Analisis Tataniaga Tebu, Desa Pintu, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur

ANALISIS TATANIAGA TEBU,
DESA PINTU, KECAMATAN JENANGAN,
KABUPATEN PONOROGO, JAWA TIMUR

DWI SETYAWATI PUTRI

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Tataniaga
Tebu, Desa Pintu, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di

bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014

Dwi Setyawati Putri
NIM H34100078

ABSTRAK
DWI SETYAWATI PUTRI. Analisis Tataniaga Tebu, Desa Pintu, Kecamatan
Jenangan, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Dibimbing oleh RACHMAT
PAMBUDY.
Tebu merupakan salah satu dari 15 komoditas unggulan nasional yang
difokuskan untuk mendukung pencapaian tujuan pembangunan perkebunan 20102014. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi saluran pemasaran,
fungsi, lembaga, struktur pasar dan perilaku pasar, serta menganalisis efisiensi
operasional tataniaga tebu dengan pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share,
dan rasio keuntungan terhadap biaya. Pengamatan dan wawancara langsung
dilakukan dengan metode purposive kepada petani di Desa Pintu, sedangkan
metode snowball dilakukan kepada lembaga tataniaga. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat 4 saluran tataniaga. Berdasarkan marjin tataniaga,

farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya menunjukkan saluran
tataniaga 1 merupakan saluran yang efisien dengan penjualan langusung dari
petani ke pabrik gula dan saluran 4 merupakan saluran yang efisien dengan
penjualan melalui pedagang perantara.
Kata kunci: Desa Pintu, efisiensi, farmer’s share, tataniaga tebu

ABSTRACT
DWI SETYAWATI PUTRI. Marketing Analysis of Sugarcane in The Pintu
Village, district Jenangan, Ponorogo Regency, East Java. Supervised by
RACHMAT PAMBUDY.
Sugarcane is one of the 15 national main commodities to support plantation
development goals from 2010 to 2014. The purpose of this study are to identify
the marketing channel, function, institution, market structure and market behavior,
and to analyze the operational efficiency of trading sugarcane system with margin
trading system approach, the farmer's share, and the ratio of benefit to cost.
Observation and interview were performed with the purposive method for farmers
in the Pintu Village, while the snowball method was performed for institution
trading system. The result showed that there were four trading channels system.
Based on margin trading system, the farmer's share, and the ratio of benefit to cost
trading system shows that the channel one is the efficient channel to direct sales

from farmers to sugar factory and channel four is an efficient channel sales
through middlemen.
Keywords: Efficiency, farmer's share, Pintu Village, sugarcane marketing

ANALISIS TATANIAGA TEBU,
DESA PINTU, KECAMATAN JENANGAN,
KABUPATEN PONOROGO, JAWA TIMUR

DWI SETYAWATI PUTRI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2014

Judul Skripsi : Analisis Tataniaga Tebu, Desa Pintu, Kecamatan Jenangan,
Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur
Nama
: Dwi Setyawati Putri
NIM
: H34100078

Disetujui oleh,

Dr Ir Rachmat Pambudy, MS
Pembimbing

Diketahui,

Dr Ir Dwi Rachmina, M Si
Ketua Departemen

Tanggal disetujui:


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini berjudul Analisis
Tataniaga Tebu, Desa Pintu, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo, Jawa
Timur. Penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai Maret 2014.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada orang tua Bapak Ali Mas’udi
dan Ibu Padmi Lestari, kakak, adik dan keluarga penulis atas segala doa, dorongan
semangat dan kasih sayang. Terima kasih kepada Dr Ir Racmat Pambudy, MS
selaku dosen pembimbing skripsi atas perhatian, bantuan, arahan, dan bimbingan
kepada penulis dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih kepada Dr Ir Netti
Tinaprila MM sebagai dosen penguji utama dan Anita Primaswari, Sp MSi. Di
samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Danun karyawan dari
Pabrik Gula Pagotan Kabupaten Madiun, Bapak Bambang beserta staf lain di
Dinas Perkebunan Kabupaten Ponorogo, petani dan lembaga tataniaga serta Ibu
Purwati selaku salah satu perangkat desa yang telah membantu selama
pengumpulan data. Selanjutnya terima kasih juga kepada Dr Amzul Rifin, SP MA
selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan, ajaran dan didikannnya
selama perkuliahan.
Penulis sampaikan salam semangat dan terima kasih atas segala dukungan
dari rekan-rekan Agribisnis 47, Widia D, Nadia R, Yulia A, Tomo Nugroho dan

Kementerian Apresiasi Olahraga BEM KM IPB 2013. Terakhir penulis sampaikan
terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan semangat dan
dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik.
Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2014

Dwi Setyawati Putri

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN


xii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

6

Tujuan Penelitian

9

Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA


10
10

Gambaran Umum Tanaman Tebu

10

Budidaya Tanaman Tebu

11

Panen dan Pascapanen

12

Penelitian Terdahulu

13


KERANGKA PEMIKIRAN

15

Konsep Tataniaga

15

Lembaga dan Saluran Tataniaga

16

Fungsi Tataniaga

18

Struktur Pasar

18


Perilaku Pasar

19

Efisiensi Tataniaga

20

Marjin Tataniaga

20

Farmer’s Share

21

Rasio Keuntungan Dan Biaya

22


Kerangka Pemikiran Operasional

22

METODE PENELITIAN

24

Lokasi dan Waktu Penelitian

24

Jenis dan Sumber Data

25

Metode Penentuan Responden

25

Metode Pengolahan dan Analisis Data

25

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

28

Karakteristik Umum Wilayah, Keadaan Alam, dan Penduduk

28

Karakteristik Petani Responden

29

Karakteristik Lembaga Tataniaga Responden

31

HASIL DAN PEMBAHASAN

32

Saluran Tataniaga

32

Saluran Tataniaga

34

Analisis Fungsi Tataniaga

37

Analisis Struktur Pasar

41

Analisis Perilaku Pasar

42

Analisis Marjin Tataniaga

45

Analisis Farmer’s Share

48

Analisis Rasio Terhadap Biaya

49

Analisis Efisiensi Tataniaga

50

SIMPULAN DAN SARAN

52

Simpulan

52

Saran

53

DAFTAR PUSTAKA

53

LAMPIRAN

61

RIWAYAT HIDUP

69

DAFTAR TABEL
Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
Tabel 5
Tabel 6
Tabel 7
Tabel 8
Tabel 9
Tabel 10
Tabel 11
Tabel 12
Tabel 13
Tabel 14
Tabel 15
Tabel 16
Tabel 17
Tabel 18
Tabel 19

Produksi, konsumsi, dan impor gula Indonesia tahun 2009-2012
2
Target swasembada gula nasional tahun 2010-2014
2
a
Neraca perdagangan gula tahun 2010-2013
3
Perkembangan harga gula GKP di pasar domestik dan internasional
tahun 2008-2009
3
Luas lahan, produksi dan produktivitas tanaman tebu kategori provinsi
di Indonesia tahun 2010-2011
5
Luas areal kategori kecamatan di Kabupaten Ponorogo tahun 2013
6
a
Perkembangan BPP, HPP dan harga lelang gula tahun 2008-2012
7
Karakteristik struktur pasar berdasarkan sudut penjual dan sudut
26
Luas tanam dan produksi beberapa produk pertanian berdasarkan jenis
tanaman Desa Pintu
29
Karakteristik petani responden Desa Pintu 2013
30
Karakteristik umum pedagang responden Desa Pintu 2013
31
Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh petani dan lembaga-lembaga
tataniaga di Desa Pintu
38
Biaya tataniaga tebu lembaga tataniaga pada saluran tataniaga 1
46
Biaya tataniaga tebu setiap lembaga tataniaga pada saluran
tataniaga 2
46
Biaya tataniaga tebu setiap lembaga tataniaga pada saluran
tataniaga 3
47
Biaya tataniaga tebu setiap lembaga tataniaga pada saluran
tataniaga 4
47
Analisis farmer’s share pada saluran tataniaga tebu di Desa Pintu tahun
2013
48
Analisis keuntungan terhadap biaya pada lembaga tataniaga tebu di
Desa Pintu tahun 2013
50
Nilai efisiensi tataniaga pada saluran tataniaga tebu di Desa Pintu tahun
2013
51

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kurva marjin tataniaga
21
Gambar 2 Kerangka pemikiran operasional
24
Gambar 3 Saluran tataniaga tebu di Desa Pintu, Kecamatan Jenangan, Kabupaten
Ponorogo
33

Gambar 4 Contoh Lembar surat perintah pengeluaran gula oleh Pabrik Gula
Pagotan

44

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Luas areal perkebunan (hektar) tahun 2009-2013a
61
Lampiran 2 Luas panen serta produksi tanaman bahan makanan dan perkebunan
rakyat Tahun 2012 Kabupaten Ponorogo
62
Lampiran 3 Data petani responden di Desa Pintu tahun 2013
63
Lampiran 4 Margin tataniaga tebu setiap saluran tataniaga di Desa Pintu tahun
2013
64
Lampiran 5 Surat perintah angkut
64
Lampiran 6 Kuisioner petani tebu
65
Lampiran 7 Kuisioner lembaga pemasaran tebu
67

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sektor perkebunan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam
pembangunan ekonomi di Indonesia terutama dalam upaya meningkatkan
pendapatan, penyerapan tenaga kerja, penerimaan devisa, kontribusi PDB,
penyediaan bahan baku industri, dan pelestarian lingkungan. Berdasarkan harga
yang berlaku PDB perkebunan mengalami kenaikan dari 105 960.5 miliar rupiah
pada tahun 2008 menjadi 153 794.4 miliar rupiah pada tahun 2013 (Direktorat
Jenderal Perkebunan 2013).
Sebagai sektor yang penting maka Direktorat jenderal perkebunan
menyusun “Rencana Strategis Direktorat Jenderal Perkebunan 2010-2014” guna
mendukung pencapaian tujuan pembangunan perkebunan. Pembangunan
perkebunan tahun 2010-2014 akan lebih difokuskan pada 15 komoditas unggulan
nasional yaitu karet, kelapa sawit, kakao, kelapa, jarak pagar, teh, kopi, jambu
mete, lada, cengkeh, kapas, tembakau, tebu, nilam dan kemiri sunan. Indikator
yang digunakan untuk mengukur kinerja pembangunan perkebunan selama lima
tahun ke depan adalah luas areal, produksi dan produktivitas pada ke-15
komoditas tersebut (Direktorat Jenderal Perkebunan 2013). Ditinjau dari luas
areal, kelompok tanaman semusim hanya sekitar 28% dari total areal perkebunan
seluas kurang lebih 21 juta Ha (Lampiran 1) akan tetapi peranan dari komoditas
tanaman semusim penting dalam hal penyediaan bahan pangan nasional seperti
gula dari tebu yang pada tahun 2014 ditargetkan untuk mencapai swasembada
nasional.
Tebu merupakan tanaman perkebunan musiman yang mengandung zat gula
pada batangnya yang digunakan sebagai bahan baku produksi gula. Gula
merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi masyarakat dan industri yang saat ini
masih terus menjadi masalah karena kekurangan produksi dalam negeri,
sementara kebutuhan terus meningkat yang disebabkan oleh pertambahan jumlah
penduduk, peningkatan pendapatan penduduk dan semakin berkembangnya
industri makanan dan minuman yang menggunakan bahan baku gula (Hartono
2011). Peningkatan jumlah penduduk yaitu dari tahun 2000 sebesar 206 264 595
jiwa menjadi 237 641 326 di tahun 2010 (BPS 2010). Pendapatan nasional per
kapita berdasarkan atas dasar harga berlaku mengalai kenaikan tahun 2010
sebesar Rp 23 974 407.31 menjadi Rp 27 487 046.94 tahun 2011. Begitu pula
tahun 2013 naik menjadi Rp 33 379 651.28 (BPS 2013, angka sementara).
Kementerian Perindustrian mencatat pertumbuhan industri makanan dan minuman
sampai kuartal ketiga tahun 2010 sebesar 4.23 persen atau menyumbang 34.35
persen dari total sektor industry (Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman
Indonesia 2011).
Kebutuhan gula nasional gula kristal putih dan gula kristal rafinasi tidak
diikuti dengan produksi yang seimbang sehingga mengakibatkan Indonesia
kekurangan gula dan melakukan impor. Indonesia mengimpor gula jenis GKP,
GKR, dan GKM (gula kristal mentah). Dalam sistem pergulaan nasional
kebutuhan gula dibagi 2 yaitu untuk konsumsi langsung (rumah tangga) dengan
kualitas Gula Kristal Putih (GKP), kemudian konsumsi tidak langsung untuk

2

industri makanan, minuman, dan farmasi dengan kualitas Gula Kristal Rafinasi
(GKR) (PT Perkebunan Nusantara X 2014).
Tabel 1 menjelaskan bahwa produksi gula di Indonesia mengalami
peningkatan yaitu dari tahun 2011 sebesar 2.23 juta ton menjadi 2.75 juta ton pada
tahun 2012. Namun peningkatan tersebut masih belum bisa menutupi jumlah
konsumsi gula nasional. Pada tahun 2012 produksi gula sebesar 2.75 juta ton dan
konsumsi gula nasional sebesar 5.20 juta ton, hal tersebut menunjukkan adanya
gap antara produksi dan konsumsi sehingga pemerintah melakukan impor gula
sebesar 2.53 juta ton untuk memenuhi konsumsi gula.
Tabel 1 Produksi, konsumsi, dan impor gula Indonesia tahun 2009-2012
Tahun
2009
2010
2011
2012

Produksi Gula
(juta ton)
2.62
2.21
2.23
2.75

Konsumsi Gula Nasional
(juta ton)
4.13
4.55
4.67
5.20

Impor Gula (juta ton)
1.60
2.91
2.60
2.53

Sumber: Dewan Gula Indonesia 2013 (diolah).

Sementara itu Dewan Gula Indonesia menargetkan swasembada gula dari
tahun 1991 untuk mengurangi ketergantungan pada luar negeri. Selama ini
peningkatan produksi gula terjadi lewat perluasan areal tanam, tanpa
memperhatikan kualitas tebu yang pada umumnya berkualitas rendah (Penebar
Swadaya 1992). Namun, swasembada tidak bisa dicapai hanya dengan melakukan
perluasan areal tebu. Produktivitas dalam semua tahap produksi perlu untuk
ditingkatkan (Hakim 2008).
Tabel 2 Target swasembada gula nasional tahun 2010-2014
Indikator
Luas Areal (ribu Ha)
Produksi
Hablur
(ribu ton)
Produktivitas Hablur
(ton/Ha)

2010
464.64

Target per tahun
2011
2012
2013
572.12
631.85
691.95

2014
766.61

2 996.00

3 867.23

4 396.20

4 934.73

5 700.00

6.45

6.76

6.96

7.13

7.44

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan (2011).

Pada Tabel 2 menunjukkan target swasembada gula nasional pada kurun
waktu 2010-2014. Hasil evaluasi menunjukan bahwa pencapaian sasaran produksi
secara nasional memang belum sepenuhnya tercapai yaitu produksi pada tahun
2011 sebesar 2.23 juta ton dari target sebesar 3.87 juta ton dan tahun 2012 sebesar
2.75 juta ton dari taget sebesar 4.39 juta ton. Selain itu, Sebagaimana terlihat pada
tabel tersebut bahwa di akhir tahun 2014, luas areal tanaman tebu diproyeksikan
mencapai 766.61 ribu Ha. Luasan ini diperhitungkan dapat mendukung
pencapaian produksi 5 700 ribu ton hablur tebu yang terdiri dari 2.96 juta ton
untuk konsumsi langsung masyarakat dan 2.74 juta ton untuk keperluan industri

3

dengan produktivitas hablur mencapai 7.44 ton/Ha sehingga swasembada gula
konsumsi langsung rumah tangga dan industri dapat tercapai dan sekaligus
menutup neraca perdagangan gula nasional. (Direktorat Jenderal Perkebunan,
2013). Neraca perdagangan gula nasional tahun 2013 pada triwulan II mencapai
minus satu juta dollar Amerika. Neraca perdagangan gula nasional dapat dilihat
pada tabel 3.
Tabel 3 Neraca perdagangan gula tahun 2010-2013a
Tahun

a

Nilai Perdagangan (US$ juta)

2010

-753.90

2011

-1 589.90

2012*
2013 Triwulan II*

-1 633.40
-1 000.00

Sumber: Direktorat Jendral Perkebunan 2013 (diolah).; b* Angka sementara.

Target swasembada gula tersebut tetapi direvisi oleh pemerintah, karena
sejumlah persyaratan untuk mencapai hal tersebut belum bisa terpenuhi.
Persyaratan untuk mencapai produksi gula 5.7 juta ton pada 2014 adalah
penambahan lahan seluas 350 ribu hektare, revisitalisasi pabrik gula, serta
pembangunan 10-25 pabrik gula baru (Direktorat Jenderal Perkebunan 2013).
Harga gula nasional dipengaruhi oleh harga gula internasional (Pusat Sosial
dan Ekonomi Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian
Pertanian 2012). Selama kurun waktu lima tahun terakhir, harga GKP nasional
atau domestik meningkat sangat cepat yaitu Rp 5 539/kg tahun 2008 menjadi Rp
13 212/kg tahun 2012, ini berarti harga domestik naik lebih dari 100% atau ratarata hampir 20%/tahun kenaikan harga yang sangat cepat (PSE 2012). Harga gula
internasional direpresentasikan dengan harga paritas impor, dimana harga paritas
impor gula GKP terus meningkat (Tabel 4). Harga paritas impor meningkat
disebabkan oleh meningkatnya harga impor dalam US$. Nilai tukar US$ terhadap
rupiah yang berfluktuasi. Dari Tabel 4 dijelaskan perbedaan antara harga domestik
dan internasional yang direpresentasikan oleh harga paritas impor selama 20082012 yang berfluktuasi yaitu sekitar Rp 1 216 sampai Rp 3 066/kg. Perbedaan
tersebut 16.8% sampai 43.3% dari harga paritas impor yang terlalu besar.
Tabel 4 Perkembangan harga gula GKP di pasar domestik dan internasional tahun
2008-2009
Uraian

Satuan

2008

2009

2010

2011

2012

Harga Domestik

Rp/Kg

6 539

8 691

8 440

10 624

13 123

Harga Internasional

Rp/Kg

4 772

6 339

7 224

8 322

9 157

Selisih Harga

Rp/Kg

1 767

2 352

1 216

2 302

3 066

Sumber: PSE (2012).

4

Meningkatnya harga gula nasional seperti yang telah dijelaskan pada tabel diatas
belum tentu akan menaikkan harga tebu petani. Harga tebu petani juga
dipengaruhi oleh harga lelang gula, dimana harga lelang gula berfluktuasi.
Sebagai komoditas strategis, pemerintah banyak melakukan intervensi
terhadap industri gula. Peran kebijakan pemerintah dalam hal perdagangan sangat
dipengaruhi dinamika perkembangan perkebunan tebu dan industri gula di tengah
kondisi perdagangan bebas dan persaingan dengan gula impor. Sementara itu
Menteri Perindustrian sebagai pembina industri gula tidak memiliki angka yang
pasti berapa kebutuhan gula rafinasi untuk industri besar, industri kecil dan
menengah, serta industri rumah tangga. Akibatnya pada saat gula rafinasi
diproduksi dan didistribusikan bahkan ada yang hingga tingkat pedagang eceran,
Hal tersebut berpengaruh pada gula produksi PT Perkebunan Nusantara (PTPN)
dan industri gula kristal putih lainnya yang tidak terserap karena kalah bersaing.
Petani tebu pun terkena imbasnya karena harga jualnya menjadi tertekan. Gula
rafinasi adalah bahan baku industri makanan dan minuman, besar maupun kecil,
namun dalam kenyataanya banyak juga gula rafinasi yang beredar hingga ke pasar
dan dikonsumsi oleh masyarakat. Pada tahun 2008 banyak gula rafinasi yang
beredar ke pasaran bebas, sehingga menekan harga jual gula dalam negeri (Hakim
2008). Begitu juga menurut Harianto (2014)
“Saat ini jumlah pabrik gula rafinasi adalah 11 perusahaan dengan kapasitas
terpasang sebesar 5 juta ton. Ada idle capacity dari pabrik gula rafinasi
sekitar 46 %. Dengan demikian, diperkirakan terdapat kelebihan stok gula
rafinasi di pasaran. Kelebihan gula rafinasi di pasaran telah sering terjadi
setiap tahun. Tahun 2008, terjadi kelebihan stok gula rafinasi 1.2 juta
ton. Tahun 2010 dan 2011 terjadi kelebihan sekitar 153 ribu ton, dan tahun
2012 terjadi kelebihan 500 ribu ton. Kelebihan stok tersebut dapat
merembes ke pasar konsumsi domestik sehingga menyebabkan
permintaan gula kristal dan harga gula kristal menurun. Turunnya
harga gula kristal di pasar domestik menyebabkan harga lelang gula petani
turun.
Rendahnya
penawaran
harga
lelang
itulah
yang
menyebabkan protes petani tebu”.
Selain itu hasil-hasil penelitian pemasaran produk agribisnis menunjukkan
banyak yang tidak efisien. Dalam revitalisasi pertanian untuk meningkatkan
pemberdayaan petani terutama meningkatkan Nilai Tukar Petani (NTP),
meningkatkan posisi tawar petani dan produktivitas usaha tani, maka sistem
pemasaran yang efisien atau kompetitif merupakan kata-kata kunci mendorong
motivasi petani dan lembaga-lembaga yang terlibat untuk meningkatkan
produktivitas dan mencapai tujuan revitalisasi (Asmarantaka 2012). Selain itu
pengembangan industri gula (pengolahan tebu) harus dilakukan secara terpadu
mulai dari perkebunan, pengolahan, pemasaran dan distribusi yang didukung oleh
pemangku kepentingan termasuk lembaga pendukung seperti litbang, SDM,
keuangan atau perbankan dan transportasi (Departemen Perindustrian 2009).
Indonesia memiliki sentra-sentra produksi tebu. Salah satu sentra tebu di
Indonesia adalah Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan data statistik pada Tabel 5
areal tebu terluas yaitu Provinsi Jawa Timur dengan luas areal sebesar 192 587.00
Ha tahun 2011, luas areal tersebut mengalami penurunan sebesar 7.544 Ha yang
semula tahun 2010 sebesar 200 131.00 Ha. Walaupun mengalami penurunan luas
areal, Jawa Timur masih merupakan provinsi yang memiliki areal, produksi

5

terbesar di Indonesia dan produktivitas yang meningkat hal tersebut dapat dilihat
pada Tabel 5.
Tabel 5 Luas lahan, produksi dan produktivitas tanaman tebu kategori provinsi di
Indonesia tahun 2010-2011
Lokasi

Luas Lahan (Ha)
2010

Sumatera
Utara
Sumatera
Selatan
Lampung
Jawa Barat
Jawa
Tengah
Daerah
Istimewa
Yogyakarta
Jawa Timur
Sulawesi
Selatan
Gorontalo

Produksi (Ton)

Produktivitas
Ton/Ha/Tahun
2010
2011

2011

2010

2011

8 651

100 460

31 025

471 220

3.71

4.69

21 663

19 749

66 451

91 124

4.58

4.61

118 088
23 343

117 405
21 444

759 684
110 543

678 090
81 923

6.43
4.94

5.78
3.83

61 792

65 519

233 430

249 452

4.33

3.81

3 463

3 576

17 327

16 573

5.00

4.64

200 131

192 587

1 017 003

1 051 872

5.25

5.46

11 376

13 171

27 241

19 210

2.40

1.46

5 620

8 291

27 412

32 521

4.88

4.41

Sumber: Kementerian Pertanian 2014 (diolah).

Kabupaten Ponorogo merupakan salah satu wilayah penghasil tebu di Jawa
Timur. Kabupaten Ponorogo terdiri dari 21 kecamatan dan dari 21 kecamatan
tersebut 18 kecamatan merupakan penghasil tebu. Luas areal tebu pada tahun
2013 dengan kategori luas areal tanaman menghasilkan sebesar 1 788.70 Ha,
tanaman baru sebesar 231.22 dan luas areal potensi sebesar 10 945.14 Ha (Dinas
Perkebunan Kabupaten Ponorogo 2013). Berdasarkan data tersebut membuktikan
bahwa Kabupaten Ponorogo memiliki potensi yang besar untuk mengembangkan
tanaman tebu. Tanaman perkebunan rakyat tebu memiliki luas panen terbesar
tahun 2012 yaitu 2 415 Ha dengan jumlah produksi 13 939 ton (Lampiran 2) (BPS
kabupaten Ponorogo 2013). Kecamatan Jenangan merupakan penghasil tebu
terbesar di Kabupaten Ponorogo. Hal ini dapat dilihat dari luas panen, produksi
dan produktivitas tebu yang dapat dilihat pada Tabel 6. Kecamatan Jenagan
memiliki luas areal sebesar 429.65 Ha dengan produksi 2 393.59 Ton dan
produktivitas sebesar 6.22 Ton/Ha/Th pada tahun 2013.
Hasil tebu dari kecamatan Jenangan akan berkontribusi untuk memenuhi
permintaan masyarakat akan gula. Salah satu desa yang berada di Kecamatan
Jenangan sebagai penghasil tebu adalah Desa Pintu. Pada tahun 2013 tercatat
Desa Pintu memiliki luas lahan tebu sebesar 17.039 Ha dengan produksi sebesar 1
606.3 Ton tebu.

6

Tabel 6 Luas areal kategori kecamatan di Kabupaten Ponorogo tahun 2013
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

Kecamatan
Jenangan
Babadan
Ponorogo
Sukorejo
Kauman
Siman
Slahung
Bungkal
Jambon
Balong
Mlarak
Jetis
Pulung
Ngebel
Ngrayun
Badengan
Sampung
Sambit
Jumlah

Luas Areal (Ha)
429.65
396.80
201.59
178.45
173.44
78.93
68.51
45.65
42.57
42.43
33.49
25.74
18.61
17.00
16.00
10.39
6.46
2.99
1 788.70

Produksi (Ton)
2 393.59
2 212.03
1 106.48
818.49
837.59
438.53
315.39
509.72
198.13
195.07
148.56
116.42
84.91
74.46
72.27
40.45
30.18
18.13
9 610.40

Produktivitas
(Ton/Ha/Th)
6.22
6.21
6.12
5.10
6.39
6.19
5.11
5.10
5.17
5.11
5.00
5.02
5.07
5.02
5.02
5.18
5.19
5.02
5.35

Sumber: Dinas Perkebunan Kabupaten Ponorogo 2013 (diolah).

Desa Pintu sebagai desa penghasil tebu akan berusaha mengoptimalkan
hasil produksi untuk memenuhi permintaan gula Indonesia. Pengoptimalan
produksi dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kinerja kerja petani dan cara
budidaya yang baik. Sebagian petani di desa ini hanya memikirkan bagaimana
caranya agar tebu mereka memiliki bobot tebu yang tinggi tanpa memikirkan
kandungan rendemen dalam tebu tersebut. Selain itu pembelian tebu di desa ini di
dominasi oleh pedagang. Kendala yang terjadi pada petani tebu yaitu beberapa
petani yang menjual secara bebas tebu miliknya kepada pedagang. Petani yang
menjual tebu ke pedagang tidak ingin sulit dalam mengurus hasil tebu dan biayabiaya pemanenan dan pengangkutan. Petani tidak mengetahui saluran mana yang
lebih efisien dalam menjual tebu hasil perkebunannya. Selain itu, teknik budidaya
tebu akan menentukan kualitas tebu tersebut. Analisis saluran tataniaga di Desa
Pintu dibutuhkan untuk mengetahui sistem pemasaran yang efisien.

Perumusan Masalah
Kabupaten Ponorogo merupakan salah satu sentra penghasil tebu di Jawa
Timur. Namun Kabupaten ini mengalami penurunan lahan areal tebu, dimana
lahan merupakan salah satu hal terpenting dalam peningkatan produksi dan
produktivitas tebu. Lahan tebu di Kabupaten Ponorogo mengalami penurunan

7

dari 2 415.00 Ha tahun 2011 menjadi 1 788.70 Ha tahun 2013 (Dinas Perkebunan
Kabupaten Ponorogo 2013). Fenomena yang ada banyak petani tebu yang
mengubah komoditi yang ditanamnya menjadi komoditas tanaman lain yang
dirasa lebih menguntungkan. Berdasarkan penelitian motivasi petani berkurang,
karena harganya yang tidak sesuai. Perubahan komoditi tersebut akan
berpengaruh pada jumlah produksi gula. Hal tersebut tidak sejalan dengan rencana
pemerintah untuk melakukan swasembada gula. Harga tebu yang cenderung tidak
stabil yang disesuaikan dengan harga beli gula oleh investor, serta meningkatnya
impor gula membuat petani tebu di desa pintu kesulitan. Kesulitan ini bukan
karena kesulitan untuk menjual tebu, tetapi kesulitan dalam hal pendapatan yang
diterima petani. Selain itu jumlah produksi yang dihasilkan petani tebu dapat
mempengaruhi tingkat pendapatan yang diterimanya. Semakin besar jumlah
produksi, maka akan semakin besar pula pendapatan yang diterimanya, begitu
pula rendemen. Selain jumlah produksi yang dihasilkan, biaya yang dikeluarkan
juga akan mempengaruhi jumlah yang diterima petani. Hal tersebut yang
mengharuskan petani untuk memilih saluran yang efisien.
Terbentuknya harga domestik, tidak terlepas dari Harga Patokan Petani
(HPP) dan Harga Lelang Gula GKP. HPP adalah harga ketentuan pemerintah,
yang merupakan harga penyangga untuk gula petani. Sementara harga lelang
adalah harga yang terbentuk saat lelang gula, dengan peserta pedagang besar. HPP
gula selama 2008-2012 terus meningkat, yaitu dari Rp 5 000/Kg pada tahun 2008
menjadi Rp 8 100 pada tahun 2012, yang berarti meningkat 62%, atau rata-rata
hampir 13%/tahun (table 7). Besaran HPP sangat ditentukan BPP (Biaya Pokok
Produksi) per kg gula petani, disamping ada tuntutan petani melalui APTRI agar
HPP gula petani tinggi karena BPP selalu selalu meningkat tiap tahunnya yaitu
dari Rp 5 103/kg pada tahun 2009 menjadi Rp 7 902 pada tahun 2012 yang berarti
naik hampir 55% atau rata-rata 15.8/tahun. Rasio HPP terhadap BPP hanya
berkisar 1.016-1.048 (tabel 6). Rasio ini menunjukkan bahwa rata-rata laba petani
minimal 3.4% dari BPP jika harga lelang tepat sebesar HPP, di luar nilai tetes.
Harga lelang selama 2008-2012 cenderung meningkat, yaitu dari Rp 5 255/kg
tahun 2008 menjadi Rp 10 982 pada tahun 2012, yang berati naik 109% (Tabel 7).
Tabel 7 Perkembangan BPP, HPP dan harga lelang gula tahun 2008-2012a
Tahun
2008
2009
2010
2011
2012

b

BPP
*)c
5 103
6 246
6 891
7 902

Harga (Rp/Kg)
HPPb
5 000
5 350
6 530
7 000
8 100

b

HL
5 255
7 056
7 723
8 142
10 982

Rasio Harga
HPP/BPP HL/HPP HE/HL
*)c
1.05
1.24
1.05
1.34
1.23
1.05
1.18
1.09
1.02
1.16
1.31
1.03
1.36
1.19

a

Sumber: PSE Litbang Deptan.; bBiaya Pokok Petani.; bHarga Patokan Petani.; bHarga Lelang
Gula.; c* Tidak ada data.

Berdasarkan tabel tersebut mengindikasikan adanya selisih dari harga lelang
dengan biaya pokok produksi tebu. Selisih tersebut nantinya merupakan
keuntungan yang akan diterima petani, sehingga diperlukan saluran yang efisien

8

dan transparansi dari lembaga yang terlibat dengan begitu petani merasa
diuntungkan.
Harga lelang gula dalam satu musim giling berfluktuasi sesuai dengan harga
gula dipasaran. Berdasarkan informasi dari pihak PG dan petani musim giling
2013 merupakan musim giling dengan harga lelang yang rendah bila
dibandingkan dengan musim giling tahun sebelumnya. Hal ini terjadi akibat
banyaknya gula rafinasi (gula impor) yang ada di pasaran.
Dalam sistem tataniaga suatu komoditi, terdapat variasi saluran tataniaga
melalui alur tataniaga yang berbeda-beda. Adanya perbedaan alur tataniaga
tersebut menyebabkan perbedaan dalam harga jual, keuntungan, serta biaya
tataniaga untuk masing-masing lembaga tataniaga termasuk petani. Untuk
meningkatkan keuntungan dan posisi tawar petani, maka dapat digunakan saluran
tataniaga yang efisien.
Keterbukaan informasi pasar dan saluran yang efisien diperlukan petani
dalam bertahan pada komoditi tebu. Petani tidak mengetahui mengenai rendemen
dan sebagian petani non mitra tidak mengetahui jumlah produksi tebu miliknya.
Pendistribusian tataniaga tebu juga dipengaruhi oleh keadaan infrastruktur desa
dan jarak kebun tebu dengan jalan yang menyebabkan biaya-biaya tataniaga
berbeda yang nantinya berdampak pada efisiensi tataniaga yang berada di setiap
saluran tataniaga mengindikasikan adanya marjin tataniaga tebu yang terjadi
karena adanya lembaga tataniaga yang turut berperan dalam memasarkan tebu
dari petani ke konsumen.
Kegiatan pemasaran di Desa Pintu didominasi oleh pedagang. Petani yang
menjual tebu ke pedagang tidak ingin sulit dalam mengurus hasil tebu dan biayabiaya pemanenan dan pengangkutan. Selain itu sistem standar kualitas yang ketat
terhadap tebu mengakibatkan petani enggan menjual langsung ke pabrik tebu.
Harga jual tebu milik petani ditentukan oleh kesepakatan petani dan pedagang.
Namun, pada kenyataannya sebagian besar kesepakatan harga jual didominasi
oleh pedagang. Hal ini karena ketidaktahuan petani terhadap informasi harga
lelang gula. Harga lelang gula berfluktuasi. Fluktuasi harga ini akan berpengaruh
pada penentuan dan pembentukan harga lembaga pemasaran. Pembentukan Harga
lelang gula dilakukan oleh APTRI dan investor.
Harga merupakan motivasi utama bagi petani untuk meningkatkan produksi
dan produktivias usahataninya. Oleh karena itu harga yang berlaku sebaiknya
menguntungkan semua pelaku pemasaran terutama petani sebagai produsen. Hal
tersebut dapat tercapai dengan sistem pemasaran yang efisien, sehingga produk
bisa sampai pabrik dengan tepat waktu dengan biaya seminimalnya. Perlunya
dianalisis saluran pemasaran tebu di Desa Pintu untuk menentukan sistem
pemasaran yang paling efisien untuk meningkatkan pendapatan petani tebu.
Sebagian besar petani tidak tahu berapa jumlah kuintal tebu yang didapat,
walaupun harga ditetapkan melalui proses tawar menawar antara petani dengan
pedagang. Mereka hanya menerima total pendapatan yang diterima dari penjualan
tebu.
Banyak saluran yang tercipta pada tataniaga tebu di Desa Pintu. Petani yang
tidak mengetahui saluran pemasaran yang efisien merupakan salah satu penyebab
rendahnya harga tebu petani. Keuntungan yang diterima petani bila dibandingkan
dengan biaya yang dikeluarkan pun belum merata. Analisis Tataniaga pada
saluran tebu perlu dilakukan sehingga dapat diketahui saluran mana yang lebih

9

efisien. Dengan adanya pola saluran yang efisien dapat diketahui saluran tataniaga
yang dapat memberikan maanfaat bagi petani dan lembaga yang terlibat dari
saluran tataniaga yang efisien.
Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam
penelitian analisis tataniaga tebu ini adalah
1) Bagaimana sistem tataniaga tebu di Desa Pintu, Kecamatan Jenangan,
Kabupaten Ponorogo berdasarkan saluran tataniaga, lembaga tataniaga, fungsi
tataniaga, struktur pasar, dan perilaku pasar?
2) Bagaimana efisiensi tataniaga tebu di Desa Pintu, Kecamatan Jenangan,
Kabupaten Ponorogo berdasarkan margin tataniaga, farmer’s share, dan rasio
keuntungan terhadap biaya?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan
sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan untuk :
1) Mengidentifikasi sistem tataniaga tebu yang meliputi saluran tataniaga,
lembaga tataniaga, fungsi tataniaga, struktur pasar, dan perilaku pasar di Desa
Pintu, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo.
2) Mengidentifikasi tingkat efisiensi tataniaga pada saluran tataniaga tebu di Desa
Pintu, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo dengan pendekatan margin
tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya.
Manfaat Penelitian
1) Sebagai bahan informasi bagi petani dalam melakukan kegiatan tataniaga tebu
dan memilih saluran yang efisien sehingga dapat meningkatkan pendapatan.
2) Bagi pembaca, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi
dan referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

10

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan analisis tataniaga di Desa Pintu, Kecamatan
Jenangan, Kabupaten Ponorogo terhadap tebu. Penelitian ini dibatasi hanya
mengkaji aspek yang berkepentingan langsung dengan tataniaga tebu di Desa
Pintu, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo. Harga yang dijadikan acuan
merupakan harga yang berlaku pada saat penelitian.
Pendekatan alat analisis yang digunakan pada penelitian ini dibatasi. Untuk
mendapatkan gambaran menyeluruh terkait sistem tataniaga tebu di Desa Pintu,
Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo digunakan analisis saluran dan
lembaga tataniaga, fungsi tataniaga, struktur dan perilaku pasar tiap lembaga
tataniaga. Selain itu, digunakan analisis yang bertujuan untuk mengkaji efisiensi
operasional saluran tataniaga yang terbentuk pada sistem tataniaga tebu yang
meliputi marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya.

TINJAUAN PUSTAKA

Gambaran Umum Tanaman Tebu
Asal mula tebu tidak diketahui dengan pasti. Keberadaan tebu di Jawa telah
ada sejak 400 tahun sebelum masehi (Penebar Swadaya 1992). Tanaman Tebu
(Saccharum Officanarum L) merupakan tanaman perkebunan semusim, yang
mempunyai sifat tersendiri, sebab didalam batangnya terdapat zat gula
(rendemen). Rendemen tebu adalah kadar kandungan gula didalam batang tebu
yang dinyatakan dengan persen. Bila dikatakan rendemen tebu 10 %, artinya ialah
bahwa dari 100 kg tebu yang digilingkan di Pabrik Gula akan diperoleh gula
sebanyak 10 kg.
Tebu termasuk keluarga rumput-rumput (graminae) atau lebih dikenal
sebagai kelompok rumput-rumputan. Penebar Swadaya (1992) mengatakan
“daerah penyebaran tebu berada di antara ketinggian 35 garis LS dan 39 garis
LU. Tumbuhan ini dapat hidup pada berbagai ketinggian, mulai dari pantai sampai
dataran tinggi (1 400 m dpl.)”. Menurut Kantor Pelayanan Pajak BUMN (2003),
varietas yang diunggulkan adalah BL yang mirip dengan varietas POJ-2878.
Kedua varietas ini tahan terhadap penyakit mosaic dan tahan blendok, namun BL
agak peka pohkabung dan serangan hama penggerek pucuk. Dengan varietas BL
ini, potensi pada lahan sawah dengan ekologi unggulan, produksi tebu rata-rata 1
504 kuintal per hektar (tertinggi 2 093 kuintal), rendemen rata-rata 8.07 persen
(tertinggi 8.86 persen) dan produksi hablur rata-rata 121.4 kuintal per hektar
(tertinggi 169.2 kuintal). Bahkan pada pola keprasan,varietas BL juga
menunjukkan hasil yang cukup menjanjikan.

11

Budidaya Tanaman Tebu
Swasembada yang ditargetkan pemerintah akan berhasil bila peningkatan
produksi gula tidak hanya terjadi lewat perluasan areal tanam, tetapi juga kualitas
tebu. Keberhasilan akan tercapai, tergantung pada cara budidayanya. Penggunaan
bibit unggul yang bermutu merupakan modal dasar bagi keberhasilan produksi
yang diharapkan. Penentuan komposisi bibit secara umum dikaitkan dengan
tingkat kemasakannya, masa tanam, iklim, kondisi lahan serta lamanya musim
giling.
Persiapan lahan merupakan kegiatan untuk mempersiapkan tanah tempat
tumbuh tanaman tebu sehingga kondisi fisik dan kimia tanah sesuai dengan media
perkembangan perakaran tanaman tebu. Pada saat penanaman tebu, kondisi tanah
yang dikehendaki lembab tapi tidak terlalu basah dan cuaca cerah. Untuk saat ini
tanam tebu lahan kering yang paling tepat adalah masa pancaroba yakni akhir
musim kemarau sampai awal musim hujan atau sebaliknya (Badan Penyuluh
Pertanian Kedungwaru, 2013).
Menurut Sutardjo (2002) budidaya tebu meliputi:
1) Pembukaan kebun tebu giling atau tebu rakyat
Pembukaan dan penanaman dimulai dari petak yang paling jauh dari jalan
utama atau jalan lori pabrik. Standar ukuran got, got keliling / mujur;lebar 60 cm;
dalam 70 cm, got malang / palang; lebar 50 cm; dalam 60 cm. Selain itu
disediakan juringan (lubang tempat menanam), juringan baru dibuat setelah gotgot malang mencapai kedalaman 60 cm dan tanah galian got sudah diratakan.
Ukuran standar juringan adalah lebar 50 cm dan dalam 30 cm untuk tanah basah,
25 cm untuk tanah kering. Pembuatan juringan harus dikerjakan dua kali yaitu
stek pertama dan kedua, dan rapi.
Kemudian diperlukan jalan kontrol. Jalan kontrol dibuat sepanjang got
mujur dengan lebar ± 1 m. Setiap 5 bak dibuat jalan kontrol sepanjang got malang
dengan lebar ± 80 cm. Pada juring nomor 28, guludan diratakan untuk jalan
kontrol (jalan tikus).
2) Turun tanah atau siap tanam
Prinsip penurunan tanah adalah mengembalikan tanah stek ke dua ke dalam
cemplongan/juringan. Hal ini dimaksudkan membuat bantalan/ dasar tanah bagi
penanaman. Tebal kasur tergantung pada keadaan, bila masih musim hujan atau
tanah basah maka tebalnya ± 10 cm. Sedangkan di musim kemarau yang terik,
tebal kasurnya ± 15-20 cm dari permukaan tanah aslinya.
3) Tanam
Jenis tebu yang akan ditanam adalah jenis tebu yang hasil produksinya
tinggi dan sesuai dengan jenis tanah kebun. Bibit stek harus ditanam berimpitan
agar mendapat jumlah anakan semaksimal mungkin.
4) Membersihkan rumput
Sebelum penanaman, kebun juringan, perlu dibersihkan dari rerumputan,
terutama alang-alang yang harus dibersihkan sampai ke akar-akarnya.
5) Penyiraman
Penyiraman pada waktu tanam tidak boleh berlebih-lebihan, karena akan
merusak struktur tanah. Tidak boleh pula tidak disiram, karena bibit tidak bisa
melekat ke tanah. Penyiraman tidak boleh terlambat dan tidak boleh berlebihan.
6) Penyulaman

12

Cara melakukan penyulaman yaitu bibit yang mati dicabut, kemudian
lubang yang cukup lebarnya dibuat dengan ganco, atau alat khusus lainnya.
Lubang kemudian diisi tanah gembur, yang diambil dari atas guludan yang telah
kering karena terkena sinar matahari. Setelah tanaman disirami, bibit yang baik
ditanam dan ditimbun dengan tanah. Tanah disiram lagi dan dipadatkan.
7) Pembumbunan tanah (tambah tanah)
Pembumbunan tanah biasanya dilakukan ketika tebu berumur 3-4 minggu,
yaitu ketika tanaman sudah berdaun 4 helai (tidak termasuk pupus yang belum
berkembang). Pembumbunan dilakukan tiga kali. Pembumbunan ke dua dilakukan
jika anakan tanaman tebu sudah lengkap dan cukup besar, ± 20 cm, sehingga tidak
dikuatirkan rusak atau patah sewaktu ditimbun tanah. Pembumbunan ke- 3 disebut
bacar.
8) Klentek
Klentek yaitu melepaskan daun kering, harus dilakukan tiga kali, yaitu
sebelum gulud akhir, umur tujuh bulan dan empat minggu sebelum tebang.
9) Tebu roboh
Batang-batang tebu yang miring atau roboh perlu diikat, baik silang dua
maupun silang empat. Rumpun-rumpun / ros-ros tebu, yang terdiri dari satu
deretan tanaman, disatukan dengan rumpun-rumpun dari deretan tanaman di
sisinya, sehingga berbentuk menyilang.
10) Pemupukan
Pemupukan diberikan sebelum tanam, yaitu TSP. Kemudian ±25 hari
sesudah tanam, setelah selesai penyulaman ke-1, diberikan pupuk ZA ke-1 lalu
disiram. Pemupukan ZA ke-2 diberikan setelah tanaman berumur ±1 ½ bulan
setelah selese penyulaman ke dua. Ketentuan standar per hektarnya, standar untuk
tebang I: 0,5 – 1 Kw / Ha dan standar untuk tebang ke II (tebu tunas) : 1,5 – 2 Kw
/ Ha.

Panen dan Pascapanen
Pelaksanaan panen pada tanaman tebu meliputi beberapa kegiatan utama,
yaitu taksasi produksi, dan perencanaan tebang berdasarkan analisis kemasakan
tebu dan tebang angkut. Taksasi produksi dimaksudkan untuk memperkirakan
awal/akhir tebang, mempersiapkan tenaga kerja/angkutan/dana, dan untuk pabrik
gula menyiapkan rencana giling dan bahan baku pembantu (belerang, kapur,
karung gula dan lain-lain) dan menghitung rencana lamanya giling. Umumnya
taksasi dilakukan 2 kali yaitu pada bulan Desember dan Maret.
Menurut Badan Penyuluh Pertanian Kedungwaru (2013), panen
dilaksanakan pada musim kering yaitu sekitar bulan April sampai Oktober. Hal
tersebut berkaitan dengan masalah kemudahan transportasi tebu dari areal ke
pabrik serta tingkat kemasakan tebu akan mencapai optimum pada musim kering.
Kegunaan analisa kemasakan yaitu, untuk menentukan kemasakan tanaman tebu
yang tepat pada suatu petak tebang, sebagai dasar merencakan dan mengatur
penebangan dan penggilingan. Kegiatan pemanenan diawali dengan tahap
persiapan yang dilaksanakan sekurang-kurangnya tiga bulan sebelum panen
dimulai. Tahap persiapan meliputi kegiatan estimasi produksi tebu, pembuatan
program tebang, penentuan kemasakan tebu, rekrutmen kontraktor dan tenaga

13

tebang, persiapan peralatan tebang dan pengangkutan, serta persiapan sarana dan
prasarana tebang. Digunakan dua metode penebangan yaitu tebu hijau (Green
Cane) dan tebu bakar (Burn Cane). Metode tebu hijau adalah menebang tebu
dalam kondisi tanpa ada perlakuan pendahuluan, sedangkan tebu bakar adalah
dilakukan pembakaran sebelum tebang untuk memudahkan penebangan dan
mengurangi sampah yang tidak perlu. Tebu di Jawa dilakukan tanpa bakar,
sedangkan di luar Jawa khususnya Lampung ± 90% dilakukan dengan bakar.
Pengangkutan tebu dilakukan seperti pendapat Penebar Swadaya (1992).
“ Batang tebu hasil tebangan diangkut ke pabrik dengan menggunakan lori,
cikar, atau truk”. Seperti pada penebangan, pengangkutan tebu pun harus
dilakukan secara hati-hati, agar tebu layak giling diterima oleh pabrik gula
(PG). Maksud tebu layak giling adalah sebagai berikut, tebu yang ditebang
pada tingkat kemasakan optimal, kadar kotoran (tebu mati, pucuk, daun,
pelepah, tanah, akar, sogolan yang panjangnya kurang dari 2m, dan lainlain) maksimal 2%, Jangka waktu sejak tebang sampai giling tidak lebih
dari 36 jam.”
Pengangkutan dengan menggunakan truk, setiap truk dilengkapi dengan
SPA (Surat Perintah Masuk) yang dilampiri kupon dari pabrik gula. Setelah itu
truk harus melalui dua pos pengawasan sebelum sampai di tempat penampungan
pabrik gula. Pos I mengawasi kebenaran SPA dan kupon dan pos II mengawasi
SPA dan kupon yang disesuaikan dengan jatah kebun, serta memeriksa mutu
tebangan. Setelah semua lengkap tebu ditimbang dan dibongkar.

Penelitian Terdahulu
Rimbawan (2012) meneliti mengenai “Analisis Sistem Tataniaga Tebu di
Wilayah Kerja Pabrik Gula Sragi, Kabupaten Pekalongan,Jawa Tengah. Penelitian
bertujuan untuk mengidentifikasi saluran tataniaga, fungsi, struktur pasar, dan
perilaku pasar, serta menganalisis efisiensi tataniaga dengan pendekatan margin
tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya. Jenis dan sumber
data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Pengumpulan data
dilakukan secara sengaja (purposive) pada 43 petani dan lembaga tataniaga
dengan metode snowball sampling”. Saluran tataniaga yang terbentuk di wilayah
kerja PG Sragi terdapat 4 saluran. Saluran pertama meliputi petani, kelompok tani,
dan pabrik gula. Saluran 2 meliputi petani, kelompok tani lahan swasta, dan
pabrik gula. Saluran 3 meliputi Koperasi Petani Tebu Rakyat (KPTR), dan pabrik
gula serta saluran tataniaga 4 yaitu petani dan pabrik gula.
Berdasarkan penelitian saluran tataniaga yang paling efisien pada sistem
tataniaga tebu di wilayah kerja PG Sragi, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah
adalah saluran tataniaga 4. Hal tersebut dilihat dari margin tataniaga yang kecil,
farmer’s share yang besar, dan rasio keuntungan terhadap biaya yang cukup
besar. Namun saluran yang paling diminati oleh petani tebu adalah saluran 3
karena lembaga tataniaga saluran tersebut menawarkan kemudahan bagi petani
tebu, salah satunya pembayaran tebu dilakukan secara tunai di tempat atau kebun
petani. Persamaan penelitian Rimbawan dengan penelitian ini adalah jenis
komoditi dan alat analisis yang digunakan. Sedangkan untuk perbedaannya
terletak pada lokasi penelitian.

14

Asmarantaka (2013) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Tataniaga
Kelapa Sawit di Desa Tanjung Jaya, Kecamatan Bangun Rejo, Kabupaten
Lampung Tengah, Provinsi Lampung”. Tujuan penelitian adalah untuk
menganalisis saluran tataniaga kelapa sawit yang terbentuk di Desa Tanjung Jaya,
mengetahui serta menganalisa fungsi tataniaga yang terjadi pada sistem tataniaga
kelapa sawit, dan menganalisis efisiensi sistem tataniaga petani pada pemasaran
kelapa sawit di Desa Tanjung Jaya. Data diolah dengan metode kuantitatif dan
kualitatif. Analisa kualitatif meliputi efisiensi tataniaga dari saluran pemasaran,
fungsi tataniaga serta permasalahan yang terjadi. Analisa kuantitatif dilakukan
melalui pendekatan margin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan
terhadap biaya.
Hasil penelitian terhadap 32 orang petani responden diketahui bahwa pola
saluran tataniaga TBS melalui dua pola saluran, yaitu pola saluran I dan II. Pola
saluran satu TBS dijual kepada agen kemudian diangkut ke PKS. Sedangkan pola
saluran II, TBS petani dijual kepada pedagang pengumpul, kemudiaan melalui
agen diangkut ke (Pabrik pengolahan kelapa sawit) PKS. Berdasarkan analisa
sistem tataniaga disimpulkan bahwa saluran tataniaga I atau melalui agen
perantara yang lebih efisien. Persamaan dengan penelitian ini adalah alat analisis
yang digunakan yaitu saluran, fungsi, margin, famers’s share dan rasio
keuntungan terhadap biaya. Perbedaan dengan penelitian ini jenis komoditas,
lokasi penelitian, alat analisis yang tidak digunakan dalam penelitian Asmarantaka
adalah struktur pasar dan perilaku pasar.
Ridy (2010) “Analisis Dampak Penurunan Tarif Impor Gula terhadap Daya
Saing Komoditi Tebu (Studi Kasus : Petani Tebu di Wilayah Kerja Pabrik Gula
Sindang Laut, Kabupaten Cirebon)”. Penelitian ini membahas mengenai analisis
daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) komoditi tebu yang dihasilkan
oleh petani tebu di lokasi penelitian, menganalisis dampak kebijakan pemerintah
terhadap daya saing komoditas tebu di lokasi penelitian, dan menganalisis dampak
penurunan tarif impor gula terhadap daya saing komoditi tebu yang dihasilkan
oleh petani tebu di Pabrik Gula Sindang Laut Kabupaten Cirebon Propinsi Jawa
Barat. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive). Jenis dan
sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder, baik kualitatif maupun kuantitatif. Metode pengolahan dan analisis data
yang digunakan adalah Policy Analysis Matrix (PAM) atau Matriks Analisis
Kebijakan. Analisis sensitivitas juga digunakan untuk melihat perubahan daya
saing jika terjadi perubahan tarif impor.
Persamaan penelitian ini adalah komoditi yang diteliti tebu. Perbedaannya
adalah metode analisis yang digunakan dalam penelitian Ridy menggunakan
Policy Analysis Matrix (PAM) atau matriks analisis kebijakan dan analisis
sensitivitas, sedangkan penelitian ini menggunakan marjin pemasaran, farmer’s
share, rasio keuntungan dan biaya.
Astria (2011), melakukan penelitian mengenai “Analisis Kemitraan Antara
Petani Tebu dengan Pabrik Gula Karangsuwung”. Penelitian bertujuan untuk
mengidentifikasi, menganalisis tujuan dan pelaksanaan kemitraan yang sedang
dijalankan oleh Petani Tebu Pabrik Gula Karangsuwung serta mengkaji analisis
usahatani tebu terhadap kemitraan petani tebu dengan Pabrik Gula
Karangsuwung. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder.
Metode analisis data yang digunakan adalah Analisis Deskriptif, Analisis

15

Pendapatan Usahatani dan Analisis Imbangan Penerimanaan dan Biaya (Rasio
R/C). Berdasarkan hasil analisis R/C rasio atas biaya tunai pada petani mitra
sebesar 1,52. Dari nilai tersebut disimpulkan bahwa usahatani yang dilakukan
petani mitra menguntungkan. Sedangkan R/C atas biaya total pada petani mitra
sebesar 0,6 Dari nilai R/C atas biaya tunai dan total dapat disimpulkan dengan
mengikuti kemitraan, petani mitra mengalami kerugian. Hal ini dikarenakan
adanya biaya transaksi yang mahal.
Persamaan penelitian Astri dengan penelitian ini adalah komoditi yang
digunakan yaitu tebu. Perbedaannya adalah penggunaan metode analisis yang
digunakan dalam penelitian Rissa Astria mengunakan Analisis Pendapatan
Usahatani dan Analisis Imbangan Penerimanaan dan Biaya (Rasio R/C)
sedangkan penelitian ini menggunakan marjin pemasaran, farmer’s share, rasio
keuntungan dan biaya.

KERANGKA PEMIKIRAN

Konsep Tataniaga
Istilah tataniaga saat ini lebih dikenal dengan istilah pemasaran atau
marketing. Tataniaga merupakan kegiatan ekonomi yang berfungsi membawa atau
menyampaikan barang dan/atau jasa dari produsen ke konsumen (Hanafie 2010).
Tujuan akhir dari tataniaga adalah menempatkan barang-barang ke tangan
konsumen. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu dilaksanakan kegiatan-kegiatan
tataniaga yang melibatkan lembaga-lembaga yang berkepentingan dalam proses
tataniaga. Sedangkan menurut Kotler dan Susanto (2000) pemasaran adalah suatu
proses sosial dan manajerial di mana individu dan kelompok mendapatkan
kebutuhan dan keinginan mereka dengan menciptakan, menawarkan dan bertukar
sesuatu yang bernilai satu sama lain. Definisi tersebut berdasarkan pada
kebutuhan, keinginan dan permintaan; produk, nilai, biaya dan kepuasan;
pertukaran, transaksi, dan hubungan; pasar dan pemasaran serta pemasar.
Asmarantaka (2012) menyebutkan bahwa pengertian pemasaran dapat
ditinjau dari aspek ilmu ekonomi (makro) dan ilmu manajemen (mikro).
Pengertian pemasaran dari aspek manajemen adalah suatu proses sosial dan
manajerial yang didalamnya terdapat individu atau kelompok dengan
menciptakan, menawarkan, dan mempertukarkan produk yang bernilai kepada
pihak lain untuk mendapatkan apa yang mereka butuhkan. Pengertian tataniaga
dilihat dari aspek ilmu ekonomi adalah:
1) Pemasaran produk agribisnis merupakan keragaan dari semua aktivitas bisnis
dalam mengalirkan produk dan jasa dari petani produsen sampai ke konsumen
akhir.
2) Pemasaran pertanian merupakan serangkaian fungsi yang diperlukan dalam
menggerakkan input atau produk dari tingkat produksi primer hingga
konsumen akhir. Tataniaga produk pertanian merupakan s