Keragaman Genetik Pinus merkusii Jungh. et de Vriese Strain Tapanuli berdasarkan Penanda Mikrosatelit

KERAGAMAN GENETIK Pinus merkusii Jungh. et de Vriese
STRAIN TAPANULI BERDASARKAN
PENANDA MIKROSATELIT

I MADE MAYUN MAHA DIPUTRA

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

i

ii

ii

PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keragaman
Genetik Pinus merkusii Jungh. et de Vriese Strain Tapanuli berdasarkan

Penanda Mikrosatelit adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi
ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2013

I Made Mayun Maha Diputra
NIM E44080010

iii

ii

ii

ABSTRAK

I MADE MAYUN MAHA DIPUTRA. Keragaman Genetik Pinus merkusii Jungh.
et de Vriese Strain Tapanuli berdasarkan Penanda Mikrosatelit. Dibimbing oleh
ULFAH JUNIARTI SIREGAR
Pinus merkusii strain Tapanuli tumbuh alami di Tapanuli, ke arah Selatan
Danau Toba, tetapi akibat intensitas penebangan yang tinggi populasinya semakin
berkurang. Penelitian ini bertujuan mengetahui keragaman genetik strain Tapanuli
dengan penanda mikrosatelit pada tiga populasi, yaitu Dolok Tusam Timur,
Lobugala, dan Parinsoran. Sampel diekstraksi dengan metoda CTAB (cetyl
trimethyl ammonium bromide) yang dimodifikasi dengan DNeasy plant mini kit,
kemudian diamplifikasi menggunakan tujuh primer mikrosatelit spesifik P.
merkusii, yaitu pm01, pm04, pm05, pm07, pm08, pm09a, dan pm12 yang
dikembangkan dari strain Aceh. Hasil analisis menunjukkan bahwa tujuh primer
tersebut dapat mengamplifikasi fragmen polimorfik dengan ukuran yang berbeda.
Populasi Lobugala memiliki tingkat heterozigositas tertinggi (He=0.4693), disusul
Dolok Tusam Timur (He=0.4614), dan Parinsoran (He=0.4316). Populasi Dolok
Tusam Timur dan Lobugala memiliki hubungan kekerabatan paling jauh dengan
jarak genetik 0.3798, sedangkan Lobugala dan Parinsoran memiliki hubungan
kekerabatan paling dekat dengan jarak genetik 0.0617. Variasi genetik ketiga
populasi tersebar sebanyak 81% di dalam populasi dan 18% di antara populasi.
Kata kunci: keragaman genetik, mikrosatelit, Pinus merkusii


ABSTRACT
I MADE MAYUN MAHA DIPUTRA. Genetic diversity of Pinus merkusii Jungh.
et de Vriese of Tapanuli Strain based on Microsatellite Markers. Supervised by
ULFAH JUNIARTI SIREGAR
Pinus merkusii of Tapanuli strain, which grows naturally in Tapanuli area to
the south of Toba Lake, has decreased considerably due to intensive logging. This
research aimed at investigating genetic diversity of strain Tapanuli Pine using
microsatellite markers on its three populations, i.e. Dolok Tusam Timur,
Lobugala, and Parinsoran. Leaf samples were extracted using combined CTAB
(cetyl trimethyl ammonium bromide) and DNeasy plant mini kit, then amplified
using seven specific microsatellite primers from P. merkusii Aceh strain, i.e.
pm01, pm04, pm05, pm07, pm08, pm09a, and pm12. Those primers could
amplify polymorphic fragments with different sizes than reported before.
Estimation of genetic diversity parameters showed that Lobugala population has
the highest heterozygosity (He = 0.4693) followed by Dolok Tusam Timur (He =
0.4614) and Parinsoran (He = 0.4316). Lobugala population was closely related to
Parinsoran with 0.0617 genetic distance, and separated from Dolok Tusam Timur
by 0.3798 genetic distance. Partition of genetic variation showed that 81% was
found within population, and only 18% was among population.

Keywords: genetic diversity, microsatellite, Pinus merkusii

i

iv

iv

KERAGAMAN GENETIK Pinus merkusii Jungh. et de Vriese
STRAIN TAPANULI BERDASARKAN
PENANDA MIKROSATELIT

I MADE MAYUN MAHA DIPUTRA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Silvikultur


DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
v

vi

vi

Judul Skripsi : Keragaman Genetik Pinus merkusii Jungh. et de Vriese
Strain Tapanuli berdasarkan Penanda Mikrosatelit
Nama
: I Made Mayun Maha Diputra
NIM
: E44080010

Disetujui oleh


Dr Ir Ulfah Juniarti Siregar, MAgr
Pembimbing

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

vii

viii

viii

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi
Wasa atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan.
Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober

2011 sampai Agustus 2012 ini ialah Keragaman Genetik Pinus merkusii
Jungh. et de Vriese Strain Tapanuli berdasarkan Penanda Mikrosatelit.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Ulfah Juniarti Siregar,
MAgr selaku pembimbing dan Ibu Dr Ir Arum Sekar Wulandari, MS yang
telah banyak memberi saran dalam penulisan skripsi ini. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada SEAMEO BIOTROP khususnya
bagian Common Laboratory Mbak Anidah yang telah membantu dan
memfasilitasi terlaksananya kegiatan penelitian ini dan PT. Angkasa Pura
yang memberikan beasiswa bakat dan prestasi. Kepada Kak Ranny, Jumadin
Sidabutar, Bapak Alfan Gunawan, Satryo Wibisono, Kak Dika, dan Kak
Laswi yang telah banyak membantu selama penelitian. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada Bapak tercinta Wayan Wage, Ibu tercinta
Nyoman Swarsini, Kakak tercinta I Putu Mayun Eka Atmaja dan Ni Made
Setianingsih, Adik tercinta I Nyoman Mayun Tri Sanjaya dan Ketut Mayun
Sinta Septiari, keponakan tercinta Gede Giovalenra Maystha Angelo,
sahabat seperjuangan Indra Prastha (IP), yaitu Yudha, Dedot, Wira, Joni,
Yoga, Didi, Bli Manu, Gde, dan Ajik, sahabat-sahabat terbaik KMHD IPB
angkatan 45 dan Brahmacarya Bogor angkatan 2008, teman-teman
Departemen Silvikultur angkatan 2008, serta seluruh pihak yang telah
menyemangati dan selalu mendoakan yang terbaik bagi penulis.

Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2013

I Made Mayun Maha Diputra

ix

x

x

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA
Pinus merkusii Jungh. et de Vriese
Klasifikasi dan Penyebaran
Deskripsi Botani
Kegunaan dan Manfaat
Keragaman Genetik
Penanda Genetik
Elektroforesis
PCR (polymerase chain reaction)
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan dan Alat Penelitian
Prosedur Penelitian
Contoh Daun
Ekstraksi DNA
Uji Kualitas DNA
Polymerase Chain Reaction (PCR) Mikrosatelit
Elektroforesis Gel Polyacrylamide
Visualisasi DNA
Analisis Data

HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekstraksi DNA
Hasil PCR dengan Primer Mikrosatelit Spesifik P. merkusii
Analisis Keragaman Genetik P. merkusii Strain Tapanuli
Keragaman Genetik dalam Populasi
Keragaman Genetik antar Populasi
Variasi Genetik dan Indeks Fiksasi (FST)
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vi
vi
vii
1
2
2

2
2
3
3
3
5
6
7
8
8
10
10
10
12
13
14
15
15
16
18
20
20
23
25
27
28
28
32
35

v

vi

vi

vi

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
13
14
15

Tiga lokasi pengambilan sampel daun pinus di Tapanuli
Susunan bahan buffer ekstrak CTAB
Susunan bahan larutan buffer TE (tris-EDTA)
Susunan bahan larutan buffer TAE (tris-acetic-EDTA)
50 kali
Pasangan
primer
mikrosatelit
yang
digunakan
(Nurtjahjaningsih et al. 2005)
Susunan bahan mix PCR mikrosatelit dalam 1 kali reaksi
Tahapan dan kondisi reaksi PCR
Komposisi bahan-bahan gel polyacrylamide 6%
Ukuran fragmen mikrosatelit pada P. merkusii strain
Tapanuli
Keragaman genetik P. merkusii pada 3 populasi yang diteliti
Keragaman genetik beberapa jenis pinus
Jarak genetik Nei (1972) antar populasi P. merkusii
Analysis of molecular variance (AMOVA) dari 3 populasi
P. merkusii menggunakan 7 lokus mikrosatelit
Diferensiasi genetik (FST) beberapa jenis pinus

9
11
11
12
13
14
14
14
19
20
23
23
25
27

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

6

7
8
9
10

Tahapan proses PCR
Peta lokasi pengambilan sampel daun pinus di Tapanuli
Bagan tahapan penelitian
Cara scoring DNA mikrosatelit.
Contoh kemurnian pita DNA hasil ekstraksi dengan metode
CTAB (garis melingkar kuning = DNA; garis melingkar
biru = RNA; garis melingkar hijau = kotoran bahan-bahan
kimia)
Contoh kemurnian pita DNA hasil ekstraksi dengan metode
DNeasy plant mini kit dari QIAGEN (garis melingkar
cokelat = tidak ada RNA dan juga kotoran sisa ekstraksi;
garis melingkar merah = DNA dari contoh sampel daun
segar; garis melingkar kuning = DNA dari contoh sampel
daun kurang segar)
Ukuran pengenceran DNA hasil ekstraksi pada sampel
yang berbeda
Foto hasil amplifikasi DNA dengan tujuh primer spesifik P.
merkusii pada gel polyacrylamide 6%
Kondisi tempat pengambilan sampel di lapangan: (a) Dolok
Tusam Timur, (b) Parinsoran, (c) Lobugala
Dendogram hubungan antara 3 populasi P. merkusii
berdasarkan jarak genetic Nei (1972)

8
9
10
15

16

17
18
19
22
23

vi

vii

DAFTAR LAMPIRAN
1
2

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian
Hasil analisis data dengan software Arlequin versi 3.5
(Excoffier et al. 2011)
3 Hasil analisis FST dengan software Fstat versi 2.9.3.2
(Goudet 2002)

32
33
34

vii

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pinus merkusii Jungh. et de Vriese merupakan satu-satunya jenis dari
famili Pinaceae yang dapat tumbuh secara alami di Indonesia pada ketinggian
antara 200–2 000 m dpl, dengan kondisi optimal pada ketinggian antara
400–1 500 m dpl (Khaerudin 1999). P. merkusii dapat tumbuh baik pada tanah
yang kurang subur seperti padang alang-alang. Sifatnya yang cepat tumbuh
membuat pinus ini tidak memerlukan tempat tumbuh dengan persyaratan khusus.
Berdasarkan sebaran geografis alaminya berada di tiga lokasi di wilayah Utara
Sumatera, yaitu Aceh, Kerinci, dan Tapanuli, yang menurut Lamb dan Colling
(1967) membentuk strain, Cooling (1968) menyebutnya provenansi, sedangkan
Armizon et al. (1995) menamakannya galur P. merkusii. Strain Tapanuli
menyebar di daerah Tapanuli, ke arah Selatan Danau Toba. Tegakan pinus alam
terdapat di pegunungan Dolok Tusam, Batu Manumpak, Sialogo, Habinsaran,
Dolok Sibualbuali, Dolok Sipirok, Sipagimbar, Padang Mandailing, dan Dolok
Pardumahan. Pada perbukitan Dolok Saut tegakan tusam bercampur dengan
pohon daun lebar dengan ketinggian tempat 1 000–1 500 m dpl (Siregar 2005).
Saat ini ekosistem daratan Tapanuli mengalami beberapa tekanan kuat yang
berpotensi menghilangkan keberadaan sumberdaya hutan yang ada, seperti
gangguan tanah longsor, gempa bumi, serta ilegal logging dan pembakaran hutan
(Anonim 2009). Usaha pelestarian dan pembangunan hutan yang kurang serta
intensitas kegiatan penebangan yang tinggi pada daerah-daerah penyebaran alami
di Tapanuli Utara dan Selatan mengakibatkan populasi pinus strain Tapanuli
semakin berkurang. Sementara itu banyak kegiatan penghijauan dan reboisasi,
salah satunya Gerhan, yang menggunakan strain Aceh, sehingga dapat menjadi
ancaman bagi potensi genetik strain Tapanuli (Aswandi 2011), misalnya
berdampak pada perubahan frekuensi gen strain Tapanuli akibat adanya strain lain
yang tumbuh pada tempat tumbuh alaminya. Perubahan frekuensi gen melalui
migrasi akan mempengaruhi tingkat keragaman genetik suatu populasi. Dengan
demikian perlu dilakukan penelitian tentang keragaman genetik menggunakan
marka DNA sehingga upaya pelestarian dan pembangunan hutan, serta konservasi
basis genetik strain Tapanuli dapat berjalan dengan maksimal.
Informasi tentang keragaman genetik sangat penting diketahui untuk
pengembangan tanaman di masa depan, seperti bahan seleksi genotip yang
dikehendaki, pendugaan hubungan kekerabatan (hubungan filogenetis), dan
penentuan asal-usul ataupun penggolongan suatu spesies dalam taksonomi.
Informasi genetik yang mendalam sangat membantu dalam pengambilan
keputusan konservasi untuk mempertahankan suatu spesies di alam terutama pada
spesies-spesies yang terancam punah agar tetap lestari. Variasi genetik yang tinggi
akan berpengaruh pada kelestarian keanekaragaman hayati. Suatu populasi
mampu beradaptasi terhadap berbagai perubahan yang terjadi di lingkungan
sekitarnya karena didukung oleh variasi genetik yang dimiliki oleh populasi
tersebut.
Penanda genetik digunakan sebagai alat bantu dalam mempelajari
keragaman genetik dan mengidentifikasi genotip suatu sampel. Penelitian ini

2

menggunakan penanda molekuler karena bersifat stabil dan tidak terpengaruh
lingkungan. Dewasa ini telah berkembang berbagai jenis penanda molekuler
diantaranya ialah RAPD (random amplified polymorfik DNA), RFLP (restriction
fragment length polymorphism), isoenzim, dan SSR (simple sequence repeat) atau
mikrosatelit.
Mikrosatelit adalah salah satu metode penanda genetik yang bersifat
kodominan sehingga dapat mendeteksi keragaman alel pada level yang tinggi,
mudah dan ekonomis dalam penerapannya karena menggunakan proses PCR
(polymerase chain reaction). Mikrosatelit paling banyak digunakan secara luas
untuk pemetaan genetik, analisis keragaman genetik, dan studi evolusi. Marka
atau penanda ini muncul sebagai marka yang sangat variatif dan mudah diulang,
menjadikan sangat ideal untuk pemetaan genom (Prasetiyono et al. 2004).

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman genetik P. merkusii
strain Tapanuli di dalam dan antar populasi Dolok Tusam Timur, Lobugala, dan
Parinsoran.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi tentang
keragaman genetik di dalam dan di antara populasi Dolok Tusam Timur,
Lobugala, dan Parinsoran, serta dapat mengetahui persentase sebaran variasi
genetik dan nilai indeks fiksasi (FST) untuk kegiatan pembangunan dan pelestarian
hutan, serta konservasi sumberdaya genetik P. merkusii strain Tapanuli.

TINJAUAN PUSTAKA
Pinus merkusii Jungh. et de Vriese
Klasifikasi dan Penyebaran
P. merkusii pertama sekali ditemukan dengan nama tusam di daerah Sipirok,
Tapanuli Selatan oleh seorang ahli botani dari Jerman, yaitu Dr F. R. Junghuhn
pada tahun 1841. Jenis ini tergolong jenis cepat tumbuh dan tidak membutuhkan
persyaratan khusus. Keistimewaan jenis ini ialah satu-satunya jenis pinus yang
menyebar secara alami ke Selatan khatulistiwa sampai 2 °LS (Harahap 2000).
P. merkusii termasuk famili Pinaceae, yang bersinonim dengan P. sylvestri
auct. Non. L, P. sumatrana Jung, P. finlaysoniana Blume, P. latteri Mason, P.
merkusii var Tonkinensis, P. merkusiana Cooling & Gaussen. Pinus memiliki
beragam nama daerah, yaitu damar batu, huyam, kayu sala, sugi, tusam
(Sumatera), pinus (Jawa), sral (Kamboja), thong mu (Vietnam), tingyu (Burma),
tapusan (Filipina), indochina pine, sumatra pine, merkus pine (Amerika Serikat
dan Inggris), dan lain-lain (Harahap 2000). Plantamor (2008) memaparkan secara
rinci taksonomi dari P. merkusii adalah sebagai berikut:
2

3

Kingdom
Sub kingdom
Sub divisi
Divisi
Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies

: Plantae
: Tracheobionta
: Spermatophyta
: Coniferophyta
: Pinopsida
: Pinales
: Pinaceae
: Pinus
: P. merkusii Jungh. et de Vriese

Deskripsi Botani
Pohon pinus memiliki tajuk yang umumnya berbentuk piramida dan bentuk
ini terlihat nyata sekali pada waktu muda. Pada keadaan yang kurang baik tajuk
terlihat agak mendatar atau berbentuk payung terbuka. Daun pinus berbentuk
seperti jarum sehingga disebut pohon daun jarum. Daun-daun ini berpasangan
dalam satu ikatan yang terdiri dari dua jarum dalam satu fasikel yang dibungkus
oleh suatu selaput tipis 3 mm sampai 10 mm. Panjang daun antara 12–25 cm
sedangkan lebar daun 1–2 mm dengan bentuk penampang segitiga dan lancip
dibagian ujung. Panjang daun berbeda dan menurut Cooling (1968) panjang daun
dapat dijadikan sebagai pembeda provenans.
P. merkusii termasuk pohon berukuran sedang, berumah satu, dan tingginya
hingga 15–45 m. Batang utama lurus dalam tegakan rapat, bebas cabang sampai
10–25 m, berdiameter hingga 100–140 cm, dan tidak berbanir tetapi di bagian
pangkal melebar. Kulit batang berwarna coklat tua agak kelabu, kasar, beralur
dalam dan menyerpih dalam keping-keping panjang lurus dan juga bengkok,
tetapi di Tapanuli ditemukan kulit batang yang licin, jarang beralur dalam, tipis,
dan berwarna muda (Soerianegara dan Djamhuri 1979).
Kegunaan dan Manfaat
Kayu pinus masih sangat berperan dalam kehidupan manusia karena
memiliki banyak manfaat, yaitu sebagai bahan bangunan untuk rumah, korek api,
pulp, dan kertas. Teras kayu dapat dijadikan untuk penyulut kayu bakar yang
banyak digunakan di daerah pegunungan yang berhawa sejuk/dingin. Hasil
turunan dari getah pinus juga banyak dimanfaatkan, yaitu gondorukem untuk
bahan pembuat sabun, resin, dan cat sedangkan terpentin digunakan untuk bahan
industri parfum, obat-obatan, dan desinfektan. Bagian kulit kayu dapat
dimanfaatkan sebagai bahan bakar dan abunya digunakan untuk bahan campuran
pupuk, karena mengandung kalium (Dahlian dan Hartoyo 1997).

Keragaman Genetik
Keragaman genetik merupakan perbedaan gen yang terkandung dalam
individu suatu populasi dan berhubungan dengan kemampuan beradaptasi suatu
individu dalam mengalami perubahan selama proses perkembangannya. Genetika
populasi tidak hanya mempelajari susunan genetik individu tetapi juga
perpindahan gen-gen dari satu generasi ke generasi berikutnya. Keragaman

4

genetik dapat diwariskan kepada keturunannya dan terjadi karena adanya
rekombinasi genetik sebagai akibat adanya persilangan-persilangan dan mutasi.
Beberapa keragaman yang dapat dijumpai dalam suatu jenis pohon, yaitu
keragaman geografis (antar provenans), keragaman lokal (antar tempat tumbuh,
antar tapak), keragaman antar pohon, dan keragaman di dalam pohon. Finkeldey
(2005) berpendapat bahwa keragaman genetik suatu jenis tanaman dapat
dievaluasi pada dua tingkatan, yaitu keragaman dalam populasi (intra-population)
dan keragaman antar populasi (inter-population). Keragaman genetik dalam
populasi dapat diukur dari nilai heterozigitas individual. Adapun ukuran-ukuran
yang sering digunakan untuk mencirikan variasi genetik dalam populasi ialah
persentase lokus polimorfik (PLP), jumlah alel yang diamati (na), jumlah alel
yang efektif (ne), dan heterozigositas harapan (He), sedangkan keragaman genetik
antar populasi dapat diukur dari jarak genetik, diferensiasi genetik (Gst), dan
analisis gerombol.
Dua sebab utama yang menyebabkan keragaman, yaitu perbedaan
lingkungan (environmental variation) dan perbedaan susunan genetik yang
diturunkan dari tetua kepada keturunannya (genetic variation). Adanya
keragaman dalam suatu jenis perlu diketahui terlebih dahulu sebelum memulai
pemuliaan pohon, karena adanya keragaman genetik merupakan prasyarat mutlak
dalam pemuliaan, yaitu untuk memungkinkan seleksi dan untuk mencegah
dihasilkannya tanaman yang tidak bermutu (Soerianegara dan Djamhuri 1979).
Finkeldey (2005) menjelaskan bahwa keragaman genetik pada suatu populasi
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu mutasi dan aliran gen yang meningkatkan
keragaman genetik, sedangkan faktor yang menurunkan keragaman genetik ialah
seleksi dan hanyutan genetik.
Tingkat keragaman genetik merupakan suatu indikasi atas kemampuan
beradaptasi tanaman terhadap lingkungan tumbuhnya. Siregar (2000)
mengungkapkan bahwa pada pohon-pohon hutan, keberadaan keragaman genetik
yang berbeda dalam populasi bertanggung jawab terhadap perbedaan tingkat
adaptasi dan kapasitasnya untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan
karena pohon-pohon tidak mampu untuk berpindah dan berumur panjang. Jenis
tanaman yang mempunyai sebaran alam yang luas akan mempunyai keragaman
genetik yang tinggi, karena eksistensi tanaman pada suatu lingkungan tumbuh
merupakan manifestasi kemampuan jenis tersebut tumbuh dan berkembang dalam
lingkungan tumbuh yang ada (Hartl dan Clark 1989).
Pohon hutan termasuk ke dalam organisme dengan variasi genetik yang
tinggi, sehingga perubahan permanen secara evolusi adalah mungkin dan
cenderung terjadi. Hutan tropis adalah hutan yang memiliki keragaman yang
tinggi, akan tetapi jumlah setiap jenisnya rendah. Jenis yang dijumpai dalam
kerapatan yang rendah di hutan tropis kurang bervariasi dibandingkan dengan
jenis-jenis yang dijumpai dalam populasi dengan kerapatan yang tinggi, akan
tetapi nilai heterozigositas harapan adalah tinggi untuk banyak jenis walaupun
pada populasi dengan kerapatan rendah (Finkeldey 2005). Hutan tropis memiliki
variasi genetik yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan hutan temperit dan
boreal. Jenis-jenis pohon memperlihatkan keragaman dalam sifat-sifatnya.

4

5

Penanda Genetik
Sifat tanaman dapat diidentifikasi berdasarkan sifat fenotip dan genotip.
Identifikasi tanaman berdasarkan sifat fenotip dapat melalui morfologi tanaman
antara lain tinggi tanaman, bentuk batang, panjang daun, warna, rambut daun,
serta ukuran dan bentuk organ lainnya. Cara ini memiliki kelemahan, yaitu adanya
pengaruh lingkungan di sekitarnya. Sifat fenotip dipengaruhi oleh dua faktor,
yaitu genotip dan lingkungan, dengan demikian alternatif lain ialah penelusuran
sifat tanaman dari segi genotip tanaman melalui analisis DNA.
Keragaman genetik tanaman dapat diketahui melalui analisis DNA.
Keragaman genetik dapat dianalisis menggunakan teknik penanda genetik sebagai
alat bantu mengidentifikasi genotip suatu individu. Beberapa manfaat penting dari
penanda genetik ialah sebagai alat pembantu dalam identifikasi hibrid, identifikasi
klon, penelitian sistem reproduksi yang mencangkup sistem perkawinan dan aliran
gen, pembuktian pengaruh seleksi dan identifikasi QTL (quantitative trait loci),
serta pengukuran variasi genetik di dalam dan antar populasi. Saat ini sudah
terdapat banyak jenis penanda genetik yang telah teridentifikasi. Penanda genetik
yang dipilih ialah penanda yang terpaut dengan sifat/karakter yang menjadi
sasaran penelitian. Penanda genetik yang sering digunakan dalam genetika hutan,
yaitu polimorfisme morfologi, sifat-sifat warna, produksi metabolisme sekunder,
isoenzim, dan penanda DNA (Finkeldey 2005).
Penanda atau marka dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu marka
morfologis, marka sitologi, dan marka molekuler. Penanda morfologis digunakan
sejak awal genetika untuk mendeskripsikan taksonomi karena lebih mudah, lebih
cepat, sederhana, dan lebih murah. Walaupun mudah dan masih dipakai (biasanya
digunakan untuk mengontrol berhasilnya suatu persilangan) akan tetapi penanda
ini dapat dipengaruhi oleh lingkungan sehingga dianggap tidak stabil (Wulandari
2008).
Asiedu (1989) dalam Aritonang et al. (2007) menyebutkan bahwa penanda
sitologi digunakan untuk membantu pemuliaan tanaman melalui ukuran
kromosom, rasio tangan kromosom, dan pola pita teknik-teknik pewarnaan
kromosom. Penggunaan penanda sitologi khususnya pola pita kromosom
dimungkinkan pada spesies-spesies tanaman yang mempunyai kromosom dengan
ukuran yang lebih besar misalnya pada tanaman gandum. Penanda molekuler
bersifat stabil karena DNA bersifat kekal dan tidak terpengaruh lingkungan.
Penelitian pada tingkat molekuler dapat menggunakan salah satu metode
penanda genetik, yaitu penanda genetik mikrosatelit. Mikrosatelit yang dikenal
dengan simple sequence repeats (SSRs) merupakan kelas terkecil dari sekuen
berulang (Anonim 2011 dalam Fahmi 2011). Mikrosatelit merupakan rangkaian
pola nukleotida antara dua sampai enam pasang basa yang berulang secara
berurutan dan mempunyai karakteristik tingkat polimorfisme yang tinggi,
kodominan dan diwariskan mengikuti hukum Mendel (Weising et al. 2005). Bila
satu primer yang spesifik telah didesain, lokus SSR dapat diamplifikasi dari
sedikit sample DNA dengan PCR (Ujino et al. 1998 diacu dalam Zulfahmi 2006).
Mikrosatelit diamplifikasi menggunakan teknik PCR dengan beberapa pasang
mikrosatelit (Anonim 2011 dalam Fahmi 2011).
Prasetiyono et al. (2004) menyatakan bahwa mikrosatelit merupakan salah
satu tipe polimorfisme yang berulang-ulang, yang biasa dikelompokkan ke dalam

6

simple tandem repeat polymorphism (STRP), karena perbedaan genetik di antara
molekul-molekul DNA yang mengandung sejumlah kopi sekuen DNA pendek
yang diulang beberapa kali. STRP yang memiliki pengulangan 2–9 pasang basa
sering disebut mikrosatelit, sedangkan STRP dengan pengulangan 10–60 pasang
basa sering disebut minisatelit atau variable number of tandem repeats (VNTR).
Marka ini telah terbukti lebih efektif baik untuk pengorganisasian materi
genetik berdasarkan jarak genetik, pemetaan gen, dan dalam pengimplementasian
program pemuliaan yang lebih efisien. Mikrosatelit biasa digunakan untuk
menguji kemurnian galur, studi filogenetik, lokus pengendali sifat kuantitatif, dan
forensik. Selain itu mikrosatelit telah diaplikasikan untuk diagnosis dan
identifikasi penyakit, studi populasi genetik dan efek leher botol (bottlenecks
effect), konservasi biologi untuk mengamati perubahan dalam populasi, pengaruh
fragmentasi dan interaksi populasi yang berbeda, serta untuk identifikasi populasi
yang baru terbentuk.
Korzun (2003) menjelaskan keuntungan menggunakan mikrosatelit, yaitu
metode relatif sederhana dan dapat dilakukan secara otomatis, kebanyakan marker
monolokus dan mengikuti warisan hukum Mendel, memiliki kandungan informasi
lebih mendalam, pasangan primer mikrosatelit tersedia di pasaran dalam jumlah
yang besar, lebih efektif dalam biaya untuk setiap genotip dan primer (sama
dengan RAPD). Kekurangan penggunaan mikrosatelit adalah kesulitan kloning
dan sequencing daerah flanking SSRs. Daerah flanking ini relatif spesifik untuk
tiap spesies (Anonim 2011 dalam Fahmi 2011). Selain itu Powell et al. 1996
dalam Azrai 2005 memaparkan bahwa marka SSR tidak tersedia pada semua
spesies tanaman sehingga untuk merancang primer baru membutuhkan waktu
yang lebih lama dan biaya cukup mahal.

Elektroforesis
Elektroforesis adalah suatu teknik pemisahan makromolekul (enzim atau
protein) dalam suatu larutan yang memiliki pH tertentu dan dialiri aliran listrik.
Kecepatan relatif perpindahan makromolekul pada medium dapat
mengungkapkan bentuk-bentuk yang berbeda dari enzim yang memiliki aktivitas
katalik reaksi yang sama. Perbedaan kecepatan migrasi tersebut tergantung pada
besarnya muatan listrik dari gugus-gugus yang terionisasi di permukaan partikel
dan besarnya tergantung kepada kekuatan ionik dan pH medium serta ukuran dan
bentuk partikel enzim atau protein yang berkaitan langsung dengan susunan asam
amino dari peptida yang membentuknya. Sargent dan George (1975) dalam
Siregar et al. (2004) menyatakan bahwa migrasi partikel bermuatan pada medan
listrik bergantung pada sifat partikel yang bermuatan, medan listrik, dan larutan
penyangga (buffer).
Molekul-molekul biologis yang bermuatan listrik di dalam larutan
penyangga akan bergerak ke arah elektroda yang polaritasnya berlawanan dengan
muatan molekul. Pemisahan nukleotida yang berbeda dari setiap protein atau
enzim yang dianalisis melalui proses pewarnaan akan menghasilkan pola pita
tertentu. Pola pita tersebut adalah hasil reaksi enzimatik dari substrat dengan
enzim yang diamati.

6

7

PCR (polymerase chain reaction)
Polymerase chain reaction (PCR) adalah suatu teknik sintesis dan
amplifikasi DNA secara in vitro. Teknik ini pertama kali dikembangkan oleh
Karry Mullis pada tahun 1985. Teknik PCR dapat digunakan untuk
mengamplifikasi segmen DNA dalam jumlah jutaan kali hanya dalam beberapa
jam. Proses PCR melibatkan beberapa tahap, yaitu pra-denaturasi DNA templat,
denaturasi DNA templat, penempelan primer pada templat (annealing),
pemanjangan primer (extension), dan pemantapan (postextension). Tahapan
denaturation, annealing, dan extension merupakan tahapan berulang (siklus)
dimana pada setiap siklus terjadi duplikasi jumlah.
Proses PCR yang terjadi secara berulang dapat menduplikasi DNA target
untai ganda dalam jumlah yang banyak. Untai ganda DNA templat (unamplified
DNA) dipisahkan dengan denaturasi termal dan kemudian didinginkan hingga
mencapai suatu suhu tertentu untuk memberi waktu pada primer menempel
(anneal primers) pada daerah tertentu dari target DNA. Suryanto (2011) juga
mengungkapkan bahwa proses penempelan primer pada utas DNA yang sudah
terbuka memerlukan suhu optimum, sebab suhu yang terlalu rendah menyebabkan
primer menempel pada sisi lain genom yang bukan sisi homolognya. Peristiwa ini
dapat menyebabkan teramplifikasi banyak daerah yang tidak spesifik dalam
genom tersebut. Polimerase DNA digunakan untuk memperpanjang primer
(extend primers) dengan adanya dNTPs (dATP, dCTP, dGTP dan dTTP) dan
buffer yang sesuai. Umumnya keadaan ini dilakukan antara 20–40 siklus DNA
(Handoyo et al. 2001). Tahapan proses PCR dapat dilihat pada Gambar 1.
Proses penggandaan sejumlah molekul DNA pada target tertentu dengan
cara mensintesis molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA
target tersebut dengan bantuan enzim dan oligonukleotida sebagai primer dalam
suatu thermocycler. Panjang target DNA berkisar antara puluhan sampai ribuan
nukleotida yang posisinya diapit sepasang primer. Proses PCR melibatkan
serangkaian siklus temperatur yang berulang dan masing-masing siklus terdiri atas
tiga tahapan, yaitu tahap peleburan (denaturation), tahap penempelan (annealing),
dan tahap pemanjangan (extension).
Tahap peleburan (denaturation) berlangsung pada suhu yang tinggi yakni
berkisar antara 94 °C sampai 96 °C. Ikatan hidrogen DNA akan terputus sehingga
DNA yang double helix berubah menjadi untaian tunggal (single helix). Tahapan
ini biasanya berlangsung sampai 5 menit untuk memastikan semua berkas DNA
terpisah sempurna. DNA yang sudah terpisah menjadi tidak stabil dan siap
menjadi templat bagi primer. Adapun durasi pada tahap ini berlangsung antara 1
sampai 2 menit. Tahap penempelan (annealing) terjadi jika DNA templat
berkomplementer urutan basanya dengan primer yang digunakan. Tahapan ini
dilakukan antara 45–60 °C. Suhu sangat berpengaruh penting dalam proses
penempelan primer. Suhu yang tidak tepat menyebabkan tidak terjadinya
penempelan primer atau primer bisa menempel di sembarang tempat. Adapun
durasi pada tahap ini berlangsung antara 1 sampai 2 menit. Sedangkan tahap
pemanjangan (extension) suhu sangat tergantung dari jenis DNA-polimerase yang
dipakai. Durasi pada tahap ini biasanya berlangsung selama 1 menit. Siklus
kembali diulang ke tahap 1 jika terlepas dari tahap 3.

8

Gambar 1 Tahapan proses PCR

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian analisis DNA dilaksanakan dari bulan Oktober 2011 sampai
Agustus 2012. Penelitian ini dilakukan di Common Laboratory SEAMEO
BIOTROP.

Bahan dan Alat Penelitian
Bahan tanaman yang digunakan berupa daun pinus strain Tapanuli yang
diambil secara acak di tiga lokasi, yaitu populasi pinus di dalam kawasan hutan
lindung Dolok Tusam Timur, populasi pinus di luar kawasan hutan lindung Dolok
Tusam Timur yang masing-masing terletak di Kecamatan Garoga, dan populasi
pinus di luar kawasan hutan lindung Dolok Tusam Barat yang terletak di
kecamatan Pangaribuan. Kondisi tegakan di dalam kawasan hutan lindung Dolok
Tusam Timur didominasi oleh P. merkusii yang tumbuh alami, memiliki tegakan
yang rapat, dan tidak terjadi kerusakan atau degradasi hutan. Berbeda dengan
sampel Parinsoran yang diambil dari populasi pinus di luar kawasan hutan lindung
Dolok Tusam Timur yang telah mengalami kerusakan sehingga menyebabkan
penutupan hutan menjadi lebih terbuka. Kerusakan ini sebagian besar disebabkan
oleh kegiatan penebangan hutan untuk perladangan masyarakat lokal. Populasi
8

9

Lobugala berada di luar kawasan hutan lindung Dolok Tusam Barat, juga terdapat
banyak aktivitas perladangan. Informasi ketiga lokasi disajikan pada Tabel 1 dan
letak lokasi pada Gambar 2.
Tabel 1 Tiga lokasi pengambilan sampel daun pinus di Tapanuli
Koordinat Geografis
No

Populasi

Kecamatan

Kabupaten

Provinsi

1

Dolok Tusam
Timur

Garoga

Tapanuli
Utara

Sumatera
Utara

2

Lobugala

Pangaribuan

Tapanuli
Utara

3

Parinsoran

Garoga

Tapanuli
Utara

Lintang
Utara
01°59’29,8‖

Bujur
Timur
099°15’10,0‖

Sumatera
Utara

01°56’49,2‖

Sumatera
Utara

02°00’41,2‖

Kondisi hutan

Jumlah
Sampel

Tidak
terdegradasi

17

099°14’39,4‖

Terdegradasi

16

099°15’34,4‖

Terdegradasi

16

Total

49

Gambar 2 Peta lokasi pengambilan sampel daun pinus di Tapanuli
Bahan-bahan yang digunakan dalam ekstraksi DNA pada penelitian ini
secara garis besar ialah: Nitrogen cair, buffer ekstrak CTAB (cetyl trimethyl
ammonium
bromide),
β-Mercaptoethanol,
fenol,
aquabidest
steril,
kloroform:isoamilalkohol (24:1), isopropanol dingin, etanol 70%, buffer TE (trisEDTA) dan DNeasy plant mini kit dari QIAGEN. Pada proses PCR bahan-bahan
yang digunakan ialah: DNA template, nuclease free water, primer reverse and
forward spesifik P. merkusii, dan Go Taq Colorless Master Mix. Bahan-bahan
yang digunakan dalam visualisasi DNA di gel agarose ialah: agarose 1% (b/v),
buffer TAE (tris-acetic-EDTA), loading dye, dan SYBR Safe DNA gel stain.

10

Bahan-bahan yang digunakan dalam visualisasi DNA di gel polyacrylamide ialah:
gel polyacrylamide 6%, buffer TBE (tris-base-EDTA), larutan fiksasi (asam asetat
10%), larutan staining/pewarna, larutan developer, dan aquadest. Alat-alat yang
digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat secara lengkap pada Lampiran 1.

Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian dengan metode mikrosatelit secara umum dapat dilihat
pada Gambar 3 berikut ini:

Gambar 3 Bagan tahapan penelitian

Contoh Daun
Contoh daun pinus yang telah diambil kemudian dimasukkan ke dalam
plastik yang berisi silika gel. Fungsinya agar daun tetap terjaga kualitasnya
sehingga daun tidak rusak, selanjutnya daun disimpan di dalam freezer dan segera
dilakukan ekstraksi apabila dikeluarkan dari freezer.
Ekstraksi DNA
Ekstraksi atau isolasi DNA bertujuan untuk memisahkan DNA dari bahanbahan yang tidak diperlukan. Ekstraksi DNA dari daun pinus dilakukan dengan
10

11

menggunakan metode CTAB (cetyl trimethyl ammonium bromide) untuk
mendapatkan DNA murni. Sebanyak 0.5 gram sampel daun pinus yang masih
segar dimasukkan ke dalam mortar yang bersih, kemudian ditambahkan nitrogen
cair dan secepatnya digerus sampai halus. Hasil gerusan berupa serbuk halus
dimasukkan ke dalam tube berukuran 2 mL dan ditambahkan 1 mL buffer ekstrak
dan 10 µL β-mercaptoethanol. Selanjutnya tube dihomogenkan menggunakan
vortex agar jaringan daun dengan larutan buffer tercampur dengan baik. Pada
Tabel 2 diperlihatkan susunan buffer ekstrak CTAB yang digunakan.
Tabel 2 Susunan bahan buffer ekstrak CTAB
1.
2.
3.
4.
5.

Bahan buffer ekstrak CTAB
CTAB 10%
EDTA 0.5 M pH 8.0
Tris-Cl 1.0 M pH 8.0
NaCl 5 M
Aquabidest steril

Volume untuk 50 mL
10.0 mL
2.0 mL
5.0 mL
12.6 mL
20.4 mL

Proses setelah dihomogenkan dengan menggunakan vortex, dilanjutkan
dengan inkubasi selama 30 menit di dalam water bath dan setiap 5 menit sekali
dibolak-balik atau dihomogenkan. Suhu optimal yang digunakan dalam proses
inkubasi ialah 65 °C. Apabila proses inkubasi telah selesai maka tube diangkat
dan didinginkan selama 15 menit, kemudian disentrifuge selama 10 menit dengan
suhu 20 °C dan kecepatan 12 000 rpm. Sentrifuge dilakukan untuk memisahkan
bahan-bahan kimia atau fase organik dari fase cair berupa supernatan. Bagian
supernatan diambil untuk selanjutnya dipurifikasi dengan menambahkan 750 µL
fenol:kloroform:isoamilalkohol (25:24:1) kemudian dihomogenkan menggunakan
vortex dan disentrifuge kembali dengan waktu, suhu, dan kecepatan yang sama.
Tahap ini dilakukan sebanyak 2 kali hingga supernatan yang diperoleh bersih dan
murni.
Supernatan
yang
sudah
murni
kemudian
ditambahkan
kloroform:isoamilalkohol (24:1) sebanyak 1 mL, dihomogenkan dan disentrifuge
kembali, supernatan dipindahkan ke tube baru. Tahap ini juga dilakukan sebanyak
2 kali hingga supernatan yang diperoleh benar-benar bersih dan murni.
Supernatan yang bersih dan murni ditambahkan isopropanol dingin
sebanyak 1 kali volume supernatan, kemudian didinginkan dalam freezer dengan
suhu –20 °C minimal 30 menit. Hasil pengendapan berupa pelet DNA melalui
sentrifuge dengan kecepatan 12 000 rpm, suhu 20 °C selama 10 menit selanjutnya
dicuci dengan etanol 70% sebanyak 500 µL. Pelet yang telah tercuci divacum
selama 30 menit untuk menghilangkan bau alkohol. Pelet yang sudah kering
diberikan buffer TE sebanyak 100 µL. Pelet DNA yang sudah dilarutkan dengan
buffer TE siap diuji kualitasnya. Pada Tabel 3 diperlihatkan secara jelas susunan
larutan buffer TE (Tris-EDTA) yang digunakan dalam penelitian ini.
Tabel 3 Susunan bahan larutan buffer TE (tris-EDTA)
Bahan larutan buffer TE (tris-EDTA)
1. Tris-Cl 1.0 M pH 8.0
2. EDTA 0.5 M pH 8.0
3. H2O steril

Volume untuk 100 mL
1.0 mL
0.2 mL
98.8 mL

12

Penelitian ini juga dilakukan metode ekstraksi DNA dengan menggunakan
DNeasy plant mini kit dari QIAGEN. Sebanyak 100 mg serbuk halus sampel yang
telah digerus menggunakan nitrogen cair dimasukkan ke dalam tube 2 mL
kemudian ditambahkan 400 µL buffer AP1 dan 4 µL RNAse A. Campuran ini
dihomogenkan dengan menggunakan vortex selama 2 menit, diinkubasi selama 10
menit dengan suhu 65 °C di dalam water bath. Pada tahap ini sampel
dihomogenkan dengan cara dibolak-balik setiap 2 menit sekali. Sampel yang telah
diinkubasi lalu didinginkan selama 2 menit, kemudian ditambahkan buffer AP2
sebanyak 130 µL dan tube disimpan selama 5 menit di dalam batu es yang telah
dihancurkan. Proses berikutnya dilakukan pemisahan supernatan dengan
sentrifuge selama 10 menit, kecepatan 12 000 rpm, dan suhu 5 °C.
Supernatanyang diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam QIA Shredder mini
spin column dan kembali disentrifuge dengan kecepatan 12 000 rpm, suhu 5 °C
selama 2 menit. Supernatan yang sudah bersih dimasukkan ke dalam tube 2 mL,
ditambahkan buffer AP3 sebanyak 1.5 kali volume supernatan lalu
dihomogenkan. Setelah homogen kemudian ditransfer ke dalam DNeasy mini spin
column, disentrifuge selama 1 menit dengan kecepatan 8 000 rpm, dan suhu 5 °C.
Cairan yang berada di bawah column hasil sentrifuge dibuang dan pada column
ditambahkan buffer AW sebanyak 500 µL lalu disentrifuge dengan kecepatan
8 000 rpm, suhu 5 °C selama 2 menit. Cairan hasil sentrifuge pada tahap ini
selanjutnya dibuang. Tahap akhir ialah tahap elusi, yaitu buffer AE ditambahkan
sebanyak 100 µL ke dalam column sebelumnya, diamkan selama 5 menit pada
suhu ruang, lalu disentrifuge 8 000 rpm, suhu 5 °C selama 1 menit. DNA yang
diperoleh dari tahap elusi siap diuji kualitas.
Uji Kualitas DNA
Uji kualitas DNA dilakukan dengan elektroforesis pada gel agarose 1%
(b/v), yaitu agarose sebanyak 0.4 gram dilarutkan ke dalam 40 mL buffer TAE 1
kali. Buffer TAE 1 kali dibuat dari 20 mL buffer TAE 50 kali (Tabel 4) yang
dilarutkan dalam aquadest sebanyak 980 mL. Campuran agarose dalam buffer
TAE 1 kali dihomogenkan dengan stirer dan dipanaskan. Setelah warna menjadi
bening, agarose didinginkan dan kemudian ditambahkan SYBR Safe DNA gel
stain sebanyak 4 µL. Campuran dihomogenkan dengan stirer kembali namun
tidak dipanaskan agar SYBR Safe DNA gel stain tercampur merata. Agarose
selanjutnya dituang pada cetakan dan ditunggu hingga mengeras. Larutan DNA
dari tahap ekstraksi diambil sebanyak 5 µL yang kemudian ditambahkan dengan 1
µL loading dye dan dimasukkan ke dalam sumur gel. Loading dye yang
digunakan terdiri dari bahan sukrosa 20%, bromofenol blue, dan cylene cyanol.
Larutan DNA yang sudah tertuang semua kemudian dielektroforesis dengan
tegangan 75 Volt. Hasil running kemudian divisualisasikan di bawah cahaya UV
dan difoto di dalam KODAK gel logic 200 hingga pita DNA terlihat jelas.
Tabel 4 Susunan bahan larutan buffer TAE (tris-acetic-EDTA) 50 kali
Bahan larutan buffer TAE (tris-acetic-EDTA) 50 kali
1. Tris(hydroxymethyl)-aminomethan
2. Acetic acid glacial
3. EDTA 0.5 M pH 8.0
4. H2O steril

Volume/gram untuk 100 mL
24.2 gram
5.7 mL
10.0 mL
s.d 100.0 mL

12

13

Polymerase Chain Reaction (PCR) Mikrosatelit
Primer yang menghasilkan pita atau jumlah amplifikasi terbanyak
selanjutnya digunakan untuk amplifikasi DNA dari 49 sampel yang diuji. Primer
yang sesuai akan mempengaruhi visualisasi pita DNA yang muncul setelah proses
pewarnaan gel polyacrylamide. Ada tujuh jenis primer spesifik mikrosatelit P.
merkusii yang digunakan, yaitu pm01, pm04, pm05, pm07, pm08, pm09a dan
pm12. Pada Tabel 5 ditampilkan secara jelas informasi ketujuh jenis primer yang
digunakan dalam penelitian.
Tabel 5 Pasangan primer mikrosatelit yang digunakan (Nurtjahjaningsih et al.
2005)
Lokus

Ukuran
produk (bp)

Ta
(°C)

pm01

111–117

56

Motif berulang

(TG)12

Sekuen primer (5'–3')
F: AGAGAAGGCACGATTTTGTC
R: TCCCACTAATCACTTTGAAAG

pm04

92

56

(TG)10

F: CTCTAAGTAGGACAAGGCCT
R: CATAATCCAAGGAGTCAAGG

pm05

112–118

52

(TG)9

F: GAGTCTAATTGCAAACCCCA
R: TGGAGATCTACCACTTTTTC

pm07

284–309

52

(AC)8(AT)4

F: GAATCTAAGCATATGAAATGAG
R: CTTGTTAATGCTACTAGTTATG

pm08

132

59

(AT)2(GT)11

F: GCTTCAATCTATTGACCCCAT
R:TAAAGGGGCAGCTGCTACAACCAATGG

pm09a

81–99

52

(AT)5(GT)18(AT)2

F: CCTTCTCATTTCGATATGCAC
R: ATTAAAGGTTATATGGGGCT

pm12

181–193

59

(GT)5CT(GT)5(AT)5

F: GAACAATCATTGCGGGTCCCG
R: TATGCTGCGTTTATATGTATAAGTGTC

DNA hasil proses ekstraksi sebelum dilakukan amplifikasi PCR harus
dilakukan pengenceran DNA. Pengenceran DNA dilakukan dengan menggunakan
aquabidest steril. Perbandingan antara DNA dengan aquabidest tergantung dari
tebal tipisnya DNA genomik hasil dari ekstraksi pada masing-masing sampel. Pita
dengan ekor yang tebal memerlukan pengenceran yang lebih besar untuk
mengurangi konsentrasi pengotor yang berasal dari bahan-bahan kimia pada tahap
ekstraksi sebelumnya.
Prinsip proses PCR adalah siklus berjangka pendek (30 sampai 60 detik)
dengan tiga perubahan suhu yang berubah secara cepat. Komposisi bahan reaksi
PCR mikrosatelit yang digunakan terdiri dari nuclease free water, Go Taq
Colorless Master Mix, primer forward dan reverse, dan DNA isolasi. Reaksi PCR
mikrosatelit tersebut dilakukan dengan menggunakan mesin GeneAmp PCR
System 9700. Pada Tabel 6 disajikan komposisi bahan untuk reaksi PCR
mikrosatelit.

14

Tabel 6 Susunan bahan mix PCR mikrosatelit dalam 1 kali reaksi
Pereaksi
1. Nuclease free water
2. Go Taq Colorless Master Mix
3. Primer Forward and Reverse @
4. Cetakan DNA/DNA isolasi
Volume akhir

1 kali reaksi
5.00 µL
12.50 µL
1.25 µL
5.00 µL
25.00 µL

Reaksi amplifikasi dibuat dalam volume 25 µL/reaksi di dalam microtube
0.2 mL. Campuran atau mix yang sudah jadi dihomogenkan dengan vortex 3
sampai 5 detik, kemudian dispin agar tercampur merata dan selanjutnya dilakukan
proses PCR. Pada Tabel 7 ditampilkan tahapan dan kondisi reaksi PCR yang
digunakan selama proses amplifikasi.
Tabel 7 Tahapan dan kondisi reaksi PCR
Tahapan
Pre denaturasi
Denaturasi
Annealing
Extension
Post extension

Suhu (°C)
95
94–95
52–59
72
72

Waktu (menit)
5
0.5
0.5
0.5
7

Jumlah siklus
1
30
1

Elektroforesis Gel Polyacrylamide
Produk PCR sebelum dielektroforesis pada gel polyacrylamide dianalisis
terlebih dahulu menggunakan gel agarose 1% (b/v) sebanyak 5 µL selama 10
menit dengan tegangan 75 Volt untuk mengetahui kualitasnya. Produk PCR yang
kualitasnya baik kemudian ditambahkan 20 µL loading dye formamide yang
selanjutnya didenaturasi dengan suhu 94 °C selama 3 menit di dalam mesin PCR.
Hasil denaturasi dielektroforesis sebanyak 6 µL pada gel polyacrylamide 6%.
Komposisi bahan-bahan yang digunakan untuk membuat gel polyacrylamide 6%
disajikan dalam Tabel 8.
Tabel 8 Komposisi bahan-bahan gel polyacrylamide 6%
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Bahan
Volume/gram untuk 60 mL gel
Urea
25.2 gram
Aquabidest steril
29.0 mL
Buffer TBE 10 kali
3.0 mL
Acrylamide/bis 40% (19:1)
9.0 mL
bahan 1 s/d 4 dihomogenkan dahulu kemudian dicampur dengan bahan 5 dan 6
APS 10%
400.0 µL
TEMED
40.0 µL

Gel polyacrylamide 6% dibuat dengan mencampurkan/menghomogenkan
terlebih dahulu urea, aquabidest steril, buffer TBE 10 kali, dan acrylamide/bis
40% (19:1) sampai larutan berwarna bening. APS 10% dan TEMED ditambahkan
ke dalam larutan sebelumnya yang sudah homogen. Larutan yang sudah
tercampur merata kemudian dimasukkan ke dalam cetakan/chamber dan ditunggu
hingga mengeras selama 20 menit. Gel yang sudah mengeras dipanaskan terlebih
dahulu dengan melakukan pre-run pada daya 75 Watt selama 1 jam. Tahap
14

15

selanjutnya larutan sampel dimasukkan ke dalam sumur gel dan gel siap
dielektroforesis pada daya 65 Watt, selama 1 jam 15 menit (sampai warna hijau
dari xylene cyanol berada pada posisi 2/3 dari ujung gel), diatur sehingga suhu gel
berkisar 50 °C.
Visualisasi DNA
Gel polyacrylamide yang selesai dielektroforesis, dikeluarkan dari chamber
selanjutnya dimasukkan ke dalam tray pewarnaan yang telah ditambahkan 1 L
larutan fiksasi (asam asetat 10%) dan dibiarkan selama 20 menit di atas shaker.
Larutan fiksasi yang telah digunakan ditampung sejenak dan gel dicuci dengan
1 L aquadest sebanyak 2 kali masing-masing selama 2 menit. Tahap selanjutnya
ditambahkan 1 L larutan pewarna atau stainning (1 gram serbuk AgNO3 dan 1.5
mL formaldehide dilarutkan dengan aquadest hingga volume 1 L) dan
ditempatkan kembali dalam shaker selama 30 menit. Larutan pewarna kemudian
dibuang, gel dicuci dengan 1 L aquadest selama 10 detik dan gel yang telah dicuci
direndam dalam larutan developer (30 gram serbuk Na2CO3, 1.5 mL
formaldehyde 37%, dan 200 µL larutan natrium-tiosulfat 10 mg/mL dilarutkan
dengan aquadest hingga volume 1 L) sambil di-shaker hingga pita-pita DNA
muncul. Proses pewarnaan dihentikan setelah semua pita DNA muncul dengan
menambahkan larutan fiksasi dari tahap sebelumnya. Gel kemudian dicuci
kembali dengan 1 L aquadest dan dikeringkan. Selanjutnya pita DNA difoto
dengan menggunakan kamera digital.
Analisis Data
Hasil PCR yang telah dielektroforesis difoto kemudian dilakukan scoring
pola pita yang muncul. Cara scoring DNA mikrosatelit ditampilkan pada Gambar
4. Data scoring kemudian dianalisis dengan menggunakan software POPGENE
32 versi 1.31 (Yeh 1999), NTSys Ver 2.0 (Rohlf 1998), dan untuk mengetahui
besarnya persentase variasi genetik pada AMOVA (analysis of molecular
variance) digunakan software Arlequin versi 3.5 (Excoffier et al. 2011). Selain itu
digunakan juga software Fstat versi 2.9.3.2 (Goudet 2002) untuk mengecek
keakuratan persentase variasi genetik AMOVA. Panjang fragmen pita dihitung
dengan menggunakan penggaris yang kemudian dikonversi ke dalam besaran
basepairs.

Gambar 4 Cara scoring DNA mikrosatelit

16

HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekstraksi DNA
Proses ekstraksi DNA dalam penelitian ini menggunakan dua metode,
yaitu CTAB (cetyl trimethyl ammonium bromide) dan DNeasy plant mini kit dari
QIAGEN. Kemurnian hasil pita DNA yang diperoleh dari kedua metode ini
sangat berbeda. Pita DNA yang diperoleh dari metode CTAB menghasilkan pita
DNA yang masih kotor, yaitu pita dengan ekor yang tebal (smear) masih
mengandung kontaminasi protein, polisakarida, RNA (Qiagen 2001), dan masih
terdapat sisa-sisa bahan kimia selama proses ekstraksi berupa fenol, kloroform,
dan alkohol (Gambar 5).
1 kb DNA ladder
(Promega)

Marka

Sumur gel

Gambar 5 Contoh kemurnian pita DNA hasil ekstraksi dengan metode CTAB
(garis melingkar kuning = DNA; garis melingkar biru = RNA; garis
melingkar hijau = kotoran bahan-bahan kimia)
Metode DNeasy plant mini kit dari QIAGEN menghasilkan pita DNA yang
tergolong bersih, yaitu tidak terdapat kotoran dan juga RNA (Gambar 6). Hasil
tidak adanya RNA disebabkan oleh pengaruh penggunaan RNAse A dalam proses
ekstraksi. Enzim RNAse berfungsi untuk menghancurkan RNA sehingga DNA
dapat diisolasi secara utuh. Kotoran berupa bahan-bahan kimia juga tidak
ditemukan dalam larutan DNA hasil ekstraksi karena terdapat penyaring pada
column/tube yang khusus digunakan pada metode ini.

16

17

1 kb DNA ladder
(Promega)

Marka

Sumur gel

Gambar 6 Contoh kemurnian pita DNA hasil ekstraksi dengan metode DNeasy
plant mini kit dari QIAGEN (garis melingkar cokelat = tidak ada RNA
dan juga kotoran sisa ekstraksi; garis melingkar merah = DNA dari
contoh sampel daun segar; garis melingkar kuning = DNA dari contoh
sampel daun kurang segar)
Kualitas DNA hasil ekstraksi sangat menentukan tahapan PCR, karena itu
sebelum digunakan DNA terlebih dahulu diuji kualitasnya dengan elektroforesis
untuk mengetahui kemurniannya. Pola pita hasil ekstraksi sangat bervariasi mulai
dari yang tebal sampai yang tipis. Pengenceran DNA dilakukan menggunakan
aquabidest steril dengan perbandingan tertentu yang mengacu pada tingkat
ketebalan pita DNA yang diperoleh, yaitu pita yang tebal dan mengekor/smear
(masih kotor) pada beberapa sampel memerlukan perbandingan pengenceran yang
lebih besar, yaitu dapat mencapai 20 kali (1 µL DNA:19 µL aquabidest steril).
Pengenceran bertujuan untuk mengurangi konsentrasi kontaminasi atau kotoran.
Dengan demikian setiap sampel DNA yang berbeda mempunyai perlakuan
pengenceran yang berbeda-beda tergantung dari kualitasnya masing-masing
(Gambar 7). Pengenceran ini dimaksudkan agar pada tahap PCR primer dapat
menempel pada template DNA sehingga dapat teramplifikasi.
Ketebalan pita juga dipengaruhi oleh tingkat kesegaran sampel daun yang
digunakan. Sampel yang masih segar akan menghasilkan pita yang lebih tebal
dibandingkan dengan sampel yang kurang segar. Ketebalan pita juga bisa berarti
konsentrasi DNA lebih tinggi. Pada Gambar 6 menunjukkan bahwa sampel yang
segar ditandai dengan garis melingkar merah sedangkan sampel yang kurang
segar ditandai dengan garis melingkar kuning. Penyimpanan sampel dalam waktu
yang lama akan menyebabkan kerusakan sel-sel daun sehingga DNA yang
terkandung didalamnya akan mengalami kerusakan.
Ukuran DNA genom P. merkusii strain Tapanuli dapat diperkirakan berada
di atas 10 000 bp seperti terlihat pada Gambar 5, 6, dan 7. Finkeldey (2005)
menjelaskan bahwa jumlah total DNA inti dari suatu organisme tingkat tinggi

18

berbeda-beda menurut jenis, dan biasanya bervariasi antara 108 sampai dengan
1011 pasangan basa (bps). Kandungan DNA inti jenis daun jarum mencapai
22 x 109 bps.
2x

1 kb DNA ladder
(Promega)

10x 5x

3x 20x 2x 2x 2x contoh DNA murni

Marka

Sumur gel

Gambar 7 Ukuran pengenceran DNA hasil ekstraksi pada sampel yang berbeda

Hasil PCR dengan Primer Mikrosatelit Spesifik P. merkusii
Penelitian ini menggunakan tujuh primer mikrosatelit spesifik untuk jenis
P.