Pemuliaan Pinus Merkusii

Pemuliaan Pinus Merkusii
Edy Batara Mulya Siregar
Fakultas Pertanian Jurusan Kehutanan Universitas Sumatera Utara

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pinus merkusii merupakan satu-satunya jenis pinus yang tumbuh asli di Indonesia. P. merkusii termasuk dalam jenis pohon serba guna yang terus-menerus dikembangkan dan diperluas penanamannya pada masa mendatang untuk penghasil kayu, produksi getah, dan konservasi lahan. Hampir semua bagian pohonnya dapat dimanfaatkan, antara lain bagian batangnya dapat disadap untuk diambil getahnya. Getah tersebut diproses lebih lanjut menjadi gondorukem dan terpentin. Gondorukem dapat digunakan sebagai bahan untuk membuat sabun, resin dan cat. Terpentin digunakan untuk bahan industri parfum, obat-obatan, dan desinfektan. Hasil kayunya bermanfaat untuk konstruksi, korek api, pulp, dan kertas serat panjang. Bagian kulitnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar dan abunya digunakan untuk bahan campuran pupuk, karena mengandung kalium (Dahlian dan Hartoyo, 1997).

Informasi tentang potensi genetik dari berbagai provenansi P. merkusii terhadap

pengembangan P. merkusii masih sangat terbatas. Uji provenansi

P. merkusii

diperlukan untuk mengetahui provenansi P. merkusii yang lebih produktif dari berbagai

provenansi yang ada dan memperluas basis genetik populasi P. merkusii.

Manfaat

P. merkusii Jungh et De Vriese atau sering disebut tusam merupakan salah satu jenis pohon industri yang mempunyai nilai produksi tinggi dan merupakan salah satu prioritas jenis untuk reboisasi terutama di luar pulau Jawa. Di pulau Jawa, pinus atau tusam dikenal sebagai penghasil kayu, resin dan gondorukem yang dapat diolah lebih lanjut sehingga mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi seperti produksi α pinen. Kelemahan dari P. merkusii adalah peka terhadap kebakaran, karena menghasilkan serasah daun yang tidak mudah membusuk secara alami. Kebakaran hutan umumnya terjadi pada saat musim kemarau, karena saat itu kandungan air, baik pada ranting-ranting dan serasah di lantai hutan maupun pada pohon menjadi berkurang sehingga kemungkinan untuk mengalami kebakaran menjadi lebih besar. Selain itu, produksi serasah pinus termasuk tinggi, yaitu sebesar 12,56-16,65 ton/hektar (Komarayati et al., 2002)

Menurut Harahap dan Izudin (2002) kegunaan P. merkusii untuk bangunan perumahan, lantai, mebel, kotak, korek api, pulp, tiang listrik, papan wol kayu, resin, gondorukem, dan kayu lapis
Selain itu, kegunaan pinus sangat banyak, antara lain kayunya dapat digunakan untuk triplek, venir, pulp, sutra tiruan, dan bahan pelarut. Getahnya dapat dijadikan gondorukem, sabun, perekat, cat dan kosmetik. Daur panen untuk kebutuhan pulp 12 tahun dan non pulp 20 tahun (Khaerudin, 1999).
P. merkusii umumnya ditanam untuk produksi kayu pertukangan, disamping itu pohonnya juga disadap untuk menghasilkan terpentin dan gondorukem. Peningkatan kelurusan batang dan volume masih merupakan sifat-sifat penting yang perlu dimuliakan. Nilai heritabilitas bentuk batang umumnya moderat, demikian pula untuk diameter. Korelasi genetik antara bentuk batang dan diameter bervariasi dari rendah positif ke moderat negatif. Korelasi genetik antara tinggi dan diameter umumnya moderat sampai tinggi positif (Danarto et al., 2000).

BOTANI PINUS

Tata Nama
Pinus merkusii Jungh et de Vriese termasuk suku Pinaceae, sinonim dengan P. sylvestri auct. Non. L, P. sumatrana Jung, P. finlaysoniana Blume, P. latteri Mason, P. merkusii var. tonkinensis, P. merkusiana Cooling & Gaussen. Nama daerah : Damar Batu, Huyam, Kayu Sala, Sugi, Tusam (Sumatera), Pinus (Jawa), Sral (Kamboja), Thong Mu (Vietnam), Tingyu (Burma), Tapusan (Filipina), Indochina Pine, Sumatra Pine, Merkus Pine (Amerika Serikat, Inggris) dan lain-lain (Harahap dan Izudin, 2002).

Deskripsi
P. merkusii Jungh et de Vriese pertama sekali ditemukan dengan nama tusam di daerah Sipirok, Tapanuli Selatan oleh seorang ahli botani dari Jerman - Dr. F. R. Junghuhn - pada tahun 1841. Jenis ini tergolong jenis cepat tumbuh dan tidak membutuhkan persyaratan khusus. Keistimewaan jenis ini antara lain merupakan satusatunya jenis pinus yang menyebar secara alami ke selatan khatulistiwa sampai melewati 2 0 LS (Harahap, 2000).
Tinggi P. merkusii Jung. & De Vr. dapat mencapai 20-40 m. Daunnya dalam berkas dua dan berkas jarum (sebetulnya adalah tunas yang sangat pendek yang tidak pernah tumbuh) pada pangkalnya dikelilingi oleh suatu sarung dari sisik yang berupa selaput tipis panjangnya sekitar 0,5 cm. Bunga jantan panjangnya sekitar 2 cm, pada pangkal tunas yang muda, tertumpuk berbentuk bulir. Bunga betina terkumpul dalam jumlah kecil pada ujung tunas yang muda, selindris, dan sedikit berbangun telur, kerapkali bengkok. Sisik kerucut buah dengan perisai ujung berbentuk jajaran genjang, akhirnya merenggang; kerucut buah panjangnya 7-10 cm. Biji pipih berbentuk bulat telur, panjang 6-7 mm, pada tepi luar dengan sayap besar, mudah lepas (Steenis, 2003).
Menurut Khaerudin (1999) tinggi P. merkusii dapat mencapai 20-40 m dengan diameter 100 cm dan batang bebas cabang 2-23 m. Pinus tidak berbanir, kulit luar kasar

e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara

2


berwarna coklat kelabu sampai coklat tua, tidak mengelupas dan beralur lebar serta dalam. Kayu pinus berwarna coklat-kuning muda, berat jenis rata-rata 0,55 dan termasuk kelas kuat III serta kelas awet IV.
Pohon pinus berbunga dan berbuah sepanjang tahun, terutama pada bulan JuliNovember. Biji yang baik warna kulitnya kering kecoklatan, bentuk bijinya bulat, padat, dan tidak berkerut. Jumlah biji kering 57.900 butir per kg atau 31.000 butir/l (Khaerudin, 1999).
Serasah pinus akan terdekomposisi secara alami dalam waktu 8-9 tahun. Serasah pinus merupakan serasah daun jarum yang mempunyai kandungan lignin dan ekstraktif tinggi serta bersifat asam, sehingga sulit untuk dirombak oleh mikroorganisme (Mindawati et al., 1998).
Syarat Tumbuh
P. merkusii dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur, tanah berpasir, tanah berbatu dengan curah hujan tipe A-C pada ketinggian 200-1.700 mdpl. Di hutan alam masih banyak ditemukan pohon besar berukuran tinggi 70 m dengan diameter 170 cm (Harahap dan Izudin, 2002).
P. merkusii termasuk famili Pinaceae, tumbuh secara alami di Aceh, Sumatera Utara, dan Gunung Kerinci. P. merkusii mempunyai sifat pioner yaitu dapat tumbuh baik pada tanah yang kurang subur seperti padang alang-alang. Di Indonesia, P. merkusii dapat tumbuh pada ketinggian antara 200-2.000 mdpl. Pertumbuhan optimal dicapai pada ketinggian antara 400-1.500 mdpl (Khaerudin, 1999).
Penyebaran
P. merkusii tersebar di Asia Tenggara antara lain Burma, Thailand, Vietnam, Laos, Kamboja, dan Filipina (Harahap dan Izudin, 2002). P. merkusii atau tusam merupakan satu-satunya jenis pinus asli Indonesia. Di daerah Sumatera, tegakan pinus alam dapat dibagi ke dalam tiga strain, yaitu :
1. Strain Aceh, penyebarannya dari pegunungan Selawah Agam sampai sekitar Taman Nasional Gunung Leuser. Dari sini menyebar ke selatan mengikuti pegunungan Bukit Barisan lebih kurang 300 km melalui Danau Laut Tawar, Uwak, Blangkejeren sampai ke Kotacane. Di daerah ini tegakan pinus pada umumnya terdapat pada ketinggian 800 – 2000 mdpl.
2. Strain Tapanuli, menyebar di daerah Tapanuli ke selatan Danau Toba. Tegakan pinus alami yang umum terdapat di pegunungan Dolok Tusam dan Dolok Pardomuan. Di pegunungan Dolok Saut, pinus bercampur dengan jenis daun lebar. Di daerah ini tegakan pinus terdapat pada ketinggian 1000 – 1500 mdpl
3. Strain Kerinci, menyebar di sekitar pegunungan Kerinci. Tegakan pinus alami yang luas terdapat antar Bukit Tapan dan Sungai Penuh. Di daerah ini tegakan pinus tumbuh secara alami umumnya pada ketinggian 1500 – 2000 mdpl (Butarbutar et al., 1998).

e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara

3

Menurut catatan, P. merkusii yang ditanam di Indonesia benihnya berasal dari Aceh atau asal mulanya dari Blangkejeren, sedangkan asal Tapanuli dan Kerinci belum dikembangkan. Pernah dicoba menanam P. merkusii asal Tapanuli di Aek Nauli, tetapi karena serangan Milionia basalis akhirnya tidak dilanjutkan pengembangannya. Padahal menurut pengamatan dengan mata telanjang banyak kelebihan atau perbedaan baik sifat maupun pertumbuhan pohon dari ketiga populasi tersebut. Tampaknya bentuk pohon yang ada di Aceh lebih bengkok-bengkok bila dibandingkan dengan yang ada di Tapanuli dan Kerinci (Harahap, 2000).
Kadar terpentin berbeda seperti dalam hal kandungan monoterpenenya. Kadar delta-3-carene lebih tinggi dari alpha pinene yang berlawanan dengan keterangan dalam pustaka selama ini, kecuali untuk Tapanuli. Seandainya diperoleh kadar delta-3-carene yang tinggi di Tapanuli maka akan tampak adanya variasi klinal menurut garis lintang dari utara ke selatan. Kadar limonene terdapat lebih tinggi di Tapanuli, demikian pula untuk alpha pinene. Dengan demikian variasi ekotipik lebih jelas terdapat pada P. merkusii seperti dilaporkan oleh Soerianegara (1970) dalam Harahap (2000).
Coppen et al. (1993) dalam Harahap (2000), melaporkan bahwa komposisi asam gondorukem pada ketiga populasi yang ditelitinya (Aceh, Tapanuli dan Kerinci) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dan lain halnya dengan komposisi terpentinnya. Kandungan alpha pinene dan delta-3-carene sangat tinggi pada ketiga populasi.
Pengetahuan variasi geografis sangat penting dalam rangka pemuliaan suatu jenis pohon. Zobel dan Talbert (1984) mengemukakan bahwa program pemuliaan pohon hampir sebanyak 30 persen gagal karena tidak memperhatikan adanya variasi geografis. Contohnya adalah introduksi Pinus oocarpa yang mulanya gagal di Amerika Selatan tidak lain disebabkan oleh karena asal benih yang dipakai dalam pengujian memang tidak akan tumbuh optimal di Amerika Selatan. Setelah dicoba jenis yang sama dengan benih dari lokasi yang lain ternyata jenis tersebut dapat tumbuh optimal.

PEMULIAAN POHON
Di kalangan kehutanan, pemuliaan pohon diartikan sebagai aplikasi ilmu genetika hutan pada praktik silvikultur dalam upaya untuk meningkatkan produk yang lebih tinggi nilainya. Genetika adalah ilmu yang mempelajari bagaimana sifat-sifat diwariskan dari tetua kepada keturunannya. Genetika hutan dapat diartikan sebagai studi variasi pohonpohon hutan yang diwariskan. Langkah-langkah dalam pemuliaan pohon adalah : (1) Penentuan spesies/provenansi; (2) Studi variabilitas; (3) Pengemasan sifat yang diinginkan; (4) perbanyakan dan (5) mengembangkan dan mempertahankan basis genetik untuk kepentingan lebih lanjut (Suseno et al., 1998).
Strategi pemuliaan merupakan kerangka ide, pandangan konseptual atau filosofi manajemen pemuliaan genetik spesies pohon. Elemen penting dari strategi pemuliaan adalah 1). pemuliaan populasi melalui suatu kombinasi seleksi dan persilangan, yang dimulai dengan basis genetik luas yang telah beradaptasi; 2) sistem yang efisien untuk perbanyakan massal dari individu unggul melalui benih atau stek (Hardiyanto, 2000).
Tujuan umum suatu program pemuliaan pohon adalah untuk memuliakan secara progresif populasi dasar dan populasi pemuliaan, memperbanyak material yang telah

e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara

4

dimuliakan untuk mengembangkan populasi perbanyakan yang superior, menjaga variabilitas dan ukuran populasi dalam populasi dasar dan populasi pemuliaan, dan mencapai hal tersebut secara ekonomis. Perolehan genetik yang terbesar dicapai melalui seleksi yang efektif pada populasi yang berkinerja baik, luas dan variabel dimana hubungan kekerabatan dikendalikan pada generasi berikutnya (Hardiyanto, 2000).
Beberapa strategi pemuliaan telah diadopsi, yang mencerminkan tersedianya sumber daya, tujuan dan tingkat pemuliaannya. Strategi pemuliaan pohon berkisar dari yang sederhana sampai yang lebih kompleks dan terpadu. Pada program yang sederhana dengan biaya rendah, populasi pemuliaan dapat berupa tegakan provenansi (provenance stand). Strategi ini cukup efektif dalam arti mendapatkan benih dalam waktu singkat, jumlah yang cukup dan biaya relatif murah seperti Acacia mangium, sangat responsif terhadap seleksi provenansi. Beberapa tegakan provenansi dari provenansi yang berkinerja baik di tapak pengembangan kemudian dibangun. Secara progresif, tegakan provenansi dikonversi melalui penjarangan menjadi tegakan benih. Untuk proyek pertanaman skala kecil, pembuatan tegakan benih ini barangkali yang fisibel karena tidak memerlukan biaya dan keahlian yang tinggi. Program sederhana ini bila benih berasal dari jumlah yang cukup (>50 pohon) memberikan perolehan genetik yang baik (Hardiyanto, 2000).
Pada program pemuliaan yang berjangka panjang dengan tujuan mendapatkan perolehan genetik yang berkelanjutan, populasi pemuliaan berupa uji keturunan untuk memilih individu-individu yang unggul. Uji keturunan ini kemudian dikonversi menjadi kebun benih semai (seedling seed orchard) melalui penjarangan seleksi secara bertahap dengan menebang famili-famili terjelek serta individu-individu terjelek dalam setiap famili (Hardiyanto, 2000).
Populasi pemuliaan dapat dalam bentuk populasi tunggal (single breding population) atau dalam bentuk subgalur (subline). Pada populasi yang terakhir ini, populasi pemuliaan dipecah dalam beberapa subgalur, biasanya berdasarkan asal geografisnya. Dalam skema pemuliaan ini, seleksi dan persilangan untuk memproduksi benih untuk populasi pemuliaan generasi berikutnya terbatas pada setiap subgalur. Kekerabatan akan meningkat diantara anggota dalam setiap subgalur, akan tetapi anggota dari subgalur yang berbeda tidak berkerabat. Persilangan antara anggota dari subgalur yang berbeda akan menghasilkan benih kawin silang (outcrossed seed). Strategi pemuliaan dengan mengembangkan kebun benih semai penyerbukan alam (openpollinated seedling seed orchard) pada prinsipnya membuat interval antara generasi sependek mungkin sehingga perolehan genetik secara akumulatif per unit waktu diharapkan akan besar (Hardiyanto, 2000).
Pembangunan kebun benih klon maupun komposit dengan penyerbukan alam juga dimungkinkan menggunakan material terbaik dari setiap subgalur. Kebun benih tipe ini diharapkan mendapatkan perolehan genetik yang besar dengan teknologi sederhana dan relatif murah (Hardiyanto, 2000).
Pemuliaan pohon dengan konservasi tidak dapat dipisahkan, karena dari areal konservasi inilah materi yang dimuliakan diperoleh. Konservasi in-situ adalah konservasi komponen keanekaragaman hayati di habitat alamnya. Konservasi ini bertujuan agar organisme berfungsi secara alami di ekosistem yang bersangkutan. Dalam kondisi alami

e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara

5


organisme yang ada selalu berinteraksi sama dengan yang lain. Di lingkungan alami, jenis target dapat berevolusi dan beradaptasi sehingga akan tercipta sifat-sifat khusus yang diperlukan. Konservasi ex-situ adalah konservasi komponen keanekaragaman hayati di luar habitat alaminya. Konservasi ini bertujuan untuk melayani program breeding dan bioteknologi. Jadi konservasi ex-situ merupakan jembatan antara program pemuliaan dan bioteknologi dengan konservasi in-situ (Suseno et al., 1998).
Informasi variabilitas genetik dapat diperoleh dari konservasi ex-situ yang sengaja dirancang untuk memenuhi kebutuhan : (1) pemuliaan pohon, (2) bioteknologi, dan (3) network. Itulah sebabnya Cohen memperkirakan bahwa pada tahun 2010, konservasi exsitu akan mengarah ketiga pelayanan yaitu pemuliaan pohon, bioteknologi dan network, di samping untuk mewadahi jenis langka (Suseno et al., 1998).
Evaluasi pertumbuhan jenis tanaman hutan perlu dilakukan untuk mengetahui tindakan silvikultur yang dibutuhkan sehingga didapat produksi yang maksimum. Evaluasi pertumbuhan meliputi riap, tinggi, diameter, volume dan faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti kondisi tanah, iklim dan topografi (Butarbutar et al., 1998).

Introduksi Material Genetik Baru

Memiliki basis genetik yang luas merupakan syarat keberhasilan program pemuliaan pohon. Basis genetik yang sempit, seperti dari beberapa pohon saja akan berakhir dengan populasi kawin kerabat tanpa adanya infusi material baru dalam populasi pemuliaan. Populasi kawin kerabat seringkali mengalami reduksi dalam pertumbuhan (Danarto et al., 2000).

P. merkusii diintroduksi pertama kali ke Jawa pada tahun 1920-an dari populasi yang tidak diketahui, kemungkinan besar dari Blangkejeren. Jumlah pohon induk pada awal introduksi ini juga tidak diketahui. Mengingat kisaran P. merkusii di Sumatera cukup lebar, boleh diduga bahwa tegakan P. merkusii di Jawa memiliki basis genetik yang sempit. Hasil isozim menunjukkan bahwa populasi hutan tanaman di Jawa memiliki heterosigitas yang sedikit lebih rendah dibanding dengan populasi alami (Danarto et al., 2000).
Dengan demikian infusi material genetik dari populasi alam sungguh sangat penting untuk dilakukan. Bila mungkin material ini dapat meliputi sebaran alami spesies ini di Sumatera. Eksplorasi benih sungguh sangat mendesak dilakukan mengingat populasi alami P. merkusii telah mengalami pembalakan dan penyusutan yang sangat besar dan terus berlangsung (Danarto et al., 2000).

Pengalaman dengan spesies lain menunjukkan bahwa ras lahan lokal sering kali lebih inferior dibanding dengan materi introduksi baru dari populasi alami. Misalnya ras lahan Subanjeriji pada A. mangium tumbuh lebih lambat dibanding dengan materi baru dari Papua New Guinea maupun Queensland bagian utara. Demikian juga ras lahan Acacia auriculiformis di Thailand dan India jauh lebih buruk dibanding dengan introduksi baru dari populasi alami (Danarto et al., 2000).

Menurut Danarto et al. (2000) ras lahan demikian biasanya berasal dari beberapa pohon induk saja pada awal introduksi dan mungkin juga berasal dari provenansi yang

e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara

6

kurang optimal. Materi yang berasal dari beberapa pohon induk ini akan menjadi populasi dengan kekerabatan yang tinggi (inbred population).

Berdasarkan pada pengalaman paling tidak pada dua spesies yang diatas, maka program pemuliaan P. merkusii tidak hanya memfokuskan seleksi pada tegakan tanaman yang ada di Jawa. Mungkin saja dengan introduksi material baru pada populasi pemuliaan akan dapat meningkatkan perolehan genetik yang cukup besar. Perolehan genetik dengan metode pemuliaan yang sangat sederhana ini mungkin saja akan sama atau lebih besar dari pada perolehan genetik yang didapat dengan metode yang lebih sulit diaplikasikan pada populasi pemuliaan yang telah ada (Danarto et al., 2000).
Eksplorasi benih untuk meningkatkan basis genetik P. merkusii di Jawa telah dilakukan pada tahun 1995 terhadap populasi Janto, Takengon dan Blangkejeren. Material hasil eksplorasi ini telah ditanam di Jember dan Sumedang pada tahun 1996. Pada tahun 1997 eksplorasi benih telah dilakukan terhadap populasi alami di Blangkejeren dan uji keturunan telah dipapankan pada tahun 1998 di Jember. Pada tahun 1998 eksplorasi benih kembali dilakukan di Kerinci dan Tapanuli. Hasil penyemaian dari kedua populasi ini ternyata tidak memberikan hasil yang diharapkan. Banyak benih yang tidak mampu berkecambah atau kecambah secara perlahan mengalami kematian. Salah satu alasannya diduga karena level kawin kerabat pada populasi ini tinggi (Danarto, et al., 2000).

Uji Provenansi
Menurut Zobel dan Talbert (1984) dalam Leksono (1998), jenis-jenis pohon memperlihatkan variasi atau perbedaan-perbedaan sifat. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada kemampuan beradaptasi, pertumbuhan, bentuk batang dan sifat-sifat yang lain, sehingga pada kenyataannya tidak akan diketemukan pohon yang persis sama. Variasi ini terjadi karena di dalam suatu pohon terdapat variasi geografis (antar provenansi), variasi lokal (antar tempat tumbuh), variasi antar pohon pada suatu tempat tumbuh dan variasi di dalam pohon. Hal ini dikarenakan penampilan suatu pohon (phenotype), dipengaruhi oleh potensi genetik dan kualitas lingkungan tanaman tersebut tumbuh.
Untuk mengetahui potensi genetik dari mana benih berasal, dapat dilakukan dengan membandingkan penampilan keturunannya dari asal benih yang berbeda, yang ditanam pada lingkungan yang sama. Cara ini lebih dikenal dengan nama uji provenansi atau uji sumber asal benih alami (Leksono, 1998).
Guna melihat kemampuan beradaptasi suatu tanaman yang berasal dari berbagai sumber asal benih pada suatu lokasi jenis tanaman tersebut akan dikembangkan, dilakukan melalui uji provenansi atau ras lahan. Uji ini pada dasarnya bertujuan untuk mereduksi jumlah provenansi atau ras lahan menjadi sejumlah provenansi atau ras lahan yang telah teruji, sesuai dengan produk yang diinginkan pada tempat tertentu. Tindakan ini merupakan langkah awal dalam program pemuliaan pohon untuk mendapatkan informasi (Leksono, 1998).
Provenansi atau ras geografik merupakan area geografi alami benih atau propagul dikumpulkan. Adanya provenansi ini disebabkan oleh suatu jenis tanaman yang

e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara

7

mempunyai sebaran alami di beberapa tempat dan mempunyai kondisi lingkungan yang sangat spesifik, sehingga memberikan penampilan yang berbeda diantara ras geografik tersebut (Leksono, 1998).

Pedoman umum dalam melakukan uji provenansi antara lain (1) biji dari tegakan yang tumbuh di daerah lintang tinggi atau dataran tinggi jangan ditanam di daerah lintang rendah atau dataran rendah dan demikian sebaliknya. (2) Provenansi dari daerah pantai sebaiknya tidak ditanam di daerah pegunungan. (3) Tegakan yang tumbuh di daerah dengan iklim yang seragam (fluktuasi curah hujan dan suhu udara kecil sekali) tidak akan tumbuh baik apabila ditanam di daerah dengan iklim beragam, meskipun nilai rata-rata tahunannya menyerupai (Zobel dan Talbert, 1984).

Menurut Hardiyanto (2000) uji provenansi yang dilakukan di beberapa tapak baik di Indonesia dan negara lain, maupun studi molekuler genetik menunjukkan bahwa perbedaan di antara provenansi cukup besar. Misalnya Acacia mangium dapat dikelompokkan ke dalam empat wilayah (region) yang juga mencerminkan diskontinuitas penyebaran geografis alaminya, yaitu 1) wilayah Cairn (Queensland), 2) wilayah bagian utara Queensland, 3) Papua New Guinea termasuk Irian Jaya Tenggara dan 4) wilayah Seram dan Sidei (Manokwari)

A. mangium yang berasal Cairn dan sekitarnya (Daintree, Mossman, Jullaten, Cassowary) memiliki kinerja suboptimal, lebih lambat pertumbuhannya dibanding dengan A. mangium dari Queensland bagian utara maupun Papua New Guinea dan Irian Jaya Tenggara. Fenomena ini telah ditunjukkan di berbagai uji provenansi. Umumnya provenansi Papua New Guinea dan Irian Jaya Tenggara tumbuh lebih baik dibandingkan dengan provenansi yang lain. Provenansi Ceram dan Sidei pada berbagai uji provenansi memiliki pertumbuhan yang paling lambat (Hardiyanto, 2000).


Ras lahan Subanjeriji merupakan cikal bakal pertanaman A. mangium di Indonesia. Pertama kali diintroduksi pada awal tahun 1980-an dari wilayah Cairn dengan empat provenansi, yaitu Daintree, Mossman, Jullaten dan Cassowary (Hardiyanto, 2000).

Interaksi antara provenansi dan tapak telah pula dilaporkan pada

A.

mangium, interaksi menunjukkan bahwa provenansi yang terbaik untuk suatu tapak

belum tentu berkinerja sama di tapak yang lain. Uji provenansi A. mangium di beberapa

tapak di Indonesia menunjukkan bahwa rangking provenansi terbaik dari satu tapak ke

tapak lain berbeda (Hardiyanto, 2000).

KESIMPULAN

Informasi tentang potensi genetik dari berbagai provenansi P. merkusii terhadap

pengembangan P. merkusii masih sangat terbatas. Uji provenansi


P. merkusii

diperlukan untuk mengetahui provenansi P. merkusii yang lebih produktif dari berbagai

provenansi yang ada dan memperluas basis genetik populasi P. merkusii.

Strategi pemuliaan merupakan kerangka ide, pandangan konseptual atau filosofi manajemen pemuliaan genetik spesies pohon. Elemen penting dari strategi pemuliaan adalah 1). pemuliaan populasi melalui suatu kombinasi seleksi dan persilangan, yang

e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara

8

dimulai dengan basis genetik luas yang telah beradaptasi; 2) sistem yang efisien untuk perbanyakan massal dari individu unggul melalui benih atau stek

REFERENSI

Butarbutar, T., R. M. S. Harahap, dan P. Murdiana. 1998. Evaluasi Pertumbuhan Tanaman Pinus merkusii di Aceh Tengah. Buletin Penelitian Kehutanan Pematang Siantar. 13(4):330.

Butarbutar, T., dan S. Sembiring. 1997. Evaluasi Pertumbuhan Tanaman Rakyat Pinus merkusii di Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Konifera. Pematang Siantar. No. 2/Thn XIII:25-34

Coppen, J. J. W., C. Gay, D. J. James, J. M. Robinson, and N. Supriana. 1993. Variability in Xylem Resin Composition amongst Natural Populations of Indonesian Pinus merkusii. Phytochemistry. 33(1)

Dahlian, E., dan Hartoyo. 1997. Komponen Kimia Terpentin dari Getah Tusam (Pinus merkusii) Asal Kalimantan Barat. Info Hasil Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. 4(1):38-39

Danarto, S., E. B. Hardiyanto, M. Na’iem, dan O. H. Suseno. 2000. Strategi Pemuliaan Pinus merkusii Generasi Kedua. Prosiding Seminar Nasional Status Silvikultur 1999. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Jogyakarta. hlm. 137-143

Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Kehutanan. 1976. Vademecum Kehutanan Indonesia. Jakarta

Harahap, R. M. S., dan E. Izudin. 2002. Konifer di Sumatera Bagian Utara. Konifera. Pematang Siantar. No. 1/Thn XVII:66-67

Harahap, R. M. S.. 2000. Keragaman Sifat dan Data Ekologi Populasi Alam Pinus merkusii di Aceh, Tapanuli dan Kerinci. Prosiding Seminar Nasional Status Silvikultur 1999. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Jogyakarta. hlm. 216-227

Harahap, R. M. S.. 2000. Uji Asal Benih Pinus merkusii di Sumatera Utara. Prosiding Seminar Nasional Status Silvikultur 1999. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Jogyakarta. hlm. 228-231

Harahap, R. M. S.. 2000. Keragaman Sifat dan Data Ekologi Populasi Alam Pinus merkusii di Aceh, Tapanuli dan Kerinci. Prosiding Seminar Nasional Status Silvikultur 1999. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Jogyakarta. hlm. 228-231

e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara

9


Harahap, R. M. S.. 1995. Keragaman Sifat dan Uji Asal Benih Pinus merkusii di Sumatera. Buletin Penelitian Kehutanan. Pematang Siantar. 11(3):295-307
Hardiyanto, E. B.. 2000. Genetik dan Strategi Pemuliaan Acacia mangium. Prosiding Seminar Nasional Status Silvikultur 1999. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Jogyakarta. hlm. 155-161
Hartini, K. S.. 2003. Evaluasi Awal Uji Spesies Beberapa Jenis Tanaman HTI Umur 12 Bulan di PT Aya Yayang Indonesia, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Thesis. Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru. hlm. 66
Jayusman, dan R. M. S. Harahap. 1993. Perkecambahan Benih dan Pertumbuhan Anakan dari Lima Provenansi Pinus merkusii Jungh et de Vriese. Buletin Penelitian Kehutanan. Pematang Siantar. 9(4):235-246
Khaerudin. 1999. Pembibitan Tanaman HTI. Penebar Swadaya. Jakarta.

Komarayati S., Gusmailina, dan G. Pari. 2002. Pembuataan Kompos dan Arang Kompos dari Serasah dan Kulit Kayu Tusam. Buletin Penelitian Hasil Hutan. Bogor. 20(3):231-232

Leksono, B.. 1998. Analisis Kombinasi Uji Provenansi dan Ras Lahan Sengon (Paraserianthes falcataria) Umur 6 Bulan di Muara Teweh, Kalimantan Tengah. Buletin Kehutanan. UGM. Yogyakarta. 36:13-14

Mindawati, N., M. H. L. Tata. Y. Sumarna, dan A. S. Kosasih. 1998. Pengaruh Beberapa Macam Limbah Organik terhadap Mutu dan Proses Pengomposan dengan Bantuan Efektif Mikroorganisme 4 (EM4). Buletin Penelitian Hutan Bogor. 614:29-40

Nambiar, S., and A. G. Brown. 1997. Management of Soil Nutrient and Water in Tropical Plantation Forest. ACIAR. Canberra, Australia

Raebild, A., C.P. Hansen, and E.D. Kjaer. 2002. Statistical Analysis of Data from Provenance Trials. Guidelines & Technical Notes No.63. Danida Forest Seed Centre. Denmark. pp. 7

Santoso, B., Misto, dan Chairil Anwar. 1999. Evaluasi Uji Provenan Eboni (Diospyros celebica Bakh) di Stasiun Penelitian dan Uji Coba Malili, Sulawesi Selatan. Buletin Penelitian Kehutanan. Ujung Pandang.4:24,30

Soerianegara, I.. 1970. Pemuliaan Hutan. Lembaga Penelitian Hutan. Bogor


Suhaendi, H.. 2003. Ujicoba Provenansi Internasional Liquidambar styraciflua L. di Indonesia. Buletin Penelitian Hutan. Bogor. 638:7

e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara

10

Steenis, C. G. G. J. van. 2003. Flora : untuk Sekolah di Indonesia. Pradnya Paramita. Jakarta. hlm. 102
Suseno, O. H. S., M. Na’iem, dan M. Sambas Sn. 1998. Jaringan Kerja Pemuliaan Pohon Hutan Menghadapi Abad 21. Buletin Kehutanan. UGM. Yogyakarta. 37:4750
Wright, J. W.. 1976. Introduction to Forest Genetic. Academy Press. New York.
Zobel, B. J. and J. T. Talbert. 1984. Applied Forest Tree Improvement. John Wiley and Sons Inc. Canada.

e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara

11