Pola Kolokasi Berbasis Poligon Pada Titik Panas Dan Tutupan Lahan Gambut Di Rokan Hilir, Provinsi Riau

POLA KOLOKASI BERBASIS POLIGON PADA TITIK
PANAS DAN TUTUPAN LAHAN GAMBUT DI ROKAN HILIR,
PROVINSI RIAU

SERGI ROSELI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pola Kolokasi Berbasis
Poligon pada Titik Panas dan Tutupan Lahan Gambut di Rokan Hilir, Provinsi
Riau adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, November 2015
Sergi Roseli
NIM G651140586

RINGKASAN
SERGI ROSELI. Pola Kolokasi Berbasis Poligon pada Titik Panas dan Tutupan
Lahan Gambut di Rokan Hilir, Provinsi Riau. Dibimbing oleh IMAS SUKAESIH
SITANGGANG dan LAILAN SYAUFINA.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan lahan gambut tropika terluas
di dunia yang sebagian besar tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Papua.
Provinsi Riau merupakan wilayah dengan penyebaran lahan gambut terluas di
Sumatera. Di sisi lain, Riau juga merupakan salah satu wilayah yang memiliki
kemunculan titik panas tertinggi di Indonesia. Lahan gambut yang memiliki sifat
irreversible drying rentan terhadap kebakaran jika berada dalam kondisi yang
kering. Pendekatan spatial co-location pattern dapat diterapkan untuk mengetahui
tipe dan karakteristik gambut yang rentan terhadap kebakaran karena banyaknya
titik panas di sekitar lahan gambut tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk menerapkan pendekatan polygon based co-location pattern mining terhadap

data titik panas yang direpresentasikan dalam bentuk titik dan data lahan gambut
yang direpresentasikan dalam bentuk poligon serta menganalisis pola kolokasi
yang dihasilkan.
Dengan mengetahui tipe gambut yang berkolokasi dengan titik panas maka
tipe dan karakteristik gambut yang berkaitan erat dengan dengan tingginya
kemunculan titik panas di sekitarnya juga dapat diketahui. Informasi tersebut
dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk pengambilan keputusan
manajerial berkaitan dengan pencegahan kebakaran. Hasil penelitian
menunjukkan
bahwa
tipe
gambut
“hemists/saprists
(60/40)
sedang”,“hemists/saprists (60/40) sangat dalam”, dan “saprists/mineral (90/10)
sedang” adalah tipe gambut yang membentuk kolokasi dengan titik panas secara
signifikan pada tahun 2001 sampai 2012. Sepanjang tahun 2001 sampai 2012,
kemunculan titik panas tertinggi berada di sekitar tipe gambut “hemists/saprists
(60/40) sedang” yang didominasi oleh tutupan hutan rawa gambut dengan
kedalaman 100 cm sampai 200 cm, “hemists/saprists (60/40) sangat dalam” yang

didominasi oleh tutupan hutan rawa gambut dengan kedalaman > 400 cm serta
“saprists/mineral (90/10) sedang” yang didominasi oleh tutupan hutan rawa
gambut dengan kedalaman 100 cm sampai 200 cm.
Kata kunci: co-location pattern mining, lahan gambut, pola kolokasi berbasis
poligon, titik panas

SUMMARY
SERGI ROSELI. Polygon Based Co-location Pattern on Hotspot and Peatland in
Rokan Hilir, Riau Province. Supervised by IMAS SUKAESIH SITANGGANG
and LAILAN SYAUFINA.
Indonesia is one of the countries which has the largest tropical peatland area
in the world which are mostly distributed in Sumatera, Kalimantan, and Papua.
Riau Province has the largest peatland area in Sumatera. On the other hand, Riau
is also one of the regions which has high hotspot occurences in Indonesia.
Peatland which has irreversible drying characteristic is vulnerable to fire when it
is dry. Spatial co-location pattern approach can be applied to identify peatland
types and characteristics which are vulnerable to fire because of the high hotspot
occurrences around the area. The purpose of this research is to apply polygon
based co-location pattern mining to hotspot data which are spatially represented as
points and peatland data which are spatially represented as polygon as well as

analyze the co-location patterns which are generated.
By knowing the peatland types which are co-located with hotspot, the
peatland types and characteristics which are strongly related to hotspot
occurrences can be determined. That information can be used as the consideration
to the decision making process regarding land or forest fire prevention. The
experimental result shows that peatland types of “hemists/saprists (60/40)
medium”, “hemists/saprists (60/40) very deep”, and “saprists/mineral (90/10)
medium” are significantly co-located with hotspot occurrences in 2001 to 2012. In
2002, many hotspot occurred around peatland types of “hemists/saprists (60/40)
medium” which are dominated by peat swamp forest land use with 100 cm to 200
cm depth, “hemists/saprists (60/40) very deep” which are dominated by peat
swamp forest land use with more than 400 cm depth, and “saprists/mineral
(90/10) medium” which are dominated by peat swamp forest land use with 100
cm to 200 cm depth.
Keywords: co-location pattern mining, hotspot, peatland, polygon based colocation pattern

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

POLA KOLOKASI BERBASIS POLIGON PADA TITIK
PANAS DAN TUTUPAN LAHAN GAMBUT DI ROKAN HILIR,
PROVINSI RIAU

SERGI ROSELI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Komputer
pada
Program Studi Ilmu Komputer

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Eng Wisnu Ananta Kusuma, ST MT

Judul Tesis : Pola Kolokasi Berbasis Poligon pada Titik Panas dan Tutupan
Lahan Gambut di Rokan Hilir, Provinsi Riau
Nama
: Sergi Roseli
NIM
: G651140586

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Imas Sukaesih Sitanggang, SSi MKom
Ketua

Dr Ir Lailan Syaufina, MSc
Anggota


Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Komputer

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Eng Wisnu Ananta Kusuma, ST MT

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:
15 September 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala
karena atas segala rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Tesis ini disusun sebagai laporan penelitian yang telah dilakukan penulis sejak
bulan Januari 2015 dengan judul Pola Kolokasi Berbasis Poligon pada Titik Panas
dan Tutupan Lahan Gambut di Rokan Hilir, Provinsi Riau.
Banyak pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuan dalam
pelaksanaan dan penyelesaian tugas akhir ini. Oleh karena itu, penulis ingin
menyampaikan terima kasih kepada:
1. Ayah dan ibu serta adik-adik penulis yang selalu memberikan dukungan,
doa, serta mengingatkan agar tugas akhir ini dapat diselesaikan dengan
baik.
2. Ibu Dr Imas Sukaesih Sitanggang, SSi MKom dan Ibu Dr Ir Lailan
Syaufina, MSc selaku dosen pembimbing I dan II yang selalu bersedia
membantu dan membimbing penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
3. Putri, Iza, Sodik, Basith, Fandi, Isnan, dan Rake yang selama dua tahun
terakhir menjalani suka duka perkuliahan S2 bersama dan senantiasa
membantu penulis selama masa perkuliahan.
4. DIKTI sebagai penyedia Beasiswa Fresh Graduate 2014.
5. Teman-teman mahasiswa S2 Departemen Ilmu Komputer angkatan 2013
dan 2014.
Semoga tesis ini dapat bermanfaat.


Bogor, November 2015
Sergi Roseli

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian

Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
3
3
4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Titik Panas (Hotspot)
Kebakaran Gambut
Data Spasial
Spatial Data Mining
Co-location Pattern Mining
Polygon Based Co-location Pattern Mining

4
4

5
6
7
8
10

3 METODE
Area Studi
Data Penelitian
Tahapan Penelitian
Praproses Data
Implementasi Polygon Based Co-location Pattern Mining
Penentuan Pola Kolokasi Antara Titik Panas dan Lahan Gambut
Analisis Pola Kolokasi
Visualisasi Pola Kolokasi
Perangkat Penelitian

11
11
12
13
13
13
13
14
14
14

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Praproses Data
Implementasi Polygon Based Co-location Pattern Mining
Penentuan Pola Kolokasi Antara Titik Panas dan Lahan Gambut
Analisis Pola Kolokasi
Visualisasi Pola Kolokasi

14
14
18
19
22
27

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

28
28
28

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

29
31
71

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Luas area lahan gambut di Rokan Hilir berdasarkan tipe gambutnya
Tipe gambut berdasarkan tingkat kematangannya (Adinugroho et al.
2005)
Jumlah kemunculan titik panas di Rokan Hilir tahun 2001 sampai
2012
Nilai BN dan CPr untuk kandidat pola kolokasi berukuran 2 pada
tahun 2002
Kandidat pola kolokasi berukuran 3 pada tahun 2002
Persentase kemunculan titik panas yang berkolokasi dengan gambut
Frekuensi titik panas yang berkolokasi secara signifikan dengan tipe
gambut tertentu pada tahun 2001 sampai 2006
Frekuensi titik panas yang berkolokasi secara signifikan dengan tipe
gambut tertentu pada tahun 2007 sampai 2012
Total frekuensi titik panas yang berkolokasi dengan gambut pada
tahun 2001 sampai 2012
Karakteristik gambut yang berkolokasi dengan titik panas pada tahun
2002

12
15
15
21
21
23
24
24
25
26

DAFTAR GAMBAR
1 Representasi titik pada data MODIS (Giglio et al. 2003)
2 Contoh basis data spasial (Ester et al. 2001)
3 Ilustrasi hubungan topological dan distance pada objek spasial (Ester
et al. 2001)
4 Ilustrasi pola kolokasi (Shekhar et al. 2004)
5 Pseudocode algoritme co-location mining (Shekhar et al. 2004)
6 Ilustrasi neighborhood untuk beberapa objek spasial (Xiong et al.
2004)
7 Pseudocode dari pendekatan polygon based coarse-level co-location
pattern mining
8 Ilustrasi MBR pada data spasial berbentuk titik (Xiong et al. 2004)
9 Provinsi Riau
10 Tahapan penelitian
11 MBR dari dissolved buffer titik panas tahun 2002
12 Penyebaran lahan gambut di Rokan Hilir
13 MBR dari tipe gambut hemists/saprists (60/40) sedang
14 MBR dari tipe gambut saprists/mineral (90/10) sedang
15 MBR dari tipe gambut hemists/saprists (60/40) sangat dalam
16 Alur implementasi polygon based co-location pattern mining
17 Daerah irisan antara MBR titik panas dan MBR lahan gambut tahun
2002
18 Lokasi titik panas yang berkolokasi dengan lahan gambut pada tahun
2002

5
7
8
9
9
10
10
11
12
13
16
17
17
18
18
19
22
27

DAFTAR LAMPIRAN
1 Dissolved buffer dan MBR dari titik panas pada tahun 2001, 2003
sampai 2012
2 MBR dari data lahan gambut di Rokan Hilir
3 Nilai BN dan CPr untuk kandidat pola kolokasi berukuran 2 pada
tahun 2001
4 Nilai BN untuk kandidat pola kolokasi berukuran 3 pada tahun 2001
5 Nilai BN dan CPr untuk kandidat pola kolokasi berukuran 2 pada
tahun 2003
6 Nilai BN untuk kandidat pola kolokasi berukuran 3 pada tahun 2003
7 Nilai BN dan CPr untuk kandidat pola kolokasi berukuran 2 pada
tahun 2004
8 Nilai BN untuk kandidat pola kolokasi berukuran 3 pada tahun 2004
9 Nilai BN dan CPr untuk kandidat pola kolokasi berukuran 2 pada
tahun 2005
10 Nilai BN untuk kandidat pola kolokasi berukuran 3 pada tahun 2005
11 Nilai BN dan CPr untuk kandidat pola kolokasi berukuran 2 pada
tahun 2006
12 Nilai BN dan CPr untuk kandidat pola kolokasi berukuran 3 pada
tahun 2006
13 Nilai BN dan CPr untuk kandidat pola kolokasi berukuran 2 pada
tahun 2007
14 Nilai BN dan CPr untuk kandidat pola kolokasi berukuran 3 pada
tahun 2007
15 Nilai BN untuk kandidat pola kolokasi berukuran 4 pada tahun 2007
16 Nilai BN dan CPr untuk kandidat pola kolokasi berukuran 2 pada
tahun 2008
17 Nilai BN untuk kandidat pola kolokasi berukuran 3 pada tahun 2008
18 Nilai BN dan CPr untuk kandidat pola kolokasi berukuran 2 pada
tahun 2009
19 Nilai BN dan CPr untuk kandidat pola kolokasi berukuran 3 pada
tahun 2009
20 Nilai BN dan CPr untuk kandidat pola kolokasi berukuran 2 pada
tahun 2010
21 Nilai BN untuk kandidat pola kolokasi berukuran 3 pada tahun 2010
22 Nilai BN dan CPr untuk kandidat pola kolokasi berukuran 2 pada
tahun 2011
23 Nilai BN dan CPr untuk kandidat pola kolokasi berukuran 3 pada
tahun 2011
24 Nilai BN dan CPr untuk kandidat pola kolokasi berukuran 2 pada
tahun 2012
25 Nilai BN untuk kandidat pola kolokasi berukuran 3 pada tahun 2012
26 Daerah irisan antara MBR titik panas dan MBR lahan gambut pada
tahun 2001, 2003 sampai 2012

31
34
36
36
37
37
38
38
39
39
40
40
41
42
42
43
43
44
44
45
45
46
46
47
47
48

27 Karakteristik gambut yang berkolokasi dengan titik panas pada tahun
2001
28 Karakteristik gambut yang berkolokasi dengan titik panas pada tahun
2003
29 Karakteristik gambut yang berkolokasi dengan titik panas pada tahun
2004
30 Karakteristik gambut yang berkolokasi dengan titik panas pada tahun
2005
31 Karakteristik gambut yang berkolokasi dengan titik panas pada tahun
2006
32 Karakteristik gambut yang berkolokasi dengan titik panas pada tahun
2007
33 Karakteristik gambut yang berkolokasi dengan titik panas pada tahun
2008
34 Karakteristik gambut yang berkolokasi dengan titik panas pada tahun
2009
35 Karakteristik gambut yang berkolokasi dengan titik panas pada tahun
2010
36 Karakteristik gambut yang berkolokasi dengan titik panas pada tahun
2011
37 Karakteristik gambut yang berkolokasi dengan titik panas pada tahun
2012
38 Lokasi titik panas yang berkolokasi dengan lahan gambut pada tahun
2001, 2003 sampai 2012

53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebakaran hutan dan lahan merupakan salah satu persoalan lingkungan
yang muncul hampir setiap tahun di Indonesia. Kabupaten Rokan Hilir
merupakan salah satu wilayah yang sering mengalami kebakaran hutan dan lahan
di Provinsi Riau. Pada bulan Agustus 2013, terdapat 468 titik panas yang muncul
di Riau dengan 51 diantaranya terdapat di Kabupaten Rokan Hilir (BNPB 2013).
Jumlah tersebut merupakan jumlah titik panas ketiga terbanyak yang muncul di
antara seluruh kabupaten yang ada di Provinsi Riau. Kemunculan titik panas
tersebut dapat digunakan sebagai indikator terjadinya kebakaran hutan karena
kebakaran pasti disertai dengan adanya titik panas yang muncul di wilayah
tersebut. Dengan begitu, kemunculan titik panas yang tinggi dapat menunjukkan
tingginya potensi terjadinya kebakaran pada suatu wilayah. Di sisi lain, Indonesia
juga merupakan salah satu negara dengan areal lahan gambut terluas di dunia.
Sumatera merupakan wilayah dengan penyebaran lahan gambut terluas di
Indonesia (Najiyati et al. 2005). Areal lahan gambut utama di Sumatera adalah
Provinsi Riau dengan persentase 60% (Syaufina 2008).
Banyaknya lahan gambut yang mengalami drainase menjadi salah satu
penyebab tingginya resiko kebakaran di Riau. Pada kondisi normal, sebenarnya
lahan gambut tidak mudah terbakar. Lahan gambut menjadi mudah terbakar
karena kondisinya yang kering, yang disebabkan oleh berbagai faktor termasuk
adanya campur tangan manusia, misalnya pembuatan kanal-kanal yang berfungsi
untuk mengeringkan lahan gambut dan adanya konversi lahan sehingga
keseimbangan ekologisnya terganggu (Adinugroho et al. 2005). Memasuki
musim kemarau, kondisi lahan gambut akan sangat kering hingga tinggi muka air
mencapai kedalaman tertentu dan meningkatkan kerentanan terhadap kebakaran.
Permukaan tanah gambut cepat sekali kering dan mudah terbakar menjadi api di
permukaan yang dapat menjalar ke lapisan bagian bawah gambut sehingga
terjadi kebakaran bawah (ground fire) yang didominasi oleh proses smoldering.
Oleh karena itu, ketika terbakar, emisi partikel yang dihasilkan akan bercampur
dengan uap air dari lahan gambut dan menghasilkan asap yang sangat tebal.
Material gambut yang berada di bagian bawah lahan gambut merupakan bahan
bakar yang dapat menyebabkan api menjalar di bawah permukaan tanah secara
lambat dan sulit dideteksi karena bara api berada di kedalaman tanah tertentu. Di
sisi lain, pembukaan lahan gambut yang tidak bijaksana juga menyebabkan
daerah di sekelilingnya rentan akan kebanjiran dan kebakaran (Agus dan Subiksa
2008).
Penerapan teknik data mining spasial terhadap data kemunculan titik
panas dapat dilakukan sebagai salah satu upaya pencegahan kebakaran hutan,
terutama dalam penentuan daerah rawan kebakaran dan pengembangan sistem
peringatan dini kebakaran. Tingginya jumlah kemunculan titik panas dan adanya
potensi kebakaran pada lahan gambut yang kering serta penyebaran lahan
gambut yang luas mendorong penulis untuk menerapkan spatial co-location
pattern mining yang mempelajari keterkaitan antarobjek dengan melibatkan
objek spasial yang diperluas terhadap data kemunculan titik panas dan lahan

2
gambut di Rokan Hilir. Objek spasial yang diperluas merupakan objek spasial
berbentuk garis dan poligon. Pendekatan ini dipilih karena data lahan gambut
direpresentasikan dalam bentuk poligon sedangkan data kemunculan titik panas
direpresentasikan dalam bentuk titik. Selain itu, data kemunculan titik panas dan
penyebaran lahan gambut termasuk data diskret yang artinya datanya tidak selalu
ada di setiap titik pada wilayah pengamatan sehingga pendekatan berbasis
poligon dapat diterapkan untuk melakukan co-location pattern mining. Pola
kolokasi yang dihasilkan dapat digunakan untuk mengetahui daerah dengan
karakteristik lahan gambut yang berpotensi tinggi mengalami kebakaran.
Terdapat beberapa penelitian mengenai metode co-location pattern
mining yang telah dilakukan. Xiong et al. (2004) menerapkan transaction-free
approach untuk melakukan co-location pattern mining terhadap objek spasial
yang diperluas. Transaction-free approach dilakukan untuk menghindari potensi
kehilangan informasi ketika dilakukan pembentukan transaksi pada data spasial.
Tantangan dalam penelitian tersebut adalah memodelkan neighborhood dan
relationship antara objek spasial yang diperluas. Xiong et al. (2004)
menggunakan model berbasis buffer dan Minimum Boundary Rectangle (MBR)
yang mengharuskan pembuatan buffer dan MBR pada setiap objek data spasial
yang digunakan. Kim et al. (2012) menjelaskan mengenai framework yang dapat
digunakan untuk melakukan co-location pattern mining berdasarkan analisis
asosiasi dengan membangkitkan transaction-type dataset. Pendekatan dengan
menggunakan analisis asosiasi melibatkan data yang berbentuk transaksi
sehingga pembangkitan data transaksi oleh Kim et al. (2012) sangat penting
untuk dilakukan. Adilmagambetov et al. (2013) melakukan co-location pattern
mining dengan membentuk data transaksi dari dataset yang digunakan. Data
spasial yang umumnya tidak berbentuk transaksi dibentuk menjadi data transaksi
dengan melakukan user-grid transactionization. User-grid transactionization
merupakan salah satu cara pembentukan data transaksi dengan menggambarkan
titik-titik berupa grid pada area penelitian untuk mempermudah pembentukan
data transaksi.
Perumusan Masalah
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia saat ini dapat dipandang sebagai
bencana global yang memberikan dampak pada lingkungan global, termasuk
transboundary haze pollution di wilayah ASEAN dan berkontribusi pada emisi
gas rumah kaca (GRK). Kebakaran hutan di Indonesia tidak hanya terjadi pada
lahan kering tetapi juga lahan basah seperti lahan gambut, terutama pada musim
kemarau ketika lahan gambut tersebut mengalami kekeringan. Saat ini banyak
dilakukan pembukaan lahan gambut berskala besar dengan membuat kanal-kanal
sehingga air keluar dari lahan gambut dan menyebabkan kekeringan. Kebakaran
gambut termasuk dalam kebakaran tipe bawah sehingga sulit dideteksi dan
diketahui penyebaran apinya. Jika usaha pemadaman api di lahan gambut
terlambat dilakukan atau apinya telah masuk ke lapisan dalam gambut maka api
akan sulit dipadamkan. Oleh karena itu pengembangan sistem peringatan dini
sangat penting dilakukan untuk mencegah terjadinya kebakaran gambut.
Dengan tingginya kemunculan titik panas dan luasnya area lahan gambut
di Riau, pengetahuan mengenai karakteristik lahan gambut yang berkaitan

3
dengan kemunculan titik panas sangat penting untuk dikaji. Hal tersebut
dilakukan berkaitan dengan salah satu bagian dari sistem peringatan dini.
Penggunaan data kemunculan titik panas dan lahan gambut akan melibatkan data
spasial berupa lokasi kemunculan dan penyebarannya sehingga pendekatan
spasial yang melibatkan jarak dapat digunakan untuk mengetahui keterkaitan
antara kedua features tersebut. Analisis pola kolokasi merupakan salah satu cara
untuk mengetahui pengaruh karakteristik gambut terhadap kemunculan titik
panas di sekitarnya. Dengan co-location pattern mining, analisis terhadap
pengaruh karakteristik gambut dan kemunculan titik panas dapat dilakukan
berdasarkan jarak antarobjek pada features yang diamati. Co-location pattern
mining hanya melibatkan objek-objek pada lingkungan tetangganya sehingga
pola yang dihasilkan menjadi lebih mudah dan akurat untuk menganalisis
keterkaitan kedua features tersebut. Selain itu, pola kolokasi ini dapat digunakan
untuk menganalisis informasi mengenai potensi lahan gambut tertentu
mengalami kebakaran berdasarkan kolokasinya dengan titik panas di sekitarnya.
Pada dasarnya, semakin banyak titik panas yang berkolokasi dengan lahan
gambut, semakin besar potensi area tersebut terbakar. Dari pola kolokasi tersebut
dapat diketahui karaktersitik lahan gambut dengan frekuensi kemunculan titik
panas yang tinggi. Hal ini merupakan informasi yang berkaitan dengan sistem
peringatan dini terhadap kebakaran gambut.
Di sisi lain, algoritme kolokasi pada umumnya hanya melibatkan objek
spasial berbentuk titik sedangkan pada penelitian ini digunakan data lahan
gambut yang direpresentasikan dalam bentuk poligon. Oleh sebab itu, penelitian
ini dilakukan menggunakan pendekatan kolokasi terhadap objek spasial yang
diperluas. Dengan menerapkan pendekatan ini, co-location pattern mining dapat
dilakukan dengan melibatkan objek spasial berupa titik, garis, dan poligon.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Menerapkan polygon based colocation pattern mining pada data kemunculan
titik panas dan lahan gambut di Rokan Hilir, Riau
2. Menganalisis pola kolokasi dari tutupan lahan gambut dan karakteristik lahan
gambut terhadap kemunculan titik panas di Rokan Hilir, Riau
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah mengetahui keterkaitan dan pengaruh
antara karakteristik lahan gambut dan kemunculan titik panas di sekitarnya.
Selain itu, daerah dengan karakteristik gambut yang berpotensi terbakar juga
dapat diketahui melalui analisis karakteristik lahan gambut yang berkolokasi
dengan titik panas. Informasi tersebut dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan untuk pengambilan keputusan manajerial berkaitan dengan
pencegahan kebakaran.

4
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menerapkan pendekatan berbasis poligon
untuk melakukan coarse-level co-location pattern mining yang dikemukakan
oleh Xiong et al (2004) pada data kemunculan titik panas dan lahan gambut di
Rokan Hilir. Proses mining yang dilakukan hanya mempertimbangkan pasangan
feature titik panas dengan tipe gambut tanpa mempertimbangkan pasangan
feature titik panas – titik panas maupun tipe gambut – tipe gambut. Analisis akan
dilakukan terhadap objek dari pola kolokasi yang dihasilkan mencakup tipe
gambut, kedalaman, dan landuse. Data titik panas yang digunakan
direpresentasikan dalam bentuk titik sedangkan data lahan gambut
direpresentasikan dalam bentuk poligon. Dalam penelitian ini akan dilakukan
visualisasi dalam bentuk peta statis yang dapat membantu proses analisis dan
mempermudah penyajian hasil penelitian.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Titik Panas (Hotspot)
Titik panas merupakan representasi dari lokasi yang diindikasikan sebagai
lokasi kebakaran hutan dan lahan atau kondisi anomali yang berkaitan dengan
panas (FIRMS 2013). Pemantauan titik panas dilakukan dengan penginderaan
jauh (remote sensing) dengan menggunakan satelit. Satelit yang biasa digunakan
untuk pemantauan titik panas adalah satelit Natural Oceanic and Atmospheric
Administration (NOAA) yang dilengkapi dengan sensor Advanced Very High
Resolution Radiometer (AVHRR) yang dapat memberikan infromasi suhu di
suatu wilayah. Pada citra yang dihasilkan satelit tersebut, sebuah pixel yang
tinggi temperatur permukaannya dan mengindikasikan kebakaran disebut titik
panas. Penentuan titik panas berdasarkan citra satelit dilakukan dengan
membandingkan nilai temperatur yang diperoleh satelit dengan nilai threshold
tertentu sekitar 316 K -320 K (Haze Asean 2014). Setiap data titik panas yang
bersumber dari satelit yang berbeda dapat memiliki tingkat kepercayaan maupun
representasi titik panas yang berbeda. Pada data titik panas yang merupakan data
MODIS, setiap titik yang muncul merepresentasikan 1 km pixel pada data citra
satelit yang tetangkap (FIRMS 2013). Jika terjadi kebakaran pada koordinat
tertentu, koordinat tersebut ditampilkan di tengah pixel, meskipun kebakaran
yang terjadi berada di pinggir pixel (Siegert dan Hoffman 1999). Oleh karena itu,
titik panas dari lokasi kebakaran di lapangan dapat bergeser hingga radius ±1 km
di sekeliling koordinat titik panas tersebut. Lokasi koordinat titik panas yang
terdeteksi harus ditelusuri kurang lebih 1 km2 di sekitarnya untuk mengetahui
lokasi kebakaran secara pasti (Giglio et al. 2003). Gambar 1 menunjukkan
representasi titik pada data MODIS.
Jumlah kemunculan titik panas dapat sangat bervariasi dari suatu
pengukuran tergantung dari waktu pengukuran pada hari dan organisasi apa yang
memberikan data tersebut. Kelompok titik panas yang berjumlah besar dan
berlangsung secara terus-menerus adalah indikator yang baik untuk kebakaran.
Meskipun disebut titik panas, tidak semua titik panas merupakan actual fire.

5
Oleh karena itu, data titik panas harus dianalisis lebih lanjut untuk menentukan
apakah kebakaran benar-benar terjadi pada titik tersebut. Hal ini dilakukan untuk
pendeteksian dini terhadap terjadinya kebakaran hutan dan lahan.

Gambar 1 Representasi titik pada data MODIS (Giglio et al. 2003)

Kebakaran Gambut
Kebakaran hutan atau lahan di Indonesia umumnya (99.9%) disebabkan
oleh manusia, baik disengaja maupun akibat kelalaiannya (Adinugroho et al.
2005). Aktivitas manusia yang yang berpotensi menyebabkan kebakaran antara
lain (Hasanuddin 2003):
1. Penyiapan lahan pada kegiatan perladangan (kebun rakyat, padi
sonor) yang dilakukan dengan pembakaran pada musim rawan
kebakaran seringkali sulit dikendalikan.
2. Penyiapan lahan oleh perusahaan pengelola lahan (Perkebunan, HTI)
yang dilakukan dengan pembakaran.
3. Kegiatan masyarakat lainnya, diantaranya berburu, penggembalaan,
mencari ikan dan kegiatan yang tidak jelas tujuannya.
4. Konflik pertanahan antara masyarakat dengan perusahaan atau
antarmasyarakat, permasalahan internal, dan lain-lain.
Lahan gambut merupakan lahan yang berasal dari pelapukan vegetasi,
misalnya material ranting-ranting. Selain sifat gambut yang unik karena memiliki
struktur seperti spons yang dapat menyerap air ketika musim penghujan dan
mengeluarkan air ke udara ketika musim kemarau, gambut bersifat irreversible
drying yang artinya tidak dapat menyerap air lagi jika sudah mengalami
kekeringan. Pada dasarnya, gambut merupakan bahan bakar yang baik dengan
nilai kalor lebih besar daripada kayu yang dapat mencapai 27.7 KJ/g dengan
kadar abu yang rendah sekitar 13% (Syaufina 2008). Oleh karena itu, kebakaran
pada lahan gambut dapat menimbulkan kerusakan lingkungan yang luas.
Kebakaran gambut termasuk dalam tipe kebakaran bawah (ground fire). Pada
tipe kebakaran bawah, api menjalar di bawah permukaan membakar bahan
organik dengan kebakaran yang tidak menyala (Syaufina 2008). Selain itu, pada

6
tipe kebakaran ini, api menyebar tidak menentu secara perlahan karena tidak
dipengaruhi oleh angin dan dari atas permukaan hanya terlihat asap berwarna
putih ketika kebakaran lahan gambut terjadi (Adinugroho et al. 2005). Kebakaran
bawah tidak terjadi dengan sendirinya, biasanya api berasal dari permukaan,
kemudian menjalar ke bawah membakar bahan organik melalui pori-pori gambut
(Adinugroho et al. 2005). Karena tergolong dalam kebakaran bawah maka
kebakaran gambut sulit untuk dideteksi sehingga kegiatan pemadamanpun akan
mengalami banyak kesulitan. Adinugroho et al. (2005) mengatakan bahwa
pemadaman secara tuntas terhadap api di lahan gambut hanya akan berhasil jika
pada lapisan gambut yang terbakar tergenangi oleh air dalam jumlah yang sangat
banyak. Berdasarkan kedalaman pembakaran, kebakaran gambut dapat
digolongkan ke dalam tiga kelas, yaitu lemah, sedang, kuat dengan kedalaman
pembakaran berturut-turut < 25cm, 25 sampai 50 cm, dan > 50 cm (Artsybashev
1983).
Kebakaran lahan gambut dapat menyebabkan terjadinya degradasi atau
rusaknya lingkungan, gangguan terhadap kesehatan manusia, dan hancurnya
sosial ekonomi masyarakat sekitarnya (Adinugroho et al. 2005). Kandungan
karbon yang tinggi pada gambut menyebabkan kebakaran gambut menghasilkan
jumlah CO2 yang tinggi dan menyumbang emisi gas rumah kaca yang akan
menyebabkan pemanasan global. Degradasi lingkungan sebagai dampak
kebakaran gambut diantaranya (Adinugroho et al. 2005):
1. Penurunan kualitas fisik gambut sehingga menyebabkan penetrasi
suhu ke bawah permukaan
2. Perubahan sifat kimia gambut yang bersifat sementara ditandai
dengan meningkatnya pH, kandungan N-total, kandungan fosfor dan
Basa total serta penurunan C-organik
3. Terganggunya proses dekomposisi tanah gambut karena
mikroorganisme yang mati akibat kebakaran
4. Hilangnya benih-benih vegetasi alam yang sebelumnya terpendam
dalam lapisan tanah gambut sehingga perkembangan populasi
vegetasi terganggu
5. Rusaknya siklus hidrologi seperti menurunnya kemampuan infiltrasi
air hujan ke dalam tanah dan menurunnya kelembaban tanah.

Data Spasial
Data spasial adalah data yang memiliki referensi geografis atas
representasi objek di bumi (DeMers 2009). Setiap bagian dari data spasial dapat
memberikan gambaran tentang suatu fenomena, lokasi, dan penyebaran dari
fenomena tersebut dalam suatu wilayah. Data spasial memiliki dua bagian
penting yang membuatnya berbeda dari data lain, yaitu informasi lokasi (spasial)
dan informasi deskriptif (atribut). Terdapat 4 bentuk data spasial yaitu (DeMers
2009):
1. Titik, adalah representasi geometri yang paling sederhana bagi objek
spasial. Representasi ini tidak memiliki dimensi tetapi dapat
diidentifikasikan di atas peta menggunakan simbol tertentu. Titik

7
biasa digunakan untuk mengidentifikasi nama dan lokasi suatu tempat
pada peta.
2. Garis, adalah bentuk representasi geometri yang berdimensi satu.
Representasi ini memiliki informasi lebar yang biasanya digunakan
untuk merepresentasikan jalan.
3. Poligon, adalah bentuk representasi geometri yang berdimensi dua
dan biasa disebut area. Representasi ini memiliki informasi lebar dan
panjang. Poligon biasa digunakan untuk merepresentasikan zona
tutupan lahan, political region, dan lain-lain.
4. Permukaan, adalah bentuk representasi geometri yang berdimensi tiga.
Permukaan biasanya digunakan untuk merepresentasikan permukaan
topografi, dan lain-lain.
Spatial Data Mining
Data mining merupakan sebuah proses untuk mengetahui pola yang
menarik dan berguna dari informasi tertentu yang tersimpan dalam basis data
berukuran besar (Shekhar dan Chawla 2003). Basis data yang memiliki ukuran
terbesar biasanya memiliki komponen spasial. Basis data spasial terdiri dari
objek-objek yang memiliki karakteristik lokasi spasial dan/atau disertai dengan
beberapa atribut nonspasial (Ester et al. 2001). Gambar 2 menunjukkan contoh
basis data spasial yang berkaitan dengan komunitas Bavarian.

Gambar 2 Contoh basis data spasial (Ester et al. 2001)
Pada Gambar 2 terdapat 1 atribut spasial yang tersimpan di dalam basis
data pada kolom “spatial” yang direpresentasikan dalam bentuk poligon dan
beberapa atribut lain yang merupakan atribut nonspasial. Proses mining pada data
spasial lebih kompleks dibandingkan dengan data relational. Hal tersebut
dikarenakan algoritme pada spatial data mining mempertimbangkan tetangga
dari objek-objek yang diamati untuk memperoleh pengetahuan yang bermanfaat
dari data (Ester et al. 2001). Pertimbangan terhadap tetangga diperlukan karena
atribut dari objek tetangga dapat memiliki pengaruh yang signifikan terhadap

8
objek yang diamati tersebut. Oleh karena itu, penentuan ketetanggaan dari objek
yang diamati menjadi bagian yang penting pada spatial data mining.
Pada dasarnya terdapat 3 tipe hubungan spasial, yaitu topological,
distance, dan direction relations. Hubungan topological didasari oleh batasan
dan komplemen dari 2 objek yang saling berkaitan. Sedangkan hubungan
distance biasanya melibatkan perbandingan jarak diantara 2 objek yang saling
berkaitan. Gambar 3 menunjukkan ilustrasi dari hubungan topological dan
distance pada objek spasial. Pada Gambar 3, hubungan topological dari objek
spasial ditandai dengan kondisi disjoint dan overlap dari 2 objek yang diamati
sedangkan hubungan distance ditandai dengan perbandingan jarak antara objek
A dan B dengan operator “=” dan “