Dampak Perubahan Pranata Sosial terhadap Kesejahteraan Petani (Kasus: Pengambilalihan Lahan dan Konversi Tanaman Komoditi)

DAMPAK PERUBAHAN PRANATA SOSIAL TERHADAP
KESEJAHTERAAN PETANI
(Kasus: Pengambilalihan Lahan dan Konversi Tanaman Komoditi)

RIZKI BUDI UTAMI

SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dampak Perubahan
Pranata Sosial terhadap Kesejahteraan Petani (Kasus: Pengambilalihan Lahan dan
Konversi Tanaman Komoditi) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013
Rizki Budi Utami
NIM I34090122

ABSTRAK
RIZKI BUDI UTAMI. Dampak Perubahan Pranata Sosial terhadap Kesejahteraan
Petani (Kasus: Pengambilalihan Lahan dan Konversi Tanaman Komoditi).
Dibimbing oleh ENDRIATMO SOETARTO.
Kasus pengambilalihan lahan pertanian menyebabkan berbagai masalah
bagi masyarakat di sekitar lahan, khusunya petani. Saat ini pengambilalihan lahan
pertanian biasanya dilakukan oleh perusahaan perkebunan yang bertujuan untuk
mengonversi komoditi yang ada pada lahan tersebut. Konversi tanaman komoditi
telah menyebabkan perubahan pranata sosial pertanian Desa Kumpay. Terdapat
perbedaan yang cukup jelas pada pranata usaha tani nanas dengan kelapa sawit.
Jika pranata pertanian nanas banyak menyerap tenaga kerja, maka pranata
pertanian kelapa sawit tidak menyerap banyak tenaga kerja. Perubahan pranata
tersebut membuat hampir seluruh petani penggarap menjadi pihak yang tersingkir.

Tak hanya petani penggarap saja, istri, anak-anak kecil, dan bandar nanas juga
menjadi pihak yang tersingkir. Hal tersebut menyebabkan pihak yang tersingkir
mengubah sistem mata pencaharian yang dilakoninya. Perubahan sistem mata
pencaharian yang terdiri dari kesempatan bekerja dan pola pekerjaan, secara
langsung akan mengubah tingkat kesejahteraan rumah tangga petani penggarap.
Tak hanya itu saja, perubahan pranata sosial pertanian diduga telah mempengaruhi
perubahan hubungan antar warga.
Kata kunci: pengambilalihan, lahan, konversi, komoditi, pranata, kesejahteraan
ABSTRACT
RIZKI BUDI UTAMI. Impact of Social Institutions Changes to Farmers Welfare
(Case: Land Acquisition and Conversion Crop Commodities) Supervised by
ENDRIATMO SOETARTO.
Case of agricultural land acquisition caused many problems for the people
around the area, especially farmers. Currently, land acquisition is usually done by
plantation company that aims to convert the existing commodities on that land.
Commodity crop conversion has change agricultural social institution in Kumpay
Village. There is a clear difference between pinapple farming and palm tree
farming. If the pinnaple institution absorb many labors, then palm tree institution
not absorb many labors. The change of institution made the most of landless
farmers become eliminated. Not only landless farmers, their wife, their children,

and pinnaple collectors also eliminated. That matter caused their had to changed
their livelihood system. The changes of livelihood system consist of the changes
of work opportunity and employement patterns. That changes directly change
landless farmer household. Furthermore, the change of agricultural social
institution had affected the change of relationship between citizens.

Keywords: acquisition, land, conversion, commodity, instituition, welfare

DAMPAK PERUBAHAN PRANATA SOSIAL TERHADAP
KESEJAHTERAAN PETANI
(Kasus: Pengambilalihan Lahan dan Konversi Tanaman Komoditi)

RIZKI BUDI UTAMI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat


SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Dampak Perubahan Pranata Sosial terhadap Kesejahteraan Petani
(Kasus: Pengambilalihan Lahan dan Konversi Tanaman Komoditi)
Nama
: Rizki Budi Utami
NIM
: I34090122

Disetujui oleh

Prof Dr Endriatmo Soetarto, MA
Pembimbing

Diketahui oleh


Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini ialah
agraria, dengan judul Dampak Perubahan Pranata Sosial terhadap Kesejahteraan
Petani (Kasus: Pengambilalihan Lahan dan Konversi Tanaman Komoditi).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Endriatmo Soetarto,
MA selaku pembimbing skripsi, Bapak Dr Ir Saharuddin, MSi selaku dosen
penguji utama, dan Bapak Ir Sutisna Riyanto, MS selaku dosen penguji
perwakilan departemen SKPM. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan
kepada Bapak Memed Humaedin dari Lembaga Swadaya Masyarakat Himpunan
Petani Nanas, Ibu Deni Sutarni, seluruh masyarakat Kumpay, dan seluruh
perangkat Desa Kumpay yang telah membantu penulis selama pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, kakak (Rian dan
Rini), adik (Dini), Irfan Nugraha, serta sahabat (Kiki, Lili, Eby, Yeny, dan

Wawa). Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman SKPM
46 dan seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan karya ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013
Rizki Budi Utami

v

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN


vii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

3

Tujuan Penelitian

3

Manfaat Penelitian


4

TINJAUAN PUSTAKA

5

Pranata Sosial Sistem Usaha Tani

5

Gambaran Umum Kesejahteraan Petani

6

Konsep Kesejahteraan

6

Kondisi Kesejahteraan Petani


8

Konversi Tanaman Komoditi
Konsep Konversi Tanaman Komoditi

8
8

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Konversi Tanaman
Komoditi

9

Perubahan Pranata Sosial pada Konversi Tanaman Komoditi

11

Dampak Perubahan Pranata Sosial Pertanian Bagi Kesejahteraan Petani


12

Kerangka Pemikiran

14

Hipotesis Penelitian

16

Definisi Konseptual

16

Definisi Operasional

16

METODE PENELITIAN


21

Desain Penelitian

21

Lokasi dan Waktu Penelitian

21

Teknik Pengambilan Informan dan Responden

22

Teknik Pengumpulan Data

23

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

23

DESA KUMPAY: DAHULU DAN SEKARANG

24

vi

Kondisi Desa Kumpay Sebelum Terjadinya Peristiwa Pembabatan

25

Kondisi Desa Kumpay Setalah Terjadinya Peristiwa Pembabatan

26

Arti Penting Lahan Garapan dan Usaha Tani Nanas Madu Bagi Masyarakat 27
DINAMIKA SENGKETA LAHAN: SEJARAH KEPEMILIKAN DAN
PENGUASAAN LAHAN HINGGA KONVERSI TANAMAN KOMODITI

29

Sejarah Panjang Kepemilikan, Penguasaan, dan Garapan Lahan Eks-HGU
PT. Nagasawit

29

Program Kelapa Sawit Masuk Jawa: Kebijakan Sepihak PT. Nagasawit

32

Aksi-Reaksi Petani Penggarap

32

DUA SISI PRANATA SOSIAL PERTANIAN DESA KUMPAY:
PRANATA NANAS DAN PRANATA KELAPA SAWIT

37

Pranata Sosial Pertanian Komoditi Nanas: Pranata yang Merangkul Banyak
Pihak

37

Pranata Sosial Pertanian Komoditi Sawit: Pranata yang „Menyingkirkan‟
Banyak Pihak

38

DAMPAK PERUBAHAN PRANATA SOSIAL PERTANIAN TERHADAP
KESEJAHTERAAN PETANI

41

Perubahan Hubungan Antar Warga: Konsekuensi yang Terbentuk Akibat
Perubahan Pranata Sosial Pertanian dan Sistem Mata Pencaharian

41

Perubahan Sistem Mata Pencaharian: Perubahan Langsung Akibat
Perubahan Pranata Sosial Pertanian

43

Perubahan Kesempatan Kerja Pertanian dan Non-Pertanian

43

Pola Pekerjaan Sebelum dan Sesudah Konversi Tanaman Komoditi

47

Berubahnya Tingkat Kesejahteraan Akibat Perubahan Pranata Sosial
Pertanian
SIMPULAN DAN SARAN

48
53

Simpulan

53

Saran

54

DAFTAR PUSTAKA

55

LAMPIRAN

57

vii

DAFTAR TABEL
1. Tabel tabulasi silang antara variabel sistem mata pencaharian dengan

52

tingkat kesejahteraan responden

DAFTAR GAMBAR
1. Model NESP (Nested Spheres of Poverty)

7

2. Kerangka pemikiran penelitian

15

3. Proporsi Penduduk Laki-laki dan Perempuan Desa Kumpay

26

4. Tugu nanas Subang

27

5. Surat perjanjian penggarapan lahan antara petani dengan PT. Nagasawit

33

6. Kronologi kasus sengketa lahan eks-HGU PT. Nagasawit

37

7. Kesempatan kerja pertanian dan non-pertanian sebelum konversi tanaman

46

komoditi
8. Kesempatan kerja pertanian dan non-pertanian setelah konversi tanaman

47

komoditi
9. Pola pekerjaan responden sebelum dan sesudah konversi tanaman

49

komoditi

DAFTAR LAMPIRAN
1. Peta Desa Kumpay, Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang, Jawa

58

Barat
2. Jadwal kegiatan penelitian 2013

59

3. Kerangka sampel petani penggarap lahan eks-HGU PT. Nagasawit

60

4. Kuesioner penelitian

64

5. Panduan pertanyaan wawancara mendalam responden dan informan

68

6. Hasil perhitungan PASW statistics 18. variabel perubahan sistem mata

69

pencaharian dengan tingkat kesejahteraan
7. Dokumentasi penelitian

72

8. Curahan hati petani penggarap

76

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Lahan memiliki definisi sebagai suatu hamparan yang terdapat di
permukaan bumi secara vertikal yang mencakup berbagai komponen, seperti
udara, tanah, air, batuan, vegetasi, serta berbagai aktivitas manusia pada masa lalu
atau masa kini (Kodoatie dan Syarief 2010). Berdasarkan definisi tersebut, lahan
merupakan sumber daya alam yang dimanfaatkan oleh setiap makhluk hidup
terutama manusia untuk beraktivitas memenuhi kebutuhan hidupnya. Banyak
bentuk pemanfaatan lahan yang dilakukan manusia dalam rangka pemenuhan
kebutuhan hidup, salah satunya adalah pemanfaatan lahan untuk kegiatan
pertanian. Pertanian yang dimaksud disini adalah pertanian dalam arti luas, seperti
yang dituliskan oleh Krisnamurthi (2006), pertanian adalah kegiatan yang
mencakup pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan
perikanan.
Saat ini Indonesia memiliki jumlah lahan pertanian seluas 70 juta hektar
pada tahun 20111. Lahan pertanian tersebut mencakup lahan untuk pertanian
pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, dan peternakan. Melihat besarnya
luas lahan pertanian di Indonesia, maka dapat dibayangkan banyak sekali orang
yang menggantungkan hidupnya pada lahan pertanian. Menggantungkan hidup
pada lahan pertanian tidak hanya dilakukan oleh petani, tetapi juga orang yang
tidak disebut sebagai petani, seperti pemberi pinjaman modal, tengkulak, pembeli
hasil pertanian, penyedia saprotan, dan sebagainya. Selain itu, hasil lahan
pertanian pun sangat dibutuhkan oleh banyak orang di belahan dunia manapun
sebagai bahan untuk menunjang kehidupan mereka, yang salah satunya adalah
sebagai bahan makanan. Pernyataan tersebut memberikan sebuah gagasan bahwa
pertanian mengalir di dalam setiap darah manusia, karena tidak ada satupun
manusia di dunia ini yang tidak makan makanan yang berasal dari hasil pertanian.
Sebidang lahan pertanian dapat melibatkan beberapa aktor, diantaranya
petani pemilik, petani pengelola, buruh tani, pihak pemberi modal, pihak penjual
saprotan (sarana produksi pertanian), pihak pembeli hasil pertanian, dan
sebagainya. Hubungan antar aktor-aktor tersebut membentuk sebuah mekanisme
yang tercipta seiring berjalannya waktu. Mekanisme itu dapat dikatakan sebagai
sistem usaha tani. Kata sistem merujuk pada rangkaian kegiatan yang berkaitan
dengan pertanian. Di dalam sebuah sistem usaha tani, terdapat aturan-aturan, pola,
nilai, dan tata cara yang mengatur antar aktor bagaimana mereka harus bertingkah
laku atau melakukan perbuatan. Aturan, pola, nilai, dan tata cara tersebut dapat
dikatakan sebagai sebuah pranata sosial atau kelembagaan. Pranata sosial
mengatur bagaimana antar aktor atau pihak yang terkait dalam sistem tersebut
berinteraksi satu dengan lainnya. Tanpa adanya pranata sosial sebuah
ketidakteraturan akan terjadi yang menyebabkan sendi-sendi kehidupan lainnya
akan terganggu.
Lahan pertanian selain memiliki seperengkat pranata juga memiliki beragam
permasalahan yang melanda. Saat ini lahan pertanian diancam oleh maraknya
kasus perampasan tanah yang dilakukan oleh berbagai pihak yang merasa
1

http://multimedia.deptan.go.id/vidiscript/news/, diunduh pada tanggal 26 Juni 2013 pukul 23.15.

2

memiliki hak atas tanah tersebut. Perampasan tanah atau yang biasa disebut
sebagai land grabbing biasanya terjadi pada tanah yang menjadi kemelut di antara
dua pihak atau lebih. Para pihak perampas tanah melakukan kegiatan perampasan
atas dasar tujuan yang dianggap menguntungkan bagi dirinya. Tujuan perampasan
tanah ini adalah untuk mengonversi lahan-lahan dari suatu fungsi ke fungsi
lainnya. Ada 2 bentuk konversi lahan yang dilakukan oleh perampas lahan.
Pengonversian lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian dapat dikatakan
sebagai konversi lahan yang bersifat permanen. Sedangkan konversi lahan
pertanian menjadi bentuk lahan pertanian lain disebut sebagai konversi yang
sifatnya sementara. Konversi yang bersifat sementara terjadi jika pemilik lahan
atau penggarap lahan pertanian mengganti komoditi yang diusahakan pada lahan
tersebut. Berdasarkan pernyataan tersebut, selanjutnya konversi lahan yang
bersifat sementara dapat dikatakan sebagai konversi tanaman komoditi.
Satu hal yang harus kita ketahui mengenai pranata atau kelembagaan adalah
jika terjadi sedikit saja gangguan atau perubahan kecil pada kehidupan yang
mengandung pranata, maka akan mengubah pranata tersebut. Pergantian tanaman
komoditi pada kasus konversi tanaman komoditi dapat menciptakan pranata baru.
Hal tersebut secara otomatis akan terjadi karena pranata baru akan kembali
menciptakan kondisi keseimbangan yang harmonis. Pranata yang berubah ini
dapat berupa pranata pada ketenagakerjaan, peraturan pemilik dan pengelola
lahan, dan lain-lain.
Fungsi pranata adalah mengatur kehidupan manusia dalam setiap kegiatan
sehingga tercipta kehidupan yang harmonis. Ketika pranata mengalami
perubahan, maka akan menimbulkan efek domino pada kehidupan seseorang.
Dikatakan efek domino karena pranata akan mengubah tatanan kehidupan
seseorang yang telah terbentuk sejak ia lahir hingga saat pranata tersebut
mengalami perubahan. Jika perubahan pranata sistem usaha tani ini
menguntungkan, maka perubahan yang terjadi adalah perubahan positif, dan
sebaliknya. Pada seseorang yang terlibat dan menggantungkan hidupnya pada
lahan pertanian, terutama petani, perubahan pranata pertanian dapat mengubah
pola pekerjaan yang dilakukannya, keadaan keluarganya, kondisi sosial dengan
pelaku usaha pertanian, dan sebagainya. Pada akhirnya, perubahan-perubahan
tatanan kehidupan tersebut akan berdampak pada kesejahteraan petani. Terdapat
dua kemungkinan perubahan kesejahteraan akibat berubahnya pranata, yakni
ksejahteraan dapat meningkat atau kesejahteraan menurun.
Latar belakang yang dituliskan sebelumnya terjadi di Desa Kumpay,
Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Di desa ini telah terjadi
konversi tanaman komoditi dari tanaman nanas ke tanaman kelapa sawit.
Pergantian komoditi ini bermula dari adanya klaim PT. Nagasawit2 (bukan nama
sebenarnya) atas lahan yang telah bertahun-tahun diusahakan oleh masyarakat
Kumpay. Kasus perebutan hak atas tanah ini berakhir ketika PT. Nagasawit
membabat habis seluruh kebun nanas milik warga dan menggantinya dengan
kelapa sawit. Pergantian tanaman ini membuat adanya pranata-pranata pertanian
baru yang berlaku yang pada akhirnya membuat hampir seluruh petani nanas
kehilangan mata pencaharian. Pihak-pihak yang tersingkir ini secara perlahanlahan mengalami perubahan dalam kehidupannya, salah satunya adalah perubahan
2

Penggunaan nama samaran dilakukan agar pihak tersebut tidak merasa dirugikan atau
dicemarkan nama baiknya.

3

sistem mata pencaharian yang mereka lakukan. Perubahan-perubahan tersebut
berdampak pada perubahan kesejahteraan yang dirasakan oleh para pihak yang
tersingkir. Oleh karena itu, sangat diperlukan penelitian untuk mengetahui
bagaimana perubahan pranata pertanian akibat konversi tanaman komoditi,
bagaimana dampak perubahan pranata pertanian pada kehidupan petani selaku
aktor utama pertanian, dan bagaimana dampaknya terhadap kesejahteraan yang
mereka rasakan pada saat ini.

Perumusan Masalah
Sebagaimana telah dipaparkan pada latar belakang bahwa pranata sosial
merupakan hal yang ada dalam setiap interaksi kehidupan. Salah satu kegiatan
manusia yang memiliki pranata yang khas adalah kegiatan pertanian. Pranata
dalam kegiatan pertanian dapat berupa aturan tentang sistem kepemilikan lahan,
hubungan antara pemilik lahan dengan penggarap, hubungan antara petani dengan
lembaga pemberi bantuan modal, penjual saprotan, dan pemerintah, serta
penggunaan tenaga kerja, dan sebagainya.
Perubahan pranata sosial dalam sebuah sistem kehidupan dapat dipengaruhi
dari dalam atau luar sistem yang menjadi tempat pranata tersebut berada. Faktor
perubahan pranata sosial yang berasal dari dalam berupa perubahan dalam
interaksi individu-individu yang terlibat di dalam pranata tersebut. Sedangkan
faktor luar berupa intervensi atau campur tangan pihak luar sistem dimana pranata
berada, misalnya pemerintah, swasta, atau Lembaga Swadaya Masyarakat.
Dengan berubahnya pranata sosial atau kelembagaan, maka akan mengubah aspek
lain dalam kehidupan pelaku pranata, seperti pola pekerjaan, kesempatan kerja,
dan hubungan antar masyarakat. Perubahan tatanan kehidupan tersebut pada
akhirnya akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan. Terdapat dua kemungkinan
perubahan kesejahteraan yang diakibatkan oleh berubahnya pranata sosial, yaitu
kesejahteraan dapat meningkat atau kesejahteraan dapat menurun.
Berdasarkan pemaparan di atas, diperlukan sebuah pengkajian lebih
mendalam mengenai dampak perubahan pranata sosial pada sistem pertanian yang
diakibatkan oleh perubahan jenis tanaman yang diusahakan bagi kesejahteraan
petani. Untuk mengetahui permasalahan umum tersebut dirumuskan sejumlah
pertanyaan permasalahan yang lebih spesifik, yaitu:
1. Bagaimana masuknya komoditi baru mengubah bentuk-bentuk pranata sosial
pertanian di masyarakat?
2. Bagaimana dampak pranata pertanian baru terhadap kehidupan petani
penggarap yang berupa pola pekerjaan, kesempatan bekerja, dan hubungan
antar warga?
3. Bagaimana dampak perubahan pranata sosial bagi kesejahteraan petani?

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji permasalahan umum yang telah
dipaparkan di atas, yaitu mengkaji dampak perubahan pranata sosial pertanian

4

yang diakibatkan perubahan tanaman komoditi bagi kesejahteraan petani.
Kemudian, tujuan lainnya adalah menjawab pertanyaan permasalahan, yakni:
1. Menganalisis bentuk-bentuk pranata sosial sistem usaha tani yang mengalami
perubahan pada konversi tanaman komoditi.
2. Menganalisis perubahan pada pola pekerjaan, kesempatan bekerja, dan
hubungan antar warga akibat pranata pertanian baru.
3. Menganalisis dampak perubahan pranata sosial bagi kesejahteraan petani.

Manfaat Penelitian
Kegunaan penelitian ini dapat ditujukan kepada 3 pihak, antara lain:
1. Akademisi. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan referensi dan
kajian untuk penelitian selanjutnya. Selain itu diharapkan pula dapat
menambah khasanah dalam kajian ilmu pengetahuan agraria dan pranata sosial.
2. Pemerintah. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan bahan
pertimbangan bagi pemerintah dalam menyusun dan mengambil kebijakan
mengenai peraturan pemanfaatan lahan, serta membuat solusi dari
permasalahan konversi tanaman komoditi sehingga tercipta keadilan sosial bagi
seluruh pihak yang terkait.
3. Masyarakat. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
wawasan masyarakat mengenai dampak konversi tanaman komoditi bagi
pranata sosial dan kesejahteraan. Selain itu diharapkan hasil penelitian ini
dapat digunakan masyarakat Kumpay sebagai tambahan bukti dalam
memperjuangkan hak-hak mereka.

TINJAUAN PUSTAKA
Pranata Sosial Sistem Usaha Tani
Pertanian merupakan sektor kegiatan manusia terbesar di Indonesia. Hal
tersebut tidak mengherankan karena Indonesia mendapatkan julukan negara
agraris akibat besarnya kegiatan yang bergerak di bidang pertanian. Dengan luas
lahan pertanian yang besar, dapat dibayangkan bahwa banyak sekali individuindividu yang terkait dengan sektor pertanian dan menggantungkan hidupnya
pada sektor ini.
Sektor pertanian merupakan sebuah sektor yang terdiri dari tiga bagian yang
saling terintegrasi, yaitu bagian hilir, tengah, dan hulu. Setiap bagian tersebut
memiliki aktor-aktor yang berperan dalam menjalankan bagian tersebut. Ketiga
bagian tersebut harus berjalan secara sinkron layaknya sebuah sistem agar terjadi
keseimbangan. Salah satu aktor penting yang berada pada bagian hulu dan sangat
berperan di dalam sektor pertanian adalah petani.
AGRA (2010) menyebutkan dalam tulisannya bahwa kaum tani adalah
orang-orang yang bergantung pada pengolahan tanah dalam kehidupannya yang
berasal dari bercocok tanam, perkebunan, perladangan menetap atau berpindah,
memungut hasil hutan, meramu, serta berburu. Lebih lanjut AGRA
menyimpulkan bahwa yang termasuk kaum tani menurut pengertian di atas adalah
kaum tani (peasantry) atau yang biasa disebut sebagai petani tak bertanah atau
petani yang memiliki lahan sempit (petani gurem), masyarakat adat atau
masyarakat minoritas, dan nelayan. Hampir sama dengan AGRA, Wolf dalam
Landsberger dan Alexandrov (1981) mendefinisikan petani sebagai “penduduk
yang secara eksistensial terlibat dalam cocok-tanam dan membuat keputusan yang
otonom tentang proses cocok tanam”.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pertanian merupakan sebuah
sektor kegiatan manusia. Pernyataan tersebut dapat berarti semua kegiatan
manusia yang berada dalam bidang pertanian dapat dikatakan sebagai usaha tani.
Usaha tani memiliki pengertian sebagai sistem yang kompleks yang terdiri atas
tanah, tumbuhan, hewan, peralatan, tenaga kerja, input lain, serta pengaruh
lingkungan yang pengelolaannya dilakukan oleh seseorang yang disebut petani
sesuai dengan kemampuan dan aspirasinya (CGIAR dalam Reijntjes et al. 1992).
Usaha tani adalah sebuah kegiatan yang selalu terkait dengan budaya dan
sejarah (Reijntjes et al. 1992). Seiring dengan berjalannya waktu, akan tercipta
sebuah bentuk kebudayaan baru meliputi nilai-nilai, norma, dan aturan yang
terkait dengan usaha tani tersebut. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Reintjes et
al. (1992) yang menyatakan bahwa pertanian merupakan hasil interaksi antar
manusia dengan sumber daya alam setempat dimana nilai-nilai, pengetahuan,
keterampilan, teknologi, dan institusi yang dimiliki oleh masyarakat setempat
mempengaruhi jenis budaya pertanian yang telah ada dan terus berkembang.
Dalam sebuah usaha tani, tentunya terdapat mekanisme yang mengatur
bagaimana usaha tani berjalan. Mekanisme yang mengatur tersebut selanjutnya
dapat dikatakan sistem usaha tani. Menurut Sutanto (2002), “sistem usaha tani
berhubungan dengan aktivitas produksi tanaman dengan spektrum yang luas”.
Sedangkan, Shaner et al. dalam Reijntjes et al. (1992) menyatakan sistem usaha

6

tani merupakan susunan khusus dari kegiatan usaha tani yang dikelola
berdasarkan kemampuan lingkungan fisik, biologis, sosioekonomi, yang sesuai
dengan tujuan, kemampuan, dan sumber daya yang dimiliki petani. Pertanian
yang dimaksudkan bukan hanya pertanian padi, tetapi juga perkebunan,
perikanan, peternakan, perladangan, dan lain-lain yang termasuk ke dalam lingkup
kegiatan pertanian. Di dalam sebuah sistem usaha tani, terdapat aturan-aturan,
pola, nilai, dan tata cara yang mengatur antar aktor terkait bagaimana mereka
harus bertingkah laku atau melakukan perbuatan. Aturan, pola, nilai, dan tata cara
tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah pranata atau kelembagaan. Pranata sosial
mengatur bagaimana antar aktor atau pihak yang terkait dalam sistem tersebut
berinteraksi satu dengan lainnya. Tanpa adanya pranata sebuah ketidakteraturan
akan terjadi yang menyebabkan sendi-sendi kehidupan lainnya akan terganggu.
Pranata atau kelembagaan memiliki pengertian sebagai kompleks atau
sistem peraturan dan adat istiadat yang mempertahankan nilai-nilai penting (Polak
dalam Basrowi 2005). Sedangkan, kelembagaan atau pranata menurut
Koentjaraningrat dalam Rahardjo (2004) berarti sistem tata kelakuan dan
hubungan yang bepusat pada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks
kebutuhan khusus pada kehidupan masyarakat. Berdasarkan dua pengertian di
atas, maka kelembagaan dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan yang
berlaku di masyarakat yang berfungsi mengatur tata kelakukan dan hubungan
dalam masyarakat. Kelembagaan dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu lembaga kemasyarakatan sebagai peraturan dan kelembagaan masyarakat
yang sungguh-sungguh berlaku (Soekanto dalam Basrowi 2005). Kelembagaan
masyarakat sebagai peraturan terjadi ketika norma tersebut mengatasi dan
mengatur perilaku masyarakat. Sedangkan, maksud dari lembaga masyarakat yang
sungguh-sungguh berlaku adalah jika norma tersebut sepenuhnya membantu
pelaksanaan dalam pola kemasyarakatan.
Pranata dalam sistem usaha tani yang dapat diidentifikasi, antara lain: 1)
bagaimana sistem kepemilikan atas suatu lahan; 2) bagaimana hubungan antar
aktor di dalam sebuah lahan, seperti hubungan antara pemilik lahan dengan
penggarap; 3) bagaimana sistem pembayaran yang diterima pemilik lahan dan
penggarap; 4) bagaimana tahapan usaha tani tersebut beserta aturannya mulai dari
penanaman hingga pasca panen; 5) bagaimana penggunaan tenaga kerja serta
aturannya yang mencakup jam kerja dan pembayaran pada setiap tahapan usaha
tani tersebut. Setiap bentuk pranata sosial tersebut terbentuk akibat adanya
kesepakatan bersama atau terbentuk secara alami melalui proses panjang
perjalanan waktu tergantung pada kondisi lingkungan fisik, sosial, dan budaya di
daerah pranata tersebut berada.

Gambaran Umum Kesejahteraan Petani
Konsep Kesejahteraan
Kesejahteraan adalah konsep yang sampai saat ini memiliki banyak
perbedaan definisi. Konsep kesejahteraan dapat dilihat dari berbagai dimensi,
seperti ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. Inti dari konsep kesejahteraan
adalah kondisi terpenuhinya setiap aspek hidup manusia entah itu moril atau
materiil. Dalam pasal 1 yang tercantum dalam Undang-Undang Republik

7

Indonesia Nomor 11 tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial, dinyatakan bahwa
yang dimaksud dengan kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya
kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan
mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.
Untuk mengukur seberapa tinggi tingkat kesejahteraan suatu individu,
diperlukan berbagai indikator dari berbagai dimensi. Sama seperti definisi dari
konsep kesejahteraan, sebuah indikator yang menyatakan apakah individu
sejahtera atau tidak, juga memiliki berbagai versi dari banyak ahli. Badan Pusat
Statistik (BPS) menyatakan untuk mengetahui kesejahteraan seseorang, maka ada
6 hal yang dapat mengindikasikan, antara lain kependudukan, kesehatan dan gizi,
pendidikan, ketenagakerjaan, taraf dan pola konsumsi, perumahan dan
lingkungan, serta sosial dan budaya (BPS 2006).
Berbeda dengan BPS, CIFOR (2007) menyatakan ada sebuah model yang
menjelaskan mengenai bagaimana melihat konsep kesejahteraan. NESP (Nested
Spheres of Poverty) menjelaskan bahwa kesejahteraan dipengaruhi oleh berbagai
lingkungan beserta aspek kehidupan yang ada di dalamnya. Dalam gambar di
bawah ini dijelaskan, lingkaran inti yang berada di tengah dinamakan sebagai
kesejahteraan subjektif. Kesejahteraan ini merupakan kesejahteraan yang sifatnya
sangat individu dan emosional. Dikatakan seperti itu karena kesejahteraan ini
tidak memiliki nilai standar yang konstan. Kesejahteraan ini berubah-ubah sesuai
dengan suasana hati dan lingkungan individu tersebut. Dengan kata lain,
kesejahteraan ini secara garis besar dipengaruhi oleh kesehatan, kekayaan materi,
dan pengetahuan. Lingkungan konteks yang meliputi lingkungan alam, ekonomi,
sosial, dan politik secara langsung mempengaruhi kesehatan, kekayaan materi,
dan pengetahuan yang akhirnya secara tidak langsung mempengaruhi
kesejahteraan subjektif. Sedangkan, lingkungan konteks dipengaruhi oleh
prasarana dan layanan. Penjelasan di atas, dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Model NESP (Nested Spheres of Poverty)
Sumber: CIFOR (2007)

8

Kondisi Kesejahteraan Petani
Petani berdasarkan besaran skala usahanya dapat dibedakan menjadi dua
jenis, yaitu petani yang berusaha tani skala kecil dan petani yang berusaha tani
skala besar. Petani skala besar ini biasanya memiliki lahan besar yang didukung
dengan sarana produksi yang modern, tenaga kerja yang banyak, dan berorientasi
profit. Petani yang memiliki usaha tani kecil memiliki ciri-ciri berusaha tani di
lingkungan yang tekanan penduduk lokalnya mengalami peningkatan, memiliki
sumber daya yang terbatas, produksi subsisten, dan kurang mendapatkan
pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pelayanan lainnya (Soekartawi et al 1989).
Sedangkan, menurut BPLPP yang dikutip oleh Soekartawi et al (1989),
menyatakan petani kecil adalah petani yang berpendapatan rendah (kurang dari
240 kg beras/kapita/tahun), memiliki lahan sempit (0.25 hektar di Jawa dan 0.5
hektar di luar jawa), kekurangan modal dan memiliki tabungan yang terbatas, dan
memiliki pengetahuan yang terbatas dan kurag dinamis.
Melihat perbedaan kedua jenis petani di atas, terlihat bahwa petani kecil
identik dengan kemiskinan dan kesengsaraan. Dibandingkan dengan petani besar,
petani kecil-lah yang biasanya identik dengan tingkat kesejahteraan yang rendah.
Hal tersebut seperti yang dituliskan oleh Nasution (2005).
”Kesejahteraan rakyat yang bekerja di sektor pertanian kini sungguh
memprihatinkan, terutama mereka yang posisinya sebagai buruh tani
dan petani berlahan sempit (petani gurem dan petani dengan lahan
kurang dari satu hektar). Petani berlahan sempit dan buruh tani adalah
kelompok yang paling mempresentasikan kondisi ekonomi petani
seluruhnya, sebab sebagian besar petani-petani Indonesia berasal dari
kelompok ini.”
Menurut data Biro Pusat Statistik 2003 dalam Nasution (2005), buruh tani
merupakan profesi yang pendapatannya paling rendah jika dibandingkan dengan
profesi yang ada di sektor pertanian lainnya. Bahkan pendapatan rata-rata buruh
tani dan petani yang memiliki lahan sempit setiap tahunnya mengalami
penurunan. Lebih lanjut, Nasution (2005) berpendapat bahwa masalah
kesejahteraan petani tidak hanya berhubungan dengan luas lahan yang
dimilikinya, namun juga bisa berhubungan dengan persoalan lain yang memiliki
pengaruh besar terhadap pendapatan petani. Kesejahteraan tidak hanya selalu
berkaitan dengan pendapatan tetapi juga dapat berkaitan dengan rasa aman.
Kesejahteraan adalah hal yang berupa aspek yang menangani kebutuhan fisik dan
batin serta menciptakan rasa nyaman, puas, adil, dan bahagia.3

Konversi Tanaman Komoditi
Konsep Konversi Tanaman Komoditi
Konversi lahan adalah berubahnya penggunaan suatu lahan ke penggunaan
lainnya (Ruswandi 2005). Dengan kata lain dapat dikatakan konversi lahan adalah
berubahnya alih fungsi suatu lahan. Seiring dengan dinamika kehidupan
3

Perkataan Prof Dr Endriatmo Soetarto, MA. ketika bimbingan Studi Pustaka tanggal 14
Desember 2012

9

masyarakat, seperti adanya kebijakan, jumlah penduduk, mobilitas penduduk, dan
sebagainya, maka alih fungsi lahan dapat dikatakan sebagai hal yang biasa atau
wajar bila terjadi. Alih fungsi lahan akan menjadi masalah apabila tindakan alih
fungsi lahan berdampak negatif bagi lingkungan sekitar lahan tersebut (Utomo
1992).
Utomo (1992) menyebutkan bahwa alih fungsi lahan dapat bersifat
permanen dan sementara. Alih fungsi lahan permanen terjadi ketika lahan
pertanian seperti sawah dimanfaatkan untuk sektor non-pertanian, seperti
perumahan atau industri. Sedangkan alih fungsi lahan yang sifatnya sementara
misalnya lahan pertanian sawah yang diubah menjadi perkebunan. Tidak jauh
berbeda dengan Utomo, Harini dalam Hamdan (2012) membedakan perubahan
penggunaan lahan menjadi empat, yaitu perubahan dari suatu jenis pertanian ke
pertanian lainnya, perubahan dari lahan pertanian ke non-pertanian, perubahan
dari penggunaan non-pertanian menjadi lahan pertanian, dan perubahan nonpertanian ke bentuk non-pertanian lainnya. Berdasarkan pengertian tersebut, maka
dapat dikatakan bahwa konversi tanaman komoditi memiliki definisi sebagai
berubahnya suatu jenis komoditi pada suatu lahan ke komoditi lainnya.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Konversi Tanaman Komoditi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi dari kata faktor adalah
hal, keadaan, atau peristiwa yang menyebabkan atau mempengaruhi terjadinya
sesuatu. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi konversi tanaman komoditi adalah setiap hal, keadaan, atau
peristiwa yang menyebabkan terjadinya konversi tanaman komoditi. Banyak
tulisan yang membahas mengenai apa saja faktor yang menyebabkan konversi
tanaman komoditi yang terjadi di wilayah Indonesia. Setiap tulisan tersebut
memiliki perbedaan dalam menunjukkan faktor penyebab suatu alih fungsi lahan.
Perbedaan tersebut dapat terjadi karena adanya perbedaan wilayah penelitian yang
memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Artinya, faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya konversi tanaman komoditi tergantung pada kondisi
sosial, geografi, fisik daerah tempat terjadinya peristiwa konversi lahan. Faktorfaktor tersebut ada yang semakin menguatkan motivasi petani untuk mengambil
keputusan alih fungsi lahan sehingga meningkatkan laju alih fungsi lahan, namun
ada yang menurunkan laju alih fungsi lahan.
Astuti et al. (2011) dalam penelitiannya menemukan ada 14 faktor yang
menyebabkan petani melakukan alih fungsi komoditi di lahannya menjadi
tanaman kelapa sawit. Keempat belas faktor tersebut mereka bagi ke dalam tiga
aspek, yaitu aspek ekonomis, aspek lingkungan, dan aspek teknis. Aspek
ekonomis memiliki 5 faktor penyebab, antara lain harga jual tanaman pangan
yang rendah khususnya pada saat panen, panen sawit dilakukan kontinyu setiap 2
minggu, keuntungan berkebun sawit lebih tinggi, harga sawit lebih terjamin atau
stabil, dan biaya pemeliharaan tanaman sawit lebih rendah. Aspek lingkungan
memiliki 5 faktor penyebab, yaitu kecocokan lahan untuk kebun sawit, ancaman
hama dan penyakit pada tanaman pangan, kondisi irigasi tidak mendukung, posisi
tawar petani sawit lebih tinggi, dan tenaga kerja kebun sawit lebih sedikit.
Sedangkan, aspek teknis terdiri atas 4 faktor penyebab, antara lain tanaman sawit
berumur panjang, proses pasca panen tanaman pangan lebih sulit, teknik budidaya
sawit lebih mudah, dan kesulitan pengadaan pupuk untuk tanaman pangan.

10

Sedangkan dalam penelitiannya di wilayah Bandung Utara pada tahun 2007,
Ruswandi et al. (2007) menemukan sedikitnya 5 faktor yang berpengaruh nyata
dengan laju konversi lahan yang terjadi di wilayah tersebut. Kelima faktor
tersebut merupakan faktor yang dapat menurunkan laju konversi lahan maupun
meningkatkan laju konversi lahan. Kelima faktor tersebut adalah kepadatan petani
pemilik pada tahun 1992, kepadatan petani penggarap atau buruh pada tahun
1992, jumlah masyarakat miskin, luas lahan guntai4, serta jarak lahan dengan kota
atau kecamatan.
Selanjutnya, Sihaloho et al. (2007) menemukan bahwa terdapat 5 faktor
yang menyebabkan terjadinya konversi pada lahan pertanian, antara lain
meningkatnya jumlah penduduk, keterdesakan ekonomi yang dialami warga,
investasi dari pihak swasta, adanya intervensi dari pemerintah mengenai kebijakan
agraria, serta faktor luar dimana yang dimaksud dengan faktor ini adalah warga
yang “ikut-ikutan” untuk menjual tanahnya.
Berbeda dengan Sihaloho, Hamdan (2012) membagi faktor penyebab
konversi tanaman padi ke kelapa sawit ke dalam dua faktor, yaitu faktor internal
dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari kondisi
keluarga petani dan usaha tani sawah. Yang termasuk ke dalam faktor ini adalah
luas sawah yang dimiliki, pengalaman dalam usaha tani padi, dan tingkat
ketersediaan tenaga kerja. Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari kondisi
dari luar yang mempengaruhi pengelolan lahan sawah. Yang termasuk ke dalam
faktor ini adalah permasalahan pada irigasi, sarana produksi pupuk, tingkat resiko
usaha tani padi, pengetahuan petani mengenai peraturan konversi lahan pangan,
dan harga tandan buah segar kelapa sawit. Selanjutnya, Hamdan mengkategorikan
faktor-faktor tersebut ke dalam dua faktor, yaitu faktor pendorong (pull factor)
dan faktor penarik (push factor). Menurutnya, faktor pendorong biasanya
memiliki konotasi negatif karena hal tersebut menunjukkan adanya kekurangan
pada sektor pertanian dan wilayah pedesaan. Sedangkan faktor penarik biasanya
memiliki arti yang positif karena hal tersebut menujukkan bahwa tanaman
perkebunan lebih menguntungkan daripada tanaman pangan. Harga tandan buah
segar (TBS) sawit menjadi satu-satunya faktor pendorong yang berpengaruh nyata
terhadap konversi tanaman komoditi di wilayah tersebut. Sedangkan, masalah
pada sarana irigasi, tingkat kegagalan usaha tani, ketersediaan tenaga kerja,
ketersediaan pupuk, jumlah pengalaman petani dalam berusaha tani sawah, serta
pengetahuan mengenai peraturan konversi lahan pangan menjadi faktor penarik
bagi petani.
Konversi lahan pada umumnya banyak terjadi di lahan sawah. Kondisi
tersebut dapat dijelaskan oleh empat alasan berikut. Pertama, wilayah
agroekosistem yang didominasi oleh sawah lebih padat penduduknya jika
dibandingkan dengan agroekosistem lahan kering, sehingga permintaan untuk
tanah menjadi tinggi karena tekanan penduduk. Kedua, banyak di antara daerah
persawahan yang lokasinya dekat dengan kota. Ketiga, daerah persawahan lebih
baik dari segi infrastrukturnya dibandingkan lahan kering. Keempat,
pembangunan pemukiman dan industri membutuhkan wilayah yang bertopografi
agar berlangsung dengan cepat. Namun, di wilayah yang bertopografi datar seperti
Pulau Jawa, sebagian besar lahannya adalah lahan sawah.
4

Lahan guntai adalah lahan yang dimiliki oleh orang yang bukan bertempat tinggal di desa tempat
lahan tersebut berada.

11

Selain berbagai faktor yang telah dijelaskan sebelumnya, salah satu
penyebab konversi tanaman komoditi yang saat ini marak terjadi adalah land
grabbing atau perampasan lahan. Land grabbing adalah kegiatan pengambilalihan
hak dan akses atas suatu lahan oleh pihak yang memiliki „kekuatan‟ yang lebih
besar dari pihak-pihak yang dianggap „lemah‟. Praktek land grabbing yang saat
ini sedang marak terjadi biasanya dilakukan oleh pihak perkebunan besar, entah
itu negeri atau swasta. Perusahaan tersebut melakukan pengambilalihan lahan
dengan tujuan untuk mengganti komoditi yang ada dengan komoditi perdagangan
internasional, seperti kelapa sawit, coklat, kopi, teh, dan sebagainya. Hal tersebut
seperti yang diungkapkan oleh AGRA (2012), permasalah land grabbing atau
perampasan tanah yang dilakukan kaum pemilik modal banyak telah membuat
petani harus menyerahkan lahan yang dimilikinya atau mengganti komoditi yang
diusahakannya. Akibatnya petani menjadi buruh sendiri di lahan pertanian
mereka.

Perubahan Pranata Sosial pada Konversi Tanaman Komoditi
Seiring dengan perubahan waktu, kelembagaan dapat berubah. Sifat
kelembagaan yang dinamis dan rentan akan perubahan ini disebabkan karena nilai
dan budaya dalam masyarakat yang berubah (Yustika 2006). Yustika (2006)
menjelaskan bahwa perubahan kelembagaan dapat diartikan sebagai terjadinya
sebuah kondisi dimana berubahnya prinsip regulasi, organisasi, perilaku, dan
pola-pola interaksi. Perubahan kelembagaan merupakan sebuah proses yang
berlangsung secara terus-menerus yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas
interaksi antar pihak yang terkait, dimana berubahnya kelembagaan mendorong
perubahan mengenai kondisi-kondisi awal yang kemudian dibuatlah penyesuaian
yang baru, sehingga terciptalah keadaan baru yang memiliki keseimbangan
dinamis (Yustika 2006). Proses perubahan kelembagaan ada yang terjadi secara
bertahap, namun ada pula yang berlangsung secara cepat tergantung dari respon
individu atas kondisi perubahan yang dialaminya (Yustika 2006). Terdapat empat
sumber yang dapat diidentifikasi yang menyebabkan terjadinya berubahnya suatu
pranata, antara lain rekaya sosial, kelangkaan (dapat berupa kelangkaan sumber
daya atau aturan main), oportunisme, dan perubahan kebijakan (Yustika 2006).
Setiap sistem usaha tani memiliki aturan main, tata kelola, pranata atau
kelembaagaan yang mengaturnya. Pranata tersebut berbeda-beda tergantung
wilayah, keadaan masyarakatnya, dan jenis komoditi yang diusahakan. Ketika
suatu komoditi yang diusahakan di suatu lahan mengalami perubahan ke komoditi
lain, hal tersebut tentu saja membuat pranata sosial atau kelembagaan yang telah
ada sejak lama berubah. Perubahan tersebut dapat berupa perubahan pada sistem
kepemilikan lahan, sistem pola tanam, sistem hubungan pemilik dan buruh, sistem
bagi hasil, atau sistem penggunaan tenaga. Perubahan-perubahan pada
kelembagaan sistem usaha tani akan dijelaskan sebagai berikut.
1. Pada proyek perkebunan tebu di KPH Tangen terdapat sistem bagi hasil yang
ditetapkan di antara pihak-pihak yang terlibat. Ketika petani tersebut tidak
mengikuti proyek perkebunan tebu, mereka memperoleh pendapatan langsung
dari hasil usaha taninya yang dijual kepada pedagang tanpa harus berbagi
dengan pihak lain. Setelah mereka menanam tebu, pendapatan yang diterima

12

mereka adalah 65% dari rendemen tebu yang dihasilkan oleh mereka (Wiyono
2002).
2. Penelitian Hamdan (2012) mengungkapkan bahwa adanya perbedaan pada pola
tanam, curahan tenaga kerja yang digunakan, sistem bagi hasil perbandingan
tenaga kerja laki-laki dan perempuan, penggunaan faktor produksi, dan
penerimaan yang didapat petani ketika mereka berusaha tani padi ke usaha tani
kelapa sawit. Sebagai contoh, usaha tani padi lebih banyak menggunakan
tenaga kerja baik itu dari tenaga kerja dari keluarga maupun tenaga kerja dari
luar, sedangkan pada usaha tani kelapa sawit penggunaan tenaga kerja lebih
sedikit dan lebih menggunakan tenaga kerja yang berasal dari keluarga saja.
Contoh lainnya, pada tanaman padi masih digunakan sistem bagi hasil,
sedangkan usaha tani kelapa sawit pembayaran dilakukan dengan sistem upah.
3. Dassir (2010) menemukan bahwa terdapat perubahan pola hubungan antara
pemilik lahan dengan pengelola lahan atau buruh tani pada petani yang
mengusahakan monokultur kemiri dengan petani yang mengkonversi kemiri
menjadi coklat.
4. Perubahan kelembagaan pada usaha tani padi ke coklat juga terjadi di
Komunitas Bolapapu, Sulawesi Tengah. Jika pada usaha tani pengambilan
keputusan dan pengerjaan tugas banyak dilakukan oleh kaum wanita, kecuali
pekerjaan yang memang membutuhkan tenaga laki-laki, seperti
menyemprotkan pestisida pada tanaman. Jauh berbeda dengan usaha tani
coklat, semua keputusan dibuat oleh laki-laki, wanita pada usaha tani coklat
sedikit sekali peranannya (Savitri 2007).

Dampak Perubahan Pranata Sosial Pertanian Bagi Kesejahteraan Petani
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, peralihan suatu jenis komoditi
sudah pasti terdapat pranata yang berubah. Berubahnya pranata kelembagaan pada
sistem usaha tani tentu saja akan berdampak bagi pihak-pihak yang terkait di
dalamnya. Petani adalah pihak yang langsung terkena dampak dari perubahan
pranata kelembagaan akibat beralihnya jenis komoditi yang diusahakannya.
Dampak dapat mempengaruhi berbagai hal, yang salah satunya adalah
kesejahteraan petani.
Perubahan pranata kelembagaan pada konversi tanaman komoditi dapat
menyebabkan dua kemungkinan bagi kesejahteraan petani. Perubahan pranata
kelembagaan tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan petani atau menurunkan
kesejahteraan petani. Berikut ini dipaparkan beberapa kasus konversi tanaman
komoditi yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan petani.
1. Penelitian di Kabupaten Kampar, Rokan Hulu, dan Kabupaten Pelalawan,
Provinsi Riau menemukan bahwa pengembangan perkebunan kelapa sawit
dapat memperluas kesempatan bekerja dan menambah lapangan pekerjaan
sehingga masyarakat dapat menambah pemasukan pendapatannya.
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa komoditi kelapa sawit memiliki
tingkat pendapatan per tahun tertinggi dibandingkan komoditi palawija dan
karet. Pada tahun 2005, tingkat pendapatan rata-rata petani kelapa sawit per
tahun sebesar 18 juta rupiah, sedangkan petani karet sebesar Rp11 856

13

000/tahun, dan petani palawija sebesar Rp4 320 000/tahun (Syahza dan
Khaswarina 2007).
2. Di Kecamatan Seluma Selatan, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu,
komoditi kelapa sawit lebih menjanjikan secara ekonomis dibandingkan
komoditi padi. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan nilai land rent tanaman
kelapa sawit yang lebih besar daripada padi. Perbedaan nilai land rent ini
didapatkan dari penghitungan pada penggunaan input produksi, curahan tenaga
kerja, dan pemasukan. Perbedaan nilai land rent ini menunjukkan bahwa antara
usaha tani padi dan kelapa sawit terdapat perbedaan kelembagaan yang
berlaku, seperti pola tanam, proporsi tenaga kerja laki-laki dan perempuan, dan
sistem bagi hasil. (Hamdan 2012).
3. Penelitian Muh. Dassir (2010) di wilayah Camba, Kabupaten Maros, Provinsi
Sulawesi Selatan menemukan bahwa penduduk di kedua desa penelitian yang
saat ini tidak lagi menerapkan sistem pola wanatani kemiri monokultur.
Mereka mengonversi sistem pola tani monokultur kemiri dengan pola tani
coklat dan kemiri karena pendapatan yang diterima petani yang menerapkan
pola tani coklat kemiri lebih besar daripada yang masih menerapkan
monokulutur kemiri. Pendapatan yang diterima petani yang menerapkan pola
coklat-kemiri mencapai 20 kali lipat dari petani yang menerapkan pola
monokultur kemiri.
Untuk kasus konversi tanaman komoditi yang menurunkan kesejahteraan
petani akan dipaparkan berikut ini.
1. Berdasarkan penelitian tentang konversi lahan yang terjadi di wilayah Bandung
Utara diketahui bahwa konversi lahan berpengaruh nyata terhadap penurunan
kesejahteraan petani. Semakin luas lahan petani yang terkonversi, maka akan
semakin tinggi peluang penurunan kesejahteraan petani. Jika sebanyak 1% dari
lahan petani dikonversi, maka akan terjadi penurunan tingkat kesejahteraan
sebesar 1 077 kali jika dibandingkan tidak melakukan konversi. Konversi lahan
pada awalnya memang meningkatkan kesejahteraan petani, namun untuk
beberapa lama kemudian kesejahteraan petani akan menurun. Uang hasil
penjualan lahan telah habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup
petani (Ruswandi et al. 2007).
2. Berdasarkan data, selama periode 2004 sampai 2010, perampasan tanah di
sektor perkebunan menyengsarakan lebih dari 11.4 juta kaum tani. Sedangkan,
perampasan sektor pertanian membuat 175 000 jiwa kaum tani menderita dan
tersingkir dari tanah pertaniannya (AGRA 2012).
3. Kesejahteraan petani yang melaksanakan program pemerintah Kabupaten
Sragen untuk menanami lahan mereka dengan tebu menurun. Menurunnya
kesejahteraan petani diakibatkan sistem bagi hasil yang dibuat oleh pihakpihak yang terkait dalam program tersebut tidak menguntungkan petani
(Wiyono 2002).
Berdasarkan contoh kasus-kasus di atas, terlihat bahwa perubahan
kelembagaan pada sistem usaha tani tidak selalu meningkatkan kesejahteraan
petani. Peningkatan kesejahteraan petani disebabkan perubahan kelembagaan
tersebut menguntungkan petani. Sedangkan penurunan kesejahteraan petani
disebabkan karena kelembagaan yang berubah tersebut tidak terlalu berpihak pada
petani. Misalnya saja pada komoditi A tenaga kerja perempuan masih digunakan.
Namun, pada komoditi B tenaga kerja perempuan tidak lagi digunakan. Hal

14

tersebut tentu saja dapat mengurangi pendapatan rumah tangga seorang petani
karena istrinya tidak lagi bekerja sebagai tenaga kerja di sektor pertanian.

Kerangka Pemikiran
Masalah land grabbing (perampasan lahan) mulai marak terjadi pada lahanlahan pertanian di Indonesia. Masalah perampasan lahan ini biasanya berujung
pada pengambilalihan lahan oleh pihak yang memiliki „kekuatan‟ yang lebih
besar, misalnya perusahaan perkebunan. Tujuan perusahaan perkebunan
melakukan pengambilalihan lahan adalah mengonversi lahan pertanian yang ada
menjadi bentukan lahan pertanian lainnya, dengan kata lain mengganti komoditi.
Perubahan komoditi atau yang dapat dikatakan konversi tanaman komoditi, telah
menyebabkan perubahan pranata sosial pertanian yang telah ada. Pranata sosial
yang teridentifikasi mengalami perubahan adalah penguasaan lahan, penggunaan
tenaga kerja, dan sisten panen. Perubahan pranata pertanian ini tentu saja harus
diadaptasi oleh petani yang terkait pada lahan tersebut.
Perubahan pranata sosial pertanian menyebabkan perubahan pada kehidupan
petani yang pada ujungnya akan menyebabkan perubahan pada tingkat
kesejahteraan. Perubahan tersebut berupa perubahan pada sistem mata
pencaharian yang terdiri dari pola pekerjaan dan kesempatan bekerja, serta
perubahan hubungan antar warga. Perubahan sistem mata pencaharian
menyebabkan secara langsung perubahan tingkat kesejahteraan, secara moril dan
materiil. Selain itu, perubahan sistem mata pencaharian juga memiliki andil dalam
perubahan hubungan antar warga. Hubungan yang terjadi adalah hubungan satu
arah yang dijelaskan secara kualitatif. Perubahan hubungan antar warga juga
menyebabkan perubahan tingkat kesejahteraan, namun kesejahteraan yang
dirasakan warga adalah kesejahteraan moril.
Secara garis besar, kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat dilihat pada
Gambar 2.

15

Pengambilalihan Lahan
Perubahan Pranata
Sosial Pertanian
Nanas dan Kelapa
Sawit

Konversi Tanaman Komoditi
(Komoditi Nanas ke Kelapa Sawit)

1. Penguasaan lahan
2. Penggunaan
tenaga kerja
3. Sistem panen

Perubahan Sistem
Mata Pencaharian

Perubahan Hubungan
Sosial

1. Perubahan
kesempatan kerja
2. Perubahan pola
pekerjaan

Hubungan antar
warga

Perubahan Tingkat
Kesejahteraan
Perubahan Tingkat
Kesejahter