Analisis Sistem Tataniaga Garam Rakyat (Studi Kasus: Desa Lembung Kecamatan Galis Kabupaten Pamekasan Jawa Timur)

ANALISIS SISTEM TATANIAGA GARAM RAKYAT
(Studi Kasus: Desa Lembung Kecamatan Galis Kabupaten
Pamekasan Jawa Timur)

AHMAD SYARIFUL JAMIL

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Sistem
Tataniaga Garam Rakyat (Studi Kasus: Desa Lembung Kecamatan Galis
Kabupaten Pamekasan Jawa Timur) adalah benar karya saya dengan arahan dosen
pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2014
Ahmad Syariful Jamil
NRP H34100018

ABSTRAK
AHMAD SYARIFUL JAMIL. Analisis Sistem Tataniaga Garam Rakyat (Studi
Kasus: Desa Lembung Kecamatan Galis Kabupaten Pamekasan Jawa Timur).
Dibimbing oleh NETTI TINAPRILLA.
Garam merupakan komoditi strategis dan bernilai ekonomis tinggi. Tujuan
dilakukannya penelitian ini adalah menganalisis saluran tataniaga, fungsi, struktur,
dan perilaku pasar oleh lembaga-lembaga tataniaga pada komoditi garam rakyat
dan menganalisis efisiensi saluran tataniaga garam rakyat pada setiap saluran
tataniaga dengan pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio
keuntungan. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat tiga saluran utama yang
terbentuk didasarkan pada titik awal penyaluran dengan lembaga, fungsi, dan
struktur pasar yang berbeda pada setiap salurannya. Hasil indikator analisis
efisiensi operasional dan indikator kualitatif menunjukkan bahwa saluran
tataniaga yang terbentuk belum efisien. Hal tersebut diakibatkan karena petani

masih berperan sebagai penerima harga dan kecenderungan pemberian harga yang
tidak adil karena posisi tawar petani rendah. Oleh karena itu, peran pemerintah
diharapkan dapat mengubah peran petani dan mendorong adanya kelompok tani
untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
Kata kunci: Desa Lembung, garam, efisiensi, farmer’s share, tataniaga garam

ABSTRACT
AHMAD SYARIFUL JAMIL. Analisis Sistem Tataniaga Garam Rakyat (Studi
Kasus: Desa Lembung Kecamatan Galis Kabupaten Pamekasan Jawa Timur).
Dibimbing oleh NETTI TINAPRILLA.
Salt is a strategic and high economic valued comodity because it is needed
in every human lifa aspect as a main raw materials. The purposes of this research
were analyzing marketing. The purposes of this research were analyzing
marketing channels, function, structure and marketing institutions of farmer salt
comodity and analyzing the efficiency of farmer salt marketing in every marketing
channels by marketing margin, farmer’s share and benefit cost ratio approching.
Based on the research result, there are mains channels which is formed based on
the distribution first point with different institutions, functions and market
structure in each channels. The result of operational efficiency analysis indicator
and qualitative indicator showed that all of marketing channels had been

inefficiency. It was caused because farmers still had a role as a price taker and
price giving tendency was unfair because farmer had a weak bargaining power.
Because of that, goverment role was hoped be able to change farmers role and
improve the presence of farmer group to increase farmer prosperity.
Keyword: Lembung village, salt, efficiency, farmer’s share, salt marketing

ANALISIS SISTEM TATANIAGA GARAM RAKYAT
(Studi Kasus: Desa Lembung Kecamatan Galis Kabupaten
Pamekasan Jawa Timur)

AHMAD SYARIFUL JAMIL

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Analisis Sistem Tataniaga Garam Rakyat (Studi Kasus: Desa
Lembung Kecamatan Galis Kabupaten Pamekasan Jawa Timur)
Nama
: Ahmad Syariful Jamil
NIM
: H34100018

Disetujui oleh

Dr. Ir. Netti Tinaprilla, MM
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Dwi Rachmina, MSi
Ketua Departemen


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Bulan Agustus 2013 ini adalah tataniaga
produk agribisnis, dengan judul Analisis Sistem Tataniaga Garam Rakyat (Studi
Kasus: Desa Lembung, Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Netti Tinaprilla, MM
selaku pembimbing skripsi serta atas masukan, perhatian dan kesabarannya yang
telah membimbing penulis. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Dr.
Ir Ratna Winandi, MS selaku dosen penguji utama dan Bapak Dr. Ir Wahyu Budi
Priatna MS selaku dosen penguji Departemen Agribisnis yang telah memberikan
masukan dan saran yang sangat bermanfaat. Terima kasih juga penulis ucapkan
kepada seluruh civitas Departemen Agribisnis dan Fakultas Ekonomi dan
Manajemen IPB. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Feby Rizky
Hadiyanti yang telah bersedia menjadi pembahas pada seminar hasil penelitian ini.
Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Sucipno dan
Bapak Khairul Anwar yang telah membantu selama pengumpulan data. Tidak

lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada responden dalam penelitian ini
yang telah bersedia membantu proses penyelesaian karya tulis ini. Kemudian
penghargaan juga penulis sampaikan kepada Bapak Hatip yang telah banyak
membantu dalam pengumpulan data pabrik. Selanjutnya Ungkapan terima kasih
juga disampaikan kepada ayah, ibu, adik-adik serta seluruh keluarga atas segala
doa dan kasih sayangnya. Terakhir penulis sampaikan salam semangat kepada
teman-teman seperjuangan AGB 47 IPB.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat

Bogor, Mei 2014
Ahmad Syariful Jamil

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi


DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

6

Tujuan Penelitian

9


Kegunaan Penelitian

9

Ruang Lingkup Penelitian

9

TINJAUAN PUSTAKA

10

Gambaran Umum Garam

10

Kajian Mengenai Analisis Efisiensi Sistem Tataniaga

11


Kajian Mengenai Lembaga, Fungsi dan Saluran Tataniaga

12

Kajian Mengenai Struktur Pasar

13

Kajian Mengenai Marjin Tataniaga, Farmer’s Share, dan Rasio Keuntungan
terhadap Biaya
14
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis

15
15

Teori Tataniaga


15

Konsep Saluran Tataniaga

16

Fungsi Tataniaga dan Lembaga Tataniaga

16

Konsep Struktur Pasar

17

Perilaku Pasar

18

Keragaan Pasar


19

Konsep Efisiensi Tataniaga

19

Marjin Tataniaga

19

Farmer’s Share

21

Rasio Keuntungan dan Biaya

21

Kerangka Pemikiran Operasional

21

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu

24
24

Jenis dan Sumber Data

24

Metode Pengumpulan Data dan Pengambilan Sampel

24

Metode Pengolahan dan Analisis Data

25

Analisis Saluran Tataniaga

25

Analisis Lembaga dan Fungsi Tataniaga

26

Analisis Struktur dan Perilaku Pasar

26

Analisis Margin Tataniaga

27

Analisis Farmer’s Share

28

Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya

28

Definisi Operasional Penelitian
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

29
30

Gambaran Umum Desa Lembung

30

Gambaran Umum Usahatani Garam Rakyat

34

HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Lembaga, Fungsi dan Saluran Tataniaga

37
37

Lembaga Tataniaga

37

Identifikasi Fungsi Tataniaga

38

Identifikasi Saluran Tataniaga

48

Saluran Tataniaga 1, 2 dan 3

53

Saluran Tataniaga 4, 5, dan 6

55

Saluran Tataniaga 7

56

Identifikasi Struktur Pasar

57

Struktur Pasar di Tingkat Petani

57

Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengumpul dan petani-pengumpul

58

Struktur Pasar di Tingkat Petani-pengumpul-pemilik UPG

59

Struktur Pasar di Tingkat pabrik garam

59

Struktur Pasar di Tingkat Agen

61

Struktur Pasar di Tingkat Pedagang pengecer

61

Praktik Pembelian dan Penjualan

61

Sistem Penentuan Harga dalam Transaksi

62

Sistem Pembayaran

63

Kerjasama Antar Lembaga

63

Analisis Marjin Tataniaga, Farmer’s Share dan Rasio Keuntungan terhadap
Biaya
63
Marjin Tataniaga

64

Analisis Farmer’s Share

66

Analisis Keuntungan terhadap Biaya berdasarkan Lembaga Tataniaga

68

Analisis Rata-Rata Rasio Keuntungan terhadap Biaya berdasarkan Saluran
Tataniaga
74
Analisis Efisiensi Operasional Saluran Tataniaga

76

Efisiensi Operasional Tataniaga Garam Rakyat Kualitas KI

76

Efisiensi Operasional tataniaga Garam Rakyat Kualitas KII

78

Efisiensi Operasional Tataniaga Garam Rakyat Kualitas KIII

79

Efisiensi Sistem Tataniaga Garam Rakyat

81

SIMPULAN DAN SARAN

85

Simpulan

85

Saran

85

DAFTAR PUSTAKA

87

RIWAYAT HIDUP

94

DAFTAR TABEL
Perkembangan impor garam Indonesia menurut bulan (dalam kg)
Kebutuhan garam nasional tahun 2007–2011
Produksi garam nasional berdasarkan provinsi tahun 2007–2011
Luas lahan tambak garam rakyat Kabupaten Pamekasan
Produksi garam Kabupaten Pamekasan tiap Kecamatamn dalam
ton tahun 2006–2011
6. Karakteristik struktur pasar berdasarkan sudut penjual dan sudut
pembeli
7. Sebaran jumlah penduduk menurut jenis kelamin Desa Lembung
Kecamatan Galis tahun 2013
8. Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan umum
9. Jumlah petani responden berdasarkan status lahan
10. Komposisi umur petani responden di Desa Lembung, Kecamatan
Galis, Kabupaten Pamekasan
11. Sebaran petani responden berdasarkan tingkat pendidikan di Desa
Lembung tahun 2013
12. Pengalaman petani dalam mengusahakan garam
13. Biaya produksi garam rakyat per hektar selama satu musim
kemarau/ garam
14. Tabulasi lengkap fungsi tataniaga yang dilakukan lembaga
tataniaga
15. Sebaran volume dan harga pembelian garam rakyat berdasarkan
lembaga tataniaga pembeli
16. Sebaran volume dan persentase garam rakyat berdasarkan
lembaga tataniaga pembeli pada Saluran Tataniaga 4, 5, dan 6
17. Marjin tataniaga setiap kualitas pada setiap saluran tataniaga
garam rakyat di Desa Lembung
18. Farmer’s share setiap kualitas pada setiap salurann tataniaga
garam rakyat di Desa Lembung
19. Rasio π/c setiap kualitas pada setiap saluran tataniaga di tingkat
petani
20. Rasio π/c setiap kualitas pada setiap saluran tataniaga di tingkat
petani-pengumpul
21. Rasio π/c setiap kualitas pada setiap saluran tataniaga di tingkat
petani-pengumpul-pemilik UPG
22. Rasio π/c setiap kualitas pada setiap saluran tataniaga di tingkat
pabrik garam
23. Total rasio π/c setiap kualitas pada setiap saluran tataniaga di
Desa Lembung
24. Efisiensi tataniaga garam rakyat kualitas KI di Desa Lembung
25. Efisiensi tataniaga garam rakyat kualitas KII di Desa Lembung
26. Efisiensi tataniaga garam rakyat kualitas KIII di Desa Lembung

1.
2.
3.
4.
5.

2
3
4
4
6
17
30
31
31
32
32
33
36
39
53
56
64
67
69
71
72
73
75
77
78
80

DAFTAR GAMBAR
Perkembangan harga garam tingkat petambak Tahun 2005-2011
Bagan proses pembuatan garam evaporasi kadal NaCl Tinggi
Proses terjadinya marjin dan nilai marjin tataniaga
Kerangka pemikiran operasional
Saluran Tataniaga Garam Desa Lembung (Gabungan)
Saluran tataniaga dengan petani-pengumpul sebagai titik awal
awal saluran tataniaga
7. Saluran tataniaga dengan petani sebagai titik awal saluran
tataniaga
8. Saluran tataniaga dengan petani-pengumpul-pemilik UPG sebagai
titik awal saluran tataniaga
1.
2.
3.
4.
5.
6.

8
11
20
23
49
51
51
52

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari
sekitar 17 000 pulau dan tersebar di seluruh perairannya. Kondisi tersebut
membuat Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki garis pantai
terpanjang di dunia yaitu sekitar 95 181 km (Mukhtar 2009). Kondisi perairan
Indonesia yang melimpah dari sisi sumber daya alam menyimpan banyak potensi
yang diharapkan mampu menjadi modal pembangunan nasional. Salah satu
komoditi yang sangat potensial untuk dikembangkan agar dapat meningkatkan
kesejahteraan petani adalah komoditi garam. Bahan baku pembuatan garam yang
sangat melimpah serta wilayah Indonesia yang berada di garis khatulistiwa
dengan intensitas penyinaran tinggi, panjang garis pantai, serta musim kemarau
yang cukup lama sangat mendukung dalam pengembangan lahan penggaraman.
Garam merupakan komoditi strategis yang dibutuhkan manusia dalam
empat bentuk yaitu garam konsumsi, aneka pangan, aneka industri, dan garam
industri Chlor Alkali Plant (CAP) untuk pembuatan plastik Polivinil Chlor (PVC).
Garam sebagai produk yang diproduksi dari lahan tambak merupakan salah satu
komoditi yang selalu dibutuhkan manusia sejalan dengan kebutuhan manusia
terhadap makanan. Sejak dulu pengusahaan garam di Indonesia sangat
dipengaruhi oleh adanya pengaruh iklim, khususnya panjangnya musim kemarau.
Kebutuhan manusia terhadap garam tidak dapat digantikan. Garam diperlukan
oleh tubuh manusia sebagai mineral esensial yang harus dipenuhi secara seimbang
serta tidak dapat disubtitusi. Selain itu, garam juga sangat diperlukan sebagai
bahan tambahan pangan yaitu sebagai penyedap makanan. Berdasarkan
Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010), setiap orang mengonsumsi lebih
kurang empat kg garam per tahun dalam bentuk aneka pangan. Diperkirakan
kebutuhan garam akan meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk,
pertumbuhan industri Chlor alkali Plant (CAP), serta industri lainnya yang
membutuhkan garam.
Peluang yang begitu besar tersebut belum dapat dimanfaaatkan oleh
berbagai stakeholder dalam bidang penggaraman nasional. Hal ini terlihat dari
produksi garam nasional yang masih belum mampu memenuhi kebutuhan
nasional. Ketidakseimbangan antara kebutuhan garam dengan kapasitas produksi
garam nasional mendorong pemerintah untuk melakukan impor garam. Terdapat
beberapa negara pengekspor utama kebutuhan garam domestik antara lain
Australia, Jerman, Prancis, China, dan India. Menurut Kamar Dagang Indonesia
(Kadin), Indonesia sangat tergantung terhadap garam impor baik secara kualitas
maupun kuantitas. Menurut Kementerian Perdagangan RI, terjadi fluktuasi
realisasi dana yang digunakan untuk mengimpor garam yang menunjukkan trend
semakin meningkat. Pada tahun 2010, Indonesia mengimpor garam senilai
US$109 245 226 atau senilai lebih dari satu trilliun rupiah. Banyaknya dana yang
dikeluarkan setiap tahun oleh pemerintah untuk impor garam dirasa menjadi suatu
ironi di suatu negara kepulauan dengan potensi lahan dan sumberdaya yang
melimpah.

2
Berdasarkan Tabel 1 mengenai perkembangan impor garam indonesia per
bulan pada tahun 2009–2011 menunjukkan perkembangan impor garam untuk
memenuhi kebutuhan domestik semakin meningkat. Pada tahun 2009–2010 impor
garam terjadi hampir merata sepanjang tahun. Keadaan tersebut diakibatkan oleh
adanya anomali iklim yang hampir terjadi sepanjang tahun yaitu terjadinya
kemarau basah sehingga iklim pada tahun tersebut tidak dapat diramalkan.
Anamoli iklim tersebut membuat para petani garam enggan memproduksi garam,
karena dikhawatirkan akan menyebabkan gagal panen. Namun menurut PK2PM
(2012) pada tahun 2011, cuaca mendukung untuk peningkatan produksi garam
akan tetapi impor garam masih terjadi ketika panen di sentra garam nasional
(Maret–Agustus). Kegiatan tersebut umumnya dilakukan oleh oknum-oknum
pabrik garam yang menimbun garam impor dan saat panen raya tiba garam yang
ditimbun tersebut akan dilempar ke pasar. Kegiatan tersebut akan menjatuhkan
harga garam rakyat dan juga berakibat petani tidak dapat menutupi biaya
operasionalnya.
Tabel 1 Perkembangan impor garam Indonesia menurut bulan (dalam kg)
Bulan
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
Total
Sumber : PK2PM (2012)

2009
40 495.405
157 500.340
142 493.277
140 587.993
138 788.391
185 495.772
213 266.314
145 304.200
73 042.249
140 964.270
162 039.851
161 412.854
1 701 390.916

Tahun
2010
169 171.963
109 881.882
87 463.359
175 066.319
147 438.505
114 113.150
247 425.557
146 403.766
146 403.766
154 782.582
279 391.184
258 185.329
2 035 727.362

2011
299 364.302
130 867.225
271 411.123
379 720.967
394 084.280
329 993.506
318 731.832
107 429.592
107 429.592
150 911.057
218 248.501
2 708 191.977

Komposisi kebutuhan garam impor nasional terbesar adalah pemenuhan
industri CAP yang sebagian besar digunakan untuk pembuatan bahan baku plastik
dari PVC, soda kostik dan turunan Chlor sebagai bahan pemutih, industri
makanan, kosmetik, dan farmasi. Pada tahun 2010, garam yang dibutuhkan oleh
berbagai industri khususnya CAP meningkat sebesar 10 persen. Kelompok
industri inilah yang membutuhkan garam impor dalam jangka waktu yang tidak
akan lama akan mencapai 10 juta per tahun (Kementerian Perindustrian, 2012).
Dari Tabel 2, kebutuhan garam untuk industri CAP pada tahun 2009 sekitar
55 persen dari kebutuhan garam total nasional. Kebutuhan garam untuk industri
CAP rata-rata mempunyai standart minimum yang cukup tinggi. Hingga saat ini
kebutuhan untuk industri CAP masih dipenuhi dari impor karena membutuhkan
kualitas yang baik, yang kebutuhan tersebut belum dapat dipenuhi oleh produksi
garam lokal.
Kebijakan impor garam nasional bukan hanya digunakan untuk memenuhi
kebutuhan industri semata, namun juga untuk kebutuhan konsumsi. Hal ini dirasa
sangat memberatkan petani, yang apabila banyak terdapat garam impor di pasar

3
harga garam petani menjadi lebih murah. Tren proporsi impor garam antara garam
industri dan garam konsumsi cenderung berfluktuatif. Pada tahun 2006, garam
impor masih sekitar 8 persen untuk konsumsi dan 92 persen untuk industri,
sementara pada tahun 2010, terjadi peningkatan mencapai 45 persen untuk
konsumsi dan 55 persen untuk industri. Pada tahun 2011, terjadi penurunan
proporsi menjadi 35 persen atau sebesar 923 756 ton untuk konsumsi serta sisanya
sebesar 1 691 444 ton untuk industri (KKP, 2013). Garam lokal masih mampu
diserap untuk sebagian kebutuhan konsumsi sedangkan kekurangannya masih
dipenuhi dengan garam impor.
Tabel 2 Kebutuhan garam nasional tahun 2007–2011
No

Peruntukan

Tahun
2007

2008

1 320 000

1 350 000

1 560 000

1 575 600

1 600 000

680 000

687 000

693 000

720 000

750 000

443 250

455 060

460 000

465 000

250 000

125 000

125 000

125 000

135 000

145 000

50 000

50.000

50 000

60 000

60 000

Total
2 618 250
2 667 060
2 888 000 2 955 600
Sumber : Kementerian Perdagangan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan

2 805 000

1.
2.
3.
4.
5.

Industri CAP
Garam Rumah
Tangga
Industri Aneka
Pangan
Pengeboran
Minyak
Lain-lain

2009

2010

2011

Saat ini produksi garam nasional dapat dikatakan cukup rendah jika
dibandingkan dengan negara-negara industri penghasil garam seperti Australia.
Berdasarkan U.S. Geological Survey Mineral Commodity Summaries (2009)
dalam Alim (2012) Indonesia termasuk kedalam 11 negara penghasil garam
terbesar di dunia, dimana Indonesia menempati urutan ke 11. Hal ini disebabkan
karena negara-negara industri garam seperti Australia memiliki luas lahan
pengusahaan garam yang jauh lebih besar dibandingkan dengan Indonesia, serta
pada negara industri tersebut didukung oleh kebijakan pemerintah yang
mendukung sistem agribisnis garam di negaranya. Selama ini Australia
merupakan salah satu negara yang mengekspor garam dengan volume terbesar ke
Indonesia. Sementara selama ini kegiatan produksi garam di Indonesia dilakukan
oleh petani garam dan PT. Garam sebagai satu-satunya BUMN yang
memproduksi garam. Perusahaan yang berlokasi di Madura tersebut menguasai
lahan garam sekitar 5 130 hektar dengan produksi pada tahun 2009 mencapai 319
000 ton atau sebesar 30 persen dari produksi garam nasional. Secara nasional luas
lahan yang diusahakan untuk memproduksi garam adalah seluas 34 731 hektar
dan baru seluas 20 089 hektar yang produktif dengan 74.16 persen lahan tersebut
diusahakan oleh petani garam, dengan kapasitas produksi garam nasional rata-rata
pertahun pada musim normal sekitar 1.2 juta ton (Ihsannudin, 2012).
Terdapat beberapa daerah yang dikenal sebagai penyangga produksi garam
nasional yang umumnya tersebar di Provinsi Jawa Timur (Kabupaten Pamekasan,

4
Sampang, dan Sumenep), Jawa Barat (Indramayu dan Cirebon), Jawa Tengah
(Pati dan Rembang), Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara
Timur. Berdasarkan pada Tabel 3 produksi garam Provinsi Jawa Timur
memberikan kontribusi paling besar terhadap produksi garam nasional. Produksi
garam Provinsi Jawa Timur pada tahun 2009 sebesar 725 000 ton atau dengan
kata lain produksi total nasional hampir sebagian besar disumbang oleh produksi
garam Jawa Timur sebesar 62.77 persen. Provinsi dengan produksi garam terbesar
kedua adalah Provinsi Jawa Tengah dengan jumlah produksi garam pada tahun
2009 sebesar 155 000 ton atau sebesar 13.41 persen produksi total nasional.
Secara umum sentra produksi garam terbesar di Indonesia hanya terpusat pada
Pulau Jawa dan Madura.
Tabel 3 Produksi garam nasional berdasarkan provinsi tahun 2007–2011
No

Tahun

Lokasi

1.
2.

Jawa Barat
Jawa Tengah

2007
90 000
150 000

3.

Jawa Timur

577 000

Nusa Tenggara
45 000
Barat
Nusa Tenggara
5.
50 000
Timur
Sulawesi
6.
50 000
Selatan
Sulawesi
7.
15 000
Tengah
Total
977 000
Sumber : Kemenperin, 2009 dan 2012
4.

2008
90 000
154 000

2009
95 000
155 000

636 000

725 000

42 000

50 000

48 000

60 000

47 000

52 000

14 000

18 000

1 031 000

1 155 000

2010

2011

5000
5000
7000

131 000
198 000
850 000

5000

69 000

3000

67 000

3000

65 000

1000

20 000

29 000

1 335 000

Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa Desa
Lembung, Kecamatan Galis merupakan salah satu desa yang ditunjuk sebagai
salah satu daerah penyangga produksi garam khususnya di Kabupaten Pamekasan.
Hal ini dikarenakan garam merupakan sumber penghasilan bagi sebagian besar
masyarakat Kecataman Galis dan mempunyai peranan dalam perekonomian
Kabupaten Pamekasan. Sedangkan berdasarkan Tabel 4 menunjukkan luas lahan
total tambak rakyat di Kabupaten Pamekasan sebesar 888.70 hektar dengan luas
lahan terbesar terdapat pada Kecamatan Galis yaitu sebesar 500.70 hektar.
Tabel 4 Luas lahan tambak garam rakyat Kabupaten Pamekasan
No
1.
2.
3.

Kecamatan

Luas Tambak Garam Rakyat (Ha)
353.00
500.70
35.00
Total
888.70
Sumber : Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Pamekasan (2011)
Pademawu
Galis
Tlanakan

Hasil panen garam yang diproduksi oleh para petani di kecamatan Galis
khususnya Desa Lembung memiliki kualitas yang beragam. Sebagian besar hasil

5
panen disana berada pada kualitas rendah atau masih perlu dilakukan proses lebih
lanjut seperti pencucian dan pemberian yodium untuk garam konsumsi.
Berdasarkan survey awal lokasi menyatakan bahwa para petani garam lebih
menyukai meningkatkan kuantitas dibandingkan dengan kualitas. Hal tersebut
sejalan dengan penelitian Amaliya (2007) yang menyatakan alasan peningkatan
kuantitas dibandingkan kualitas oleh petani didasarkan pada metode yang
digunakan dalam proses produksi garam. Sebagian besar petani garam rakyat
menggunakan metode Maduris karena metode ini lebih mudah digunakan dan
membutuhkan waktu yang relatif singkat (15 hari) dengan jumlah produksi garam
rata-rata sebesar 150 ton per hektar per tahun. Sementara apabila menggunakan
metode portugis membutuhkan waktu yang lama (30 hari) dan jumlah rata-rata
produksi sebesar 65 ton per hektar per tahun. Kualitas garam yang dihasilkan
menggunakan metode portugis jauh lebih bagus dari pada garam yang dihasilkan
metode maduris.
Adanya ketidaksesuaian dalam menerapkan harga dasar garam diduga
menjadi salah satu faktor yang menyebabkan petani lebih mementingkan kuantitas.
Pelaksanaan kebijakan harga dasar garam yang ditetapkan oleh pemerintah yang
relatif tidak terealisasi di tingkat petani. Harga dasar garam yang pada awalnya
didasarkan pada keinginan pemerintah untuk melindungi produsen garam menjadi
kurang bermanfaat dikarenakan belum sepenuhnya didapatkan oleh petambak
garam. Kecenderungan yang ada harga jual garam di tingkat petambak selalu di
bawah harga yang ditetapkan oleh pemerintah.
Permasalahan di atas sejalan dengan Widiarto (2012) yang menyatakan
selama ini distribusi dan pemasaran garam kurang efisien. Lahan garam berada di
pinggir pantai yang lokasinya terpencil dengan akses terbatas menjadi salah satu
penyebab rendahnya harga yang diterima petambak garam, jauh lebih rendah
dibandingkan harga di tingkat konsumen. Rendahnya harga di tingkat petani
garam akan menurunkan daya tarik bagi produsen garam dalam memproduksi
garam yang berkualitas sehingga ketergantungan Indonesia pada garam impor
akan semakin tinggi. Ketergantungan pada garam impor, khususnya untuk
keperluan garam konsumsi, sangat tidak mendukung ketahanan nasional karena
garam adalah komoditi strategis yang secara terus-menerus dibutuhkan oleh
seluruh masyarakat.
Potensi dan peluang ekonomi dari komoditi garam dapat terwujud apabila
terdapat upaya perbaikan oleh stakeholder baik secara fisik dari segi produktivitas
maupun perbaikan menuju sistem tataniaga yang efisien. Sistem tataniaga yang
efisien baik secara operasional ataupun harga diharapkan mampu mewujudkan
upaya pengembangan garam rakyat dalam rangka meningkatkan kedaulatan
pangan nasional. Saluran yang efisien dari sisi operasional penting untuk dapat
meningkatkan harga yang layak bagi petani yang dicerminkan dengan marjin
tataniaga yang kecil sehingga turut meningkatkan bagian yang diterima petani.
Hal inilah yang dapat menjadi dasar bagi pemerintah daerah Kabupaten
Pamekasan untuk dapat mendorong peningkatan kuantitas dan kualitas garam
rakyat melalui perbaikan sistem tataniaga garam rakyat.

6
Perumusan Masalah
Pulau Madura sejak dahulu dikenal sebagai pulau garam. Bahkan hingga
saat ini Madura masih dikenal sebagai penghasil garam terbesar di Indonesia.
Pada saat ini madura menghasilkan sekitar 800 000 ton garam per tahun atau
sekitar 80 persen kebutuhan garam konsumsi di Indonesia. Hal ini wajar karena
asal muasal pembuatan garam pembuatan garam di Indonesia berasal dari Desa
Pinggirpapas, Kabupaten Sumenep yang menyebar luas ke daerah penghasil
garam di Pulau Jawa. Bahkan ada beberapa daerah seperti Benowo (Surabaya)
apabila musim garam tiba, tenaga kerja pembuat garam semuanya berasal dari
Desa Pinggirpapas (Syafii, 2006).
Produksi garam di Pulau Madura di sumbang dari beberapa kabupaten
diantaranya adalah Kabupaten Sumenep, Pamekasan, dan Sampang serta saat ini
Kabupaten Bangkalan telah membuka beberapa hektar lahan tambak garam untuk
meningkatkan produksi garam di Pulau Madura. Menurut Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Kabupaten Pamekasan, Kabupaten Pamekasan merupakan sentra
garam terbesar kedua setelah Kabupaten Sumenep. Kabupaten Pamekasan
memiliki luas kawasan tambak garam yang mencapai 2 095.50 hektar. Namun
dalam pengelolaannya lahan tambak yang benar-benar dikelola hanya sebesar
1 868.70 hektar, dengan rincian lahan PT. Garam dan perusahaan swasta sebesar
980 hektar, sedangkan 887.70 hektar merupakan lahan tambak garam rakyat.
Tabel 5 Produksi garam Kabupaten Pamekasan tiap Kecamatamn dalam ton tahun
2006–2011
Kecamatan

Tahun
2006
2007
2008
2009
2010
Galis
50 070
35 049
55 0000
55 077
132
Pademawu
35 300
24 710
38 000
38 830
93
Tlanakan
3 500
2 450
3 000
3 850
Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Pamekasan 2013

2011
35 000
24 450
2 000

Berdasarkan Tabel 5 tahun 2006 total produksi 100 ton/hektar dengan
produksi garam 100 persen (musim kemarau normal). Produksi garam Kabupaten
Pamekasan dari tahun 2007–2009 mengalami peningkatan. Namun pada tahun
2010 total produksi garam rakyat di Kabupaten Pamekasan sebesar 225 ton. Hal
ini dikarenakan adanya cuaca ekstrim yang melanda Kabupaten Pamekasan
sehingga produksi garam mengalami penurunan yang drastis. Pada tahun 2011 –
2012, produksi garam mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Hal ini
dikarenakan adanya Program Usaha Garam Rakyat (PUGAR) oleh KKP.
Pelaksanaan PUGAR dilaksanakan pada tahun 2011 sejak berpindahnya
pengelolaan garam nasional dari Kementerian Perindustrian ke Kementerian
Kelautan dan Perikanan sehingga pada tahun 2012 Indonesia mengalami
swasembada garam konsumsi.
Berdasarkan studi lapang pendahuluan yang dilakukan pada stakeholder
garam di Kabupaten Pamekasan, menyatakan bahwa harga dari hasil panen garam
rakyat di Desa Lembung menjadi barometer harga beli bagi pedagang pengumpul
di Kabupaten Pamekasan. Desa Lembung merupakan salah satu daerah penghasil

7
garam rakyat terbesar di Kabupetan Pamekasan dengan produksi rata-rata tahun
normal 50 – 55 ribu ton/tahun (Disperindag 2011).
Besarnya potensi produksi garam yang dapat dikembangkan di Desa
Lembung, tidak langsung memberikan tingkat kesejahteraan yang baik pada
petani garam di desa tersebut. Banyak terdapat petani garam yang masih berada di
bawah garis kemiskinan. Hal ini diakibatkan oleh banyak permasalahan yang
melingkupi penggaraman naional. Salah satu permasalahan yang sangat
berpengaruh dalam bidang penggaraman adalah permasalahan pada sistem
tataniaga garam di Desa Lembung. Selama ini petani garam di Desa Lembung
menyalurkan hasil panennya kepada pedagang pengumpul yang umumnya sebagai
kepanjangan tangan pabrik garam. Pedagang pengumpul dengan pabrik garam
melakukan kerja sama dalam penetapan harga pembelian garam rakyat sehingga
petani tidak mempunyai alternatif lain untuk dapat menyalurkan hasil produksinya.
Kondisi tersebut mengakibatkan petani garam memiliki posisi tawar yang lemah.
Petani sebagai produsen umumnya hanya bertindak sebagai penerima harga. Pada
akhirnya menyebabkan petani menerima harga yang jauh lebih rendah
dibandingkan dengan harga dasar yang ditentukan oleh pemerintah. Hal tersebut
berakibat pada adanya kesenjangan harga dan marjin tataniaga yang cukup besar.
Aligori (2013) menyatakan bahwa pemerintah dalam hal ini sebagai
pengambil kebijakan telah menetapkan harga dasar garam. Tetapi hal tersebut
belum sepenuhnya didapatkan oleh petambak garam. Kondisi di lapangan, petani
selalu menerima harga beli dari pedagang pengumpul di bawah harga yang
ditetapkan oleh pemerintah. Harga pasar yang banyak diterima oleh petani tahun
2004–2010 dibawah Rp200/kg untuk kualitas dua (KII) (Gambar 1). Setelah
adanya kebijakan harga dasar pun pada tahun 2011, harga dasar garam masih
dibawah Rp300/kg. Harga di tingkat petani tersebut sangat jauh berbeda dengan
harga yang diterima oleh konsumen.
Menurut Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(KP3K) mengungkapkan jajarannya telah melakukan survei tahun 2012 pada
beberapa garam konsumsi di supermarket, dan menunjukkan bahwa harga garam
di retail rata-rata sebesar Rp3 000/500 gram atau Rp6 000/kg. Harga garam
konsumsi di tingkat1 konsumen yang tinggi memberikan selisih yang cukup jauh
dengan harga yang diterima petani. Harga yang ditetapkan pemerintah sebesar
Rp700 untuk KP1. Dirjen KP3K mengatakan bahwa penentuan harga dasar
pembelian garam di tingkat petani yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp750
untuk KP1 masih menguntungkan bagi industri garam konsumsi, namun dalam
hal ini semakin menyulitkan petani karena hampir sebagian besar garam petani
dihargai sebsar Rp350/kg untuk KP1.

1

http://finance.detik.com/read/2012/01/09/180613/1810831/1036/harga-garam-di-konsumen-rp6000-kg-petani-cuma-dihargai-rp-750-kg [akses 18 Desember 2013]

8

Gambar 1 Perkembangan harga garam tingkat petambak Tahun 2005-2011
Sumber: Direktorat Jenderal Perdagangan LN (2012)
Lemahnya posisi tawar petani garam di Desa Lembung yang utamanya
dipengaruhi oleh sturktur pasar yang dihadapi oleh petani pada umumnya. Salah
satu bentuk kelemahannya adalah sistem jual beli yang masih tradisional yaitu
menggunakan karung sebagai ukuran serta bukan menggunakan timbangan yang
akurat. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh lemahnya modal yang dimiliki
petani jika harus memiliki timbangan, sedangkan setiap karung beratnya tidak
sama. Umumnya garam yang lebih tua akan lebih berat daripada garam yang lebih
muda dan dalam proses jual-beli, oleh pedagang pengumpul dibeli dengan harga
yang sama sehingga sangat merugikan petani. Selain itu kebijakan pemerintah
mengenai garam khususnya pada kebijakan impor garam, cukup memberatkan
petani. Kurangnya pengawasan dari pemerintah menyebabkan masuknya garam
impor yang kurang terkendali dan umumnya dilakukan pada saat panen garam.
Adanya penimbunan garam impor yang dilakukan oleh oknum-oknum pabrik
garam untuk merusak harga hasil panen garam petani. Pada akhinrya akan
menyebabkan harga garam rakyat pada saat panen raya menjadi anjlok.
Posisi tawar petani yang lemah mengakibatkan banyak kerugian yang
dialami oleh para petani garam di Desa Lembung. Salah satunya adalah petani
dirugikan oleh kepentingan pedagang pengumpul yang lebih dulu mengetahui
informasi pasar khususnya harga. Adanya kerja sama antar pedagang pengumpul
yang membeli garam petani dan kesenjangan yang lebar antara harga di tingkat
petani dan konsumen akhir. Kesenjangan tersebut tercermin dengan tingginya
nilai marjin dan farmer’s share yang kecil. Hal tersebut mengindikasikan belum
tercapainya efisiensi dalam tataniaga garam rakyat di Desa Lembung.
Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah penilitian ini adalah:
1
Bagaimana saluran, lembaga, fungsi, serta struktur dan perilaku pasar
tataniaga garam rakyat di Desa Lembung, Kecamatan Galis, Kabupaten
Pamekasan?

9
2

Bagaimana efisiensi tataniaga garam rakyat pada setiap saluran tataniaga di
Desa Lembung, Kecamatan Galis, Kabupaten Pemekasan dengan
pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share, rasio keuntungan dan biaya?
Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah diatas, maka tujuan
peneltian ini adalah:
1
Menganalisis saluran tataniaga, fungsi, struktur dan perilaku pasar oleh
lembaga-lembaga tataniaga pada komoditi garam rakyat di Desa Galis.
2
Menganalisis efisiensi saluran tataniaga garam rakyat pada setiap saluran
tataniaga di Desa Galis, Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan dengan
pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan.
Kegunaan Penelitian
1

2

Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi berbagai pihak seperti:
Para pengambil kebijakan (decision maker) dalam hal ini pemerintah
sebagai perumus kebijakan tataniaga garam rakyat agar tidak merugikan
salah satu pihak.
Petani dan lembaga tataniaga sebagai bahan pertimbangan dalam
pembentukan sistem tataniaga garam rakyat yang menguntungkan bagi
kedua belah pihak.
Ruang Lingkup Penelitian

Peneltian ini dilakukan untuk menganalisis sistem tataniaga garam rakyat
di Desa Lembung, Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan. Penelitian ini
dibatasi untuk menganalisis mengenai saluran tataniaga, lembaga dan fungsi
tataniaga, analisis struktur pasar, prilaku pasar, marjin tataniaga, farmer’s share,
dan rasio keuntungan dan biaya dari sistem tataniaga garam rakyat di Desa
Lembung, Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan. Komoditi yang diteliti adalah
garam yang diproduksi oleh masyarakat atau lebih dikenal sebagai garam rakyat.
Petani yang dijadikan responden adalah petani yang berada di Desa Lembung,
Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan, serta beberapa lembaga-lembaga
tataniaga yang berperan dalam sistem tataniaga garam rakyat di lokasi penelitian.
Data yang digunakan adalah data penjualan garam rakyat yang terjadi pada Bulan
Oktober-Desember 2013.

10

TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum Garam
Garam adalah benda padat putih dengan rasa asin yang merupakan
kumpulan senyawa dengan bagian terbesar Natrium Klorida (>80 persen) serta
senyawa Magnesium Klorida, Magnesium Sulfat dan Kalsium Klorida. Garam
mempunyai karakteristik higroskopis ataau mudah menyerap air, bulky sendity
(tingkat kepadatan) sebesar 0.8–0.9 dan titik lebur pada tingkat suhu 8010 C.
Sumber garam umumnya berasal dari alam diantaranya dari air laut, air danau asin,
deposit dalam tanah, tambang garam, dan sumber air dalam tanah
(Burhanuddin 2001). Bahan baku pembuatan garam di Indonesia sebagian besar
berasal dari air laut melalui proses penguapan pada meja-meja garam oleh petani.
Berdasarkan kegunaannya garam dibedakan menjadi dua jenis yaitu garam
konsumsi dan garam industri. Sedangkan berdasarkan pihak yang memproduksi
dibedakan menjadi dua jenis yaitu garam yang diproduksi oleh swasta dan garam
rakyat yang diproduksi oleh petani garam. Terdapat beberapa metode dalam
pembuatan garam di di Indonesia antara lain adalah metode portugis, metode
maduris, dan metode campuran yang kesemuanya mengandalkan tenaga matahari
mengingat cara ini dinilai masih tepat untuk digunakan oleh para petani garam di
Indonesia (Sudarsono 2003). Adapun metode-metode dalam pembuatan garam
yaitu:
1
Metode Portugis atau PT. Garam (Persero)
Metode ini dapat dilaksanakan apabila penyediaan air (volume dan
konsentrasinya) memadai dan iklim (musim kemarau) pada daerah
tersebut cukup panjang (diatas lima bulan) serta relatif tidak ada gangguan
hujan. Pada metode ini, garam yang dihasilkan kualitasnya pada umumnya
sangat baik.
2
Metode Maduris
Metode ini dilaksanakan apabila penyediaan air (volume dan
konsentrasinya) kurang memadai dan iklim (musim kemarau) pada daerah
tersebut relatif pendek (kurang dari lima bulan) serta sering ada gangguan
hujan. Pada metode ini, garam yang dihasilkan kualitasnya pada umumnya
kurang baik.
3
Metode Campuran atau Tussen
Metode ini adalah gabungan/campuran dari dua metode Portugis dan
Maduris yang dilaksanakan apabila iklim (musim kemarau) tidak menentu
kadang-kadang cerah adan kadang-kadang ada gangguan hujan. Pada
metode ini, garam yang dihasilkan kualitasnya pada umumnya kurang baik.
Menurut Purbani (2001) pada dasarnya pembuatan garam dari air laut
terdiri dari langkah-langkah proses pemekatan (dengan menguapkan airnya) dan
pemisahan garamnya (dengan kristalisasi). Bila seluruh zat yang terkandung
diendapkan/dikristalkan akan terdiri dari campuran bermacam-macam zat yang
terkandung, tidak hanya Natrium Klorida yang terbentuk tetapi juga beberapa zat
yang tidak diinginkan ikut terbawa (impurities). Proses kristalisasi yang demikian
disebut “kristalisasi total”.

11

Gambar 2 Bagan proses pembuatan garam evaporasi kadal NaCl Tinggi
Sumber : Purbani (2001)
Bila terjadi kristalisasi komponen garam tersebut diatur pada tempattempat yang berlainan secara berturut-turut maka dapatlah diusahakan terpisahnya
komponen garam yang relatif lebih murni. Proses kristalisasi demikian disebut
kristalisasi bertingkat. Untuk mendapatkan hasil garam Natrium Klorida yang
kemurniannya tinggi harus ditempuh cara kristalisasi bertingkat, yang menurut
kelakuan air laut, tempat kristalisasi garam (disebut meja garam) harus
mengkristalkan air pekat dari 25°Be menjadi 29°Be, sehingga pengotoran oleh
gips dan garam-garam magnesium dalam garam yang dihasilkan dapat
dihindari/dikurangi.
Kajian Mengenai Analisis Efisiensi Sistem Tataniaga
Kajian mengenai analisis efisiensi tataniaga baik operasional maupun harga suatu
komoditi pertanian merupakan salah satu topik penelitian yang telah banyak
digunakan di Indonesia. Penelitian tersebut berkembang karena dilatarbelakangi
oleh kondisi pertanian dilapangan, yang secara umum tataniaga komoditi
pertanian belum efisien. Kondisi tersebut dapat dilihat dengan adanya perbedaan
harga yang jauh berbeda di tingkat petani dan konsumen. Selain itu, posisi tawar
yang rendah sehingga menyebabkan petani hanya bertindak sebagai penerima
harga. Penelitian tentang tataniaga yang dilakukan oleh Riswandi (2013), Harahap
(2011), dan Panjaitan (2009) juga menunjukkan bahwa perbedaan harga yang

12
ditemukan pada komoditi pertanian relatif besar sehingga diperlukan untuk
melakukan analisis efisiensi tataniaga bagi komoditi pertanian lainnya. Hal
tersebut sangat penting mengingat Indonesia merupakan negara agraris yang
sebagian besar rakyatnya bekerja di sektor pertanian. Tingginya tingkat
permintaan komoditi pertanian sebagai dampak pertumbuhan jumlah penduduk
tidak sebanding dengan peningkatan kesejahteraan petani sebagai pemasok
komoditi tersebut. Penelitian mengenai tataniaga juga dapat dilakukan untuk
merekomendasikan saluran tataniaga yang efisien. Beberapa penelitian yang
menguji efisiensi pada komoditi dan wilayah yang berbeda.
Kajian Mengenai Lembaga, Fungsi dan Saluran Tataniaga
Kelembagaan tataniaga merupakan individu, kelompok bisnis atau
organisasi bisnis yang berperan dalam suatu saluran produk pertanian tertentu.
Lembaga-lembaga tersebut sebagian besar berperan dalam sistem tataniaga
dengan melakukan fungsi-fungsi tataniaga. Penelitian Harahap (2011)
menunjukkan bahwa lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dalam sistem
tataniaga ikan gurame di Desa Pabuaran, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor
yaitu petani pembenihan ikan, pedagang pengumpul, petani pembesaran ikan,
pedagang pengecer, konsumen, dan konsumen antara. Masing-masing sistem
tataniaga komoditi tertentu memiliki lembaga tataniaga yang khas, seperti pada
penelitian Harahap terdapat lembaga tataniaga petani pembesaran ikan gurame
yang khas pada sistem tataniaga gurame. Hasil tersebut dapat dibandingkan
dengan penelitian Mahayana (2012) mengenai tataniaga rumput laut di Desa
Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Bandung,
Provinsi Bali. Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat beberapa lembaga yang
terlibat dalam tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan antara lain petani,
pedagang pengumpul, agen perantara dan eksportir.
Lembaga-lembaga tataniaga dalam sistem tataniaga melakukan fungsi
yang khusus untuk memperlancar proses penyaluran komoditi mulai dari petani
hingga ke konsumen akhir. Fungsi tataniaga adalah aktivitas-aktivitas yang
dilakukan oleh lembaga tataniaga untuk meningkatkan atau menciptakan nilai
tambah yang bertujuan untuk memenuhi kepuasan konsumen. Funsgi-fungsi
tataniaga secara umum yang dilakukan oleh lembaga tataniaga yaitu fungsi
pertukaran, fisik, dan fasilitas. Hal tersebut ditunjukkan dalam penelitian
Riswandi (2013) yang masing-masing lembaga tataniaga berperan dalam sistem
tataniaga tomat di Desa Gekbong melakukan fungsi tataniaga yang berbeda.
Secara umum fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga
dalam sistem tataniaga tomat adalah fungsi penjualan, pengangkutan, pembiayaan,
penanggunan risiko, informasi pasar, sortasi, pengemasan, dan penyimpanan.
Lembaga-lembaga tataniaga dengan berbagai fungsi tataniaga yang
dilakukannya pada suatu sistem tataniaga komoditi tertentu akan membentuk
suatu saluran tataniaga. Pada umumnya saluran tataniaga pada komoditi pertanian
panjang. Hal ini akan mengakibatkan tingginya marjin tataniaga dan rendahnya
bagian yang diterima petani (farmer’s share). Secara umum lembaga tataniaga
yang terlibat dalam suatu saluran tataniaga komoditi pertanian dimulai dari petani
hingga konsumen. Saluran tataniaga tersebut mempunyai sifat yang unik

13
tergantung dari lembaga-lembaga tataniaga yang teribat dalam sistem tataniaga
suatu komoditi.
Penelitian yang dilakukan Riswandi (2013) menunjukkan terdapat empat
saluran tataniaga tomat di Desa Gekbrong. Saluran pertama dimulai dari petani,
pedagang pengumpul, pedagang pengecer Cianjur sampai ke konsumen Cianjur.
Saluran tataniaga kedua dimulai dari petani, pedagang pengumpul, pedagang
besar luar Cianjur, pedagang pengecer luar Cianjur hingga ke konsumen luar
Cianjur. Saluran tataniaga ketiga terdapat petani, pedagang pengecer Cianjur,
Konsumen Cianjur. Saluran tataniaga keempat dimulai dari petani, koperasi,
supermarket hingga ke konsumen luar Cianjur. Hutzi (2009) melakukan penelitian
dengan judul Analisis Pendapatan Usahatani dan Saluran Pemasaran Teh
Perkebunan Rakyat (Studi Kasus: Perkebunan Teh Rakyat, Kecamatan
Sukanagara, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat). Hasil penelitiannya mengenai
saluran pemasaran teh di Kecamatan Sukanagara terbagi menjadi tiga saluran
pemasaran yaitu : Saluran Pemasaran I. Petani – Tempat Pengumpulan Hasil
(TPH) – pabrik pengolahan. Saluran Pemasaran II. Petani – pabrik pengolahan.
Saluran Pemasaran III. Petani – pedagang pengumpul (tengkulak) – pabrik
pengolahan.
Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa saluran untuk komoditi
pertanian yang berbeda dapat menghasilkan saluran tataniaga yang berbeda pula.
Fungsi-fungsi yang dilakukan oleh masing-masing lembaga pada saluran tataniaga
yang berbeda dapat meningkatkan atau menurunkan marjin tataniaga serta bagian
yang diterima oleh petani (farmer’s share). Panjangnya saluran tataniaga belum
dapat memastikan apakah saluran tataniaga tersebut efisien. Selain itu, panjangnya
saluran tataniaga suatu komoditi dapat berimplikasi diperlukannya lembagalembaga yang khusus melakukan fungsi tataniaga pada komoditi tersebut sehingga
akan meningkatkan biaya tataniaga yang diperlukan untuk menangani komoditi
tersebut. Dengan kata lain, saluran yang panjang belum tentu menunjukkan bahwa
saluran tataniaga tersebut tidak efisien. Diperlukan analisis dari beberapa
indikator untuk melihat efisiensi tataniaga suatu komoditi yaitu marjin tataniaga,
farmer’s share, dan rasio keuntungan dan biaya.
Kajian Mengenai Struktur Pasar
Struktur pasar yang dihadapi oleh masing-masing lembaga tataniaga
sangat dipengaruhi oleh sifat produk di pasar serta peran dari lembaga yang
terlibat dalam sistem tataniaga komoditi tersebut. Menurut Hammond dan Dahl
(1977) terdapat empat karakteristik struktur pasar yang pada akhirnya akan
menentukan perilaku pasar pada setiap kegiatan pemasaran. Keempat karakteristik
pasar tersebut adalah (1) jumlah dan ukuran perusahaan; (2) sifat produk (dari
sudut pandang pembeli); (3) hambatan keluar dan masuk pasar; dan (4)
pengetahuan tentang biaya, harga dan kondisi pasar diantara partisipan tataniaga.
Struktur pasar sangat mempengaruhi efisiensi suatu sistem tataniaga yang dalam
hal ini struktur pasar akan mempengaruhi perilaku dari lembaga-lembagatataniaga
yang terlibat dalam sistem tataniaga tersebut. Struktur pasar akan mempengaruhi
kebijakan penetapan harga yang akan diterapkan oleh lembaga tataniaga, seperti
penetapan harga pada pedagang pengumpul. Petani menghadapi struktur pasar

14
monopsoni karena didasarkan pada jumlah pedagang pengumpul yang umumnya
sedikit bankan ada yang hanya satu lembaga pedagang pengumpul.
Penelitian Mahayana (2012) menunjukkan bahwa Struktur pasar yang
dihadapi oleh pelaku tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan yaitu di
tingkat petani baik yang tergabung melalui kelompok tani ataupun individu
cenderung menghadapi struktur pasar bersaing. Pada tingkat pedagang pengumpul
dan agen perantara cenderung menghadapi pasar tidak bersaing dilihat dari sisi
pedagang pengumpul sebagai penjual atau pembeli. Sementara itu pihak eksportir
cenderung menghadapi struktur pasar bersaing dilihat dari sisi eksportir sebagai
penjual karena adanya persaingan antar eksportir yang cukup ketat. Jika dilihat
dari sisi eksportir sebagai pembeli maka struktur pasar yang dihadapi cenderung
struktur pasar tidak bersaing.
Penelitian Fikri (2013) tentang sistem tataniaga tomat di Desa Tugumukti,
Kabupaten Bandung Barat menunjukkan bahwa struktur pasar yang dihadapi oleh
petani cenderung pada struktur pasar monopsoni karena petani menghadapi
kesulitan dalam menjual tomat kepada pedagang, dengan pedagang merupakan
pihak yang sangat dominan dalam menentukan harga tomat. Struktur pasar yang
dihadapi lembaga tataniaga seperti pedagang besar, pedagang kecil dan pedagang
pengecer cenderung mengarah pada pada pasar oligopoli karena jumlah penjual
lebih sedikit dari pembeli, di mana penjual memiliki peran yang dominan dalam
penentuan harga tomat. Dengan demikian untuk meningkatkan efisiensi
operasional, diperlukan pengawasan usaha untuk menjadikan struktur pasar reatif
ke arah persaingan sempurna.
Kajian Mengenai Marjin Tataniaga, Farmer’s Share, dan Rasio Keuntungan
terhadap Biaya
Marjin tataniaga merupakan salah satu pengukuran efisiensi operasional
seperti farmer’s share dan rasio keuntungan dan biaya yang mengukur perbedaan
harga di tingkat petani dengan harga di tingkat konsumen akhir pada saluran
tataniga tertentu. Marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap
biaya dapat digunakan sebagai indikator efisiensi khususnya efisiensi operasional
suatu saluran tataniaga, seperti yang akan ditunjukkan oleh penelitian terdahulu.
Penelitian Mahayana (2012) menunjukkan perhitungan marjin pada
saluran I sebesar 13.68 persen dan farmer’s share sebesar 88.23 persen, namun
pada nilai rasio π/c saluran tersebut memiliki nilai terkecil yaitu 1.54. Pada
saluran II marjin tataniaga sebesar 13.98 persen, farmer’s share sebesar
86.02 persen dan nilai rasio π/c sebesar 1.45, sedangkan saluran III marjin
tataniaga sebesar 13.98 persen, farmer’s share sebesar 86.02 persen dan nilai rasio
π/c sebesar 1.59. Perhitungan kuantitatif yang telah didapatkan tersebut
memunculkan alternatif saluran yang efisien dengan saluran 1 merupakan
alternatif saluran yang efisien karena tercapainya kesejahteraan petani yang
terlibat dalam saluran ni yang terlihat dari nilai marjin dan farmer’s share yang
dihasilkan. Sementara itu dari sisi konsumen, produk rumput laut yang diproduksi
pada saluran 1 memiliki kualitas rumput laut yang lebih baik karena kelompok
tani telah menetapkan standarisasi mutu ekspor rumput laut. Penentuan saluran
yang efisien tidak hanya semata-mata berdasarkan pada nilai kuantitatif yaitu
marjin tataniaga yang kecil, farmer’s share dan rasio π/c yang tinggi, tetapi harus

15
juga berdasarkan pada variabel penelitian kualitatifnya. Penelitian kualitatif juga
akan menggambarkan bagaimana suatu saluran tersebut efisien dengan melihat
berbagai variabel-variabel penelitian tataniaga yaitu dalam hal lembaga, fungsi
dan struktur pasar yang berlaku pada saluran tersebut.

KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Teori Tataniaga
Pemasaran merupakan salah satu proses yang mutlak melibatkan adanya
pasar, yang diartikan sebagai lokasi bertemunya antara penjual dan pembeli guna
mengadakan pertukaran barang. Pasar pada awalnya didefiniskan sebagai lokasi
yang terjadi suatu pertukaran antara penjual dan pembeli. Namun saat ini
peng