Analisis tataniaga tebu (studi kasus : Desa Pulorejo Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur)

(1)

ANALISIS TATANIAGA TEBU

(Studi Kasus : Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro,

Kabupaten Jombang, Jawa Timur)

SKRIPSI

ANGGRIANI PUTRI SOETRISNIATI H34070117

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

RINGKASAN

ANGGRIANI PUTRI SOETRISNIATI. Analisis Tataniaga Tebu (Studi Kasus Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur). Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. (Di bawah bimbingan RACHMAT PAMBUDY)

Tebu merupakan salah satu tanaman perkebunan yang turut berperan dalam pembangunan ekonomi nasional dan memberikan kontribusi yang cukup besar pada subsektor perkebunan. Indonesia mempunyai keunggulan komparatif sebagai produsen gula tebu dilihat dari sisi sumber daya alam dan iklim. Produksi tebu ini ditujukan untuk memenuhi permintaan pasar akan produk olahan tebu ini.

Salah satu daerah yang menjadi sentra tebu di Kabupaten Jombang adalah Kecamatan Ngoro. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis saluran tataniaga yang ada di Desa Pulorejo, menganalisis fungsi-fungsi tataniaga tebu, struktur pasar, perilaku pasar yang terjadi dan menganalisis saluran mana yang lebih efisien berdasarkan margin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya.

Penelitian dilakukan di Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Waktu penelitian dilakukan dari bulan Februari hingga Maret 2011. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive). Pengambilan responden petani dilakukan berdasarkan secara sengaja (purposive) dan lembaga tataniaga dilakukan dengan menggunakan metode snowball sampling. Jumlah petani responden adalah sebesar 20 orang petani.

Terdapat empat saluran tataniaga tebu di Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, yaitu saluran tataniaga I: petani, Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTRI) dan pabrik gula; saluran II: petani, kelompok tani dan pabrik gula; saluran III: petani, kontraktor tebu dan pabrik gula; saluran IV: petani, pedagang sari tebu dan konsumen.

Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga dalam tataniaga tebu ini adalah fungsi pertukaran dilakukan oleh lembaga tataniaga dan petani tidak melakukan kegiatan pembelian. Pada saluran I dan II petani melakukan fungsi fisik yaitu pegangkutan. Fungsi fisik penyimpanan dilakukan APTRI dan pedagang sari tebu. Fungsi fasilitas penanggungan risiko, pembiayaan dan informasi pasar dilakukan pada setiap lembaga tataniaga. Fungsi sortasi dilakukan petani dan kontraktor tebu. Fungsi pengolahan dilakukan oleh pedagang sari tebu yang mengolah tebu menjadi minuman sari tebu.

Struktur pasar yang dihadapi petani, kontraktor tebu dan pedagang sari tebu mendekati pasar persaingan karena terdapat banyak penjual, barang yang homogen dan tidak adanya hambatan untuk keluar dan masuk pasar. Pasar oligopoli dihadapi oleh APTRI dan kelompok tani karena sedikitnya penjual, sifat produk homogen dan ada kesulitan untuk keluar masuk pasar.

Perilaku pasar dapat dilihat dari praktek pembelian dan penjualan, sistem penentuan harga dan pembayaran harga dan kerjasama antara lembaga tataniaga.


(3)

Praktek pembelian dan penjualan dilakukan secara borongan dan secara langsung. Penentuan harga tebu di tingkat petani adalah melalui tawar menawar antara petani dan lembaga tataniaga. Penentuan harga bagi APTRI dan kontraktor tebu berdasarkan harga lelang gula tertinggi dan ketetapan pemerintah. Pembayaran hasil penjualan dilakukan secara tunai dan nota penjualan. Kerjasama antar lembaga tataniaga dijalankan petani dengan APTRI dalam hal penyediaan kredit bagi petani untuk usahatani tebu.

Saluran tataniaga yang efisien dalam sistem tataniaga tebu di Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur adalah saluran tataniaga I. Hal ini dapat dilihat dari nilai margin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya. Namun, slauran tataniaga III yangpaling digemari oleh petani dan memiliki volume penjualan paling besar.


(4)

ANALISIS TATANIAGA TEBU

(Studi Kasus : Desa Pulorejo, KecamatanNgoro,

Kabupaten Jombang, Jawa Timur)

ANGGRIANI PUTRI SOETRISNIATI H34070117

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada

Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(5)

Judul Skripsi : Analisis Tataniaga Tebu (Studi Kasus: Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur) Nama : Anggriani Putri Soetrisniati

NIM : H34070117

Disetujui, Pembimbing

Dr. Ir. Rachmat Pambudy, MS NIP. 19591223 198903 1 002

Diketahui

Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002


(6)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Tataniaga Tebu (Studi Kasus: Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten

Jombang, Jawa Timur)” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2011

Anggriani Putri Soetrisniati H34070117


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 Februari 1989. Penulis merupakan anak tunggal dari pasangan (Alm) Bapak Hadi Soetrisno dan Ibu Sri Soenari.

Penulis mengawali jenjang pendidikan pada Taman Kanak-kanak (TK) Cendrawasih XI-4 pada tahun 1993. Kemudian penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Swasta Kartika XI-6 Jakarta pada tahun 1995 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2004 di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 189 Jakarta. Penulis melanjutkan pendidikan menegah atas dan diselesaikan pada tahun 2007 di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 78 Jakarta.

Penulis diterima pada Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2007. Selama mengikuti pendidikan, penulis tercatat sebagai pengurus Organisasi Himpunan Profesi Mahasiswa Peminat Agribisnis (HIPMA) periode 2009-2010 sebagai bendahara divisi D’soul (Departement of Social and Our Environment Life).


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Tataniaga Tebu (Studi Kasus : Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa

Timur)”. Penulisan skipsi ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk

menyelesaikan Program Sarjana pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui saluran tataniaga tebu yang tercipta di Desa Pulorejo, menganalisis fungsi-fungsi tataniaga tebu, struktur pasar, perilaku pasar yang terjadi, dan menganalisis saluran mana yang lebih efisien berdasarkan margin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis berharap adanya masukan sehingga dapat memperbaiki dan mengembangkan penelitian ini. Akhirnya penulis berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi pembaca dan peneliti selanjutnya.

Bogor, Juli 2011


(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji Tuhan, atas segala kasih dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak atas bimbingan, bantuan dan kerjasamanya, kepada :

1. Papa dan Mama tercinta, Alm. Hadi Soetrisno dan Sri Soenari, dan keluarga yang selalu memberikan kasih sayang, cinta, doa dan dukungan. Semoga ini bisa menjadi persembahan yang terbaik untuk kedua orang tua. 2. Dr. Ir. Rachmat Pambudy, MS selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, menuntun, mengarahkan, dan kesabarannya salam membimbing penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

3. Ir. Wahyu Budi Priatna, M.Si selaku dosen penguji utama dalam ujian skripsi. Terima kasih atas segala saran dan kritik untuk perbaikan skripsi. 4. Suprehatin, SP, MAB selaku dosen penguji komisi pendidikan dalam ujian

skripsi. Terima kasih atas segala saran dan kritik untuk perbaikan skripsi. 5. Dr. Ir. Ratna Winandi, MS yang telah memberikan bimbingan, masukan

dan saran dalam penulisan skripsi.

6. Febriantina Dewi, SE. Msc selaku dosen pembimbing akademik. Terima kasih atas masukan dan saran selama menjadi dosen pembimbig akademik. 7. Direksi PT. Perkebunan Nusantara X yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di Pabrik Gula Tjoekir, Pak Gufron selaku ketua bagian tanaman dan Pak Aziz selaku ketua bagian pengolahan di PG Tjoekir yang telah membantu mengumpulkan data.

8. Yayasan Karya Salemba Empat dan PT. Indofood Sukses Makmur Tbk atas beasiswa yang telah diberikan kepada penulis.

9. Bulek Win, Bulek Mi, Budeh Kekes, Om Thomas, Pakdeh Darman, Vindy, Cia, Octa, Abi, Ara terima kasih atas dukungannya.

10.Om Sunendro Widianto, Om Jalal, Pak Robet, Pak Zaenal, Pak Yatimin, Ibu Sus dan petani tebu yang telah membantu dalam pengumpulan data skripsi ini.


(10)

11.Ibu Erma Rahmawati, Pak Heru Widanarko, Pak Asmanu Jose dan Kevin yang telah menjadi keluarga baru selama penelitian di Jombang.

12.Tommy Budiutomo Sigarlaki terima kasih atas kasih sayang, semangat, dukungan, doa yang tulus, bantuan dan kesabaran kepada penulis. Thank’s a lot!!

13.Sahabat-sahabatku Amelia Kartika Yustiarni, Dini Amrilla Utomo, Indah Soekma terima kasih atas semangat, dorongan, pengalaman, petualangan dan persahabatan yang telah kita lalui.

14.Dini Damayanti yang telah menjadi pembahas dalam seminar penulis. 15.Ajul, Aline dan Ade yang telah memberikan semangat dan dukungan.

Terima kasih mau mendengarkan keluh kesah dan membagi keceriaan. 16.Teman-teman “Qwaziorchor” Mala, Meity, Shela, Karina, Debby, Megi,

Iin, Thio dan Arien. Terima kasih atas dukungannya. 17.Eni, Gita, Ririn terima kasih semangatnya

18.Teman-teman agribisnis 44 yang telah menjadi keluarga dan

“kebersamaan” kita tak terkalahkan lah pokoknya. Senang bisa mengenal


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Manfaat penelitian ... 8

1.5. Ruang Lingkup . ... 8

II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Botani Tanaman Tebu ... 9

2.2. Syarat Tumbuh Tebu ... 11

2.3. Manfaat Tebu ... 13

2.4. Budidaya dan Perbanyakan Tebu ... 14

2.5. Panen dan Pascapanen Tebu ... 15

2.6. Penelitian Mengenai Tataniaga Tanaman Perkebunan ... 15

2.6. Penelitian Mengenai Komoditas Tebu ... 17

III KERANGKA PEMIKIRAN ... 20

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ... 20

3.1.1. Sistem Tataniaga ... 20

3.1.2. Lembaga dan Saluran Tataniaga ... 22

3.1.3. Fungsi-fungsi Pemasaran ... 23

3.1.4. Struktur Pasar ... 24

3.1.5. Perilaku Pasar ... 26

3.1.6. Margin Pemasaran ... 27

3.1.7. Farmer’s Share ... 29

3.1.8. Rasio Keuntungan Terhadap Biaya ... 30

3.1.9. Efisiensi Pemasaran ... 30

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ... 31

IV METODE PENELITIAN ... 34

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 34

4.2. Jenis dan Sumber Data ... 34

4.3. Metode Pengumpulan Data ... 34

4.4. Metode Analisis Data ... 35

4.4.1. Analisis Saluran Tataniaga dan Lembaga Tataniaga ... 36

4.4.2. Analisis Fungsi-fungsi Pemasaran ... 36

4.4.3. Analisis Struktur Pasar ... 37


(12)

4.4.5. Analisis Efisiensi Pemasaran ... 37

4.5. Definisi Operasional ... 39

VI GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN... 41

5.1.Letak dan Keadaan Geografi Daerah Penelitian ... 41

5.2. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ... 42

5.3. Karakteristik Petani Responden ... 43

VI PEMBAHASAN ... 47

6.1. Sistem Tataniaga ... 47

6.2. Saluran Tataniaga ... 48

6.2.1. Saluran Tataniaga 1 ... 49

6.2.2. Saluran Tataniaga 2 ... 50

6.2.3. Saluran Tataniaga 3 ... 52

6.2.4. Saluran Tataniaga 4 ... 53

6.3. Analisis Fungsi-fungsi Tataniaga ... 54

6.3.1. Petani ... 54

6.3.2. Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) ... 56

6.3.3. Kelompok Tani ... 57

6.3.4. Kontraktor Tebu ... 58

6.3.5. Pedagang Sari Tebu ... 60

6.4. Analisis Struktur Pasar ... 61

6.4.1. Struktur Pasar di Tingkat Petani ... 61

6.4.2. Struktur Pasar di Tingkat Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) ... 62

6.4.3. Struktur Pasar di Tingkat Kelompok Tani ... 62

6.4.4. Struktur Pasar di Tingkat Kontraktor Tebu ... 63

6.4.5. Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Sari Tebu ... 63

6.5. Analisis Perilaku Pasar ... 64

6.5.1. Praktek Pembelian dan Penjualan ... 64

6.5.2. Sistem Penentuan Harga dan Pembayaran Harga ... 66

6.5.3. Kerjasama Antara Lembaga Tataniaga ... 68

6.6. Analisis Margin Tataniaga ... 69

6.7. Farmer’s Share ... 74

6.8. Rasio Keuntungan Terhadap Biaya ... 75

6.9. Efisiensi Saluran Tataniaga ... 77

VII KESIMPULAN DAN SARAN ... 79

7.1.Kesimpulan ... 79

7.2.Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 81


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Luas Areal Tanaman Perkebunan Indonesia... 2 2. Produksi Tanaman Perkebunan Indonesia... 3 3. Produksi Tebu Berdasarkan Provinsi

di Indonesia ... 4 4. Data Statistik Tebu Provinsi Jawa Timur

Tahun 2008 ... 5 5. Varietas dan Karakteristik Tebu

di Indonesia ... 9 6. Ringkasan Hasil Penelitian Terdahulu ... 18 7. Perbandingan Struktur Pasar ... 26 8. Komposisi Sebaran Penduduk berdasarkan Usia dan Jenis

Kelamin di Desa Pulorejo Tahun 2009 ... 42 9. Mata Pencaharian Penduduk menurut Jenis Kelamin

di Desa Pulorejo Tahun 2009 ... 43 10. Karakteristik Petani Responden berdasarkan Usia di Desa

Pulorejo Tahun 2011 ... 44 11. Karakteristik Petani Responden berdasarkan Tingkat

Pendidikan di Desa Pulorejo Tahun 2011 ... 45 12. Status Usahatani Petani Responden di Desa Pulorejo

Tahun 2011 ... 45 13. Karakteristik Petani Responden berdasarkan Luas Lahan

yang Digunakan Usahatani Tebu Tahun 2011 ... 46 14. Karakteristik Petani berdasarkan Status Kepemilikan

Tahun 2011 ... 46 15. Biaya Tataniaga Tebu Setiap Lembaga Tataniaga pada

Saluran Tataniaga 1 ... 70 16. Biaya Tataniaga Tebu Setiap Lembaga Tataniaga pada

Saluran Tataniaga 2 ... 71 17. Biaya Tataniaga Tebu Setiap Lembaga Tataniaga pada

Saluran Tataniaga 3 ... 72 18. Biaya Tataniaga Tebu Setiap Lembaga Tataniaga pada

Saluran Tataniaga 4 ... 72 19. Margin Tataniaga Tebu Setiap Saluran Tataniaga di Desa


(14)

20. Analisis Farmer’s Share Pada Saluran Tataniaga Tebu

di Desa Pulorejo Tahun 2011 ... 75 21. Analisis Keuntungan terhadap Biaya pada Lembaga


(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kurva Marjin Pemasaran ... 28 2. Kerangka Pemikiran Operasional

Sistem Tataniaga Tebu ... 33 3. Sistem Tataniaga Tebu di Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro,


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Data Petani Tebu di Desa Pulorejo Tahun 2011 ... 84 2. Harga Tebu, Tetes dan Natura

di Desa Pulorejo Tahun 2011 ... 85 3. Margin Tataniaga Berdasarkan Harga Tebu

di Desa Pulorejo Tahun 2011 ... ... 86 4. Kuisioner Petani Tebu ... 87 5. Kuisioner Lembaga Tataniaga ... 89


(17)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Krisis ekonomi yang pernah melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan berbagai dampak yang serius. Dampak yang timbul akibat krisis ekonomi di Indonesia adalah penurunan secara drastis nilai tukar rupiah terhadap dollar, penyerapan tenaga kerja melambat, inflasi yang tidak terkendali, jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan meningkat drastis, dan kejahatan meningkat. Indonesia mencoba keluar dari krisis yang melanda saat itu dengan berbagai langkah. Langkah keluar didasarkan pada beberapa aspek: kebijakan makro, moneter dan fiskal untuk mengatasi masalah nilai tukar, inflasi dan memburuknya perekonomian, kebijaksanaan restrukturisasi sektor riil dan penanggulangan dampak sosial.

Salah satu subsektor penting yang dapat mengurangi dampak krisis ekonomi yang melanda Indonesia adalah subsektor perkebunan. Subsektor perkebunan memiliki kontribusi penting bagi perekonomian Indonesia. Peran subsektor perkebunan dalam pembangunan nasional akan memecahkan masalah-masalah ekonomi nasional. Selain meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB), subsektor perkebunan akan memperluas kesempatan kerja. Penyerapan tenaga kerja di bidang perkebunan mengalami peningkatan dari tahun 2004 sebesar 18,6 juta tenaga kerja menjadi 19 juta tenaga kerja pada tahun 2005. Peningkatan penyerapan tenaga kerja akan mengurangi jumlah pengangguran dan arus urbanisasi. Subsektor perkebunan juga memberikan kontribusi pada peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB). Berdasarkan harga yang berlaku PDB perkebunan terus mengalami peningkatan dari Rp. 49,630.9 miliar pada tahun 2004 menjadi Rp. 81,664 miliar pada tahun 2007. Peningkatan PDB Bruto sekitar 21.5% per tahun. Kontribusi PDB perkebunan terhadap PDB tanpa migas adalah sekitar 2.2% dan 2.0% terhadap total PDB (Direktorat Jendral Perkebunan, 2009).

Peran subsektor perkebunan dalam pembangunan ekonomi nasional diperkuat dengan peningkatan luas areal dan produksi. Data Tabel 1 dapat dilihat pertumbuhan areal perkebunan meningkat 5.3 % per tahun dari total area perkebunan pada tahun 2005-2009. Komoditi yang mengalami pertumbuhan


(18)

adalah kelapa sawit, kopi dan tebu. Peningkatan luas areal perkebunan akan berpengaruh kepada penyerapan tenaga kerja yang lebih banyak pada subsektor perkebunan. Penyerapan tenaga kerja yang baik akan berdampak kepada pengurangan angka pengangguran di Indonesia dan menekan angka urbanisasi karena di pedesaan telah tercipta lapangan pekerjaan yang mampu menyerap tenaga kerja dengan baik.

Tabel 1. Luas Areal Tanaman Perkebunan di Indonesia (1000 Ha)

Komoditi Tahun Pertumbuhan (%)

per tahun

2005 2009*

Karet 512.4 514.0 0.07

Kelapa Sawit 3593.4 4520.6 6.4

Tembakau 4.8 4.5 -1.5

Kopi 52.9 58.3 5.4

Tebu 381.8 443.8 4.1

Teh 81.7 67.1 -4.4

Total 4627.0 5608.3 5.30

*: Angka Sementara

Sumber : BPS Republik Indonesia (2010)

Selain luas areal yang mengalami peningkatan, produksi perkebunan juga mengalami kenaikan sebesar 7.1% per tahun dalam periode empat tahun. Komoditi perkebunan yang mengalami peningkatan paling besar adalah kelapa sawit sebesar 7.4% per tahun dan tembakau yang mengalami penurunan paling besar sebesar 6.8% per tahun.


(19)

Tabel 2. Produksi Tanaman Perkebunan di Indonesia (Ribu Ton)

Komoditi Tahun Pertumbuhan (%)

per tahun

2005 2009*

Karet 432.2 529.6 5.6

Kelapa Sawit 12258.7 15892.1 7.4

Tembakau 4.0 2.9 -6.8

Kopi 24.8 28.4 3.6

Tebu 2241.7 2849.8 6.7

Teh 128.2 114.9 -2.6

Total 15.090 19.418 7.1

*: Angka Sementara

Sumber : BPS Republik Indonesia (2010)

Tebu merupakan salah satu tanaman perkebunan yang turut berperan dalam pembangunan ekonomi nasional dan memberikan kontribusi yang cukup besar pada subsektor perkebunan. Indonesia mempunyai keunggulan komparatif sebagai produsen gula tebu dilihat dari sisi sumber daya alam dan iklim. Tanaman tebu merupakan tanaman perkebunan semusim, yang mempunyai sifat tersendiri sebab didalam batangnya terdapat zat gula. Tebu hasil panen dari petani dapat dijual kepada pabrik gula yang akan diolah menjadi gula ataupun kepada tengkulak dan makelar. Produksi tebu ini ditujukan untuk memenuhi permintaan pasar akan produk olahan tebu ini. Permintaan akan gula sebagai produk olahan tebu ini makin meningkat sedangkan produksi dalam negeri belum dapat memenuhi permintaan pasar yang semakin besar. Pengembangan perlu dilakukan pada usaha tebu ini agar produksinya semakin meningkat dan dapat memenuhi permintaan pasar dalam negeri. Tebu dapat dikonsumsi dalam bentuk segar, diambil sari tebu kemudian menjadi minuman dan olahan tebu menjadi gula. Pada tabel 1 terlihat bahwa tanaman tebu memiliki pertumbuhan luas areal yang besar sekitar 4.1% sedangkan pertumbuhan produksi tebu mengalami peningkatan sekitar 6.7%.

Indonesia memiliki sentra-sentra produksi tebu yang selama ini menghasilkan tebu untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat akan gula. Salah satu


(20)

sentra tebu di Indonesia adalah Provinsi Jawa Timur. Menurut data statistik areal perkebunan yang paling luas adalah Jawa Timur dengan pertumbuhan luas areal sekitar 8.78 % per tahun pada tahun 2005 sebesar 169.338 Ha menjadi 213.944 tahun 2008. Pertumbuhan areal perkebunan tebu di Indonesia sekitar 9.5% per tahun dari total areal perkebunan tebu menurut provinsi di Indonesia (Direktorat Jendral Perkebunan, 2009).

Produksi tebu dapat berpengaruh terhadap pengembangan ekonomi nasional. Makin banyak tebu yang dihasilkan maka kontribusi subsektor perkebunan terhadap pengembangan ekonomi nasional akan meningkat. Produksi tebu di beberapa provinsi mengalami fluktuasi pada tahun 2006-2009. Provinsi Jawa Timur mengalami peningkatan produksi sebesar 273.618 ton dari tahun 2006-2007 dan mengalami penurunan di tahun 2008 sebesar 38.195 ton. Kemudian mengalami peningkatan kembali di tahun 2009 sebesar 4.385 ton.

Tabel 3. Produksi Tebu Berdasarkan Provinsi di Indonesia (Ton)

Provinsi Tahun

2006 2007 2008 2009*

Sumatera Utara 50.620 48.689 40.585 31.008

Sumatera Selatan

58.978 56.318 58.861 79.560

Lampung 693.550 714.641 810.681 934.244

Jawa Barat 113.338 127.470 111.781 124.470

Jawa Tengah 260.796 249.526 266.891 278.874

DI. Yogyakarta 13.423 15.785 15.648 26.756

Jawa Timur 1.067.301 1.340.919 1.302.724 1.307.109

Gorontalo 30.729 51.462 25.736 25.794

Sulawesi Selatan

18.242 19.149 35.521 41.954

Total 2.306.977 2.623.959 2.668.428 2.849.769

*: Angka Sementara


(21)

Kabupaten Jombang merupakan salah satu wilayah penghasil tebu di Provinsi Jawa Timur. Luas areal yang ditanami tebu pada tahun 2008 sebesar 13.207 Ha dari 25.060 Ha wilayah perkebunan di Kabupaten Jombang dan produksinya mencapai 74.493 Ton. Tabel 4 akan memperlihatkan data luas areal dan produksi tebu di Provinsi Jawa Timur.

Tabel 4. Data Statistik Tebu Provinsi Jawa Timur Tahun 2008

Kabupaten / Kota Luas Areal (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Kg/Ha)

Gresik 2.280 13.412 6.356

Sidoarjo 6.768 35.286 5.794

Mojokerto 11.272 69.119 6.435

Jombang 13.207 74.943 5.878

Bojonegoro 1.304 7.378 6.128

Lamongan 2.655 15.928 7.286

Madiun 6.508 31.628 5.042

Magetan 6.875 41.820 7.689

Ngawi 6.857 39.478 6.857

Ponorogo 2.838 17.900 6.824

Kediri 17.115 120.560 8.471

Nganjuk 4.113 30.793 7.487

Blitar 9.443 58.220 6.651

Tulungagung 5.957 42.434 7.123

Trenggalek 1.065 9.451 8.874

Malang 28.500 172.947 6.505

Pasuruan 5.914 32.416 6.928

Probolinggo 2.730 21.324 8.892

Lumajang 16.949 102.791 6.355

Bondowoso 6.590 35.507 5.852

Jember 8.045 45.811 5.915

Banyuwangi 2.745 14.102 7.521

Kota Kediri 3.496 20.397 6.424


(22)

Kecamatan Ngoro merupakan salah satu sentra penghasil tebu di Kabupaten Jombang. Luas areal yang ditanami tebu pada tahun 2007 sebesar 971,070 Ha dari 1278.18 Ha wilayah perkebunan kecamatan Ngoro. Tebu yang dihasilkan di wilayah kecamatan Ngoro pada tahun 2007 sebesar 771.126,69 ton. Hasil tebu dari kecamatan Ngoro akan berkontribusi untuk memenuhi permintaan masyarakat akan gula. Salah satu desa yang berada pada Kecamatan Ngoro sebagai penghasil tebu adalah Desa Pulorejo. Mayoritas penduduknya memiliki lahan yang ditanami tebu dan bekerja sebagai petani tebu.

Semakin besar permintaan masyarakat akan gula maka petani penghasil tebu harus meningkatkan hasil produksinya agar permintaan tersebut terpenuhi. Kecamatan Ngoro sebagai salah satu daerah penghasil tebu akan berusaha mengoptimalkan hasil produksinya agar dapat berkontribusi dalam pemenuhan permintaan gula di Indonesia. Peningkatan hasil produksi yang dilakukan oleh petani juga akan mendapatkan tantangan. Salah satu tantangan yang akan dihadapi oleh petani dalam meningkatkan hasil produksinya adalah mempertahankan dan mengembangkan pangsa pasar yang telah ada. Cara untuk mempertahankan dan mengembangkan pangsa pasar dapat melalui peningkatan kualitas tebu yang dihasilkan oleh petani, peranan lembaga-lembaga dalam tataniaga dan peningkatan produksi yang dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kinerja kerja petani dan cara budidaya yang baik.

Kendala yang terjadi pada petani tebu yaitu semakin banyak petani yang menjual secara bebas tebu miliknya kepada kontraktor tebu. Petani yang menjual tebu ke kontraktor tidak ingin sulit dalam mengurus hasil tebu dan biaya-biaya pemanenan dan pengangkutan dibayarkan oleh kontraktor. Masih banyak juga petani yang menjual tebunya melalui Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia dan biaya-biaya pemanenan di tanggung oleh petani. Petani tidak mengetahui saluran mana yang lebih efisien dalam menjual tebu hasil perkebunannya. Ketidaktahuan petani ini memaksa petani menjual tebunya sesuai kebutuhan petani. Selain mekanisme pemasaran yang belum efisien, teknik budidaya tebu akan menentukan kualitas tebu tersebut. Sebagai contoh, jika petani tidak mengelupas batang yang telah mengering, hal ini akan menghambat tebu untuk mengubah


(23)

zat-zat unsur hara menjadi gula. Sehingga tebu yang dihasilkan memiliki rendemen yang rendah.

1.2. Perumusan Masalah

Kualitas tebu yang dihasilkan petani tidak sesuai dengan rencana rendemen pabrik mengindikasikan bahwa budidaya yang dilakukan oleh petani tebu belum sesuai dengan prosedur. Banyaknya saluran yang tercipta pada pemasaran tebu dan ketidaktahuan petani dalam menetukan saluran yang lebih efisein mengindikasikan sistem tataniaga tebu yang ada pada Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang tidak efisien. Selain itu, keuntungan yang diterima petani bila dibandingkan dengan biayayang akan dikeluarkan sangat kecil. Sistem tataniaga tebu yang tidak efisien akan mengakibatkan terciptanya marjin tataniaga yang cukup besar dan adanya kesenjangan harga antar lembaga tataniaga. Posisi tawar petani tebu (bargaining position) sangat rendah karena petani tidak dapat menentukan harga dari tebu yang dihasilkannya dan kurangnya informasi pasar yang tersedia bagi petani sehingga bagian yang diterima oleh petani sedikit.

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana saluran tataniaga tebu yang terbentuk di Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang?

2. Bagaimana fungsi, struktur dan perilaku pasar tataniaga tebu di Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang?

3. Bagaimana efisiensi tataniaga tebu pada setiap saluran tataniaga di Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang dengan pendekatan marjin tataniaga , farmer’s share dan rasio biaya dan keuntungan.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi saluran tataniaga tebu yang terbentuk di Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang.


(24)

2. Mengidentifikasi fungsi, struktur dan perilaku pasar tataniaga tebu di Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang.

3. Mengidentifikasi efisiensi tataniaga tebu pada setiap saluran tataniaga di Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang dengan pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio biaya dan keuntungan.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Bagi petani, sebagai informasi dalam upaya melakukan efisiensi jalur tataniaga tebu sehingga kesejahteraan petani meningkat.

2. Bagi pemerintah, sebagai bahan masukan dalam membuat kebijakan untuk mengefisiensikan tataniaga tebu.

3. Bagi pihak lain, sebagai bahan referensi dalam upaya penyempurnaan masalah penelitian

4. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan baru bagi penulis dan meningkatkan kompetensi dalam menerapkan ilmu yang diperoleh dalam proses perkuliahan agribisnis.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang. Petani yang dijadikan contoh dalam penelitian ini adalah petani yang berada di desa Pulorejo yang melakukan usahatani tebu. Selain itu, lembaga pemasaran yang menjadi responden adalah lembaga yang terlibat langsung dalam proses tataniaga tebu di Desa Pulorejo.

Analisis penelitian ini dibatasi untuk melihat dan mengkaji saluran pemasaran tebu di daerah penelitian. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio biaya dan keuntungan untuk melihat tingkat efisiensi tataniaga tebu.


(25)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Botani Tanaman Tebu

Tebu (Saccharum officinarum) telah dikenal sejak beberapa abad yang lalu oleh bangsa Persia, Cina, India dan kemudian menyusul bangsa Eropa. Penanaman tebu di Indonesia dimulai pada saat sistem Tanam Paksa (Tahun 1870) yang memberikan keuntungan besar untuk kas negara pemerintah kolonial Belanda. Setelah sistem Tanam Paksa dihentikan, usaha perkebunan tebu dilakukan oleh pengusaha-pengusaha swasta perluasan perkebunan tebu tidak pernah melampaui Pulau Jawa karena memang jenis tanaman dan pola pertanian di Pulau Jawa lebih sesuai untuk penanaman tebu.

Tanaman tebu merupakan tanaman perkebunan semusin yang mempunyai sifat tersendiri sebab didalam batangnya terdapat zat gula. Tebu berkembang biak di daerah beriklim udara sedang sampai panas. Berbagai varietas tebu telah diluncurkan oleh Kementrian Pertanian untuk meningkatkan produksi petani. Kualitas bibit tebu merupakan salah satu faktor yang sangat menetukan keberhasilan pengusahaan tanaman tebu. Bibit tebu yang baik adalah bibit yang cukup (5 – 6 bulan), murni (tidak tercampur varietas lain), bebas dari penyakit dan tidak mengalami kerusakan fisik. Pada tabel 5 dapat dilihat beberapa varietas tebu beserta ciri-cirinya.

Tabel 5. Varietas dan Karakteristik Tebu yang terdapat di Indonesia

Varietas Diameter batang Kemasakan Rendemen

PS 851 Sedang Awal – tengah 10,74

PS 862 Besar Awal – tengah 10,87

PS 863 Sedang Awal – tengah 11,75

PS864 Sedang Tengahan - lambat 8,34

PS 865 Sedang Awal – tengah 9,38

PS 881 Sedang Awal 10,22


(26)

PS 921 Sedang Tengahan 8,53

PSBM 901 Sedang Awal – tengah 9,93

PSCO 902 Sedang Sangat awal 10,99

PSJT 941 Sedang Tengahan 10,18

Bululawang Sedang - besar Tengah - lambat 7,51

Kentung Sedang Awal – tengah 8,33

Kidang Kencana

Sedang - besar Tengah - lambat 9,51

Sumber : Kementerian Pertanian, 2009

Varietas tebu yang terdapat di Kabupaten Jombang / Kecamatan Ngoro adalah varietas PS 864. Varietas ini dikeluarkan Menteri Pertanian 16 Januari 2004. Varietas ini hasil persilangan PR 1117 Polycross pada tahun 1986. Varietas ini termasuk ke dalam varietas unggul yang dikeluarkan Menteri Pertanian. Perkecambahan varietas ini sangat baik dengan anakan yang serempak, klentekan mudah. Rendemen varietas ini mencapai 8,34 pada lahan sawah dan 9,19 pada lahan tegalan. Varietas ini agak tahan terhadap hama penggerek pucuk dan tahan terhadap penyakit-penyakit pokkahbung, blendok dan mosaik

Tanaman tebu mempunyai batang yang tinggi dan kurus, tidak bercabang dan tumbuh tegak. Tebu yang tumbuh baik batangnya dapat mencapai 3 -5 meter atau lebih. Batang tebu beruas-ruas dengan panjang ruas 10 – 30 cm. Daun berpangkal pada buku batang dengan kedudukan yang berseling.

2.2. Syarat Tumbuh Tebu

Tanaman tebu merupakan salah satu tanaman perkebunan. Hasil dari tanaman tebu ini berupa batang tebu yang terdapat zat gula. Batang tebu ini yang akan digiling sehingga menghasilkan gula. Masa kemasakan tebu adalah gejala bahwa pada akhir dari pertumbuhannya terdapat timbunan sakrosa di dalam batang tebu.

Tebu dapat hidup dengan baik pada ketinggian 5 – 500 meter di atas permukaan laut, daerah beriklim panas dan lembab dengan kelembaban lebih dari


(27)

70%, hujan yang merata setelah tanaman berumur 8 bulan dan suhu udara berkisar antara 28 – 340c (Slamet, 2004).

2.2.1. Tanah

Faktor tanah yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tebu adalah fisik tanah, drainase, kimia tanah dan jenis tanah.

 Fisik tanah

Struktur tanah yang ideal adalah tanah yang gembur sehingga aerasi udara dan perakaran berkembang sempurna. Tekstur tanah ringan sampaiagak berat dengan berkemampuan menahan air cukup dan porositas 30% merupakan tekstur tanah yang ideal bagi pertumbuhan tanaman tebu. Kedalaman tanah untuk pertumbuhan tebu minimal 50 cm dengan tidak ada lapisan kedap air dan permukaan air 40 cm.

 Drainase

Tanaman tebu akan tumbuh baik pada tanah dengan kedalaman yang cukup dengan drainase yang baik dan dalam, lebih kurang satu meter dalamnya. Tanah dengan sistem drainase yang baik dapat menyalurkan pembuangan air selama musim penghujan. Kelebihan air pada daerah perakaran juga dapat dikurangi.

 Kimia tanah

Kimia tanah meliputi kandungan unsur hara, PH tanah dan bahan racun dalam tanah. PH tanah untuk pertumbuhan tanaman tebu yang paling optimal berkisar antara 6,0 – 7,5. Bahan racun dalam tanah utamanya adalah unsur Clor (Cl), Fe dan Al. Kadar Cl 0,06 - ),1 % telah bersifat racun bagi akar tanaman.

 Jenis tanah

Tanaman tebu dapat tumbuh baik pada berbagai jenis tanah seperti tanah alluvial, grumosol, latosol dan regusol. Tanah yang baik untuk ditanami tebu adalah tanah endapan abu kepulan seperti yang terdapat di Yogyakarta, Surakarta, Kediri, Jombang dan Jember.


(28)

2.2.2. Lahan

Tanaman tebu dapat tumbuh baik dipantai sampai dataran tinggi antara 0 – 1400 m diatas permukaan laut, tetapi mulai ketinggian 1200 m diatas permukaan laut pertumbuhan tanaman relatif lambat. Lahan terbaik bagi tanaman tebu dilahan kering/tegalan adalah lahan dengan kemiringan kurang dari 8% sampai 10% dapat juga digunakan untuk areal yang dilokalisir. Syarat lahan tebu adalah berlereng panjang, rata dan melandai sampai 2% apabila tanahnya ringan dan sampai 5% apabila tanahnya lebih berat.

2.2.3. Iklim

Faktor iklim yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman tebu adalah curah hujan, temperatur, sinar matahari, angin dan kelembaban udara.

 Curah hujan

Tanaman tebu memerlukan curah hujan yang berkisar antara 1.000 – 1.300 mm pertahun dengan sekurang-kurangnya tiga bulan kering. Daerah dengan curah hujan tahun terbesar 1500 – 3000 mm diikuti dengan penyebaran sesuai dengan kebutuhan tanaman tebu merupakan daerah yang baik untuk pengembangan tebu. Daerah dengan jumlah curah hujan terbesar 1200 – 1300 mm dengan bulan kering 6-7 bulan masih dapat dikembangkan asalkan kelembaban tanah cukup tinggi dan dapat diusahakan pengairan. Selama periode pemanasan tebu dibutuhkan bulan kering, curah hujan diatas evapotranspirasi mengakibatkan kemasakan tebu terlambat dan kadar gula rendah.

 Temperatur

Suhu udara minimum yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman tebu adalah 240 C dan maksimum adalah 340 C sedangkan temperatur optimum adalah 300 C. Pertumbuhan tanaman akan terhenti apabila suhu dibawah 150 C. Pembentukan sukrosa terjadi disiang hari dan berjalan secara optimal pada suhu 300 C. Sukrosa yang terbentuk pada malam hari akan ditimbun/disimpan pada batang dimulai dari ruas yang paling bawah. Penyimpanan sukrosa yang paling efektif dan optimal pada suhu 150 C.


(29)

 Sinar matahari

Tanaman tebu merupakan tanaman tropik yang membutuhkan penyinaran 12 – 14 jam setiap harinya. Pada kondisi seperti itu tanaman akan tumbuh baik dan dapat menghasilkan bunga. Cuaca yang berawan pada malam hari menaikkan suhu udara, karena panas yang dilepas oleh bumi tertahan oleh awan. Suhu yang meningkat dimalam hari akan mengakibatkan pernafasan dan menurunkan pennimbunan sukrosa pada batang tebu.

 Angin

Angin berperan untuk kelancaran pertukaran udara didalam kebun tebu, keseimbangan kelembaban udara dan mengatur kadar zat asam arang (CO2) disekitar tajuk untuk proses fotosintesa. Angin dengan kecepatan kurang dari 10 km/jam disiang hari akan berdampak positif bagi pertumbuhan tebu, angin keras atau angin dengan kecepatan melebihi 10 km/jam disertai hujan lebat akan menggangu perumbuhan tanaman tebu. Tanaman tebu yang tinggi dapat patah dan roboh sehingga mengganggu fotosintesa dan penebangan.

 Kelembaban udara

Kelembaban udara ralatif tidak banyak mempengaruhi pertumbuhan vegetatif tanaman tebu asal tersedia air yang cukup. Kelembaban yang rendah (45 – 65%) sangat baik untuk pemasakan karena tebu sangat cepat kering.

2.3. Manfaat Tebu

Tebu digunakan sebagai bahan baku gula, selain itu tebu juga banyak khasiat sebagai obat. Batang tebu mengandung air gula yang berkadar sampai 20%. Manfaat tebu dapat digunakan untuk dikonsumsi langsung dengan cara dibuat jus, dibuat tetes rum dan dibuat menjadi ethanol yang nantinya digunakan sebagai bahan bakar. Ekstrak sari tebu dapat memberikan kekuatan gigi dan gusi. Air tebu dapat dimanfaatkan sebagai penyembuh sakit tenggorokan, mencegah sakit flu, menjaga badan kita sehat, sebagai pemanis untuk penderita diabetes karena kadar gula rendah dan menjaga metabolisme tubuh.


(30)

2.4. Budidaya dan Perbanyakan Tebu

Perbanyakan tanaman tebu dilakukan secara vegetatif, baik dalam bentuk stek atau batang tebu yang mempunyai ruas dengan bakal tunasnya. Perbanyakan melalui vegetatif akan mempunyai konsekuensi diperolehnya karakteristik keturunan yang identik dengan tetuanya. Pada dasarnya bibit yang digunakan harus baik, yakni harus sehat dan segar. Kemurnian varietas harus di atas 99% dan daya tumbuh 95%.

Usaha budidaya tebu bergantung pada kualitas bibit yang digunakan. Komposisi varietas masak awal, tengah,dan akhir perlu diperhatikan agar rendemen tebu giling dapat diperoleh hasil yang terbaik. Idealnya bibit dipanen pada umur tujuh bulan agar hasil yang diperoleh maksimal. bibit tebu tidak memerlukan rendemen yang tinggi sehingga dosis nitrogen dan penggunaan komposnya dapat ditingkatkan, sehingga pertumbuhannya lebih baik dan produktivitas tebu meningkat.

Pembukaan dan penanaman dimulai dengan pembuatan got-got. Ukuran got standar untuk got got keliling atau mujur lebar 60 cm dan dalam 70 cm sedangkan untuk got malang atau palang lebar 50 cm dan dalam 60 cm. Tanah yang akan digunakan untuk menanam diberikan TSP sebanyak 1 kuintal/ha. Tanah digaris menggunakan alat yang runcing dengan kedalaman 5-10 cm kemudian bibit dimasukan ke dalam bekas garisan dengan mata bibit menghadap ke samping. Bibit tersebut ditimbun dengan tanah. Waktu tanam yang tepat di lahan kering atau tegalan pada periode I adalah awal musim bulan Mei-Agustus sedangkan periode II adalah awal musim hujan bulan September-November. Sulam dilakukan 5-7 hari setelah tanam untuk mengetahui bibit yang mati. Memasuki minggu 3-4 dilakukan pembumbunan tanah dengan cara membersihkan rumput dan membalik tanah. Pelepasan daun kering dari ruas-ruas tebu dilakukan selama tiga kali agar ruas-ruas tebu bersih dan akar-akar baru segera tumbuh dari ruas-ruas yang paling bawah. Batang-batang tebu yang roboh atau miring perlu diikat, baik silang dua maupun silang empat. Pemupukan dengan memberikan pupuk ZA dengan ketentuan standar tebang I 0,5-1 kuintal/ha dan tebang II (tebu tunas) 1,5-2 kuintal/ha.


(31)

2.5. Panen dan Pascapanen tebu

Panen tebu dilakukan pada tingkat kemasakan optimum, yaitu pada saat tebu dalam kondisi mengandung gula tertinggi. Umur panen tanaman tebu berbeda-beda tergantung jenis tebu. Varietas genjah masak optimal pada umur lebih dari 12 bulan, varietas sedang masak optimal pada umur 12-14 bulan,dan varietas dalam masak optimal pada umur lebih dari 14 bulan. Panen dilakukan pada bulan Agustus saat rendemen maksimal dicapai.

Tanaman tebu yang telah memasuki umur cukup untuk panen kemudian dilakukan tebang angkut. Kegiatan tebang angkut harus tepat karena penanganan yang tidak tepat dapat menimbulkan kerugian cukup besar. Panen tebu dilakukan dengan menebang batang-batang tebu yang sehat, mengumpulkan dan mengangkut ke pabrik gula untuk digiling. Penebangan dapat dilakukan secara manual maupun secara mekanis atau tenaga mesin. Penebangan tebu secara manual dilakukan dengan caramembongkar guludan tebu dan mencabut batang-batang tebu secara utuh kemudian dibersihkan dari akar, pucuk, daun kering, dan kotoran lainnya. Tebangan yang baik harus memenuhi standar kebersihan tertentu yaitu kotoran tidak lebih dari 5%.

Hasil utama pengolahan tebu adalah gula pasir yang diproduksi sesuai dengan proses pengolahan tertentu untuk memperoleh mutu yang dikehendaki dan memenuhi standar pasar. Produk utama yang dihasilkan berupa gula kristal putih yang dikenal pasar dengan sebutan SHS (Superieure Hoofd Suiker). Selain gula kristal pengolahan tebu juga menghasilkan tetes (mosale) yang digunakan sebagai bahan baku pabrik alkohol atau spiritus dan MSG didalam negeri atau ekspor. Limbah pengolahan tebu dapat dimanfaatkan. Blotong atau filtercake dapat dimanfaatkan untuk pupuk dan sebagian lain perlu penangan khusus agar tidak mencemarkan lingkungan.

2.6. Penelitian Mengenai Efisiensi Tataniaga Tanaman Perkebunan

Kertawati (2008) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Sistem

Tataniaga Tembakau Mole” (studi kasus : Desa Ciburial, Kecamatan Leles,

Kabupaten Garut, Jawa Barat). Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis kualitatif dan analisis kuantitaif. Hasil penelitiannya mengenai sistem


(32)

tataniaga tembakau mole di Desa Ciburial dibagi menjadi empat saluran yaitu: Saluran Pemasaran I. Petani – Bandar/Supplier – Pabrik Rokok (PT Sampoerna dan PT Djarum). Saluran Pemasaran II. Petani – Pedagang Pengumpul – bandar/supplier - Pabrik Rokok (PT Sampoerna dan PT Djarum). Saluran Pemasaran III. Petani – pedagang pengumpul – pabrik guntingan – pedagang pengecer luar daerah. Saluran Pemasaran IV. Petani – pedagang pengecer – konsumen akhir.

Saluran pemasaran yang paling efisien adalah saluran pemasaran I, hal ini dapat dilihat berdasarkan volume penjualan tembakau mole yang paling besar, merupakan saluran yang paling sering digunakan oleh petani, mempunyai marjin dan farmer’s share yang besar dan memiliki pola saluran tataniaga yang pendek.

Hutzi (2009) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Pendapatan Usahatani dan Saluran Pemasaran Teh Perkebunan Rakyat” (studi kasus : Perkebunan Teh Rakyat, Kecamatan Sukanagara, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat). Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis kualitatif dan analisis kuantitaif. Hasil penelitiannya mengenai saluran pemasaran teh di Kecamatan Sukanagara terbagi menjadi tiga saluran pemasaran yaitu : Saluran Pemasaran I. Petani – Tempat Pengumpulan Hasil (TPH) – pabrik pengolahan. Saluran Pemasaran II. Petani – pabrik pengolahan. Saluran Pemasaran III. Petani – pedagang pengumpul (tengkulak) – pabrik pengolahan.

Saluran pemasaran yang paling efisien adalah saluran pemasaran II karena farmer’s share dan marjin yang besar dan jalur pemasarannya lebih pendek. Petani lebih banyak menggunakan saluran pemasaran III karena adanya ikatan utang piutang dengan tengkulak berupa pinjaman seperti biaya rumah tangga dan bahan input.

Maimun (2009) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Pendapatan Usahatani, Nilai Tambah dan Saluran Pemasaran Kopi Arabika Organik dan Non Organik Aceh Tengah” (studi kasus : pengolahan bubuk kopi ulee kareng di Banda Aceh). Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis kualitatif dan analisis kuantitaif. Hasil penelitiannya mengenai saluran pemasaran kopi arabika organik dan non organik memiliki satu saluran pemasaran yaitu petani –


(33)

pedagang pengumpul desa – pedagang pengumpul kota (besar) – industri bubuk kopi ulee kareng.

Saluran pemasaran yang lebih efisien adalah saluran pemasaran kopi arabika non organik karena memiliki marjin dan farmer’s share yang besar. Perbedaan marjin dan farmer’s share diantara kopi arabika organik dan non organik kecil sehingga marjin dan farmer’s share harus lebih ditingkatkan. Farmer’s share yang tinggi dapat dicapai jika petani mampu meningkatkan kualitas produknya.

Persamaan penelitian Kertawati (2008) , Hutzi (2009) dan Maimun (2009) adalah menggunakan analisis kualitatif dan analisis kuantitaif. Analisis secara kualitatif dilakukan untuk melihat saluran dan lembaga pemasaran, fungsi-fungsi pemasaran, struktur pasar, perilaku pasar, dan keragaan pasar serta permasalahan-permasalahan yang terjadi di lokasi penelitian. Analisis secara kuantitatif dilakukan untuk mengetahui keadaan marjin pemasaran, farmer’s share, dan rasio keuntungan dan biaya. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah komoditi yang diteliti dan lokasi penelitian. Penelitian ini akan meneliti komoditi tebu di Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang.

2.7. Penelitian Mengenai Komoditas Tebu

Yenni (2005) mengenai “Optimalisasi Pengadaaan Tebu Sebagai Bahan Baku Gula” (studi kasus : PT Gunung Madu Plantations, Lampung Tengah). Penelitian ini membahas mengenai perlunya optimalisasi sumber daya yang dimiliki oleh PT. GMT untuk meningkatkan keuntungan dan pengadaan tebu yang optimal. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis sensitivitas dan analisis post optimal. Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah program liniear yang mengasumsikan model mempunyai sifat linearitas, proporsionalitas, additivitas, divisibilitas, dan deterministik.

Persamaan penelitian ini adalah komoditi yang diteliti tebu. Perbedaannya adalah metode analisis yang digunakan dalam penelitian Yenny menggunakan program liniear sedangkan penelitian ini menggunakan marjin pemasaran, farmer’s share, rasio keuntungan dan biaya.


(34)

Lestari (2006) mengenai “Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor – Faktor Produksi dan Pendapaan Petani Tebu Lahan Kering” (studi kasus : kecamatan Trangkil wilayah kerja PG Trangkil Kabupaten Pati – Jawa Tengah). Penelitian ini membahas pengaruh faktor – faktor produksi terhadap pendapatan usahatani tebu tanam dan tebu keprasan. Alat analisis yang digunakan adalah fungsi produksi Cobb – Douglas dan analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C rasio).

Persamaan penelitian ini adalah komoditi yang diteliti tebu. Perbedaannya adalah penggunaan metode analisis yang digunakan dalam penelitian Sri Suci Purbo Lestari menggunakan fungsi produksi Cobb – Douglas dan analisis R/C rasio sedangkan penelitian ini menggunakan menggunakan marjin pemasaran, farmer’s share, rasio keuntungan dan biaya. Lokasi penelitian Lestari di Kabupaten Pati sedangkan penelitian ini dilakukan di Kabupaten Jombang.

Tabel 6. Ringkasan Hasil Penelitian Terdahulu Nama

Peneliti Tahun Judul Penelitian Persamaan Perbedaan Kertawati 2008 Analisis Sistem

Tataniaga

Tembakau Mole di Kabupaten Garut

Alat analisis yang digunakan

Jenis komoditi Lokasi

penelitian i 2009 Analisis Pendapatan

Usahatani dan Saluran Pemasaran Teh Perkebunan

Rakyat di

Kabupaten Cianjur

Alat analisis yang digunakan

Jenis komoditi Lokasi

penelitian

Maimun 2009 Analisis Pendapatan Usahatani, Nilai Tambah dan Saluran Pemasaran Kopi

Alat analisis yang digunakan

Jenis komoditi Lokais


(35)

Arabika Organik dan Non Organik Aceh Tengah

Yenny 2005 Optimalisasi

Pengadaaan Tebu Sebagai Bahan Baku Gula PT Gunung Madu Lestari , Lampung Tengah

Jenis komoditi Alat analisis Lokasi

penelitian

Lestari 2006 Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor – Faktor Produksi dan Pendapaan Petani Tebu Lahan Keringdi PG Trangkil Kabupaten Pati

Jenis komoditi Alat analisis Lokasi


(36)

III.

KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

Kerangka pemikiran teoritis digunakan untuk memberikan gambaran atau batasan-batasan teori yang akan digunakan sebagai landasan dalam penelitian yang akan dilakukan. Batsan-batasan tersebut terkait dengan variabel-variabel yang akan diteliti. Variabel yang akan diteliti pada penelitian ini adalah analisis pemasaran Tebu di Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang terdiri dari saluran pemasaran, lembaga pemasaran, fungsi-fungsi pemasaran, struktur pasar dan perilaku pasar. Selain itu variabel yang akan diteliti meliputi marjin pemasaran, farmer’s share dan rasio keuntungan dan biaya untuk menilai efisiensi pemasaran secara operasional.

3.1.1. Sistem Tataniaga

Definisi tataniaga adalah serangkaian fungsi yang diperlukan dalam penanganan atau pergerakan input ataupun produk mulai dari titik produksi primer sampai ke konsumen akhir (Hammond dan Dahl, 1977). Kohl dan Uhl (2002) menjelaskan bahwa tataniaga adalah seluruh aktivitas bisnis yang terlibat dalam arus produk dan pelayanan dari titik awal produk tersebut dihasilkan hingga produk tersebut sampai ke tangan konsumen. Menurut Kotler (2002), tataniaga adalah suatu proses sosial yang yang didalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan secara bebas mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain. Limbong dan Sitorus (1987) menyatakan bahwa tataniaga mencakup segala aktivitas yang diperlukan dalam pemindahan hak milik yang menyelenggarakan saluran fisiknya termasuk jasa-jasa dan fungsi-fungsi dalam menjalankan distribusi barang dari produsen sampai ke konsumen termasuk didalamnya kegiatan-kegiatan tertentu yang menghasilkan perubahan-perubahan bentuk dari barang yang ditujukan untuk mempermudah penyaluran dan memberikan kepuasan yanng lebih tinggi kepada konsumen. Sehingga tataniaga


(37)

dapat didefinisikan sebagai fungsi yang digunakan untuk menggerakan produk jadi dari produsen hingga konsumen akhir.

Sistem tataniaga merupakan keterkaitan antara sub-sub sistem dalam aliran tataniaga tersebut,mulai dari aliran produk atau jasa yang melibatkan semua perusahaan, industri dengan berbagai aktifitas bisnis (fungsi-fungsi tataniaga) yang sasarannya kepuasan konsumen (Asmarantaka, 2009). Menurut Kohl dan Uhl (1985) menggunakan beberapa pendekatan dalam menganalisis sistem tataniaga yaitu:

 Pendekatan Fungsi (the functional approach), merupakan pendekatan yang mempelajari fungsi-fungsi yang ada dalam proses penyaluran barang dan jasa mulai dari produsen hingga ke konsumen. Pendekatan fungsi terdiri dari : fungsi pertukaran yang meliputi fungsi pembelian dan fungsi penjualan; fungsi fisik yang meliputi fungsi penyimpanan, fungsi pengolahan dan fungsi pengangkutan; dan fungsi fasilitas meliputi fungsi standarisasi dan grading, fungsi pembiayaan, fungsi penanggungan risiko dan fungsi informasi pasar.

 Pendekatan Kelembagaan (the institutional approach), mempelajari dan mengamati peranan lembaga-lembaga yang turut serta dalam proses penyaluran barang dan jasa mulai dari produsen hingga ke konsumen. Kelompok yang terlibat dalam kegiatan tataniaga atau tataniaga adalah pedagang perantara (merchant middlemen), agen perantara (agent middlemen), spekulator (speculative middlemen), pengolahan dan pabrikan (processors and manufactures) dan organisasi (fasilitative organization).  Pendekatan Sistem Perilaku (the behavioral systems approach),

menganalisis aktifitas-aktifitas yang ada dalam proses tataniaga seperti perubahan dan perilaku lembaga tataniaga. Terdapat empat pendekatan dalam sistem perilaku , yaitu input-output system, power system, communications system, dan the behavioral system for adapting to internal and external change.


(38)

3.1.2. Lembaga dan Saluran Tataniaga

Saluran tataniaga adalah serangkaian organisasi yang saling tergantung yang terlibat dalam proses menjadikan produk atau jasa siap digunakan untuk dikonsumsi (Kotler, 2002). Saluran tataniaga dapat didefinisikan sebagai himpunan perusahaan atau perorangan atau serangkaian lembaga-lembaga tataniaga yang mengambil alih hak atas barang dan jasa tertentu selama barang dan jasa tersebut berpindah dari produsen ke konsumen (Limbong dan Sitorus, 1987).

Menurut Limbong dan Sitorus (1987) penyaluran produk yang dihasilkan oleh produsen tidak dapat dilakukan oleh produsen itu sendiri dikarenakan jarak antara produsen dengan konsumen berjauhan, maka fungsi lembaga tataniaga sangat diharapkan untuk menggerakkan produk dari produsen hingga ke konsumen. Perantara ini bisa dalam bentuk perseorangan, perserikatan ataupun perseroan. Fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas ini akan dilakukan oleh lembaga-lembaga perantara tersebut. Lembaga tataniaga ini harus tepat waktu dalam penyaluran barang dan jasa terutama produk pertanian karena sifat dari produk tersebut adalah mudah rusak, volume yang besar dan cepat busuk sehingga dibutuhkan penanganan khusus terhadap produk tersebut.

Menurut Kohl dan Uhl (2002) lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses tataniaga digolongkan menjadi lima kelompok diantaranya :

 Pedagang perantara (merchant middlemen) adalah perantara yang memiliki hak dan menguasai produk yang mereka tangani. Mereka membeli dan menjual produk tersebut untuk mendapatkan keuntungan sendiri. Yang termasuk ke dalam pedagang perantara ini adalah retail dan pedagang grosir.

 Agen perantara (agent middlemen) adalah perwakilan dari institusi atau lembaga mereka tidak memiliki kekuasaan atas produk tersebut. Agen perantara mendapatkan keuntungan komisi dari penanganan atas produk yang dikehendaki oleh lembaga atau institusi. Agen perantara meliputi pencari komisi (commission men) dan broker.


(39)

 Spekulator (speculative middlemen) adalah perantara yang melakukan pembelian dan penjualan atas produk dengan tujuan mendapatkan keuntungan dari pergerakan harga.

 Pengolahan dan pabrikan (processors and manufacture) adalah lembaga yang menangani produk dan merubah bentuk produk yaitu bahan baku menjadi bahan setengah jadi atau produk akhir.

 Organisasi (facilitative organizations) adalah lembaga yang membantu agar aktivitas berjalan dengan lancar.

3.1.3. Fungsi-Fungsi Tataniaga

Limbong dan Sitorus (1985) menyatakan bahwa proses penyampaian barang dari tingkat produsen ke tingkat konsumen diperlukan tindakan-tindakan untuk memperlancar kegiatan tersebut, kegiatan tersebut dinamakan fungsi tataniaga. Fungsi-fungsi tataniaga dikelompokan menjadi tiga fungsi utama, yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas (Kohl dan Uhl 2002).

Fungsi pertukaran (exchange function) adalah kegiatan yang berhubungan dengan pemindahan kepemilikan barang dan jasa yang dipasarkan mulai dari produsen kepada konsumen. Fungsi pertukaran meliputi fungsi pembelian dan fungsi penjualan. Fungsi pembelian dimulai dengan pencarian pemasok kemudian mengubah bahan baku menjadi produk jadi yang akan dijual kepada konsumen untuk memenuhi permintaan akhir konsumen. Fungsi penjualan merupakan kegiatan yang meliputi pencarian tempat, waktu, pengemasan, saluran tataniaga yang tepat untuk melakukan penjualan barang dan jasa yang diinginkan oleh konsumen.

Fungsi fisik (physical function) adalah semua tindakan yang berhubungan dengan barang dan jasa sehingga proses tersebut menimbulkan kegunaan tempat, kegunaan bentuk dan kegunaan waktu. Fungsi fisik terdiri dari (1) fungsi penyimpanan, merupakan kegiatan untuk membuat produk selalu tersedia pada waktu yang dibutuhkan; (2) fungsi pengangkutan, merupakan kegiatan yang bertujuan untuk menyediakan barang dan jasa di daerah konsumen sesuai dengan kebutuhan konsumen menurut waktu, jumlah dan mutu; (3) fungsi pengolahan, merupakan kegiatan untuk meningkatkan nilai tambah pada barang dan jasa


(40)

dengan cara mengolah bahan baku menjadi komoditi yang dibutuhkan oeh konsumen.

Fungsi fasilitas (facilitating function) adalah kegiatan yang bertujuan untuk memperlancar kegiatan pertukaran barang dan jasa antara produsen dan konsumen. Fungsi fasilitas meliputi (1) fungsi standarisasi merupakan suatu keseragaman dalam penentuan kualitas dan kuantitas produk yang akan diproduksi, sedangkan grading adalah pengelompokkan atau pengklasifikasian hasil-hasil produk menurut standarisasi yang diinginkan; (2) fungsi pembiayaan adalah penyediaan biaya untuk berbagai keperluan produksi dan tataniaga; (3) fungsi penanggungan risiko adalah penerimaan kemungkinan kehilangan selama proses tataniaga produk akibat dari risiko fisik maupun risiko pasar; (4) fungsi informasi pasar merupakan kegiatan mengumpulkan informasi pasar dan menafsirkan informasi tersebut.

3.1.4. Struktur Pasar

Struktur pasar adalah karakteristik dari produk maupun institusi yang terlibat pada pasar yang akan memperngaruhi perilaku pasar dan keragaan pasar. Struktur pasar merupakan tipe atau jenis pasar yang didefinisikan sebagai hubungan (korelasi) antara pembeli (calon pembeli) dan penjual (calon penjual) yang secara strategis mempengaruhi penentuan harga dan pengorganisasian pasar (Asmarantaka, 2009).

Menurut Hammond dan Dahl (1997), ada empat karakteristik yang merupakan faktor yang menentukan struktur pasar yaitu (1) jumlah dan ukuran perusahaan; (2) kondisi dan keadaan produk; (3) kemudahan untuk keluar dan masuk pasar; (4) tingkat informasi harga. Kohl dan Dahl (2002) mengelompokkan pasar ke dalam empat struktur pasar yang berbeda, yaitu (1) pasar persaingan sempurna (perfect competition); (2) pasar monopoli atau monopsoni (monopoly/monopsony); (3) pasar oligopoli atau oligopsoni (oligopoly/oligopsony); (4) pasar persaingan monopolistik (monopolistic competition).

Struktur pasar persaingan sempurna adalah pasar dimana terdapat banyak pembeli dan penjual yang memperdagangkan komoditi dimana output yang


(41)

dihasilkan merupakan sebagian kecil dari total komoditi di pasar oleh karena itu komoditi memiliki sifat homogen sehingga pembeli dan penjual tidak dapat mempengaruhi harga di pasar. Tidak ada hambatan untuk memasuki dan keluar pasar baik hambatan dari teknologi, hukum, keuangan maupun hambatan lainnya. Pengetahuan yang dimiliki oleh pembeli dan penjual relatif sempurna dan lengkap.

Struktur pasar monopoli adalah keadaan pasar dimana hanya terdapat satu penjual atau satu pembeli. Seorang monopoli dapat menentukan harga dari ouput yang dihasilkan karena kurva permintaan dari perusahaan sama dengan kurva permintaan dari pasar selain itu penjual juga bebas untuk menentukan tingkatan output yang dihasilkan untuk memaksimalkan keuntungan. Penjual juga memiliki keterbatasan dalam menentukan harga jual dari produk mereka. Dilihat dari sisi permintaan jika harga yang ditetapkan terlalu tinggi maka konsumen akan mencari produk subtitusi. Dilihat dari sisi produksi jika profit yang didapat terlalu tinggi maka perusahaan lain akan mencoba masuk ke dalam pasar. Perusahaan monopoli mempunyai penguasaan terhadap bahan baku dan hak paten yang diberikan karena skala ekonomi yang besar dan tindakan pemerintah.

Struktur pasar oligopoli adalah kondisi dimana pasar didominasi oleh beberapa perusahaan besar dalam suatu wilayah. Harga pasar berada di tangan beberapa perusahaan besar dan perusahaan – perusahaan kecil sebagai pengikutnya hanya mengikuti perubahan yang terjadi. Perusahaan besar dapat mempengaruhi harga melalui keputusan output yang dihasilkan oleh mereka. Setiap perusahaan yang berada dalam pasar tersebut dalam menetapkan jumlah produksinya dan harga harus mempertimbangkan dampaknya kepada harga pasar dan bagaimana reaksi pesaing.

Struktur pasar persaingan monopolistik adalah keadaan pasar yang berada diantara pasar persaingan sempurna dan oligopoli. Setiap perusahaan berusaha membuat produk atau layanan yang unik dan berbeda dari perusahaan yang ada. Penjual mengajukan penawaran yang berbeda untuk segmen pembeli yang berbeda dan dengan bebas menggunakan merek, periklanan dan personal selling.

Perilaku dari suatu perusahaan dipengaruhi oleh lingkungan dan struktur dari industri yang berlaku. Struktur industri dapat dijelaskan dengan besarnya


(42)

perusahaan, kesamaan penawaran dan kemudahan perusahaan lain untuk masuk dan keluar dari industri. Perilaku harga dan output dari perusahaan dalam struktur industri akan berbeda dengan keragaan industri. Pada tabel 7 akan dijelaskan perbedaannya.

Tabel 7. Perbandingan Struktur Pasar Karakter Industri Persaingan Sempurna Persaingan Monopolistik

Oligopoli Monopoly

Jumlah penjual

Sangat besar Banyak Sedikit Satu

Kesamaan produk

Identik untuk semua

perusahaan

Berbeda dan bervariasi

Mirip -

Kemudahan untuk masuk

Mudah dan tidak ada hambatan

Relatif mudah

Susah dan ada

hambatan

Tidak bisa masuk

Pengaruh perusahaan terhadap harga

Tidak ada untuk

perusahaan tunggal

Beberapa , dibatasi oleh produk

pengganti

Besar,

terbatas oleh harga

pesaing

Sedikit menahan diri kecuali diatur

Contoh Beberapa petani, futures market Rumah makan, perusahaan pemasok Pengolahan makanan dan pedagang grosir Sarana umum

Sumber : Kohl dan Uhl (2002)

3.1.5. Perilaku Pasar

Menurut Dahl dan Hammond (1977) perilaku pasar merupakan pola atau tingkah laku lembaga-lembaga tataniaga yang menyesuaikan dengan struktur pasar dimana lembaga tersebut melakukan kegiatan pembelian dan penjualan, penentuan harga, dan kerjasama antar lembaga tataniaga. Perilaku pasar adalah


(43)

seperangkat strategi dalam pemilihan yang ditempuh baik oleh penjual maupun pembeli utnuk mencapai tujuannya masing-masing (Asmarantaka, 2009).

Kohl dan Uhl (2002) menjelaskan bahwa ada empat hal yang perlu yang diperhatikan dalam menggambarkan perilaku pasar, yaitu (1) Input-output system, digunakan untuk menerangkan bagaimana perusahaan mengembangkan input yang dimiliki untuk menghasilkan output bagi perusahaan; (2) Power system, menjelaskan bahwa perusahaan mengembangkan kualitas, pemimpin pasar, dan memiliki pertumbuhan yang cepat sehingga dapat menentukan harga; (3)

Communications system, menjelaskan bagaimana mendirikan saluran informasi yang efektif ; (4) System for adapting to internal and exsternal change, menerangkan bagaimana perusahaan beradaptasi dalam suatu sistem tataniaga dan dapat bertahan di pasar

3.1.7. Marjin Tataniaga

Marjin tataniaga adalah perbedaan antara apa yang konsumen bayar untuk suatu barang dan jasa dan apa yang petani/produsen terima. Harga semua barang serta penambahan aktivitas dan fungsi keragaan dari tataniaga perusahaan. Harga tersebut termasuk biaya tataniaga dan juga keuntungan tataniaga perusahaan. Marjin tataniaga dapat juga merupakan perbedaan harga dari tingkat produsen dengan harga di tingkat lembaga pertama, atau perbedaan harga yang terjadi antara lembaga yang satu dengan lembaga tataniaga lainnya dalam saluran tataniaga komoditi yang sama (Limbong dan Sitorus, 1987).


(44)

Marjin pemasaran (Pr-Pf)

Keterangan :

Sd : Derived supply (kurva penawaran turunan sama dengan penawaran produk di tingkat pedagang)

Sp : Primary suppy (kurva penawaran primer atau penawaran produk di tingkat petani)

Dd : Derived demand (kurva permintaan turunan atau permintaan pedagang) Dp : Primary demand (kurva permintaan primer atau kurva permintaan di

tingkat konsumen akhir)

Pr : Harga di tingkat pedagang pengecer Pf : Harga di tingkat petani

Q* : Jumlah produk di tingkat petani dan pedagang pengecer.

Gambar 1. Kurva Marjin Pemasaran Sumber : Hammond dan Dahl, 1977

Gambar 1, menunjukkan marjin tataniaga adalah perbedaan harga di tingkat pedagang dan petani (Pr-Pf). Nilai marjin tataniaga (value of marketing marjin) merupakan perbedaan harga di tingkat pedagang dan petani kemudian dikalikan dengan jumlah produk yang dipasarkan. Nilai tersebut terdiri dari

marketing cost dan marketing charge. Pendekatan marjin tataniaga dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu return to factor dan return to institution. Return to factor adalah penerimaan terhadap faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses tataniaga seperti wages, interest, tent, dan profit. Return to


(45)

institution adalah pengembalian (return) terhadap jasa atau aktivitas-aktivitas yang dilakukan setiap lembaga dalam proses tataniaga (Hammond dan Dahl, 1977).

Terkadang tinggi atau rendahnya marjin tataniaga menjadi salah satu tolak ukur apakah kegiatan tataniaga tersebut sudah efisien atau belum. Menurut Limbong dan Sitorus (1987) tinggi atau rendahnya marjin tataniaga tidak selamanya dapat digunakan sebagai ukuran efisiensi kegiatan tataniaga. Tingginya marjin tataniaga dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang berpengaruh dalam proses kegiatan tataniaga antara lain, ketersediaan fasilitas fisik tataniaga meliputi pengangkutan, penyimpanan, pengolahan, risiko kerusakan dan lain-lain (Limbong dan Sitorus, 1987). Nilai marjin tataniaga merupakan hasil kali dari perbedaaan harga di tingkat pedagang dan harga di tingkat petani dengan jumlah yang diperdagangkan. Secara sistematis nilai marjin tataniaga dapat ditulis:

VM = (Pr - Pf) x Qr,f

Nilai dari perbedaan nilai marjin antara harga di tingkat pedagang dan di tingkat petani diukur berdasarkan komoditi per unit. Marjin tataniaga terdiri dari dua komponen yaitu biaya dan keuntungan tataniaga. Biaya tataniaga adalah semua jumlah biaya yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga yang terlibat dalam tataniaga suatu komoditi mulai dari produsen hingga ke konsumen.

Mi = Pri - Pfi Keterangan :

Mi : Marjin tataniaga pada lembaga ke-i

Pri : Harga di tingkat pedagang pada lembaga ke-i Pfi : Harga di tingkat petani pada lembaga ke-i

3.1.8. Farmer’s Share

Farmer’s share adalah selisih antara harga retail dan marjin tataniaga. Hal ini digunakan untuk mengatahui porsi harga di tingkat konsumen yang dinikmati oleh petani (Kohl dan Uhl, 2002). Besarnya farmer’s share dipengaruhi oleh (1) tingkat pemrosesan; (2) biaya transportasi; (3) keawetan produk; dan (4) jumlah produk. Farmer’s share sering digunakan sebagai indikator dalam mengukur kinerja suatu sistem tataniaga, tetapi farmer’s share yang tinggi tidak mutlak


(46)

menunjukkan bahwa suatu sistem tataniaga berjalan secara efisien. Hal ini berkaitan dengan besar kecilnya manfaat yang ditambahkan dalam suatu produk (value added) yang dilakukan oleh lembaga perantara untuk memnuhi kebutuhan konsumen. Faktor penting yang perlu diperhatikan adalah total penerimaan yang didapatkan oleh produsen dari hasil penjualan produk yang mereka hasilkan. Farmer’s share merupakan suatu alat analisis untuk menentukan efisiensi tataniaga suatu komoditi selain marjin tataniaga dan analisis keuntungan atas biaya yang menunjukan bagian yang diterima oleh petani.

3.1.9. Rasio Keuntungan Terhadap Biaya

Rasio keuntungan terhadap biaya dapat digunakan untuk melihat efisiensi suatu sistem tataniaga. Rasio keuntungan dan biaya tataniaga mendefinisikan besarnya keuntungan yang diterima atas biaya tataniaga yang dikeluarkan. Dengan demikian, semakin meratanya penyebaran rasio keuntungan dan biaya, maka secara teknis (operasional) sistem tataniaga akan semakin efisien (Limbong dan Sitorus, 1987). Besarnnya rasio keuntungan dan biaya setiap lembaga dapat dirumuskan sebagai berikut:

Rasio keuntungan dan biaya =

Keterangan :

Li : Keuntungan Lembaga tataniaga ke-i Ci : Biaya tataniaga

3.1.10. Efisiensi Tataniaga

Efisiensi digunakan untuk mengukur kinerja tataniaga. Peningkatan efisiensi meruapakan tujuan bersama bagi petani, lembaga tataniaga, dan konsumen. Efisiensi merupakan perbandingan (rasio) dari nilai output dengan nilai input. Nilai output merupakan penilaian konsumen terhadap barang atau jasa yang dikonsumsi termasuk waktu, tempat, bentuk dan kepemilikan. Nilai input adalah semua biaya tataniaga yang dipergunakan dalam proses tataniaga (Kohl dan Uhl, 2002)


(47)

Menurut Kohl dan Uhl (2002) pendekatan yang digunakan dalam efisiensi tataniaga ada dua cara, yaitu efisiensi operasional dan efisiensi harga. Efisiensi operasional berhubungan dengan penanganan aktivitas-aktivitas yang dapat meningkatkan rasio output-input tataniaga. Peningkatan efisiensi operasional mengacu kepada situasi dimana biaya tataniaga menurun tanpa mempengaruhi sisi output dari efisiensi. Salah satu indikator efisiensi operasional adalah analisis marjin tataniaga dan farmer’s share.

Efisiensi harga adalah bentuk kedua dari efisiensi tataniaga. Efisiensi harga merupakan suatu kondisi harga dimana konsumen inginkan, ada alternatif pilihan bagi konsumen maupun produsen. Efisiensi harga biasanya diukur dari korelasi harga untuk komoditi yang sama pada tingkat pasar yang berbeda.

Efisiensi tataniaga dapat terjadi apabila : (1) biaya tataniaga dapat ditekan sehingga keuntungan tataniaga dapat lebih tinggi, (2) presentase perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dan produsen tidak terlalu tinggi, (3) tersedianya fasilitas fisik tataniaga, (4) adanya kompetisi pasar yang sehat. Efisiensi tataniaga tidak terjadi apabila biaya tataniaga semakin besar dan nilai produk yang dipasarkan jumlahnya tidak terlalu besar (Soekartawi, 2002).

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Dasar penelitian ini adalah harga gula yang berfluktuasi di tingkat konsumen namun peningkatan harga tersebut tidak dinimkati oleh petani tebu. Harga yang berlaku di tingkat petani tebu tidak mengalami peningkatan yang besar. Tebu merupakan bahan baku bagi pabrik tebu untuk kemudian menghasilkan gula. Tanaman tebu merupakan tanaman musiman sehingga dalam kurun waktu satu tahun tanaman tebu di panen sekali. Tebu merupakan kebutuhan yang dibutuhkan secara berkesinambungan. Tanaman tebu dapat dikonsumsi secara langsung ataupun diolah terlebih dahulu. Manfaat yang terkandung dalam tebu sangat banyak bagi tubuh manusia. Oleh karena itu, permintaan akan tebu semakin meningkat setiap tahunnya.

Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur merupakan salah satu sentra penghasil tebu. Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani tebu, walaupun ada penduduk yang menanam komoditi lainnya.


(48)

Kegiatan usahatani tebu ini membutuhkan sistem tataniaga yang baik untuk memasarkan produk hasil dari petani tebu. Lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat dalam sistem pemasaran ini adalah petani, tengkulak, Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTRI), kelompok tani dan pabrik gula. Petani tidak memiliki alternatif saluran tataniaga yang dapat memberikan keuntungan besar bagi petani. Apabila petani mendapatkan modal dari Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTRI) maka petani harus menjual hasilnya ke Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTRI) walaupun ada alternatif lain yang memberikan keuntungan yang lebih besar. Informasi harga yang diterima oleh petani dan mengenai hasil rendemen yang dihasilkan oleh petani sangat terbatas, hal ini juga disebabkan oleh lemahnya posisi petani dalam sistem tataniaga. Oleh karena itu perlu analisis mengenai tataniaga tebu untuk mengetahui tingkat efisiensi tataniaga tebu sehingga memberikan alternatif bagi petani untuk mendapatkan keuntungan yang besar.

Penelitian mengenai tataniaga tebu dilakukan analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. Analisis kuantitatif dilakukan melalui pendekatan analisis mrjin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan dan biaya. Analisis kualitatif dilakukan dengan pendekatan analisis saluran tataniaga dan lembaga tataniaga, fungsi-fungsi tataniaga, struktur pasar, perilaku pasar dan keragaan pasar. Efisiensi pemasaran dilihat dari analisis struktur pasar, perilau pasar, saluran pemasaran, marjin pemasaran, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya. Alur kerangka pemikiran operasional dapat dilihat dari Gambar 2.


(49)

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasioanl Sistem Tataniaga tebu Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang.

Sistem tataniaga tebu di Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang melibatkan lembaga-lembaga pemasaran dan melaksanakan fungsi-fungsi pemasaran.

 Bagaimana sistem tataniaga tebu di Desa Pulorejo?  Apakah sistem pemasaran tersebut sudah efisien?

Analisis Kuantitatif 1. Marjin tataniaga 2. Farmer’s share

3. Risiko keuntungan dan biaya Analisis Kualitatif

1. Saluran tataniaga dan lembaga tataniaga 2. Fungsi-fungsi tataniaga

3. Struktur pasar 4. Perilaku pasar

Tataniaga yang Efisien

Alternatif saluran tataniaga yang efesien


(1)

85

Lampiran 2. Harga Tebu, Tetes dan Natura yang Diterima Petani di Desa Pulorejo

Tahun 2011.

Saluran

Tataniaga

Harga Tebu

(Rp/Kuintal

Tebu)

Harga Tetes

(Rp/Kuintal Tebu)

Harga Natura

(Rp/Kuintal

Tebu)

1

37.000

4.500

6.840

2

37.833

2.500

6.840

3

36.900

2.500

6.840


(2)

86

Lampiran 3. Margin Tataniaga Berdasarkan Pendapatan Petani yang Berasal dari

Harga Tebu

Uraian

Saluran Tataniaga

1 2 3 4

Nilai (Rp/K w)

% Nilai (Rp/Kw)

% Nilai (Rp/K w)

% Nilai (Rp/Kw)

%

Petani

Harga jual 37.000 64,75 37.833 58,85 36.900 57.40 200.000 20 B.Tataniaga 12.201 21,35 13.850 21,54 7.500 0,75 APTRI

Harga Beli 37.000 64,75 B.Tataniaga 2.599 4,55 Keuntungan 17.543 30,70 Harga Jual 57.142 100 Margin 20.142 35,25 Kontraktor

Tebu

Harga Beli 36.900 57,40

B.Tataniaga 16.428 25,55

Keuntungan 10.957 17,04

Harga Jual 64.285 100

Margin 27.385 42,60

Kelompok tani

Harga Dasar 37.833 58,85 B.Tataniaga 1.000 1,56

Fee 964,275 1,5

Keuntungan 24.488 38,09

Harga Jual 64.285 100

Margin 26.452 41,15

Pedagang Sari Tebu

HargaBeli 200.000 20

B.Tataniaga 476.000 47,6

Keuntungan 324.000 32,4

Harga Jual 1.000.000 100

Margin 800.000 80

Total B.tataniaga

14.800 25,90 14.850 23,10 16.428 25,5 483.500 48,4 Total

Keuntungan

17.452 30,70 24.488 38,90 10.957 17,04 324.000 32,4 Total Margin 20.142 35,25 26.452 41,15 27.835 42,6 800.000 80


(3)

84

Lampiran 4. Kuisioner Petani Tebu

Kuisioner Penelitian Analisis Tataniaga Tebu

Di Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro

Kabupaten Jombang, Jawa Timur

Oleh : Anggriani Putri S (H34070117)

Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor 2011

Kuisioner untuk Petani Tebu

1. Nama : ... 2. Jenis Kelamin : perempuan / laki-laki

3. Umur : ... tahun

4. Alamat rumah : ...

5. Status : menikah / belum menikah

6. Pendidikan terakhir : ...

7. Status lahan : a. Milik sendiri b. Menyewa

c. lainnya ... 8. Luas lahan : ...

9. Berapa lama Anda melakukan kegiatan usahatani tebu?

... 10.Alasan menjadi petani

tebu?... 11. Apakah usahatani tebu menjadi pekerjaan utama Anda? Ya / Tidak

12. Pola bertani ? ...monokultur / tumpang sari 13. Apakah Anda tergabung ke dalam kelompok tani? Ya / Tidak.

Jika ya, sebutkan ... 14. Jumlah produksi / panen? ... 15. Berapa kali panen dalam setahun? ... 16. Apakah kegiatan pemanenan dilakukan sendiri? Ya / Tidak

Jika ya, siapa yang melakukan pemanenan? ... Biaya yang dikeluarkan untuk pemanenan ... 17. Apakah Anda melakukan pengelompokan tebu yang sudah di panen? Ya / Tidak 18. Hasil pengelompokan tebu yang kurang baik untuk apa? ... 19. Apakah Anda melakukan penyimpanan tebu sebelum di jual? Ya / Tidak

20. Apakah jika harga tebu di pasar turun, Anda tetap melakukan budidaya tebu? Ya / Tidak

Jika ya, sebutkan alasannya ...

21. Berapa harga tebu per kuintal yang Anda terima? ... 22. Kemana biasanya Anda menjual hasil panen? ...

Lembaga pemasaran Kuantitas (kuintal) Harga (Rp/kuintal)


(4)

85 24. Bagaimana teknik menjualnya? Kontrak / Langganan / Langsung /

lainnya...

25. Bagaimana teknik pembayarannya ? Tunai / Kredit / Lainnya...

26. Siapa yang menentukan harga jual? ... 27. Bagaimana cara menentukan harga jual ? ... 28. Apakah lembaga pemasaran memiliki standar khusus mengenai tebu yang dipanen?

Ya / Tidak

29. Apakah Anda melakukan kerjasama atau kontrak dengan lembaga pemasaran tertentu? Ya / Tidak

Jika ya, apa alasan Anda melakukan kerjasama?... 30. Apakah Anda mendapatkan informasi tentang pasar tebu? Ya / Tidak

31. Darimana Anda mendapatkan informasi tersebut ? ... 32. Berapa jumlah biaya pemasaran yng dikeluaran setiap panen:

a. Biaya pemanenan : Rp... b. Biaya pengangkutan : Rp... c. Biaya penyimpanan : Rp... d. Biaya penyusutan : Rp... e. Biaya bongkar muat : Rp... f. Biaya sortir : Rp... g. Retribusi : Rp... h. Lainnya : Rp... 33. Apakah ada kesulitan dalam menjual tebu? Ya / Tidak

34. Sumber modal : (modal sendiri / dapat bantuan / dapat pinjaman)

a. Besarnya modal : Rp... b. Jika dapat bantuan dalam bentuk ... jangka

waktu...

c. Apakah ada keterkaitan dengan pemilik modal? Ya / Tidak d. Jika ya, apakah hasil panen harus dijual ke lembaga tersebut?


(5)

89

Lampiran 5. Kuisioner Lembaga Pemasaran Tebu

Kuisioner Penelitian Analisis Tataniaga Tebu

Di Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro

Kabupaten Jombang, Jawa Timur

Oleh : Anggriani Putri S (H34070117)

Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor 2011

Kuisioner untuk Lembaga Pemasaran

1. Nama : ... 2. Jenis kelamin : perempuan / laki-laki

3. Umur : ... tahun

4. Alamat rumah : ... ...

5. Status : menikah / belum menikah

6. Pendidikan terakhir : ... 7. Klasifikasi lembaga pemasaran: ... 8. Nama lembaga : ...

9. Bentuk lembaga : a. Perorangan c. Firma /CV

b. koperasi d. Lainnya, sebutkan... 10. Apakah menjadi salah satu lembaga pemasaran merupakan pekerjaan utama Anda? Ya / Tidak 11. Apakah Anda melakukan kerjasama? Ya / Tidak

12.Apakah Anda menetapkan standar / pengelompokan dari tebu yang Anda beli? Ya / Tidak 13. Apakah ada perbedaan harga berdasarkan perbedaan mutu? Ya / Tidak

14. Standar mutu apa yang Anda terapkan? ... 15. Apakah Anda selalu membeli dari orang tersebut? Ya / Tidak

Jika tidak, pada sapa Anda membeli?... 16. Apa alasan Anda membeli tebu dari orang tersebut?... 17. Dimana tempat Anda membeli tebu tersebut? ... 18. Berapa frekuensi Anda dalam melakukan pembelian tebu? ... 19. Berapa banyak tebu yang Anda beli setiap panennya? ...kuintal

20. Berapa harga pembelian tebu per kuintalnya? Rp...

21. Bagaimana sistem pembelian tebu? a. Bebas c. Borongan

b. kontrak d. Lainnya, sebutkan...

22. Bagaimana cara pembayarannya? a. Tunai c. Dibayar dimuka

b. dibayar sebagian d. Lainnya, sebutkan...

23. Bagaimana cara penentuan harga? a. petani c. Tawar-menawar

b. pedagang d. Lainnya, sebutkan ... 24. Bagaimana penyerahan barang? a. di tempat penjual b. Di tempat pembeli

25. Bagaimana mendapatkan informasi harga? ... 26. Apakah anda melakukan kegiatan penyimpanan? Ya / Tidak

Jika ya, jumlah yang disimpan ... kuintal Lama penyimpanan ... kuintal Cara penyimpanan ... Lokasi penyimpanan ... Alasan penyimpanan ...


(6)

90 27. Besarnya biaya yang dikeluarkan :

a. Biaya pengangkutan : Rp... b. Biaya tenaga kerja : Rp... c. Biaya penyimpanan : Rp... d. Biaya penyusutan : Rp... e. Biaya bongkar muat : Rp... f. Biaya sortir : Rp... g. Retribusi : Rp... h. Lainnya : Rp... 28. Apakah Anda menanggung semua risiko dari kegiatan pembelian? Ya / Tidak

29.Apakah Anda melakukan pengelompokkan / standar mutu pada saat menjual tebu? Ya / Tidak 30. Apakah ada perbedaan harga berdasarkan perbedaan mutu? Ya / Tidak

31. Standar mutu apa yang Anda terapkan? ... 32.Kemana biasanya Anda melakukan kegiatan penjualan? ...

33. Bagaimana cara pembayarannya? a. Tunai c. Dibayar dimuka

b. dibayar sebagian d. Lainnya, sebutkan...

34. Bagaimana cara penentuan harga? a. anda c. Tawar-menawar

b. pedagang d. Lainnya, sebutkan ... 35. Berapa banyak tebu yang Anda jual? ...kuintal

36. Berapa harga jual tebu per kuintal? Rp. ... 37. Adakah hambatan yang Anda alami dalam menjual tebu saat ini? Ya /Tidak\

Alasan : ... 38. Manakah pernyataan yang sesuai dengan keadaan saat ini?

a. Pembeli sedikit, penjual banyak b. Kualitas tebu kurang bagus

c. Biaya yang dikeluarkan terlalu tinggi

39. Bagaimana Anda mendapat informasi mengenai jumlah, waktu, mutu tebu yang akan dijual? ...