Identifikasi Mutu Bibit Tusam (Pinus merkusii) Berdasarkan SNI (Standar Nasional Indonesia) di Pembibitan Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli Desa Sibaganding Kecamatan Girsang Sipangan Bolon Kabupaten Simalungun

(1)

IDENTIFIKASI MUTU BIBIT TUSAM (Pinus merkusii) BERDASARKAN SNI (STANDAR NASIONAL INDONESIA)

DI PEMBIBITAN BALAI PENELITIAN KEHUTANAN AEK NAULI DESA SIBAGANDING KECAMATAN GIRSANG SIPANGAN BOLON

KABUPATEN SIMALUNGUN

SKRIPSI

Oleh : IMANDA

031202009 / BUDIDAYA HUTAN

DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2007


(2)

IDENTIFIKASI MUTU BIBIT TUSAM (Pinus merkusii) BERDASARKAN SNI (STANDAR NASIONAL INDONESIA)

DI PEMBIBITAN BALAI PENELITIAN KEHUTANAN AEK NAULI DESA SIBAGANDING KECAMATAN GIRSANG SIPANGAN BOLON

KABUPATEN SIMALUNGUN

Oleh : IMANDA

031202009 / BUDIDAYA HUTAN

Skripsi sebagai Salah satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana di Departemen Kehutanan

Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

Judul Skripsi : Identifikasi Mutu Bibit Tusam (Pinus merkusii) Berdasarkan SNI (Standar Nasional Indonesia) di Pembibitan Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli Desa Sibaganding Kecamatan Girsang Sipangan Bolon Kabupaten Simalungun.

Nama Mahasiswa : Imanda

NIM / Program Studi : 031202009 / Budidaya Hutan

Minat Studi : Rehabilitasi Hutan

Menyetujui Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

Dwi Endah Widyastuti, S.Hut, M.Si Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, M.S NIP : 132 259 568 NIP : 132 287 853

Mengetahui,

Ketua Departemen Kehutanan USU

Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, M.S NIP : 132 287 853


(4)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan mutu bibit tusam (Pinus

merkusii) di pembibitan dengan SNI (Standar Nasional Indonesia) dan

membandingkan Indeks Mutu Bibit dengan Indeks Mutu Minimum.

Penelitian ini dilaksanakan di pembibitan Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli Desa Sibaganding Kecamatan Girsang Sipangan Bolon Kabupaten Simalungun Propinsi Sumatera Utara dan Laboratorium Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai November 2007.

Penelitian ini dilaksanakan dengan pengamatan kriteria mutu bibit tusam (Pinus merkusii) berdasarkan SNI (Standar Nasional Indonesia) di pembibitan, yaitu : ada tidaknya serangan hama penyakit, warna daun, kekekaran batang, deformasi batang, diameter pangkal batang (mm), tinggi bibit (cm), pangkal batang mengkayu, kekompakan akar, deformasi akar, pengukuran biomassa, dan Indeks Mutu Bibit.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mutu bibit tusam (Pinus merkusii) di pembibitan Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli adalah bibit dengan kriteria grade I. Serangan hama penyakit tidak ada (100%), warna daun hijau tua (73.5%), kekekaran batang kokoh tegar (83.5%), deformasi batang tegak (41.5%), pangkal batang mengkayu (100%), kekompakan akar kompak (51.5%), deformasi akar melengkung (25.5%), dan Indeks Mutu Bibit 7.761. Bibit tusam (Pinus merkusii) di pembibitan Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli adalah baik dan layak untuk ditanam di lapangan.


(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 05 Januari 1984 di Desa Batuphat Kecamatan Muara Dua Kabupaten Aceh Utara. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari H. M. Wasito dan Hj. Azizah.

Tahun 1989 lulus Taman Kanak - Kanak Swasta PT. ARUN. LNG. CO di Batuphat Aceh Utara, tahun 1995 lulus Sekolah Dasar Swasta PT. ARUN. LNG. CO di Batuphat Aceh Utara, tahun 1999 lulus Sekolah Menengah Pertama Swasta PT. ARUN. LNG. CO di Batuphat Aceh Utara, tahun 2002 lulus Sekolah Menengah Atas Swasta Teladan di Medan Sumatera Utara, tahun 2003 diterima masuk Program Studi Budidaya Hutan Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan melalui jalur SPMB

Selama mengikuti perkuliahan, tahun 2005 melaksanakan P3H (Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan) di Desa Tongkoh Kecamatan Dollat Rakyat Kabupaten Karo dan Desa Kayu Besar Kecamatan Bandar Khalipah Kabupaten Serdang Bedagai, tahun 2007 melaksanakan PKL (Praktek Kerja Lapang) di HPH Suka Jaya Makmur Kabupaten Ketapang Propinsi Kalimantan Barat.

Selain itu, penulis juga memiliki pengalaman dalam organisasi, antara lain tahun 2005 bergabung dalam KOMBIT (Komunitas Pembibitan) Kehutanan USU, tahun 2006 bergabung dalam KPA (Kelompok Pecinta Alam) fakultas yaitu PARINTAL FP USU, tahun 2006 bergabung dalam Pengurus Pusat SI (Sylva Indonesia) Nasional sebagai Staff Manajemen Informasi.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW beserta para pengikutNya atas segala limpahan rahmat, karunia, dan kekuatan yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul ”Identifikasi Mutu Bibit Tusam (Pinus merkusii) Berdasarkan SNI (Standar Nasional Indonesia) di Pembibitan Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli Desa Sibaganding Kecamatan Girsang Sipangan Bolon Kabupaten Simalungun”. Skripsi disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana di Program Studi Budidaya Hutan Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan.

Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar – besarnya kepada seluruh pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam hal penyelesaian skripsi ini, antara lain adalah kedua orangtua tercinta Ayahanda H. M. Wasito dan Ibunda Hj. Azizah yang senantiasa memberikan pengorbanan,kasih sayang, doa, dan kesabaran yang begitu besar tanpa pamrih, kedua saudara tercinta Abangda Ilhami, ST dan Adinda Rianti yang selalu memberikan cinta, doa, dan dukungan tanpa henti – hentinya, Bapak Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, M.S selaku Ketua Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan dan juga selaku Anggota Komisi Pembimbing, Ibu Dwi Endah Widyastuti, S.Hut, M.Si selaku Ketua Komisi Pembimbing, Kepala Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli beserta staff, seluruh Bapak dan Ibu dosen pengajar beserta pegawai di Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan, dan seluruh kawan – kawan seperjuangan baik di dalam maupun diluar kampus beserta alumni di semua stambuk dan program studi serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.


(7)

Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan di dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, maka untuk itu penulis memohon maaf. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat sebagai sumber informasi bagi semua pihak yang membutuhkan.

Medan, Desember 2007


(8)

DAFTAR ISI

Hal

ABSTRACT... ii

ABSTRAK... iii

RIWAYAT HIDUP... iv

KATA PENGANTAR... v

DAFTAR TABEL... vi

DAFTAR GAMBAR... vii

DAFTAR LAMPIRAN... viii

PENDAHULUAN Latar Belakang... 1

Tujuan Penelitian... 3

Hipotesa Penelitian... 3

Manfaat Penelitian... 4

TINJAUAN PUSTAKA Botani Pinus... 5

Persemaian Pinus... 13

Kriteria Bibit Yang Baik... 15

Standarisasi Mutu Bibit... 21

METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian... 25

Bahan dan Alat... 25

Metode Penelitian... 26


(9)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persentase Serangan Hama dan Penyakit (%)... 30

Persentase Warna Daun (%)... 31

Persentase Kekekaran Batang (%)... 32

Persentase Deformasi Batang (%)... 33

Persentase Tinggi Bibit dan Diameter Pangkal Batang (%)... 35

Persentase Pangkal Batang Mengkayu (%)... 37

Persentase Kekompakan Akar (%)... 37

Persentase Deformasi Akar (%)... 38

Indeks Mutu Bibit... 40

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan... 49

Saran... 49

DAFTAR PUSTAKA


(10)

DAFTAR GAMBAR

Hal

Hutan pinus... 11

Persemaian Pinus merkusii... 14

Deretan Pinus merkusii... 16

Bibit Pinus merkusii... 20

Persentase Warna Daun Bibit Tusam (%)... 32

Persentase Kekekaran Batang Bibit Tusam (%)... 33

Persentase Deformasi Batang Bibit tusam (%)... 34

Persentase Tinggi Bibit Tusam (%)... 35

Persentase Diameter Bibit Tusam (%)... 36

Persentase Kekompakan Akar Bibit Tusam (%)... 38

Persentase Deformasi Akar Bibit tusam (%)... 38

Bibit Tusam Dengan Kriteria Grade I, II, III, dan IV... 44

Perbandingan Bibit tusam Kriteria Grade I, II, III, dan IV... 45

Bibit Tusam Dengan Kekekaran Batang Kokoh Tegar dan Lemah Tertekan... 45

Bibit Tusam Dengan Deformasi Batang Tegak, Agak Melengkung, Melengkung, dan Kerdil... 46

Akar Bibit Tusam Dengan Kekompakan Akar Kompak, Retak, Patah, dan Lepas... 47

Akar Bibit Tusam Dengan Deformasi Akar Lurus, Agak Miring, Bengkok, Melengkung, Spiral, dan Buntu... 48


(11)

DAFTAR TABEL

Hal Standar Mutu Bibit tusam (Pinus merkusii) berdasarkan SNI... 28


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Hal Tally Sheet Penilaian Mutu Bibit Pinus Merkusii……….. 54 Denah Pengambilan Sampel Bibit Tusam……….. 62


(13)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan mutu bibit tusam (Pinus merkusii) di pembibitan dengan SNI (Standar Nasional Indonesia) dan membandingkan Indeks Mutu Bibit dengan Indeks Mutu Minimum.

Penelitian ini dilaksanakan di pembibitan Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli Desa Sibaganding Kecamatan Girsang Sipangan Bolon Kabupaten Simalungun Propinsi Sumatera Utara dan Laboratorium Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai November 2007.

Penelitian ini dilaksanakan dengan pengamatan kriteria mutu bibit tusam (Pinus merkusii) berdasarkan SNI (Standar Nasional Indonesia) di pembibitan, yaitu : ada tidaknya serangan hama penyakit, warna daun, kekekaran batang, deformasi batang, diameter pangkal batang (mm), tinggi bibit (cm), pangkal batang mengkayu, kekompakan akar, deformasi akar, pengukuran biomassa, dan Indeks Mutu Bibit.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mutu bibit tusam (Pinus merkusii) di pembibitan Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli adalah bibit dengan kriteria grade

I. Serangan hama penyakit tidak ada (100%), warna daun hijau tua (73.5%), kekekaran batang kokoh tegar (83.5%), deformasi batang tegak (41.5%), pangkal batang mengkayu (100%), kekompakan akar kompak (51.5%), deformasi akar melengkung (25.5%), dan Indeks Mutu Bibit 7.761. Bibit tusam (Pinus merkusii) di pembibitan Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli adalah baik dan layak untuk ditanam di lapangan.


(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sejak tahun 2001, pemerintah meluncurkan program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) untuk merehabilitasi lahan – lahan kritis dan terdegradasi di dalam kawasan hutan (reboisasi) maupun di luar kawasan hutan (penghijauan). Melalui program ini, pemerintah Sumatera Utara menargetkan sekitar 25.000 hektar hutan dan lahan dapat direhabilitasi pada tahun 2009. Akan tetapi, keberhasilan program ini masih menimbulkan banyak pertanyaan terutama berkaitan dengan rendahnya keberhasilan tumbuh tanaman yang ditanam (Aswandi dkk, 2007).

Belajar dari berbagai program sebelumnya, diidentifikasi beberapa hal yang mengancam keberhasilan program rehabilitasi yakni berupa (i) rendahnya kepedulian dan partisipasi masyarakat; (ii) seringnya terjadi peristiwa kebakaran hutan dan lahan; (iii) konflik tenurial lahan yang menghambat program rehabilitasi; (iv) kurangnya pengetahuan dan keahlian teknis; dan (v) lemahnya koordinasi antar berbagai stakeholder (ITTO, 2006).

Salah satu pengetahuan teknis rehabilitasi hutan yang belum dikuasai adalah belum diketahuinya standar mutu bibit untuk suatu jenis yang ditanam pada suatu tapak. Standarisasi mutu bibit untuk tanaman rehabilitasi saat ini belum banyak diketahui. Standarisasi mutu bibit saat ini lebih dilakukan secara kualitatif dan subyektif seperti hanya memperhatikan tinggi rata – rata bibit, deformasi batang, jumlah dan warna daun, ataupun kesehatan bibit di persemaian.


(15)

Lemahnya pengetahuan teknis ini mengakibatkan rendahnya keberhasilan penanaman (Aswandi dkk, 2007).

Untuk menjamin keberhasilan pembangunan hutan tanaman adalah penyediaan bibit tanaman dalam jumlah yang cukup dengan mutu yang baik. Hal tersebut berkaitan dengan Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor : 85/Kpts-II/2001 Tentang Perbenihan Tanaman Hutan bahwa bibit yang lulus sertifikasi merupakan bibit yang telah memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan berdasarkan SNI (Standar Nasional Indonesia) (Aswandi dkk, 2007).

Tetapi pelaksanaan di lapangan selama ini menunjukkan beberapa kelemahan. Saat ini produksi bibit di persemaian lebih ditekankan pada jumlah daripada kualitas. Hal ini terutama diakibatkan oleh pengetahuan teknis seperti identifikasi faktor – faktor penentu, pengendalian mutu, dan standarisasi mutu bibit yang tinggi masih belum banyak diketahui (Aswandi dkk, 2007).

Dengan semakin berkurangnya kemampuan hutan alam untuk memenuhi kebutuhan kayu, pembangunan hutan tanaman menjadi ujung tombak substitusi kayu dari hutan alam. Salah satu jenis yang diprioritaskan untuk hutan tanaman adalah tusam (Pinus merkusii Jungh. et de Vriese ). Jenis yang juga dikenal sebagai pinus Sumatra (Sumatran pine) ini dapat digunakan sebagai bahan baku pulp-kertas, kayu bangunan dan hasil bukan kayu berupa getah/gondorukem (Suhardi et al., 1994).

Atas dasar pengalaman – pengalaman praktis di Pulau Jawa dan memperhatikan pula keadaan reboisasi di Sumatera Utara, untuk meningkatkan keberhasilan di dalam penanaman pinus maka dilakukan pemantauan mutu bibit dari pembibitan sebelum ditanam di lapangan. Dengan harapan, bibit yang akan


(16)

ditanam di lapangan telah memenuhi standar mutu yang baik sehingga dapat tumbuh dengan baik seperti yang diharapkan. Semua hal tersebut diatas melatarbelakangi penelitian ini yang nantinya diharapkan dapat mendukung keberhasilan penanaman di lapangan dengan menggunakan bibit yang bermutu.

Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Membandingkan mutu bibit tusam (Pinus merkusii) di pembibitan dengan SNI (Standar Nasional Indonesia).

2. Membandingkan Indeks Mutu Bibit dengan Indeks Mutu Minimum.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, antara lain :

1. Sebagai media informasi bagi pihak swasta dan masyarakat sebagai pembangun hutan tanaman untuk menentukan mutu bibit dengan pengelolaan yang lebih ekonomis, efisien dan menguntungkan.

2. Sebagai media informasi bagi instansi pemerintah dalam hal reboisasi untuk menghasilkan bibit yang bermutu dengan teknik persemaian yang lebih ekonomis sehingga keberhasilan reboisasi lebih terjamin dengan penggunaan bibit yang bermutu.


(17)

Hipotesa Penelitian

Bibit tusam (Pinus merkusii) di pembibitan Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli Desa Sibaganding Kecamatan Girsang Sipangan Bolon Kabupaten Simalungun Propinsi Sumatera Utara mempunyai kekekaran batang yang kokoh, deformasi batang yang tegak, kekompakan akar yang kompak, dan terbebas dari serangan hama dan penyakit.


(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Pinus

Menurut USDA (United States Departement of Agriculture) 2006, pinus tersusun dalam sistematika sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta Subdivisi : Spermatophyta Divisi : Coniferophyta Kelas : Pinopsida Ordo : Pinales Famili : Pinaceae Genus : Pinus

Spesies : Pinus merkusii (USDA, 2006).

Pinus merkusii Jung et de Vriesse termasuk suku Pinaceae, sinonim dengan P.

sylvestri auct. Non. L, P. sumatrana Jung, P. finlaysoniana Blume, P. latteri Mason,

P. merkusii var. Tonkinensis, P. merkusiana Cooling & Gaussen. Nama daerah : Damar Batu, Huyam, Kayu Sala, Sugi, Tusam (Sumatera), Pinus (Jawa), Sral (Kamboja), Thong Mu (Vietnam), Tingyu (Burma), Tapusan (Filipina), Indochina Pine, Sumatra Pine, Merkus Pine (Amerika Serikat dan Inggris), dan lain – lain (Harahap dan Izudin, 2002 dalam Siregar, 2005).


(19)

R. Junghuhn pada tahun 1841. Jenis ini tergolong jenis cepat tumbuh dan tidak membutuhkan persyaratan khusus. Keistimewaan jenis ini antara lain merupakan satu – satunya jenis pinus yang menyebar secara alami ke Selatan khatulistiwa sampai 2 0 LS (Harahap, 2000 dalam Siregar, 2005).

Tajuk daun

Tajuk umumnya berbentuk piramida dan bentuk ini nyata sekali pada waktu muda. Pada keadaan yang kurang baik tajuknya agak mendatar atau berbentuk paying terbuka (Anonim, 1976).

Daunnya berbentuk seperti jarum karenanya disebut daun jarum, daun – daun ini berpasangan dalam satu ikatan yang terdiri dari dua jarum dalam satu fasikel, dibungkus oleh suatu selaput tipis 3 mm sampai 10 mm, panjang daun antara 12 – 25 cm sedangkan lebar daun 1 mm – 2 mm, bentuk penampangnya segitiga dan bagian ujungnya lancip.

Panjang daun berbeda dan menurut Cooling (1968), panjang daun dapat dijadikan sebagai pembeda provenans.

Daun pada pohon dewasa dua macam, daun sisik bersegi tiga melanset cepat gugur, di ketiaknya muncul tunas pendek, dan daun jarum dalam kelompok 2 – 4 yang dapat bertahan lebih dari 2 tahun dan tepinya bergerigi halus (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 2005).

Daunnya dalam berkas dua dan berkas jarum (sebetulnya adalah tunas yang sangat pendek yang tidak pernah tumbuh) pada pangkalnya dikelilingi oleh suatu sarung dari sisik yang berupa selaput tipis panjangnya sekitar 0,5 cm (Steenis, 2003 dalam Siregar, 2005).


(20)

Serasah pinus akan terdekomposisi secara alami dalam waktu 8 – 9 tahun. Serasah pinus merupakan serasah daun jarum yang mempunyai kandungan lignin dan ekstraktif tinggi serta bersifat asam, sehingga sulit untuk dirombak oleh mikroorganisme (Mindawati et al, 1998 dalam Siregar, 2005).

Batang dan Kulit Batang

Pinus merkusii memiliki pertelaan pohon berukuran sedang, selalu hijau,

berumah satu, dan tingginya hingga 15 – 45 m. Batang utama lurus dalam tegakan rapat, bebas cabang sampai 10 – 25 m, berdiameter hingga 100 – 140 cm, dan tidak berbanir tetapi bagian pangkal melebar. Pepagan tebal dan kasar beralur dalam. Tajuk cabang – cabang dalam pusaran teratur dan anak – anak cabang lokos dengan pangkal tanpa daun (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 2005).

Menurut Lasschuit (1951) yang dikutip oleh Sulawati (1981), bentuk batang Pinus merkusii di tanah Gayo (Aceh) mempunyai sifat ganjil, yaitu mempunyai

bentuk batang spiral dan ini terjadi terutama pada pohon – pohon muda di tanah – tanah yang lebih baik. Pohon – pohon yang sudah tua mempunyai bentuk batang yang lurus, hal ini akibat dari pertumbuhan yang cepat. Pendapat yang sama dinyatakan oleh Cooling (1968), hal tersebut dapat saja terjadi akibat kekurangan cahaya pada waktu muda.

Kulit batang berwarna coklat tua agak kelabu, kasar, beralur dalam dan menyerpih dalam keping – keping panjang lurus kadang – kadang juga bengkok, tetapi di Tapanuli ditemukan kulit batang yang licin, jarang beralur dalam, tipis dan berwarna muda (Soerianegara, 1979).


(21)

Kulit batang bervariasi dalam warna, tebal dan bentuk. Cooling (1988), menyatakan bahwa di Thailand warna kulit coklat gelap hingga abu – abu dengan tebal setinggi dada 6 cm. Di Kamboja warna kulit coklat kelabu gelap, dibedakan atas kulit yang halus dan kasar. Kulit kasar mempunyai retakan yang dalam, sedang kulit yang halus sebaliknya. Di Vietnam ditemukan warna kulit yang coklat kemerahan. Tebal 6 – 7 cm pada setinggi dada, mempunyai retakan yang dalam. Di Indonesia, warna kulit agak coklat, pada bagian pucuk berwarna hijau kelabu dan halus. Pohon – pohon tua berwarna merah coklat kelabu dan bersisik.

Bunga, Kerucut, dan Biji

Pembungaan tergantung pada keadaan iklim. Sesudah musim kemarau yang kering, biasanya pinus berbuah lebat dan kerucutnya pun memuaskan. Sebaliknya bila banyak hujan pembungaannya jelek dan kerucutnya pun susah masak (Beekman, 1949).

Perbungaan berbentuk runjung. Runjung jantan silindris, berkelompok di sekitar pangkal tunas muda, kuning atau kemerah – merahan, terdiri dari atas sisik – sisik yang tersusun spiral dan masing – masing dengan dua kantung sari terbalik. Runjung betina di ujung atau agak di ujung ranting, beragam bentuknya, terdiri atas sisik – sisik tersusun spiral yang menebal di ujung (apofisis), menghasilkan onak (duri) atau kait yang kokoh dan tiap sisik berbakal biji 2. Biji sering berbentuk bulat telur dan bersayap lebar (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 2005).

Susunan bunga jantan terdapat di antara kuncup – kuncup daun yang sedang berkembang pada cabang – cabang muda. Ukuran bunga jantan adalah panjang antara 18 – 20 mm dan tebal kira – kira 3 mm. Susunan bunga betina adalah kerucut –


(22)

kerucut yang lurus atau agak lengkung bertangkai pendek yang tempatnya kadang – kadang terpisah jauh, tetapi kebanyakan berdekatan dengan susunan bunga jantan yang sama (Beekman, 1949).

Buah berbentuk kerucut – kerucut. Panjang kerucut antara 5 – 8,5 cm dan tebal 1 – 5 cm berbentuk tabung meruncing atau bentuk telur apabila buah itu sudah membuka. Kerucut – kerucut itu di waktu muda menunjuk ke atas, tetapi lambat laun menunduk (Beekman, 1949).

Biji terletak dalam jalur sisik berkerucut, berpasangan dan bersayap. Biji pinus panjang antara 4 – 7 mm, lebar 4 mm dan tebal 2 mm. Sayap tidak simetris, warna kekuning – kuningan dan kering (Beekman, 1949).

Pohon pinus berbunga dan berbuah sepanjang tahun, terutama pada bulan Juli – November. Biji yang baik warna kulitnya kering kecoklatan, bentuk bijinya bulat, padat, dan tidak berkerut. Jumlah biji kering 57.900 butir per kg atau 31.000 butir/l (Khaerudin, 1999 dalam Siregar, 2005).

Cooling (1968) menyatakan bahwa biji bervariasi menurut ketinggian tempat tumbuh. Dia menarik suatu hubungan linier antara berat dari 1000 biji dengan ketinggian tempat tumbuh, dan berkesimpulan bahwa makin tinggi tempat tumbuh makin besar dari 1000 biji.

Kecepatan Tumbuh

Kecepatan tumbuh Pinus merkusii berbeda sekali pada waktu muda dan pada waktu dewasa. Pertumbuhan ini terutama disebabkan karena pengaruh cuaca. Cahaya sangat dibutuhkan oleh Pinus merkusii sebagai jenis pohon pionir (Beekman, 1949).


(23)

Menurut Khaerudin (1999) tinggi P. merkusii dapat mencapai 20 – 40 m dengan diameter 100 cm dan batang bebas cabang 2 – 23 m. Pinus tidak berbanir, kulit luar berwarna coklat kelabu sampai coklat tua, tidak mengelupas dan beralur lebar serta dalam. Kayu pinus berwarna coklat – kuning muda, berat jenis rata – rata 0,55 dan termasuk kelas kuat III serta kelas awet IV (Khaerudin, 1999 dalam Siregar, 2005).

Kemampuan Berkembang Biak

Pembiakan dengan benih sangat mudah sekali asal syarat – syarat terpenuhi dan pembiakan lain dengan tunas – tunas tunggak. Pinus merkusii dapat mempermuda diri dengan tanpa bantuan dari manusia. Untuk permudaan alam ini satu syaratnya ialah bahwa biji dapat mencapai tanah. Serasah yang terlalu tebal serta tanaman bawah yang terlalu rapat menghalangi permudaan alam ini (Beekman, 1949).

Penyebaran Alam dan Keadaan Tempat Tumbuh

Pinus merkusii merupakan jenis pinus daerah tropis, dan satu – satunya jenis

yang mempunyai penyebaran alami mulai dari belahan bumi utara, melintas khatulistiwa, menyebar sampai belahan bumi selatan (Cooling, 1968).

Tusam merupakan satu-satunya jenis Pinus asli Indonesia (Sumatera : Aceh, Tapanuli dan Kerinci) dengan penyebaran :

a. Strain Aceh penyebarannya dari pegunungan Seulawah Agam sampai sekitar TN Gunung Leuser kemudian ke Selatan mengikuti Pegunungan Bukit Barisan lebih kurang 300 km melalui Danau Laut Tawar, Uwak, Blangkejeren sampai Kutacane. Pada daerah ini ketinggian 800-2000 mdpl.


(24)

b. Strain Tapanuli, menyebar di daerah Tapanuli ke Selatan Danau Toba. Tegakan tusam alam terdapat di pegunungan Dolok Tusam, Batu Manumpak, Sialogo, Habinsaran, Dolok Sibualbuali, Dolok Sipirok, Sipagimbar, Padang Mandailing dan Dolok Pardumahan. Pada perbukitan Dolok Saut tegakan tusam bercampur dengan pohon daun lebar. Ketinggian tempat 1000-1500 mdpl.

c. Strain Kerinci menyebar di sekitar Pegunungan Kerinci. Tegakan alami relatif mengelompok dalam luasan yang tidak begitu luas di CA Bukit Tapan, Sungai Penuh, Bukit Terbakar dan Pungut Mudik. Ketinggian tempat 1500-2000 mdpl.

Gambar 1. Hutan pinus (USDA, 2006).

P. merkusii termasuk famili Pinaceae, tumbuh secara alami di Aceh, Sumatera

Utara, dan Gunung Kerinci. P. merkusii mempunyai sifat pioner yaitu dapat tumbuh baik pada tanah yang kurang subur seperti padang alang – alang. Di Indonesia, P. merkusii dapat tumbuh pada ketinggian antara 200 – 2.000 mdpl. Pertumbuhan

optimal dicapai pada ketinggian antara 400 – 1.500 mdpl (Khaerudin, 1999 dalam Siregar, 2005).


(25)

Pohon pinus tergolong jenis pohon pionir yang dapat tumbuh di segala jenis tanah yang berasal dari beberapa bahan induk yang berbeda dan jenis ini tidak memerlukan persyaratan tempat tumbuh yang tinggi (Cooling, 1968).

Jenis ini tumbuh pada daerah – daerah dengan kisaran ketinggian yang luas, yaitu mulai pada ketinggian 50 – 2000 m di atas permukaan laut (Cooling, 1968). Di Aceh jenis ini tumbuh dengan baik pada ketinggian 500 – 2000 m diatas permukaan laut dengan curah hujan rata – rata 3500 – 4000 mm/tahun dengan periode kering 3 – 4 bulan (Buys et al, 1928 yang dikutip oleh Cooling (1968). Selanjutnya Cooling (1968), menyatakan bahwa pinus mempunyai toleransi yang luas terhadap iklim, dapat tumbuh pada daerah – daerah yang mempunyai periode enam bulan kering sampai ke daerah – daerah yang selalu basah.

Pemanfaatan

Penduduk di sekitar hutan alam tusam biasanya memakainya sebagai bahan bangunan untuk rumah demikian pula dengan pemakaian teras kayu untuk penyulut kayu bakar banyak digunakan terutama di daerah pegunungan yang berhawa sejuk/dingin.

Gondorukem dapat digunakan sebagai bahan untuk membuat sabun, resin, dan cat. Terpentin digunakan untuk bahan industri parfum, obat – obatan, dan desinfektan. Hasil kayunya bermanfaat untuk konstruksi, korek api, pulp, dan kertas serat panjang. Bagian kulitnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar dan abunya digunakan untuk bahan campuran pupuk, karena mengandung kalium (Dahlian dan Hartoyo, 1997 dalam Siregar, 2005).


(26)

Status Konservasi

Menurut Red List Category IUCN 1994, tusam dikategorikan Rawan. Hal ini berarti bahwa populasinya berkurang karena luas wilayah keberadaan populasinya diperkirakan kurang dari 20.000 km2 atau wilayah yang dapat ditempatinya diperkirakan kurang dari 2000 km2, atau keadaan populasinya mengalami fragmentasi berat (sangat serius) atau diketahui hanya berada pada satu lokasi dan populasinya diamati atau diduga berkurang secara terus menerus dengan memperhatikan luas, wilayah keberadaan, kualitas habitat, dan jumlah individu dewasa.

Persemaian Pinus

Persyaratan lokasi tempat tumbuh : (1) Topografi : Tusam (Pinus merkusii) dapat tumbuh pada dataran rendah hingga dataran tinggi, mulai ketinggian 200 – 1700 mdpl, (2) Iklim : Pohon ini banyak dijumpai pada hutan – hutan yang berperiode kering ringan dan daerah bercurah hujan cukup tinggi, dengan tipe curah hujan A sampai C. Suhu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan antara 17 0C dan 270C, (3) Tanah : Tusam tidak memerlukan persyaratan yang tinggi terhadap keadaan tanah dan dapat tumbuh pada bermacam – macam jenis tanah yang formasinya sangat berbeda – beda. Tanah yang lembab tidak cocok untuk tusam, pohon ini membutuhkan tanah yang porous.

Pengadaan benih : Benih diunduh dari pohon yang sehat dan berumur minimal 20 tahun. Pohon ini berbuah sepanjang tahun terutama pada bulan Juli – Nopember. Buah kerucut (cone) yang masak ditandai dengan warna coklat perunggu dan masih tertutup, sedangkan biji yang baik adalah berwarna kecoklatan berbentuk


(27)

Cara pengadaaan bibit : Pengadaan bibit dapat dilakukan secara generatif (biji) dan vegetatif (putaran). (1) Pembiakan secara generatif (biji) : Biji disemai dalam bak dengan media pasir halus. Anakan yang tumbuh dan berdaun dua lembar harus segera dipindahkan ke bedeng penyapihan pada umur 2 bulan. Agar anakan tumbuh subur, perlu ditulari dengan cendawan mikoriza yang berasal dari pohon inang atau dengan tanah dari hutan tusam. Pemindahan ke lapangan dilakukan pada musim hujan setelah anakan mencapai tinggi 20 – 25 cm pada umur 1 sampai dengan 1,5 tahun, dengan jarak tanam 3 x 1 m atau 3 x 2 m. (2) Pembiakan secara vegetatif (puteran) : Permudaan buatan dapat dilakukan dengan putaran yang berasal dari persemaian dengan tinggi minimum 20 cm.

Gambar 2. Persemaian Pinus merkusii (Aek Nauli, 2007).

Penaburan dan perkecambahan : perkecambahan dimulai 7 hari setelah penaburan. Daya kecambah 80 % dapat dicapai dalam 12 – 15 hari. Benih dapat langsung ditabur pada kantung plastik (1 – 2 per kantung) atau disebar dahulu lalu disapih ke kantung plastik setelah panjang kecambah mencapai 3 – 4 cm. Media penyapihan bermikorhiza yang terdiri dari campuran pasir dan tanah humus dari


(28)

tegakan pinus perbandingan 3 : 1. Bibit siap tanam setelah 9 – 10 bulan (Sukmana dkk, 2005).

Pemeliharaan : (1) Penyiangan: Penyiangan pada tahun pertama dilakukan 3 kali atau tergantung dari tingkat peliaran gulma. (2) Penyulaman : Penyulaman dilakukan pada tahun pertama dan kedua. Pada tahun pertama penyulaman dilakukan dari bibit yang bersal dari persemaian sehingga umur dan besarnya tidak banyak perbedaan dengan bibit asal. (3) Pemangkasan : Pemangkasan dilakukan tergantung dari tujuan penanaman. Bila tujuannya untuk memanen kayu. Pemangkasan perlu dilakukan.

Hama dan penyakit : Anakan yang baru tumbuh di persemaian mudah terserang jamur tanah Rhizoctonia sp dan Fusarium sp. Fungisida yang diberikan pada perlakuan tanah dapat dilakukan secara fumigasi sebelum penanaman atau diberikan dengan cara penyuntikan tanah sedalam 10 – 15 cm. Sedangkan di hutan alam tegakan tusam banyak diserang hama Millionia basalis sehingga tanaman menjadi gundul dan pada tanaman muda dapat mematikan tanaman. Teknik pengendalian pada tanaman muda dengan insektisida Azudrin 15 WSC dan Hostathion 40 EC dengan dosis 3 – 4 ml / liter air per pohon dengan cara penyemprotan (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 2005).

Kriteria Bibit Yang Baik Definisi Bibit

Bibit merupakan salah satu penentu keberhasilan budi daya tanaman. Budi daya tanaman sebenarnya telah dimulai sejak memilih bibit tanaman yang baik. Hal


(29)

dalam proses budi daya selanjutnya. Selain itu, bibit juga merupakan pembawa gen dari induknya yang menentukan sifat tanaman tersebut setelah berproduksi. Dengan demikian, untuk memperoleh tanaman yang memiliki sifat tertentu dapat diperoleh dengan memilih bibit yang berasal dari induk yang memiliki sifat tersebut (Setiawan, 1999).

Gambar 3. Deretan Bibit Pinus merkusii (Aek Nauli, 2007).

Sampai sekarang pengertian bibit masih sering dirancukan dengan pengertian benih (seed) dan tanaman induk (parent stock). Banyak orang yang tertukar untuk mengistilahkan bibit pada benih. Pengertian bibit juga sering tertukar dengan tanaman induk penghasil benih atau bibit. Kerancuan ini masih sering terjadi di masyarakat karena belum ada kepastian tentang pembatasan pengertian bibit. Pengertian bibit yang dimaksud disini adalah tanaman kecil (belum dewasa) yang berasal dari pembiakan generatif (dari biji), vegetatif, kultur jaringan, atau teknologi pembiakan lainnya. Selain itu, bibit juga dapat diperoleh dari kombinasi cara – cara perbanyakan tersebut (Setiawan, 1999).


(30)

Pentingnya bibit dalam dunia usaha sudah tidak diragukan lagi. Tidak pelak lagi negara yang industri pembibitannya maju dapat menghasilkan produk – produk yang bermutu tinggi dan berdaya saing tinggi. Hal ini berkaitan erat dengan penguasaan teknologi pemuliaan serta pengawasan mutu benih dan bibit yang baik (Setiawan, 1999).

Untuk memperoleh bibit yang baik dalam memilih bibit perlu menguasai pengetahuan tentang macam – macam bibit, ciri bibit yang baik, dan kiat – kiat tertentu dalam memilih bibit. Dengan mengetahui macam – macam bibit maka dapat diketahui dengan pasti perbedaan bibit biji dan lainnya. Pengetahuan ciri bibit yang baik memberikan kepastian tentang asal – usul bibit, kesehatan, dan sertifikasi bibit. Adapun pengetahuan tentang kiat – kiat dalam memilih bibit memberi pengetahuan tentang cara memperoleh bibit yang baik (Setiawan, 1999).

Kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahan dalam memilih bibit dapat berakibat fatal. Hal ini dimungkinkan karena kesalahan tersebut baru diketahui setelah tanaman mulai berproduksi. Kesalahan dalam memilih varietas tanaman sulit dideteksi sebelum tanaman tersebut berproduksi. Memang ada varietas tanaman tertentu yang perbedaan antar varietasnya dapat diketahui dari perbedaan daunnya sehingga penentuan varietas dapat dilakukan sebelum tanaman tersebut berproduksi. Namun, varietas tanaman yang seperti itu tidak banyak. Pada kebanyakan tanaman, kesalahan tersebut baru tampak dari batang dan buah yang dihasilkan yang tidak memiliki sifat – sifat seperti yang diharapkan (Setiawan, 1999).


(31)

Dengan berbekal pengetahuan ini diharapkan tidak terjadi lagi kerugian besar dalam usaha yang diakibatkan oleh kesalahan dalam memilih bibit (Setiawan, 1999).

Bibit yang baik paling tidak memiliki tiga kriteria, yaitu berasal dari induk yang baik, sehat, dan bersertifikat. Jika ada satu kriteria yang tidak terpenuhi maka mutu bibit tersebut patut diragukan. Oleh karenanya, ketiga kriteria ini penting diperhatikan dalam menilai sebuah bibit tergolong baik atau tidak.

1. Berasal dari induk yang baik

Induk yang baik merupakan faktor pertama yang harus diperhatikan dalam menilai bibit. Faktor inilah yang dapat dijadikan acuan tentang kemungkinan sifat – sifat tanaman yang akan diwarisi kelak. Dengan menggunakan cara perbanyakan vegetatif maka secara genetik bibit tersebut dapat dipastikan memiliki sifat yang sama dengan induknya. Dengan demikian, untuk memastikan bibit tersebut memiliki sifat – sifat yang baik, harus dipastikan bahwa tanaman tersebut berasal dari induk yang baik pula (Anonim, 1995).

Induk tanaman yang baik untuk dijadikan sumber perbanyakan bibit adalah tanaman dari varietas unggul (baik), sehat, dan telah cukup umur. Dengan perbanyakan vegetatif, dari tanaman induk varietas unggul akan diturunkan sifat – sifat unggul pada bibit yang dihasilkan. Tanaman induk yang sehat dengan teknik perbanyakan yang baik (steril) tentunya akan menghasilkan bibit yang bebas penyakit. Sebaliknya, tanaman induk yang telah terserang penyakit kemungkinan besar juga akan menularkan penyakitnya kepada bibit yang dihasilkan. Demikian pula, faktor umur tanaman induk perlu mendapat perhatian. Tanaman yang terlalu


(32)

muda kurang baik dijadikan tanaman induk. Selain bibit yang dihasilkan bermutu rendah, juga berakibat jelek terhadap pohon induknya sendiri (Anonim, 1995).

Untuk memastikan bahwa bibit tersebut berasal dari induk yang baik, satu – satunya cara yang paling aman dengan mengetahui sendiri secara pasti tanaman induk bibit tersebut. Hal ini tidak sulit dilakukan jika sudah mengenalinya (Anonim, 1995). 2. Bibit sehat dan berpenampilan baik

Dalam memilih bibit tanaman, yang perlu diperhatikan pertama kali ialah pertumbuhan batang, cabang, dan daunnya. Selanjutnya dapat diperhatikan juga penampakan luarnya, apakah ada gejala serangan hama dan penyakit atau tidak. Bentuk batang dan cabang dipilih yang baik, kelihatan mulus dan kokoh, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek sesuai dengan umurnya. Tanaman yang kerdil biasanya kelihatan pendek dari yang seharusnya. Ada pula bibit yang pertumbuhan tingginya terlalu pesat, sedangkan batangnya kelihatan kecil dan terkesan kurang kokoh. Perlu diperhatikan bahwa bibit yang baik biasanya memiliki batang utama yang lurus dan tumbuh tegak.Pertumbuhan daun tanaman dipilih yang kelihatan rimbun, subur, dan segar. Pada daun tidak tampak bercak – cak, berlubang, atau bentuk cacat lainnya yang menandakan adanya gejala serangan penyakit atau hama. Untuk melihat apakah bibit bebas dari penyakit atau hama, tidak dapat dilihat secara sepintas. Namun, untuk lebih pastinya kita perlu tahu dahulu gejala – gejala serangan penyakit tersebut (Anonim,1995).

3. Bibit bersertifikat


(33)

terkecoh hanya dengan melihat penampilan bibit yang sehat, pertumbuhannya baik, dan diiming – imingi dengan varietas yang baik. Padahal bibit tersebut belum tentu terjamin keasliannya. Meskipun keberadaan sertifikat itu tidak dapat menjamin seratus persen keaslian bibit, tetapi paling tidak mengurangi resiko tertipu (Anonim, 1995).

Gambar 4. Bibit Pinus merkusii (Aek Nauli, 2007).

Tujuan dari registrasi dan sertifikasi adalah untuk menjamin secara hukum (yuridis) kebenaran bibit yang dihasilkan dari pohon induk yang telah ditentukan sehingga masyarakat tidak dirugikan. Dengan kata lain, bibit yang telah diberi label lebih terjamin secara hukum tentang keaslian varietas dan cara perbanyakannya. Hal ini dimungkinkan karena bibit yang berlabel diproduksi dibawah pengawasan Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (Anonim,1995).

Pada saat pelaksanaan perbanyakan, petugas akan mengawasi tentang kebenaran pohon induk, entries, dan cara perbanyakan yang digunakan, serta jumlah tanaman yang diperbanyakan. Menjelang pelabelan, dilakukan pemeriksaan lagi


(34)

tentang jumlah bibit yang tumbuh dengan baik dan layak diberi label. Selanjutnya penangkar mengisi label dan mengajukan permohonan nomor seri label dan legalisasi oleh Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih. Dengan sistem pengawasan seperti ini diharapkan keterangan tentang bibit yang tertera di dalam label benar – benar menggambarkan kondisi yang sebenarnya.

Label yang telah diisi dan dilegalisasi oleh balai memuat data – data : 1) Nama dan alamat penangkar,

2) Asal bibit, 3) Jenis tanaman,

4) Tanggal pemasangan label (Anonim, 1995).

Standarisasi Mutu Bibit

Tujuan dari pembangunan persemaian adalah untuk memproduksi bibit yang nantinya akan digunakan untuk penanaman dengan demikian persemaian adalah bagian dari proses pembangunan hutan tanaman. Bibit sebagai cikal bakal tanaman disiapkan di persemaian dengan menerapkan teknik persemaian yang tepat untuk tiap – tiap jenis tanaman, penggunaan benih, dan media persemaian berkualitas dan pengaturan kondisi persemaian yang optimum untuk pertumbuhan semai. Manajemen persemaian khususnya persemaian modern dengan demikian melibatkan sumberdaya dan sistem kerja yang terprogram dan pengendalian untuk menghasilkan bibit yang bermutu tinggi (Tampubolon dan Rusmana, 1998).

Mutu bibit tanaman yang tinggi secara umum ditentukan oleh bibit yang dapat beradaptasi di lapangan secara cepat, tingkat daya hidup yang tinggi, dan mempunyai


(35)

Persyaratan yang lebih ketat yaitu bibit bermutu tinggi dikaitkan langsung dengan mutu tegakan yang terbentuk yakni produk akhir berupa kayu atau serat yang akan digunakan sebagai bahan baku industri kehutanan. Hal ini banyak berhubungan dengan sifat – sifat turunan (hereditas) dari pohon atau tegakan asal benih ke tegakan yang terbentuk. Sebagai contoh benih yang diperoleh dari tegakan yang mempunyai banyak pohon bengkok akan mempunyai peluang yang tinggi untuk menghasilkan pohon yang bengkok pula (deformasi batang) meskipun bibit yang ditanam dapat beradaptasi dan tumbuh cepat di lapangan.

Tinggi rendahnya mutu bibit tanaman hutan khususnya bibit asal biji sangat ditentukan oleh sifat hereditas (genetis), tingkat kematangan fisiologis buah atau biji,kesehatan buah dan biji (FAO, 1985), dan perlakuan di persemaian. Albrech (1993) mengemukakan bahwa mutu benih mencakup mutu fisiologis, kematangan benih, dan daya hidup benih dimana mutu tersebut tergantung pada sifat genetis, waktu pengunduhan, metode ekstraksi, dan metode penyimpanan benih. Shopie (1997) mencatat persyaratan mutu benih yang harus dipenuhi adalah kemurnian benih yang tinggi, viabilitas tinggi, sehat, penampilan fisik baik, dan kadar air cukup. Sifat hereditas mengisyaratkan bahwa benih sebaiknya diperoleh dari kebun benih (seed orchard) atau sumber – sumber benih yang lain yang mempunyai tegakan berpenampilan unggul dan baik sehat serta jelas asal – usulnya.

Penetapan kriteria mutu bibit di persemaian dapat dilakukan dengan cara menilai sifat – sifat morfologis semai (Wakely, 1948 dalam Sutton, 1980) dan sifat – sifat morfologis semai (Sutton, 1980). Sifat – sifat morfologis seperti warna daun, ukuran semai, kesehatan semai, kelurusan batang, dan kekuatan tumbuh (vigor) telah


(36)

dikembangkan dalam beberapa dekade terakhir untuk memilih bibit tanaman untuk reboisasi. Pengukuran morfologi bibit telah dilakukan secara tradisional dalam proses seleksi bibit secara rutin karena pengukuran tersebut relatif cepat dan sederhana (Thompson dan Schultz, 1995). Pada sisi lain Johnson dan Cline (1991) mengatakan bahwa kriteria morfologi bibit seperti tinggi, diameter batang, dan arsitektur bibit dapat diubah melalui kegiatan persemaian.

Sedangkan penilaian bibit berdasarkan sifat – sifat fisiologis pada dasarnya ditekankan pada proses pertumbuhan semai. Beberapa pakar menentukan pentingnya penilaian kapasitas pertumbuhan perakaran (root growth capacity) sebagai ukuran mutu bibit tanaman kehutanan (Ritchie dan Dunlap, 1980).

Johnson dan Cline (1991) menekankan pentingnya kriteria fisiologis seperti kandungan air dalam tanaman (water relation), nutrisi karbohidrat, dormansi, dan ketahanan terhadap angin. Kapasitas pertumbuhan perakaran adalah merupakan kemampuan semai memproduksi akar putih lateral yang baru, baik dalam jumlah maupun panjang. Akar putih lateral telah dibuktikan merupakan komponen sistem perakaran yang penting untuk menjamin tingkat survival dan adaptabilitas yang tinggi dari bibit yang baru ditanam di lapangan penanaman. Penilaian kapasitas pertumbuhan perakaran dalam kegiatan persemaian memang tidak praktis dan membutuhkan waktu namun bila didukung oleh penelitian hubungan antara kapasitas pertumbuhan perakaran dengan ciri morfologis semai akan memudahkan penetapan kriteria mutu bibit yang dapat digunakan oleh petugas persemaian.


(37)

jumlah daun, diameter leher akar (root colar), warna daun, ada tidaknya serangan ham penyaki, dan kelurusan batang.

Johnson dan Cline (1991) menyarankan mutu bibit yang utama yakni tinggi tanaman, diameter batang, dan arsitektur pucuk. Dari kriteria itu yang paling

signifikan pada penampilan tanaman adalah diameter pangkal batang. Bagi bibit yang dikembangkan pada wadah polybag dengan media semai yang sarang, penelitian dapat ditambah dengan kekompakan akar dan ada tidaknya deformasi akar.


(38)

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober – Nopember 2007 di pembibitan Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli Desa Sibaganding Kecamatan Girsang Sipangan Bolon Kabupaten Simalungun Propinsi Sumatera Utara dan Laboratorium Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan didalam penelitian ini adalah :

Bibit Pinus merkusii yang berumur 1,5 tahun dalam polibag yang dipelihara di pembibitan Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli Desa Sibaganding Kecamatan Girsang Sipangan Bolon Kabupaten Simalungun Propinsi Sumatera Utara.

Bibit Pinus merkusii diperoleh dari anakan alam yang berumur seragam 3 bulan yang berbentuk bintil dari hutan pinus Desa Sibaganding Kecamatan Girsang Sipangan Bolon Kabupaten Simalungun Propinsi Sumatera Utara.

Alat yang digunakan didalam penelitian ini, antara lain :

Tabel Standar Mutu Bibit Tusam (Pinus merkusii) berdasarkan SNI, kalkulator, penggaris, kaliper, gunting stek, kantong kertas, aluminium foil, timbangan elektrik, oven, tally sheet, kamera digital, dan alat tulis.


(39)

Metode Penelitian

Mutu Bibit berdasarkan Grade SNI

Penelitian ini dilakukan dengan metode membandingkan mutu bibit tusam (Pinus merkusii) di pembibitan dengan SNI (Standar Nasional Indonesia) yaitu : 1. Sampel diambil menggunakan metode acak sebanyak 200 bibit Pinus merkusii

dari total bibit lebih kurang 5000 bibit di pembibitan Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli.

2. Bibit tusam (Pinus merkusii) tersebut diukur tinggi (cm) dan diameter (mm) nya. 3. Bibit tusam (Pinus merkusii) tersebut diamati ada tidaknya serangan hama

penyakit.

4. Bibit tusam (Pinus merkusii) tersebut diamati warna daunnya. 5. Bibit tusam (Pinus merkusii) tersebut diamati kekekaran batangnya. 6. Bibit tusam (Pinus merkusii) tersebut diamati deformasi batangnya.

7. Bibit tusam (Pinus merkusii) tersebut diamati diameter pangkal batangnya. 8. Bibit tusam (Pinus merkusii) tersebut diamati tinggi bibitnya.

9. Bibit tusam (Pinus merkusii) tersebut diamati pangkal batang mengkayunya. 10.Bibit tusam (Pinus merkusii) tersebut dibongkar polibagnya untuk mengetahui

kekompakan perakaran, pengamatan deformasi akar, dan pengukuran biomassa akar dan pucuk tanaman.

11.Kekompakan perakaran diuji dengan menyobek polibag dan melepaskannya dengan tetap memegang batang bibit. Kekompakan dinilai dari reaksi media terhadap akar tanaman setelah polibagnya dilepas, apakah tetap kompak, retak, patah, ataupun lepas. Deformasi akar ditentukan dengan membandingkan bentuk


(40)

akar utama dengan bentuk akar apakah berbentuk lurus, agak miring, bengkok, melengkung, spiral, atau buntu.

12.Dihitung persentase masing- masing kriteria penilaian diatas dan diklasifikasikan berdasarkan masing-masing grade.

Pengukuran Biomassa dan Indeks Mutu Bibit

Sedangkan metode pengukuran biomassa pucuk dan akar bibit dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :

1. Dilakukan pemotongan pucuk dan akar tanaman menggunakan gunting stek. 2. Dilakukan pencucian dengan air untuk menghilangkan tanah yang melekat pada

akar.

3. Dikeringkan pada suhu kamar terlebih dahulu dan kemudian pucuk dan akar ditimbang untuk mengetahui berat basahnya secara terpisah.

4. Dikemas pucuk dan akar secara terpisah dalam aluminium foil dan kemudian akar dan pucuk tersebut dioven pada suhu 105oC selama 24 jam.

5. Dilakukan penimbangan dengan timbangan elektrik untuk mengetahui berat kering ovennya.

6. Dilakukan penghitungan untuk mendapatkan Indeks Mutu Bibit dengan rumus yang ada dan dibandingkan dengan Indeks Mutu Minimum.


(41)

Kriteria pengamatan tersebut tercantum didalam tabel Standar Mutu Bibit Tusam (Pinus merkusii) berdasarkan SNI (Standar Nasional Indonesia) seperti dibawah ini :

Tabel 1. Standar Mutu Bibit Tusam (Pinus merkusii) berdasarkan SNI (Standar Nasional Indonesia):

No. Kriteria Grade I Grade II Grade III Grade IV 1. Serangan hama

penyakit

Tidak ada Tidak ada s/d Ringan

Ringan Ringan s/d Sedang

2. Warna daun Hijau tua Hijau tua Hijau pucat Hijau pucat 3. Kekekaran

batang

Kokoh tegar Kokoh tegar Lemah tertekan

Lemah tertekan 4. Deformasi

batang

Tegak Agak melengkung

Agak melengkung

Kerdil s/d Melengkung 5. Diameter

pangkal batang

> 5 mm > 5 mm 2.5 s/d 5 mm > 2.5 mm

6. Tinggi bibit 10 s/d 20 cm > 20 cm > 20 cm < 10 atau > 20 cm

7. Pangkal batang mengkayu

Mengkayu Mengkayu Mengkayu Tidak mengkayu 8. Kekompakan

akar


(42)

BKA BKP D

T

BKT

+

:

Bibit Mutu Indeks

Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan menggunakan system Enso Pot trays yang dikembangkan oleh Proyek ATA – 267, Finlandia – Indonesia (Supriadi dan Valli, 1988). Parameter serangan hama penyakit, warna daun, kekekaran batang, deformasi batang, diameter pangkal batang, tinggi bibit, pangkal batang mengkayu, dan kekompakan akar dirata – ratakan dan dinyatakan dalam persentase dan kemudian dihitung indeks mutu bibit dan disesuaikan dengan indeks mutu minimum apakah nantinya layak atau tidaknya untuk ditanam di lapangan.

Penghitungan Indeks Mutu Bibit dilakukan dengan menggunakan rumus :

Keterangan : BKT : Bobot kering oven total (gram), T : Tinggi rata - rata (cm),

D : Diameter rata - rata (mm), BKP : Berat kering oven pucuk (gram), BKA : Berat kering oven akar (gram).

Indeks Mutu Minimum = 0,09 yang banyak digunakan penilaian bibit tanaman pertanian dan perkebunan (Johnson dan Cline, 1991).

Jika Indeks Mutu Bibit < Indeks Mutu Minimum, maka bibit tersebut tidak layak untuk ditanam di lapangan.


(43)

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Persentase Serangan Hama dan Penyakit (%)

Dari hasil pengamatan ada tidaknya serangan hama dan penyakit diketahui bahwa tingkat kerusakan yang disebabkan serangan maupun gejala hama penyakit tidak ada atau nihil.

Hal itu disebabkan perawatan dan pengendalian hama penyakit terhadap bibit – bibit di pembibitan dilakukan secara intensif seprti pengaturan kondisi lingkungan baik suhu, kelembaban, kebersihan lingkungan, dan dilakukan penyemprotan dengan menggunakan pestisida. Pada umumnya hama yang menyerang bibit tusam (Pinus merkusii) adalah penggerek pucuk dan batang, serangga, babi, tikus, tupai, semut,dan

lainnya.Pemberantasan hama tersebut menggunakan insektisida. Sedangkan penyakit yang menyerang bibit biasanya dumping off atau lodoh yang disebabkan oleh jamur fusarium. Pemberantasan penyakit tersebut menggunakan fungisida (Jayusman, 2005). Untuk menghindari penyakit jamur dilakukan dengan cara mengatur pemberian naungan atau digunakan fungisida (Qitanong, 2006).

Anakan yang baru tumbuh di persemaian mudah terserang jamur tanah Rhizoctonia sp dan Fusarium sp. Fungisida yang diberikan pada perlakuan tanah dapat dilakukan secara fumigasi sebelum penanaman atau diberikan dengan cara penyuntikan tanah sedalam 10 – 15 cm. Sedangkan di hutan alam tegakan tusam banyak diserang hama Millionia basalis sehingga tanaman menjadi gundul dan pada tanaman muda dapat mematikan tanaman. Teknik pengendalian pada tanaman muda dengan insektisida Azudrin 15 WSC dan Hostathion 40 EC dengan dosis 3 – 4 ml /


(44)

liter air per pohon dengan cara penyemprotan (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 2005).

Menurut Anggraeni (1999) bahwa penyakit yang banyak menyerang tanaman di persemaian adalah penyakit lodoh (dumping off), yaitu menyerang pada waktu tanaman masih sekulen dan belum banyak membentuk kutikula sebagai akibat serangan berbagai jenis fungi tanah (soil borne pathogen). Tanda umum dari gejala penyakit lodoh adalah lodoh benih (germination loss), lodoh dalam tanah (pre-emergence dumping off), lodoh batang (post (pre-emergence dumping off), dan lodoh pada

kotiledon (top dumping off). Beberapa fungi penyebab penyakit lodoh pada Pinus merkusii antara lain adalah Rhizoctonia solani, Rhizoctonia sp, Fusarium

moniliforme, F. Bulbigenum, Botryodiplodia sp, Fusarium sp, F. moniliforme, F. solani, Pythium sp.

Berdasarkan hasil standarisasi mutu bibit tusam (Pinus merkusii), kesehatan pohon dalam hal ini merupakan faktor pertama yang perlu dicermati. Tingkat serangan ringan, hama dan penyakit apabila ada sampai 1/10 bagian tajuk ada serangan atau bebas serangan hama penyakit dan tingkat serangan sedang, bila ada 1/10 – 1/4 bagian tajuk terserang hama dan penyakit (Karyaatmadja et. al, 2001). 2. Persentase Warna Daun (%)

Dari hasil pengamatan warna daun diketahui bahwa warna daun hijau tua lebih dominan sebesar 73.5 % dibandingkan dengan hijau pucat sebesar 26.5 %.

Menurut Jayusman (2005) bahwa bibit yang tumbuh dengan baik memiliki warna daun berwarna hijau tua.


(45)

73.50% 26.50%

Hijau Tua Hijau Pucat

Gambar 5. Persentase Warna Daun Bibit Tusam (%).

Daun yang muda berwarna hijau muda keputih – putihan kadang – kadang juga ungu atau kemerah – merahan, sedangkan yang sudah dewasa biasanya berwarna hijau sungguh sehingga dapat dikatakan pertumbuhannya normal dikarenakan memiliki kriteria warna yang sehat dan segar (Tjitrosoepomo, G, 1997).

3. Persentase Kekekaran Batang (%)

Dari pengamatan kekekaran batang diketahui bahwa bibit yang memiliki batang yang kokoh tegar lebih dominan sebesar 83.5 % dibandingkan batang yang lemah tertekan sebesar 16.5 %.

Hal ini menunjukkan bahwa kekokohan batang berhubungan dengan rasio antara tinggi bibit dan diameter pangkal batang (sturdiness quotient). Batang yang kokoh dan tegar berarti mempunyai diameter pangkal batang yang relatif besar, sedangkan batang yang lemah tertekan mengindikasikan semai relatif tinggi dan tidak diikuti dengan diameter batang yang besar (Tampubolon, A. P dan Cica Ali, 2001).


(46)

83.50% 16.50%

Kokoh Tegar Lemah Tertekan

Gambar 6. Persentase Kekekaran Batang Bibit Tusam (%).

Bentuk batang dan cabang dipilih yang baik, kelihatan mulus dan kokoh, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek sesuai dengan umurnya. Tanaman yang kerdil biasanya kelihatan pendek dari yang seharusnya. Ada pula bibit yang pertumbuhan tingginya terlalu pesat, sedangkan batangnya kelihatan kecil dan terkesan kurang kokoh. Perlu diperhatikan bahwa bibit yang baik biasanya memiliki batang utama yang lurus dan tumbuh tegak (Anonim, 1995).

4. Persentase Deformasi Batang (%)

Dari hasil pengamatan deformasi batang diketahui bahwa batang yang tegak lebih dominan sebesar 41.5 % dibandingkan dengan batang yang agak melengkung 40 %, melengkung 16.5 %, dan kerdil 2 %.

Dalam tegakan – tegakan yang rapat pada umumnya bentuk batangnya lurus, bulat, dan langsing, sedangkan pada tegakan yang jarang batangnya tumbuh agak bengkok (Anonim, 1976).


(47)

Bibit yang memiliki batang yang tegak dan lurus akan lebih bagus tumbuh di lapangan dikarenakan bibit akan mampu tumbuh tegak sehingga meningkatkan kualitas tanaman. Deformasi batang berkaitan dengan mutu tanaman pada jangka panjang. Batang yang tegak akan menghasilkan tanaman yang lebih berkualitas, dan sebaliknya batang yang agak melengkung atau melengkung bahkan kerdil akan menghasilkan kualitas tanaman yang rendah (Aswandi dkk, 2007).

41.50%

40% 16.50%

2%

Tegak Agak Melengkung Melengkung Kerdil

Gambar 7. Persentase Deformasi Batang Bibit Tusam (%).

Timbulnya deformasi batang, dalam hal ini, karena kualitas bibit pinus yang ditanam jelek (sudah mengalami deformasi batang sejak di persemaian). Hal ini dapat dihindari dengan seleksi bibit yang ketat di persemaian (Darwo dkk, . 2005).

Beekman (1949), mengemukakan bahwa dalam tegakan tertutup Pinus merkusii mempunyai batang lurus dan bulat, panjang bebas cabang ¾ dari tinggi pohon dengan diameter mencapai 1 meter. Merupakan jenis kayu yang berserat panjang, secara umum sangat baik sebagai bahan baku pulp dan kertas.


(48)

5. Persentase Tinggi Bibit dan Diameter Pangkal Batang (%)

Dari pengamatan tinggi bibit diketahui bahwa tinggi bibit 10 s/d 20 cm lebih dominan sebesar 67 % dibandingkan dengan tinggi bibit >20 cm sebesar 30.5 %, <10 atau > 20 cm sebesar 2.5 % dan dari pengamatan diameter pangkal batang diketahui bahwa batang yang berdiameter <2.5 mm lebih dominan sebesar 98.5 % dibandingkan dengan batang yang berdiameter 2.5 s/d 5 mm sebesar 1.5 % dan >5 mm sebesar 0 %.

Menurut Johnson dan Cline (1991) bahwa kriteria morfologi bibit seperti tinggi, diameter batang, dan arsitektur bibit dapat diubah melalui kegiatan persemaian. Pertumbuhan tinggi bibit di persemaian lebih dipengaruhi kebutuhan bibit terhadap cahaya. Pengalaman dan pengamatan di persemaian menunjukkan pada umur tertentu bibit yang disusun rapat cenderung lebih tinggi.

67% 30.50%

2.50%

Grade I (10 s/d 20 cm)

Grade II dan Grade III (>20 cm) Grade IV (<10 atau >20 cm)


(49)

0% 1.50%

98.50%

Grade I dan Grade II (>5 mm) Grade III (2.5 s/d 5 mm) Grade IV (<2.5 mm)

Gambar 9. Persentase Diameter Bibit Tusam (%).

Hal ini menunjukkan bahwa bibit memiliki diameter yang tidak ideal dikarenakan berdiameter kecil. Lebih dominannya pengaruh diameter dapat disebabkan karena diameter leher akar mempunyai hubungan lurus dengan penampang akar yang mencerminkan kekokohan akar dan diameter batang yang lebih besar juga cenderung memiliki batang yang lebih kokoh (Aswandi dkk, 2007).

Hal ini akan mempengaruhi kondisi pengaturan jarak tanam bibit di persemaian terutama bibit – bibit yang ditujukan untuk kegiatan lahan krrtis. Karena kondisi lahan kritis lebih miskin hara dan cenderung ekstrim maka dibutuhkan bibit – bibit yang dapat beradaptasi terhadap kondisi tersebut.

Pengalaman penanaman jenis Dipterocarpaceae pada lahan alang – alang menunjukkan bibit yang memiliki diameter yang besar yang akan memiliki persen tumbuh yang lebih baik. Untuk mendapatkan pertumbuhan diameter batang yang


(50)

lebih baik maka pengaturan di persemaian harus lebih diperhatikan. Setelah bibit dapat tumbuh dengan ketinggian tertentu maka bibit pada bedeng sapih harus bisa dijarangi sehingga pertumbuhan tanaman lebih ke arah vertikal terutama untuk mengejar kebutuhan akan cahaya (Aswandi dkk, 2007).

6. Persentase Pangkal Batang Mengkayu (%)

Dari hasil pengamatan pangkal batang mengkayu diketahui bahwa batang yang mengkayu lebih dominan sebesar 100 % dibandingkan batang yang tidak mengkayu sebesar 0 %. Hal ini dikarenakan umur bibit telah mencapai 1,5 tahun di pembibitan sehingga batang telah mengeras atau mengkayu.

Batang bibit tanaman yang telah dewasa memiliki kambium yang cukup sehingga batangnya dapat mengkayu dan keras.

7. Persentase Kekompakan Akar (%)

Dari hasil pengamatan kekompakan akar diketahui bahwa akar yang kompak lebih dominan sebesar 51.5 % dibandingkan dengan akar yang retak 29.5 %, patah 15.5 %, dan lepas 3.5 %.

Bibit yang baik dan kuat memiliki perakaran yang kompak sehingga dapat memegang media. Hal itu penting untuk ketahanan hidup di lapangan baik dari segi penyerapan hara maupun bertahan dari gangguan alam.

Bibit tanaman yang belum layak tanam biasanya perakarannya belum berkembang dengan baik (perakaran tidak kompak) dan jika diangkat batang bibitnya akan mudah tercabut. Sedangkan bibit yang telah layak tanam perakarannya akan kompak dan apabila batangnya diangkat, maka tanah dalam polybag tidak mudah


(51)

51.50%

29.50% 15.50%

3.50%

Kompak Retak Patah Lepas

Gambar 10. Persentase Kekompakan Akar Bibit Tusam (%). 8. Persentase Deformasi Akar (%)

Dari hasil pengamatan deformasi akar diketahui bahwa deformasi akar yang melengkung lebih dominan sebesar 25.5 % dibandingkan dengan deformasi akar yang lurus 15.5 %, agak miring 17 %, bengkok 17.5 %, spiral 20.5 %, dan buntu 4 %.

15.50%

17%

17.50% 25.50%

20.50%

4%

Lurus Agak Miring Bengkok Melengkung Spiral Buntu


(52)

Bentuk akar mempengaruhi daya jangkau bibit didalam penyerapan unsur hara. Bentuk akar mempengaruhi daya jangkau bibit didalam penyerapan unsur hara. Akar – akar samping tumbuh kuat dan menyebar merata, sedangkan pada tanah – tanah yang kurang subur akar tunggang dan cabang sukar dibedakan. Pinus merkusii akarnya selalu tumbuh ke arah yang ada air serta kaya akan bahan – bahan mineral, pada tanah yang lebih gembur lebih dalam pula perakarannya. Dalam tanah – tanah gembur akar tunggangnya kelihatan nyata, sedang pada tanah – tanah yang padat akar – akar cabangnya lebih nyata (Beekman, 1949).

Kapasitas pertumbuhan perakaran adalah merupakan kemampuan semai memproduksi akar putih lateral yang baru, baik dalam jumlah maupun panjang. Akar putih lateral telah dibuktikan merupakan komponen sistem perakaran yang penting untuk menjamin tingkat survival dan adaptabilitas yang tinggi dari bibit yang baru ditanam di lapangan penanaman (Johnson dan Cline, 1991).

Menurut Wilde (1958) yang dikutip oleh Sulawati (1981), sistem perakaran pada semai pinus terdiri dari : (1) akar tunggang, yaitu akar yang tumbuh lurus ke bawah sejajar dengan jari – jari bumi. Akar ini berhubungan langsung dengan batang anak semai ; (2) akar cabang, akar cabang keluar dari akar – akar tunggang, dapat bercabang – cabang lagi, disebut akar panjang karena pertumbuhan memanjangnya cepat ; (3) akar – akar penyerap makanan (feeding root) dan bulu – bulu akar (root hair).

Beberapa pakar menentukan pentingnya penilaian kapasitas pertumbuhan perakaran (root growth capacity) sebagai ukuran mutu bibit tanaman kehutanan


(53)

Akar tusam bersimbiosis dengan cendawan mikoriza terbungkus atau diselimuti oleh hifa atau jalinan hifa sehingga dapat berfungsi untuk memproteksi cendawan yang bersifat patogen. Dengan adanya hifa cendawan mikoriza maka kelembaban di sekitar akar akan naik sehingga penyerapan air menjadi lebih mudah. Peningkatan daya absorbsi ini bisa mencapai 100% (Delvian, 2005).

9. Indeks Mutu Bibit

Dari hasil pengamatan tinggi rata – rata, diameter rata – rata, berat basah pucuk, berat basah akar, berat kering oven pucuk, dan berat kering oven akar diketahui bahwa :

Tinggi Rata – rata : 17,82 cm Diameter Rata – rata : 0,897 mm Berat basah pucuk : 498,7 gr Berat basah akar : 125,1 gr Berat kering oven pucuk : 151,9 gr Berat kering oven akar : 53,5 gr

Maka untuk mendapatkan Indeks Mutu Bibit dilakukan penghitungan dengan menggunakan rumus :

5 , 35 9 , 151 897 , 0 82 , 17 4 , 187 Bibit Mutu Indeks

:

+

BKA BKP D T BKT

+

:

Bibit Mutu Indeks 144 , 24 4 , 187 Bibit Mutu Indeks

:


(54)

Dari hasil penghitungan didapat bahwa Indeks Mutu Bibit = 7,761. Hal itu mengartikan bahwa bibit tusam (Pinus merkusii) di pembibitan Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli tersebut layak untuk ditanam di lapangan dikarenakan nilai Indeks Mutu Bibit = 7,761 > Indeks Mutu Minimum = 0,09 (Johnson dan Cline, 1991).

Ditetapkannya standar mutu bibit tanaman kehutanan ini dimaksudkan agar semua bibit hasil persemaian mempunyai kualitas yang seragam. Standar mutu bibit tersebut harus disepakati bersama oleh semua pihak baik dari pihak persemaian sebagai produsen maupun dari pihak yang melakukan penanaman sebagai konsumen. Dengan ketentuan Indeks Mutu Bibit = 0,09 maka bibit dinyatakan layak atau tidaknya untuk ditanam di lapangan.

Dari standarisasi mutu bibit pinus terdapat 4 kelas mutu (grade) bibit (Kayaatmadja et. Al, 2001), yakni :

a. Grade I : bibit kuat dan segar, merupakan pilihan utama dalam penanganan bibit untuk tujuan tanaman komersil.

b. Grade II : bibit kuat menengah, merupakan pilihan kedua dalam pengadaan bibit untuk tujuan komersil.

c. Grade III : bibit kurang kuat, tidak dianjurkan dipilih untuk tujuan tanaman komersil tetapi dapat dipakai untuk tujuan rehabilitasi (ekologis).

d. Grade IV : bibit sangat kurang kuat, tidak terpilih baik untuk tujuan tanaman komersil maupun rehabilitasi.


(55)

pemakai sangat dibutuhkan. Kesehatan pohon dalam hal ini merupakan faktor pertama yang perlu dicermati.

Dari hasil pengamatan persentase terbesar dari kriteria mutu bibit Pinus merkusi berdasarkan SNI (Standar Nasional Indonesia) diketahui bahwa kriteria bibit

yang dominan adalah :

1. Serangan Hama Penyakit : Tidak Ada (100%) 2. Warna Daun : Hijau Tua (73.5 %) 3. Kekekaran Batang : Kokoh Tegar (83.5 %) 4. Deformasi Batang : Tegak (41.5 %) 5. Diameter Pangkal Batang : <2.5 mm (98.5 %) 6. Tinggi Bibit : 10 s/d 20 cm (67 %) 7. Pangkal Batang Mengkayu : Mengkayu (100 %) 8. Kekompakan Akar : Kompak (51.5 %) 9. Deformasi Akar : Melengkung (25.5 %)

Berdasarkan besarnya persentase yang mewakili maka diambil kesimpulan bahwa bibit yang dominan di pembibitan Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli Desa Sibaganding Kecamatan Girsang Sipangan Bolon Kabupaten Simalungun adalah : Bibit dengan kriteria grade I.

Mutu bibit didasarkan kepada hasil penilaian atas mutu fisik, mutu fisiologis. Mutu fisik mencerminkan kondisi fisik seperti kekokohan, keadaan batang (tunggal, utuh, dan berkayu) dan kesehatan bibit. Mutu fisiologis bibit menggambarkan pertumbuhan tinggi, diameter, dan daun (Balai Teknologi Perbenihan, 2000). Mutu bibit sangat dipengaruhi oleh cara pengelolaan dan material yang digunakan untuk


(56)

memproduksi bibit di persemaian. Pada umumnya produksi bibit tanaman hutan yang digunakan dalam program GERHAN adalah bibit dalam wadah berupa polybag karena beberapa kelebihan, antara lain mudah dalam pengangkutan, lebih praktis, biaya lebih murah, dan daya hidupnya di lapangan cukup tinggi. Hal tersebut di atas akan lebih efisien apabila biaya produksi dan transportasi dapat ditekan tanpa mengurangi mutu bibit, sehingga diharapkan bibit dalam wadah harus ringan dan tidak makan tempat (Sukmana dkk, 2005).

Bibit berkualitas dengan ketahanan hidup yang tinggi di lapangan dan pertumbuhan yang baik sangat penting dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan kritis. Penggunaan yang tidak lolos seleksi hanya akan menurunkan tingkat keberhasilan rehabilitasi mengingat kondisi hutan dan lahan yang direhabilitasi umumnya kurang mendukung bagi pertumbuhan tanaman (Delvian, 2005).

Mutu bibit yang tinggi dicirikan oleh bibit yang dapat beradaptasi secara cepat dengan tingkat daya hidup dan pertumbuhan yang tinggi (Johnson dan Cline, 1991). Selanjutnya Departemen Kehutanan dalam Petunjuk Mutu Bibit HTI menyarankan bibit yang memenuhi syarat adalah bibit dengan tinggi 10 – 40 cm, nisbah akar : pucuk = 1: 1 atau 1: 2, kayu disekitar leher akar keras, tajuk simetris, dan sistem perakaran padat. Mutu bibit tanaman yang tinggi secara umum ditentukan oleh bibit yang dapat beradaptasi di lapangan secara cepat, tingkat daya hidup yang tinggi, dan mempunyai pertumbuhan yang tinggi (Barnett dan Baker, 1991 ; Johnson dan Cline, 1991).


(57)

a b

c d

Gambar 12. a. Bibit Tusam Kriteria Grade I, b. Bibit Tusam Kriteria Grade II, c. Bibit Tusam Kriteria Grade III , dan d. Bibit Tusam Kriteria Grade


(58)

Gambar 13. Perbandingan Bibit Tusam Kriteria Grade I, II, III, dan IV

a b

Gambar 14. a. Bibit Tusam Dengan Kekekakaran Batang Kokoh Tegar dan b. Bibit Tusam Dengan Kekekaran Batang Lemah Tertekan


(59)

a b

c d

Gambar 15. a. Bibit Tusam Dengan Deformasi Batang Tegak, b. Bibit Tusam Dengan Deformasi Batang Agak Melengkung, c. Bibit Tusam Dengan Deformasi Batang Melengkung, dan d. Bibit Tusam Dengan Deformasi Batang Kerdil


(60)

a b

c d

Gambar 16. a. Akar Bibit Tusam Dengan Kekompakan Akar Kompak, b. Akar Bibit Tusam Dengan Kekompakan Akar Retak, c. Akar Bibit Tusam Dengan Kekompakan Akar Patah, dan d. Akar Bibit


(61)

a b c

d e f

Gambar 17. a. Akar Bibit Tusam Dengan Deformasi Akar Lurus, b. Akar Bibit Tusam Dengan Deformasi Akar Agak Miring, c. Akar Bibit Tusam Dengan Deformasi Akar Bengkok, d. Akar Bibit Tusam Dengan Deformasi Akar Melengkung, e. Akar bibit tusam Dengan Deformasi Akar Spiral, dan f. Akar Bibit Tusam Dengan Deformasi Akar Buntu.


(62)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Bibit tusam (Pinus merkusii) di pembibitan Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli adalah baik dan layak untuk ditanam di lapangan dikarenakan memiliki Indeks Mutu Bibit = 7,761 > Indeks Mutu Minimum = 0.09.

2. Bibit yang dominan di pembibitan Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli adalah bibit dengan kriteria Grade I.

Saran

1. Diperlukan kesepakatan dan pemahaman bersama antar pihak mengenai standar mutu bibit khususnya bibit tusam (Pinus merkusii).

2. Diperlukan penelitian ke depan bertujuan untuk menguji tingkat keberhasilan pertumbuhan bibit di lapangan.


(63)

DAFTAR PUSTAKA

Albrecht, J. 1993. Forest Seed Handling. Pancel. L (ed). Tropical Foresting Vol. 1 Springer, Verlag. Pp. 381 – 462.

Anggraeni, I. 1999. Prospek Penggunaan Glio-kompos sebagai Media Tanam untuk Menekan Penyakit Lodoh pada Persemaian Tanaman Hutan. Prosiding : Ekspose Hasil- hasil Penelitian ”Penerapan Teknik Konservasi Tanah dan Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Pengusahaan Hutan”. Bogor 11 Pebruari 1999. Puslitbang Hutan dan KA. Bogor.

Anonim, Registrasi Pelepasan Varietas Unggul T.A. 1994/1995 (Jakarta : Direktorat Bina Perbenihan, 1995)

Anonim, 1976. Vadamecum Kehutanan Indonesia. Direktorat Jenderal Kehutanan. Departemen Pertanian. Jakarta.

Anwar, A. 1972. Percobaan Sambungan pada Pinus merkusii Jungh. Et de Vriesse dengan Umur Scion yang Berbeda Dengan dan Tanpa Pelindung. Skripsi Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Tidak Diterbitkan.

Aswandi, Simamora, H. E, Purba, J, Purba, T. 2007. Evaluasi Bibit Agathis rhombodialis Warb dan Agathis loranthifolia Salsb Di Persemaian Aek Nauli. Simalungun.

Balai Teknologi Perbenihan. 2000. Pedoman Standarisasi : Uji Mutu Fisik dan Fisiologis Benih Tanaman Hutan. Buku I. BIGRAF Publishing-Balai Teknologi Perbenihan. Bogor.

Beekman, H. A. J. M. 1949. Tusam. Terjemahan dari Houttelt in Indonesia oleh S. Hardjodarsono. Pembinaan Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.

Cooling, E. N. G. 1968. Fast – growing Timber Trees of the Lowland Tropics. Pinus merkusii. Commonwealth Forestry Institute, University of Oxford, Oxford.

Darwo. 2005. Kualitas Bibit Tanaman GERHAN di Sumatera Utara Memprihatinkan. Makalah Penunjang pada Ekspose Hasil Penelitian : Optimalisasi Program GERHAN dan Hasil – hasil Penelitian dalam Upaya Mendukung Kelestarian Hutan dan Lahan. Parapat.


(64)

Darwo, Tampubolon. A. P, Sukmana, A. 2005. Hasil Evaluasi Tanaman GERHAN di DTA Danau Toba Propinsi Sumatera Utara. Makalah Utama pada Ekspose Hasil Penelitian : Optimalisasi Program GERHAN dan Hasil – hasil Penelitian dalam Upaya Mendukung Kelestarian Hutan dan Lahan. Parapat. Delvian. 2005. Upaya Peningkatan Kualitas Bibit Dalam Kegiatan Rehabilitasi Lahan

Kritis. Makalah Utama pada Ekspose Hasil Penelitian : Optimalisasi Program GERHAN dan Hasil – hasil Penelitian dalam Upaya Mendukung Kelestarian Hutan dan Lahan. Parapat.

Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Republik Indonesia. Buku Panduan Kehutanan Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan, Jakarta, 1998.

Tjitrosoepomo, G. 1997. Morfologi Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Harahap R.M.S. 2000. Status Hutan Alam Pinus merkusii di Sumatera Utara saat ini. dalam E.B. Hardiyanto (ed) Prosiding Seminar Nasional Status Silvikultur 1999: Peluang dan Tantangan Menuju Produktivitas dan Kelestarian Sumberdaya Hutan Jangka Panjang. Fahutan UGM Yogyakarta. p 54-57

_______2000 a. Keragaman Sifat dan Data Ekologi Populasi Alam Pinus merkusii di Aceh, Taspanuli dan Kerinci. dalam E.B. Hardiyanto (ed) Prosiding Seminar Nasional Status Silvikultur 1999: Peluang dan Tantangan Menuju Produktivitas dan Kelestarian Sumberdaya Hutan Jangka Panjang. Fahutan UGM Yogyakarta. p 216-227

_______2000 b. Uji Asal Benih Pinus merkusii di Sumatera Utara. dalam E.B. Hardiyanto (ed) Prosiding Seminar Nasional Status Silvikultur 1999: Peluang dan Tantangan Menuju Produktivitas dan Kelestarian Sumberdaya Hutan Jangka Panjang. Fahutan UGM Yogyakarta. p 228-232

Hendrati, R.L., P. Tambunan, dan A. Sofyan 1997. Penyerbukan terkendali pada tanaman Pinus merkusii. Wana Benih I (3): 11-22

ITTO, 2006. Restoring The Ecosystem Functions of Lake Toba Catchment Area through Community Development and Local Building for Forest and Land Rehabilitation. ITTO PD 394/06 Rev. 1 (F).

Jayusman, 2005. Pengujian Awal Dalam Rangka Pemantapan Standarisasi Mutu Bibit Tusam (Pinus merkusii). Majalah SURILI Rimbawan Jawa Barat


(65)

Johnson. J.D and M.L. Cline. 1991. Seedling Culture In M.L Duryea and P.M. Dougherty (eds). Forest Regeneration Manual. Kluwer Academic Publisher. London. pp. 143 – 159.

Karyaatmadja B, C Ali adan AP Tampubolon. Standardisasi Mutu Bibit Tusam (Pinus merkusii). Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Standardisasi dan Jaminan Mutu. Jakarta 28 Agustus 2001. Badan Standardisasi Nasional (BSN). Pp. 161-176.ISSN 0853-9677.

Menhut, 2004. Daftar Kelompok dan Nama Jenis Tanaman GERHAN.Lampiran SK 272/Menhut-V/2004. tanggal 22 Juli 2004.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman, 2005. Data Base Jenis-jenis Prioritas untuk Konservasi Genetik dan Pemuliaan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan.

Qitanong. 2006. Teknik Pembuatan Tanaman Agathis spp, www.mailarchive.com/agromania@yahoogroups.com

Setiawan, A. I. 1999. Kiat Memilih Bibit Tanaman Buah, Penebar Swadaya, Jakarta. Siregar, E. B. M. 2005. Pemuliaan Pinus merkusii. e-USU Repository. Fakultas

Pertanian Jurusan Kehutanan Universitas Sumatera Utara. Medan.

SNI, 1999. Mutu Bibit (akasia, ampupu, gmelina, sengon, tusam, meranti dan tengkawang). Standar Nasional Indonesia (SNI 01-5006.1-1999). Badan Standarisasi Nasional. Hal 1-15.

Soerianegara, I. 1969. Fungsi Pemuliaan Pohon Hutan dalam Pembangunan Hutan Industri. Laporan No. 102. Lembaga Penelitian Hutan, Bogor.

Suhardi, Sosef, M.S.M., Laming, P.B. & Ilic, J., 1994. Pinus L. In Lemmens, R.H.M.J. & Soerianegara, I. (Eds.): Plant Resources of South-East Asia No 5(1). Timber trees: Major commercial timbers. Prosea Foundation, Bogor, Indonesia. pp 349-357.

Sulawati, S. 1981. Penilaian Kualitas Semai Pinus merkusii di Persemaian Simagrib dan Pasir kadaka, Kesatuan Pemangkuan Hutan Bogor. Skripsi Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.

Supriadi, G. Dan I. Valli. 1988. Manual Persemaian ATA – 267. Mechanized Nursery and Plantation Project in South Kalimantan (Indonesia – Finland). BTR Banjarbaru. Penerbitan No. 52.


(66)

Tampubolon, A. P. dan Cica Ali. 2000. Standarisasi mutu bibit jenis – jenis konifer. RPTP Tingkat Peneliti Tahun Anggaran 2000. Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli.

Tim Badan Litbang Kehutanan, 2003. Pedoman Penilaian Bibit Tanaman Hutan Dalam rangka Gerakan nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Halaman 1-9.

USDA, NRCS. 2006. The PLANTS Database, 6 March 2006

Skinner. National Plant Data Center, Baton Rouge, LA 70874-4490 USA. Wibowo A, 2005. Kerawanan Kawasan Hutan dan Dampak Kebakaran Terhadap

Tegakan Pinus merkusii Jung et de Vries. Di KPH Sumedang, Jawa Barat Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Bogor II(1):1-9


(67)

TALLY SHEET PENILAIAN MUTU BIBIT PINUS MERKUSII

No

Bibit Ada Tidak Ada Hijau Tua Hijau Pucat Kokoh Tegar Lemah Tertekan Tegak Agak

Melengkung Melengkung Kerdil Mengkayu

Tidak

Mengkayu Kompak Retak Patah Lepas Lurus Agak Miring Beng kok Meleng kung Spi ral Buntu

1 18,6 0,7 √ √ √ √ √ √ √

2 20,2 0,3 √ √ √ √ √ √ √

3 18,2 1,4 √ √ √ √ √ √ √

4 13,2 0,6 √ √ √ √ √ √ √

5 23,8 1,2 √ √ √ √ √ √ √

6 19,6 1,1 √ √ √ √ √ √ √

7 18,9 0,8 √ √ √ √ √ √ √

8 19 0,2 √ √ √ √ √ √ √

9 24,9 0,6 √ √ √ √ √ √ √

10 18,5 0,3 √ √ √ √ √ √ √

11 24 1,7 √ √ √ √ √ √ √

12 20,1 2 √ √ √ √ √ √ √

13 25,7 1,1 √ √ √ √ √ √ √

14 17,8 0,3 √ √ √ √ √ √ √

15 18,4 0,1 √ √ √ √ √ √ √

16 17,6 0,4 √ √ √ √ √ √ √

17 19,4 1,6 √ √ √ √ √ √ √

18 26,2 1,2 √ √ √ √ √ √ √

19 22,4 0,3 √ √ √ √ √ √ √

20 16,8 0,2 √ √ √ √ √ √ √

21 20,9 0,7 √ √ √ √ √ √ √

22 19,3 0,2 √ √ √ √ √ √ √

23 18,7 0,1 √ √ √ √ √ √ √

24 23 2,3 √ √ √ √ √ √ √

25 18,2 1,6 √ √ √ √ √ √ √

26 16,5 0,3 √ √ √ √ √ √ √

Tinggi (cm)

Pangkal Batang Mengkayu Warna Daun Kekekaran

Batang Kekompakan Akar Deformasi akar Serangan

Hama Penyakit Diameter

(mm)


(68)

TALLY SHEET PENILAIAN MUTU BIBIT PINUS MERKUSII

No

Bibit Ada Tidak Ada Hijau Tua Hijau Pucat Kokoh Tegar Lemah Tertekan Tegak Agak

Melengkung Melengkung Kerdil Mengkayu

Tidak

Mengkayu Kompak Retak Patah Lepas Lurus Agak Miring Beng kok Meleng kung Spi ral Buntu

27 19,4 0,6 √ √ √ √ √ √ √

28 13,7 0,7 √ √ √ √ √ √ √

29 22,3 1,8 √ √ √ √ √ √ √

30 11 0,3 √ √ √ √ √ √ √

31 12,8 0,1 √ √ √ √ √ √ √

32 18,3 0,1 √ √ √ √ √ √ √

33 21,6 1,8 √ √ √ √ √ √ √

34 20,3 1,3 √ √ √ √ √ √ √

35 11,8 2,3 √ √ √ √ √ √ √

36 17,3 1,3 √ √ √ √ √ √ √

37 14,6 0,8 √ √ √ √ √ √ √

38 15,7 0,1 √ √ √ √ √ √ √

39 24,1 0,3 √ √ √ √ √ √ √

40 20,8 1,3 √ √ √ √ √ √ √

41 17,9 1,7 √ √ √ √ √ √ √

42 11,8 0,4 √ √ √ √ √ √ √

43 18,9 0,3 √ √ √ √ √ √ √

44 26,8 0,7 √ √ √ √ √ √ √

45 23,4 1,6 √ √ √ √ √ √ √

46 25,1 1,1 √ √ √ √ √ √ √

47 18,9 0,4 √ √ √ √ √ √ √

48 17,8 0,7 √ √ √ √ √ √ √

49 19,2 1,1 √ √ √ √ √ √ √

50 22 0,3 √ √ √ √ √ √ √

51 13,1 1,7 √ √ √ √ √ √ √

52 14,8 0,2 √ √ √ √ √ √ √

Kekekaran

Batang Deformasi Batang

Pangkal Batang

Mengkayu Kekompakan Akar Tinggi

(cm)

Diameter (mm)

Serangan


(69)

TALLY SHEET PENILAIAN MUTU BIBIT PINUS MERKUSII

No

Bibit Ada Tidak Ada Hijau Tua Hijau Pucat Kokoh Tegar Lemah Tertekan Tegak Agak

Melengkung Melengkung Kerdil Mengkayu

Tidak

Mengkayu Kompak Retak Patah Lepas Lurus Agak Miring Beng kok Meleng kung Spi ral Buntu

53 12,7 0,6 √ √ √ √ √ √ √

54 11,6 0,3 √ √ √ √ √ √ √

55 17,3 0,4 √ √ √ √ √ √ √

56 18,6 0,6 √ √ √ √ √ √ √

57 19 1,7 √ √ √ √ √ √ √

58 23,7 0,5 √ √ √ √ √ √ √

59 21,5 2,4 √ √ √ √ √ √ √

60 18,7 1,9 √ √ √ √ √ √ √

61 19,4 0,7 √ √ √ √ √ √ √

62 12,3 0,3 √ √ √ √ √ √ √

63 11,8 0,2 √ √ √ √ √ √ √

64 18,6 0,8 √ √ √ √ √ √ √

65 19,8 2,1 √ √ √ √ √ √ √

66 11,2 2,8 √ √ √ √ √ √ √

67 17,3 1,6 √ √ √ √ √ √ √

68 14,6 0,3 √ √ √ √ √ √ √

69 18,6 0,7 √ √ √ √ √ √ √

70 17,9 0,1 √ √ √ √ √ √ √

71 28,3 0,9 √ √ √ √ √ √ √

72 20,4 1,4 √ √ √ √ √ √ √

73 25,6 0,3 √ √ √ √ √ √ √

74 11,7 2,2 √ √ √ √ √ √ √

75 13,3 2,7 √ √ √ √ √ √ √

76 14,4 1,8 √ √ √ √ √ √ √

77 19,1 0,6 √ √ √ √ √ √ √

78 22,4 0,9 √ √ √ √ √ √ √

Tinggi (cm)

Diameter (mm)

Serangan

Hama Penyakit Warna Daun

Kekekaran

Batang Deformasi Batang

Pangkal Batang


(70)

TALLY SHEET PENILAIAN MUTU BIBIT PINUS MERKUSII

No

Bibit Ada Tidak Ada Hijau Tua Hijau Pucat Kokoh Tegar Lemah Tertekan Tegak Agak

Melengkung Melengkung Kerdil Mengkayu

Tidak

Mengkayu Kompak Retak Patah Lepas Lurus Agak Miring Beng kok Meleng kung Spi ral Buntu

79 20,4 1,3 √ √ √ √ √ √ √

80 11,5 0,2 √ √ √ √ √ √ √

81 17,6 0,7 √ √ √ √ √ √ √

82 18,3 0,4 √ √ √ √ √ √ √

83 24,3 2,4 √ √ √ √ √ √ √

84 11,2 1,6 √ √ √ √ √ √ √

85 18,6 0,2 √ √ √ √ √ √ √

86 17,1 0,5 √ √ √ √ √ √ √

87 11 0,8 √ √ √ √ √ √ √

88 8,4 0,1 √ √ √ √ √ √ √

89 24,7 0,2 √ √ √ √ √ √ √

90 20,5 0,6 √ √ √ √ √ √ √

91 19,3 2,1 √ √ √ √ √ √ √

92 17,4 1,4 √ √ √ √ √ √ √

93 26,3 1,2 √ √ √ √ √ √ √

94 14,2 0,2 √ √ √ √ √ √ √

95 16,7 1,6 √ √ √ √ √ √ √

96 20,8 0,4 √ √ √ √ √ √ √

97 21,2 0,1 √ √ √ √ √ √ √

98 14,3 0,6 √ √ √ √ √ √ √

99 12,6 1,8 √ √ √ √ √ √ √

100 24,4 0,3 √ √ √ √ √ √ √

101 20,1 0,2 √ √ √ √ √ √ √

102 19,2 0,6 √ √ √ √ √ √ √

103 17,8 1,3 √ √ √ √ √ √ √

104 22,4 2,4 √ √ √ √ √ √ √

Kekekaran

Batang Deformasi Batang

Pangkal Batang

Mengkayu Kekompakan Akar Tinggi

(cm)

Diameter (mm)

Serangan


(1)

TALLY SHEET PENILAIAN MUTU BIBIT PINUS MERKUSII

No

Bibit Ada Tidak

Ada

Hijau Tua

Hijau Pucat

Kokoh Tegar

Lemah Tertekan Tegak

Agak

Melengkung Melengkung Kerdil Mengkayu

Tidak

Mengkayu Kompak Retak Patah Lepas Lurus Agak Miring

Beng kok

Meleng kung

Spi ral Buntu

157 12,7 1,3 √ √ √ √ √ √ √

158 18,3 0,4 √ √ √ √ √ √ √

159 11 0,2 √ √ √ √ √ √ √

160 26,8 1,2 √ √ √ √ √ √ √

161 18,9 2,3 √ √ √ √ √ √ √

162 13,6 0,3 √ √ √ √ √ √ √

163 17,3 0,6 √ √ √ √ √ √ √

164 20,5 0,1 √ √ √ √ √ √ √

165 18,7 1,4 √ √ √ √ √ √ √

166 14,2 0,8 √ √ √ √ √ √ √

167 17,1 0,3 √ √ √ √ √ √ √

168 25,6 1,2 √ √ √ √ √ √ √

169 18,7 1,1 √ √ √ √ √ √ √

170 13,4 2,2 √ √ √ √ √ √ √

171 12,6 0,7 √ √ √ √ √ √ √

172 13,8 0,3 √ √ √ √ √ √ √

173 20,9 0,8 √ √ √ √ √ √ √

174 17,6 0,7 √ √ √ √ √ √ √

175 14,6 0,4 √ √ √ √ √ √ √

176 15,8 0,1 √ √ √ √ √ √ √

177 14,7 1,4 √ √ √ √ √ √ √

178 23 1,8 √ √ √ √ √ √ √

179 11,7 1,3 √ √ √ √ √ √ √

180 20,8 0,4 √ √ √ √ √ √ √

181 19,8 0,3 √ √ √ √ √ √ √

182 11,6 1,1 √ √ √ √ √ √ √

Tinggi (cm)

Diameter (mm)

Serangan

Hama Penyakit Warna Daun

Kekekaran

Batang Deformasi Batang

Pangkal Batang

Mengkayu Kekompakan Akar Deformasi akar


(2)

TALLY SHEET PENILAIAN MUTU BIBIT PINUS MERKUSII

No

Bibit Ada Tidak

Ada

Hijau Tua

Hijau Pucat

Kokoh Tegar

Lemah Tertekan Tegak

Agak

Melengkung Melengkung Kerdil Mengkayu

Tidak

Mengkayu Kompak Retak Patah Lepas Lurus Agak Miring

Beng kok

Meleng kung

Spi ral Buntu

183 17,3 0,2 √ √ √ √ √ √ √

184 11,8 0,1 √ √ √ √ √ √ √

185 22,4 0,4 √ √ √ √ √ √ √

186 19 1,1 √ √ √ √ √ √ √

187 11,6 1,4 √ √ √ √ √ √ √

188 23,6 2,1 √ √ √ √ √ √ √

189 17,3 0,8 √ √ √ √ √ √ √

190 20,7 0,3 √ √ √ √ √ √ √

191 21,3 0,4 √ √ √ √ √ √ √

192 18,6 0,1 √ √ √ √ √ √ √

193 11,4 0,1 √ √ √ √ √ √ √

194 18,3 1,2 √ √ √ √ √ √ √

195 19 0,3 √ √ √ √ √ √ √

196 28,7 0,6 √ √ √ √ √ √ √

197 21,6 1,3 √ √ √ √ √ √ √

198 11,7 1,1 √ √ √ √ √ √ √

199 18,5 1,6 √ √ √ √ √ √ √

200 11,3 0,3 √ √ √ √ √ √ √

Deformasi akar Kekekaran

Batang Deformasi Batang

Pangkal Batang

Mengkayu Kekompakan Akar Tinggi

(cm)

Diameter (mm)

Serangan


(3)

DENAH PENGAMBILAN SAMPEL BIBIT TUSAM (Pinus merkusii

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35

2 √ √ √

3 √ √ √

4 √ √

5 √

6 √ √ √

7 √ √

8 √ √ √

9 √

10 √ √

11 √

12 √ √

13 √

14 √ √ √ √

15

16 √ √ √

17

18 √ √ √ √

19 √ √

20 √

21 √ √ √

22 √

23 √

24 √ √ √

25 √ √

26 √ √

27 √

28 √ √

29 √ √

30 √

31 √ √ √

32 √ √

33 √ √

34 √ √

35 √ √

36 √

37 √

38 √ √ √ √

39 √

40

41 √ √ √ √

42 √

43 √ √ √

44

45 √ √ √ √ √

46 √

47 √ √

48

49 √ √

50


(4)

51 √ √ √

52 √ √ √

53 √ √

54 √

55 √ √ √

56 √

57

58 √ √

59 √ √

60

61 √

62 √

63 √ √ √

64

65 √

66 67 68 69

70 √ √ √

71 72 73 74

75 √

76 √ √

77 78 79 80 81

82 √ √

83

84 √

85

86 √ √

87 √ √

88

89 √

90 91

92 √ √

93 √ √

94 √

95 96

97 √ √ √ √

98 99


(5)

)

36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 √

√ √

√ √

√ √

√ √

√ √

√ √

√ √

√ √ √

√ √

√ √

√ √


(6)

√ √

√ √

√ √

√ √

√ √ √

√ √

√ √

√ √


Dokumen yang terkait

Potensi Karbon Tersimpan Pada Tegakan Pinus (Pinus merkusii) Di Hutan Aek Nauli Kabupaten Simalungun Sumatera Utara.

5 107 71

Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Ikan Nila di Desa Sibaganding Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun

0 24 92

Hubungan patron klien antara pemilik lahan dengan buruh tani (studi di Desa Sipangan Bolon kecamatan Girsang Sipangan Bolon Kabupaten Simalungun)

0 37 93

Hubungan patron klien antara pemilik lahan dengan buruh tani (studi di Desa Sipangan Bolon kecamatan Girsang Sipangan Bolon Kabupaten Simalungun)

7 100 93

Hubungan patron klien antara pemilik lahan dengan buruh tani (studi di Desa Sipangan Bolon kecamatan Girsang Sipangan Bolon Kabupaten Simalungun)

0 0 10

Hubungan patron klien antara pemilik lahan dengan buruh tani (studi di Desa Sipangan Bolon kecamatan Girsang Sipangan Bolon Kabupaten Simalungun)

0 0 10

Hubungan patron klien antara pemilik lahan dengan buruh tani (studi di Desa Sipangan Bolon kecamatan Girsang Sipangan Bolon Kabupaten Simalungun)

0 0 2

Hubungan patron klien antara pemilik lahan dengan buruh tani (studi di Desa Sipangan Bolon kecamatan Girsang Sipangan Bolon Kabupaten Simalungun)

0 0 9

Hubungan patron klien antara pemilik lahan dengan buruh tani (studi di Desa Sipangan Bolon kecamatan Girsang Sipangan Bolon Kabupaten Simalungun)

0 0 13

Hubungan patron klien antara pemilik lahan dengan buruh tani (studi di Desa Sipangan Bolon kecamatan Girsang Sipangan Bolon Kabupaten Simalungun)

0 0 3