Efektivitas Implementasi Kebijakan Sertifikasi Legalitas Kayu di Hutan Rakyat (Kasus di Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah)

EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
SERTIFIKASI LEGALITAS KAYU DI HUTAN RAKYAT
(Kasus di Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah)

NINING ASSYH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efektivitas Implementasi
Kebijakan Sertifikasi Legalitas Kayu di Hutan Rakyat (Kasus di Kabupaten
Wonosobo Provinsi Jawa Tengah) adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Nining Assyh
NIM E151100061

RINGKASAN
NINING ASSYH. Efektivitas Implementasi Kebijakan Sertifikasi Legalitas Kayu
di Hutan Rakyat (Kasus Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah). Dibimbing
oleh BRAMASTO NUGROHO DAN DODIK RIDHO NURROCHMAT.
Secara formal sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan rakyat diartikan sebagai hutan yang berada
pada tanah yang dibebani hak atas tanah, yang dalam hal ini dibebani hak milik,
yang tumbuh di kawasan hak milik diluar kawasan hutan negara. Pengusahaan
hutan rakyat muncul sebagai alternatif pemenuhan bahan baku industri pengolahan
kayu.
Pemerintah telah mengeluarkan peraturan dalam rangka tertib penatausahaan
hasil hutan dan pengelolaan hutan lestari yaitu Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.38/Menhut-II/2009 jo P.68/Menhut-II/2011 jo P.45/Menhut-II/2012
tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi
Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin atau Pada Hutan Hak.

Kebijakan SVLK bertujuan untuk menjaminkan kayu yang dipasarkan merupakan
kayu yang legal dan untuk pengelolaan hutan yang lestari. Kebijakan tersebut
bersifat wajib bagi penngelolaan hutan negara maupun hutan hak.
Penelitian ini bertujuan mengkaji efektivitas implementasi kebijakan
sertifikasi legalitas kayu di hutan rakyat. Metode penelitian yang digunakan adalah
metode survey dengan analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Survei lapangan
dilakukan di desa yang telah memperoleh sertifikat legalitas kayu dan desa yang
belum memperoleh sertifikat legalitas kayu di Kabupaten Wonosobo. Hasilnya
menunjukkan bahwa kondisi desa tersertifikasi maupun tidak tersertifikasi tidak
berbeda dalam praktek pengelolaan hutan rakyat dan pola perdagangan kayu
rakyatnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa belum terdapat keunggulan tersendiri
pada hutan rakyat yang sudah memperoleh sertifikasi legalitas kayu. Kajian juga
menunjukkan hasil bahwa sertifikasi legalitas kayu di hutan rakyat belum efektif
dilaksanakan yang disebabkan oleh manfaat dan harapan dari sertifikasi tersebut
belum sepenuhnya dapat dicapai serta kendala yang ada pada pelaksanaan
sertifikasi belum dapat dikendalikan.
Hutan rakyat berada di tanah milik dimana pengambilan keputusan dalam
pengelolaannya menjadi otonomi pemiliknya. Kebijakan yang bersifat membebani
dan menurunkan keuntungan potensial dari menanam pohon maka mereka dapat
melakukan alih fungsi lahan dari untuk tanaman kayu menjadi jenis lain yang lebih

menguntungkan.
Kata kunci: hutan rakyat, efektivitas, kebijakan, legalitas kayu

SUMMARY
NINING ASSYH. Implementation Effectiveness of Policy for Timber Legality
Certification in Community Forest (Case in Wonosobo Ditsrict, Central Java
Province). Under Supervised by BRAMASTO NUGROHO AND DODIK RIDHO
NURROCHMAT.
Forestry Law No. 41 year 1999 formally stated that private forest is forest
located in land with rights on it, in this case has an ownership right, grow in the
private own in outside of forest state. Private forest business rises as an alternative
of raw material source for wood processing industry.
Government has issued a regulation for good wood administration system and
sustainable forest management namely: Forest Minister Decree (FMD) No.
P.38/Menhut-II/2009 jo P.68/Menhut-II/2011 jo P.45/Menhut-II/2012 regarding
Standard and Guideline on Performance Assessment of Sustainable Forest
Management and Timber Legality Verification and Certification (SVLK) in
License Holder or Private Forest. SVLK policy aims to guarantee the wood that is
marketed is legal wood and from the sustainable forest management. This policy
is mandatory for state and private forest managements.

This research objective is to assess the implementation effectiveness of timber
legality certification in private forest. Research method used was survey method
with qualitative and quantitative descriptive analyses. Field survey was conducted
in villages that has and has not obtained wood legality certification in Wonosobo
District. The result of research underlined that there was no difference between both
villages in forest management and wood trading pattern. This indicated that there
was no advantages in private forest that hold wood legality certification. This study
stated that wood legality certification in private forest was not effectively
implemented due to unachievable its benefit and expectation, and uncontrolled its
handicap.
Private forest in private land characterized by autonomous in the decision
making for their own forest management. SVLK policy has weighed and decreased
the potential profit of tree planting. This policy impacted on the land use change
from forest into other profitable business.
Key words: private forest, effectiveness, policy, wood legality.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 201
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
SERTIFIKASI LEGALITAS KAYU DI HUTAN RAKYAT
(Kasus di Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah)

NINING ASSYH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:

Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS

Judul Tesis : Efektivitas Implementasi Kebijakan Sertifikasi Legalitas Kayu di
Hutan Rakyat (Kasus di Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa
Tengah)
Nama
: Nining Assyh
NIM
: E151100061

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Bramasto Nugroho, MS
Ketua


Dr Ir Dodik Ridho Nurrochmat, MSc FTrop
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Pengelolaan Hutan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Tatang Tiryana, SHut MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:
(tanggal pelaksanaan ujian tesis)

Tanggal Lulus:
(tanggal penandatanganan tesis
oleh Dekan Sekolah

Pascasarjana)

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2012 ini ialah
sertifikasi legalitas kayu di hutan rakyat, dengan judul Efektivitas Implementasi
Kebijakan Sertifikasi Legalitas Kayu di Hutan Rakyat (Kasus di Kabupaten
Wonosobo Provinsi Jawa Tengah).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Bramasto Nugroho
dan Bapak Dr Ir Dodik Ridho Nurrochmat selaku pembimbing, serta Bapak Prof
Dr Ir Hardjanto yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada Pusat Pendidikan dan Latihan Kehutanan Kementerian
Kehutanan yang telah memberikan beasiswa sehingga penulis dapat melanjutkan
studi S2 di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Terima kasih juga
penulis sampaikan kepada teman seperjuaangan di IPH 2010, pengajar dan pegawai
di Fakultas Kehutanan IPB, dan atasan serta rekan kerja di Pusat Pengendalian
Pembangunan Kehutanan Regional III, atas dukungan dan bantuan selama penulis
menyelesaiakan studi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah N
Herry Soetarso, ibu Ruba’iyah, suami Hery Budiono, ananda Haidar Shandya

Abdillah, ananda Saffana Amara Jauzia, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan
kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014
Nining Assyh

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kerangka Pemikiran Penelitian

1
1
3

5
5
6

TINJAUAN PUSTAKA
Hutan Rakyat
Pelaku Usaha Hutan Rakyat
Perdagangan Kayu Rakyat
Sertifikasi Hutan Rakyat
Respon
Hak Kepemilikan (Property Right)
Implementasi Kebijakan
Efektivitas Kebijakan

8
8
8
9
10
10

11
12
12

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Jenis Data
Penentuan Responden
Metode Penelitian dan Analisis Data
Instrumen Penelitian

12
12
13
13
14
15
16

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Karakteristik Responden
Responden Hutan Rakyat Tersertifikasi
Responden Hutan Rakyat Belum Tersertifikasi
Kondisi Hutan Rakyat
Kondisi Hutan Rakyat Tersertifikasi
Kondisi Hutan Rakyat Belum Tersertifikasi
Perbandingan Kondisi Hutan Rakyat Tersertifikasi dan
Belum Tersertifikasi
Respon Terhadap Sertifikasi Legalitas Kayu
Respon Petani Hutan Rakyat
Respon Pedagang Kayu Rakyat
Respon Para Pihak
Efektivitas Implementasi Kebijakan Sertifikasi Legalitas Kayu (SLK)
di Hutan Rakyat
Manfaat Kebijakan SLK di Hutan Rakyat

16
16
18
19
20
21
22
27
30
34
34
36
37
41
41

Harapan Terhadap SLK di Hutan Rakyat
Kendala Sertifikasi Legalitas Kayu di Hutan Rakyat
Pengembangan Insentif Pada Hutan Rakyat Tersertifikasi

45
45
47

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

49
49
50

DAFTAR PUSTAKA

50

LAMPIRAN

53

RIWAYAT HIDUP

59

DAFTAR TABEL
1 Vaiabel, indikator, dan metode analisis data
2 Sebaran luas hutan rakyat di Kabupaten Wonosobo Tahun 2010
3 Respon pedagang kayu rakyat dan industri pengolahan kayu terhadap
SVLK
4 Respon para pihak terhadap SVLK di hutan rakyat
5 Harga kayu rata-rata, pendapatan total dan pendapatan rata-rata petani
dari hutan rakyat, dan jumlah petani yang menjual kayu hutan rakyat

14
18
36
38
42

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Skema kerangka pemikiran
Karakteristik responden petani hutan rakyat di Desa Jonggolsari
Karakteristik responden petani hutan rakyat di Desa Besani
Luas lahan yang dimiliki petani hutan rakyat di Desa Jonggolsari
Jumlah pohon yang dimiliki petani hutan rakyat di Desa Jonggolsari
Bentuk kayu yang dijual petani hutan rakyat di Desa Jonggolsari
Luas lahan yang dimiliki petani hutan rakyat di Desa Besani
Jumlah pohon yang dimiliki petani hutan rakyat di Desa Besani
Bentuk kayu yang dijual petani hutan rakyat di Desa Besani
Praktek pengelolaan hutan rakyat tersertifikasi di Desa Jonggolsari dan
tidak tersertifikasi di Desa Besani
11 Pola Perdagangan kayu hutan rakyat tersertifikasi di Desa Jonggolsari
dan tidak tersertifikasi di Desa Besani

7
20
21
23
24
25
28
29
30
31
33

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Potensi hutan alam semakin menurun fungsinya sebagai penghasil kayu bagi
pembangunan nasional, sedangkan di sisi lain permintaan kayu terutama sebagai
bahan baku industri pengolahan kayu semakin bertambah. Permintaan kayu rakyat
dirasakan semakin meningkat sejak pemerintah memberlakukan moratorium atau
jeda balak. Dengan adanya kebijakan tersebut maka pasokan kayu dari hutan negara
ke industri pengolahan kayu juga semakin berkurang. Dengan kondisi seperti ini,
hutan rakyat muncul menjadi salah satu alternatif sumber pasokan bahan baku kayu
(RLPS 2010). Menurut Hardjanto (2003) permintaan kayu rakyat terdiri dari tiga
macam yaitu: a) permintaan pasar lokal, b) industri menengah yang produknya
untuk cakupan yang lebih luas dan berorientasi ekspor, dan c) industri besar padat
modal.
Hutan rakyat di Pulau Jawa sangat potensial untuk dikembangkan.
Berdasarkan hasil inventarisasi dan pendataan potensi hutan rakyat di Pulau Jawa
luasan hutan rakyat di Pulau Jawa saat ini mencapai 1.945.126,31 ha dengan potensi
kayu sebesar 55.727.869 m3. Produksi kayu hutan rakyat di Pulau Jawa juga sangat
berperan dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi. Kayu hutan rakyat di
Pulau Jawa memasok bahan baku kayu industri 83% sedangkan kayu dari hutan
alam hanya 17% saja dari total kebutuhan bahan baku kayu sebesar 11,9 juta m3
(Ditjen RLPS 2010).
Secara formal sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan, hutan rakyat diartikan sebagai hutan yang berada pada
tanah yang dibebani hak atas tanah, yang dalam hal ini dibebani hak milik, yang
tumbuh di kawasan hak milik di luar kawasan hutan negara. Sesuai dengan
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 101/KPR-V/1996 hutan rakyat adalah hutan
yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya dengan
ketentuan luas minimum 0,25 ha dan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan lebih
dari 50% dan atau pada tanaman tahun pertama sebanyak 500 pohon tiap hektar.
Hardjanto (2000), hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki masyarakat yang
dinyatakan oleh kepemilikan lahan, karenanya hutan rakyat disebut hutan milik.
Sebagian penelitian tentang hutan rakyat umumnya sepakat bahwa secara fisik
hutan rakyat tumbuh dan berkembang di atas lahan milik, dikelola dan
dimanfaatkan oleh keluarga, untuk meningkatkan kualitas kehidupan, sebagai
tabungan keluarga, sumber pendapatan, dan menjaga lingkungan.
Hutan rakyat mempunyai manfaat ekologi / lingkungan, manfaat sosial dan
manfaat ekonomi. Manfaat hutan rakyat antara lain adalah: (1) untuk meningkatkan
pendapatan petani sekaligus meningkatkan kesejahteraan hidupnya, (2) untuk
memanfaatkan lahan yang tidak produktif secara maksimal dan lestari agar menjadi
lahan yang subur sehingga akan lebih baik untuk usaha tani tanaman pangan, (3)
untuk meningkatkan produksi kayu dalam mengatasi kekurangan bahan baku kayu,
(4) menambah lapangan kerja bagi penduduk pedesaan, (5) membantu
mempercepat usaha rehabilitasi lahan dan mewujudkan terbinanya lingkungan
hidup sehat dan kelestarian sumberdaya alam (BPKH Wilayah XI 2008).

2
Pembangunan dan pengembangan hutan rakyat saat ini merupakan salah satu
program pemerintah yang sedang digiatkan tidak hanya di Indonesia namun juga di
hampir sebagian besar negara yang memiliki potensi hutan di wilayahnya.
Diperkirakan lebih dari sepuluh hutan di dunia dikelola berdasarkan model hutan
rakyat (Bull dan White 2002 dalam Maryudi et al. 2011). Pada tiga dekade terakhir
hutan rakyat menjadi prioritas utama dalam penyusunan kebijakan kehutanan
(Gauld 2000 dalam Maryudi et al. 2011).
Pemerintah telah mengeluarkan peraturan dalam rangka tertib penatausahaan
hasil hutan dan pengelolaan hutan lestari yaitu Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.38/Menhut-II/2009 jo P.68/Menhut-II/2011 jo P.45/Menhut-II/2012
tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi
Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin atau Pada Hutan Hak.
dan Peraturan Direktur Jenderal BPK Nomor P.8/VI-BPPHH/2011 tentang
Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari
(PHPL) dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK). Peraturan ini memuat kewajiban
bagi setiap unit manajemen usaha kehutanan untuk memperoleh sertifikat
pengelolaan hutan lestari untuk yang mengelola hutan negara dan sertifikat legalitas
kayu untuk yang mengelola hutan hak dan industri perkayuan. Kebijakan ini
muncul berdasarkan pada tuntutan kebutuhan terhadap ekspor kayu yang saat ini
mensyaratkan bahwa kayu-kayu yang diekspor wajib memenuhi unsur pengelolaan
hutan lestari dan legalitas kayu. SVLK adalah sistem sertifikasi wajib terhadap
produk kayu di sepanjang rantai suplai (Tim Foretika 2011). Menurut Tim Foretika
(2011) ada dua latar belakang yang mendasari diundangkannya SVLK, yakni: (i)
tekanan internasional dan domestik untuk membedakan antara kayu yang
bersumber dari runtut suplai yang legal dengan kayu ilegal, dan (ii) tekanan untuk
menjadikan SVLK sebagai awal tercapainya pengelolaan hutan lestari.
Munculnya kebijakan SVLK tersebut perlu dipertimbangkan berbagai
konsekuensinya. Hal ini perlu diketahui oleh pemerintah sebagai pembuat
kebijakan agar dapat dirumuskan langkah kebijakan yang berimbang antara
kewajiban dan insentif bagi unit usaha yang terlibat di dalamnya. SVLK yang
bersifat wajib bagi pelaku usaha kayu rakyat harus memberikan jaminan dan
kepastian terhadap proses jual beli kayu rakyat.
Purwanto et al. (2009) dengan penelitian tentang Sertifikasi Ekolabel Di
Hutan Rakyat (Studi Kasus di Hutan Rakyat Desa Sumberejo dan Selopuro
Kabupaten Wonogiri) menyatakan bahwa perdagangan kayu sertifikasi di kedua
desa lokasi penelitian tidak berjalan seperti yang diharapkan yang disebabkan
antara lain karena kebiasaan masyarakat dalam memanen kayu yaitu tebang butuh,
kurangnya informasi tentang sertifikasi kayu, dan sertifikasi kayu itu sendiri belum
menguntungkan petani.
Hutan hak / hutan rakyat kepemilikannya bersifat pribadi milik rakyat atau
masyarakat, sehingga hak pengelolaanya juga menjadi domain pemiliknya secara
utuh. Segala kebijakan yang bersifat membebani masyarakat dan menimbulkan
biaya tinggi dalam pengelolaan hutannya akan membuat masyarakat enggan
mengikuti apabila tidak disertai dengan pembinaan dan perolehan insentif yang
jelas bagi pelaku usaha kayu rakyat tersebut. Bagaimana masyarakat merespon hal
tersebut dan apa saja yang menjadi harapan masyarakat untuk mendukung
pengusahaan dan pengelolaan hutan rakyat perlu dikaji lebih dalam agar
memperoleh gambaran sejauh mana kebijakan tersebut dilaksanakan. Hutan hak /

3
hutan rakyat kepemilikannya bersifat pribadi milik rakyat atau masyarakat,
sehingga hak pengelolaanya juga menjadi domain pemiliknya secara utuh. Hak
kepemilikan (property right) pribadi bersifat otonom, dengan ciri memiliki
keotonoman dalam mengambil keputusan antara lain untuk mengelola, memperoleh
manfaat, memindah tangankan, bahkan dapat untuk merusaknya (Nugroho dan
Tiryana 2013).
Kebijakan yang bersifat mandatory (wajib) dan menimbulkan biaya tinggi
bagi pelaku usaha kayu khususnya kayu rakyat tanpa diimbangi wujud nyata
keuntungan yang akan diperoleh pelaku usaha tersebut akan menimbulkan
ketidakselarasan dalam pelaksanaan dan penerapan kebijakan tersebut. Untuk dapat
terjalin keselarasan dalam implementasi kebijakan peredaran hasil hutan khususnya
hasil hutan kayu rakyat maka perlu melakukan kajian mengenai implementasi
kebijakan peredaran hasil hutan kayu terhadap perdagangan kayu rakyat.
Bagaimana kebijakan tersebut dilaksanakan dan pengaruhnya terhadap
perdagangan kayu rakyat di daerah tersebut yang pada akhirnya berpengaruh pada
antusiasme pelaku usaha kayu rakyat dalam melakukan usaha kayu rakyat. Sebagai
studi kasus yaitu di Kabupaten Wonosobo, dimana Kabupaten Wonosobo memiliki
hutan rakyat yang baik dan APHR (Asosiasi Pemilik Hutan Rakyat) pada beberapa
wilayah di Kabupaten Wonosobo telah dilakukan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu
dan telah memperoleh Sertifikat Legal Kayu.

Perumusan Masalah
Kabupaten Wonosobo merupakan daerah yang kondisi tanahnya subur,
sebagian masyarakat desa daerah tersebut menggantungkan hidupnya pada hutan
rakyat. Hutan rakyat dapat memenuhi kebutuhan harian, kebutuhan jangka
menengah, dan kebutuhan jangka panjang masyarakat desa. Kebutuhan jangka
pendek terpenuhi dari pemanenan tanaman jangka pendek seperti cabe, kapulaga,
dll. Kebutuhan jangka menengah terpenuhi dari hasil panen tahunan seperti ketela,
kemukus, dll; sedangkan kebutuhan jangka panjang terpenuhi dari panenan jangka
panjang yaitu tanaman kayu‐kayuan khususnya kayu jenis sengon.
Potensi hutan rakyat di Kabupaten Wonosobo dapat ditunjukkan oleh makin
berkembangnya luasan hutan rakyat di daerah tersebut. Berdasarkan data dari
BPKH Wilayah XI (2008) dan Ditjen RLPS (2010) luas hutan rakyat di Kabupaten
Wonosobo pada tahun 2006 adalah 20.687 ha yang berkembang menjadi 34.498,89
ha pada tahun 2010 dengan nilai potensi kayu hutan rakyat Kabupaten Wonosobo
sebesar 986.610,97 m3. Kondisi ini jika tidak diimbangi dengan iklim yang baik
dalam pengelolaan dan perdagangannya akan menyebabkan penurunan potensi
hutan rakyat di wilayah tersebut.
Keberadaan hutan rakyat di masyarakat selalu berkaitan pada pemenuhan
kebutuhan, dimana pemanenan kayu dilakukan berdasarkan tebang butuh.
Pemenuhan kebutuhan ini yang membuat petani hutan rakyat sebagai produsen
kayu selalu menjadi pihak lemah dalam proses tawar‐menawar harga produk.
Awang (2007) menyatakan beberapa karakteristik hutan rakyat bila ditinjau dari
aspek manajemen hutan yaitu: (1) hutan rakyat berada di tanah milik, (2) hutan
rakyat tidak mengelompok, tetapi tersebar berdasarkan letak dan luas kepemilikan
lahan, serta keragaman pola wanatani pada berbagai topografi lahan, (3)

4
pengelolaan hutan rakyat berbasis pada tingkat keluarga, (4) pemanenan hasil hutan
rakyat berdasarkan sistem tebang butuh, (5) belum terbentuk organisasi yang
profesional untuk melakukan pengelolaan hutan rakyat, (6) belum ada perencanaan
pengelolaan hutan rakyat, sehingga belum ada jaminan dari petani hutan rakyat
terhadap kontinuitas pasokan kayu bagi industri, (7) mekanisme perdagangan kayu
rakyat di luar kendali petani hutan rakyat sebagai produsen, sehingga keuntungan
terbesar dari pengelolaan hutan tidak dirasakan petani hutan rakyat.
Kondisi hutan rakyat saat ini di Pulau Jawa (BPKH Wilayah XI 2009) adalah
sebagai berikut: (1) belum semua desa yang memiliki hutan rakyat didukung oleh
organisasi pengelola dan kelembagaan hutan rakyat yang baik, (2) sebagian besar
masyarakat masih mengelola hutan rakyat sebagai tindakan private goods, belum
ada pemahaman tentang public goods, (3) secara keseluruhan potensi kayu hutan
rakyat per hektar masih rendah yaitu baru mencapai sekitar 30 m3/ha untuk seluruh
Jawa dan Madura, (4) sinergi pengelolaan hutan rakyat berdasarkan wilayah DAS
(hilir, tengah, dan hulu) belum jelas konsep dan wujudnya di lapangan, (5) hutan
rakyat mampu menyumbang kayu log paling sedikit 6 juta m3/th, tetapi kualitas
kayu sering jadi masalah, (6) banyak perusahaan bermitra, bagi hasil dan kerjasama
lainnya dengan masyarakat untuk mengembangkan hutan rakyat secara komersial,
(7) di banyak daerah telah terjadi perubahan alih fungsi dari hutan rakyat menjadi
penggunaan lainnya dikarenakan kurangnya insentif yang diterima oleh
pelaku/pemilik hutan rakyat, (8) pengembangan hutan rakyat belum diintegrasikan
dengan tata ruang daerah, PAD, dan mitigasi perubahan iklim nasional, dan (9)
peraturan tata kelola kayu rakyat dikeluhkan oleh masyarakat sebagai sesuatu yang
menghambat dan disinsentif.
Pemerintah mengeluarkan kebijakan dalam rangka tertib peredaran hasil
hutan kayu rakyat dan legalitas kayu, yaitu sistem verifikasi legalitas kayu yang
menawarkan harga premium (premium price) kepada petani kayu rakyat dan dapat
meningkatkan posisi tawar petani bagi produk kayu rakyat yang diperdagangkan.
Legalitas produk hasil hutan kayu rakyat akan diverifikasi oleh lembaga verifikator
independen untuk menerbitkan sertifikat legalitas kayu (Tim Foretika 2011). Hal
ini akan memberikan biaya tambahan bagi petani kayu rakyat maupun unit
manajemen kayu rakyat untuk terpenuhinya kayu yang bersertifikat legal.
Keberadaan hutan rakyat di masyarakat yang erat kaitannya dengan faktor
pemenuhan kebutuhan (tebang butuh) membuat petani hutan rakyat sebagai
produsen kayu selalu menjadi pihak lemah dalam proses tawar‐menawar harga
produk dan tidak memperoleh harga jual kayu yang menguntungkan di tingkat
petani. Kebijakan sertifikasi legalitas kayu dengan adanya biaya tambahan dapat
membebani petani hutan rakyat jika tidak diimbingan dengan adanya insentif
berupa peningkatan nilai jual kayu (premium price) dan bahkan dapat merupakan
disinsentif bagi petani hutan rakyat sehingga memungkinkan adanya konversi lahan
hutan rakyat menjadi penggunaan lain yang lebih menguntungkan (Nugroho dan
Tiryana 2013).
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) menurut Permenhut Nomor
P.38/menhut-II/2009 jo Permenhut Nomor P.45/Menhut-II/2012 disusun dalam
rangka Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), penerapan tata kelola
kehutanan, pemberantasan penebangan liar dan perdagangannya. Hutan rakyat
yang merupakan hutan milik dengan ciri antara lain tumbuh di lahan milik pribadi
yang dibuktikan dengan sertifikat maupun SPPT sehingga terhindar dari konflik

5
tenurial dan tidak akan terjadi penebangan liar karena kayu yang dijual adalah
miliknya sendiri. Pada hutan rakyat petani melakukan penebangan atau pemanenan
kayu atas dasar kebutuhan mendesak (tebang butuh) dilakukan hanya sewaktuwaktu saja dan tidak dengan tebang habis sehingga kelestarian hutan rakyat tetap
terjaga. Hal ini menunjukkan bahwa hutan rakyat sebenarnya telah menjamin
legalitas kayu dan kelestarian hutan tanpa adanya sertifikasi legalitas kayu.
Apakah kebijakan sertifikasi legalitas kayu di hutan rakyat dapat bermanfaat
untuk menaikkan posisi tawar petani hutan rakyat dan efektif dilaksanakan untuk
unit usaha hutan rakyat? Untuk mengetahui hal tersebut, perlu adanya kajian
mengenai efektivitas implementasi kebijakan sertifikasi legalitas kayu di hutan
rakyat. Penelitian ini berupaya melakukan kajian untuk mengetahui apakah
sertifikasi legalitas kayu efektif dilaksanakan di hutan rakyat dengan mengambil
kasus di Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah. Beberapa petanyaan
penelitian yang dapat diajukan antara lain:
(1) Bagaimana kondisi hutan rakyat di wilayah penelitian, bagaimana kondisinya
setelah ada sertifikasi legalitas kayu rakyat?
(2) Bagaimana respon pelaku hutan rakyat dan stakeholders terhadap sertifikasi
legalitas kayu rakyat?
(3) Bagaimana efektivitas implementasi kebijakan sertifikasi legalitas kayu di
hutan rakyat dalam perdagangan kayu rakyat?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah dan pertanyaan penelitian yang diajukan,
maka penelitian ini bertujuan untuk:
(1) Menguraikan kondisi hutan rakyat tersertifikasi dan tidak tersertifikasi di
lokasi penelitian.
(2) Mengidentifikasi respon pelaku hutan rakyat dan stakeholders terhadap
sertifikasi legalitas kayu rakyat.
(3) Menganalisis efektivitas implementasi kebijakan sertifikasi legalitas kayu di
hutan rakyat dalam perdagangan kayu rakyat.

Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai
efektivitas kebijakan sertifikasi legalitas kayu di hutan rakyat sebagai tambahan
informasi bagi para pihak dalam melaksanakan pengembangan hutan rakyat dan
pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam merumuskan kebijakan sertifikasi
kayu di hutan rakyat dalam mencapai pengelolaan hutan lestari.

Kerangka Pemikiran Penelitian
Hutan rakyat sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas
tanah, yang dalam hal ini dibebani hak milik. Sehingga segala keputusan dalam
mengelolanya menjadi kewenangan pemilik lahan yang bersangkutan. Adapun

6
pemerintah berfungsi sebagai regulator dengan membuat kebijakan-kebijakan
sebagai pedoman dalam pengembangan hutan rakyat baik dalam pengelolaan
maupun perdagangannnya.
Hutan rakyat memiliki multi fungsi yaitu fungsi ekonomi, sosial dan ekologi
atau lingkungan sehingga sangat perlu diperhatikan perkembangannnya. Potensi
hutan rakyat yang sudah sangat baik jangan sampai menurun akibat kebijakankebijakan yang tidak berhasil diimplementasikan di lapangan. Pengaturan
peredaran hasil hutan kayu khususnya hasil hutan kayu rakyat hendaknya tidak
mempersulit dan harus disesuaikan dengan kondisi dimana kayu rakyat merupakan
kayu yang berasal dari hutan rakyat atau hutan milik yang pengelolaannya menjadi
otoritas pemilik lahan.
Hak kepemilikan (property right) dibedakan dari tingkat paling tinggi sampai
paling rendah yaitu pemilik (owner), proprietor, penyewa (claimant), pemanfaat
(autorized user), dan pengunjung (autorized entrant). Pemilik (owner) merujuk
pada pemegang hak yang memiliki hak paling tinggi yakni yakni menjual atau
membeli. Dengan adanya hak untuk menjual dan membeli maka dengan sendirinya
hak-hak lain, seperti mengakses, memanfaatkan, mengelola, menentukan pihak
yang terlibat, dan mewariskan/menghibahkan juga ikut terpindahkan (Ostrom dan
Schlager 1996). Property right merupakan institusi, karena di dalamnya
mengandung norma-norma dan aturan main dalam pemanfaatannya dan merupakan
alat pengatur hubungan antar individu (Nugroho 2011).
Kajian mengenai efektivitas implementasi kebijakan sertifikasi legalitas kayu
rakyat dalam perdagangan kayu rakyat di Kabupaten Wonosobo akan melihat
bagaimana respon pelaku usaha kayu rakyat dan stakeholder terhadap kebijakan
tersebut dan bagaimana manfaat dari kebijakan sertifikasi kayu rakyat dalam
perdagangan kayu rakyat serta kendala-kendala yang dihadapi. Implementasi
kebijakan dapat diartikan sebagai kegiatan untuk melaksanakan suatu kebijakan
yang dituangkan dalam suatu peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun
lembaga negara lainnya dalam rangka mencapai tujuan yang dituangkan dalam
kebijakan tersebut (Nugroho 2011). Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah
cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Mazmanian dan Sabatier
(1979) dalam Wahab (2008) menyatakan bahwa mempelajari masalah
implementasi berarti berusaha memahami apa yang sebenarnya terjadi sesudah
suatu kebijakan diberlakukan, yakni peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan
yang terjadi setelah proses pengesahan kebijakan negara baik itu menyangkut
usaha-usaha untuk mengadministrasikannya atau usaha-usaha untuk memberikan
dampak tertentu pada masyarakat ataupun peristiwa-peristiwa.
Dalam pelaksanaan kebijakan sertifikasi kayu rakyat terhadap perdagangan
kayu rakyat, pemerintah perlu memfasilitasi petani maupun unit manajemen hutan
rakyat secara sistematis dengan pemberian bimbingan dan pendampingan serta
insentif yang dapat menumbuhkan minat petani dalam pengelolaan hutan rakyat
sehingga bisa memberi nilai tambah dan keuntungan maksimal kepada petani hutan
rakyat. Jika tidak maka dikhawatirkan akan terjadi keengganan pada petani untuk
megelola hutan rakyat karena petani tidak merasakan nilai tambah yang positif dari
kebijakan yang diterapkan atau bahkan cenderung merupakan disinsentif dan
membebani petani hutan rakyat.
Sekarang ini banyak perusahaan perkayuan melakukan kerja kemitraan
dengan warga dan organisasi masyarakat pengelola hutan rakyat, karena

7
mengharapkan bahan baku dari hutan alam sudah sangat kecil. Pemerintah harus
memberikan insentif kepada para pihak dengan menyiapkan peraturan bagi hasil
yang berkeadilan untuk semua pihak. Menurut Enters (1999) dalam Hernawan
(2010), insentif dibedakan atas insentif langsung dan insentif tidak langsung.
Insentif langsung antara lain: bantuan dan subsidi, penghargaan dan hadiah, serta
pinjaman dengan kredit berbunga rendah. Sedangkan insentif tidak langsung antara
lain: pengembangan pasar, fasilitas kredit, aksesibilitas, devolusi manajemen
sumberdaya alam, dan harga input/output.
Skema kerangka pemikiran penelitian sebagaimana diuraikan di atas
disajikan pada Gambar 1.
Hutan Rakyat sebagai
alternatif pemenuhan
bahan baku kayu
Hutan Rakyat
memiliki multi fungsi

Pengelolaan Hutan
Rakyat (sertifikasi
legalitas kayu rakyat
dalam perdagangan
kayu rakyat)

Hutan Rakyat
merupakan hutan
milik (property right)

Kebijakan
legalitas
kayu
(P.38/MenhutII/2009;P.68/MenhutII/2011; P.45/MenhutII/2013)

Fenomena di
lapangan

Hutan rakyat tersertifikasi

Hutan rakyat belum tersertifikasi

Tujuan Sertifikasi
Manfaat Sertifikasi
Kendala sertifikasi

Perbandingan hutan
rakyat tersertifikasi
dan belum
tersertifikasi

Efektivitas Implementasi
Kebijakan Sertifikasi Legalitas Kayu di
Hutan Rakyat
Gambar 1. Skema kerangka pemikiran
TINJAUAN PUSTAKA
Hutan Rakyat
Secara formal hutan rakyat diartikan sebagai hutan yang berada pada tanah
yang dibebani hak atas tanah, yang dalam hal ini dibebani hak milik, yang tumbuh
dikawasan hak milik diluar kawasan hutan, sebagaimana tercantum dalam UndangUndang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Di dalam undang-undang tersebut
telah ditegaskan bahwa penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-

8
besarnya kemakmuran rakyat dengan menjamin distribusi manfaat yang
berkeadilan dan berkelanjutan. Berdasarkan Kepmenhut No. 49/Kpts-II/1997,
hutan rakyat adalah suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon di atas tanah milik
dengan luas minimal 0.25 ha, dan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan minimal
50% dan atau pada tahun pertama jumlah batang minimal 500 batang/ha.
Hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki masyarakat yang dinyatakan oleh
kepemilikan lahan, karenanya hutan rakyat disebut hutan milik (Hardjanto 2000).
Sebagian penelitian tentang hutan rakyat umumnya sepakat bahwa secara fisik
hutan rakyat tumbuh dan berkembang di atas lahan milik, dikelola dan
dimanfaatkan oleh keluarga, untuk meningkatkan kualitas kehidupan, sebagai
tabungan keluarga, sumber pendapatan, dan menjaga lingkungan.
Bentuk hutan rakyat di Indonesia sangat beragam dan pembagiannya
tergantung dari sudut pandang yang berbeda pula. Menurut Hardjanto (2003), hutan
rakyat dibedakan menjadi dua jenis jika ditinjau dari asal muka keberadaannya,
yaitu:
1) Hutan rakyat tradisional: hutan yang dibangun di atas tanah milik dan
penanaman dilakukan oleh masyarakat/pemiliknya sendiri tanpa campur
tangan pemerintah.
2) Hutan rakyat inpres: hutan yang dibangun melalui kegiatan atau program
bantuan penghijauan dari pemeritah di tanah terlantar.
Menurut Michon (1983), hutan rakyat dibagi atas tiga tipe, yaitu:
1) Pekarangan: sistem pengaturan yang terang dan baik serta biasanya berada di
sekitar rumah. Luas minimum sekitar 0,1 ha, dipagari mulai dari sayur-sayuran
hingga pohon yang berukuran sedang dimana tingginya mencapai 20 meter.
2) Talun: mempunyai ukuran yang lebih luas, penanaman pohon sedikit rapat,
tinggi pohon-pohonnya mencapai 35 meter dan terdapat beberapa pohon yang
tumbuh secara liar dari jenis herba atau liana.
3) Kebun campuran: jenis tumbuhan cenderung lebih homogen dengan jenis
tanaman pokok cengkeh atau pepaya dan berbagai macam jenis tanaman herba.
Kebun ini seringkali ditemui di sekitar desa.

Pelaku Usaha Hutan Rakyat
Pelaku usaha hutan rakyat pada umumnya adalah petani yang tinggal di desa.
Menurut Popkin (1986), desa adalah lembaga kunci yang menyediakan jaminan
keamanan kepada para petani dalam masyarakat pra kapitalis. Desa adalah suatu
kolektifitas yang meratakan kesempatan-kesempatan hidup dan meminimalkan
resiko-resiko hidup bagi warganya. Rendahnya pedapatan, sempitnya penguasaan
lahan, rendahnya pendidikan, sulitnya mencari pekerjaan, dan lain-lain merupakan
masalah-masalah dalam rumah tangga di desa. Kondisi rumah tangga yang sempit
dan sifat menggantungkan diri pada sektor pertanian membuat petani sukar
meningkatkan pendapatannya.
Usaha hutan rakyat dan kayu rakyat di Jawa tidak lain dilakukan oleh
kalangan petani kecil biasanya subistem yang merupakan ciri umum petani
Indonesia. Penduduk pedesaan pada umumnya memiliki lahan yang relatif sempit,
dengan keterbatasan lahan yang dimiliki tersebut maka prioritas bercocok tanam
yang sesuai adalah menanam tanaman pangan untuk memenuhi kebutuhannya

9
sehari-hari, kemudian tanaman buah-buahan dan yang terakhir adalah tanaman
yang menghasilkan kayu. Menurut Hardjanto (2003), unit produksi usaha kayu
rakyat umumnya berskala kecil dan bersifat individual/perorangan. Pola usaha tani
kayu rakyat masih dilakukan secara tradisional dan belum sepenuhnya
memperhatikan prinsip-prinsip ekonomi berusaha yang lebih menguntungkan.
Pelaku usaha hutan rakyat juga ada yang bukan petani. Yang dimaksud bukan
petani adalah mereka yang melakukan usaha hutan dalam hal perdagangannya.
Pelaku usaha hutan rakyat ini melakukan usahanya dalam hal pemanenan,
pemasaran dan pengolahan kayu rakyat.

Perdagangan Kayu Rakyat
Pada hutan rakyat, petani kayu rakyat pada umumnya memanen dan menjual
kayunya pada saat dibutuhkan atau biasa disebut tebang butuh. Kayu-kayu yang
dijual umumnya dalam bentuk pohon berdiri. Penjualan kayu dengan bentuk olahan
lainnya biasanya dilakukan oleh pembeli dan pedagang lanjutannya. Pada hutan
rakyat terdapat saluran pemasaran yang cukup panjang mulai dari petani sampai ke
tingkat industri. Lembaga perantara pemasaran yang terlibat didalam pemasaran
kayu rakyat diantaranya pedagang pengepul ditingkat desa/kecamatan (bakul),
pemasok (supplier), dan insdustri. Saluran pemasaran adalah serangkaian
organisasi yang saling tergantung yang terlibat dalam proses untuk menjadikan
suatu produk barang dan jasa siap untuk digunakan atau dikonsumsi. Sebuah
saluran pemasaran melaksanakan tugas memindahkan barang dari produsen ke
konsumen (Kotler 1997).
Secara rinci lembaga pemasaran kayu rakyat dapat dijelaskan sebagai berikut
(Kemenhut 2010):
(1) Pedagang kecil (bakul/first agent) adalah lembaga perantara pemasaran yang
membeli kayu rakyat dari petani dan biasanya bertempat tinggal di desa yang
sama dengan petani. Bakul membeli kayu milik petani dalam bentuk tegakan,
sehingga sering disebut penebas.
(2) Pedagang pengepul (pengepul/second agent) adalah lembaga pemasaran yang
membeli kayu rakyat dari pedagang kecil/bakul dan juga sering disebut
pangkalan atau depo. Pengepul ini memiliki penampungan dan biasanya
menjual kayu kepada pemasok atau kepenggergajian, karena tidak dapat
langsung menjual ke industry, tetapi harus melalui pemasok.
(3) Pemasok (supplier) adalah lembaga perantara yang mendapatkan kontrak kerja
penyediaan bahan baku kayu untuk industri.
(4) Panjang pendek saluran pemasaran tergantung dari jumlah lembaga perantara
pemasaran yang terlibat didalamnya.

Sertifikasi Hutan Rakyat
Sertifikasi hutan yang dikelola masyarakat Indonesia mengikuti dua skema
yang berbeda (Hinrichs et al. 2008), yakni:
(1) Skema Sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) LEI

10
(2)

Skema Sertifikasi Hutan yang Dikelola dengan Intensitas Rendah dan Kecil
(Small and Low Intensity Managed Forest-SLIMF) oleh FSC.
Pada konteks hutan rakyat, menurut Hinrichs et a.l (2008) sertifikasi terbukti
mampu meningkatkan pengetahuan dan kepedulian dalam pengelolaan sumberdaya
berkelanjutan pada seluruh pemangku kepentingan, bukan hanya para petani yang
dilibatkan, melainkan juga pemerintah daerah dan lingkungan industri.
Dalam pelaksanaan sertifikasi hutan rakyat, terdapat banyak kendala yang
dapat menghambat proses sertifikasi tersebut. Maryudi (2005) mengelompokkan
kendala sertifikasi hutan rakyat secara garis besar menjadi dua, yaitu: (1) internal
constraints, merupakan kendala dari dalam diri petani hutan dan pengelolaan hutan
rakyat itu sendiri, dan (2) external constraints, merupakan hal-hal yang tidak
berkaitan langsung dengan hutan rakyat dan petani hutan, namun mempunyai peran
yang sangat besar dalam menntukan minat petani hutan untuk mengadopsi
sertifikasi hutan.
Beberapa kendala internal yang dimaksud antara lain kurangnya awareness
dari petani hutan akan program sertifikasi hutan, biaya sertifikasi relatif mahal
untuk small-scale forest, dan aspek manajemen kelembagaan hutan rakyat yang
belum mantap. Sertifikasi tergantung dari skema yang digunakan. Biaya tersebut
bervariasi antara satu unit manajemen dengan unit manajemen yang lainnya. Biaya
sertifikasi untuk skema Pengakuan atas Klaim PHBM LEI (di Wonogiri dan Weru)
berkisar USD 6.500, untuk skema penilaian Sertifikasi PHBM LEI oleh pihak
ketiga (di Gunung Kidul) berkisar USD 10.000, sedangkan untuk skema SLIM FSC
(di Konawe Selatan) berkisar USD 14.000 (Hinrichs et al. 2008). Kendala eksternal
berhubungan dengan pasar certified forest product (CFPs) dan nature atau sifat dari
lembaga sertifikasi. Belum adanya kesediaan membayar lebih bagi CFPs tentunya
akan menurunkan minat petani hutan untuk melakukan sertifikasi. Pengembangan
pasar bagi produk tersertifikasi merupakan hal yang sangat penting diperhatikan.

Respon
Respon berarti tanggapan, reaksi, jawaban. Sehingga respon dapat diartikan
sebagai tanggapan, reaksi, atau jawaban terhadap sesuatu. Respon yang ditunjukkan
oleh masyarakat terhadap penerimaan suatu proyek/kegiatan berbeda-beda.
Perbedaan tersebut dapat dilihat dari tahapan proses adopsi.

1.
2.
3.

4.
5.

Proses adopsi terdiri dari 5 tahap (Rogers dan Shoemaker 1971), yaitu:
Awareness stage (tahap sadar): individu belajar dari keberadaan ide baru
tetapi kekurangan informasi tentang ide baru tersebut.
Interest stage (tahap minat): individu mengembangkan minat dalam inovasi
dan mencari informasi tambahan tentang inovasi tersebut.
Evaluation stge (Tahap evaluasi): individu mengaplikasikan ide baru di dalam
kehidupannya dan mengantisipasi situasi yang akan datang dan memutuskan
apakah mencobanya atau tidak.
Trial stage (tahap percobaan): individu menerapkan ide baru tersebut dalam
skala kecil untuk menentukan kegunaannya dalam situasi sendiri.
Adoption stage (tahap adopsi): individu menggunakan ide baru secara terusmenerus (kontinu) pada skala yang penuh.

11
Perbedaan respon terhadap perubahan yang ditunjukkan oleh masyarakat
yang terlibat dalam program ada 3 (tiga) macam (Sajogyo dan Pudjiwati 2002),
yaitu:
1.
Respon positif: terjadi jika orang-orang dalam masyarakat setempat, atau
penerima suatu unsur baru, terdorong untuk ikut serta mengambil bagian
dalam seluruh perencanaan dan pemenuhan proyek/kegiatan tersebut.
2.
Respon negatif: terjadi jika unsur pembaharu tidak berhasil membuat rakyat
setempat ikut serta baik dalam perencanaan maupun dalam pemenuhan
proyek/kegiatan tersebut.
3.
Respon netral: terjadi jika keikutsertaan rakyat setempat tidak sesuai dengan
hasil dari rencana proyek/kegiatan tersebut.

Hak Kepemilikan (Property Right)
Secara konseptual, agraria terdiri atas dua aspek utama yang berbeda, yaitu
aspek “penguasaan dan pemilikan” dan aspek “penggunaan dan pemanfaatan”. Hal
ini terlihat secara tegas dalam batasan tentang reforma agraria yang terdapat dalam
Tap MPR No. IX tahun 2001 Pasal 2, yang menyebutkan bahwa: “Pembaharuan
Agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan
penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber
daya agraria”. Aspek “penguasaan/pemilikan” jelas berbeda dengan aspek
“penggunaan/pemanfaatan”, karena yang pertama berkenaan dengan bagaimana
relasi hukum manusia dengan tanah, sedangkan yang kedua membicarakan
bagaimana tanah (dan sumberdaya agraria lain) digunakan dan dimanfaatkan.
Menurut Nugroho (2011) bentuk/tipe hak kepemilikan, yakni: memasuki
(access),
memanfaatkan (withdrawal), menentukan bentuk pengelolaan
(management), menentukan keikutsertaan/mengeluarkan pihak lain (exclusion),
mewariskan/menghibahkan (bequeath/donate), dan dapat memperjual-belikan (buy
& sell). Selanjutnya dikelompokkan lagi menurut keterkaitan antar hak (bundle of
rights), yakni memperjual-belikan, mewariskan/menghibahkan, menentukan
keikutsertaan/mengeluarkan pihak lain, menentukan bentuk pengelolaan,
memanfaatkan, dan mengakses sebagai hak milik pribadi (private property).
Sedangkan hak-hak yang terdiri atas mengelola, memanfaatkan, dan mengakses
dikelompokkan sebagai hak mengelola (management rights). Hak memanfaatkan
dan mengakses dikategorikan sebagai hak memanfaatkan (withdrawal rights), dan
jika hanya terdiri atas hak memasuki kawasan maka disebut hak mengakses (access
rights).

Implementasi Kebijakan
Beberapa definisi implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh beberapa
pakar dalam Nugroho (2011), antara lain adalah:
(1) Van Meter dan Van Horn, implementasi merupakan tindakan yang dilakukan
baik oleh individu, pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau
swasta yang diarahkan untuk tercapainya tujuan yang telah digariskan dalam
keputusan kebijakan.

12
(2)

Mazmanian dan Sabatier, implementasi kebijakan adalah pelaksanaan
keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang namun
dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif
yang penting atau keputusan penelitian.
(3) Jones, implementasi adalah kemampuan untuk membentuk hubunganhubungan lebih lanjut dalam rangkaian sebab akibat yang menghubungkan
tindakan dengan tujuan.
Dari pendapat para pakar tersebut, implementasi kebijakan dapat diartikan
sebagai kegiatan untuk melaksanakan suatu kebijakan yang dituangkan dalam suatu
peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun lembaga negara lainnya dalam
rangka mencapai tujuan yang dituangkan dalam kebijakan tersebut.

Efektivitas Kebijakan
Efektivitas berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil (akibat)
yang diharapkan, atau mencapai tujuan dari tindakan (Dunn 2000). Dunn (2000)
juga menyatakan bahwa efektivitas yang secara dekat berhubungan dengan
rasionalitas teknis, selalu diukur dari unit produk atau layanan atau nilai
moneternya. Rendahnya efektivitas implementasi kebijakan dapat terjadi jika
penetapan dan pendefinisian masalah dalam proses perumusan kebijakan tidak tepat
(Dunn 2003).
Dwijowijoto (2003) dalam Erlina Daniati (2010) berpendapat bahwa evaluasi
kebijakan berkenaan dengan perumusan, implementasi dan lingkungan kebijakan
publik. Evaluasi biasanya ditujukan untuk menilai sejauh mana keefektifan
kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan kepada konstituennya. Sejauh mana
tujuan tersebut dapat dicapai.

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan di lokasi hutan rakyat Kabupaten Wonosobo
Provinsi Jawa Tengah tepatnya di Desa Jonggolsari dan Desa Besani Kec Leksono.
Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara purposive dengan pertimbangan bahwa
kawasan tersebut memiliki hutan rakyat yang cukup potensial untuk dikembangkan
dan salah satunya sudah tersertifiksi legalitas kayu. Sehingga diharapkan hasil
penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi pengembagan hutan rakyat di
wilayah tersebut terkait dengan kebijakan peredaran hasil hutan khususnya hasil
hutan kayu rakyat. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret - April 2012.

Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini termasuk dalam kelompok penelitian deskriptif yang menurut
Nazir (2009) digunakan dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek,

13
suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa
sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk memperoleh deskripsi
secara sistematis, aktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan
antar fenomena yang diteliti.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei. Metode survei ini
digunakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari
keterangan-keterangan secara aktual, baik tentang institusi sosial, ekonomi, atau
politik dari suatu kelompok ataupun suatu daerah. Selain itu metode survei juga
dapat digunakan untuk mengenal secara mendalam, mengevaluasi dan
perbandingan dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi (Nazir 2009).
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
beberapa teknik yaitu:
(1) Pengamatan secara langsung melalui observasi lapangan,
(2) Interview atau wawancara langsung dengan menggunakan pedoman
wawancara semi terstruktur dan kuisioner yang telah disusun,
(3) Focus group discussion (FGD) yang digunakan untuk mengidentifikasi akar
permasalahan, mencari alternatif-alternatif strategi pemecahan masalah dan
merumuskan strategi pemecahan masalah yang efektif dan efisien,
(4) Pencatatan data sekunder dari dokumentasi data pada instansi yang terkait dan
hasil-hasil penelitian terdahulu.

Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder dengan variabel serta indikator sebagaimana pada Tabel 1. Data primer
adalah data yang diperoleh langsung dari objek penelitian yang dikumpulkan
melalui observasi secara langsung di lapangan, kuisioner, dan melalui wawancara
mendalam terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam pengembangan usaha kayu
rakyat dan perdagangan kayu rakyat, yang terdiri dari petani hutan rakyat, pelaku
perdagangan kayu rakyat, birokrat/pemerintah, lembaga penyuluhan dan unsur
LSM. Data primer yang dikumpulkan terdiri dari:
1. Kondisi/karakteristik sosial ekonomi masyarakat/komunitas,
2. Manfaat hutan rakyat bagi pelaku usaha hutan rakyat dari segi ekonomi, sosial
dan ekologi,
3. Persepsi masyarakat terhadap hutan rakyat,
4. Respon para pihak terhadap kebijakan sertifikasi legalitas kayu di hutan rakyat,
5. Praktik Pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan,
6. Kendala sertifikasi legalitas kayu di hutan rakyat,
7. Pola perdagangan kayu rakyat
8. Bentuk-bentuk insentif pengusahaan hutan rakyat yang sudah ada dan
berkembang di lokasi penelitian
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari institusi atau lembaga
tertentu. Data sekunder ini diperoleh melalui studi literatur dan studi data-data dari
hasil-hasil penelitian dan instansi terkait, publikasi lembaga pemerintah, BPS,
lembaga penelitian, perguruan tinggi, publikasi ilmiah lainnya serta lembaga
informal dan sebagainya. Data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini
antara lain adalah:

14
(1) Kondisi umum lokasi penelitian,
(2) Data perkembangan hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat di lokasi
penelitian,
(3) Kebijakan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu.
Tabel 1 Variabel, indikator, dan metode analisis data penelitian
Variabel
Indikator
Metode Analisis
Kondisi hutan rakyat
Kondisi/karakteristik
Analisis deskriptif,
tersertifikasi dan belum
sosial, ekonomi petani
teori hutan rakyat,
tersertifikasi.
hutan rakyat, praktik
teori sertifikasi hutan
pengelolaan hutan
rakyat.
rakyat, dan pola
perdagangan.
Respon pelaku usaha hutan Respon petani, pedagang Analisis deskriptif,
rakyat dan stakeholder.
kayu rakyat dan
teori respon, teori
stakeholder terhadap
adopsi.
kebijakan .
Efektivitas implementasi
Manfaat hutan rakyat,
Analisis deskriptif,
kebijakan legalitas kayu di
kendala sertifikasi, dan
teori efektifitas, teori
huta

Dokumen yang terkait

Efektivitas Fumigan Metil Bromida (CH3Br) Untuk Pemberantasan Tikus Di Kapal Dengan Menggunakan Sistem Manual Dan Sistem Penguapan Di Pelabuhan Tanjung Pinang Tahun 2009

4 57 76

Evaluasi Dampak Lingkungan Hutan Rakyat Terhadap Erosi Tanah Serta Sosial, Ekonomi, Budaya Masyarakat Studi Kasus Di Desa Rumah Gerat Kecamatan Sibiru-Biru

0 22 100

Bentuk Kearifan Lokal Terkait Pemanfaatan Hasil Hutan Di Sekitar Tahura Bukit Barisan (Studi Kasus Di Desa Kuta Rakyat, Desa Dolat Rakyat, Desa Jaranguda, Dan Desa Tanjung Barus, Kabupaten Karo)

2 38 114

Efektivitas Sistem Sertifikasi Pengelolaan Hutan di Hutan Rakyat (Studi Kasus di Kabupaten Wonogiri Provinsis Jawa Tengah dan Kabupaten kulon Progo Provinsi DI. Yogyakarta)

0 7 386

Pengelolaan Kolaboratif Hutan Produksi Berbasis Masyarakat (Kasus Pengelolaan Hutan Negara di Wonosobo, Jawa Tengah)

0 4 30

Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Kentang di Kabupaten Wonosobo (Kasus: Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah)

3 11 262

Efektivitas Sistem Sertifikasi Pengelolaan Hutan di Hutan Rakyat (Studi Kasus di Kabupaten Wonogiri Provinsis Jawa Tengah dan Kabupaten kulon Progo Provinsi DI. Yogyakarta)

0 1 193

APLIKASI PENGENALAN CERITA RAKYAT DI PROVINSI JAWA TENGAH Aplikasi Pengenalan Cerita Rakyat Di Provinsi Jawa Tengah.

0 2 17

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT (Studi Evaluasi Dampak Sertifikasi Hutan Rakyat Terhadap Petani Hutan Rakyat di Kelurahan Selopuro Kecamatan Batuwarno Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah).

0 0 20

SERTIFIKASI AWAL VERIFIKASI LEGALITAS KAYU (VLK) HUTAN PADA IZIN PEMANFAATAN KAYU (IPK) PT BUANA GEMINI INTI KABUPATEN LINGGA PROVINSI KEPAULAUAN RIAU

0 0 18