Bentuk Kearifan Lokal Terkait Pemanfaatan Hasil Hutan Di Sekitar Tahura Bukit Barisan (Studi Kasus Di Desa Kuta Rakyat, Desa Dolat Rakyat, Desa Jaranguda, Dan Desa Tanjung Barus, Kabupaten Karo)

(1)

BENTUK KEARIFAN LOKAL TERKAIT PEMANFAATAN

HASIL HUTAN DI SEKITAR TAHURA

BUKIT BARISAN

(Studi Kasus di Desa Kuta Rakyat, Desa Jarang Uda, Desa Dolat Rakyat, dan Desa Tanjung Barus)

SKRIPSI

Oleh

Laverandi Damanik 081201029 / Manajemen Hutan

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : “Bentuk Kearifan Lokal Terkait Pemanfaatan Hasil Hutan di Sekitar Tahura Bukit Barisan (Studi kasus di desa kuta rakyat,desa Dolat Rakyat, desa Jaranguda, dan desa Tanjung Barus, Kabupaten Karo)”

Nama : Laverandi Damanik NIM : 081201029

Program Studi : Manajemen Hutan

Disetujui Oleh, Komisi Pembimbing

(Oding Affandi, S.Hut, MP)

Ketua Anggota

(Ir. Liliek P. Asmono)

Mengetahui,


(3)

ABSTRAK

Dalam pengelolaan sumber daya hutan, masyarakat yang tinggal di sekitar hutan beserta kearifan lokalnya sangat berpengaruh terhadap kelestarian hutan. Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan sangat bergantung pada hutan dan kearifan lokal masyarakat dapat mencegah terjadinya eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya hutan. Penelitian ini menjelaskan bentuk kearifan lokal yang masih ada dalam masyarakat dan ketergantungan masyarakat terhadap hutan. Penelitian dilakukan di desa Kuta Rakyat, Jarang Uda, Dolat Rakyat, dan Tanjung Barus, Kabupaten Karo pada bulan April sampai dengan Juli 2012. Metode yang digunakan adalah survei melalui wawancara terhadap responden dengan menggunakan kuisioner kemudian data diolah dengan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat mampu mencegah tindakan eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya hutan Tahura Bukit Barisan. Bentuk kearifan lokal masyarakat seperti praktek dan teknik penggunaan lahan, Tradisi dan kepercayaan, pengetahuan lokal terhadap hutan, dan pengetahuan lokal mengenai tumbuhan obat. Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap hutan Tahura Bukit Barisan dapat dilihat dari pemanfaatan masyarakat terhadap sumber daya hutan.

Kata kunci : kearifan lokal, Tahura Bukit Barisan, pengelolaan hutan, ketergantungan, masyarakat.


(4)

ABSTRACT

In forest management of resources, people who lives around the forest with their local wisdom really affect the forest stability. People who lives arounds forest really need the forest and their local wisdom can prevent over exploitation of forest. This study describes local wisdom of people that still exist in their lifes and then their needed to the forest to continue their lifes. This study had done in Kuta Rakyat, Jarang Uda, Dolat Rakyat, and Tanjung Barus, district of Karo, at April until July 2012. The methot of analysis is survey by interviews respondents by using qiusioner and then the data is collect by qualitative descriptive method.

The result showed local wisdom can prevent the action that exploitation forest in over at Tahura Bukit Barisan. This local wisdom such as doing practec and land used practiced, tradition and beliefs, local knowledge of forest and local knowledge about make natural medicine. Level of this dependency in Tahura Bukit Barisan can see from people way to using forest resource.

Keywords : local wisdom, Tahura Bukit Barisan, Forest management, dependency, people.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan rahmatNya kepada penulis, sehingga penulis dapat mengerjakan penelitian ini dengan baik.

Penelitian ini berjudul “Bentuk Kearifan Lokal Terkait Pemanfaatan Hasil Hutan di Sekitar Tahura Bukit Barisan”. Dalam penelitian ini akan dijelaskan bentuk kearifan lokal masyarakat sekitar hutan dalam pemanfaatan kawasan Taman Hutan Raya Bukit Barisan.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Oding Affandi S.Hut, MP., Sebagai Ketua komite pembimbing skripsi dan Bapak Ir. Liliek P. Asmono sebagai anggota komite pembimbing, yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis selama penelitian ini sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini, serta kepada teman-teman di Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara yang telah membantu dalam menyelesaikan penelitian ini.

Penulis juga menyadari bahwa penelitian ini belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan penelitian ini.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Oktober 2012


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... ...i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

DAFTAR ISI……….iii

DAFTAR TABEL...v

DAFTAR GAMBAR...vi

DAFTAR LAMPIRAN...vii

PENDAHULUAN Latar Belakang... ... ...1

Rumusan Masalah….………....3

Tujuan Penelitian ... .6

Manfaat Penelitian ... ...6

TINJAUAN PUSTAKA Taman Hutan Raya (TAHURA) Bukit Barisan...7

Kearifan Lokal Sebagai Fenomena Keilmuan ...……….8

Masyarakat Sekitar Hutan dan Ketergantungan Terhadap Hutan……...11

Pemanfaatan dan Pengetahuan Masyarakat Karo Tentang Tumbuhan Obat...15

Kearifan Lokal Penggunaan Api Untuk Persiapan Lahan...17

Pengetahuan Lokal Dalam Pengelolaan SDA……….……..…..20

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian………...…...24

Alat dan Bahan Penelitian………..24

Teknik dan Pengumpulan Data……….……..24

Analisis Data………...25


(7)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Taman Hutan Raya Bukit Barisan...28

Profil Desa ...31

Kuta Rakyat...31

a. Sejarah Desa...31

b. Letak Geografis dan Kondisi Iklim... ...33

c. Komposisi Penduduk...34

d. Sarana dan Prasarana...36

Tongkoh Desa Dolat Rakyat...37

a. Sejarah Desa...37

b. Letak Geografis dan Kondisi Iklim...41

c. Komposisi Penduduk...42

d. Sarana dan Prasarana...43

Jarang Uda...44

a. Letak Geografis dan Kondisi Iklim...44

b. Komposisi Penduduk...45

c. Sarana dan Prasarana...45

Tanjung Barus...46

a. Sejarah Desa...46

b. Letak Geografis dan Kondisi Iklim...50

c. Komposisi Penduduk...50

d. Sarana dan Prasarana...52

Ketergantungan Masyarakat Terhadap Tahura Bukit Barisan...53

Bentuk Kearifan Lokal...56

Praktek dan Teknik Penggunaan Lahan...56

Tradisi dan Kepercayaan Masyarakat...67

Pengetahuan Lokal Terhadap Hutan...70

Pengetahuan Lokal Masyarakat Mengenai Tanaman Obat...72

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan...80

Saran...81


(8)

DAFTAR TABEL

1. Contoh Bentuk Kearifan Lokal...22

2. Matriks Metodologi...26

3. Persentase Komposisi Penduduk Kuta Rakyat Berdasarkan Suku...34

4. Persentase Komposisi Penduduk Kuta Rakyat Berdasarkan Agama...35

5. Persentase Komposisi Penduduk Kuta Rakyat Berdasarkan Pekerjaan...35

6. Persentase Komposisi Penduduk Kuta Rakyat Berdasarkan Pendidikan...36

7. Persentase Komposisi Penduduk Dolat Rakyat Berdasarkan Agama...43

8. Persentase Komposisi Penduduk Dolat Rakyat Berdasarkan Pekerjaan...43

9. Persentase Komposisi Penduduk Jarang Uda Berdasarkan Pekerjaan...45

10. Persentase Komposisi Penduduk Tanjung Barus Berdasarkan Agama...51

11. Persentase Komposisi Penduduk Tanjung Barus Berdasarkan Pekerjaan...51

12. Jenis Tanaman Yang Ditanam Untuk Penggunaan Lahan...57

13. Upacara Adat Yang Masih Dijalankan Masyarakat...68

14. Pemanfaatan Tumbuhan Obat Oleh Masyarakat...74


(9)

DAFTAR GAMBAR

1. Taman Hutan Raya Bukit Barisan...28

2. Kawasan Tahura Bukit Barisan...29

3. Ladang Masyarakat Yang Berbatasan Langsung Dengan Kawasan Tahura...30

4. Sumber Daya Hutan Berupa Bambu Dan Humus...55

5. Wawancara Dengan Petani Bunga...59

6. Jenis Bunga Yang Diambil Dari Hutan...60

7. Penggunaan Lahan Pertanian Oleh Masyarakat...61

8. Persiapan Lahan Untuk Proses Penanaman...64

9. Kondisi Lahan Setelah Dibersihkan Dan Ditanami...66

10. Kolam Penampung Air...67


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Peta Lokasi Penelitian...85

2. Tabel Karakteristik Responden Desa Kuta Rakyat...87

3. Tabel Karakteristik Pemanfaatan Lingkungan Masyarakat Kuta Rakyat...88

4. Tabel Karakteristik Responden Desa Jarang Uda...89

5. Tabel Karakteristik Pemanfaatan Lingkungan Masyarakat Jarang Uda...90

6. Tabel Karakteristik Responden Dusun Tongkoh Desa Dolat Rakyat...91

7. Tabel Karakteristik Pemanfaatan Lingkungan Masyarakat Dolat Rakyat...92

8. Tabel Karakterisik Responden Desa Tanjung Barus...93

9. Tabel Karakteristik Pemanfaatan Lingkungan Masyarakat Tanjung Barus....94

10. Tabel Karakteristik Sikap Masyarakat Terhadap Lingkungan...95

11. Tabel Karakteristik Teknik dan Praktek Masyarakat...96

12. Tabel Pengetahuan Lokal Masyarakat Tentang Tumbuhan Obat...97


(11)

ABSTRAK

Dalam pengelolaan sumber daya hutan, masyarakat yang tinggal di sekitar hutan beserta kearifan lokalnya sangat berpengaruh terhadap kelestarian hutan. Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan sangat bergantung pada hutan dan kearifan lokal masyarakat dapat mencegah terjadinya eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya hutan. Penelitian ini menjelaskan bentuk kearifan lokal yang masih ada dalam masyarakat dan ketergantungan masyarakat terhadap hutan. Penelitian dilakukan di desa Kuta Rakyat, Jarang Uda, Dolat Rakyat, dan Tanjung Barus, Kabupaten Karo pada bulan April sampai dengan Juli 2012. Metode yang digunakan adalah survei melalui wawancara terhadap responden dengan menggunakan kuisioner kemudian data diolah dengan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat mampu mencegah tindakan eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya hutan Tahura Bukit Barisan. Bentuk kearifan lokal masyarakat seperti praktek dan teknik penggunaan lahan, Tradisi dan kepercayaan, pengetahuan lokal terhadap hutan, dan pengetahuan lokal mengenai tumbuhan obat. Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap hutan Tahura Bukit Barisan dapat dilihat dari pemanfaatan masyarakat terhadap sumber daya hutan.

Kata kunci : kearifan lokal, Tahura Bukit Barisan, pengelolaan hutan, ketergantungan, masyarakat.


(12)

ABSTRACT

In forest management of resources, people who lives around the forest with their local wisdom really affect the forest stability. People who lives arounds forest really need the forest and their local wisdom can prevent over exploitation of forest. This study describes local wisdom of people that still exist in their lifes and then their needed to the forest to continue their lifes. This study had done in Kuta Rakyat, Jarang Uda, Dolat Rakyat, and Tanjung Barus, district of Karo, at April until July 2012. The methot of analysis is survey by interviews respondents by using qiusioner and then the data is collect by qualitative descriptive method.

The result showed local wisdom can prevent the action that exploitation forest in over at Tahura Bukit Barisan. This local wisdom such as doing practec and land used practiced, tradition and beliefs, local knowledge of forest and local knowledge about make natural medicine. Level of this dependency in Tahura Bukit Barisan can see from people way to using forest resource.

Keywords : local wisdom, Tahura Bukit Barisan, Forest management, dependency, people.


(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Barisan merupakan salah satu kekayaan alam di Propinsi Sumatera Utara yang menjadi sumber penghidupan masyarakat yang bernaung di bawahnya. Namun pada saat ini kondisi kawasan Tahura Bukit Barisan cukup memprihatinkan. Pencurian humus yang sudah menjadi rahasia umum menjadi salah satu sebab rusaknya kawasan tersebut dan dampaknya sekarang dirasakan oleh masyarakat sekitar yang berinteraksi dengan kawasan Tahura (Balai Konservasi Sumberdaya Alam I Medan, 1999).

Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Barisan yang berada di Sumatera Utara merupakan satu unit pengelolaan hutan yang berintikan kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi yang menjadi sumber penghidupan masyarakat yang bernaung di sekitarnya. Dalam pengelolaannya masih terdapat kendala (sebagai akibat adanya interaksi antara masyarakat dengan kawasan Tahura) seperti: pencurian humus, okupasi lahan, pengambilan hasil hutan tanpa izin, pengambilan hasil hutan yang berlebihan, kebakaran hutan, dan kurangnya partisipasi masyakat dalam pengelolaan hutan sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan kawasan.

Menurut Undang- Undang nomor 4 Tahun 1982 yang disebut lingkungan adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makluk hidup yang termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makluk hidup lainnya. Mencermati undang- undang di atas mengisyaratkan bahwa posisi manusia menjadi sangat penting dan strategis dan menjadi kunci perubahan dalam


(14)

lingkungan karena manusia dan tingkah lakunya mampu mempengaruhi kelangsungan hidup seluruh makluk yang ada. Akan tetapi, melalui lingkungan pula tingkah laku manusia ditetukan sehingga sebenarnya ada hubungan timbal balik yang seimbang antara manusia dengan lingkungannya. Kearifan terhadap lingkungan dapat dilihat dari bagaimana perlakuan kita terhadap benda- benda, tumbuhan, hewan, dan apapun yang ada di sekitar kita. Perlakuan ini melibatkan penggunan akal budi kita sehingga dari perlakuan –perlakuan tersebut dapat tergambar hasil dari aktivitas budi kita. Akumulasi dari hasil aktivitas budi dalam menyikapi dan memperlakukan lingkungan disebut pengetahuan lokal atau kearifan lokal. Kearifan lokal menggambarkan cara bersikap dan bertindak kita untuk merespon perubahan- perubahan yang khas dalam lingkup lingkungan fisik maupun kultural (Ridwan, 2007).

Kearifan lokal memiliki peranan yang cukup penting dalam memelihara dan membangun integritas sosial, mencegah terjadinya integritas sosial dan menjadi perekat sosial dalam masyarakat. Kearifan lokal secara tidak langsung mencegah terjadinya konflik horizontal dalam masyarakat.

Secara substansial, kearifan lokal adalah nilai – nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah laku sehari –hari masyarakat setempat. Oleh karena itu sangat beralasan bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Hal ini berarti kearifan lokal yang di dalamnya berisi unsur kecerdasan kreativitas dan pengetahuan lokal dari para elit dan masyarakatnya adalah yang menentukan dalam pembangunan dalam masyarakatnya. Pada masa kini kearifan lokal menjadi kecenderungan umum


(15)

masyarakat Indonesia yang telah menerima otonomi daerah sebagai pilihan politik terbaik. Oleh karena itu, sudah saatnya untuk menggali lebih banyak kearifan- kearifan lokal sebagai alat atau cara mendorong pembangunan daerah sesuai daya dukung daerah dalam menyelesaikan masalah – masalah daerahnya (Ridwan, 2007).

Rumusan Masalah

Masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat desa sekitar hutan tampaknya sesuatu hal yang biasa dijumpai di seluruh wilayah pedesaan di negara berkembang manapun. Inilah salah satu pekerjaan rumah yang menjadi tugas para penopang untuk mengukur dan menilai sejauh mana peran masyarakat dalam pengelolaan hutan dapat ditingkatkan. Di lain pihak dalam kerangka pengelolaan hutan yang partisipatif perlu pula dilaksanakan peningkatan kualitas sumber daya manusia pedesaan dan kualitas organisasi mereka, baik yang formal maupun informal. Ini menjadi tugas bagi siapa saja yang berkeinginan melestarikan hutan. Secara umum ada tiga hal yang perlu dibenahi dalam upaya meningkatkan masyarakat, yaitu demokratisasi kehidupan sosial, penguatan kelembagaan dan organisasi, dan peningkatan perekonomian pedesaan (Arupa,2000).

Dalam hubungannya dengan negara, hak ulayat sebagai sebuah otoritas penuh, seperti diangkat menjadi hak ulayat negara yang kemudian berjudul Hak Menguasai Negara (HMN). Hak ini merupakan hak tertinggi masyarakat adat atas sumber daya alam dan ruangnya kemudian dipagari oleh kata sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional atau negara. Pada sektor kehutanan, dengan kewenangan yang diberikan oleh HMN beserta dengan segala distorsi pemaknaan aparatur pada pelaksanaannya, dengan


(16)

efektif mengukung, bahkan mencabut keberadaan ulayat itu. Penghancuran besar besaran itu dimulai tahun 1970 dengan keluarnya PP NO. 1 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan Dan Hak Pemungutan Hasil Hutan yang pada pasal 6 menyatakan bahwa:

1. Hak- hak masyarakat hukum adat dan anggota – anggotanya untuk memungut hasil hutan yang didasarkan atas suatu peraturan hukum adat sepanjang menurut kenytaannya masih ada dan pelaksanaannya perlu ditertibkan sehingga tidak mengganggu pelaksanaan pengusahaan hutan. 2. Pelaksanaan tersebut dalam ayat 1 pasal ini harus seijin pemegang hak

pengusahaan hutan yang mewajibkan meluluskan pelaksanaan hak tersebut yang diatur dalam suatu tata tertib sebagai hasil musyawarah antara pemegang hak dan masyarakat hukum adat dengan bimbingan dan pengawasan dinas kehutanan.

3. Demi keselamatan umum, di dalam areal hutan yang sedang dikerjakan dalam rangka pengusahaan hutan, pelaksanaan hak rakyat untuk memungut hasil hutan dibekukan

Setelah lebih dari tiga puluh tahun pengambilalihanan tersebut, pada tahun 1999 melalui UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Otoritas yang menguasai lebih dari 120 juta hektar kawasan hutan di Indonesia mau atau tidak mau harus mengakomodir keberadaan masyarakat adat di sektor kehutanan karena semakin banyaknya kawasan hutan yang rusak yang diperkirakan merupakan akibat dari aktivitas masyarakat (Andiko, 2009).

Penelitian mengenai kearifan lokal dalam berbagai aspek sudah banyak dilakukan seperti kearifan lokal yang memberi manfaat ekonomis bagi pelaku


(17)

ekonomi informal perkotaan melalui pengamatan sederhana yang diteliti Brata (2004) pada pedagang angkringan di Yogyakarta. Kemudian kearifan lokal juga telah membantu strategi bertahan hidup pekerja migran di sektor informal yang diteliti oleh Suwartika (2003) di Suka Bumi, Jawa Barat. Kemudian penelitian Alfiasari (2004) menyatakan bahwa kearifan lokal berperan dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi pada kelompok usaha berbasis komunitas di pedesaan di Bogor. Kemudian dari hasil penelitian lubis (2003), kearifan lokal berperan dalam mengelola sumber daya alam khususnya sungai pada pengelolaan sungai dengan menerapkan model lubuk larangan (Saputro, 2006).

Keberhasilan kearifan lokal tersebut dalam mendukung aspek kehidupan masyarakat mendorong penulis untuk melakukan penelitian kearifan lokal dalam kegiatan pengelolaan sumber daya hutan karena berdasarkan asumsi bahwa sistem pengelolaan sumber daya hutan tentunya tidak akan lepas dari kearifan lokal yang dimiliki masyarakat setempat. Kearifan lokal dengan wujud nyata seperti kepercayaan atau pantangan, etika atau aturan, teknik dan teknologi pengelolaan hutan, dan praktek atau tradisi pengelolaan hutan/ lahan pasti memiliki pengaruh dalam pengelolaan sumber daya hutan lestari. Kearifan lokal diharapkan memberi pengaruh positif dan mendukung proses kegiatan pelestarian hutan.


(18)

Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui Kepercayaan atau pantangan dan etika atau aturan yang ada dalam masyarakat berkaitan dengan pengelolaan hutan.

2. Untuk mengetahui Teknik atau teknologi serta praktek atau tradisi masyarakat dalam pengelolan hutan.

3. Untuk menelaah sejauh mana kearifan lokal yang dimiliki masyarakat dapat menopang perkembangan pengelolaan sumber daya hutan dalam masyarakat tersebut.

Manfaat Penelitian

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi:

1. Pemerintah, yaitu hasil penelitian ini dapat berguna sebagai analisis pertimbangan dalam pengambilan keputusan kebijakan dalam pengelolaan sumber daya hutan kawasan Tahura Bukit Barisan, Sumatera Utara.

2. Masyarakat, yaitu hasil penelitian ini dapat membantu dalam proses berkembangnya pengelolaan sumber daya hutan oleh masyarakat sekitar Tahura Bukit Barisan yang diharapkan menambah kajian ilmu sosial masyarakat serta pengetahuan dan wawasan mengenai peran kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya hutan.

3. Universitas Sumatera Utara, hasil penelitian ini akan menjadi bentuk transfer ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEKS) yang tepat guna untuk meningkatkan fungsi dari Tahura Bukit Barisan serta peningkatan match-making hasil penelitian perguruan tinggi yang berpotensi dikerjasamakan dengan dunia usaha dan pemerintah.


(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Taman Hutan Raya (TAHURA) Bukit Barisan

Tahura Bukit Barisan merupakan Tahura ketiga di Indonesia yang ditetapkan oleh Presiden dengan Surat Keputusan Presiden R.I. No. 48 Tahun 1988 tanggal 19 Nopember 1988. Pembangunan Tahura ini sebagai upaya konservasi sumber daya alam dan pemanfaatan lingkungan melalui peningkatan fungsi dan peranan hutan. Tahura Bukit Barisan adalah unit pengelolaan yang berintikan kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi denga luas seluruhnya 51.600 Ha. Sebagian besar merupakan hutan lindung berupa hutan alam pegunungan yang ditetapkan sejak jaman Belanda, meliputi Hutan Lindung Sibayak I dan Simancik I, Hutan Lindung Sibayak II dan Simancik II serta Hutan Lindung Sinabung. Bagian lain kawasan Tahura ini tersiri terdiri dari CA/TW. Sibolangit, SM. Langkat Selatan TW. Lau Debuk-debuk dan Bumi Perkemahan Pramuka Sibolangit. Kawasan hutan ini didominasi oleh jenis-jenis pohon pegunungan baik jenis lokal maupun yang berasal dari luar. Beberapa jenis tersebut antara lain : Pinus Merkusii, Altingia exelsa, Schima wallichii, Podocarpus sp, Toona surei dan jenis yang lain seperti Durian, Dadap, Rambutan, Pulai, Aren, Rotan, dan lain-lain. Jenis tanaman yang berasal dari luar diantaranya : Pinus caribeae, pinus khasia, Pinus insularis, Eucalyptus sp, Agathis sp, dan lain-lain. Beberapa fauna yang hidup di kawasan ini antara lain : Monyet, siamang, babi hutan, ular, elang, kecil, rusa, treggiling, dan lain-lain. Sebagian dari Kawasan Tahura, terutama sekitar Tongkoh dan Brastagi telah berkembang menjadi salah satu daerah tujuan wisata yang penting di Sumatera Utara. Faktor


(20)

penunjang utama sebagai obyek wisata adalah udara yang sejuk, vegetasi alam yang baik dan pemandangan alam yang indah, sumber air dan danau Toba serta budaya yang memikat. Sarana prasarana seperti jalan raya dengan kondisi yang baik dan mulus yang menghubungkan sebagian besar kawasan Tahura, sarana akomodasi dan penginapan, lokasi perkemahan dan jalan setapak dibeberapa kawasan.. Selain untuk wisata , lokasi Tongkoh juga cocok untuk kegiatan penelitian, olah raga misalnya Lintas Wisata Alam dsb. Kawasan Tahura Bukit Barisan memiliki dua buah Gunung yaitu Gunung Sibayak (2.211 m) dan Gunung Sinabung (2.451 m) (Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan, 2002).

Kearifan Lokal sebagai Fenomena Keilmuan

Kearifan lokal merupakan usaha untuk menemukan kebenaran yang didasarkan pada fakta-fakta atau gejala-gejala yang berlaku secara spesifik dalam sebuah budaya masyarakat tertentu. Definisi ini bisa setara dengan definisi mengenai indigenous psychology yang didefinisikan sebagai usaha ilmiah mengenai tingkah laku atau pikiran manusia yang asli (native) yang tidak ditransformasikan dari luar dan didesain untuk orang dalam budaya tersebut. Hasil akhir dari indigenous psychology adalah pengetahuan yang menggambarkan tentang kearifan lokal, yaitu gambaran mengenai sikap atau tingkah-laku yang mencerminkan budaya asli. Secara metodologis, pembentukan indigenous psychology masih meminjam metode-metode ilmiah yang lazim dipakai sampai saat ini dengan mengkontekstualisasikan teori-teori yang ada dengan kecenderungan-kecenderungan lokal yang berkembang. Pada tahap ini, operasionalisasi teori-teori yang ada dikembangkan atau dimodifikasi menurut


(21)

karena ketika berbicara tentang keilmuan kita tidak bisa lepas dari teori-teori Barat yang secara faktual telah mengembangkan tradisi ilmiah lebih awal.9 Dengan demikian, sebagai usaha awal masih perlu untuk menggunakan teori-teori Barat sebagai pendekatan (Ridwan, 2007).

Selanjutnya, titik berat metodologis penelitian tidak lagi kuantitatif murni, tetapi lebih mengarah pada penelitian kualitatif atau kombinasi kuantitatif dan kualitatif. Oleh karena basis teori belum dimiliki dalam khazanah kearifan lokal, maka melalui teori-teori Barat kemudian dilakukan pendalaman-pendalaman. Pendalaman ini mengacu dan mengikuti gerak dan kepentingan masyarakat setempat. Ciri pendalaman ini menjadi karakteristik utama dalam penelitian kualitatif. Melalui pendalaman-pendalaman dapat diangkat khazanah keilmuan dari kearifan-kearifan lokal yang berkembang dan bersifat ilmiah.

Keberadaan kearifan lokal ini bukan tanpa fungsi. Kearifan lokal sangat banyak fungsinya. Seperti yang diruliskan Sartini (2004), bahwa fungsi kearifan lokal adalah sebagai berikut:

1. Berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam. 2. Berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia.

3. Berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan. 4. Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan. 5. Bermakna sosial misalnya upacara integrasi komunal/kerabat. 6. Bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian. 7. Bermakna etika dan moral.

8. Bermakna politik, misalnya upacara ngangkuk merana dan kekuasaan patron Client (Wuryandani).


(22)

Masyarakat adat dengan segala kearifan lokal yang dimilikinya tentu saja akan mengalami perubahan layaknya pada kebudayaan. Hal ini mengingat bahwa kearifan lokal merupakan salah satu wujud dari kebudayaan masyarakat. Perubahan ini tentu saja dipengaruhi oleh berbagai faktor. Sartini (2004), menjelaskan bahwa kebudayaan akan berubah dengan dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk, perpindahan atau masuknya penduduk lain pada suatu komunitas tertentu, masuknya peralatan baru sebagai produk modernisasi, dan kemudahan akses masuk ke dalam atau ke luar suatu komunitas. Bahkan hubungan antar individu atau kelompok juga dapat mempengaruhi kebudayaan. Soekanto (2002), membagi faktor-faktor perubahan pada kebudayaan dan perubahan sosial masyarakat menjadi dua kategori, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal ini berasal dari dalam masyarakat itu sendiri seperti: 1. bertambah/berkurangnya penduduk,

2. penemuan-penemuan baru,

3. pertentangan/konflik masyarakat, dan 4. terjadinya pemberontakan atau revolusi.

Sedangkan faktor ekternal adalah faktor yang berasal dari luar masyarakat diantaranya adalah:

1. sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik di sekitar manusia, 2. peperangan, dan

3. pengaruh kebudayaan masyarakat lain.

Kearifan lokal berasal dari dua kata yaitu kearifan (wisdom), dan lokal (local). Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan,


(23)

bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal (Ridwan, 2007).

Masyarakat Sekitar Hutan dan Ketergantungan Terhadap Hutan

Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan umumnya juga dikenal dengan istilah masyarakat desa hutan. Masyarakat desa hutan sebagai satu kesatuan hidup manusia mempunyai karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan komunitas lain. Adapun perbedaan karakter tersebut, antara lain: jenis lingkungan tempat tinggal, sistem kemasyarakatan, dan sistem kebudayaan. Masyarakat desa hutan sesuai dengan julukannya tinggal di lingkungan sekitar hutan dan dalam hutan. Masyarakat desa hutan relatif bersifat tertutup, terisolasi, dan terpencil dengan kehidupan komunitas lain. Hutan sebagai satu kesatuan lingkungan budaya menjadi tumpuan hidup (staff of life) masyarakat desa hutan untuk menopang sistem kehidupannya. Budaya masyarakat desa hutan terbentuk dari hubungan timbal balik yang berkesinambungan dengan lingkungan sumber daya hutan (Nugraha dan Murtijo, 2005).

Hutan dan fungsi hutan tidak dapat dilepaskan dari pengaruh manusia dalam memanipulasi penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan untuk kepentingan kehidupan dan lingkungan. Dengan diterimanya posisi masyarakat sebagai pelaku utama dalam pembangunan sumberdaya hutan di semua fungsi


(24)

hutan (produksi, lindung, dan konservasi), maka semangat dan kesadaran masyarakat dapat didorong untuk membangun, memelihara, dan memanfaatkan sumberdaya hutan secara lestari. Ketergantungan antara hutan dan masyarakat dapat dilihat dari ketergantungan masyarakat terhadap produksi dan jasa hasil hutan. Hutan sebagai sumberdaya juga memerlukan masyarakat untuk pengelolaannya (Awang, 2004).

Mengingat pentingnya fungsi hutan di satu pihak dan kebutuhan masyarakat di sekitar hutan akan lapangan pekerjaan baru di lain pihak, maka antara kehutanan dan masyarakat sebenarnya ada kebutuhan saling bergantung. Bila dalam proses, hubungan saling bergantung itu terganggu, maka terjadi kegiatan-kegiatan distruktif yang menyebabkan terjadinya kerusakan hutan. Pengenalan masalah yang dihadapi oleh kehutanan bertitik tolak dari tujuan pengelolaan dan hambatan-hambatan yang dijumpai. Hal ini dapat dipelajari dari adanya kenyataan-kenyataan yang dapat mengganggu tujuan pengelolaan atau mengancam kelestarian hutan (Simon, 2004).

Dalam beradaptasi dengan lingkungan, manusia selalu berupaya untuk memanfaatkan sumber-sumber alam yang berguna menunjang hidupnya. Manusia mempunyai ikatan dengan alam, karena secara langsung maupun tidak langsung alam memberikan penghidupan dan kehidupan bagi manusia. Adanya ikatan antara manusia dengan alam memberikan pengetahuan, pikiran, bagaimana mereka memperlakukan alam lingkungan. Oleh karena itu, mereka menyadari betul akan segala perubahan dalam lingkungannya, dan mampu mengatasinya demi kepentingan. Salah satu cara ialah dengan mengembangkan etika, sikap


(25)

kelakuan, gaya hidup, dan tradisi-tradisi yang mempunyai implikasi positif terhadap pemeliharaan dan pelestarian lingkungan (Sumintarsih, et all, 1993).

Masyarakat desa hutan memiliki rasionalitas pemikiran dan keragaman kearifan budaya dalam rangka mengelola serta memanfaatkan sumberdaya hutan. Sumberdaya hutan secara garis besar mempunyai fungsi utama, yaitu fungsi ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan. Fungsi ekonomi hutan bagi masyarakat adalah sebagai sumber pemenuhan kebutuhan pangan. Fungsi sosial budaya hutan bagi masyarakat adalah sebagai mediasi hubungan dengan sang pencipta. Sedangkan fungsi lingkungan hutan bagi masyarakat adalah sebagai pelindung dan penjaga kelangsungan hidup masyarakat (Nugraha dan Murtijo, 2005).

Dalam konteks pengelolaan sumberdaya hutan, modal sosial dalam wujud etika, religi, kearifan lingkungan, dan norma-norma hukum lokal (hukum adat) merupakan kekayaan budaya yang harus diperhitungkan, didayagunakan, dan diakomodasi dalam pembuatan kebijakan dan pembentukan hukum negara mengenai pengelolaan sumberdaya alam. Kearifan lingkungan masyarakat yang sebagian besar tinggal di pedesaan dan dekat dengan lokasi hutan pada hakikatnya berpangkal dari sistem nilai dan religi yang dianut dalam komunitasnya. Kearifan lingkungan tersebut sering juga disebut kearifan tradisional yang berarti pengetahuan yang secara turun temurun dimiliki oleh masyarakat untuk mengelola lingkungan hidupnya, yaitu pengetahuan yang melahirkan perilaku sebagai hasil dari adaptasi mereka terhadap lingkungannya, yang mempunyai implikasi positif terhadap kelestarian lingkungan (Tanjung, et all, 1992). Hakikat yang terkandung di dalamnya adalah memberi tuntunan kepada manusia untuk


(26)

berperilaku yang serasi dan selaras dengan irama alam semesta, sehingga tercipta keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya.

Menurut Nababan (2003), prinsip-prinsip kearifan tradisional yang dihormati dan dipraktekkan oleh komunitas-komunitas masyarakat, antara lain:

1. Ketergantungan manusia dengan alam yang mensyaratkan keselarasan hubungan dimana manusia merupakan bagian dari alam itu sendiri yang harus dijaga keseimbangannya;

2. Penguasaan atas wilayah adat tertentu bersifat eksklusif sebagai hak penguasaan dan/atau kepemilikan bersama komunitas (comunal property resources) atau kolektif yang dikenal sebagai wilayah adat; 3. Sistem pengetahuan dan struktur pengaturan (pemerintahan) adat

memberikan kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam pemanfaatan sumberdaya hutan;

4. Sistem alokasi dan penegakan hukum adat untuk mengamankan sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebihan, baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh orang luar komunitas;

5. Mekanisme pemerataan distribusi hasil "panen" sumberdaya alam milik bersama yang bisa meredam kecemburuan sosial di masyarakat.

Kearifan tradisional merupakan pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu yang mencakup sejumlah pengetahuan kebudayaan yang berkenaan dengan model-model pengelolaan sumberdaya alam secara lestari. Mempelajari kearifan lokal, tidak berarti mengajak kita kembali pada periode jaman batu. Akan tetapi hal ini justru penting, tidak saja dalam memahami bagaimana masyarakat lokal memperlakukan sumberdaya alam disekitarnya,


(27)

tetapi juga bagaimana memanfaatkan berbagai hal positif yang terkandung di dalamnya bagi kepentingan generasi di masa mendatang (Sardjono, 2004).

Partisipasi lokal dari masyarakat yang tinggal di sekitar hutan dalam upaya konservasi kawasan hutan sangat diperlukan, baik melalui dukungan maupun keterlibatan masyarakat terhadap program pengelolaan. Partisipasi tersebut akan berhasil apabila masyarakat memiliki kemampuan dan pengetahuan dalam berpartisipasi. Selain itu, insentif yang cukup untuk merangsang masyarakat berpartisipasi dan dukungan dari lembaga terhadap kegiatan masyarakat juga diperlukan (Awang, 2004).

Pemanfaatan dan Pengetahuan Masyarakat Karo Tentang Tumbuhan Obat

Potensi tanaman obat yang ada di hutan dan kebun/pekarangan sangat besar, baik industri obat tradisional ataupun fitofarmaka memanfaatkannya sebagai penyedia bahan baku obat. Dilihat dari segi habitusnya, spesies-spesies tumbuhan obat yang terdapat di berbagai formasi hutan Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam 7 (tujuh) macam yaitu: habitus bambu, herba, liana, pemanjat, perdu, pohon, dan semak dan dari ketujuh habitus ini, spesies tumbuhan obat yang termasuk ke dalam habitus pohon mempunyai jumlah spesies dan persentase yang lebih tinggi dibandingkan habitus lainnya. Berdasarkan bagian dari tumbuhan obat hutan tropika Indonesia yang digunakan, spesies tumbuhan obat yang ada dapat dikelompokkan ke dalam 15 (lima belas) macam, yaitu: daun, akar, kulit batang, buah, semua bagian, batang/kayu, biji, bunga, getah, pucuk daun/tunas, rimpang, umbi, cabang/ranting, air batang, dan umbut. Daun merupakan bagian tumbuhan yang paling banyak digunakan (Zuhud, 2008).


(28)

Pemanfaatan tanaman obat atau bahan obat alam pada umumnya sebenarnya bukanlah merupakan hal yang baru. Upaya pengobatan tradisional dengan obat-obat tradisional merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dan sekaligus merupakan teknologi tepat guna yang potensial untuk menunjang pembangunan kesehatan. Dalam rangka peningkatan dan pemerataan pelayanan kesehatan masyarakat, obat tradisional perlu dimanfaatkan dengan sebaik- baiknya. Kenyataan menunjukkan bahwa dengan bantuan obat-obatan asal bahan alam tersebut, masyarakat dapat mengatasi masalah- masalah kesehatan yang dihadapinya (Tukiman, 2004).

Menurut Supardi, dkk (2003) Perilaku pengobatan sendiri menggunakan obat tradisional merupakan salah satu perilaku kesehatan. Setiap perilaku kesehatan dapat dilihat sebagai fungsi pengaruh kolektif dari faktor predisposisi antara lain pengetahuan, sikap, dan persepsi. Faktor pemungkin antara lain biaya dan jarak, dan faktor penguat antara lain dorongan sosial. Penduduk yang tinggal di desa cenderung lebih menyukai penggunaan obat tradisional karena ketersediaan tumbuhan obat sebagai bahan baku lebih banyak dan lebih dikenal di desa. Secara umum keluhan yang ditanggulangi oleh obat tradisional adalah keluhan yang dianggap berat, misalnya kecelakaan, campak, kejang, dan lumpuh. Hal ini menunjukkan penggunaan obat tradisional untuk keluhan sakit lebih banyak pada penyakit kronis dan membutuhkan biaya lebih mahal.

Pengetahuan tentang tumbuhan obat oleh masyarakat Desa Bukit Lawang dan Desa Timbang Jaya masih dimiliki oleh kalangan orang tua walaupun sudah jarang digunakan. Pada kalangan generasi muda sudah jarang menggunakan tumbuhan obat, sehingga pengetahuan tentang tumbuhan obat yang merupakan


(29)

warisan turun- temurun lambat laun akan hilang. Pada aspek pengetahuan tentang hutan maupun tentang tumbuhan obat yang ada di hutan, mengingat responden berasal dari latar belakang pendidikan yang berbeda, maka pengetahuan akan hutan dan tumbuhan obat yang ada di hutan akan berbeda pula (Batubara, 2008).

Kearifan Lokal Penggunaan Api Untuk Persiapan Lahan

Pada dasarnya kebakaran hutan dan lahan disebabkan oleh multi-faktor yang sangat kompleks mencakup aspek fisik yaitu bahan bakar dan iklim, ekologi, sosial ekonomi dan budaya anthropologis masyarakat, teknologi dan sistem kelembagaan serta intensitas pengelolaan hutan dan lahan termasuk aspek silvikultur. Dari sekian banyak permasalahan, awal kebakaran berasal dari api kecil dengan sumber-sumber pemicu di masyarakat, sehingga nilai-nilai kearifan lokal menjadi sangat penting untuk dikaji. Hasil studi kearifan lokal menunjukkan bahwa di lima desa kawasan hutan Mawas masih terdapat nilai-nilai kearifan yang dianut yang berhubungan dengan pencegahan kebakaran diantaranya adanya nilai-nilai yang disampaikan melalui tekad, perkataan dan tindakan dari generasi ke generasi tentang pencegahan, penerapan pembakaran terkendali saat pembukaan ladang untuk bertani, dan adanya tindakan sanksi bagi yang melanggar adat. Namun demikian, penurunan nilai-nilai tersebut tengah terjadi akibat jumlah penduduk yang semakin meningkat, menjauhnya jarak ladang, dan semakin meluasnya kepemilikan lahan. Nilai-nilai kearifan lokal di desa Mantangai Hilir, Katunjung, Lawang Kajang, Madara, dan Batampang sebaiknya dipertahankan dan dijadikan landasan pengelolaan kebakaran, khususnya dalam menerapkan


(30)

strategi pencegahan kebakaran hutan rawa gambut berbasis masyarakat (Akbar,2011).

Dalam perspektif sosial sering muncul pertanyaan, mengapa masyarakat cenderung tidak perduli dengan kebakaran hutan. Disisi lain di beberapa daerah terdapat kearifan tradisional yang mampu mencegah terjadinya kebakaran. Berbagai contoh keberhasilan pencegahan kebakaran antara lain : Penggunaan api untuk berladang di desa Loksado dan Mawangi di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan (Apriyanto, 2003). Penggunaan api untuk berladang di desa Lebung Gajah dan desa Ujung Tanjung di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan (Suyanto, 2001), dan budaya “Sako” yang ditemukan di Molo Selatan dan Benlutu di Nusa Tenggara Timur (Kurniadi, 2003). Secara umum kearifan lokal dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Bijaksana artinya kemampuan membuat keputusan yang masuk akal, penuh kearifan artinya penuh toleransi, dan bernilai baik artinya sikap yang selalu berorientasi kepada kebaikan (Suyanto et all, 2001).

Kebakaran selalu berawal dari kejadian api kecil yang menyebar secara liar. Timbulnya api-api kecil yang bersifat setempat umumnya berasal dari sumber-sumber api pemicu yang bersifat rutin pada ladang di desa-desa sekitar hutan. Hal-hal yang sering menjadi pertanyaan diantara para rimbawan adalah apakah kejadian kebakaran ini ada hubungannya dengan menurunnya nilai kearifan lokal tentang penggunaan api untuk perladangan. Apakah nilai-nilai kearifan tentang penggunaan api di lahan untuk berladang masih ada pada sebagian penduduk sekitar hutan. Keyakinan-keyakinan tradisional mengandung


(31)

sejumlah besar data empiris potensial yang berhubungan dengan fenomena, proses, sejarah perubahan lingkungan yang membawa implikasi bahwa sistem-sistem pengetahuan tradisional ini dapat memberikan informasi yang berguna bagi perencanaan dan proses pembangunan (Rambo, 1984; Lovelace, 1984). Sistem pengetahuan lokal harus difahami mencakup berbagai kreativitas intelektual masyarakat tertentu yang merupakan respon berkelanjutan dan kontemporer secara individu dan sosial terhadap lingkungan (Posey dalam Adimihardja, 1998).

Kebakaran yang sering terjadi di kawasan hutan konservasi Mawas, Kalimantan Tengah menuntut adanya teknologi yang dapat meminimalisir bahkan menghilangkan kejadian tersebut. Berbagai sebab terjadinya kebakaran telah diketahui, namun karena begitu kompleksnya permasalahan tersebut baik dari segi teknis maupun sosial ekonomis, sehingga untuk memulai mencari solusinya sering menjadi perdebatan diantara rimbawan sendiri. Setidaknya ada enam sebab kebakaran selalu terjadi. Pertama, akibat rusaknya struktur kanopi hutan sehingga hutan mudah mengalami pemanasan. Kedua, hutan merupakan sumberdaya yang terbuka untuk umum dan kemampuan aparat kehutanan di lapangan untuk mengamankan hutan sangat minim sehingga setiap orang dapat mengambil hasil hutan tanpa mementingkan kelestariannya.Ketiga, sistem pengendalian kebakaran selama ini belum mengikut sertakan masyarakat di sekitarnya. Keempat, kebakaran hutan disebabkan oleh meningkatnya kelalaian dalam menggunakan api untuk berladang. Kelima,teknologi pengendalian kebakaran yang belum memasyarakat, dan keenam, akibat sistem silvikultur yang kurang tepat (Akbar, 2011).


(32)

Pengetahuan Lokal Dalam Pengelolaan SDA

Tumbuh kembangnya proyek – proyek pembangunan ternyata disertai dengan semakin diacuhkannya keberadaan dan peranan pengetahuan penduduk setempat yang disebut pengetahuan local. Secara konseptual, Pengetahuan local adalah kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai- nilai, etika, cara- cara atau perilaku yang melembaga secara tradisional. Pengetahuan lokal secara konseptual terdiri atas dua bentuk, yaitu pengetahuan bersifat pragmatis tentang dunia alamiah/ objektif yang berlangsung, dan pengetahuan supranatural yang menyangkut nilai –nilai kultural/ dunia subjektif yang sering kali nilai- nilai ini mempengaruhi keinginan-keinginan orang atas sesuatu. Pengetahuan lokal sering kali tidak cukup mendorong seseorang atau sekelompok orang untuk mengambil keputusan atau melakukan aksi nyata. Ada faktor lain yang turut mempengaruhi terwujudnya suatu aksi yaitu kondisi dan bentuk –bentuk dasar aturan nilai yang dihasilkan oleh budaya, agama, dan moral.Kemudian keadaan ekonomi dan intervensi kebijakan baik berupa dukungan sumber daya material maupun pengetahuan. Dalam konteks ini, pengetahuan lokal adalah indigenous knowledge, di mana pengetahual local yang hendak dilihat adalah pengetahuan yang erat hubungannya dengan aspek pengelolaan sumber daya alam dan mata pencaharian atau sumber nafkah. Menurut Berkes, kekuatan utama sistem pengetahuan lokal dalam aspek ini adalah:

1. Self interest, dalam arti pengetahuan lokal menjadi kunci penting upaya konservasi, karena kekuatannya datang dari dalam bukan dari luar.


(33)

2. Sistem pengetahuan yang akumulatif dalam arti bahwa pengetahuan lokal merupakan akumulasi atas pola adaptasi ekologis komunitas lokal yang telah berlangsung berabad- abad.

3. Pengetahuan sangat potensial untuk membantu mendesain upaya konservasi sumber daya yang efektif karena dukungan lokal dan tingkat adaptasi serta pertimbangannya yang tinggi (Rahmawati, 2008).

Salah satu bentuk antisipasi pemuka adat dalam menanggulangi semakin meluasnya penggunaan lahan hutan untuk perkebunan adalah mempertegas kembali kawasan hutan larangan yang masih dapat dipertahankan dan luasan hutan adat ini merupakan kawasan larangan yang tidak boleh diganggu oleh siapapun. Hutan larangan adat adalah hutan yang dijaga untuk pemanfaatan terbatas sesuai aturan adat yang berlaku. Sementara hutan rakyat adalah hutan yang dapat dikelola secara komunal untuk kepentingan bersama. Hutan rakyat adat merupakan kawasan hutan yang masih dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara terbatas, dan di dalam pemanfaatannya harus mendapat ijin dari kelompok adat dan pemerintah desa. Bentuk pemanfaatan hutan rakyat adat yang berada di luar kawasan hutan larangan biasanya dimanfaatkan untuk usaha tani perkebunan kelapa sawit dan karet. Sedangkan hutan larangan adat merupakan kawasan yang tidak dimanfaatkan karena merupakan sumber air. Dalam hutan larangan adat tidak boleh melakukan penebangan untuk keuntungan pribadi (pembukaan lahan/bisnis). Pemanfaatan jenis tumbuhan di hutan larangan adat antara lain pengambilan kayu bakar, bahan makanan(sayur- sayuran dan buah-buahan), bahan obat- obatan, dan rotan (Nurhayati, 2005).


(34)

Tabel 1. Contoh bentuk kearifan lokal

Bentuk kearifan lokal Contoh

Kepercayaan dan/atau Pantangan

1. pantangan untuk menebang pohon yang masih produktif atau memotong rotan terlalu rendah

2. manusia berkaitan erat dari unsur dan proses alam sehingga harus memelihara keseimbangan lingkungan

3. keberhasilan penanaman berkaitan dengan gejala lingkungan seperti tumbuhan, binatang, ataupun bulan

Etika dan Aturan 1. menebang pohon hanya sesuai dengan kebutuhan dan wajib melakukan penanaman kembali

2. tidak melakukan perladangan pada lahan yang sama secara terus menerus

3. tidak boleh menangkap ikan dengan meracuni (tuba) dan /atau menggunakan bom

4. mengutamakan berburu binatang yang menjadi hama

Teknik dan Teknologi 1. membuat sekat bakar dan memperhatikan arah angin pada saat berladang agar api tidak menjalar dan menghanguskan kebun/tanaman petani lain

2. menentukan kesuburan tanah dengan menancapkan bambu atau parang, kegelapan warna tanah, diameter pohon dan warna kehijauan warna tumbuhannya


(35)

3. membuat berbagai perlengkapan/alat rumah tangga, pertaian, berburu binatang dari bagian kayu/bambu/rotan/getah, lain-lain

Praktek dan Tradisi Pengelolaan

Hutan/lahan

1. menetapkan sebagian areal hutan sebagai hutan lindung untuk kepentingan bersama

2. melakukan koleksi berbagai jenis tanaman hutan berharga pada lahan-lahan perladangan dan pemukiman (konservasi eksitu)

3. mengembangkan dan/atau membudidayakan jenis tanaman atau hasil hutan yang berharga


(36)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di empat desa di sekitar kawasan Tahura Bukit Barisan yaitu di desa Kuta Rakyat Kecamatan Namanteran, desa Jarang Uda Kecamatan Merdeka, Dusun Tongkoh Desa Dolat Rakyat Kecamatan Dolat Rakyat, dan Desa Tanjung Barus kecamatan Barus Jahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan april – juli 2012.

Alat dan Bahan

Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamera digital dan alat tulis sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner.

Teknik dan Tahapan Pengumpulan Data

Penelitian ini bersifat eksploratif yaitu pengambilan data dilakukan dengan mengkombinasikan metode telaahan dokumentasi dari berbagai sumber data sekunder dan metode langsung yaitu pengumpulan data primer di lapangan dengan wawancara dan observasi. Tahapan dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut:

1. Pengumpulan data primer penelitian

• Wawancara, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan informasi secara langsung dengan mengungkapkan pertanyaan- pertanyaan kepada para responden (Subagyo, 1997).


(37)

Wawancara dilakukan kepada kepala keluarga terkait dengan kearifan lokal dalam pengelolaan hutan lestari.

• Observasi adalah pengamatan yang dilakukan secara sengaja, sistematis mengenai fenomena sosial dengan gejala- gejala psikis untuk kemudian dilakukan pencatatan (Subagyo, 1997). Observasi dilakukan terhadap kondisi kearifan lokal terkait pengelolaan hutan dan perannya dalam kegiatan pelestarian sumber daya hutan. 2. Pengumpulan data sekunder diperoleh dari studi – studi pustaka atau

publikasi yang dibuat suatu instansi mengenai kearifan lokal masyarakat dalam pengelolaan hutan.

Analisis Data

Data –data primer dan sekunder yang telah diperoleh kemudian diolah dan dianalisis secara deskriptif untuk memperoleh gambaran dari setiap tujuan penelitian yang dilakukan. Data- data yang diperoleh dari observasi, wawancara, maupun data- data pelengkap dikumpulkan dan diklasifikasikan sesuai dengan tema kajian permasalahan kemudian dilakukan analisis berupa penginterpretasian data dengan bantuan data sekunder dan diuraikan dalam ssbentuk diagram sehingga bisa menghasilkan uraian yang terperinci.


(38)

Matriks Penelitian

Tabel 2. Matriks Metodologi

Tujuan Studi Pokok bahasan Data Kunci Sumber dan Metode

Hasil Yang Diharapkan Mengetahui

Kepercayaan atau pantangan dan etika atau aturan yang ada dalam masyarakat berkaitan dengan pengelolaan hutan. Kepercayaan atau pantangan yang diterapkan masyarakat dalam pengelolaan hutan

Etika atau aturan yang diterapkan masyarakat dalam pengelolaan hutan Kondisi umum lokasi penelitian dan kepercayaan masyarakat Karakteristik masyarakat dan norma sosial masyarakat Observasi lapangan, studi pustaka, dokumentasi, wawancara. Observasi lapangan, studi pustaka, wawancara, diskusi, dokumentasi Informasi mengenai kepercayaan atau pantangan yang masih ada dalam masyarakat terkait dengan pengelolaan hutan.

Informasi mengenai etika atau aturan yang ada dalam masyarakat terkait dengan pengelolaan hutan

Mengetahui Teknik atau teknologi serta praktek atau tradisi masyarakat dalam pengelolan hutan. Teknik atau teknologi yang diterapkan masyarakat dalam pengelolaan hutan

Praktek atau tradisi masyarakat dalam pengelolaan hutan

Pengetahuan masyarakat tentang hutan dan alat yang digunakan Kebiasaan, karakteristik masyarakat dan adat masyarakat Observasi lapangan, dokumentasi, wawancara, diskusi Observasi lapangan, wawacara, diskusi, dokumentasi Informasi mengenai teknik atau teknologi yang digunakan masyarakat terkait dengan pengelolaan hutan

Informasi mengenai praktek atau tradisi masyarakat terkait dengan pengelolaan hutan.


(39)

Menelaah sejauh mana kearifan lokal yang dimiliki masyarakat dapat menopang perkembangan

pengelolaan sumber daya hutan dalam masyarakat tersebut. Tingkat pemahaman dan kepatuhan masyarakat terhadap kearifan lokal Aturan tertulis dan tidak tertulis yang mengikat individu atau masyarakat, pemanfaatan hutan, pengelolaan hutan, dan perlindungan hutan. Wawancara, diskusi, observasi langsung, dokumentasi, studi pustaka. Informasi mengenai tingkat pemahaman dan kepatuhan masyarakat terhadap kearifan lokal terkait dengan pengelolaan hutan.


(40)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Taman Hutan Raya Bukit Barisan

Taman Hutan Raya Bukit Barisan, merupakan milik kebanggaan masyarakat Sumatera Utara, yang mempunyai sasaran untuk melestarikan sumber daya alam dan pemanfaatan lingkungan, serta untuk dapat meningkatkan fungsi dan peranan hutan bagi kehidupan manusia. Untuk itu, Tahura Bukit Barisan mempunyai maksud dan tujuan utama, yakni menjadikannya sebagai sumber genetik dan plasma nuftah, pusat informasi dan penelitian peranan Flora dan Fauna bagi generasi kini dan mendatang, perlindungan hidrologi yang menunjukkan bahwa kawasan Tahura Bukit Barisan merupakan sumber mata air bersih bagi warga Kota Medan, pencegah erosi dan banjir daerah pantai timur Sumatera Utara, peredam polusi kendaraan dan industri Kota Medan dan sekitarnya, lokasi penyuluhan dan pendidikan konservasi dalam menumbuhkan kesadaran cinta alam dan sebagai sarana rekreasi dan wisata.

Gambar 1. Taman Hutan Raya Bukit Barisan

Tahura Bukit Barisan yang terletak di kawasan gunung berapi Sinabung dan Sibayak ini, dibangun dalam satu unit pengelolahan yang berintikan kawasan


(41)

ini pada umumnya terjal hingga puncak gunung berapi Sinabung yang tingginya 2.451 meter dan Sibayak setinggi 2.211 meter di Kabupaten Karo, dan sebagian kecil bergelombang dan landai di kaki perbukitan Bukit Barisan. Kawasan Tahura Bukit Barisan ini merupakan Daerah Hulu Sungai (DHS) yang utama bermuara ke pantai timur Sumatera Utara seperti Sungai Ular, Sungai Belumai dan Sungai Tuntungan di Kabupaten Deli Serdang; Sungai Denai, Sungai Babura, Sungai Deli dan Sungai Belawan (sumber air bersih Persoalan Air Minum Tirtanadi Medan ) di Kodya Medan, Sungai Bingei dan Sungai Mencirim di Kota Binjai; dan Sungai Wampu serta Sungai Batang Serangan di Kabupaten Langkat. Elevasi kawasan Tahura Bukit Barisan, berkisar sekitar 400 meter - 2.451 meter dari permukaan Laut, sehingga kondisi wilayah dan vegetasi kawasan sangat menentukan kualitas linkungan, terutama factor air minum warga Kota Medan. Karena Instalasi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi yang sangat vital berada di kawasan Lau Kaban, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang (Dinas Kehutanan Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, 1999/2000).

Gambar 2. Kawasan Tahura Bukit Barisan

Areal kawasan Tahura Bukit Barisan yang hutannya lebat dan indah itu, meliputi wilayah Pemerintah Kabupaten Karo seluas 19.805 Hektar, Deli terdapat


(42)

17.150 hektare, Langkat 13.000 Hektare dan Simalungun 1045 Hektare. Seluruh kawasan ini yang luasnya 51.600 Hektare itu ,berasal dari hutan lindung 38.273 Hektare (74,17%), Taman Nasional 13.000 Hektare (25,20%), Bumi Perkemahan Pramuka Sibolangit 200 Hektare (0,39%), Cagar Alam Sibolangit 120 Hektare (0,23%), dan taman wisata Lau Debuk-debuk 7 Hektare (0,01%) .

Di areal kawasan Tahura Bukit Barisan juga hidup penduduk setempat yang sudah lama bermukim sebelum Tahura dibentuk. Warga yang bermukim mayoritas adalah suku Karo dan mata pencaharian utama masyarakat adalah bertani yaitu bertani sayur- mayur, bunga, dan buah- buahan seperti markisa, jeruk, terong belanda, kopi, cengkeh, dan kemiri.

Gambar 3. Ladang masyarakat yang berbatasan langsung dengan kawasan Tahura Adanya interaksi antara masyarakat dengan hutan Tahura menyebabkan terjadinya kerusakan beberapa kawasan hutan dan konflik yang lainnya. Beberapa konflik yang terjadi antara lain pencurian humus dari kawasan hutan, pencurian bambu, pencurian jenis bunga, dan pencurian hasil hutan lainnya. Terkadang terjadi kebakaran hutan akibat pembakaran sampah pertanian oleh masyarakat yang memiliki lahan yang berbatasan langsung dengan hutan. Hal ini terjadi didorong karena kebutuhan hidup yang makin tinggi dan keterikatan masyarakat yang sangat erat dengan hutan dan memanfaatkan hasil hutan sejak dahulu.


(43)

Namun semakin lama pemanfaatan hutan secara lestari sangat berkurang dan mengarah pada kerusakan kondisi hutan yang semakin parah. Hal ini diperkuat oleh penelitian sebelumnya yaitu Simon (2004) yang menyatakan mengingat pentingnya fungsi hutan di satu pihak dan kebutuhan masyarakat di sekitar hutan akan lapangan pekerjaan baru di lain pihak, maka antara kehutanan dan masyarakat sebenarnya ada kebutuhan saling bergantung. Bila dalam proses, hubungan saling bergantung itu terganggu, maka terjadi kegiatan-kegiatan distruktif yang menyebabkan terjadinya kerusakan hutan. Pernyataan ini juga didukung oleh Sumintarsih, et all (1993) yang menyatakan dalam beradaptasi dengan lingkungan, manusia selalu berupaya untuk memanfaatkan sumber-sumber alam yang berguna menunjang hidupnya. Manusia mempunyai ikatan dengan alam, karena secara langsung maupun tidak langsung alam memberikan penghidupan dan kehidupan bagi manusia.

Profil Desa Kuta Rakyat

a. Sejarah Desa

Berdasarkan cerita orang tua (responden), pembentukan pembangunan kampong Kuta Rakyat (Toraja Berneh) dilaksanakan oleh 4 golongan yaitu golongan kalimbubu (bermarga karo- karo), golongan kalimbubu puang taneh, golongan anak beru, dan golongan guru (dukun).


(44)

Adapun fungsi dari golongan- golongan ini masing- masing adalah sebagai berikut:

1. Golongan Kalimbubu/bermarga karo berfungsi sebagai penanggung jawab terhadap segala peralatan yang diperlukan, termasuk peralatan di bidang keamanan dan sebagainya.

2. Golongan Kalimbubu puang taneh berfungsi sebagai hakim tertinggi dan penasehat.

3. Golongan anak beru berfungsi sebagai pelaksana pembentukan/pembangunan kampung Toraja Berneh, pelaksana pembangunan rumah darurat, pelaksana keamanan, pelaksana perhubungan, dan pelaksana adat serta seni budaya.

4. Golongan guru (dukun) berfungsi sebagai penentu kapan waktu dimulai pelaksanaan pembentukan kampung Toraja Berneh. Selain itu guru juga berfungsi menyelidiki tanda- tanda penyakit yang bakal terjadi yang merupakan menjadi penghalang dalam pembentukan kampung nantinya, sehingga guru harus menyediakan obat- obatan untuk berbagai jenis penyakit yang dianggap akan muncul.

Dari hasil keputusan musyawarah ke empat golongan tersebut, maka anak beru mulai melaksanakan hasil keputusan itu. Keputusan pertama dimana kalimbubu karo margana menunjuk tempat pembentukan kampung Toraja Berneh yang diadakan di lingkungan Tambak Emas kurang dari I km sebelah timur dari desa ini. Kondisi desa ini awalnya merupakan hutan belantara yang dihuni oleh binatang buas dan berbisa sehingga golongan anak beru dibekali obat- obatan oleh


(45)

kalimbubu karo margana. Setelah selesai penebangan maka dibuatlah perumahan dan mereka pun menanam padi di sana.

Setelah kampung Toraja Berneh di Tambak Emas didiami puluhan tahun, maka terjadi persengketaan antara kampung Toraja Berneh dan kampung lain yang menimbulkan peperangan. Akibat kejadian itu maka terjadilah perpindahan ke pedeleng kira- kira 0,5 km ke sebelah tenggara dari desa ini. Namun setelah didiami puluhan tahun maka terjadi pula perpindahan ke Lau Njulu yaitu 0,5 km kesebelah utara disebabkan karena terjadinya peperangan. Perkampungan Toraja Berneh di Lau Njulu berada disebelah kanan pembangunan jalan Kabupaten Karo dengan Kabupaten Langkat yang dibangun pemerintah orde baru dan puluhan tahun kemudian pindah lagi kira- kira 0,5 km ke selatan dari Lau Njulu tersebut. Perpindahan tersebut membawa dampak yang baik karena sarana lalu lintas dari Toraja Berneh Kabupaten Karo ke Telagah Kabupaten Langkat semakin baik dan semakin sering dilalui. Kini desa Toraja Berneh itu dikenal dengan nama desa Kuta Rakyat.

b. Letak Geografis dan Kondisi Iklim

Luas administratif desa Kuta Rakyat adalah 14,21 km2 atau sekitar 16,18% dari luas kecamatan Namanteran. Kecamatan Namanteran adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Karo yang merupakan pemekaran dari Kecamatan Simpang Empat. Kecamatan Simpang Empat dimekarkan menjadi 3 kecamatan yaitu kecamatan Simpang Empat (Kecamatan Induk), Kecamatan Namanteran (hasil pemekaran), dan kecamatan Merdeka (hasil pemekaran).


(46)

Batas- batas desa Kuta Rakyat Kecamatan Namanteran adalah sebagai berikut:

a. Sebelah timur berbatasan dengan desa Kebayaken b. Sebelah barat berbatasan dengan desa Kuta Gugung c. Sebelah utara berbatasan dengan Hutan Negara

d. Sebelah Tenggara berbatasan dengan desa Sigarang- garang

Kondisi iklim di desa Kuta Rakyat berhawa dingin dan sangat sejuk karena letaknya berada pada ketinggian 700-1420 meter di atas permukaan laut.

c. Komposisi Penduduk

Penduduk yang tinggal di Kuta Rakyat terdiri dari berbagai suku (heterogen). Suku yang mayoritas adalah suku Karo, kemudian adalah suku jawa, dan terakhir adalah suku batak toba. Tabel berikut merupakan persentase komposisi penduduk menurut suku di desa Kuta Rakyat.

Tabel 3. Persentase komposisi penduduk Kuta Rakyat berdasarkan suku

No. Suku Jumlah (jiwa) Persentase (%)

1 Karo 1500 85

2 Jawa 178 10

3 Batak Toba 87 5

Total 1765 100

Ditinjau dari agama, penduduk desa Kuta Rakyat memeluk agama yang berbeda- beda. Namun di dalam perbedaan tersebut tercipta kerukunan dan hidup saling bertoleransi dan menghormati antar pemeluk agama sehingga pola kerukunan hidup tercipa di desa ini. Agama yang paling banyak dianut penduduk Kuta Rakyat adalah Kristen Protestan, kemudian Islam, dan terakhir adalah


(47)

Katolik. Tabel berikut merupakan persentase penduduk menurut agama di desa Kuta Rakyat.

Tabel 4. Persentase komposisi penduduk Kuta Rakyat menurut agama

No Agama Jumlah (jiwa) Persentase (%)

1 Kristen Protestan 794 45

2 Islam 706 40

3 Katolik 265 15

Jumlah 1765 100

Dilihat dari mata pencaharian, penduduk Desa Kuta Rakyat mayoritas bekerja sebagai petani (berladang), kemudian ada juga yang bekerja sebagai ABRI/POLRI, PNS, dan pegawai swasta. Ada juga sebagian penduduk membuka warung namun hanya sebagai pekerjaan sampingan karena pencarian utama adalah bertani. Berikut tabel persentase komposisi masyarakat desa Kuta Rakyat berdasarkan mata pencaharian.

Tabel 5. Persentase komposisi penduduk Kuta Rakyat menurut Pekerjaan

No Pekerjaan Jumlah (jiwa) Persentase (%)

1 Bertani 1500 85

2 PNS, ABRI/POLRI 177 10

3 Pegawai swasta 88 5

jumlah 1765 100

Jika ditinjau dari tingkat pendidikan, penduduk memiliki tingkat jenjang pendidikan yang beragam mulai dari tidak sekolah sampai perguruan tinggi. Berikut tabel persentase komposisi masyarakat berdasarkan tingkat pendidikan penduduk di desa Kuta Rakyat.


(48)

Tabel 6. Persentase komposisi penduduk Kuta Rakyat Berdasarkan Pendidikan No Tingkat Pendidikan Jumlah (jiwa) Persentase (%)

1 Tidak Tamat SD 177 10

2 SD 353 20

3 SMP 530 30

4 SMA 618 35

5 Perguruan Tinggi 88 5

Jumlah 1765 100

Berdasarkan tabel di atas, tdapat diasumsikan bahwa tingkat pendidikan penduduk di desa Kuta Rakyat masih tergolong rendah yang dapat kita lihat dari jumlah keseluruhan penduduk hanya mencapai 5 % yang melanjut ke perguruan tinggi sedangkan SMA 35%.

d. Sarana dan Prasarana

Sarana kesehatan yang tersedia di desa Kuta Rakyat adalah 1 bangunan puskesmas dimana masyarakat pada umumnya akan dating ke tempat ini jika mengalami penyakit ringan seperti demam, flu, dan batuk dan jika terserang penyakit berat dan bersifat serius maka lebih memilih untuk berobat ke kota Brastagi atau Kabanjahe.

Sarana ibadah yang terdapat di desa Kuta Rakyat adalah 1 bangunan masjid untuk peribadatan umat muslim, 1 bangunan gereja untuk peribadatan agama Kristen Protestan, dan untuk agama Khatolik biasanya menjalankan ibadah ke desa Sigarang- garang yang merupakan desa tetangga karena belum adanya gereja di desa Kuta Rakyat.


(49)

melanjutkan pendidikan Ke tingkat SMP dan SMA harus keluar desa yaitu SMP ada di desa Sigarang- garang atau ke Brastagi dan Kabanjahe sedangkan SMA ada di Brastagi dan Kabanjahe dan di Kecamatan Simpang Empat desa Sibintun.

Dusun Tongkoh Desa Dolat Rakyat a. Sejarah Desa

Menurut legendanya secara oral historis atau cerita turun-temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Dataran tinggi Karo mulai dihuni oleh masyarakat Melayu Tua yang datang kedaerah pegunungan Karo, kemudian menjadi suku bangsa Haru. Salah satu sub-marganya adalah Karo Sekali yang bermukim di kampung

Capah, sekarang dinamai Seberaya. Disinilah pertama sekali bangsa Haru menyebut Karou dan menjadi Karo oleh marga Karo Sekali. Sebelum kampung Sicapah bernama Seberaya, kampung ini masih terbagi dalam empat kesain yang berpencar-pencar, yaitu Kesain Rumah Juluun, Kesain Rumah Seribu, Kesain Rumah Karo, dan Kesain Rumah Sinuraya. Kemudian setelah orang-orang Hindu Tamil bermukim di daerah tersebut kira-kira tahun 1200-an, mereka berasimilasi dengan penduduk setempat dan mendapat keturunan sampai beberapa generasi, maka kampung Sicapah berubah nama menjadi Seberaya. Seberaya berasal dari kata sabe-sabe yang berarti pemujaan dan raya yang berarti besar, karena di kampung inilah pertama sekali diadakan sebuah musyawarah besar umat Hindu Perbegu, kira-kira pada permulaan abad ke-14 sebelum legenda Putri Hijau lahir di kampung itu pada abad ke-16.


(50)

Kampung Sicapah dengan ibukotanya Kerajaan Haru Sicapah berasal dari kata Capah yang artinya piring. Terjadinya nama kampung dan kerajaan Haru Sicapah adalah karena pada mulanya nenek moyang suku Karo melahirkan bayi kembar lima berselaput dan dibedah diatas piring besar. Sejak saat itulah tempat kediaman nenek moyangnya yang kembar lima itu dinamai kampung Sicapah yang awalnya dinamai burung Sicapah. Kelima nenek moyangnya itu melahirkan keturunan yang bermarga Karo Sekali, Karo-karo Kemit, Karo-karo Samura, Karo-karo Bukit, dan Karo-karo Sinuhaji dan Sinuraya.

Penduduk desa Seberaya ini biasanya dengan bangga mengatakan bahwa merekalah penduduk asli di Tanah Karo.9 Setelah beberapa generasi mendiami desa Seberaya sebagai Pemantek Kuta (kelmpok pendiri desa), akhirnya sebahagian dari pada kelompok marga Karo Sekali semakin terdesak oleh pendatang kelompok marga yang lain sehingga lahan pertanian sebagai sarana pokok untuk memenuhi kebutuhan hidup semakin sempit. Hal ini mendorong sebahagian kelompok marga Karo Sekali mencari tempat pemukiman yang baru untuk mengatasi tantangan tersebut.

Sebelum pemerintahan Kolonial Belanda berkuasa di Tanah Tinggi Karo pada tahun 1901, yang dimulai dengan pecahnya Perang Garamata, timbullah perselisihan paham diantara sesama marga Karo Sekali di desa Seberaya untuk memperebutkan masalah pembagian warisan tanah yang ada di desa tersebut. Karena pertikaian tidak dapat diselesaikan, maka sekelompok dari kelompok yang bertikai tersebut mencari alternatif dengan mencari pemukiman yang baru, untuk menghindarkan diri dari kemungkinan terjadinya perang saudara. Akhirnya kelompok ini pergi meninggalkan desa Seberaya menuju kearah daerah sebelah


(51)

selatan yang jaraknya kira-kira 18 km dari desa Seberaya, kemudian di tempat yang baru tersebut mereka mendirikan sebuah perkampungan baru sebagai tempat tinggal yang baru. Desa yang baru ini kemudian dinamakan oleh mereka dengan nama Taneh Jawa. Tidak ada asal usul nama tempat yang baru ini, namun awalnya bernama “Perawa-rawa” yang artinya pemarah, dibuat seperti itu agar tidak ada kelompok lain yang mengusik keberadaan mereka.

Dalam waktu yang relatif singkat daerah tersebut mengalami perkembangan. Berhubung komunikasi dengan daerah sekitarnya sangat sulit serta adanya ancaman binatang buas sehingga keamanan mereka terganggu, pada akhirnya mereka pindah ke pinggir jalan raya Medan-Berastagi yang waktu itu masih berupa jalan setapak, di dekat pemukiman yang baru ini terdapat sebuah aliran sungai yang kecil dan gendek. Perkembangan selanjutnya, pada dekade awal tahun 1970-an, sebagaimana halnya dengan nama-nama desa yang lain, desa Lau Gendek dirubah namanya menjadi desa Daulat Rakyat sesuai dengan musyawarah masyarakatnya, dan merupakan nama gabungan dari desa Lau Gendek dengan Desa Tongkoh.

Latar belakang berdirinya desa Tongkoh sendiri adalah karena perpindahan kaum pendatang marga Karo-karo Bukit dari desa Sampun, sebelum Belanda berkuasa di Tanah Karo. Sama seperti perpindahan submarga lainnya yang ingin mencari lahan baru untuk dijadikan sebagai tempat tinggal, marga Karo-karo Bukit juga demikian. Namun tidak seperti marga Karo Sekali yang datang secara berkelompok, marga Karo-karo Bukit datang justru hanya dengan sebuah keluarga saja, kemudian beberapa tahun berikutnya diikuti oleh kedatangan marga Karo-karo Gurusinga yang masih saudara dekat dengan


(52)

keluarga Karo-karo Bukit. Singkat cerita Karo-karo Bukit yang pertama datang menyerahkan lahan-lahan kosong kepada Karo-karo Gurusinga. Pendatang yang terakhir muncul adalah kelompok marga Sembiring yang menghuni di daerah perbatasan desa Tongkoh dengan desa Lau Gendek. Jadi hanya ketiga marga inilah yang mendiami desa Tongkoh secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

Asal mula nama desa Tongkoh sendiri tidak terlepas dari cerita terkenal Tanah Karo tentang legenda Putri Hijau versi orang Karo. Putri Hijau br Sembiring Meliala lahir di Seberaya dari seseorang yang bermarga Sembiring Meliala keturunan Hindu Tamil.11 Ia pergi meninggalkan Seberaya disebabkan terjadinya salah paham di dalam keluarganya. Dari Seberaya Putri Hijau pergi ke daerah Lau Kawar berharap akan ada yang akan menyusulnya, namun belum juga ada Anak Berunya yang menyusulnya, kemudian ia pergi kedaerah Lau Gendek yang ketika itu masih berupa lahan yang kosong, Anak Berunya belum juga kelihatan menyusul, hingga sampailah Putri Hijau di suatu tempat persinggahan, yaitu sebuah lahan yang kosong dengan hutan lebat dipinggirannya. Ia mulai beristirahat dan berpikir di tempat itu, timbul tanda tanya dalam dirinya mengapa Anak Berunya tidak juga datang menyusulnya. Sambil menyunyah daun sirih, pikirannyapun menjadi “Tongkoh”, apakah ia harus kembali ke Seberaya atau pergi ke tempat saudara ayahnya yang berada di daerah Deli Tua.

Hubungan desa Tongkoh sendiri dengan desa Lau Gendek adalah tidak lain atas hubungan tanah, karena marga Karo Sekali yang pertama sekali mendiami desa Lau Gendek sampai ke daerah pinggiran desa Tongkoh, maka marga Karo Sekali dianggap sebagai tuan tanah seluruh daerah tersebut. Seperti


(53)

halnya dengan desa-desa lain di Tanah Karo, karena kedua desa ini didirikan oleh marga Karo Sekali, secara otomatis jabatan Penghulu atau Kepala Desa di pegang oleh kelompok marga tersebut secara turun-temurun. Demikian juga halnya dengan pemilikan tanah dimana sebagian besar dikuasai oleh kelompok marga tersebut kecuali desa Tongkoh yang seluruh lahan pada mulanya dikuasai oleh marga Karo-karo Bukit, kemudian diberikan sebagian kepada marga Karo-karo Gurusinga dan marga Sembiring.

Sampai Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan, jabatan Kepala Desa dipegang oleh Atuk Karo Sekali, kemudian sejak tahun 1945-1975, jabatan tersebut diserahkan kepada keturunannya yang bernama Lias Karo Sekali. Sedangkan pada periode 1975-2002, jabatan Kepala Desa dipegang oleh Cengken Hasan Karo Sekali. Saat ini jabatan Kepala Desa diserahkan ke Te Karo Sekali yang merupakan adik kandung dari Cengken Hasan Karo Sekali. Dengan demikian desa ini dapat dikatakan sebagai desa yang sifatnya homogen.

b. Letak Geografis dan Kondisi Iklim

Dusun Tongkoh terletak di antara jalan raya Medan- Brastagi dengan jarak 5 km dari Brastagi, 26 km dari Kabanjahe dan berkisar 59 km dari kota Medan. Letak desa ini dibatasi oleh beberapa desa dan pegunungan dan berikut adalah batas- batas dusun Tongkoh:

a.Sebelah utara berbatasan dengan Gunung Singkut yang merupakan kawasan hutan lindung Tahura Bukit Barisan.

b. Sebelah selatan berbatasan dengan desa Basam Kecamatan Barus Jahe. c. Sebelah Barat berbatasan dengan desa Peceran Kecamatan Brastagi


(54)

d. Sebelah Timur berbatasan dengan Gunung Barus yang merupakan kawasan lindung Tahura Bukit Barisan.

Keadaan iklim dusun Tongkoh berada pada suhu minimum 160 C -200 C dengan kelembaban udara rata- rata adalah 28%. Pada bulan September hingga Desember mulai turun hujan dan pada rentang bulan yang lain mulai terjadi kemarau serta turun hujan sekali-kali. Keadaan yang demikian menyebabkan keadaan tanahnya sangat subur untuk lahan pertanian maupun perkebunan yang mendukung berkembangnya perindustrian di sekitarnya dengan pesat.

c. Komposisi Penduduk

Pada umumnya suku yang mayoritas menempati kabupaten Karo adalah suku Karo. Begitu juga di desa Dolat Rakyat mayoritas penduduknya adalah suku karo. Suku- suku lain yang ada di desa ini adalah suku pendatang seperti suku Batak Toba, Batak Simalungun, Suku Jawa, dan sebagainya. Jumlah penduduk yang bermukim di desa Dolat Rakyat sebanyak 2894 jiwa dengan jumlah laki- laki 1427 jiwa dan perempuan 1467 jiwa. Untuk keadaan rumah sendiri, banyaknya rumah penduduk yang sudah permanen adalah 75 unit, yang semi permanen ada 160 unit, dan yang dalam kondisi darurat ada 298 unit.

Jika dilihat dari segi agama yang dianut, penduduk desa Dolat Rakyat menganut agama yang beragam dan tampak suatu kerukunan hidup beragama dan saling menghormati antar pemeluk agama. Agama yang mayoritas dianut penduduk desa Dolat Rakyat adalah agama Islam, disusul agama protestan, agama Khatolik, agama, Budha, dan agama Hindu. Berikut tabel persentase komposisi penduduk berdasarkan agama yang dianut di Desa Dolat Rakyat.


(55)

Tabel 7.Persentase komposisi penduduk Dolat Rakyat berdasarkan agama

No Agama Jumlah (jiwa) Persentase (%)

1 Islam 1488 59,23

2 Protestan 992 39,49

3 Katholik 25 0,99

4 Budha 4 0,15

5 Hindu 3 0,11

Total 2512 100

Dilihat dari segi pendapatan atau mata pencaharian, mayoritas penduduk yang tinggal di desa Dolat Rakyat adalah petani yang bekerja sebagai petani sayur, kebun bunga, petani buah, dan lainnya. Penduduk lainnya ada yang bekerja sebagai PNS/ABRI, industri, dan sebagainya. Berikut tabel persentase komposisi penduduk menurut mata pencaharian.

Tabel 8. Persentase komposisi penduduk Dolat Rakyat berdasarkan Pekerjaan

No Pekerjaan Jumlah (jiwa) Persentase (%)

1 Petani 487 92,58

2 PNS/ABRI 35 6,65

3 Industri 2 0,38

4 Lainnya 2 0.38

Total 526 100

d. Sarana dan Prasarana

Sarana pendidikan yang terdapat di desa Dolat Rakyat adalah bangunan Sekolah Dasar sebanyak 3 unit. Untuk SMP dan SMA belum ada dan para anak- anak yang akan melanjut ke tingkat SMP atau SMA harus keluar desa seperti kota Brastagi dan Kabanjahe.


(56)

Sarana kesehatan yang tersedia di desa Dolat Rakyat adalah puskesmas sebanyak 1 unit, poskesdes sebanyak 2 unit, dan posyandu sebanyak 2 unit. Untuk menangani penyakit ringan puskesmas dapat melayani masyarakat sedangkan untuk penyakit berat dan beresiko penduduk lebih memilih ke rumah sakit di kota Brastagi atau Kabanjahe.

Sarana peribadatan yang ada di desa Dolat Rakyat adalah bangunan masjid sebanyak 2 unit untuk peribadatan umat Muslim, gereja 6 unit untuk peribadatan agama Protestan, dan vihara 1 unit untuk peribadatan agama Budha.

Jarang Uda

a. Letak Geografis dan Kondisi Iklim

Desa Jarang Uda berada pada ketinggian 1000 mdpl dengan curah hujan rata- rata adalah 2000-3000 mm pertahun. Desa Jarang Uda memiliki suhu rata- rata 170C - 250C sehingga tingkat kesuburan tanahnya adalah subur.

Desa Jarang Uda memiliki luas 5,46 km2 (12,36 % dari luas kecamatan Merdeka). Adapun batas- batas administrasi desa Jarang Uda adalah sebagai berikut:

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Tahura Bukit Barusan b. Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Gongsol c. Sebelah Timur berbatasan dengan desa Lau Gumba d. Sebelah Barat berbatasan dengan desa Merdeka


(57)

b. Komposisi Penduduk

Desa Jarang Uda memiliki penduduk 2337 jiwa dengan jumlah laki- laki 1220 jiwa dan perempuan 1117 jiwa. Jumlah kepala rumah tangga di desa Jarang Uda adalah sebanyak 575 KK.

Seperti di desa- desa lainnya di Kabupaten Karo, desa Jarang Uda pada umumnya dihuni oleh suku Karo sebagai suku mayoritas, kemudian suku Toba, Simalungun, Aceh, Mandailing, Nias, Jawa, Minang, dan suku Cina. Agama yang dianut oleh penduduk Jarang Uda adalah agama Islam, kemudian Kristen Protestan, Kristen Katholik, serta Budha.

Jika dilihat dari segi mata pencaharian, penduduk desa Jarang Uda mayoritas bekerja sebagai petani. Sebagian lagi bekerja sebagai PNS/ABRI, industri rumah tangga dan lainnya. Berikut adalah tabel persentase komposisi penduduk menurut mata pencaharian.

Tabel 9. Persentase komposisi penduduk Jarang Uda Berdasarkan Pekerjaan

No Pekerjaan Jumlah (jiwa) Persentase (%)

1 Petani 417 83,4

2 PNS/ABRI 56 11,2

3 Industri Rumah Tangga 6 1,2

4 Lainnya 21 4,2

Total 500 100

c. Sarana dan Prasarana

Desa jarang Uda berjarak 13 km dari ibukota kabupaten (Kabanjahe) dan berjarak 67 km dari ibukota propinsi (Medan) dan angkutan umum selalu tersedia dari desa ke desa lainnya, ke ibukota kabupaten, dan ke ibukota propinsi.


(58)

Fasilitas kesehatan yang terdapat di desa ini adalah berupa 1 buah Pustu sedangkan Puskesmas tidak terdapat di desa ini dan bila ingin berobat ke puskesmas harus ke desa lain yang dapat dijangkau dan rumah sakit hanya terdapat di kota Brastagi dan Kabanjahe.

Untuk fasilitas pendidikan, belum terdapat sekolah SD, SMP, dan SMA di desa ini sehingga anak- anak yang sekolah harus bersekolah ke desa lain yang terdekat yang terdapat sekolah. Untuk sebagian anak- anak yang melanjut ke tingkat SMP dan SMA bersekolah ke kota Brastagi dan Kabanjahe. Untuk fasilitas peribadatan, terdapat 2 bangunan mesjid untuk peribadatan agama Islam dan 1 gereja untuk peribadatan agama Kristen. Untuk Kristen Katholik yang ingin beribadah harus ke desa lain yang terdapat gereja Katholik.

Tanjung Barus a. Sejarah Desa

Tanjung Barus adalah salah satu desa yang terdapat di kecamatan Barus Jahe. Untuk sejarah desa, tidak ada cerita spesifik mengenai desa ini. Namun jika ditanya mengenai sejarah desa Tanjung Barus kepada beberapa responden selalu dikaitkan dengan sejarah Barus Jahe sebagai daerah kecamatan.

Berdasarkan buku "Barus Mergana", buku "Sejarah Simbelang Pinggel", buku "Sejarah dan Kebudayaan Karo", maupun hasil wawancara dengan beberapa sesepuh Barus, Tarigan dan Ginting sebagai "Anak Beru Tua" maka nenek moyang merga Barus berasal dari "Barus", suatu tempat yang letaknya di Kabupaten Tapanuli Tengah berbatasan dengan Aceh Selatan ditepi Pantai Samudera Indonesia.


(59)

Menurut ceritanya, disebabkan satu dan lain hal, Nenek Moyang Marga Barus meninggalkan kampung halamannya dan mengembara dengan berjalan kaki melalui hutan belukar, mendaki gunung, menuruni lembah dan menyeberangi sungai hingga akhirnya sampai di suatu desa yang disebut "Kuta Usang" di sekitar Kabupaten Dairi. Mereka bermohon kepada Penghulu/Penguasa setempat supaya diizinkan tinggal beberapa hari sebelum meneruskan pengembaraannya. Karena pintar bergaul dengan masyarakat maka penghulu dan penduduk Kuta Usang sangat menyenangi Merga Barus. Disebabkan satu dan lain hal maka Merga Barus meneruskan petualangannya menurut kehendak hatinya. Setelah berjalan beberapa hari tibalah Merga Barus di Kampung Ajinembah, kampungnya Merga Ginting Munte Kabupaten Karo. Di kampung Ajinembah Merga Barus juga disenangi Penghulu, maupun masyarakat sehingga akhirnya Merga Barus diangkat menjadi Kalimbubu Penghulu Ajinembah Merga Ginting Munte. Dari kampung ini, petualangan diteruskan hingga sampai di kaki Gunung/Deleng Barus (Kabupaten Karo) yang disebut "Belagen". Disinilah pertama sekali Merga Barus mendirikan gubuknya. Suatu malam Merga Barus bermimpi agar ia segera pindah ke "Jahen" dari Belagen sebelah hilir, karena di sanalah tempat yang serasi serta mendatangkan rezeki. Akhirnya Merga Barus pindah ke Jahen Belagen. Untuk menentukan nama apakah yang cocok bagi tempat yang baru ini maka teringatlah Marga Barus nama asal tempat tinggalnya sebelum merantau yaitu "Barus" dan supaya tempatnya yang lama (Belagen) dengan tempatnya baru itu ada sangkut pautnya dan dirasakannya tempat yang baru ini di sebelah hilir letaknya, maka Merga Barus menamakan tempat itu "Barusjahen". Ucapan Barusjahen akhirnya terbiasa diucapkan dengan Barusjahe sehingga berubah


(60)

namanya menjadi Barusjahe yang berkembang menjadi Kerajaan yang dipimpin oleh seorang Raja disebut Sibayak Barusjahe. Kekuasaanya meliputi "Urung Si Enem kuta" yang diperintah oleh Raja Urung Merga Karo Karo Sitepu dan "Urung Si Pitukuta" yang dipimpin Raja Urung Merga Barus.

empat yang baru dan berkembang menjadi kerajaan dan seterusnya menjadi tempat kedudukan dari kepala Swa Praja, Asisten Wedana, Wedana dan Camat sampai sekarang. Merga Barus di tempat yang baru ini memperoleh dua orang anak laki-laki.

a. Anak yang sulung (Sintua) tinggal tetap di Kampung Barusjahe, mendapat lima orang putra yang namanya di berikan sesuai kesukaan (hobby) yang diperlihatkan putra putranya yaitu: Si Jambur Lige, Si Gedang, Si Beras, Si Barus Pinto,dan Si Niring

Masing-masing anak mendirikan Rumah Adat yang penghuninya lambat laun bertambah. Akibat pertambahan penghuni ini maka didirikan Rumah Adat baru sehingga terbentuk satu komplek Rumah Adat (Kesain) seperti nama tersebut di atas. Dari itu pula terjadi sub-sub Merga Barus seperti nama tersebut di atas.

b. Anak yang bungsu (Singuda) satu dari anggota tubuhnya tidak normal yaitu daun telinganya luar biasa lebarnya, oleh karena itu dinamai

"Simbelang Pinggel" yang mana telinganya tersebut dapat menyelimuti seluruh tubuhnya.

Simbelang Pinggel pergi bertualang ke arah pesisir karena tertarik oleh kabar tentang harimau putih dan anugrah yang dijanjikan Raja/Sultan di daerah itu bila seseorang dapat membunuh harimau putih tersebut. Harimau putih


(61)

mengganas di Kerajaan Pesisir sejak beberapa waktu lamanya dan belum ada orang yang sanggup membunuhnya. Daerah yang dulunya aman, makmur dan berpenduduk banyak, beralih menjadi daerah tidak aman sehingga ditinggalkan oleh penduduknya. Barus "Simbelang Pinggel" berhasil membunuh harimau putih dan sesuai janji Raja Pesisir maka mengawinkan putrinya dengan si Barus. Karena perkawinannya itu maka si Barus tidak lagi kembali ke Kampung Barusjahe, tetapi menjadi raja di suatu daerah yang semua penduduknya suku Karo di luar daerah pesisir. Kecamatan Barusjahe salah satu wilayah pemerintahan telah ada sebelum terjadinya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang disebut dengan istilah "Kerajaan Barusjahe".

Sebelum pemerintahan Belanda berkuasa di Tanah Karo, kerajaan ini mempunyai kepala pemerintahan sendiri (FZELF Bestuurder) artinya kepala pemerintahan kerajaan selain sebagai Kepala Pemerintahan juga sebagai Kepala Adat dan Ketua Kerapaten (Pengadilan) yang paling tinggi di kerajaan ini. Pada zaman pemerintahan Jepang, Kerajaan Sibayak Barusjahe pernah mendapat penghargaan sebagai Pemerintahan Kerajaan Terbaik di Sumatera Timur. Setelah proklamasi kemerdekaan RI, kekuasaan raja telah dibatasi (Non aktif) demikian juga pemerintahan Kerajaan Barusjahe yang terakhir dipimpin oleh Sibayak Mandor Barus, putra dari Paraja Mantas Barus yang makamnya terletak di seberang jalan Kantor Camat Barusjahe. Sebagai daerah bekas kerajaan, maka di sekitar kesain Desa Barusjahe bertebaran makam para Raja (Sibayak) tersebut dan sampai sekarang masih dirawat rapi oleh anak keturunannya dan sering dikunjungi oleh wisatawan mancanegara. Desa ini juga termasuk salah satu dari 5 desa sibayak yang ada di Kabupaten Karo. Perintis/pendiri awal Desa Barusjahe


(62)

adalah Merga Barus. Dulunya warga Desa Barusjahe tinggal di rumah-rumah adat yang memiliki kamar 8 sampai dengan 12. Pada tahun 1926 jumlah rumah adat sebanyak 26 buah. Jumlahnya turun drastis pada saat penyerbuan penjajah Belanda pada tahun 1949. Kegiatan generasi muda bangsa untuk terlibat dalam pembangunan nasional merupakan keinginan yang ingin diwujudkan oleh Karang Taruna Desa Barusjahe. Karang Taruna Desa Barusjahe pada saat ini dipimpin oleh Mail Barus. Di bawah kepemimpinannya yang solid citra positif karang taruna telah terangkat.

b. Letak Geografis dan Kondisi Iklim

Desa Tanjung Barus berada pada ketinggian 1200 m di atas permukaan laut dengan suhu rata- rata 180C – 240C. Luas desa Tanjung Barus adalah 6,77 km2 dengan kondisi iklim agak sejuk dan tanah yang subur.

Secara administratif, batas- batas desa Tanjung Barus adalah sebagai berikut :

a. Utara : berbatasan dengan gunung Barus b. Selatan : berbatasan dengan Kabung c. Timur : berbatasan dengan Deli Serdang d. Barat : berbatasan dengan Barus Julu

c. Komposisi Penduduk

Masyarakat yang bermukim di desa Tanjung Barus mayoritas adalah suku Karo kemudian suku- suku pendatang seperti Toba, Jawa, Simalungun, dan sebagainya. Jumlah penduduk yang ada di desa Tanjung Barus adalah 1607 jiwa


(63)

dengan jumlah laki- laki sebanyak 815 jiwa dan jumlah perempuan sebanyak 792 jiwa.

Dilihat dari segi agama yang dianut, penduduk desa Tanjung Barus menganut agama Kristen Protestan, Kristen Katholik, dan Islam. Berikut adalah tabel komposisi penduduk desa Tanjung Barus berdasarkan agama yang dianut. Tabel 10. Persentase komposisi penduduk Tanjung Barus berdasarkan Agama

No Agama Jumlah (jiwa) Persentase (%)

1 Kristen Protestan 983 61,16

2 Kristen Katholik 594 36,96

3 Islam 30 1,86

Total 1607 100

Dari tabel dapat dilihat bahwa penduduk Tanjung Barus mayoritas memeluk agama Kristen Protestan yaitu 61,16%, disusul dengan Kristen Katholik 36,96%, dan Islam 1,86%.

Berdasarkan mata pencaharian, penduduk desa Tanjung Barus mayoritas bekerja sebagai petani kemudian industry rumah tangga, dan pekerjaan lainnya seperti warung, toko, dan sebagainya.

Tabel 11. Persentase komposisi penduduk Tanjung Barus Berdasarkan Pekerjaan

No Pekerjaan Jumlah (jiwa) Persentase (%)

1 Petani 688 98

2 Industri Rumah Tangga 4 0,56

3 Lainnya 10 1,42

Total 702 100

Dari tabel dapat dilihat bahwa 98 % masyarakat desa Tanjung Barus bekerja sebagai petani, kemudian industri rumah tangga sebanyak 0,56 % dan pekerjaan lainnya sebanyak 1,42%. Tingginya persentase masyarakat Tanjung


(64)

Barus yang bekerja sebagai petani menunjukkan masih tergantungnya masyarakat dengan lingkungan baik lahan pertanian maupun hutan yang akan selalu saling berinteraksi.

d. Sarana dan Prasarana

Fasilitas kesehatan yang terdapat di desa Tanjung Barus adalah poskesda sebanyak 1 buah, Pustu 1 buah, Posyanndu 1 buah, dan BKIA 1 buah. Puskesmas tidak ada di desa ini sehingga harus ke desa lain jika ingin berobat ke puskesmas dan apabila harus ke rumah sakit masyarakat harus pergi ke rumah sakit yang ada di Brastagi atau Kabanjahe.

Untuk fasilitas pendidikan, di desa ini terdapat SD Negeri sebanyak 2 buah sedangkan untuk bangunan SMP dan SMA belum ada sehingga anak – anak yang berkeinginan melanjut ke tingkat SMP atau SMA harus sekolah ke luar desa seperti ke Berastagi atau Kabanjahe dan ke desa lainnya.

Kondisi rumah penduduk desa Tanjung Barus adalah 100 unit rumah penduduk sudah permanen, 400 unit rumah semi permanen, dan 40 rumah dalam kondisi darurat. Fasilitas ibadah yang tersedia di desa ini adalah gereja Protestan sebanyak 1 buah dan gereja Katholik sebanyak 1 buah. Untuk umat muslim yang berkeinginan beribadah harus ke desa lain yang sudah memiliki mesjid untuk beribadah.


(1)

Lampiran 12 .Tabel Pengetahuan Lokal Masyarakat Mengenai Tumbuhan Obat

No Pengetahuan lokal Kuta Rakyat Jarang Uda Dolat Rakyat Tanjung Barus Keterangan

1 Jenis tumbuhan hutan untuk obat

KT(10) TT(5) ST

(1) KT (10) TT (4) KT (11) TT (4) ST (1) KT (8) TT (6) 2 Jenis tumbuhan

yang

beraroma(aromatika) TA TA TA

3 Asal pengetahuan tumbuhan obat

TT(6) T(4) TT

(7) T (4) TT (8) T (3) TT (6) T (3) 4 Asal mencari

tumbuhan obat

H & L H & L H & L H & L

5 Tumbuhan obat untuk acara adat

TA TA TA TA

6 Potensi tumbuhan obat di hutan

B B B B

Keterangan : ST = Sangat Tahu KT = Kurang Tahu TT = Tidak Tahu TT = Turun Temurun T = Tetangga

H %L = Hutan dan Ladang TA = Tidak Ada B = Banyak


(2)


(3)


(4)


(5)

Beberapa tumbuhan obat yang digunakan masyarakat

Kolam tampungan air petani


(6)

Beberapa komoditi tanaman pertanian yang ditanam masyarakat