di luar gua juga
menjadikan pengelolaan wisata gua tidak dapat disamakan dengan pengelolaan
wisata pada umumnya. Pengelolaan wisata gua lebih mengutamakan teknik
pengelolaan lingkungan yang sesuai dengan mempertimbangkan kondisi gua yang
rentan terhadap aktivitas manusia (de Freitas 2010; Sunkar 2014). Pengelolaan yang
tidak sesuai akan berdampak langsung pada ekosistem gua, seperti yang terjadi di
Gua Maquine, Brazil, yang berakibat pada rusaknya ornamen gua, sedimen dan
permukaan batu akibat masalah dari instalasi, pemeliharaan, dan pengoprasian
infrastruktur dan manajemen arus pengunjung (Alt dan Moura 2013)
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh aktivitas
pengunjung terhadap kondisi di dalam gua (Bosch et al.1997; Hoyos et al. 1998;
Barciova et al., 2010). Cahaya lampu penerangan ataupun suhu tubuh penggunjung,
dapat meningkatkan energi di dalam gua (Cigna 1993). Intensitas cahaya lampu
penerangan dapat mengganggu keberadaan fauna gua seperti kelelawar, terutama
untuk kelelawar betina pada masa berkembangbiak, karena kelelawar
menghabiskan energi untuk merespon cahaya yang datang dan tidak dapat
memenuhi kebutuhan untuk anak maupun betina tersebut (Mann et al. 2002).
Karst Maros-Pangkep di Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu
kawasan karst tropika terluas di Indonesia dan dikenal memiliki keunikan lanskap
dan gua yang bervariasi. Gua-gua Maros terkenal dengan ukurannya yang besar dan
terpanjang di Asia Tenggara dengan dekorasi terindah (Expedition Thai-Maros
1985 diacu dalam Suhardjono et al. 2012). Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung (TN Babul) merupakan bagian dari kawasan Karst Maros-Pangkep.
Sebagai kawasan konservasi, TN Babul harus mampu meminimalisir dampak yang
2
ditimbulkan dari kegiatan wisata. Sampai saat ini, di Indonesia belum ada pustaka
yang meninjau secara khusus mengenai pengaruh kegiatan wisata terhadap biofisik
gua. Oleh karena itu, penelitian ini penting dilakukan sebagai bahan pertimbangan
dalam pengambilan kebijakan untuk pengelolaan gua wisata yang berkelanjutan.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Mengidentifikasi karakteristik biofisik gua wisata
2. Mengidentifikasi aktivitas pengunjung gua wisata.
3. Mengidentifikasi dan menentukan peubah-peubah yang terpengaruh oleh
kegiatan wisata.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan bermanfaat untuk memberikan informasi
mengenai pengaruh kegiatan wisata terhadap biofisik gua karst dan peubah-peubah
yang mempengaruhinya. Informasi tersebut akan menjadi data awal dalam
monitoring pengelolaan ekosistem gua terhadap dampak kegiatan wisata. Selain itu,
penelitian ini akan bermanfaat sebagain bahan informasi dalam pendugaan adanya
perubahan biofisik gua akibat kegiatan wisata gua.
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di TN Bantimurung Bulusaraung, Karst Maros,
Sulawesi Selatan. Gua yang dijadikan sebagai objek penelitian adalah 3 gua wisata
dan 3 gua bukan wisata. Lokasi gua bukan wisata dipilih untuk membandingkan
karakteristik biofik di dalam gua. Lokasi gua bukan wisata yang diambil juga tidak
terlalu jauh dari lolasi gua wisata.
Gambar 1 Peta koordinat lokasi gua penelitian di Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung
3
Gua wisata yang dijadikan obyek penelitian adalah Gua Batu, Gua Saripa,
dan Gua Mimpi/Istani Toakala. Sedangkan gua bukan-wisata yaitu Gua Sulaeman,
Gua Batu Depan, dan Gua Hamid. Koordinat lokasi gua penelitian disajikan pada
Gambar 1. Penelitian dilakukan pada bulan 19 Agustus 2014 hingga 17 September
2014.
Jenis Data yang Dikumpulkan
Jenis data yang dikumpulkan selama penelitian disajikan dalam Tabel 1 di
bawah ini.
No Jenis Data
1 Pengelola
2
Pengunjung
3
Fisik gua
4
Fauna gua
5
Iklim mikro
Tabel 1 Jenis data yang dikumpulkan
Data yang diambil
Metode
Wawancara
Sejarah pengelolaan
Jenis wisata
Pembangunan fasilitas
Volume pengunjung
Wawancara
Karakteristik
dan observasi
pengunjung
Aktivitas pengunjung
dan pemandu wisata
Pengukuran
Koordinat gua
langsung
Panjang gua
Lebar gua
Tinggi gua
Inventarisasi
Nama jenis
Substrat
Lokasi ditemukan
Pengukuran
Suhu
langsung
Kelembaban
Intensitas cahaya
Sumber Data
Pengelola gua
wisata
Pengunjung dan
pemandu wisata
Lokasi gua yang
diamati
Lokasi gua yang
diamati
Lokasi gua yang
diamati
Alat dan Instrumen
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: alat penelusuran gua (helm,
headlamp, coverall, sarung tangan, sepatu boot), GPS, jam tangan, recorder,
kompas, klinometer, meteran gulung, meteran jahit, termometer (Dry wet),
luxmeter, alat tulis dan kamera. Sedangkan instrumen ynag digunakan adalah
kuesioner.
Metode Pengumpulan Data
Wawancara
Wawancara dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam
(in-depth interview) dengan Kepala Resort dan PEH (Pengendali Ekosistem Hutan)
Balai TN Babul, Dinas Pariwisata, dan pemandu wisata. Wawancara dilakukan
secara fleksibel tetapi fokus kepada data yang akan diambil. Convenient sampling
4
digunakan untuk menentukan responden (pengunjung gua wisata), yang
menghasilkan sebanyak 63 responden. Penggunaan convenient sampling pada
penelitian ini didasari pada kesediaan pengunjung untuk menjawab kuesioner. Pada
umumnya, pengunjung datang dengan tujuan rekreasi sehingga tidak semua
memiliki banyak waktu untuk di wawancara atau mengisi kuesioner. Teknik
convenient sampling merupakan teknik pengambilan sampling berdasarkan
kesediaan dan kenyamanan responden yang diwawancarai.
Observasi
Metode observasi dilakukan dengan cara mengumpulkan data berdasarkan
pada pengamatan langsung terhadap aktivitas pemandu wisata dan pengunjung di
dalam gua. Data yang dikumpulkan melalui metode observasi ini digunakan untuk
memperkuat data aktivitas pengunjung hasil wawancara terhadap pemandu wisata
dan pengunjung wisata gua.
Inventarisasi fauna gua
Cara kerja dalam inventarisasi fauna gua yang dilakukan adalah sebagai
berikut:
1. Penelusuran dilakukan oleh beberapa orang selaku tim surveyor.
2. Pencarian dan pengambilan spesies dilakukan di sepanjang lorong gua
serta tempat-tempat di dalam gua seperti ceruk, ornamen-ornamen gua,
dan langit-langit gua.
3. Pengukuran dilakukan pada spesies yang ditemukan dan dicatat dalam
tallysheet.
4. Spesies yang berukuran besar diambil dengan cara manual (tangan)
ataupun dengan pinset. Sedangkan spesies yang berukuran kecil diambil
dengan menggunakan kuas, kemudian dimasukkan ke dalam plastik
specimen.
5. Pengambilan foto dilakukan untuk dokumentasi atau identifikasi lanjut.
6. Pengidentifikasian spesies dilakukan dengan mencocokkan dengan
fieldguide atau informasi dari LIPI.
Pengukuran langsung
Parameter fisik gua yang diukur adalah jarak fauna gua dari pintu gua, suhu,
kelembaban, dan intensitas cahaya. Pengukuran biofisik sebelum kegiatan wisata
dilakukan pada pukul 09.00 WITA dan setelah wisata dilakukan pada pukul 14.00
WITA. Pengukuran jarak dilakukan dengan menggunakan meteran gulung. Jarak
yang diukur adalah posisi fauna gua dari mulut gua. Pengukuran suhu dan
kelembaban dilakukan dengan menggunakan termometer bola kering dan bola
basah (Dry Wet) pada setiap lokasi fauna gua ditemukan. Nilai kelembaban
diperoleh dari nilai selisih bola kering dan bola basah. Sedangkan intensitas cahaya
pada lokasi fauna gua yang ditemukan diukur dengan menggunakan luxmeter.
Analisis Data
Analisis uji t berpasangan
Analisis uji t berpasangan (paired t-test) dilakukan untuk mengetahui
pengaruh kegiatan wisata gua terhadap karakteristik biofisik gua (suhu, kelembaban,
5
intensitas cahaya, dan jarak). Variabel yang akan dibandingkan adalah karakteristik
biofisik sebelum dan sesudah kegiatan wisata. Tahapan uji hubungan parameter
dengan uji t berpasangan (t) adalah sebagai berikut:
1. Hipotesis :
H0 : tidak terdapat perbedaan karakteristik biofisik antara gua sebelum wisata
dengan gua setelah wisata.
H1 : Terdapat perbedaan karakteristik biofisik gua antara gua sebelum wisata
dengan gua setelah wisata
2. Kriteria Pengujian
Jika t hitung = t tabel (tolak H1, terima H0) berarti tidak terdapat pengaruh
pada karakteristik biofisik gua pada gua yang belum dijadikan obyek wisata dan
yang sudah dijadikan obyek wisata. Sedangkan jika t hitung > t tabel (tolak H0,
terima H1) berarti terdapat perbedaan karakteristik biofisik gua pada gua sebelum
wisata dan gua setelah wisata. Dimana, a = 0,05 (5%) dengan tingkat keyakinan
95%.
3. Rumus
� =
Dimana :
Keterangan
�
̅̅̅
�− �
��
⁄
√�
∑�
̅̅̅̅
�
� = n
:D
n
�̅
��
�� = √
�−
{∑ � −
= Nilai selisih � dan �
= Jumlah sampel gua
= Rata-rata x
= Standar deviasi dari d
∑� 2
�
}
Analisis deskriptif
Analisis deskriptif dilakukan untuk menguraikan data-data yang didapat
sehingga diperoleh gambaran perubahan biofisik gua dengan peubah-peubah yang
mempengaruhinya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perbandingan Karakteristik Biofisik Gua
Karakteristik biofisik dapat memberikan suatu gambaran mengenai kondisi
lingkungan di dalam gua. Kondisi biofisik gua antara gua wisata dengan gua bukan
wisata diperoleh melalui perbandingan karakteristik biofisik Gua Batu, Gua Mimpi,
dan Gua Saripa (gua wisata) dengan Gua Batu Depan, Gua Sulaeman, dan Gua
Hamid (gua bukan wisata).
6
Perbandingan karakteristik fisik
Hasil pengukuran fisik berupa panjang lorong, rataan suhu, dan rataan
kelembaban disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Panjang lorong, rataan suhu, dan rataan kelembaban
Gua Wisata
Gua Bukan wisata
Variabel
Batu
Batu Mimpi
Saripa
Sulaeman Hamid
Depan
Panjang lorong (m)
88.0
686.0 1736.0 194.0
910.0 500.0
0
Suhu ( )
22.4
22.9
25.1
25.6
26.0
23.1
Kelembaban (%)
88.1
90.8
89.9
79
85.1
85.4
Tabel 2 menunjukkan bahwa gua-gua yang diteliti memiliki panjang lorong
yang bervariasi. Kondisi iklim mikro gua pada setiap gua juga berbeda-beda yang
ditentukan oleh tipe batuan, curah hujan, dan proses erosi yang terjadi dalam
pembentukan gua. Air asam (H2O + CO2 = H2CO3) dari air hujan memanfaatkan
setiap celah yang ada pada batuan gamping, secara bertahap melarutkan batuan
dasar dan menciptakan bukaan yang lebih besar sebagai tempat air mengalir
sehingga terbentuk sistem drainase bawah tanah dan gua (Stokes et al. 2010). Oleh
karena itu, panjang atau besar lorong gua akan bergantung pada proses pelarutan
batuan tersebut.
Gua Batu merupakan gua wisata dengan pajang lorong terpendek (panjang
lorong 88 m), dimana sepanjang 60 m sudah difasilitasi jalan beton. Sedangkan
panjang lorong Gua Mimpi merupakan gua fosil yang memiliki panjang lorong
sekitar 686 m yang memiliki dua mulut gua. Gua Saripa memiliki panjang lorong
total 1736 m dengan variasi lorong horizontal dan vertikal serta cabang lorong yang
banyak.
Pengunjung gua wisata dengan tujuan rekreasi lebih memilih kondisi gua
pendek dengan aksesibilitas yang mudah. Sebagai contoh Gua Jatijajar yang
merupakan gua wisata sepanjang ±250 m dengan fasilitas jembatan untuk
mempermudah pengunjung (Asriadi 2010).
Karakteristik fisik lain yang diukur adalah suhu. Gua Mimpi dan Gua Batu
memiliki suhu rataan 22.9oC dan 22.4oC. Pengukuran suhu di dalam Gua Batu dan
Gua Mimpi yang dilakukan oleh Himakova (2007) mendapatkan besaran suhu di
dalam Gua Batu yaitu 24.75 oC dan Gua Mimpi sebesar 25,25 oC. Suhu di dalam
gua dipengaruhi oleh suhu di luar gua. Hal tersebut di dukung oleh Poulson and
White (1969) dalam Whitten et al.(1987) yang menyatakan fluktuasi suhu masih
terjadi pada zona terang dan zona peralihan (lorong yang berada tidak jauh dari
pintu masuk gua. Suhu di luar gua yang terukur pada Gua Batu dan Gua Mimpi
yakni 23.2 oC dan 23.1 oC. Sedangkan suhu di luar gua yang tercatat (Himakova
2007), Gua Batu sebesar 23.4 oC dan Gua Mimpi 24.5 oC. Suhu di luar gua pada
saat dilakukannya penelitian lebih rendah dibandingkan dengan Himakova (2007)
suhu di dalam gua yang diukur oleh Himakova (2007) bisa lebih tinggi dari suhu
yang terukur saat penelitian dilakukan. Tingginya suhu di dalam gua juga dapat
disebabkan oleh aktivitas pengunjung gua.
Jika dibandingkan dengan kondisi gua wisata lain, seperti Gua Jatijajar yang
memiliki suhu rataan sebesar 28.2 oC, gua-gua di daerah tropis cenderung lebih
hangat karena variasi suhunya yang kecil (Asriadi 2010). Pada gua bukan wisata,
7
Gua Sulaeman memiliki suhu yang tertinggi dibandingkan gua bukan wisata
lainnya dengan suhu 26oC.
Pengukuran fisik gua lain yang diukur adalah kelembaban. Kelembaban gua
adalah salah satu aspek penting dari atmosfer gua. Berbeda dengan kondisi di
permukaan, kelembaban di dalam gua biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan
kondisi di luar gua. Menurut Michie (1997), gua biasanya memiliki kelembaban
yang tinggi dan banyak menipis pada siklus harian maupun siklus tahunan.
Gua Mimpi merupakan gua yang memiliki kelembaban tertinggi, yakni
90.8%. Pengukuran kelembaban yang dilakukan sebelumnya oleh Himakova
(2007) mencatat kelembaban Gua Mimpi sebesar 90.25% sehingga tidak terdapat
perbedaan yang tinggi pada kelembaban relatif. Meskipun setiap gua memiliki
kelembaban yang bervariasi, tetapi nilai kelembaban rata-rata gua yang diteliti
masih cukup tinggi. Pada gua wisata lain seperti Gua Jatijajar memiliki kelembaban
tinggi sebesar 89% (Asriadi 2010). Gua pada umumnya memiliki kelembaban
relatif yang tinggi. Pada daerah gua yang dalam, banyak kasus kelembaban relatif
dan absolut cenderung tinggi (mendekati titik jenuh), karena kelembaban yang
terjadi akibat perkolasi pada batu yang membentuk kondensasi air (embun) di
dinding, langit-langit dan ornamen gua (Palmer 2007 diacu dalam Lobo 2012).
Kelembaban rataan terendah terdapat pada Gua Batu Depan (79%). Kelembaban di
gua wisata lebih tinggi karena kondisi di dalam gua yang lebih basah dan banyaknya
genangan air di dalam lorong gua.
Intensitas cahaya juga merupakan salah satu karakteristik fisik yang diukur
dalam penelitian. Gambar 2 menunjukkan intensitas cahaya dari 6 lokasi gua yang
diteliti. Intensitas cahaya yang tinggi dapat dipengaruhi oleh bentuk dari mulut gua.
Bentuk mulut gua dan kontur gua akan mempengaruhi jarak untuk masing-masing
zona di setiap gua (Sierra Nevada Recreation Corporation 2007). Gua Mimpi
merupakan gua yang memiliki intensitas cahaya yang paling tinggi karena memiliki
pintu gua yang cukup luas sehingga memungkinkan cahaya dapat masuk ke dalam
gua dengan mudah.
35.0
A Gua Batu
Intensitas cahaya (lux)
30.0
B Gua Mimpi
25.0
C Gua Saripa
20.0
Gua Batu
Depan
15.0
D
10.0
E Gua Sulaeman
5.0
F Gua Hamid
0.0
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Panjang gua (m)
Gambar 2 Grafik perbandingan intensitas cahaya antara gua wisata dan gua bukan
wisata
Mulut gua (Gambar 3) merupakan daerah yang menghubungkan lingkungan
luar gua dengan lingkungan di dalam gua dan masih mendapatkan cahaya matahari.
8
Jika dibandingkan dengan gua wisata lain, seperti Gua Jatijajar, intensitas cahaya
di Gua Mimpi masih tergolong rendah. Gua Jatijajar memiliki intensitas cahaya
3.63 Klux/m (Asriadi 2010) yang diakubatkan adanya fasilitas berupa lampu
penerangan permanen pada lorong gua.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Gambar 3 Mulut gua: a) Gua Batu; b) Gua Mimpi; c) Gua Saripa; d) Gua Batu
Depan; e) Gua Sulaeman; f) Gua Hamid
Karakteristik biologi
Jumlah jenis
Spesies yang hidup di dalam ekosistem gua mampu beradaptasi dengan
kondisi lingkungan yang berbeda dengan kondisi habitat di luar gua. Gua
menyediakan berbagai macam habitat bagi spesies tertentu, yang beberapa
diantaranya sepenuhnya tergantung pada gua untuk bertahan hidup. Kondisi lorong
yang berbeda-beda sangat menentukan kekayaan fauna di dalam gua karena variasi
habitat berkorelasi positif dengan keanekaragaman fauna gua (Poulson dan Culver
1967 diacu dalam Rahmadi dan Suhardjono., 2007).
Hasil pengamatan (Tabel 3) menunjukkan Gua Saripa memiliki jumlah
spesies yang paling banyak dibandingkan gua lainnya yakni 8 jenis, sedangkan Gua
Batu memiliki jumlah spesies yang paling sedikit dengan 3 jenis. Jumlah total
spesies yang ditemukan di 6 gua yang diteliti berjumlah 11 spesies. Rhaphidophora
sp, Heteropoda beroni, dan kelelawar merupakan spesies yang umum ditemui di
gua wisata maupun di gua bukan wisata.
9
Tabel 3 Keanekaragaman jenis fauna gua di gua lokasi penelitian
Gua Wisata
Gua Bukan Wisata
Jenis
Batu
Batu Mimpi Saripa Depan Sulaeman Hamid
Amblypygy (Charon sp)
√
√
√
√
√
Hypocambala sp
√
√
Ikan buta (Bostrychus sp)
√
Jangkrik gua (Rhaphidophora
sp)
√
√
√
√
√
√
Kelelawar
√
√
√
√
√
Laba-laba (Heteropoda beroni)
√
√
√
√
√
√
Kepiting
√
Katak
√
√
Kupu-kupu
√
Udang
√
Kecoa gua
√
Jumlah
3
5
8
5
6
5
Gua Saripa yang memiliki lorong gua yang terpanjang (1736 m)
memungkinkan terbentuknya variasi habitat yang lebih banyak. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan Graening et al. (2006) mengenai fauna gua di
Buffalo National Rivel yang menunjukkan kekayaan spesies berbanding lurus
dengan panjang lorong gua dan berhubungan dengan faktor-faktor habitat seperti
jenis sumberdaya air dan organik.
Jumlah individu
Fauna yang banyak ditemukan dalam jumlah besar adalah Rhaphidophora sp,
Heteropoda beroni, kelelawar, dan udang (Tabel 4). Udang hanya ditemukan di
Gua Saripa dan dalam jumlah besar. Fauna aquatik hanya ditemukan di Gua Saripa
seperti udang atau ikan buta (Bostrychus sp) dan Gua Batu Depan yakni kepiting.
Tabel 4 Jumlah individu setiap jenis fauna gua pada lokasi penelitian
Jenis
Charon sp
Hypocambala sp
Bostrychus sp
Rhaphidophora sp
Kelelawar
Heteropoda beroni
Kepiting
Katak
Kupu-kupu
Udang
Kecoa gua
Jumlah
Bat
u
0
0
0
2
47
1
0
0
0
0
0
50
Gua Wisata
Mimp
i
Saripa
1
3
2
0
0
1
89
7
54
18
39
12
0
0
0
0
0
1
0
26
0
1
185
69
Gua Bukan Wisata
Batu
Depan Sulaeman Hamid
1
2
1
0
1
0
0
0
0
10
12
15
0
6
6
3
3
8
0
2
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
15
26
31
JƩ
8
3
1
135
131
66
2
2
1
26
1
376
10
Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah individu spesies gua paling banyak
ditemukan di Gua Mimpi. Spesies yang paling sering ditemukan adalah
Rhaphidophora sp. Fauna gua, seperti Rhaphidophora sp bergantung pada makanan
atau nutrisi yang terbawa dari luar ke dalam gua. Kelelawar merupakan salah satu
spesies yang membawa sumber pakan ke dalam gua. Gua-gua yang melimpah
guanonya biasanya didominasi oleh jangkrik dan kaki seribu (Diplopoda) dalam
jumlah yang sangat melimpah (Rahmadi dan Suhardjono 2007). Arthropoda
merupakan spesies penting di dalam ekosistem gua. Arthropoda memiliki populasi
yang tinggi dan peran yang besar dalam jaringan rantai makanan. Salah satu
kontribusi Arthropoda adalah berupa keanekaragaman dan populasi yang tinggi
sehingga membuat keberadaan mereka sangat menentukan (Suhardjono et al.2012).
Hasil pengamatan jumlah individu spesies (Tabel 4) memiliki hubungan
positif dengan intensitas cahaya (Gambar 2) yang masuk ke dalam gua. Intensitas
cahaya yang masuk ke dalam gua ditemukan pada lorong sekitar mulut gua.
Intensitas cahaya sendiri mempengaruhi sumber energi yang ada di dalam gua
termasuk dalam sumber pakan. Tidak adanya energi surya yang masuk ke dalam
gua, akan meningkatkan ketergantungan ekosistem gua pada bahan-bahan organik
yang jatuh, tercuci ataupu terbawa ke dalam gua. (Baker et al 2013).
Rhaphidophora sp dan Heteropoda beroni banyak ditemukan di sekitar zona terang
dan peralihan pada Gua Mimpi, Gua Hamid, Gua Sulaeman dan Gua Batu Depan.
Sumber pakan yang tinggi berpotensi meningkatkan jumlah individu suatu spesies.
Karakteristik Kunjungan Wisata Gua Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung
Aktivitas pengunjung sangat mempengaruhi kondisi perubahan lingkungan
yang terjadi di dalam gua. Kerusakan dapat terjadi akibat pencemaran atau
bertambahnya tingkat energi di dalam gua akibat aktivitas dari wisata (Cigna 2011).
Oleh karena itu, aktivitas pengunjung juga merupakan salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap perubahan biofisik gua. Tabel 5 menunjukkan karakteristik
kunjungan di ketiga gua wisata.
Tabel 5
Karakteristik kunjungan gua wisata di Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung
No
Variabel
1 Aktivitas
Melihat ornamen
Fauna gua
Foto
Budaya
2 Teman seperjalanan
Teman
Keluarga
N
%
52
7
47
16
83%
11%
75%
25%
48
15
76%
24%
No
Variabel
3 Durasi
< 15 menit
15-30 menit
30-60 menit
1-3 jam
> 3 jam
4 Frekuesi
Pertama kali
Pernah
N
%
6
24
30
3
0
10%
38%
48%
5%
0%
56
7
89%
11%
11
Aktivitas pengunjung
Tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian besar pengunjung lebih tertarik
melihat ornamen gua (83%) seperti stalaktit atau stalakmit, dan melakukan aktivitas
fotografi (75%). Hanya beberapa pengunjung yang tertarik terhadap fauna gua
karena keunikannya (11%). Kurangnya minat pengunjung untuk melihat fauna gua,
sebenarnya dapat menurunkan potensi terganggunya habitat fauna gua, tetapi
tingginya aktivitas fotografi di sekitar habitat fauna gua dapat menurunkan kualitas
habitatnya. Cahaya langsung dari flash kamera dapat mengganggu biota yang ada
di dalam gua, seperti kelelawar (NPRSR 2014). Kelelawar merespon cahaya yang
datang dengan terbang, suara, ataupun pada aktivitas koloni (Mann et al. 2002)
Teman seperjalanan
Pengunjung yang datang ke gua, mayoritas merupakan pelajar sehingga
mereka lebih memilih berwisata bersama teman (76%). Pelajar maupun pegawai
negeri sipil (PNS) melakukan wisata bersama teman atau relasinya di sela-sela
liburan. Menurut penelitian yang dilakukan Rachmawati dan Sunkar (2013) pada
gua wisata di Jawa Barat, banyak pelajar yang melakukan wisata di gua wisata
karena biaya yang murah.
Durasi kunjungan
Lama kunjungan di dalam gua yang paling tinggi adalah 30-60 menit (48%).
Lamanya kunjungan di dalam gua menurut Rachmawati dan Sunkar (2013),
dipengaruhi oleh aktivitas pengunjung di dalam gua yang akan bergantung pada
beberapa faktor seperti panjang lorong gua, objek daya tarik, dan pembangunan
yang dilakukan di dalam gua. Semakin panjang lorong gua maka akan semakin
banyak potensi dan daya tarik yang dapat dieksplorasi oleh pengunjung. Gua Batu
merupakan gua wisata dengan panjang lorong terpendek (88 m) sehingga
pengunjung tidak terlalu lama untuk mengeksplorasi gua. Lama kunjungan
terpendek (< 15 menit) seluruhnya merupakan pengunjung Gua Batu dan sekitar
92% (22 pengunjung) lama kunjungan 15-30 menit merupakan pengunjung dari
Gua Batu. Berbeda dengan Gua Saripa yang memiliki lorong panjang (1736 m)
sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama (1-3 jam).
Pengembangan gua wisata akan berpengaruh terhadap aksesibilitas
pengunjung ke dalam gua seperti pembuatan jalan beton ataupun jembatan.
Sebagian besar pengunjung gua wisata dengan tujuan rekreasi tidak puas dengan
kondisi lorong yang sulit karena tujuan mereka berkunjung adalah untuk mencari
kesenangan dan menghilangkan kelelahan rutinitas sehari-hari (Rachmawati dan
Sunkar 2013). Pada Gua Mimpi telah dibangun jembatan kayu yang dapat
memberikan akses lebih mudah dan membuat koridor kepada terhadap fauna gua.
Adanya jembatan sebagai jalur pengunjung untuk masuk ke dalam gua akan
meminimalisir gangguan terhadap fauna gua yang memiliki habitat pada lantai gua
seperti Rhaphidophora sp. Dampak pengunjung yang berjalan di lantai gua dapat
mengakibatkan pengerasan substrat lantai gua yang sangat penting untuk peletakan
telur jangkrik Rhaphidophora sp. Namun, kondisi jembatan kayu yang sudah tidak
layak membuat pengunjung lebih memilih berjalan di lantai gua. Penggunaan
jembatan menggunakan kayu lebih rentan mengalami kerusakan (pelapukan).
Menurut Cigna (2011), pembuatan jalur pengunjung lebih baik menggunakan
bahan seperti plastik ataupun stainless steel.
12
Frekuensi kunjungan
Rata-rata pengunjung baru pertama kali datang ke gua wisata di TN Babul
(89%). Sedangkan pengunjung yang datang lebih dari satu kali lebih mengajak
teman atau keluarga yang belum pernah datang mengunjungi gua.
Pengaruh Kegiatan Wisata terhadap Biofisik Gua
Penelitian yang dilakukan oleh Baker (2002), Barciova et al., (2010), dan
Merritt dan Clarke (2013), menemukan hubungan antara dampak yang ditimbulkan
oleh pengunjung dengan keanekaragaman spesies di dalam gua. Oleh karena itu
dampak kegiatan wisata terhadap fauna gua dapat menjadi salah satu faktor yang
dipertimbangkan untuk mengetahui dampak kegiatan wisata gua.
Dampak aktivitas wisata terhadap habitat fauna gua
Tabel 6-8 menunjukkan data rataan variabel fisik dari Rhaphidophora sp,
Heteropoda beroni, dan kelelawar sebelum dan setelah kegiatan wisata.
Tabel 6 Nilai rataan variabel biofisik Rhaphidophora sp
Rataan
Kelembaban
Intensitas
Suhu (0C)
Jarak (m)
Gua
(%)
cahaya (lux)
BW
TW
BW
TW
BW TW
BW
TW
Gua Batu
22.41 23.52 88.00 88.00 0.50 1.00
34.00
56.00
Gua Mimpi 22.85 23.15 90.81 92.92 0.04 0.08 150.85 216.46
Gua Saripa 25.04 25.12 89.50 82.67 0.17 0.00 154.67
110
Ket: BW = Sebelum wisata, TW = Setelah wisata
Tabel 7 Nilai rataan variabel biofisik Heteropoda beroni
Rataan
Kelembaban
Intensitas
Suhu (0C)
Jarak (m)
Gua
(%)
cahaya (lux)
BW
TW
BW
TW
BW TW
BW
TW
Gua Batu
22.24 23.41 90.00 92.50 1.00 1.00
23.00
46.15
Gua Mimpi 22.90 23.15 90.48 91.00 0.61 2.04 139.23 166.19
Gua Saripa 24.86 25.98 89.40 85.75 0.20 0.25 155.10
88.25
Ket: BW = Sebelum wisata, TW = Setelah wisata
Tabel 8 Nilai rataan variabel biofisik kelelawar
Gua
Suhu (0C)
BW
TW
Rataan
Kelembaban
Intensitas
(%)
cahaya (lux)
BW
TW BW TW
Gua Batu
22.50 23.23 86.75 89.25 1.00
Gua Mimpi 22.98 23.15 90.00 92.27 0.00
Gua Saripa 25.51 25.69 84.00 79.50 2.00
Ket: BW = Sebelum wisata, TW = Setelah wisata
1.00
0.00
0.00
Jarak (m)
BW
TW
27.50 31.10
225.83 237.18
6.00
6.00
13
Uji pengaruh kegiatan wisata terhadap biofisik gua
Adanya pengaruh suhu dari luar gua, maka dilakukan uji t (Tabel 9) terhadap
suhu di luar gua sebelum dan sesudah kegiatan wisata untuk menentukan perubahan
kondisi biofisik akibat kegiatan wisata. Menurut Poulson and White (1969) diacu
dalam Whitten et. al., (1987), fluktuasi suhu masih terjadi pada zona terang dan
zona peralihan.
No
1
2
3
Tabel 9 Suhu rataan di luar lingkungan gua
Suhu
Gua
Sebelum wisata
Setelah wisata
Batu
23.2
22.6
Mimpi
23.1
23.7
Saripa
25.5
25.8
Hasil uji t menunjukkan bahwa suhu di luar gua sebelum dan sesudah
kegiatan wisata tidak berbeda nyata. Hasil uji t yang didapatkan adalah t hitung =
0.28 dengan t tabel = 4.30 pada taraf nyata 0.05, yang berarti suhu di luar
lingkungan gua tidak berubah selama kegiatan wisata dilakukan. Hasil ini
mengindikasikan bahwa perubahan kondisi biofisik di dalam gua selama aktivitas
wisata berlangsung disebabkan oleh aktivitas pengunjung. Hasil pengujian
perubahan kondisi biofisik gua menggunakan uji t berpasangan (Tabel 10) pada
taraf nyata 0,05 (Ttabel = 4.30), mengindikasikan tidak adanya perubahan kondisi
biofisik gua sebelum dan setelah kegiatan wisata.
Tabel 10 Hasil uji t berpasangan dari variabel suhu, kelembaban, intensitas cahaya,
dan jarak
Uji t
Jenis
Suhu
Kelembaban
Lux
Jarak
Rhaphidophora sp
-1.59
0.58
-0.62
-0.45
Heteropoda beroni
-2.83
0.12
-1.05
0.18
Kelelawar
-1.95
-0.04
1.00
-1.49
Keterangan : ttabel = 4.30
Rekomendasi bagi pengelolaan gua wisata
Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa secara umum, dalam jangka pendek,
kondisi biofisik gua tidak dipengaruhi oleh kegiatan wisata. Namun, penelitian
dengan jangka waktu yang lebih panjang akan mampu menggambarkan perubahan
kondisi biofisik di dalam gua, karena berbagai hasil penelitian menunjukkan adanya
peningkatan suhu dalam jangka panjang sebagai akibat kegiatan wisata. Oleh
karenanya, salah satu faktor yang perlu diperhatikan oleh pengelola adalah
peningkatan suhu. Penelitian mengenai aktivitas pengunjung di Gua Marvels,
Spanyol (Bosch et al.1997) menunjukkan bahwa salah satu dampak pengunjung ke
lingkungan gua adalah peningkatan suhu udara yang berdampak serius pada kondisi
fisik gua. Pencahayaan gua bisa meningkatkan panas dan mengeringkan udara
sekitar, sehingga menghambat pertumbuhan ornamen gua (de Freitas 2010).
14
Peningkatan suhu dapat bersumber dari cahaya lampu yang digunakan
ataupun suhu tubuh pengunjung (Cigna 1993). Sehingga semakin banyak frekuensi
dan durasi aktivitas pengunjung di dalam gua akan meningkatkan suhu di dalam
gua. Menurut Cigna (2011), seseorang yang berjalan akan merilis energi hampir
sebanyak bohlam 200 watt pada suhu sekitar 37° C. Selain itu, pemandu wisata di
Gua Batu menggunakan lampu petromak sebagai alat penerangan. Lampu petromak
melepaskan energi panas secara langsung untuk mendapatkan cahaya penerangan.
Meminimalisir dampak dari aktivitas wisata dapat dilakukan pengelola dengan
menggunakan alat penerangan yang lebih ramah lingkungan dapat meminimalisir
terjadinya peningkatan suhu di dalam gua.
Dalam melakukan pengelolaan pemanfaatan gua wisata yang berkelanjutan
terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh pengelola, yaitu
keanekaragaman hayati, sejarah, dan budaya (DENR-PAWB 2008). Oleh karena
itu, sistem monitoring yang dilakukan secara periodik dapat memungkinkan
pengelola untuk menilai dampak perubahan dan memodifikasi strategi manajemen
yang sesuai (de Freitas 2010). Pengelola juga perlu memperhatikan aktivitas dan
kenaikan jumlah pengunjung pada setiap hari kunjungan. Menurut Borges et al.
(2011), kenaikan jumlah pengunjung dapat menjadi masalah jika mekanisme
perlindungan kawasan tidak sesuai dengan daya dukung lingkungan. Menurut
keterangan pihak taman nasional, lonjakan pengunjung tertinggi biasanya terjadi
pada musim libur panjang atau libur hari besar. Oleh karena itu, pengelola tidak
bisa mengabaikan energi yang dilepaskan oleh ratusan pengunjung dalam satu hari
kunjungan. Gua Batu, Gua Mimpi, dan Gua Saripa merupakan gua wisata yang
belum memiliki batasan dalam pengunjung yang dapat memberikan dampak pada
ekosistem di dalam gua saat lonjakan pengunjung tinggi.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Terdapat hubungan antara faktor fisik dengan faktor biologis. Panjang lorong
memiliki hubungan positif dengan jumlah jenis yang ditemukan di dalam gua.
Sedangkan intensitas cahaya memiliki hubungan positif dengan jumlah
individu jenis.
2. Aktivitas yang banyak dilakukan pengunjung adalah melihat ornamen dan
fotografi. Waktu kunjungan di dalam gua rata-rata 30-60 menit. Sebagian besar
pengunjung baru pertama kali datang ke wisata gua wisata di TN Babul.
3. Kegiatan wisata tidak berpengaruh terhadap kondisi biofisik gua wisata.
Kondisi biofisik gua tidak terjadi perubahan secara signifikan pada saat
sebelum adanya kegiatan wisata dan setelah adanya kegiatan wisata. Namun,
perlu diwaspadai adanya potensi peningkatan suhu di dalam gua.
Saran
1. Monitoring secara berkala untuk mengidentifikasi perubahan kondisi biofisik
gua dapat dilakukan untuk mengetahui perbedaan kondisi biofisik gua pada
musim kemarau dan musim penghujan.
15
2. Informasi mengenai data jumlah pengunjung gua wisatasecara periodik dapat
digunakan untuk mengontrol jumlah pengunjung yang masuk ke dalam gua
wisata.
3. Peningkatan suhu dapat dicegah dengan pembatasan pengunjung, tetapi juga
dapat diminimalisir dengan penggunaan alat penerangan yang lebih efisien dan
ramah lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Alt L, Moura V. 2013 Use of Impact Mapping for Plannning The Infrastructure in
Tourist Caves – Case Study: Maquine Cave, Brazil. 20th National Cave and
Karst Management Symposium.
Asriadi A. 2010. Kelimpahan, Sebaran , dan Keanekaragaman Jenis Kelelawar
(Chiroptera) Pada Beberapa Gua dengan Pola Pengelolaan Berbeda Di
Kawasan Karst Gombong Jawa Tengah. Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah. Jakarta
Baker C. 2002. A biological basis for management of glow-worm populations of
ecotourism significance. Queensland.
Baker GM, Steven JT, Shawn T, Rick O, Kathy L, Marie D, Steven CT, Hazel B,
Kurt LH, Rene O et al. 2013. National Park Service Cave Ecology Inventory
and Monitoring Framework. 20th National Cave and Karst Management
Symposium.
Barciova T, Lubomir K, Dana M. 2010. Impact of Tourism Upon Structure and
Diversityof Collembola Assemblages (Hexapoda) – A Case Study of The
Gombasecká Cave, Slovak Karst (Slovakia). Acta Carsologica v. 48, n. 2,
p. 271-283
Beata M, Mucsi L. 2014. Investigation of the spatial and temporal trends of the air
temperature of the Hajnóczy cave in the Bükk mountains. Geographica
Pannonica vol. 18, Issue 3, p. 51-61
Borges MA, Giulia C, Robyn B, Tilman J. 2011. Sustainable tourism and natural
word heritage: priorities for action. Switzerland (CN): International Union
for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN).
Bosch AP, Rosales WM, Chicano ML, Navarro CM, Vallejos A. 1997 Human
Impact in A Tourist Karstic Cave (Aracena, Spain). Environmental Geology
31 (3/4). Springer-Vertag.
Cigna AA. 1993. Environmental management of tourist caves. The examples of
Grotta di Castellana and Grotta Grande del Vento, Italy. Enviromental
Geology, v. 21, n. 3, p. 173-180
Cigna AA. 2011. Show Cave Development with Special References to Active
Caves. Tourist and Karst Areas, 4(1).
de Freitas CR. 2010. The Role and Importance of Cave Microclimate In The
Sustainable Use and Management of Show Caves. Acta Carsologica v. 39,
n. 3, p. 477-489
[DENR] Department of Environment and Natural Resources Republic of the
Philippines. 2008. Caves: A Handbook on Cave Classification for the
Philippines. Philippines.
16
Graening GO, Michael ES, Bitting C. 2006. Cave Fauna of The Buffalo National
River. Journal of Cave and Karst Studies, v. 68, no. 3, p. 153-163
Himakova. 2007. Studi Konservasi Lingkungan.[Laporan Kegiatan]. Himpunan
Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekowisata. Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.
Hoyos M, Soler V, Canaveras JC, Moral SS, Rubio ES. 1998. Microclimatic
characterization of a karstic cave: human impact on microenvironmental
parameters of a prehistoric rock art cave (Candamo Cave, northern Spain).
Environmental Geology 33 (4). Springer-Vertag
Lobo HAS. 2012. Speleoclimate and Its Applications In Tourism Management In
Caves. Journal of Geography Department-USP, Issue 23, p. 27-54.
Mann AL, Steidl RJ, Dalton V. 2002. Effects of Cave Tours on Breeding Myotis
veliver. J. Wildl. Manage. 66 (3)
Merritt DJ, Clarke AK. 2013. The impact of cave lighting on the bioluminescent
display of the Tasmanian glow-worm Arachnocampa tasmaniensis. J. Insect
Conserv. 17:147-153
Michie NA. 1997. An Invstigation of The Climate, Carbon Dioxide and Dust in
Jenolan Caves NSW. [Thesis]. School of Earth Sciences, Macquarie
University.
[NPRSR] National Parks, Recreation, Sport and Racing. 2014. Queensland
Adventure Activity Standards:Recreational Caving. Brisbane: Department
of National Parks, Recreation, Sport and Racing, Queensland Government.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
Rachmawati E, Sunkar A. 2013. Consumer-Based Cave Travel and Tourism Market
Characteristics in West Java, Indonesia. Tourist and Karst Areas, 4(1).
Sunkar A. 2007. Ekosistem Karst dan Gua: Gudangnya Keanekaragaman Hayati
yang Unik. Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong. Cibinong
Rahmadi C, Suhardjono Y. 2007. Arthropoda Gua Di Nusakambangan Cilacap,
Jawa Tengah. Zoo Indonesia Vol. 16(1):21 - 29
Sierra Nevada Recreation Corporation. 2007. Caverns Make Great Classroom:
Cavern Life [Internet]. [diunduh 2015 Mar 17]. Tersedia pada:
www.caverntours.com/Downloads/Cave_Life.pdf
Suhardjono YR, Ristiyanti MM, Anang SA, Nur SI, Pungki L, Agustinus S, Cahyo
R, Sigit W, Hari N, Daisy W, Kurnianingsih. 2012. Fauna Karst dan Gua
Maros, Sulawesi Selatan. Jakarta: LIPI Press
Sunkar A. 2014. Pedoman Sistem Klasifikasi Gua Karst: Kunci Pemanfaatan Gua
Karst Berkelanjutan. Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan. Vol. 1
No. 1: 1-6
Stokes T, Griffiths P, Ramsey C. 2010. Karst geomorphology, Hydrology, and
Management. Compendium of Forest Hydrology and Geomorphology in
British Columbia.
Whitten JA, Mustafa M, Henderson GS. 1987. The Ecology of Sulawesi. Gadjah
Mada University Press: Yogyakarta.
Williams P. 2008. Worl Heritage Caves and Karst. IUCN: Gland, Switzerland
17
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ungaran pada tanggal 2 Januari 1992 dari pasangan
Purbatinhadi dan Wuryaningsih. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara.
Penulis menempuh jenjang pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Ungaran pada
tahun 2007-2010. Pada tahun 2010, penulis diterima di Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB)
melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
Selama masa perkuliahan, penulis mengikuti organisasi kemahasiswaan yaitu
Kelompok Pemerhati Gua (KPG) sebagai ketua KPG (2012/2013) dan anggota
Kelompok Pemerhati Kupu-kupu (KPK) Himpunan Mahasiswa Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (Himakova). Bersama Himakova, penulis mengikuti
kegiatan Eksplorasi Fauna, Flora, dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) di Cagar
Alam Sukawayana, Sukabumi (2012). Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) di
Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (2012) dan Taman Nasional Manusela (2013).
Penulis melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Taman
Nasional Gunung Ciremai dan KPH Indramayu pada tahun 2012, Praktek Pengelolaan
Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat pada tahun 2013, dan Praktek Kerja
Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Gunung Rinjani pada tahun 2014. Untuk
memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis melakukan penelitian skripsi
dengan judul Pengaruh Kegiatan Wisata Terhadap Karakteristik Biofisik Ekosistem
Gua di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung di bawah bimbingan Dr Ir
Arzyana Sunkar, MSc dan Prof Dr Ir Yanto Santosa, DEA.