Clustering Data Spasial Titik Panas Dengan Kendala Jalan Dan Sungai Di Lahan Gambut Riau

i

PENGELOMPOKAN DATA TITIK PANAS DENGAN
KENDALA JALAN DAN SUNGAI DI LAHAN GAMBUT RIAU

PRIMA TRIE WIJAYA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengelompokan Data
Titik Panas Dengan Kendala Jalan dan Sungai di Lahan Gambut Riau adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari

penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2016
Prima Trie Wijaya
NIM G651120541

ii

RINGKASAN
PRIMA TRIE WIJAYA. Clustering Data Spasial Titik Panas dengan Kendala
Jalan dan Sungai di Lahan Gambut Riau. Komisi Pembimbing IMAS SUKAESIH
SITANGGANG, dan LAILAN SYAUFINA
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia mengalami peningkatan setiap
tahunnya, dari 2 612,09 Ha pada tahun 2011 menjadi sebesar 44 411,36 Ha pada
tahun 2014. Salah satu wilayah yang sering mengalami kebakaran hutan dan
lahan, adalah wilayah Riau. Teknik data mining dapat diterapkan untuk
menangani serta menganalisa data persebaran titik panas berukuran besar.
Penelitian ini menerapkan algoritme CPO-WCC (Clustering in Presence of

Obstacles with Computed number of cells) yang merupakan algoritme yang
mempertimbangkan kondisi sebenarnya di lingkungan. Dengan memperhatikan
jalan dan sungai sebagai hambatannya. Data yang digunakan adalah data titik
panas di Provinsi Riau tahun 2014 serta data jalan dan sungai di provinsi Riau.
Penelitian ini dilakukan dalam lima tahap. Tahap pertama adalah praproses
data titik panas, tahap kedua clustering data titik panas menggunakan algoritme
CPO-WCC, dan algoritme DBSCAN. Tahap ketiga adalah evaluasi hasil
clustering dari masing-masing algoritme. Tahap keempat adalah melakukan
analisa cluster dari kedua algoritme dengan berdasarkan karakteristik fisikal dari
lahan gambut. Pada tahapan kelima dilakukan analisa cluster dari kedua algoritme
berdasarkan karakteristik data cuaca, serta data sosial ekonomi.
Hasil pengujian menunjukan bahwa hasil cluster dari algoritme CPOWCC dan DBSCAN menghasilkan jumlah cluster yang berbeda. Pada cluster
terpadat hasil algoritme CPO-WCC, persebaran titik panas terbesar terdapat pada
tipe lahan gambut Hemists/Saprists (60/40) dengan tipe kedalaman gambut sangat
dalam (> 400 cm) dengan tipe gambut D4 (> 400 cm), dan terletak pada area
hutan rawa. Berdasarkan hasil clustering menggunakan algoritme DBSCAN,
persebaran titik panas dari cluster terpadat terletak pada tipe lahan gambut
Saprists/Hemists (60/40) dengan kedalaman sangat dalam (> 400 cm) dengan
tipe gambut D4 (> 400 cm) pada areal lahan gambut hutan rawa. Hasil pengujian
berdasarkan data cuaca menunjukan bahwa pada cluster terpadat hasil dari

algoritme CPO-WCC, titik panas terbesar pada bulan Maret. Sedangkan pada
cluster terpadat hasil dari algoritme DBSCAN persebaran titik panas terbesar
terjadi pada Februari. Hasil pengujian berdasarkan data sosial ekonomi
menunjukkan bahwa titik panas terbesar pada daerah dengan pendapatan
penduduk yang bersumber pada bidang pertanian. Diharapkan hasil dari penelitian
ini dapat bermanfaat bagi instansi terkait dalam pengambilan keputusan dalam
penanganan kebakaran hutan dan lahan
Kata kunci: algoritme CPO-WCC, algoritme DBSCAN, clustering, titik panas

iii

SUMMARY
PRIMA TRIE WIJAYA. Density Based Clustering of Hotspots In Peatland With
Road and River as Physical Obstacles. Supervised by IMAS SUKAESIH
SITANGGANG and LAILAN SYAUFINA.
Land and forest fires in Indonesia has increased every year, from 2 612.09
hectares in 2011 to 44 411.36 hectares in 2014. One of areas where forest fires are
frequently occurred is Riau Province. Data mining techniques can be applied to
handle and analyze the large data distribution of the hotspot as one of indicators of
forest and land fires. This research applies the CPO-WCC (Clustering in Presence

of Obstacles with Computed number of cells) algorithm which is an algorithm that
take the actual conditions of environment into considerationfor example by
including road and the river as obstacles. The data used are hotspots in Riau
Province in 2014, roads and rivers in Riau province .
There are five steps in this research. The first step is hotspot data
preprocessing. The second step is clustering data hotspot using CPO-WCC
algorithm and DBSCAN algorithm. The third step is evaluating the hotspot
clusters as results from each algorithm. The fourth step is performing cluster
analysis of both algorithms based on the characteristics of peat. The last step is
clusters analysis based on the weather characteristics, as well as socio-economic.
The results showed that the CPO-WCC algorithm and DBSCAN algorithm
produce different number of clusters. In the densest cluster asresults of CPOWCC algorithm, the largest spread of hotspots are on the type of peatland Hemists
/ Saprists (60/40) with depth greater than 400 cm, and is located on swamp
forests. Based on the results of clustering using the DBSCAN algorithm,
distribution of hotspots on densest cluster are located in the type of peatland
Saprists / Hemists (60/40) with depth greater than 400 cm in swamp forests. In
addition, based on the weather characteristics, in the densest cluster as result of
theCPO-WCC algorithmmajority of hotspots are occurred in March 2014 while
the result of DBSCAN algorithm shows that largest spread of hotspots are
occurred in February 2014. Based on socio-economic data, the largest number of

hotspots are occurred in areas where income source of the population is
agriculture. The results of this study is expected to be useful for related
institutions in decision making on handling forest and land fires.

Keywords: algoritme CPO-WCC, algoritme DBSCAN, clustering, hotspot

iv

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

i


PENGELOMPOKAN DATA TITIK PANAS DENGAN
KENDALA JALAN DAN SUNGAI DI LAHAN GAMBUT
RIAU

PRIMA TRIE WIJAYA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Komputer
pada
Program Studi Ilmu Komputer

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

ii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Agus Buono, MSi, MKom


iv

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 ini ialah data
minning, dengan judul Pengelompokan Data Titik Panas Dengan Kendala Jalan
dan Sungai di Lahan Gambut Riau.
Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat memperoleh gelar
Magister Komputer pada program studi Ilmu Komputer Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa bantuan-bantuan dan
arahan-arahan dari kedua pembimbing sangat membantu dalam menyelesaikan
karya tulis ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Imas Sukaesih
Sitanggang, SSi MKom selaku pembimbing I dan Ibu Dr Ir Lailan Syaufina,
M.Sc selaku pembimbing II.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada:
1

Dr Ir Agus Buono, MSi, MKom selaku Ketua Departemen Ilmu Komputer

dan juga sebagai penguji luar komisi pada ujian tesis.
2 Dr Ir Sri Wahjuni, MT selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Komputer.
3 Seluruh dosen dan staf pegawai tata usaha Departemen Ilmu Komputer
4 Departemen Kehutanan RI dan Wetland International Program Indonesia
sebagai penyedia data.
5 Orang tua, istri, saudara dan seluruh keluarga yang selalu memberikan
dorongan dan mendoakan untuk keberhasilan studi bagi penulis.
6 Seluruh mahasiswa Departemen Ilmu Komputer khususnya temanteman angkatan tahun 2012 pada program studi S2 Ilmu Komputer.
Semoga segala bantuan, bimbingan, dan motivasi yang telah diberikan
kepada penulis senantiasa mendapat balasan dari ALLAH SWT. Semoga karya
ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2016
Prima Trie Wijaya

v

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii


DAFTAR GAMBAR

vii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
2
2
3

2 TINJAUAN PUSTAKA

Lahan Gambut
Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut
Titik Panas
Data Spasial
Spatial Data Mining
Spatial Clustering
Algoritme DBSCAN
Algoritme CPO-WCC

3
3
6
6
7
8
8
9
10

3 METODE

Area Studi
Data Penelitian
Peralatan Penelitian
Tahapan Penelitian
Proses Pengumpulan Data
Proses Penyiapan Data
Clustering Data Titik Panas menggunakan algoritme CPO-WCC
Clustering Data Titik Panas menggunakan algoritme DBSCAN
Evaluasi Hasil Cluster
Analisis hasil cluster berdasarkan karakteristik lahan gambut, data cuaca,
dan sosial ekonomi

12
12
12
16
16
17
17
18
19
19
19

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
20
Pembentukan Cluster Data Titik Panas menggunakan Algoritme DBSCAN
(Density Based Spatial Clustering Algoritme with Noise)
22
Pembentukan Cluster Data Titik Panas menggunakan Algoritme CPO-WCC
(Clustering in Presence of Obstacle with Computed number of cells)
23
Evaluasi Hasil Cluster
25
Analisis Hasil Cluster Berdasarkan Karakteristik Lahan Gambut
26
Analisis Hasil Cluster Berdasarkan Data Cuaca
29
Analisis Hasil Cluster Berdasarkan Data Sosial Ekonomi
31
5 SIMPULAN DAN SARAN

32

vi

Simpulan
Saran

32
32

DAFTAR PUSTAKA

33

RIWAYAT HIDUP

35

vii

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Luas total lahan gambut untuk pertanian dan persebarannya di
Indonesia
Data penelitian
Data cuaca tahun 2014
Data sosial ekonomi
Hasil cluster yng menggunakan algoritme DBSCAN
Kerapatan data titik panas pada setiap cluster
Jumlah titik panas cluster 3 dan cluster 24 tahun 2014
Data cuaca stasiun cuaca simpang tiga Pekanbaru tahun 2014
Jumlah titik panas cluster 3 dan cluster 24 tahun 2014 berdasarkan
kabupaten
Data sosial ekonomi kota Bengkalis

3
15
15
16
22
26
30
30
31
31

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23

Proses pembentukan gambut di daerah cekungan lahan basah
Gambut berdasarkan kematangannya
Kebakaran bawah pada gambut
Persebaran titik panas Provinsi Riau tahun 2014
Langkah –langkah dalam proses clustering
Persebaran titik panas di suatu daerah
Hasil cluster tanpa kendala
Tahapan algoritme CPO-WCC
Peta Provinsi Riau
Peta tutupan lahan gambut, jalan, sungai, dan titik panas
Peta tipe dan kedalaman gambut
Tahapan penelitian
Jumlah titik panas pada tahun 2014 berdasarkan tipe gambut di
Provinsi Riau
Jumlah titik panas tahun 2014 berdasarkan ketebalan lahan gambut
Jumlah titik panas tahun 2014 berdasarkan tutupan lahan gambut
Titik panas pada Wilayah/Kabupaten dalam cluster 24
Hasil algoritme CPO-WCC
Sebaran titik panas berdasarkan jenis lahan gambut pada cluster 3
Sebaran titik panas berdasarkan jenis lahan gambut pada cluster 24
Sebaran titik panas berdasarkan ketebalan lahan gambut di areal
cluster 3
Sebaran titik panas berdasarkan ketebalan lahan gambut di areal
cluster 24
Sebaran titik panas berdasarkan tutupan gambut di areal cluster 3
Sebaran titik panas berdasarkan tutupan gambut di areal cluster 24

4
5
6
7
8
10
11
11
12
13
14
17
20
21
21
23
25
26
27
27
28
28
29

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyebaran lahan gambut di Indonesia berada pada beberapa pulau besar,
seperti Sumatera, Kalimantan, dan Papua (Syaufina 2008). Area lahan gambut
yang utama di Sumatera adalah di Provinsi Riau (60%), di samping Sumatera
Selatan dan Jambi (Syaufina 2008). Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia
mengalami peningkatan setiap tahunnya, dari 2 612,09 Ha pada tahun 2011
menjadi sebesar 44 411,36 Ha pada tahun 2014 (Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan. 2016). Salah satu wilayah yang sering mengalami kebakaran
hutan dan lahan adalah wilayah Riau. Dimana dari semua tempat terjadi
kebakaran di provinsi Riau, Riau memiliki titik panas terbanyak. Dilihat dari
kelompok faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, faktor alam
tampaknya hanya memegang peranan yang sangat kecil, sedangkan faktor
manusia menyebabkan hampir 100% dari kejadian kebakaran hutan dan lahan,
baik sengaja maupun tidak sengaja (Syaufina 2008). Kebakaran hutan dan lahan
berdampak pada aspek lingkungan, aspek sosial ekonomi, dan aspek kesehatan
(Suratmo et al. 2003).
Untuk mengetahui terjadinya kebakaran hutan dan lahan salah satu
indikator yang dapat digunakan adalah dengan mengetahui letak dari titik panas.
Informasi titik panas ini merupakan indikasi terjadinya kebakaran hutan (Suratmo
et al. 2003). Dengan mengetahui persebaran titik panas tersebut maka akan
memudahkan dalam proses penanganan serta pencegahan dari kebakaran hutan
dan lahan.
Teknik data mining dapat diterapkan untuk menangani serta menganalisa
data persebaran titik panas berukuran besar. Teknik ini mengubah data yang telah
dikumpulkan dalam jumlah besar menjadi informasi yang berguna (Han et al.
2012). Salah satu metode yang dapat digunakan dalam teknik data mining untuk
pengelompokkan data spasial adalah spatial clustering. Clustering adalah proses
pengelompokan kumpulan objek ke dalam cluster, sehingga objek-objek dalam
satu cluster tersebut memiliki tingkat kemiripan yang tinggi tetapi tidak mirip
terhadap objek dari cluster lain (Han et al. 2012). Density based clustering
merupakan salah satu metode utama untuk spatial clustering (Parimala et al.
2011). Algoritme Density Based Spatial Clustering Algoritme with Noise
(DBSCAN) mendefinisikan cluster berdasarkan kerapatannya (density), nilai
kardinalitinya, dan radius dari lingkungan objeknya serta dapat memberikan nilai
partisi terbaik dari setiap nilai masukan yang diberikan algoritme ini (Deborah et
al. 2010). DBSCAN lebih efisien digunakan untuk mengolah basis data spasial
yang besar (Ester et al. 1996).
Selain itu hambatan fisik seperti sungai, danau, dan jalan raya yang ada di
dunia nyata mempengaruhi juga proses dalam clustering (El-Zawawy et al. 2009).
Karena permasalahan kondisi fisik pada lingkungan nyata tersebut maka
clustering data spasial dapat dilakukan dengan algoritme clustering berbasis

2
kendala, salah satunya adalah algoritme CPO-WCC (Clustering in Presence of
Obstacles with Computed number of cells) (El-Zawawy et al. 2009). Hasil
clustering dari titik panas DBSCAN akan dibandingkan dengan hasil clustering
dari titik panas CPO-WCC.
Dalam penelitian ini digunakan data titik panas kebakaran di Riau pada
tahun 2014. Penelitian ini melakukan pengelompokkan data titik panas pada
lahan gambut di wilayah Riau menggunakan algoritme CPO-WCC dengan sungai
dan jalan sebagai kendalanya.
Hasil cluster terpadat dari algoritme DBSCAN dan CPO-WCC akan
dibandingkan. Selanjutnya cluster terpadat dari kedua algoritme akan dianalisa
berdasarkan dari karakteristik lahan gambut, berdasarkan data cuaca, dan analisa
berasarkan data sosial ekonomi.

Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bahwa hasil cluster dari
algoritme DBSCAN tidak melihat kendala pada kondisi sebenarnya pada
lingkungan nyata seperti jalan dan sungai sehingga hasil cluster dari algoritme
DBSCAN kurang memberikan hasil yang optimal. Sehingga perlu dilakukan
clustering dengan menggunakan algoritme yang melihat kondisi pada lingkungan
nyata seperti CPO-WCC.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1 Membandingkan hasil cluster terbaik dari algoritme DBSCAN serta algoritme
CPO-WCC dengan jalan dan sungai sebagai kendalanya di wilayah Riau.
2 Melakukan analisa hasil clustering berdasarkan karakteristik lahan gambut,
data cuaca, dan data sosial ekonomi

Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat mempermudah instansi yang
terkait dengan pengelolaan data titik panas dalam pengambilan keputusan
terutama dalam upaya penanganan kebakaran hutan dan lahan. Diharapkan hasil
clustering yang menyertakan kendala yang nyata seperti sungai dapat memberikan
hasil yang lebih baik dari pada tanpa menggunakan kendala di lingkungan nyata.
Selain itu manfaat dari penelitian ini adalah sebagai edukasi kepada masyarakat
dan pihak terkait dalam pencegahan kebakaran.

3
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah:
1 Teknik yang digunakan dalam clustering data titik panas adalah algoritme
DBSCAN dan algoritme CPO-WCC (El-Zawawy et al. 2009). Pembatas yang
dipergunakan dalam algoritme CPO-WCC adalah jalan dan sungai.
2 Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data titik panas kebakaran
hutan di wilayah Riau tahun 2014 yang diperoleh dari Direktorat Kebakaran
Hutan (DPKH) Departemen Kehutanan RI. Data lahan gambut diperoleh dari
Wetlands Indonesia, data jalan dan sungai diperoleh dari Badan Informasi
Geospatial, data cuaca yang diperoleh dari BMKG tahun 2014.
3 Karakteristik fisikal lahan gambut mencakup tipe, kedalaman dan tutupan
lahan gambut. Data cuaca terdiri dari suhu minimum (0C), suhu maksimal (0C),
suhu rata-rata (0C), kelembaban rata-rata. Data kondisi sosial ekonomi berisi
sumber pendapatan utama dari masyarakat yang terdapat pada kecamatan yang
terdapat pada wilayah Riau.

TINJAUAN PUSTAKA

Lahan Gambut
Penyebaran lahan gambut di Indonesia berada pada beberapa pulau besar,
seperti Sumatera, Kalimantan, dan Papua (Syaufina 2008). Area lahan gambut
yang utama di Sumatera adalah di Provinsi Riau (65%), di samping Sumatera
Selatan dan Jambi (Syaufina 2008). Tabel 1 memperlihatkan persebaran lahan
gambut di Indonesia (BB Litbang SDLP 2008).
Tabel 1 Luas total lahan gambut untuk pertanian dan persebarannya di Indonesia
Pulau / Provinsi
Sumatera
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Kalimantan
Kalimantan Tengah
Kalimantan Barat
Kalimantan Selatan
Papua dan Papua Barat

Luas total (ha)
6 244 101
4 043 600
716 839
1 483 662
5 072 249
3 010 640
1 729 980
331 629
7 001 239

Layak untuk pertanian (ha)
2 253 733
774 946
333 936
1 144 851
1 530 256
672 723
694 714
162 819
2 273 160

Berdasarkan Tabel 1 wilayah lahan gambut terbesar pada wilayah Pulau
Sumatera terdapat pada provinsi Riau, pada pulau Kalimantan wilayah lahan
gambut terbesar terdapat pada provinsi Kalimantan Tengah. Gambut terbentuk

4
dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun
belum.
Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh
kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan
rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah gambut
merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh
proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah
mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik (Hardjowigeno 1986).
Gambar 1 memperlihatkan proses terbentuknya lahan gambut.

Gambar 1 Proses pembentukan gambut di daerah cekungan lahan basah
(Noor 2001)
Gambar 1(a) menunjukkan terjadi proses pengisian danau dangkal oleh
vegetasi lahan basah, Gambar 1(b) menunjukkan proses pembentukan gambut
topogen, dan Gambar 1(c) menunjukkan pembentukan gambut ombrogen diatas
gambut topogen.
Berdasarkan tingkat kematangan atau dekomposisinya, bahan organik
tanah gambut dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu bahan organik fibrik,
bahan organik hemik, dan saprik. Bahan organik yang tingkat dekomposisinya
baru dimulai atau masih awal, disebut bahan organik fibrik yang mempunyai cirri
jaringan-jaringan (fibers) tumbuhan masih tampak jelas atau mudah dikenali.

5
Bahan organik hemik, adalah bahan organik yang sekitar separuhnya telah
mengalami dekomposisi (hemi = separuh/pertengahan). Bahan organik saprik,
adalah bahan organik yang sebagian besar telah mengalami dekomposisi
(Wahyunto et al. 2005). Gambar 2 memperlihatkan tanah gambut berdasarkan
tingkat kematangannya.

a) gambut fibrik

b) gambut hemik

Gambar 2 Gambut berdasarkan kematangannya (Agus dan Subiksa 2008).
Menurut kedalamannya gambut dapat dibedakan menjadi (Agus dan
Subiksa 2008):
1 Gambut dangkal (50 – 100 cm)
2 Gambut sedang (100 – 200 cm)
3 Gambut dalam (200 – 300 cm)
4 Gambut sangat dalam (> 300 cm)
Lahan gambut merupakan ekosistem dan bersifat unik yang tidak dapat
ditemukan pada ekosistem lain. Pada musim penghujan, gambut berperilaku
seperti spons yang menyerap kelebihan air hujan sehingga mencegah terjadinya
banjir. Sebaliknya, pada musim kemarau lahan gambut mengeluarkan air ke udara
dan mengalirkannya ketempat lain sehingga tidak terjadi kekeringan (Syaufina
2008). Secara ringkas, lahan gambut memiliki multifungsi dalam menjaga
kestabilan lingkungan hidup, antara lain mengendalikan fungsi hidrologi untuk
keseimbangan kondisi air di daerah sekitarnya; konservasi biodiversity untuk flora
yang penting, antara lain Jelutung (Dyera custulata), Ramin (Gonystylus
bancanus), Meranti (Shorea spp), Kempas (Kompassia malaccensis), Punak
(Tetramerista glabara), Perepat (Combretocarpus royundatus), Pulai Rawa
(Alstonia pneumatophor), Terentang (Campnospherma spp), dan fauna termasuk
buaya sinyulong (Tomistoma schlegelii), harimau Sumatera (Panthera tigris
sumatrae), beruang madu (Helarctos malayanus), tapir (Tapirus indicus), mentok
rimba (Cairina scutulata), dan bangau tongtong (Leptoptilos javanicus) yang
berfungsi dalam pengendali iklim global sekaligus sebagai lahan budi daya di
bidang pertanian, kehutanan, dan perkebunan (Syaufina 2008).

6
Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut
Kebakaran hutan adalah pembakaran yang penjalarannya bebas serta
mengkonsumsi bahan bakar alami dari hutan seperti, serasah, rumput, ranting/
cabang pohon mati, snags (pohon mati yang tetap berdiri), logs, tunggak pohon,
gulma, semak belukar, dedaunan dan pohon-pohonan (Suratmo et al. 2003).
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya,
dari 2 612,09 Ha pada tahun 2011 menjadi sebesar 44 411,36 Ha pada tahun 2014
(Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2016). Salah satu wilayah yang
sering mengalami kebakaran hutan dan lahan, adalah wilayah Riau. Dengan titik
panas terbanyak dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Berdasarkan pola penyebaran dan tipe bahan bakar, kebakaran hutan dan
lahan dapat digolongkan kedalam tiga tipe, yaitu kebakaran bawah (ground fire),
kebakaran permukaan (surface fire), dan kebakaran tajuk (crown fire) (Syaufina
2008). Sedangkan pada tipe kebakaran lahan gambut, api menjalar di bawah
permukaan membakar bahan organik dengan pembakaran yang tidak menyala
(smoldering) (Syaufina 2008). Kebakaran gambut didominasi oleh pembakaran
smoldering (membara tanpa nyala), dimana api bertahan pada laju pembakaran
yang sangat rendah dari beberapa desimeter hingga puluhan meter per hari
(Artsybashev 1983). Kebakaran gambut terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Kebakaran bawah pada gambut (Najiyati et al. 2005).
Berdasarkan kedalaman pembakaran, kebakaran gambut dapat digolongkan
kedalam tiga kelas, yaitu lemah, sedang, dan kuat dengan kedalaman pembakaran
berturut-turut < 25 cm, 25 – 50 cm, dan > 50 cm (Artsybashev 1983). Dampak
kebakaran dari lahan gambut yang paling utama adalah biomassa dan
keanekaragaman hayati, hilangnya sumber daya gambut, terjadinya proses
subsiden, serta hilangnya fungsi penyerapan karbon (Syaufina 2008). Di samping
itu, gambut yang terbakar juga menimbulkan kabut asap dan penyebaran asap
yang menyebabkan masalah kesehatan yang serius serta gangguan transportasi
(Syaufina 2008).
Titik panas
Titik panas adalah salah satu indikator yang dapat digunakan untuk
menentukan dimana lokasi terjadinya kebakaran hutan, yang mana data tersebut
dapat diamati oleh citra satelit (Suratmo et al.2003). Secara terminologi titik

7
panas adalah salah satu piksel daerah yang memiliki suhu lebih tinggi jika
dibandingkan dengan daerah/lokasi sekitar yang tertangkap oleh sensor satelit dan
digital (Albar 2002). Format data titik panas berupa koordinat geografis
(longtitude dan latitude), lokasi titik panas dan jumlah titik panas untuk masingmasing daerah (Suratmo et al. 2003). Gambar 4 memperlihatkan persebaran titik
panas pada pada Provinsi Riau pada tanggal 12 Maret 2014.

Gambar 4 Persebaran titik panas Provinsi Riau tahun 2014 (BNPB 2016).
Berdasarkan Gambar 4 terlihat jumlah data titik panas yang berbeda dari
kedua satelit NOAA dan MODIS, perbedaan tersebut terdapat pada resolusi,
dimana MODIS memiliki resolusi sebesar 250 Meter persegi atau 16 kali lebih
detail dibandingkan citra satelit NOAA (Adinugroho et al. 2005).

Data Spasial
Data spasial menggambarkan lokasi dari fitur-fitur spasial, yang mungkin
dapat bersifat diskrit atau bersifat berkelanjutan. Fitur yang bersifat diskrit adalah
fitur-fitur yang tidak terdapat di antara observasi. Contoh dari fitur diskrit yang

8
terdapat pada titik adalah bendungan air, bandara, kantor pos, contoh dari fitur
diskrit yang berbentuk garis adalah jalan raya (Chang 2008).

Spatial Data Mining
Spatial data mining adalah bagaimana melakukan proses ekstraksi dari
suatu pengetahuan, bagaimana mengetahui hubungan antar setiap data spasial,
atau bagaimana menemukan hubungan yang menarik dari data yang tersimpan di
dalam basis data spatial (Han et al. 2012). Tujuan dari spatial data mining adalah
bagaimana menemukan pola atau informasi yang tersembunyi dan berguna dari
basis data spasial (Leung 2010). Perbedaan utama antara data mining dalam bisnis
data relasional dengan data mining dalam basis data spasial adalah bahwa atribut
dari beberapa objek yang menarik dari tetangga mungkin memiliki pengaruh yang
signifikan pada objek dan area disekitarnya juga harus diperhatikan. Lokasi yang
eksplisit dan perluasan objek spasial juga mendefinisikan hubungan implisit dari
lingkungan spasial, seperti topologi, hubungan jarak dan arah yang digunakan oleh
algoritme Spatial Data Mining (Ester, et al. 1996).

Spatial Clustering
Clustering adalah proses pengelompokkan kumpulan objek ke dalam
kelas-kelas (cluster) sehingga objek-objek dalam satu cluster yang sama memiliki
tingkat kemiripan yang tinggi tetapi tidak mirip terhadap objek dari cluster lain
(Han et al. 2012). Clustering juga dapat diartikan sebagai suatu teknik yang
digunakan untuk menentukan karakteristik serupa dari sekumpulan data (Deborah
et al. 2010). Sebagai fungsi dari data mining, spatial clustering dapat digunakan
sebagai alat untuk mendapatkan informasi mengenai data yang terdistribusi,
sebagai alat untuk mengamati karakteristik dari setiap clustering, dan dapat lebih
fokus kepada data cluster yang sedang diamati untuk melakukan tahapan analisis
lebih lanjut (Han et al. 2001). Gambar 5 menunjukkan langkah-langkah dari
proses clustering (Fayyad et al. 1996).

Pemilihan fitur

Pemilihan algoritme

Evaluasi hasil
cluster

Interpretasi hasil
clustering

Gambar 5 Langkah –langkah dalam proses clustering (Fayyad et al. 1996)
Berdasarkan Gambar 5, tahapan dari clustering dimulai dengan pemilihan
fitur yang akan digunakan serta dimanfaatkan. Tahapan kedua adalah menentukan
algoritme yang sesuai dengan proses clustering, tahapan selanjutnya adalah
evaluasi clustering. Pada tahapan ini dilakukan evaluasi terhadap clustering hasil
dari algoritme yang digunakan. Tahapan terakhir adalah dengan melakukan
interpretasi hasil clustering.

9
Algoritme Density-Based Spatial Clustering Algorithm with Noise (DBSCAN)
Algoritme Density-Based Spatial Clustering Algorithm with Noise
(DBSCAN) mengidentifikasikan anggota suatu cluster serta kerapatannya (Ester
et al. 1996). DBSCAN adalah algoritme clustering yang berbasis kepadatan
(density) yang popular (Ester et al. 1996).
Langkah-langkah dari proses algoritme DBSCAN adalah sebagai berikut
(Muntaz et al.2010) :
1 DBSCAN pertama membutuhkan dua buah parameter yaitu ԑ (epsilon)
dan jumlah minimum poin (MinPts). Pertama algoritme ini mencari titik
awal yang belum pernah dikunjungi, kemudian mencari semua titik
tetangga yang berdekatan dengan ԑ dari titik awal.
2 Jika jumlah tetangga ≥ MinPts maka akan terbentuk suatu cluster. Semua
titik awal dan tetangga akan ditambahkan serta titik awalnya akan ditandai
sebagai daerah yang telah dikunjungi. Algoritme ini kemudian akan
mengulangi untuk setiap tetangganya yang bersifat rekursif.
3 Jika jumlah tetangga kurang dari minPts, intinya ditandai sebagai noise.
4 Jika cluster sepenuhnya diperluas (semua daerah titik telah dikunjungi)
maka hasil dari iterasi algortime yang belum dikunjungi dimasukkan ke
dalam dataset.
Secara sederhana pseudocode dari algoritme DBSCAN adalah sebagai
berikut (Ester et al. 1996):
DBSCAN (SetOfPoints, Eps, MinPts)
// SetOfpoints is UNCLASSIFIED
Cluster Id := nextId(NOISE);
For I FROM 1 TO SetOfPoints.size Do
Point := SetOfPoints.get(i);
IF Point.Clid = UNCLASSIFIED THEN
IF ExpandCluster(SetOfPoints, Point,
ClusterId, Eps, MintPts) THEN
Cluster Id := nextId(Cluster Id)
END IF
END IF
END FOR
END; // DBSCAN
Berdasarkan pseudocode di atas, algoritme DBSCAN membutuhkan
beberapa parameter yaitu “SetOfPoints”, “Eps (ɛ)”, dan “MinPts”. Dimana
“SetOfPoints” adalah seluruh database yang ada atau cluster yang ditemukan pada
saat program dijalankan. Sedangkan “Eps (ɛ)”, dan “MinPts” adalah parameter
yang telah ditentukan sebelumnya sebelum program dijalankan (Ester et al. 1996).

10
Algoritme Clustering in Presence of Obstacle with Computed number of cells
(CPO- WCC)
Algoritme CPO adalah suatu algoritme yang diperkenalkan oleh ElZawawy dan algoritme CPO akan membagi wilayah spasial ke dalam sebuah sel
persegi panjang serta akan memberikan nama label dengan sebutan dense dan
non dense (berdasarkan jumlah dari titik yang terdapat di dalam sel) dan juga
memberi nama padat (untuk perpotongan dari hambatan ) dan tidak padat (untuk
daerah yang tidak dipotong oleh hambatan ). Algoritme ini akan berhenti sampai
daerah padat tidak lagi dilewati oleh hambatan (El-Zawawy et al. 2009).
Algoritme CPO-WCC akan membagi wilayah spasial ke dalam sebuah sel
persegi panjang serta akan memberikan nama label dengan sebutan dense dan
non dense (berdasarkan jumlah dari titik yang terdapat di dalam sel) dan juga
memberi nama obstructed (untuk perpotongan dari obstacle ) dan non obstructed
. Untuk setiap sel obstructed, algoritme ini akan mencari jumlah dari setiap
subsel dari non obstructed . Kemudian algoritme akan mencari daerah yang padat
dengan sel non obstructed atau sub sel dengan pencarian pada tahap pertama
sebagai cluster yang dibutuhkan serta menentukan titik pusat dari setiap
daerahnya (El-Zawawy et al. 2009).
Sebagai contoh kasus terdapat kebakaran di suatu daerah yang akan di
lakukan clustering. Daerah tersebut dilalui oleh jalan seperti terlihat pada Gambar
6. Gambar titik-titik merah adalah titik panas yang terdapat pada daerah tersebut,
gambar garis berwarna hitam adalah gambar jalan yang melalui daerah tersebut,
dan gambar garis berwarna biru adalah sungai. Jika hambatan yang ada diabaikan
maka daerah cluster yang terbentuk adalah seperti pada Gambar 7 dimana
hambatan yang ada tidak dipertimbangkan. Oleh sebab itu dalam melakukan
clustering, hambatan pada data rill perlu dipertimbangkan karena akan
mempengaruhi dalam hasil clustering. Gambar 8 menunjukkan proses dari
algoritme CPO-WCC yang dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah dari
clustering dengan menggunakan algoritme DBSCAN.

Gambar 6 Persebaran titik panas di suatu daerah

11
Cluster 1
Cluster 2

Cluster 3

Cluster 4
Gambar 7 Hasil cluster tanpa kendala
Cluster 2
Cluster 1

Cluster 3

Gambar 8 Tahapan algoritme CPO-WCC

Berdasarkan Gambar 7 daerah cluster terbentuk tanpa mempertimbangkan
lingkungan nyata, dimana hasil cluster yang dihasilkan adalah sebanyak 4 cluster.
Hasil yang berbeda tampak pada Gambar 8, dimana daerah dibagi menjadi
beberapa grid. Selanjutnya dari grid tersebut dihitung jumlah titik panas yang ada
untuk menentukan daerah tersebut memiliki titik panas yang rapat atau tidak. Jika
terdapat titik panas yang memiliki kerapatan tinggi serta daerah tersebut dilalui
oleh kendala, maka daerah grid tersebut akan dibagi lagi menjadi grid yang lebih
kecil. Proses tersebut akan terus berulang sampai tidak ditemukan lagi grid yang
rapat yang dilalui oleh kendala.

12

METODE
Area Studi
Area studi dalam penelitian ini adalah areal lahan gambut pada provinsi
Riau. Provinsi Riau dipilih dikarenakan, area lahan gambut yang utama di
Sumatera adalah di Provinsi Riau (65%), di samping Sumatera Selatan dan Jambi
(Syaufina 2008). Selain itu wilayah Riau sering mengalami kebakaran setiap
tahunnya. Wilayah Provinsi Riau terletak antara 01o05’00’’ Lintang Selatan
sampai 02o25’00’’ Lintang Utara dan 100o00’00’’ sampai 105o05’00’’ Bujur
Timur dengan batas-batas wilayah sebagai berikut;
Sebelah Utara
: Selat Malaka dan Provinsi Sumatera Utara
Sebelah Selatan
: Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Barat
Sebelah Barat
: Provinsi Sumatera Barat
Sebelah Timur
: Provinsi Kepulauan Riau dan Selat Malaka
Peta Provinsi Riau terlihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Peta Provinsi Riau (Badan Informasi Geospasial 2016)

Data Penelitian
Data penelitian yang digunakan adalah data titik panas kebakaran hutan di
wilayah Riau pada tahun 2014. Data titik panas ini didapatkan dari Direktorat
Kebakaran Hutan (DPKH) Departemen Kehutanan RI. Sedangkan data jalan dan
sungai diperoleh dari Badan Informasi Geospatial. Data lahan gambut diperoleh
dari Wetlands internasional Indonesia. Data cuaca tahun 2014 diperoleh dari
BMKG. Peta tutupan lahan gambut, jalan, dan sungai terlihat pada Gambar 10,

13
tipe dari lahan gambut dan kedalaman gambut terlihat pada Gambar 11,
sedangkan pada Tabel 2 memperlihatkan data dari penelitian yang akan
digunakan. Pada Tabel 3 menunjukkan data yang cuaca yang diperoleh dari
BMKG. Sedangkan untuk data sosial ekonomi terlihat pada Tabel 4.

a) Titik Panas

b) Jalan

c) Sungai

d) Tutupan lahan gambut
Gambar 10 Peta tutupan lahan gambut, jalan, sungai, dan titik panas

14
Berdasarkan Gambar 10, terlihat persebaran dari titik panas, daerah yang
dilalui oleh sungai dan jalan pada provinsi Riau, dan juga persebaran tutupan
lahan gambut yang terdapat pada provinsi Riau. Terdapat 15 jenis area tutupan
lahan gambut yang tersebar di provinsi Riau.

a) Tipe gambut

b) Ketebalan gambut
Gambar 11 Peta tipe dan kedalaman gambut
Berdasarkan gambar 11, terlihat tipe dari gambut yang terdapat pada
provinsi Riau. Terdapat 15 tipe gambut yang tersebar pada provinsi Riau,
sedangkan berdasarkan ketebalannya terdapat 4 tipe ketebalan yang tersebar di
provinsi Riau.

15
Tabel 2 Data Penelitian
No
1

2

3

4

Tahapan Penelitian
Clustering data titik panas
menggunakan algoritme
DBSCAN

Data (Parameter)
Titik panas

Sumber Data
Data Kebakaran Hutan tahun 2014 dari
Direktorat Kebakaran Hutan (DPKH)
Departemen Kehutanan RI

Clustering data titik
panas menggunakan
algoritme CPO-WCC
dengan kendala sungai.

Titik panas

Data Kebakaran Hutan tahun 2014 dari
Direktorat
Kebakaran Hutan (DPKH) Departemen
Kehutanan RI
Badan Informasi Geospatial
Badan Informasi Geospatial
Data Kebakaran Hutan tahun 2014 dari
Direktorat Kebakaran Hutan (DPKH)
Departemen Kehutanan RI

Data sungai
Data jalan
Titik panas

Evaluasi hasil clustering
untuk mendapatkan
cluster yang terbaik.

Analisis cluster

Lahan gambut

Wetlands Internasional Indonesia
Programme

Data sungai

Badan Informasi Geospatial

Data jalan

Badan Informasi Geospatial
Data Kebakaran Hutan tahun 2014 dari
Direktorat Kebakaran Hutan (DPKH)
Departemen Kehutanan RI

Titik panas

Data sungai
Data jalan
Lahan gambut
Data cuaca
Data sosial ekonomi

Badan Informasi Geospatial
Badan Informasi Geospatial
Wetlands Internasional Indonesia
Programme
BMKG
BPS

Tabel 3 Data Cuaca tahun 2014
Bulan

Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember

Suhu Min. (C)
22.98
23.51
23.27
23.66
23.90
24.05
23.38
23.17
23.33
23.50
23.56
23.25

Suhu Maks. (C)

Suhu

Rata –Rata dalam 1 bulan
30.29
25.82
32.49
27.35
32.68
27.15
27.78
27.57
33.26
27.70
34.02
28.30
33.21
27.80
32.55
26.92
32.39
27.12
33.16
27.31
32.42
26.94
31.91
26.54

Kelembaban
(%)
80.26
73.96
76.77
78.30
79.65
75.07
74.26
78.71
78.27
79.74
81.50
83.00

16
Tabel 4 Data Sosial ekonomi
Kabupaten / Kota
Kuantan Singingi
Indragiri Hulu
Indragiri Hilir
Pelalawan
Siak

Kampar

Rokan Hulu
Rokan Hilir
Bengkalis
Kepulauan Meranti
Pekanbaru
Dumai

Sumber Pendapatan
Pertanian, pertambangan dan penggalian, perdagangan
besar/eceran
Pertanian, industri pengolahan, perdagangan besar/eceran,
jasa, konstruksi, listrik, gas, perbankan
Pertanian, industri pengolahan, angkutan, jasa
Pertanian, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan
Pertanian, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan,
perdagangan besar/ eceran, jasa, konstruksi, listrik, gas,
perbankan
Pertanian, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan,
perdagangan besar/ eceran, jasa, konstruksi, listrik, gas,
perbankana
Pertanian, pertambangan dan penggalian, jasa
Pertanian, pertambangan dan penggalian, jasa
Pertanian, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan,
perdagangan besar/ eceran, jasa
Pertanian, industri pengolahan, perdagangan besar/ eceran,
angkutan, konstruksi, listrik, gas, perbankana
Pertanian, industri pengolahan, perdagangan besar/ eceran,
jasa
Pertanian, industri pengolahan, perdagangan besar/ eceran,
angkutan, jasa

Peralatan Penelitian
Peralatan yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari perangkat
keras serta perangkat lunak yaitu sebagai berikut ;
a. Perangkat keras
Komputer personal dengan prosesor Intel(R) Core(TM) i3-4010U CPU@
1.70GHz, RAM 4 Giga Byte, monitor dengan resolusi 1024 × 768 pixel, dan
mouse.
b. Perangkat lunak
• Sistem operasi :Windows 7 Ultimate
• Microsoft Excel 2007 untuk praproses data
• R 3.1 untuk pengolahan data
• Quantum GIS 2.8.3 Wien untuk pengolahan data spasial

Tahapan Penelitian
Secara umum tahapan dalam penelitian ini dimulai dengan pengumpulan
data titik api serta data lahan gambut di provinsi kabupaten Riau, selanjutnya
dilakukan penyiapan data. Tahapan berikutnya adalah dilakukan proses clustering
dengan algoritme CPO-WCC. Kemudian dilakukan proses validasi dari hasil

17
clustering algoritme CPO-WCC, selanjutnya dilakukan proses analisis. Tahapan
penelitian dapat dilihat pada Gambar 12.

Mulai

Proses
pengumpulan
data
Proses penyiapan
data, dan proses
integrasi

Data
titik
panas

Data
sungai
dan jalan

Clustering data titik
panas menggunakan
algoritme CPOWCC
Analisis hasil cluster
berdasarkan karakteristik
lahan gambut

selesai

Clustering data titik
panas menggunakan
algoritme DBSCAN

Cluster titik
panas dari
algoritme
DBSCAN

Cluster titik
panas dengan
kendala sungai
dan jalan
Evaluasi
hasil
cluster

Analisis hasil cluster
berdasarkan data cuaca dan
sosial ekonomi

Gambar 12 Tahapan penelitian

Proses Pengumpulan Data
Pada tahapan ini dilakukan proses pengumpulan data titik panas yang
didapat dari Direktorat Kebakaran Hutan (DPKH) Departemen Kehutanan RI,
data lahan gambut yang didapat dari Wetlands International Indonesia
Programme, data jalan dan sungai didapat dari Badan Informasi Geospatial, data
cuaca diperoleh dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, data sosial
ekonomi diperoleh dari Badan Pusat Statistik.

Proses Penyiapan Data
Pada tahapan ini dilakukan proses penyiapan data dengan menghilangkan
data titik panas yang terdapat di wilayah Riau dan mengubah data yang tidak
konsisten menjadi konsisten. Data titik panas dari Riau yang didapat adalah
sebanyak 18 339 record. Tahap selanjutnya dalam praproses data adalah seleksi
atribut. Dari 12 atribut yang terdapat pada data titik panas. Penelitian ini
menggunakan atribut tanggal dari munculnya titik panas, longitude (bujur) dan
latitude (lintang) pada data titik panas.

18
Pada praproses data lahan gambut dilakukan fungsi spasial penggabungan
untuk menggabungkan layer yang sebelumnya terpisah menjadi satu kesatuan
layer lahan gambut pada areal Riau. Tahapan praproses ini memanfaatkan
Quantum GIS 2.8.3 Wien untuk melakukan penyeiapan data titik panas dengan
menghilangkan atribut yang tidak digunakan sehingga nantinya hanya atribut
atribut acq_date (merupakan atribut tanggal dari munculnya titik panas), longitude
(bujur) dan latitude (lintang) saja yang digunakan. Penghilangan atribut ini
dilakukan untuk mengurangi ukuran dataset titik panas yang besar sehingga
menjadi lebih kecil juga karena atribut lain tidak diperlukan untuk clustering.
Selain itu Quantum GIS 2.8.3 Wien digunakan juga pada proses penggabungan
layer lahan gambut.

Clustering Data Titik Panas menggunakan Algoritme CPO-WCC
Data hasil proses penyiapan data selnjutnya diproses dengan menggunakan
algoritme CPO-WCC (Clustering in Presence of Obstacles With Computed
number of Cells).Algoritme CPO-WCC (Clustering in Presence of Obstacles With
Computed number of Cells) digunakan untuk menemukan cluster pada basis data
spatial yang memiliki hambatan (El-Zawawy et al. 2002).
Tahapan awal dari algoritme adalah dengan menenntukan ukuran dari grid
yang ada, dengan menentukan besar ukuran dari grid, ukuran panjang serta lebar
dari grid tersebut haruslah sama, selanjutnya menentukan hambatan yang akan
digunakan. Hambatan yang digunakan dalam algoritme ini adalah jalan dan sungai.
Kemudian menetukan jumlah grid kecil yang dibentuk oleh setiap grid dengan
kerapatan besar yang dilalui oleh hambatan.
Setelah diperoleh ukuran dari grid, hambatan yang digunakan, serta jumlah
grid-grid kecil yang terbentuk dari setiap grid padat yang dilalui oleh hambatan,
maka akan dilakukan beberapa prosedur yaitu ;
1 Menghitung jumlah grid yang terbentuk
2 Menentukan setiap grid padat atau tidak, dengan menggunakan rumus
jumlah titik panas
� = jumlah grid yang terbentuk jika jumlah titik panas dari setiap grid sama
dengan atau lebih dari nilai � maka grid tersebut dikatakan padat,
sebaliknya jika jumlah titik panas dari grid lebih kecil dari � maka daerah
tersebut dikatakan tidak padat.
3 Membagi setiap daerah grid padat yang dilalui oleh hambatan menjadi
grid-grid kecil. Proses pembagian grid menjadi grid kecil akan terus
berulang hingga setiap grid padat yang ada tidak dilaui oleh hambatan.
4 Menetukan daerah cluster yang terbentuk
Proses clustering dalam penelitian ini menggunakan perangkat lunak
Quantum GIS 2.8.3 Wien.

19
Clustering Data Titik Panas menggunakan Algoritme DBSCAN
Data hasil proses penyiapan data selanjutnya dikelompokkan menggunakan
algoritme DBSCAN. Algoritme Density-Based Spatial Clustering Algorithm with
Noise (DBSCAN) mengidentifikasikan anggota suatu cluster serta kerapatannya
(Ester et al. 1996). Tahapan awal dalam algoritme ini adalah dengan menentukan
nilai dari Eps dan MinPts yang akan digunakan sebagai titik dalam sebuah
cluster. Hasil cluster dari algoritme DBSCAN dikatakan terbaik apabila Epsneigborhood memiliki jarak yang mirip dengan titik yang lain atau memiliki jarak
yang sama.
Nilai dari Eps dan MinPts yang digunakan adalah Eps = 0.1 dan Minpts 6
(Usman 2014). Setelah nilai Eps dan MinPts ditentukan, maka akan dilakukan
beberapa langkah yaitu;
1 Melakukan clustering dengan menghubungkan semua titik yang ada
dengan jarak seluas dari nilai Eps.
2 Membuat kelompok dari setiap titik yang terhubung menjadi cluster yang
terpisah dimana jumlah titik minimal dari setiap cluster adalah sebesar
dari nilai Minpts 6.
Proses clustering dalam penelitian ini menggunakan perangkat lunak
statistik R 3.1.

Evaluasi Hasil Cluster
Pada tahapan ini akan dilakukan evaluasi terhadap cluster hasil dari
algoritme DBSCAN dan algoritme CPO-WCC. Cluster yang dipilih dari setiap
algoritme yang nantinya akan dilakukan proses pembandingan adalah cluster
dengan densitas terpadat.

Analisis hasil cluster berdasarkan karakteristik lahan gambut, data cuaca,
dan sosial ekonomi
Pada tahapan ini dilakukan analisis dari hasil cluster dari algoritme
DBSCAN dan algoritme CPO-WCC berdasarkan karakteristik lahan gambut dan
data cuaca yang terdapat pada area Riau. Atribut dari lahan gambut tersebut terdiri
dari tutupan lahan, jenis lahan gambut, ketebalan lahan gambut. Sedangkan atribut
cuaca terdiri dari suhu (0C), kelembaban rata-rata (%). Atribut sosial ekonomi
yang digunakan adalah sumber penghasilan.

20

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah Titik Panas Tahun 2014

Titik panas pada lahan gambut di Provinsi Riau sebanyak 18 292 dimana
dari total tersebut terdapat 18 246 titik panas yang terdapat di daerah lahan
gambut. Jenis lahan gambut di Provinsi Riau dikategorikan berdasarkan tingkat
kematangannya menjadi Fibrists, Hemists, Saprists, Saprists/Hemists, Hemists/
Saprists, Fibrists/Saprists. Gambar 13 memperlihatkan sebaran titik panas lahan
gambut pada Provinsi Riau berdasarkan tipe gambut, sedangkan pada Gambar 14
diperlihatkan sebaran titik panas berdasarkan ketebalan dari lahan gambut di
Provinsi Riau.
7000
6000
5000
4000
3000
2000
1000
0

6552

3614

3320
2890

37

2

403

796
24

404

16

42

146

Tipe Gambut

Gambar 13 Jumlah titik panas pada tahun 2014 berdasarkan tipe gambut di
Provinsi Riau
Tipe gambut “Hemists/Saprists (60/40), sangat dalam” berarti kandungan
Hemists pada lahan gambut tersebut sebanyak 60% sedangkan sisanya adalah
Saprists sebanyak 40%. Sangat dalam adalah ketebalan gambut pada area tersebut,
yaitu ketebalan > 400 cm. Berdasarkan Gambar 13 sebaran titik panas terbanyak
pada tipe gambut Hemists/Saprists sebanyak 6 552 titik panas.

21

Jumlah Titik Panas Tahun 2014

9000

8238

8000
7000
6000

5081

5000

4338

4000
3000
2000
578

1000

11

0
Sangat
Dangkal / Tipis : Sedang : 100-200 Dalam / Tebal :
Sangat
Dangkal/Sangat 50-100 cm (D1)
cm (D2)
200-400 cm (D3) Dalam/Sangat
Tipis : < 50 cm
Tebal : > 400 cm
(D0)
(D4)
Tipe Ketebalan Gambut

Gambar 14 Jumlah titik panas tahun 2014 berdasarkan ketebalan lahan gambut
Berdasarkan Gambar 14 sebaran titik panas terbanyak terdapat pada
gambut dengan ketebalan sangat dalam/ sangat tebal dengan ketebalan > 400 cm.
Terdapat 13 jenis tutupan lahan gambut di Provinsi Riau. Jumlah titik panas
berdasarkan jenis penutupan lahan tersebut terlihat pada Gambar 15.
14000

12825

Jumlah Titik panas

12000
10000
8000
6000
4000
2000

2396

1556
73

23

378

173

122

1

232

433

29

5

0

Jenis Tutupan Lahan

Gambar 15 Jumlah titik panas tahun 2014 berdasarkan tutupan lahan gambut
Berdasarkan Gambar 15 jumlah titik panas terbesar terdapat pada jenis
tutupan lahan hutan rawa sebanyak 12 825 titik panas.

22

Pembentukan Cluster Data Titik Panas menggunakan Algoritme DBSCAN
Pada penelitian ini nilai Eps serta Minpts yang digunakan harus ditentukan
terlebih dahulu untuk mendapatkan nilai cluster terbaik. Nilai cluster dan titik
noise yang relatif kecil diperoleh pada Eps = 0.1 dan Minpts 6 (Usman 2014).
Tabel 5 menunjukkan hasil cluster dari algoritme DBSCAN.
Tabel 5 Hasil cluster yng menggunakan algoritme DBSCAN
Cluster

Jumlah titik panas

Cluster

1

67

23

Jumlah titik
panas
21

2

856

24

3

1133

4

Cluster

Jumlah titik panas

45

7

3214

46

54

25

59

47

57

499

26

237

48

247

5

584

27

292

49

74

6

1144

28

422

50

28

7

342

29

466

51

57

8

488

30

79

52

17

9

71

31

53

53

17

10

974

32

849

54

10

11

2319

33

197

55

25

12

115

34

249

56

24

13

142

35

97

57

10

14

203

36

160

58

6

15

26

37

133

59

19

16

156

38

168

60

6

17

115

39

10

61

12

18

253

40

87

62

7

19

48

41

149

63

151

20

439

42

8

64

206

21

29

43

161

65

39

22

89

44

16

Berdasakan Tabel 5, areal yang memiliki kepadatan titik panas terbanyak
terdapat pada cluster 24. Gambar 16 menunjukkan wilayah/kabupaten yang
terdapat pada area cluster 24.

23

Gambar 16 Titik panas pada Wilayah/Kabupaten dalam cluster 24
Berdasarkan Gambar 16, persebaran titik panas dari cluster 24 hampir
tersebar merata pada tiga kota di Provinsi Riau. Persebaran titik panas tersebut
tersebar pada Kota Bengkalis sebanyak 1 082 titik panas (33.7 %), sebanyak 1
052 titik panas (32.7 %) tersebar pada Kepulauan Meranti, dan sebanyak 1 080
titik panas (33.6 %) tersebar di Kota Siak.

Pembentukan Cluster Data Titik Panas Dengan Algoritme CPO-WCC
Pada penelitian ini dilakukan pembentukan cluster titik panas
menggunakan algoritme CPO-WCC menggunakan perangkat lunak QGIS Wien.
Perhitungan ini menghasilkan cluster dalam 5 iterasi. Dengan nilai ukuran
panjang dan lebar sel yang berbeda pada setiap iterasinya. Dimana pada iterasi
pertama ukuran panjang dan lebar sebesar 0.5 degree, pada iterasi kedua sebesar
0.25 degree, pada iterasi ketiga sebesar 0.125 degree, pada iterasi keempat
sebesar 0.0625 degree, dan pada iterasi kelima sebesar 0.03125 degree. Iterasi
dalam algoritme CPO-WCC akan terus mengalami pengulangan, apabila daerah
yang memiliki kerapatan yang padat serta area tersebut dilalui oleh kendala fisik
jalan saja ,sungai saja, ataupun dilalui oleh jalan dan sungai. Hasil akhir dari
algoritme CPO-WCC terlihat pada Gambar 17.

24

Iterasi 1

iterasi 2

Iterasi 4

iterasi 3

iterasi 5

a) Hasil iterasi algoritme CPO-WCC
Jumlah Titik Panas
12000
10,046
10000
8000

7,849

6000
4000
2000

397

0
1

2

3

Cluster

b) Hasil clustering menggunakan algoritme CPO-WCC
Berdasarkan Gambar 17(a) terlihat hasil iterasi algoritme CPO-WCC, pada
Gambar 17(b) terlihat bahwa hasil akhir dari algoritme CPO-WCC menghasilkan
cluster sebanyak 3 cluster. Dengan jumlah titik panas terpadat terdapat pada
cluster 3 selanjutnya diikuti oleh cluster 1 dan cluster 2.

25

c) Sebaran titik panas, jalan, sungai hasil algoritme CPO-WCC
Gambar 17 Hasil algoritme CPO-WCC
Berdasarkan Gambar 17(c) terlihat persebaran dari titik panas tersebar
pada wilayah Bengkalis, Indragiri Hilir, Indragiri Hulu, Kampar, Kota Dumai,
Kota Pekanbaru, Pelalawan, Rokan Hilir, Rokan Hulu, dan Siak. Jumlah minimal
titik pan