ANALISIS PEMIDANAAN PADA PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK OLEH ANGGOTA POLRI (STUDI PUTUSAN: NO.11/Pid/2015/PT.Tjk)

ABSTRAK
ANALISIS PEMIDANAAN PADA PELAKU TINDAK PIDANA
PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK OLEH ANGGOTA POLRI
(STUDI PUTUSAN: NO.11/Pid/2015/PT.Tjk)

Oleh
Yoya Aktiviany Nalamba
Tindak pidana persetubuhan terhadap anak oleh anggota Polri yang seharusnya
menjadi sosok yang melindungi dan mengayomi serta bertanggung jawab atas
perlindungan terhadap masyarakatnya, hal itu dapat dilihat dalam putusan perkara
Nomor 11/Pid/2015/PT.Tjk. dalam kasus tersebut, terdakwa Adi Utami bin
Supardi dinyatakan dengan sengaja melakukan persetubuhan dengannya atau
orang lain yakni Nuri Fauziah binti M.Yono yang berumur 17 tahun.
Permasalahannya adalah bagaimanakah pemidanaan pada pelaku tindak pidana
persetubuhan terhadap anak oleh anggota Polri (studi putusan Nomor
11/Pid/2015/PT.Tjk) dan apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
putusan pemidanaan pada pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak oleh
anggota Polri (studi putusan Nomor 11/Pid/2015/PT.Tjk).
Penelitian digunakan dengan pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan
yuridis empiris. Sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh dari studi lapangan dengan melakukan wawancara terhadap

Hakim, Jaksa, dan Dosen bagian Pidana Fakultas Hukum. Data sekunder
diperoleh dari studi kepustakaan.
Berdasarkan penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa
pemidanaan pada pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak oleh anggota
Polri dalam putusan Nomor 11/Pid/2015/PT.Tjk adalah terdakwa Adi Utami bin
Supardi terbukti melanggar Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Anak.
Hakim menjatuhkan putusan yang setimpal atau adil bukan memberikan pidana
seberat-beratnya pada si pelaku, tetapi putusan tersebut harus dapat
mencerminkan rasa keadilan dan kepatutan dalam masyarakat, serta dengan
harapan pelaku tidak mengulangi perbuatanya. Pemidanaan pada pelaku tindak
pidana persetubuhan terhadap anak oleh anggota Polri adalah berdasarkan teori
pemidanaan yaitu teori gabungan yang diterapkan di Indonesia . Dasar
pertimbangan hakim dalam

Yoya Aktiviany Nalamba
menjatuhkan pidana pada pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak oleh
anggota Polri menggunakan teori keseimbangan, teori pendekatan seni dan intuisi,
teori pendekatan pengalaman dan teori ratio decidendi serta dilihat dengan teori
keadilan.
Adapun saran yang diberikan penulis adalah mengenai pola pemidanaannya perlu

dikaji lebih mendalam terhadap pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak
yang dilakukan anggota Polri, sehingga pelaku dan korban mendapatkan rasa
keadilan yang seadil-adilnya. Dan hakim dalam mempertimbangkan putusan
pemidanaan harus lebih memberatkan pidana terhadap terdakwa, mengingat
bahwa terdakwa adalah seorang anggota Polri yang seharusnya memberikan
keamanan, pengayoman, dan perlindungan serta cerminan kepada masyarakatnya.
Kata Kunci: Pemidanaan, Persetubuhan, Polri

ANALISIS PEMIDANAAN PADA PELAKU TINDAK PIDANA
PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK OLEH ANGGOTA POLRI
(Studi Putusan No. 11/Pid./2015/PT.Tjk Tahun 2015)

Oleh
YOYA AKTIVIANY NALAMBA

Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDARLAMPUNG
2016

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

“Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa skripsi ini telah
ditulis dengan sungguh-sungguh dan tidak merupakan penjiplakan hasil karya
orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti bahwa pernyataan ini tidak benar
maka saya sanggup menerima hukuman sanksi sesuai peraturan yang berlaku.”

Bandar Lampung, 18 Februari 2016
Penulis

Yoya Aktiviany Nalamba

RIWAYAT HIDUP


Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, pada Tanggal 19
Februari 1994, yang merupakan anak pertama dari tiga
bersaudara, dari kasih sayang Ibundaku Dra. Yuantini dan
Ayahandaku Busroni,BAE (Alm)

Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 1 Sukarame Bandar
Lampung, yang diselesaikan pada tahun 2006. Penulis melanjutkan Sekolah
Menengah Pertama Negeri 4 Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun
2009, dilanjutkan dengan Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Bandar Lampung,
yang diselesaikan pada tahun 2012, penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas
Hukum Universitas Lampung melalui jalur Ujian Mandiri Perguruan Tinggi
Negeri (UMPTN) tertulis pada tahun 2012. Pada bulan januari sampai februari
tahun 2015 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Periode I di Desa
Lengkukai, Kecamatan Kelumbayan Barat, Kabupaten Tanggamus.

PERSEMBAHAN

Dengan mengucap puji syukur kepada Allah SWT
Kupersembahkan karya sederhana ini melalui jerih payah ku kepada:


Bundaku Yuantini & Ayahku Busroni (Alm)
Atas segala curahan cinta, kasih sayang, doa serta pengorbanan yang takkan
pernah terbalas
demi keberhasilan dan kesuksesanku.
Semoga Allah SWT membalas semua tetes keringat, air mata dan doa dalam
setiap wujudnya
dengan kebahagian di dunia dan di akhirat.

Adik- adikku Yosela dan Yonada
senantiasa menemaniku dengan keceriaan dan kasih sayang
serta akan menjadi imam ku kelak.

Almamaterku tercinta
Fakultas Hukum Universitas Lampung

MOTO

Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu
sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka kejahatan itu untuk dirimu

sendiri.
(QS.Al-Isra’:7)

Sukses tidak perlu mengejar kesempurnaan, karena sukses itu menurut
apa yang anda pikirkan.
(Mario Teguh)

SANWACANA

Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur selalu penulis panjatkan kepada Allah
SWT, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan
penulisan skripsi dengan judul “Analisis Pemidanaan Pada Pelaku Tindak Pidana
Persetubuhan Terhadap Anak Oleh Anggota Polri (Studi Putusan Pengadilan Tinggi
Tanjung Karang No.11/Pid./2015/PT.Tjk)” sebagai salah satu syarat mencapai gelar
sarjana di Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan,
petunjuk dan saran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan
terima kasih yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam kepada:
1.


Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Lampung

2.

Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung dan selaku Dosen Pembahas I yang telah
memberikan kritikan, koreksi dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

3.

Ibu Firganefi, S.H.,M.H., Sekretaris Jurusan Hukum Pidana

4.

Ibu Nikmah Rosidah S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing I yang telah
memberikan ilmu-ilmu yang bermanfaat, kritikan, masukan dan saran selama
proses perkuliahan dan khususnya dalam penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini
dapat terselesaikan


5.

Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H selaku Dosen Pembimbing II yang telah
memberikan masukan-masukan, ilmu-ilmu yang bermanfaat, dan saran-saran
selama proses perkuliahan dan khususnya dalam penulisan skripsi ini sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan..

6.

Ibu Rini Fatonah, S.H., M.H selaku Dosen Pembahas II yang telah memberikan
ilmu-ilmu yang bermanfaat, kritikan, masukan dan saran selama proses
perkuliahan dan khususnya dalam penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan.

7.

M. Rama Erfan, Nirmala Dewita, dan Erna Dewi yang telah menjadi narasumbernarasumber, memberikan izin penelitian, membantu dalam proses penelitian
untuk penyusunan skripsi ini.

8.


Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah mendidik,
menempa, dan memberikan ilmu-ilmu yang bermanfaat kepada penulis selama
kuliah di Fakultas Hukum Universitas lampung.

9.

Teristimewa dan terkhusus kepada kedua orang tuaku tercinta Dra. Yuantini dan
H. Busroni,BAE (Alm) yang telah merawat, membimbing, mendidik, dan
menyayangiku dari dalam kandungan sampai kapanpun agar penulis dapat
menggapai sukses di dunia tanpa meninggalkan dan melupakan akhirat. Skripsi
ini adalah persembahan pertama dari putri kalian, semua ini tiada sebanding
dengan perjuangan dan pengorbanan yang kalian berikan selama ini, mudahmudahan ini menjadi langkah awal bagi putri kalian untuk membalas budi baik
yang sangat besar yang telah kalian berikan selama ini, Amin.

10. Teristimewa pula kepada adik-adik ku Yosela Etikayani Nalamba dan Yonada Tri
Ayu Nalamba. yang selalu memberikan dukungan, motivasi dan doa kepada
penulis, serta menjadi pendorong semangat agar penulis terus berusaha keras

mewujudkan cita-cita dan harapan sehingga dapat membanggakan bagi mereka

berdua.
11. Seluruh keluarga besarku ( yayik dan oma ) yang telah memberikan doa, dan
motivasi, agar penulis dapat menyelesaikan kuliah di Universitas Lampung.
12. Tante ku maksu Ricca Yulisnawati, yang selalu memberikan semangat serta saran
yang berguna dalam penulisan ini.
13. Saudara-saudaraku:ses vira, bang dio, cici anca, zia, raqila yang selalu
menjadikan motivasi serta memberikan semangat.
14. Sahabat-Sahabatku di kampus Tira Cakra Indira, Sonya Putri Octavia, Siti Dwi
Karuniati, dan Riski Aulia semoga kita akan sukses di masa mendatang dan dapat
menjadi wanita-wanita hebat di Indonesia dan Internasional, semoga Allah SWT
selalu memberikan jalan dan hidayah pada kita dan persahabatan ini tidak akan
ada akhirnya.
15. Teman- teman Geng NPM akhir, Teki, Alam, Udin, Rito, Ryo, Wailim, Samuel,
Yudha. Terima kasih atas persahabatan, dukungan, dan bantuan selama ini.
16. Teman-teman seperjuanganku, Redo, Fransiska, Occa, dan semua teman-teman
Angkatan 2012 Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak dapat penulis
sebutkan semuanya. Terima kasih atas pertemanan yang terjalin selama ini.
17. Teman-teman SMP ku Annisya Trivia Utari, Tias Syahputri, Sevi Edelweis,
Indah Iftinandari M. Terima kasih telah menjadi sahabat ku sejauh ini. Semoga
pertemanan kita akan terus berjalan sampai kapanpun.

18. Teman-teman KKN Desa Lengkukai Kec.Kelumbayan Barat Mas Tyo, Andre,
balan, Bram, Putri, Nisa, Fani. Terima kasih atas kerja sama yang terjalin selama
masa KKN dan kekompakan yang terjalin selama ini dan kegilaannya.

19. Untuk Almamater Tercinta, Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah
menjadi saksi bisu dari perjalanan ini hingga menuntunku menjadi orang yang
lebih dewasa dalam berfikir dan bertindak. Serta semua pihak yang tidak dapat
disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan banyak terima kasih.
Semoga Allah SWT memberikan balasan atas bantuan dan dukungan yang telah
diberikan kepada penulis dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah
wawasan keilmuan bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis pada khususnya.
Bandar Lampung, 18 Februari 2016
Penulis,

Yoya Aktiviany Nalamba

DAFTAR ISI

Halaman
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................................... 1
B. Pemasalahan dan ruang Lingkup ....................................................................... 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ....................................................................... 7
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual .................................................................... 8
E. Sistematika Penulisan ……………………………………………………….. 16

II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tindak Pidana .................................................................................................. 18
B. Tindak Pidana Persetubuhan ........................................................................... 25
C. Pengertian Anak .............................................................................................. 28
D. Pengertian Pemidanaan ................................................................................... 31
E. Tinjauan Umum Tentang Polri ….…………………………………………... 32

III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah ........................................................................................ 34
B. Sumber dan Jenis Data .................................................................................... 35
C. Penentuan Narasumber .................................................................................... 37
D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ................................................... 37
E. Analisis Data ………………………………………………………………… 39

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Responden ……………………………………………………..40
B. Gambaran Umum Putusan Nomor: 11/Pid/2015/PT.Tjk …………………….41
C. Pemidanaan pada Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan terhadap Anak
oleh Anggota Polri (Studi Putusan No: 11/Pid/2015/PT.Tjk) ………..………44
D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memberikan Putusan Pemidanaan
pada Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan terhadap Anak oleh Anggota
Polri (Studi Putusan No: 11/Pid/2015/PT.Tjk)………………………………..55

V. PENUTUP
A. Simpulan ……………………………………………………………………...68
B. Saran ………………………………………………………………………….69

DAFTAR PUSTAKA

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan masyarakat merupakan suatu gejala yang biasa dan bersifat umum
serta merupakan proses penyesuaian masyarakat terhadap kemajuan jaman.
Perkembangan tersebut membawa dampak yang luar biasa yang dapat dirasakan
oleh seluruh anggota masyarakat tersebut termasuk tuntutan hidup, namun tidak
dapat dilupakan juga bahwa di sisi lain dari kemajuan yang ditimbulkan akan
membawa dampak yang buruk terhadap manusia jika semuanya itu tidak
ditempatkan tepat pada tempatnya.
Tindak Pidana yang terjadi bukan saja menyangkut tindak pidana terhadap nyawa,
dan harta benda saja melainkan juga terhadap kesusilaan. Tindak pidana
kesusilaan menurut kamus hukum pengertian kesusilaan diartikan sebagai tingkah
laku, perbuatan percakapan bahwa sesuatu apapun yang berpautan dengan normanorma kesopanan yang harus dilindungi oleh hukum demi terwujudnya tata tertib
dan tata susila dalam kehidupan bermasyarakat.1 Kelainan dalam melakukan
hubungan seks ini dalam konsep ilmu kejiwaan dapat digolongkan kepada
abnormalitas seksual (patologi seks). Terjadinya patologi seksual ini karena
individu tidak dapat memenuhi penyalurannya secara wajar.

Soedarso, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakata, 1992, hlm. 64.

Salah satu bentuk tindak pidana yang sangat merugikan dan meresahkan
masyarakat adalah tindak pidana kesusilaan berupa persetubuhan yang dilakukan
terhadap anak. Perkembangan jaman dan kebutuhan akan perlindungan anak yang
semakin besar, memerlukan pemikiran yang lebih akan hak-hak anak, karena di
tangan merekalah, masa depan bangsa tersandang. Dalam menyiapkan generasi
penerus bangsa, anak merupakan aset utama. Tumbuh kembang anak sejak dini
merupakan tanggung jawab keluarga, masyarakat dan negara. Namun tidak dapat
dipungkiri oleh berbagai faktor, baik biologis, sosial, ekonomi maupun kultur,
yang menyebabkan tidak terpenuhinya hak-hak anak.
Untuk kasus tindak pidana kesusilaan yang dilakukan terhadap anak sekarang ini,
modus operandinya pun beraneka ragam, ada yang menggunakan cara membujuk
korban diberi sejumlah uang, membelikan sesuatu yang diinginkan korban atau
memberikan sesuatu yang sangat diharapkan, menjanjikan sesuatu, bahkan
memberikan ancaman yang mungkin ditakuti oleh anak. Dengan modus-modus
tersebut pelaku kemudian melakukan tindak pidana kesusilaan tersebut di tempat
yang dirasa aman bagi pelaku.
Persetubuhan terhadap anak lebih khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) untuk
melindungi korbannya diatur dalam Pasal 81 yang menentukan bahwa:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan,memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan
orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp

300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi
setiap orang yang dengan segaja melakukan tipu muslihat, serangkain
kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya
atau orang lain.
Masyarakat harus perlu lebih jeli dan peka terhadap lingkungan, bahwa tindak
pidana dapat dilakukan oleh siapapun dan terhadap siapapun. Salah satu contoh
tindak pidana persetubuhan yang dilakukan oleh oknum anggota polri, yang
dimana seharusnya menjadi sosok yang melindungi dan mengayomi masyarakat
di lingkungan masyarakat serta bertanggung jawab atas perlindungan terhadap
masyarakat. Namun dengan keadaan yang abnormal, seorang oknum anggota polri
ini melampiaskan nafsu kelaminnya terhadap warga sipil yang seharusnya
mendapatkan rasa aman dari oknum anggota polri.2
Pasal 421 KUHP menyebutkan: “Seorang pejabat yang menyalahgunakan
kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau
membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 8
(delapan) bulan”.
Pejabat yang dimaksud adalah oknum anggota polri yang melakukan tindak
pidana persetubuhan terhadap anak dengan tipu muslihat dan serangkaian
kebohongan terhadap korban. Sebagai contoh kasus persetubuhan yang terjadi di
kota Bandar lampung yaitu terjadinya persetubuhan yang dilakukan oleh oknum
anggota polri terhadap anak yang masih berumur 17 tahun. Terdakwa dituntut

oleh jaksa penuntut umum dengan pidana 7 tahun yang telah melakukan tindak
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang RI No. 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri
Tanjung

Karang

Nomor:

965/Pid.B/2014/PN.Tjk,

terdakwa

oleh

hakim

dinyatakan bersalah dan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana “dengan sengaja membujuk anak untuk melakukan persetubuhan
dengannya”. Di persidangan Pengadilan Negeri, majelis hakim tingkat pertama
menjatuhkan pidana penjara 5 tahun terhadap terdakwa dan berdasarkan hasil di
pesidangan Pengadilan Tinggi, majelis hakim menjatuhkan pidana penjara 4
tahun.
Kronologis singkat dari perkara tersebut yaitu terdakwa adalah oknum anggota
polri, dimana korban yang merupakan kekasih terdakwa yang bernama Nuri
Fauziah berumur 17 tahun yang dikenalnya lewat facebook melakukan
persetubuhan pertama di bulan Juni 2013 dan kedua di bulan Agustus 2013
dengan memaksa dan serangkaian kebohongan yang akan bertanggungjawab atas
perbuatannya. Dan hasil visum et repertum tanggal 29 januari 2014 bahwa selaput
dara Nuri Fauziah robek lama arah jarum jam satu, jam tiga, jam lima sampai
dasar, arah jam tujuh, jam Sembilan, jam sebelas tidak sampai dasar. Liang
kemaluan dapat dilewati satu jari tanpa sakit.
Tindak pidana terhadap anak harus diantisipasi dengan memfungsikan instrumen
hukum pidana secara efektif melalui penegakan hukum dengan cara
mengupayakan penanggulangan terhadap perilaku yang melanggar hukum yang
bersifat preventif dan represif.

Salah satu dari pelaksanan hukum yaitu hakim diberi wewenang oleh undangundang untuk menerima, memeriksa serta memutus suatu perkara pidana. Oleh
karena itu hakim dalam menangani suatu perkara harus dapat berbuat adil.
Seorang hakim dalam memberikan putusan kemungkinan dipengaruhi oleh hal
yang ada pada dirinya dan sekitarnya karena pengaruh dari faktor agama,
kebudayaan, pendidikan, nilai, norma, dan sebagainya sehingga dapat
dimungkinkan adanya perbedaan cara pandang yang mempengaruhi pertimbangan
dalam memberikan keputusan.
Putusan dari hakim merupakan sebuah hukuman bagi terdakwa pada khususnya
dan menjadi sebuah hukum yang berlaku luas apabila menjadi sebuah
yurisprudensi tetap yang akan diikuti oleh para hakim selanjutnya dan menjadi
pedoman bagi masyarakat, yaitu putusan hakim yang mengandung 2 (dua) unsur
sekaligus, yaitu merupakan penyelesaian atau pemecahan suatu peristiwa konkret
dan merupakan peraturan hukum untuk waktu mendatang.3
Pemidanaan seharusnya memberikan sanksi yang setimpal bagi pelaku kejahatan
tersebut sehingga supremasi hukum benar-benar ditegakkan dan tercipta
ketertiban dalam masyarakat. Disamping itu, sanksi tersebut diharapkan
memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan sehingga tidak akan mengulangi
perbuatannya dimasa mendatang serta mencegah orang lain agar tidak melakukan
kejahatan tersebut karena suatu ancaman sanksi yang cukup berat.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dalam bentuk skripsi berjudul “Analisis Pemidanaan pada Pelaku
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, Cetakan
Kelima, 2007, hlm. 37.

Tindak Pidana Persetubuhan terhadap Anak oleh Anggota Polri (Studi Putusan
Nomor 11/Pid/2015/PT.Tjk)”

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang di atas, maka
yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah:
a. Bagaimanakah pemidanaan pada pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap
anak oleh anggota Polri (Studi Putusan 11/Pid/2015/PT.Tjk) ?
b. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan
pada pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak oleh anggota Polri
(Studi Putusan 11/Pid/2015/PT.Tjk) ?
2. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dari penelitian ini adalah kajian bidang hukum pidana pada
umumnya dan khususnya mengenai analisis pemidanaan pada pelaku tindak
pidana persetubuhan terhadap anak oleh anggota Polri (studi putusan
11/Pid/2015/PT.Tjk). Penelitian ini akan dilakukan pada lingkup wilayah hukum
Pengadilan Negeri Tanjung Karang pada tahun 2015.

C. Tujuan dan Kegunaan penelitian
1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui :
a. Pemidanaan pada pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak oleh
anggota Polri pada Putusan Nomor 11/Pid/2015/PT.Tjk.
b. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan pada
pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak oleh anggota Polri pada
Putusan Nomor 11/Pid/2015/PT.Tjk.
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Kegunaan teoritis, yaitu berguna sebagai sumbangan pemikiran dalam upaya
pemahaman wawasan di bidang ilmu hukum pidana, khususnya mengenai
pemidanaan pada pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak oleh
anggota Polri.
b. Kegunaan praktis, yaitu memberikan pengetahuan dan informasi yang
bermanfaat bagi masyarakat mengenai tindak pidana persetubuhan yang
dilakukan oleh anggota Polri dan untuk dipergunakan bagi pihak-pihak yang
berkepentingan sebagai wawasan serta untuk memberikan sumbangan ilmu
pengetahuan dan sebagai referensi bagi para pihak yang ingin meneliti
permasalahan yang sama.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah teori-teori yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran
atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan identifikasi terhadap
dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.4
1. Teori Pemidanaan
Pidana pada hakikatnya hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan, maka untuk
itu petama-tama merumuskan tentang tujuan pemidanaan. Dalam mengidentifikasi
tujuan pemidanaan ini, bertolak dari keseimbangan 2 (dua) sasaran pokok, yaitu
perlindungan masyarakat dan perlindungan atau pembinaan individu pelaku
tindak pidana.
Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana yaitu:5
1. Teori Retributive (teori absolut atau teori pembalasan)
Menurut pandangan teori ini, pidana haruslah disesuaikan dengan tindak
pidana yang dilakukan, karena tujuan pemidanaan menurut mereka adalah
memberikan penderitaan yang setimpal dengan tindak pidana yang telah
dilakukan.
2. Teori Utilitarian (teori relatif atau teori tujuan)
Menurut pandangan teori ini, pemidanaan ini harus dilihat dari segi
manfaatnya, artinya pemidanaan jangan semata-mata dilihat hanya sebagai
pembalasan belaka melainkan harus dilihat pula manfaatnya bagi terpidana di
masa yang akan datang. Teori ini melihat dasar pembenaran pemidanaan itu
ke depan, yakni pada perbaikan para pelanggar hukum di masa yang akan
datang.
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: CV Rajawali, 1984, hlm.116.
Tri Andrisman, Asas-asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Bandar Lampung:
Universitas Lampung, 2011, hlm.82.

3. Teori Gabungan
Teori ini didasarkan pada tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban
masyarakat. Sehubungan dengan masalah pidana sebagai sarana untuk
mencapai tujuan, maka harus dirumuskan terlebih dahulu tujuan pemidanaan
yang akan diharapkan akan menunjang tercapainya tujuan tersebut, atas dasar
itu kemudian baru dapat ditetapkan cara, sarana atau tindakan apa yang akan
digunakan.

2. Teori Dasar Pertimbangan Hakim
Hakim mempunyai peran yang penting dalam pemidanaan, meskipun hakim
memeriksa perkara pidana di persidangan dengan berpedoman dengan hasil
pemeriksaan yang dilakukan pihak kepolisian dan dakwaan yang diajukan oleh
Jaksa Penuntut Umum. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa
hakim bebas dalam menjatuhkan putusan, namun Pasal 50 Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan hakim dalam
memberikan putusan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu,
juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili.
Hakim sebelum menjatuhkan putusan, terlebih dahulu harus mempertimbangkan
mengenai salah tidaknya seseorang atau benar tidaknya suatu peristiwa dan
kemudian memberikan atau menentukan hukumannya. Menurut Sudarto,6 hakim
memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut:
a. Keputusan mengenai peristiwa ialah apakah terdakwa telah melakukan
perbuatan yang ditujukan padanya;

Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum
Pidana, Bandung: Sinar Baru,1986,hlm.84

b. Keputusan mengenai hukumannya ialah apakah perbuatan yang dilakukan
merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat
dipidana;
c. Keputusan mengenai pidananya apabila terdakwa memang dapat dipidana.
Masalah pemidanaan sepenuhnya merupakan kekuasaan dari hakim. Hakim dalam
menjatuhkan pidana wajib berpegangan pada alat bukti yang mendukung
pembuktian dan keyakinannya sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP
yaitu: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya.”
Menurut Mackenzei, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan
oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara,
yaitu:7
1. Teori Keseimbangan
Yang dimaksud dengan teori keseimbangan adalah keseimbangan antara
syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihakpihak yang berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya
keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan
kepentingan korban.
2. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi
Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari
hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan
dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana,

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar
Grafika, 2010,hlm.105-106.

hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam
perkara pidana.
3. Teori Pendekatan Keilmuan
Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana
harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam
kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin
konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan ini merupakan semacam
peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh sematamata atas dasar intuisi semata, tetapi harus dilengkapidengan ilmu
pengetahuan dan wawasan keilmuan dalam menghadapi perkara yang harus
diputuskannya.
4. Teori Pendekatan Pengalaman
Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya
dalam menghadapi perkara-perkara yang ada setiap hari. Dengan pengalaman
yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui dampak dari putusan yang
dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban
maupun masyarakat.
5. Teori Ratio Decidendi
Teori

ini

didasarkan

pada

landasan

filsafat

yang

mendasar

yang

mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang
disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang
relevan dengan pokok perkara sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan
untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi para pihak yang berperkara.
6. Teori Kebijaksanaan
Teori ini diperkenalkan oleh Made Sadhi Astuti, di mana sebenarnya teori ini
berkenaan dengan putusan hakim dalam perkara di pengadilan anak. Aspek ini
menekankan bahwa pemerintah, masyrakat, keluarga, dan orang tua ikut
bertanggungjawab untuk membimbing, membina, mendidik, dan melindungi
anak, agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi keluarga,
masyarakat dan bagi bangsanya.

Hakim dalam putusanya harus member rasa keadilan, menelaah terlebih dahulu
kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian menghubungkan dengan
hukum yang berlaku. Hakim dalam menjatuhkan putusannya harus berdasar pada
penafsiran hukum yang sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh, hidup dan
berkembang dalam masyarakat, juga factor lain yang mempengaruhi seperti factor
budaya, sosial, ekonomi, dan politik.
3. Teori Keadilan
Keadilan menurut Barda Nawawi Arief adalah perlakuan yang adil, tidak berat
sebelah, tidak memihak dan berpihak kepada yang benar. Keadilan menurut kajian
filsafat adalah apabila dipenuhi dua prinsip yaitu: pertama tidak merugikan
seseorang dan kedua perlakuan kepada tiap-tiap manusia apa yang menjadi
haknya. Jika kedua prinsip ini dapat dipenuhi barulah itu dikatakan adil. Pada
hakikatnya, permaknaan keadilan dalam penanganan sengketa-sengketa hukum
ternyata masih dapat diperdebatkan. Banyak pihak merasakan dan menilai bahwa
lembaga pengadilan kurang adil karena terlalu syarat dengan prosedur, formalitas,
kaku, dan lamban dalam memberikan putusan terhadap suatu sengketa. Factor
tersebut tidak lepas dari cara pandang hakim terhadap hukum yang kaku dan
normatife-prosedural dalam melakukan konkretisasi hukum.8
Keadilan substantif dimaknai keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan-aturan
hukum substantif, dengan tanpa melihat kesalahan-kesalahan proseduraal yang
tidak berpengaruh pada hak-hak substantive penggugat. Ini berarti bahwa apa
yang secara formal-prosedural benar bisa saja disalahkan secara materiil dan

!"#
$

%

#

#
&#

# '()

substansinya melanggar keadilan. Demikian sebaliknya, apa yang secara formal
salah bisa saja dibenarkan jika secara jika materiil dan substansinya sudah cukup
adil (hakim dapat menoleransi pelanggaran procedural asalkan tidak melanggar
sunstansi keadilan). Dengan kata lain, keadilan substantif bukan berarti hakim
harus selalu mengabaikan bunyi undang-undang yang tidak memberi rasa
keadilan, tetapi tetap berpedoman pada formal-prosedural undang-undang yang
sudah member rasa keadilan sekaligus menjamin kepastian hukum. Artinya,
hakim dituntut untuk memiliki keberanian mengambil keputusan yang berbeda
dengan ketentuan normative undang-undang, sehingga keadilan substansial selalu
saja sulit diwujudkan melalui putusan hakim pengadilan, karena hakim dan
lembaga pengadilan hanya akan memberikan keadilan formal.9
2. Konseptual
Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara
konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dalam arti-arti yang berkaitan
dengan istilah yang ingin tahu akan diteliti.10 Hal ini dilakukan agar tidak terjadi
kesalah pahaman dalam melakukan penelitian, maka akan dijelaskan terlebih
dahulu tentang pengertian pokok yang dijadikan konsep penelitian, sehingga akan
memberikan batasan yang tetap dalam penafsiran terhadap beberapa istilah.
Istilah-istilah yang dimaksud adalah sebagai berikut:

*+ # '()
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 132

a. Analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan
penelaahan bagian itu tersendiri serta hubungan antar bagian untuk
memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan.11
b. Pemidanaan adalah suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh
hakim. Maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup
keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum
pidana itu ditegakkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhkan sanksi
pidana.12
c. Pelaku menurut Pasal 55 KUHP adalah mereka yang melakukan, yang
menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan, mereka yang
memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau
martabat, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana
atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan
perbuatan.
d. Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan
diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut.13
e. Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya
manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa,
yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus,
memerlukan

pembinaan

dan

perlindungan

dalam

rangka

menjamin

pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi,

Tim Penyusun Kamus, Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1997, hlm.32
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina aksara, 1993,hlm.9
13
Tri Andrisman. Op.cit., hlm.156.

selaras, dan seimbang.14 Menurut UU No. 23 Tahun 2003 tentang
Perlindungan anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.
f. Persetubuhan menurut R. Soesilo adalah perpaduan antara kelamin laki-laki
dan kelamin perempuan yang biasanya dijalankan untuk mendapatkan anak,
yaitu anggota kemaluan laki-laki harus masuk ke dalam anggota kemaluan
perempuan sehingga mengeluarkan air mani.15
g. Polri merupakan alat negara yang bertugas memelihara keamanan dan
ketertiban

masyarakat,

memberikan

pengayoman,

dan

memberikan

perlindungan kepada masyarakat.16
h. Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat
tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau
orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang
menderita.17

14

Tri Andrisman, Hukum Peradilan Anak, Bandar Lampung, 2013, hlm.1
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1995, hlm. 209.
16
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum (Suatu Tinjauan Sosiologis), Genta Publishing,
Yogyakarta, 2009, hlm. 111.
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika pressindo, Jakarta, 1983, hlm.41.

15

E. Sistematika Penulisan
Sistematika suatu penulisan memudahkan maksud dari penelitian ini serta dapat
dipahami, maka penulis membaginya ke dalam V (lima) Bab secara berurutan dan
saling berhubungan yaitu sebagai berikut :
I. PENDAHULUAN
Bab ini memuat uraian dari latar belakang masalah, perumusan permasalahan
dan ruang lingkup penelitian, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis
dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini merupakan pengantar pemahaman ke dalam pengertian-pengertian
umum serta pokok bahasan. Dalam uraian bab ini lebih bersifat teoritis yang
nantinya digunakan sebagai bahan studi perbandingan antara teori yang
berlaku dengan kenyataannya yang berlaku dalam praktek.

III. METODE PENELITIAN
Bab ini menguraikan tentang metode penelitian yang akan digunakan dalam
penulisan skripsi ini yaitu menjelaskan tentang langkah-langkah yang
digunakan dalam penelitian yang memuat tentang pendekatan masalah, data
dan sumber data, penentuan populasi dan sampel, prosedur pengumpulan data
dan pengolahan data serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini memuat pokok bahasan mengenai hasil penelitian yang terdiri dari
karakteristik responden, pemidanaan pada pelaku tindak pidana persetubuhan
terhadap anak oleh anggota Polri dan dasar pertimbangan hakim dalam
memberikan putusan pemidanaan pada pelaku tindak pidana persetubuhan
terhadap anak oleh anggota Polri pada wilayah hukum Pengadilan Tinggi
Tanjung Karang.

V. PENUTUP
Bab ini merupakan penutup dari penulisan skripsi yang berisikan secara
singkat hasil pembahasan dari penelitian dan beberapa saran dari peneliti
sehubungan dengan masalah yang dibahas, memuat lampiran-lampiran, serta
saran-saran yang berhubungan dengan penulisan dan permasalahan yang
dibahas bagi aparat penegak hukum yang terkait.

DAFTAR PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana
Pengertian tindak pidana yang dimuat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) oleh pembentuk undang- undang sering disebut dengan
strafbaarfeit. Para pembentuk undang- undang tersebut tidak memberikan
penjelasan lebih lanjut mengenai strafbaarfeit itu, maka dari itu terhadap maksud
dan tujuan mengenai strafbaarfeit tersebut sering digunakan oleh pakar hukum
pidana dengan istilah tindak pidana, perbuatan pidana, peristiwa pidana, serta
delik.
Istilah “strafbaar feit” sendiri yang merupakan bahasa Belanda tersebut terdiri
atas tiga kata, yaitu straf yang berarti hukuman (pidana), baar yang berarti dapat
(boleh), dan feit yang berarti tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Jadi
istilah strafbaarfeit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan yang
dapat dipidana.17

17

I Made Widnyana, Asas- Asas Hukum Pidana, Fikahati Aneska, Jakarta, 2010, hlm.32.

Menurut Pompe yang dikutip Bambang Poernomo, pengertian Strafbaar feit
dibedakan menjadi :
a. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma yang
dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk
mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.
b. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian/feit yang diancam
pidana.18
Sementara kata “delik” berasal dari bahasa Latin, yakni delictum. Dalam bahasa
Jerman disebut delict, dalam bahasa Prancis disebut delit, dan dalam bahasa
belanda disebut delict. Sementara dalam kamus besar bahasa Indonesia19 arti delik
diberi batasan yaitu : “perbuatan yang dapat dikenakan hukum karena merupakan
pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana”.
Beberapa pendapat pakar hukum dari barat (Eropa) mengenai pengertian strafbaar
feit, antara lain sebagai berikut:
1.

Simons, memberi batasan pengertian strafbaar feit adalah suatu tindakan
melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang
dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undangundang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.20

2.

Pompe, strafbaar feit adalah suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap
tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja telah

18

Bambang Poernomo, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di luar KodifikasHukum Pidana,
Bina Aksara, Jakarta, 1997, hlm.86.
Ledeng Marpaung, Asas- Teori- Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 7.
20
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997,
hlm. 34.

dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku
tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum.21
3.

Hasewinkel Suringa, strafbaar feit yang bersifat umum yakni suatu perilaku
manumur yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam suatu pergaulan
hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh
hukum pidana dengan menggunakan sarana- sarana yang bersifat memaksa
yang terdapat didalam undang-undang.22

Beberapa pendapat pakar hukum Indonesia mengenai Strafbaar feit, antara lain
sebagai berikut:
1.

Bambang Poernomo, menyatakan bahwa strafbaar feit adalah hukum sanksi.
Definisi ini diberikan berdasarkan ciri hukum pidana yang membedakan
dengan lapangan hukum yang lain, yaitu bahwa hukum pidana sebenarnya
tidak mengadakan norma sendiri melainkan sudah terletak pada lapangan
hukum yang lain, dan sanksi pidana diadakan untuk menguatkan ditaatinya
norma-norma di luar hukum pidana.

2.

Roeslan Saleh, mengartikan istilah strafbaar feit sebagai suatu perbuatan
yang bertentangan dengan tata atau ketentuan yang dikehendaki oleh hukum,
dimana syarat utama dari adanya perbuatan pidana adalah kenyataan bahwa
ada aturan yang melarang.

3.

Moeljatno menerjemahkan istilah “strafbaar feit” dengan perbuatan pidana.
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu suatu aturan
hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu,
bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.23

4.

Teguh Prasetyo merumuskan bahwa : “Tindak pidana adalah perbuatan yang
oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana.Pengertian perbuatan

21

Ibid, hlm.35.
Ibid, hlm.185.
23
Tri Andrisman, Hukum Pidana Asas-Asas Dan Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia. Unila.
2009, hlm.70.

22

di sini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang
sebenarnya dilarang oleh hukum) dan perbuatan yang bersifat pasif (tidak
berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).
5.

Wirjono Prodjodikoro mempergunakan istilah tindak pidana adalah tetap
dipergunakan dengan istilah tindak pidana atau dalam Bahasa Belanda
Strafbaar feit yaitu suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan
hukuman pidana dan pelakunya ini dapat dikatakan merupakan "subyek"
tindak pidana.24
Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana dapat digolongkan 2 (dua)
bagian, yaitu:
1) Tindak pidana materil
Pengertian tindak pidana materil adalah, apabila tindak pidana yang dimaksud
dirumuskan sebagai perbuatan yang menyebabkan suatu akibat tertentu, tanpa
merumuskan wujud dari perbuatan itu.
2) Tindak pidana formil.
Pengertian tindak pidana formal yaitu apabila tindak pidana yang dimaksud,
dirumuskan sebagai wujud perbuatan tanpa menyebutkan akibat yang
disebabkan oleh perbuatan itu.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Unsur tindak pidana dibedakan dari dua sudut pandang yakni pandangan monistis
dan pandangan dualistis, sebagai berikut:

24

Wiryono Projodikoro. Azas- azas Hukum Pidana di Indonesia. PT. Eresco, Bandung, 1986, hlm.
55.

1. Pandangan monistis adalah suatu pandangan yang melihat syarat, untuk
adanya pidana harus mencakup dua hal yakni sifat dan perbuatan.25
Unsur-unsur tindak pidana menurut pandangan monistis meliputi:26
a. Ada perbuatan
b. Ada sifat melawan hukum;
c. Tidak ada alasan pembenar;
d. Mampu bertanggungjawab;
e. Kesalahan;
f. Tidak ada alasan pemaaaf.
2. Pandangan dualistis yaitu pandangan yang memisahkan antara perbuatan
pidana dan pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu, untuk menyatakan
sebuah perbuatan sebagai tindak pidana cukup dengan adanya perbuatan yang
dirumuskan oleh undang-undang yang memiliki sifat melawan hokum tanpa
adanya suatu dsar pembenar.
Unsur- unsur tindak pidana menurut pandangan dualistis meliputi: 27
a. Adanya perbuatan yang mencocoki rumusan delik
b. Ada sifat melawan hokum
c. Tidak ada alasan pembenar
Selanjutnya unsur- unsur pertanggungjawaban pidana meliputi:28
a. Mampu bertanggungjawab
b. Kesalahan
c. Tidak ada alasan pemaaf
Unsur- unsur tindak pidana, antara lain:
1. Ada Perbuatan yang Mencocoki Rumusan Delik
Perbuatan manusia dalam arti luas adalah menenai apa yang dilakukan, apa
yang diucapkan, dan bagaimana sikapnya terhadap suatu hal atau kejadian.
Oleh karena itu, mencocoki rumusan delik yaitu mencocoki unsur-unsur yang

25

Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Rangkang Education Yogyakarta & PuKAP- Indonesia,
Yogyakarta, 2012, hlm. 38.
26
Ibid., hlm.43.
27
I Made Widnyana,Op Cit, hlm.57

ada dalam pasal yang didakwakan, termasuk unsure perbuatan maupun
pertanggungjawaban pidananya.
2. Ada Sifat Melawan Hukum
Sifat melawan hukum dapat dibedakan menjadi 4 (empat) jenis, yaitu:
a. Sifat melawan hukum umum
Diartikan sebagai syarat umum untuk dapat dipidana dalam rumusan
pengertian perbuatan pidana. Perbuatan pidana adalah kelakuan manusia
yang termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat
dicela.
b. Sifat melawan hukum khusus
Sifat melawan hukum yang menjadi bagian tertulis dari rumusan delik
dinamakan: sifat melawan hukum khusus. Juga dinamakan “sifat melawan
hukum facet”.
c. Sifat melwan hukum formal
Istilah ini berarti: semua bagian yang tertulis dari rumusan delik telah
dipenuhi (jadi semua syarat tertulis untuk dapat dipidana).
d. Sifat melawan hukum materil
Berarti melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak
dilindungi oleh pembentuk undang-undang dalam rumusan delik tertentu.
3. Tidak Ada Alasan Pembenar
Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, artinya
meskipun perbuatan itu telah memenuhi rumusan delik sebagaimana
ditentukan dalam undang-undang, dengan lain perkataan alasan pembenar
menghapuskan dapat di pidananya perbuatan.

Hal-hal yang dapat menjadi alasan pembenar, antara lain:
a. Daya paksa absolut
Daya paksa absolut diatur dalam Pasal 48 KUHP yang menyatakan bahwa
barang siapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan
yang tidak dapat dihindarkan tidak boleh dihukum. Dalam penjelasanya,
Jonkers mengatakan daya paksa dikatakan bersifat absolute jika seseorang
tidak dapat berbuat lain. Ia mengalami sesuatu yang sama sekali tidak
dapat mengelakkannya dan tidak mungkin memilih jalan lain.
b. Pembelaan terpaksa
Perihal pembelaan terpaksa dirumuskan dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP
sebagai berikut:
“Barangsiapa melakukan perbuatan, yang terpaksa dilakukanya untuk
mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan
kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, dari
pada serangan yang melawan hukum hak dan mengancam dengan
segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum”.
Pembelaan harus seimbang dengan serangan atau ancaman. Hal ini sesuai
dengan asas keseimbangan.selain itu, juga dianut asas subsidaritas, artinya
untuk mempertahankan kepentingan hukumnya yang terancam pembelaan
itu harus mengambil upaya yang paling rinagn akibatnya bagi orang lain.
c. Menjalankan ketentuan undang-undang
Dasar alasan pembenar karena menjalankan ketentuan undang-undang
dirumuskan dalam Pasal 50 KUHP sebagai berikut:
“Barangsiapa yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan
ketentuan undang-undang tidak dipidana”.
Pasal 50 KUHP ditujukan untuk mengantisipasi bagi perbuatan-perbuatan
yang dilakukan berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh undangundang. Mengenai hal ini telah diterangkan oleh Hoge Raad dalam
pertimabangan suatu putusan (26-6-1911) yang menyatakan bahwa untuk
menjalankan aturan-aturan undang-undang seorang pegawai negeri
diperkenankan mempergunakan segala alat yang diberikan kepadanya
untuk mematahkan perlawanan.

d. Menjalankan perintah jabatan yang sah
Pasal 51 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut:
“Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah
jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak
dipidana”.
Suatu perintah dikatakan sah, apabila perintah itu berdasarkan tugas,
wewenang, atau kewajiban yang didasarkan kepada suatu peraturan.
Disamping itu, antara orang yang diperintah dengan yang memberi
perintah harus ada hubungan jabatan dan subordinasi.

B. Tindak Pidana Persetubuhan
Perbuatan persetubuhan merupakan tindak pidana kesusilaan, menurut kamus
hukum pengertian kesusilaan diartikan sebagai tingkah laku, perbuatan
percakapan bahwa sesuatu apapun yang berpautan dengan norma-norma
kesopanan yang harus dilindungi oleh hukum demi terwujudnya tata tertib dan
tata susila dalam kehidupan bermasyarakat.29
Pengertian persetubuhan menurut R. Soesilo adalah perpaduan antara kelamin
laki-laki dan kelamin perempuan yang biasanya dijalankan untuk mendapatkan
anak, jadi anggota kemaluan laki-laki harus masuk ke dalam anggota kemaluan
perempuan sehingga mengeluarkan air mani.30
Persetubuhan diatur dalam KUHP Buku II dengan Titel tindak pidana kesusilaan.
Dalam Pasal 285 KUHP dirumuskan bahwa :

Soedarso, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakata, 1992, hlm. 64.
R. Soesilo, Op, Cit., hlm. 209.

“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang
wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan
perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.
Selanjutnya pasal yang mengatur masalah persetubuhan adalah Pasal 286 KUHP,
yang mengatur sebagai berikut:
“Barangsiapa bersetubuh dengan seseorang wanita di luar pernikahan,
padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak
berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.

Pasal berikutnya adalah Pasal 287 KUHP yang korbannya disyaratkan adalah
anak yang belum berusia 15 tahun dan antara korban dan pelaku tidak terdapat
hubungan pernikahan.
Selain pasal-pasal di atas, pasal berikutnya yang mengatur masalah persetubuhan
adalah Pasal 288 KUHP, yang menyatakan bahwa dimana korban dan pelaku
tidak terikat oleh hubungan pernikahan atau merupakan suami istri, korban harus
berusia belum 15 tahun dan karena persetubuhan tersebut korban menderita lukaluka, luka berat ataupun meninggal dunia.
Tindak pidana persetubuhan terhadap anak lebih khusus diatur dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam undangundang tersebut, pengaturan tentang persetubuhan terhadap anak diatur dalam
Pasal 81, yang menentukan bahwa:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan,memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan
orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000