PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA POLRI (Nomor Putusan: 355/PID.B/2011/PN.GS.,86/PID/2012/PT.TK)

(1)

ABSTRAK

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA POLRI (Nomor Putusan: 355/PID.B/2011/PN.GS.,86/PID/2012/PT.TK)

Oleh

ANISA MAYLIA SARI

Pelaku tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) seharusnya mendapatkan hukuman yang maksimal sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, tetapi pada kenyataannya pelaku hanya dihukum ringan sehingga terjadi kesenjangan antara aturan hukum dengan pelaksanaannya di lapangan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap anggota Polri yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga dalam Perkara Nomor 355/PID.B/2011/PN.GS. dan Nomor 86/PID/2012/PT.TK? (2) Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap anggota Polri yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga dalam Perkara Nomor 355/PID.B/2011/PN.GS. dan Nomor 86/PID/2012/PT.TK?

Pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Responden penelitian adalah Hakim pada Pengadilan Negeri Gunung Sugih, Hakim pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang dan Dosen Bagian Hukum Pidana Universitas Lampung. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Data penelitian kemudian dianalisis secara kualitatif.

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa: (1) Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor: 355/Pid.B/2011/PN.GS dan Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor: 86/Pid./2012/PT.TK diwujudkan dengan pemidanaan, yaitu pelaku tindak pidana KDRT yaitu Adi Chandra terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 44 Ayat (1) yaitu melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga, terhadap istrinya yaitu Herleni. Terdakwa dihukum selama 2 bulan 12 hari pada Pengadilan Negeri Gunung Sugih dan 10 bulan pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang sebagai bentuk pertanggungjawaban pidananya. Hal ini belum sesuai dengan ketentuan pidana pada Pasal 44 Ayat (1), yaitu setiap orang yang melakukan


(2)

dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). (2) Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Pada Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor: 355/Pid.B/2011/PN.GS dan Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor: 86/Pid./2012/PT.TK mengacu pada Pasal 183 KUHAP yaitu dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang melakukannya sebagaimana diatur Pasal 183 KUHAP bahwa alat bukti sah yang dimaksud adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan. Selain itu didasarkan pada pertimbangan berikut: (a) Hal-hal yang memberatkan adalah perbuatan Terdakwa telah mengakibatkan istrinya menderita sakit dan trauma, sebagai aparat hukum terdakwa tidak memberikan contoh yang baik kepada isti dan keluarganya, terdakwa tidak mengakui perbuatannya di persidangan dan terdakwa tidak merasa bersalah dan tidak menyesali perbuatannya (b) Hal-hal yang memberatkan meringankan terdakwa adalah bersikap sopan di persidangan dan belum pernah dihukum karena melakukan suatu tindak pidana.

Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku KDRT hendaknya dioptimalkan oleh aparat penegak hukum dengan cara menjatuhkan hukuman yang maksimal terhadap pelaku tindak pidana, terlebih bagi yang berstatus sebagai aparat penegak hukum, karena seharusnya aparat penegak hukum memberikan contoh kepada masyarakat untuk menaati hukum, bukan melakukan tindak pidana. (2) Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku KDRT disarankan untuk tidak menjadikan sikap dan perilaku terdakwa selama persidangan yang sopan atau mengakui kesalahannya sebagai dasar pertimbangan yang meringankan pidana, tetapi lebih mempertimbangkan aspek kerugian dan penderitaan yang dialami korban tindak pidana KDRT.


(3)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA POLRI (Nomor Putusan: 355/PID.B/2011/PN.GS.,86/PID/2012/PT.TK)

Oleh

ANISA MAYLIA SARI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(4)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA POLRI (Nomor Putusan: 355/PID.B/2011/PN.GS.,86/PID/2012/PT.TK)

(Skripsi)

Oleh

ANISA MAYLIA SARI

NPM 1012011006

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(5)

(6)

(7)

DAFTAR ISI

I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 9

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 10

E. Sistematika Penulisan ... 16

II TINJAUAN PUSTAKA ... 18

A. Pengertian dan Jenis Tindak Pidana ... 18

B. Pengertian Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga ... 21

C. Pertanggungjawaban Pidana ... 24

D. Kode Etik Kepolisian ... 29

III METODE PENELITIAN ... 32

A. Pendekatan Masalah ... 32

B. Sumber dan Jenis Data ... 32

C. Penentuan Narasumber... 34

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 34

E. Analisis Data ... 36

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 37

A. Karakteristik Responden ... 37

B. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga yang Dilakukan oleh Salah Satu Anggota Polri Serta Sanksi yang Berlaku Baginya ... 38


(8)

V PENUTUP ... 59 A. Kesimpulan ... 59 B. Saran ... 60


(9)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang sejarah peradaban manusia dengan mengatas namakan budaya, tradisi, adat, agama, dan apapun dalam masyarakat dunia yang dilihat banyak pihak sebagai hambatan untuk menciptakan keadilan dan demokrasi. Masalah ini kemudian memperoleh perhatian global dan menjadi agenda PBB untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan dengan dikeluarkannya CEDAW (Convention on the Elimination Discrimination Against Women). Pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi konvensi ini dengan memberlakukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. Hal ini merupakan suatu tindakan nyata Pemerintah dalam mengutuk segala bentuk diskriminasi wanita dan komitmen untuk melaksanakan berbagai dalam kebijaksanaan menghapus diskriminasi terhadap wanita1

Selain itu dalam Konvensi PBB pada bulan Desember 1993 tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan dideklarasikan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah perwujudan ketimpangan historis dari hubungan-hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang telah mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap

1

Wulan Indah Sumekar, 2007. Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga, Sebuah Analisis Kritis, Jakarta, Yayasan Obor, hlm.3.


(10)

kaum perempuan oleh kaum laki-laki. Salah satu bentuk diskriminasi terhadap wanita adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT2

Upaya perlindungan hukum terhadap tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) telah dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam rumah Tangga (PKDRT). Perlindungan hukum dalam konteks Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga didefinisikan sebagai jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga, menindak pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan melindungi Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, menyebutkan bahwa KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan /atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya.Kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga, menurut Pasal 5 Undang-Undang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, meliputi:

a. Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat (Pasal 6).

2


(11)

b. Kekerasan Psikis

Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Pasal 6).

c. Kekerasan Seksual, meliputi:

1) Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.

2) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangga dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. (Pasal 8)

d. Penelantaran Rumah Tangga, meliputi:

1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.

2) Penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (Pasal 9).

Sesuai dengan uraian di atas, dapat diketahui bahwa bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga terdiri dari kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga. Perilaku kekerasan dalam rumah tangga adalah cerminan dari ketidakberhargaan perempuan di mata suaminya dan penghinaan terhadap harkat dan martabat perempuan yang harus dijamin hak-hak asasinya. Padahal secara ideal Posisi istri dalam kehidupan rumah tangga harus dihormati. Salah satu hal yang menyebabkan perempuan tidak berdaya adalah karena ia tidak dapat mandiri terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dalam rumah tangga. Ketidak mandirian ekonomi ini pada dasarnya bukan merupakan kesalahan perempuan karena pada aturan perkawinan, tanggung jawab ekonomi menjadi kewajiban suami dan sekaligus menjadi hak istri untuk mendapatkannya karena istri menjalankan fungsi reproduksi. Istri menjadi sangat tergantung pada suami secara ekonomi. Ketergantungan inilah yang menyebabkan seringkali istri tidak berani memperingatkan suaminya yang berbuat salah.


(12)

Kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia sebagai hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun. Oleh kerana itu pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Menurut penjelasan umum Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, setiap manusia di anugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu, maka manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya.Disamping untuk mengimbangi kebebasan tersebut, manusia memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, didefinisikan Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan YME dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 dinyatakan:

“ Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun “.


(13)

Menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, bentuk-bentuk KDRT meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, atau penelantaran rumah tangga. Sedangkan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pelaku penganiayaan dalam rumah tangga bisa dijatuhi hukuman penjara atau denda. Pasal 351 KUHP mengatur penganiayaan secara umum, Pasal 352 KUHP mengatur penganiayaan ringan, Pasal 353 KUHP penganiayaan terencana, Pasal 354 KUHP penganiayaan berat, Pasal 355 KUHP penganiayaan berat terencana. Menurut pasal-pasal ini, pidana untuk pelaku penganiayaan berkisar antara 8 bulan sampai 15 Tahun. Pasal 356 KUHP secara khusus menyebutkan bahwa kalau korban penganiyaan adalah ibu, bapak, istri, atau anak sipelaku, hukumannya ditambah dengan sepertiga dari yang disebutkan pasal-pasal tersebut.

Kekerasan terhadap perempuan pada umumnya disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor eksternal dan internal. Secara eksternal, masih adanya pola pikir lingkungan terhadap sosok perempuan telah dibangun secara sosial maupun kultural. Perempuan dianggap lemah lembut, cantik dan emosional, sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional dan jantan. Ciri-ciri yang dimiliki oleh seseorang tidak harus sesuai dengan stereotype yang ada di masyarakat. Seorang perempuan dapat memiliki sifat kuat dan rasional, sedangkan laki-laki dapat memiliki sifat emosional dan lemah lembut. Secara internal, perempuan seringkali memancing terjadinya kekerasan terhadap dirinya, contohnya kasus perkosaan yang disebabkan perempuan yang memakai pakaian yang memperlihatkan bagian-bagian tubuhnya seperti pusar, dada, paha dan punggung. Ketidakadilan gender pada perempuan terjadi ketika laki-laki memahami perempuan cuma sebagai pelengkap dari laki-laki dalam ruang domestik dengan fungsi melayani


(14)

suami. Perempuan dianggap tidak mempunyai peran di masyarakat. Pemahaman ini menjadikan perempuan amat rentan mengalami kekerasan.3

Permasalahan yang menyebabkan kasus KDRT sering kali tidak terangkat ke permukaan yaitu adanya persepsi yang berkembang di masyarakat selama ini menganggap masalah KDRT sebagai urusan pribadi dan karenanya pihak-pihak lain (pihak luar termasuk aparat penegak hukum atau polisi) tidak boleh ikut campur di dalamnya. Selain itu Kebanyakan korban tidak bisa bicara secara terbuka mengenai kasus yang dialaminya dalam keluarga. Ini bisa dimengerti karena selama ini kasus-kasus tersebut tidak dianggap atau diremehkan oleh masyarakat sekitarnya. Para tetangga atau saksi lainnya biasanya tidak serta merta membantu korban. Korbanlah yang banyak menanggung kerugian seperti biaya pengobatan untuk pemulihan, mencari perlindungan diri atau menanggung aib4

Penyelesaian kasus KDRT selama ini berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, sebagian besar korban kekerasan memilih melakukan perceraian, hanya sedikit korban yang bersedia membawa kasusnya diproses secara pidana. Pandangan masyarakat yang menganggap bahwa masalah KDRT adalah urusan suami istri yang bersangkutan, yang harus diselesaikan oleh mereka berdua, juga turut memperlambat proses perlindungan terhadap perempuan.

Secara empiris, potensi kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga amat mungkin dilakukan oleh kalangan terdekat dalam keluarga seperti suami, ayah, anak, saudara laki-laki, atau anggota keluarga lain. Salah satu perkara KDRT yang dilakukan

3

Purnianti, 2006, Menyikap Tirai Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta, Mitra Perempuan, hlm.11.

4


(15)

oleh suami terhadap istrinya tertuang dalam Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih tanggal 12 April 2012 Nomor : 355/Pid.B/2011/PN.GS. Hakim Pengadilan Negeri menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Adi Chandra, yang berstatus sebagai anggota Polri berpangkat Briptu, dihukum dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan dan 12 (dua belas) hari, karena secara sah dan meyakinkan melakukan KDRT terhadap istrinya Herleni dan melanggar ketentuan Pasal 44 ayat (1) jo Pasal 5 huruf a Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Gunung Sugih terkait dengan putusan tersebut mengajukan permohonan banding dan permohonan banding dikabulkan, kemudian Hakim Pengadilan Tinggi Tanjung Karang melalui Putusan Pengadilan Nomor: 86/Pid./2012/PT.TK, menjatuhkan pidana 10 (sepuluh) bulan penjara kepada terdakwa.

Permasalahan yang terdapat dalam kedua putusan tersebut adalah pelaku tindak pidana KDRT seharusnya mendapatkan hukuman yang maksimal, agar memberikan efek jera kepada pelaku, sebagaimana diatur dalam Pasal 44 Ayat (1), yaitu setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). Pada kenyataannya terdakwa hanya dihukum selama dua bulan penjara oleh Pengadilan Negeri dan selama sepuluh bulan penjara oleh Pengadilan Tinggi. Sesuai dengan hal tersebut maka terdapat kesenjangan antara aturan hukum dengan pelaksanaannya di lapangan.

Hal lain yang menarik untuk ditelaah lebih lanjut adalah status terdakwa sebagai anggota Polri, yang seharusnya menjadi teladan bagi masyarakat untuk menaati


(16)

hukum, justru sebaliknya melakukan tindak pidana KDRT. Terkait dengan konteks tersebut, Pasal 34 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia mengatur:

(1) Sikap dan perilaku pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia terikat pada Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(2) Kode Etik Profesi Kpolisian Negara Republik Indonesia dapat menjadi pedoman bagi pengemban fungsi kepolisian lainnya dalam melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dilingkungannya. (3) Ketentuan mengenai Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia

diatur dengan Keputusan Kapolri.

Institusi Polri dalam mengimplementasian ketentuan undang-undang tersebut telah memberlakukan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Peraturan ini secara internal berfungsi sebagai acuan bagi perilaku anggota Polri dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya serta sebagai kode etik dalam perilaku sehari-hari. Pasal 21 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 menyebutkan bahwa anggota Polri yang dinyatakan sebagai Pelanggar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) dikenakan sanksi Pelanggaran Kode Etik Profesi Polri (KEPP) berupa sanksi pelanggaran dan sanksi administratif.

Uraian di atas menunjukkan bahwa anggota Polri yang melakukan tindak pidana KDRT terancam oleh dua sanksi sekaligus, yaitu hukuman berdasarkan hukum pidana dan sanksi kode etik Polri. Berdasarkan latar belakang maka penulis melakukan penelitian dan menuangkannya ke dalam Skripsi yang berjudul: ”Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga yang Dilakukan oleh Anggota Polri (Nomor Putusan: 355/PID.B/2011/PN.GS.,86/PID/2012/PT.TK)


(17)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian 1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap anggota Polri yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga dalam Perkara Nomor 355/PID.B/2011/PN.GS. dan Nomor 86/PID/2012/PT.TK?

b. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap anggota Polri yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga dalam Perkara Nomor 355/PID.B/2011/PN.GS. dan Nomor 86/PID/2012/PT.TK?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah hukum pidana dan dibatasi pada pertanggungjawaban pidana terhadap salah satu anggota Polri yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga dalam Perkara Nomor 355/PID.B/2011/PN.GS. dan Nomor 86/PID/2012/PT.TK dan dasar pertimbangan hakim dalam perkara tersebut. Ruang lingkup Lokasi Penelitian adalah Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang dan penelitian dilaksanakan pada Tahun 2012.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:


(18)

a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap salah satu anggota Polri yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga dalam Perkara Nomor 355/PID.B/2011/PN.GS. dan Nomor 86/PID/2012/PT.TK.

b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap anggota Polri yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga dalam Perkara Nomor 355/PID.B/2011/PN.GS. dan Nomor 86/PID/2012/PT.TK.

2. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu sebagai berikut:

a. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah kajian ilmu hukum pidana, khususnya yang berhubungan pertanggungjawaban pidana terhadap salah satu anggota Polri yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga dan sanksi kode etik yang dijatuhkan terhadap salah satu anggota Polri yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga.

b. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai masukan dan kontribusi positif bagi aparat penegak hukum dalam menanggulangi tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga pada masa-masa yang akan datang.

D. Kerangka Teori dan Konseptual 1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan pengabstraksian hasil pemikiran sebagai kerangka acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan penelitian ilmiah, khususnya dalam penelitian ilmu hukum. Kerangka teoritis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


(19)

a. Teori Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun Konsep berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability). Masalah kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) atau kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep merupakan salah satu alasan pemaaf sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan kepadanya5

Pertanggungjawaban pidana diterapkan dengan pemidanaan, yang bertujuan untuk untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; menyelesaikan konflik yang ditimbulkan tindak pidana; memulihkan keseimbangan; mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Pertanggungjawaban pidana harus memperhatikan bahwa hukum pidana harus digunakan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur merata materiil dan spirituil. Hukum pidana tersebut digunakan untuk mencegah atau menanggulangi perbuatan yang tidak dikehendaki. Selain itu penggunaan sarana hukum pidana

5

Barda Nawawi Arief, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm. 23.


(20)

dengan sanksi yang negatif harus memperhatikan biaya dan kemampuan daya kerja dari insitusi terkait, sehingga jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting) dalam melaksanakannya6

Syarat-syarat elemen yang harus ada dalam delik kealpaan yaitu:

1) Tidak mengadakan praduga-praduga sebagaimana diharuskan oleh hukum, adapun hal ini menunjuk kepada terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi karena perbuatannya, padahal pandangan itu kemudian tidak benar. Kekeliruan terletak pada salah piker/pandang yang seharusnya disingkirkan. Terdakwa sama sekali tidak punya pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul karena perbuatannya. Kekeliruan terletak pada tidak mempunyai pikiran sama sekali bahwa akibat mungkin akan timbul hal mana sikap berbahaya

2) Tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum, mengenai hal ini menunjuk pada tidak mengadakan penelitian kebijaksanaan, kemahiran/usaha pencegah yang ternyata dalam keadaan yang tertentu/dalam caranya melakukan perbuatan. 7

Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang. 8

Seseorang dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, harus mempertanggungjawabkan tindakan-tindakan yang melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggungjawabkan

6

Ibid, hlm. 23.

7

Ibid, hlm. 49.

8

Moeljatno, 1993, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban dalam Hukum Pidana, Jakarta, Bina Aksara, hlm. 49.


(21)

atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan

Berdasarkan hal tersebut maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat, yaitu:

a. Kemampuan bertanggung jawab atau dapat dipertanggungjawabkan dari si pembuat.

b. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis si pelaku yang berhubungan dengan kelakuannya yaitu disengaja dan sikap kurang hati-hati atau lalai

c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat 9

b. Kode Etik Kepolisian

Polri bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM). Polisi dalam menjalankan tugas sebagai penegak hukum senantiasa menghormati hukum dan HAM. Penyelenggaraan fungsi kepolisian merupakan pelaksanaan profesi artinya dalam menjalankan tugas anggota Polri menggunakan kemampuan profesinya terutama keahlian di bidang teknis kepolisian. Dalam menjalankan profesinya setiap insan kepolisian tunduk pada kode etik profesi Polri. 10

9

Ibid, hlm. 51.

10

H.R. Abdussalam, 2009, Hukum Kepolisian Sebagai Hukum Positif dalam Disiplin Hukum, Jakarta, Restu Agung, hlm.12.


(22)

Kode etik profesi Polri mencakup norma prilaku dan moral yang dijadikan pedoman sehingga menjadi pendorong semangat dan rambu nurani bagi setiap anggota untuk pemulihan profesi kepolisian agar dijalankan sesuai tuntutan dan harapan masyarakat. Jadi Polisi harus benar-benar jadi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, serta sebagai penegak hukum yang bersih. Etika profesi kepolisian merupakan kristalisasi nilai-nilai yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam wujud komitmen moral yang meliputi pada pengabdian, kelembagaan dan kenegaraan, selanjutnya disusun dalam Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang terdiri dari:

1) Etika pengabdian

Merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap profesinya sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum serta pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.

2) Etika kelembagaan

Merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap institusinya yang menjadi wadah pengabdian yang patut dijunjung tinggi sebagai ikatan lahir batin dari semua insan Bhayangkara dan segala martabat dan kehormatannya.

3) Etika kenegaraan

Merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan institusinya untuk senantiasa bersikap netral, mandiri dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik, golongan dalam rangka menjaga tegaknya hukum di Republik Indonesia.11

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan konsep-konsep sebagai fokus pengamatan dalam melaksanakan penelitian, khususnya dalam penelitian ilmu hukum. Analisis pokok-pokok bahasan dalam penelitian ini dan memberikan batasan pengertian yang berhubungan dengan yaitu sebagai berikut:

11


(23)

a. Pertanggungjawaban pidana adalah suatu mekanisme untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang. 12

b. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Tindak pidana merupakan pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku13

c. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum14

d. Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga). e. Sanksi adalah denda atau cara lain pemaksaan digunakan untuk memberikan

insentif bagi ketaatan dengan hukum atau aturan dan peraturan. hukuman Pidana

12

Moeljatno, 1993, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban dalam Hukum Pidana, Jakarta, Bina Aksara, hlm. 49.

13

Ibid, hlm. 53.

14

Satjipto Rahardjo, 1998, Bunga Rampai Permasalahan dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, hlm. 25.


(24)

dapat berupa hukuman serius seperti badan atau hukuman mati, hukuman penjara atau hukuman berat15

f. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia)

g. Kode Etik Profesi Polri adalah norma-norma atau aturan-aturan yang merupakan kesatuan landasan etik atau filosofis yang berkaitan dengan perilaku maupun ucapan mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang, patut, atau tidak patut dilakukan oleh Anggota Polri dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan tanggung jawab jabatan (Pasal 1 angka 5 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia)

E. Sitematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

I PENDAHULUAN

Berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.

II TINJAUAN PUSTAKA

Berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan dengan penyusunan skripsi dan diambil dari berbagai referensi atau bahan

15

Anton F.Susanto, 2004, Kepolisan dalam Upaya Penegakan Hukum di Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta, hlm.13.


(25)

pustaka terdiri dari pengertian dan jenis tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dan kode etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

III METODE PENELITIAN

Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan Masalah, Sumber Data, Penentuan Populasi dan Sampel, Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data.

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat penelitian, terdiri dari deskripsi dan analisis mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap salah satu anggota Polri yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga dalam Perkara Nomor 355/PID.B/2011/PN.GS. dan Nomor 86/PID/2012/PT.TK dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap anggota Polri yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga dalam Perkara Nomor 355/PID.B/2011/PN.GS. dan Nomor 86/PID/2012/PT.TK

V PENUTUP

Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan pembahasan penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan yang ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan penelitian.


(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Jenis Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Pembentuk undang-undang menggunakan perkataan “ strafbaar feit “untuk menyebutkan “ tindak pidana “ di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Perkataan “feit” dalam Bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan”, sedangkan “straftbaar” berarti “dapat dihukum”, sehingga secara harfiah, perkataan “staftbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai “ sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, sifat penting dari tindak pidana “strafbaar feit” ialah onrechtmatigheid atau sifat melanggar hukum dari suatu perbuatan.1

Perkataan “ straftbaar feit “ itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “ suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku, dimana penjatuhan hukum terhadap pelaku tersebut adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. Tindak pidana sebagai perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu

1

Barda Nawawi Arief, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm. 23.


(27)

yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, di mana penjatuhan pidana pada pelaku adalah demi tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.2

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut. 3

Unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut: a. Kelakuan dan akibat ( perbuatan )

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana d. Unsur melawan hukum yang objektif

e. Unsur melawan hukum yang subyektif. 4

Berdasarkan pengertian di atas, dapat diketahui bahwa tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam pidana, penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.

2. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Jnis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar tertentu, antara lain sebagai berikut:

2

P.A.F. Lamintang, 1996, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung, Citra Adityta Bakti, hlm. 16.

3

Andi Hamzah, 2001, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta, Ghalia Indonesia hlm. 20

4


(28)

a. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan antara lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat dalam Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran“ itu bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP kita menjadi Buku ke II dan Buku ke III melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam PerUndang-Undangan secara keseluruhan.

b. Cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil (formeel Delicten) dan tindak pidana materil (Materiil Delicten). Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362 KUHP yaitu tentang pencurian. Tindak Pidana materil inti larangannya adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggung jawabkan dan dipidana.

c. Dilihat dari bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten). Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP antara lain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan sengaja menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang dengan sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga dapat dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang menyebabkan matinya seseorang, contoh lainnya seperti yang diatur dalam Pasal 188 dan Pasal 360 KUHP.

d. Berdasarkan macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan aktif juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk mewujudkannya diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan (Pasal 378 KUHP).

Tindak Pidana pasif dibedakan menjadi dua macam :

1) Tindak Pidana murni adalah tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya unsur perbuatannya berupa perbuatan pasif, misalnya diatur dalam Pasal 224,304 dan 552 KUHP.

2) Tindak Pidana tidak murni adalah tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya sehingga anak tersebut meninggal.5

Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa jenis-jenis tindak pidana terdiri dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, tindak pidana formil dan tindak pidana materil, tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak sengaja serta tindak pidana aktif dan tindak pidana pasif.

5


(29)

B. Pengertian Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga 1. Pengertian Rumah Tangga

Berdasarkan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, menyatakan bahwa keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tentram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga.

Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat tergantung jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut. Pengertian rumah tangga adalah sekelompok orang yang tinggal dalam satu rumah atau mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik atau sensus dan mengurus kebutuhan sehari-hari bersama menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan6

Rumah tangga dapat diartikan sebagai semua orang yang tinggal bersama di satu tempat kediaman. Rumah Tangga adalah suatu unit sosial yang berorientasi pada tugas, unit ini lebih besar dari individu tetapi lebih kecil dari pada ketetanggaan atau komunitas. Dalam rumah tangga ada sejumlah aturan-aturan dan pembagian fungsi dan tanggung jawab setiap anggotanya. Anggota suatu rumah tangga bisa terdiri dari satu

6

Rika Saraswati, 2005, Membina Rumah Tangga Tanpa Kekerasan, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm. 56.


(30)

atau beberapa keluarga (family) atau juga keluarga dengan orang lain selama mereka hidup bersama dari satu dapur, jadi jelas bahwa rumah tangga berbeda dengan keluarga. 7

Menurut Pasal 2 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, disebutkan:

a. Lingkup rumah tangga meliputi: a. Suami, istri, dan anak

b. Orang-orang yang mempuyai hubungan keluarga dengan orang yang dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan atau

c. Orang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

b. Orang yang bekerja dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.

Dalam Rancangan Undang-Undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang diusulkan oleh DPR-RI, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan lingkup rumah tangga adalah:

a. Pasangan atau mantan pasangan di dalam maupun diluar perkawinan

b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga karena darah, perkawinan, adopsi dan hubungan adat dan atau agama.

c. Orang yang bekerja membantu kehidupan rumah tangga orang lain yang menetap atau tidak disebuah rumah tangga.

d. Orang yang masih tinggal dan atau pernah tinggal bersama.

Berdasarkan hal di atas, dapat diketahui bahwa ruang lingkup rumah tangga terdiri dari suami, istri dan anak, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pangasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga, orang yang bekerja membantu rumah tangga dan memetap dalam rumah tangga tersebut.

7


(31)

2. Pengertian Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Setiap Warga Negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pada tanggal 22 September 2004, Pemerintah telah mengesahkan dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Sesuai dengan namanya, penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, kekerasan dalam rumah tangga adalah:

Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Segala bentuk kekerasan, terutama Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus, oleh karena itu diperlukan adanya sistem hukum yang dapat menjamin perlindungan hukum terhadap korban dari kekerasan dalam rumah tangga.

3. Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya.Kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga, menurut


(32)

Pasal 5 Undang-Undang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, meliputi:

a. Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat (Pasal 6).

b. Kekerasan Psikis

Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Pasal 6).

c. Kekerasan Seksual, meliputi:

(1) Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.

(2) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangga dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. (Pasal 8)

d. Penelantaran Rumah Tangga, meliputi:

(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.

(2) Penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (Pasal 9).

C. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan (culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun Konsep berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability). Masalah kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) maupun kesesatan mengenai hukumnya


(33)

sesuai dengan konsep alasan pemaaf sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan8

Pertanggungjawaban pidana diterapkan dengan pemidanaan, yang bertujuan untuk untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat menyelesaikan konflik yang ditimbulkan tindak pidana memulihkan keseimbangan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa), Sesuai teori hukum pidana Indonesia, kesengajaan terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai berikut:

a. Kesengajaan yang bersifat tujuan

Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti si pelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini.

b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian

Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.

c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan

Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya9

8

Barda Nawawi Arief, op cit, hlm. 23.

9


(34)

Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun juga culpa dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh karena itu delik culpa, culpa itu merupakan delik semu (quasideliet) sehingga diadakan pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat, tapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri, perbedaan antara keduanya sangat mudah dipahami yaitu kelalaian yang menimbulkan akibat dengan terjadinya akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak perlu menimbulkan akibat dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam dengan pidana. 10

Syarat-syarat elemen yang harus ada dalam delik kealpaan yaitu:

1) Tidak mengadakan praduga-praduga sebagaimana diharuskan oleh hukum, adapun hal ini menunjuk kepada terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi karena perbuatannya, padahal pandangan itu kemudian tidak benar. Kekeliruan terletak pada salah piker/pandang yang seharusnya disingkirkan. Terdakwa sama sekali tidak punya pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul karena perbuatannya. Kekeliruan terletak pada tidak mempunyai pikiran sama sekali bahwa akibat mungkin akan timbul hal mana sikap berbahaya

2) Tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum, mengenai hal ini menunjuk pada tidak mengadakan penelitian kebijaksanaan, kemahiran/usaha pencegah yang ternyata dalam keadaan yang tertentu/dalam caranya melakukan perbuatan. 11

Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-undang.

10

Ibid, hlm. 48.

11


(35)

Seseorang dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, harus mempertanggungjawabkan tindakan-tindakan yang melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan12

Berdasarkan hal tersebut maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat, yaitu:

a. Kemampuan bertanggung jawab atau dapat dipertanggungjawabkan dari si pembuat.

b. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis pelaku yang terkait dengan kelakuannya yaitu disengaja dan kurang hati-hati atau lalai

c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat 13

Berdasarkan uraian di atas maka dapat diketahui bahwa kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan bertanggung jawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada umumnya setiap orang normal bathinnya dan mampu bertanggung jawab, kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan pemeriksaan

12

Moeljatno, op cit, hlm. 49.

13


(36)

yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih meragukan hakim, itu berarti bahwa kemampuan bertanggung jawab tidak berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.

Masalah kemampuan bertanggung jawab ini terdapat dalam Pasal 44 Ayat 1 KUHP

yang berbunyi: “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau

terganggu karena cacat, tidak dipidana”. Menurut Moeljatno, bila tidak

dipertanggungjawabkan itu disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal dikarenakan dia masih muda, maka Pasal tersebut tidak dapat dikenakan.apabila hakim akan menjalankan Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus memperhatikan apakah telah dipenuhi dua syarat yaitu:

a) Syarat psikiatris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang mungkin ada sejak kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan keadaan ini harus terus menerus. b) Syarat psikologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang timbul sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman14

Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, adalah merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat membedakan perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tersebut adalah merupakan faktor perasaan (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak. Sebagai konsekuensi dari dua hal tadi maka tentunya orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya

14


(37)

menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan, dia tidak mempunyai kesalahan kalau melakukan tindak pidana, orang demikian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Berdasarkan uraian di atas maka diketahui bahwa pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya. Dengan kata lain orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut.

D. Kode Etik Kepolisian

Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Kepolisian bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.

Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di


(38)

bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Kode etik profesi Polri mencakup norma prilaku dan moral yang dijadikan pedoman sehingga menjadi pendorong semangat dan rambu nurani bagi setiap anggota untuk pemulihan profesi kepolisian agar dijalankan sesuai tuntutan dan harapan masyarakat. Jadi Polisi harus benar-benar jadi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, serta sebagai penegak hukum yang bersih. Etika profesi kepolisian merupakan kristalisasi nilai-nilai yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam wujud komitmen moral yang meliputi pada pengabdian, kelembagaan dan kenegaraan, selanjutnya disusun dalam Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang terdiri dari:

1) Etika pengabdian

Merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap profesinya sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum serta pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.

2) Etika kelembagaan

Merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap institusinya yang menjadi wadah pengabdian yang patut dijunjung tinggi sebagai ikatan lahir batin dari semua insan Bhayangkara dan segala martabat dan kehormatannya.

3) Etika kenegaraan

Merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan institusinya untuk senantiasa bersikap netral, mandiri dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik, golongan dalam rangka menjaga tegaknya hukum di Republik Indonesia.15

Masyarakat pada dasarnya mengharapkan Polisi dapat menjalankan tugas secara profesional dan mengharapkan Polisi dapat secara terbuka mengakui jika ada oknum anggotanya yang bersalah dan siap memprosesnya baik melalui sidang kode etik

15


(39)

kepolisian atau bahkan sampai diajukan ke peradilan umum. Dengan adanya batasan kewajiban umum dalam pelaksanaan penyidikan, anggota Polri harus mementingkan kepentingan dan kewajiban umum di atas kepentingan pribadi atau institusi kepolisian.


(40)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan untuk memahami persoalan dengan tetap berada atau bersandarkan pada lapangan atau kajian ilmu hukum, sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan penelitian berdasarkan realitas yang ada atau studi kasus1.

B. Sumber dan Jenis Data

Data merupakan sekumpulan informasi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan penelitian yang berasal dari berbagai sumber. Data terdiri dari data langsung yang diperoleh dari lapangan dan data tidak langsung yang diperoleh dari studi pustaka. Jenis data meliputi data primer dan data sekunder 2.

1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dengan cara melakukan wawancara kepada responden penelitian mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap salah satu anggota Polri yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga.

1

Soerjono Soekanto, 1983, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Rineka Cipta, hlm.14.

2


(41)

2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dengan studi pustaka yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

a. Bahan Hukum Primer, bersumber dari:

(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana.

(3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita

(4) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

(5) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

(6) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

(7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

(8) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

b. Bahan Hukum sekunder, bersumber dari:

(1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (3) Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor 355/PID.B/2011/PN.GS


(42)

(4) Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang dan Nomor 86/PID/2012/PT.TK

c. Bahan Hukum Tersier, bersumber dari bahan-bahan hukum yang dapat membantu pemahaman dalam menganalisa serta memahami permasalahan, seperti literatur hukum, kamus hukum dan sumber lain yang sesuai.

C. Populasi dan Sampel 1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subyek hukum yang memiliki karakteristik tertentu dan ditetapkan untuk diteliti. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Hakim pada Pengadilan Negeri Gunung Sugih, Hakim pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang dan Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang masih memiliki ciri-ciri utama dari populasi dan ditetapkan untuk menjadi responden penelitian. Sampel dalam penelitian ditetapkan dengan teknik purposive sampling, yaitu sampel dipilih berdasarkan pertimbangan dan tujuan penelitian. Berdasarkan pengertian di atas maka yang menjadi responden/sampel dalam penelitian ini adalah:

1). Hakim pada Pengadilan Negeri Gunung Sugih = 1 orang 2). Hakim pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang = 1 orang 2). Dosen Bagian Hukum Pidana Universitas Lampung = 1 orang +


(43)

D. Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan:

a. Studi pustaka (library research), adalah pengumpulan data dengan menelaah dan mengutip dari bahan kepustakaan dan melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan bahasan

b. Studi lapangan (field research), dilakukan sebagai usaha mengumpulkan data secara langsung di lapangan penelitian guna memperoleh data yang dibutuhkan. Studi lapangan dilaksanakan dengan wawancara (interview), yaitu mengajukan tanya jawab kepada responden dengan menggunakan pedoman wawancara.

2. Prosedur Pengolahan Data

Setelah melakukan pengumpulan data, selanjutnya dilakukan pengolahan data lapangan atau data empirik, sehingga data yang diperoleh dapat mempermudah permasalahan yang diteliti. Pengolahan data meliputi tahapan sebagai berikut: a. Seleksi Data, data yang terkumpul kemudian diperiksa untuk mengetahui

kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti.

b. Klasifikasi Data, penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk kepentingan penelitian.


(44)

c. Penyusunan Data, penempatan data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sesuai sistematika yang ditetapkan untuk mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

Setelah pengolahan data selesai, maka dilakukan analisis data. Analisis data dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan cara dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat yang mudah dibaca dan dimengerti untuk diinterprestasikan dan ditarik kesimpulan guna menjawab permasalahan penelitian.


(45)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor: 355/Pid.B/2011/PN.GS dan Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor: 86/Pid./2012/PT.TK diwujudkan dengan pemidanaan, yaitu pelaku tindak pidana KDRT yaitu Adi Chandra terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 44 Ayat (1) yaitu melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga, terhadap istrinya yaitu Herleni. Terdakwa dihukum selama 2 bulan 12 hari pada Pengadilan Negeri Gunung Sugih dan 10 bulan pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang sebagai bentuk pertanggungjawaban pidananya. Hal ini belum sesuai dengan ketentuan pidana pada Pasal 44 Ayat (1), yaitu setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).

2. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Pada Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor: 355/Pid.B/2011/PN.GS dan Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor: 86/Pid./2012/PT.TK mengacu pada Pasal 183 KUHAP yaitu dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga


(46)

hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang melakukannya sebagaimana diatur Pasal 183 KUHAP bahwa alat bukti sah yang dimaksud adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan. Selain itu didasarkan pada pertimbangan berikut: a. Hal-hal yang memberatkan adalah perbuatan Terdakwa telah mengakibatkan

istrinya menderita sakit dan trauma, sebagai aparat hukum terdakwa tidak memberikan contoh yang baik kepada isti dan keluarganya, terdakwa tidak mengakui perbuatannya di persidangan dan terdakwa tidak merasa bersalah dan tidak menyesali perbuatannya

b. Hal-hal yang memberatkan meringankan terdakwa adalah bersikap sopan di persidangan dan belum pernah dihukum karena melakukan suatu tindak pidana.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku KDRT hendaknya dioptimalkan oleh aparat penegak hukum dengan cara menjatuhkan hukuman yang maksimal terhadap pelaku tindak pidana, terlebih bagi yang berstatus sebagai aparat penegak hukum, karena seharusnya aparat penegak hukum memberikan contoh kepada masyarakat untuk menaati hukum, bukan melakukan tindak pidana.

2. Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku KDRT disarankan untuk tidak menjadikan sikap dan perilaku terdakwa selama persidangan yang sopan atau mengakui kesalahannya sebagai dasar pertimbangan yang meringankan pidana, tetapi lebih mempertimbangkan aspek kerugian dan penderitaan yang dialami korban tindak pidana KDRT.


(47)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Hamzah, Andi.2001. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta.

Lamintang, P.A.F. 1996. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Citra Adityta Bakti. Bandung.

Moeljatno, 1993. Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta.

Purnianti. 2006. Menyikap Tirai Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Mitra Perempuan, Jakarta.

Rahardjo, Satjipto. 1998. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. Saraswati, Rika. 2005. Membina Rumah Tangga Tanpa Kekerasan, Citra Aditya

Bakti, Bandung.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1983. Sumekar, Wulan Indah. 2007. Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga,

Sebuah Analisis Kritis. Yayasan Obor. Jakarta.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia


(48)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia

Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor 355/PID.B/2011/PN.GS Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang dan Nomor 86/PID/2012/PT.TK


(1)

D. Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan:

a. Studi pustaka (library research), adalah pengumpulan data dengan menelaah dan mengutip dari bahan kepustakaan dan melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan bahasan

b. Studi lapangan (field research), dilakukan sebagai usaha mengumpulkan data secara langsung di lapangan penelitian guna memperoleh data yang dibutuhkan. Studi lapangan dilaksanakan dengan wawancara (interview), yaitu mengajukan tanya jawab kepada responden dengan menggunakan pedoman wawancara.

2. Prosedur Pengolahan Data

Setelah melakukan pengumpulan data, selanjutnya dilakukan pengolahan data lapangan atau data empirik, sehingga data yang diperoleh dapat mempermudah permasalahan yang diteliti. Pengolahan data meliputi tahapan sebagai berikut: a. Seleksi Data, data yang terkumpul kemudian diperiksa untuk mengetahui

kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti.

b. Klasifikasi Data, penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk kepentingan penelitian.


(2)

36

c. Penyusunan Data, penempatan data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sesuai sistematika yang ditetapkan untuk mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

Setelah pengolahan data selesai, maka dilakukan analisis data. Analisis data dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan cara dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat yang mudah dibaca dan dimengerti untuk diinterprestasikan dan ditarik kesimpulan guna menjawab permasalahan penelitian.


(3)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor: 355/Pid.B/2011/PN.GS dan Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor: 86/Pid./2012/PT.TK diwujudkan dengan pemidanaan, yaitu pelaku tindak pidana KDRT yaitu Adi Chandra terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 44 Ayat (1) yaitu melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga, terhadap istrinya yaitu Herleni. Terdakwa dihukum selama 2 bulan 12 hari pada Pengadilan Negeri Gunung Sugih dan 10 bulan pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang sebagai bentuk pertanggungjawaban pidananya. Hal ini belum sesuai dengan ketentuan pidana pada Pasal 44 Ayat (1), yaitu setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).

2. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Pada Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor: 355/Pid.B/2011/PN.GS dan Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor: 86/Pid./2012/PT.TK mengacu pada Pasal 183 KUHAP yaitu dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga


(4)

60

hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang melakukannya sebagaimana diatur Pasal 183 KUHAP bahwa alat bukti sah yang dimaksud adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan. Selain itu didasarkan pada pertimbangan berikut: a. Hal-hal yang memberatkan adalah perbuatan Terdakwa telah mengakibatkan

istrinya menderita sakit dan trauma, sebagai aparat hukum terdakwa tidak memberikan contoh yang baik kepada isti dan keluarganya, terdakwa tidak mengakui perbuatannya di persidangan dan terdakwa tidak merasa bersalah dan tidak menyesali perbuatannya

b. Hal-hal yang memberatkan meringankan terdakwa adalah bersikap sopan di persidangan dan belum pernah dihukum karena melakukan suatu tindak pidana.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku KDRT hendaknya dioptimalkan oleh aparat penegak hukum dengan cara menjatuhkan hukuman yang maksimal terhadap pelaku tindak pidana, terlebih bagi yang berstatus sebagai aparat penegak hukum, karena seharusnya aparat penegak hukum memberikan contoh kepada masyarakat untuk menaati hukum, bukan melakukan tindak pidana.

2. Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku KDRT disarankan untuk tidak menjadikan sikap dan perilaku terdakwa selama persidangan yang sopan atau mengakui kesalahannya sebagai dasar pertimbangan yang meringankan pidana, tetapi lebih mempertimbangkan aspek kerugian dan penderitaan yang dialami korban tindak pidana KDRT.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Hamzah, Andi.2001. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta.

Lamintang, P.A.F. 1996. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Citra Adityta Bakti. Bandung.

Moeljatno, 1993. Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta.

Purnianti. 2006. Menyikap Tirai Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Mitra Perempuan, Jakarta.

Rahardjo, Satjipto. 1998. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. Saraswati, Rika. 2005. Membina Rumah Tangga Tanpa Kekerasan, Citra Aditya

Bakti, Bandung.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1983. Sumekar, Wulan Indah. 2007. Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga,

Sebuah Analisis Kritis. Yayasan Obor. Jakarta.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia


(6)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia

Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor 355/PID.B/2011/PN.GS Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang dan Nomor 86/PID/2012/PT.TK


Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/Pn-Bi)

5 92 87

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum Di Dalam Kuhp (Studi Putusan Ma No. 1914/K/Pid/2012)

2 116 124

Pengajuan Praperadilan Oleh Pihak Tersangka Terhadap Sah Atau Tidaknya Penahanan Yang Dilakukan Penyidik Kejaksaan Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor.01/PID/PRA.PER/2011/PN. STB.)

1 81 145

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP DELIK PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH OKNUM ANGGOTA POLISI (Studi Kasus Nomor.114/Pid./2012/PT.TK)

0 5 48

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PENGANCAMAN TERHADAP ANGGOTA POLRI YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (Studi Putusan PN Nomor: 701/Pid.B/2014/PN.Tjk)

0 10 59

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR:05/PID./2014/PT.TK.)

3 26 61

PERTANGGUNGJAWABAN BAGI ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA.

1 5 9

PANDAHULUAN FUNGSI BANTUAN HUKUM BAGI ANGGOTA POLRI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA.

0 3 13

PENUTUP FUNGSI BANTUAN HUKUM BAGI ANGGOTA POLRI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA.

0 4 5

PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA YANG DILAKUKAN ANGGOTA TNI Penyelesaian Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang Dilakukan Anggota TNI Di Lingkungan Pengadilan Militer II-10 Semarang.

0 2 17