Dayasaing Dan Pengaruh Standar Keamanan Pangan Terhadap Ekspor Produk Hortikultura Indonesia
DAYASAING DAN PENGARUH STANDAR KEAMANAN
PANGAN TERHADAP EKSPOR HORTIKULTURA
INDONESIA
PURWONO NUGROHO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI THESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Dayasaing dan Pengaruh
Standar Keamanan Pangan Terhadap Ekspor Produk Hortikultura Indonesia”
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2016
Purwono Nugroho
NIM. H151137054
RINGKASAN
PURWONO NUGROHO. Dayasaing dan Pengaruh Standar Keamanan Pangan
Terhadap Ekspor Produk Hortikultura Indonesia. Dibimbing oleh MUHAMMAD
FIRDAUS dan ALLA ASMARA.
Produk hortikultura merupakan produk yang potensial karena bernilai
ekonomis dan mempunyai permintaan pasar yang tinggi. Kinerja ekspor produk
hortikultura Indonesia mengalami pertumbuhan yang stagnan. Hal ini berbanding
terbalik dengan nilai impor produk hortikultura yang tumbuh secara signifikan
sejak tahun 2006. Sejak terjadinya krisis keuangan global, kebijakan proteksi
perdagangan banyak diterapkan oleh negara-negara di dunia. Standar keamanan
pangan, khususnya Sanitary and Phitosanitary measures menjadi hambatan utama
dalam perdagangan produk pertanian. Akses pasar produk hortikultura Indonesia
ke pasar internasional juga dipengaruhi oleh faktor dayasaing produk. Tujuan
penelitian ini yaitu menganalisis dayasaing produk hortikultura dan analisis
pengaruh standar keamanan pangan terhadap ekspor produk hortikultura utama
Indonesia serta mendeskripsikan standar keamanan pangan yang diterapkan oleh
negara tujuan ekspor.
Analisis dayasaing menggunakan metode Revealed Comparative
Advantage (RCA) dan Export Product Dynamic (EPD). Indeks dayasaing RCA
digunakan sebagai salah satu variabel pada analisis gravity model. Standar
keamanan pangan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu batas ambang
maksimum residu pestisida. Analisis pengaruh standar keamanan pangan
menggunakan gravity model dengan data panel. Penelitian ini menggunakan data
sekunder dengan rentang waktu 2003 sampai dengan 2013. Komoditi hortikultura
yang dianalisis yaitu Bunga kol, kubis, jamur, pisang, rambutan, jambu, mangga,
manggis, jahe dan temulawak.
Analisis dayasaing produk hortikultura dengan metode Revealed
Comparative Advantage (RCA) dan Export Product Dynamic (EPD)
menunjukkan bahwa produk hortikultura Indonesia yang memiliki keunggulan
komparatif dan kompetitif tertinggi di negara tujuan dan dunia adalah kubis,
jamur dan temulawak. Sedangkan produk Bunga kol, pisang, rambutan, jambu
mangga manggis dan jahe Indonesia kehilangan kesempatan pangsa ekspor untuk
produk yang dinamis di pasar dunia. Analisis data panel terhadap model gravity
menunjukkan bahwa sebagian besar variabel bebas pada tujuh komoditi
hortikultura yang dianalisis signifikan secara statistik dan memiliki koefisien
sesuai dengan hipotesis. Batas residu maksimum pestisida yang diterapkan oleh
negara tujuan ekspor berpengaruh signifikan terhadap volume ekspor produk
hortikultura Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa standar keamanan pangan
yang semakin ketat di negara tujuan ekspor akan berpengaruh terhadap penurunan
volume ekspor produk hortikultura Indonesia. Pemerintah perlu menambah ruang
lingkup aturan standar keamanan pangan khususnya produk hortikultura sehingga
kualitas produk meningkat yang pada akhirnya meningkatkan dayasaing dan nilai
ekspornya sekaligus memperketat masuknya produk hortikultura impor.
Kata kunci: Dayasaing, Standar Keamanan Pangan, Ekspor, Hortikultura, Gravity
Model
SUMMARY
PURWONO NUGROHO. Competitiveness and Effect of Food Safety Standard
on Export of Indonesia’s Horticulture Products. Supervised by MUHAMMAD
FIRDAUS and ALLA ASMARA.
Horticulture product is a product that is a potential because of economic
value and has a high market demand. The export performance of Indonesian
horticultural products grew stagnant. It is inversely proportional to the value of
imports of horticultural products which grown significantly since 2006. Since the
global financial crisis, trade protection policies applied by many countries in the
world. Food safety standards, particularly Sanitary and Phitosanitary measures
become a major barrier in the agricultural products trade. Indonesian horticultural
products market access to international markets also affected by competitiveness
factors. The purpose of this study is to analyze the competitiveness of horticultural
products and analyze influence of food safety standards on the Indonesian
horticultural products export and also describing the food safety standards applied
by destination country of export.
Competitiveness analysis use Revealed Comparative Advantage (RCA)
and Export Product Dynamics (EPD). RCA competitiveness index is used as one
of the variables in the analysis of gravity models. Food safety standards that are
used in this research is the maximum threshold level of pesticide residues.
Analysis of the influence of food safety standards use gravity models with panel
data. This study uses secondary data with the time span 2003 to 2013.
Horticulture products which analyzed namely cauliflower, cabbage, mushrooms,
banana, rambutan, guava mango mangosteen, ginger and curcuma.
Analysis of the competitiveness of horticultural products with Revealed
Comparative Advantage (RCA) and Export Product Dynamics (EPD) shows that
Indonesian horticultural products that have the highest comparative and
competitive advantages in the destination country and the world are cabbage,
mushrooms and ginger. While cauliflower, banana, rambutan, mangosteen and
ginger mango guava lost the opportunity share of exports to dynamic products in
world markets. Analysis of panel data on gravity models indicate that most of the
independent variables on seven horticulture product shows statistically significant
and has a coefficient according to the hypothesis. The maximum residue limits of
pesticides were applied by the destination country exports have a significant effect
on the volume of Indonesian exports of horticultural products. This shows that
stringent food safety standards in destination countries will affect to the decrease
in volume of exports of horticultural Indonesia. The government needs to increase
the scope of the rules of food safety standards especially horticultural products so
that product quality increased, which in turn increase the competitiveness and
value of its exports at the same time tighten the entry of imports of horticultural
products.
Keywords: Competitiveness, Food Safety Standard, Export, Horticulture, Gravity
Model
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
DAYASAING DAN PENGARUH STANDAR KEAMANAN
PANGAN TERHADAP EKSPOR PRODUK HORTIKULTURA
INDONESIA
PURWONO NUGROHO
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Amzul Rifin, SP, MA
Judul Tesis
: Dayasaing dan Pengaruh Standar Keamanan Pangan terhadap
Ekspor Produk Hortikultura Indonesia
Nama
: Purwono Nugroho
M
: H151137054
j
Disetu ui oleh
Komisi Pembimbing
f�
Dr. Alla Asmara. S.Pt, M.Si
SP. M.Si
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
lmu Ekonomi
�
Dr. Lawati graeni, SP. M.Si
j
Tanggal U ian: 3 Desember 2015
Tanggal Lulus:
0 1
NAR 2016
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan karuniaNya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam selalu tercurah
kepada Nabi Muhammad SAW. Penelitian dengan tema perdagangan
internasional yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2015 ini berjudul
“Dayasaing dan Pengaruh Standar Keamanan Pangan terhadap Ekspor Produk
Hortikultura Indonesia”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu demi terselesaikannya penelitian ini. Apresiasi dan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya penulis sampaikan secara khusus kepada Bapak Prof. Dr.
Muhammad Firdaus, SP, M.Si dan Bapak Dr. Alla Asmara, S.Pt, M.Si selaku
komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan
selama proses penelitian ini. Terima kasih kepada Bapak Dr. Amzul Rifin, SP,
MA selaku dosen penguji luar komisi dan Ibu Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si atas
kritik dan saran yang bermanfaat bagi perbaikan tesis ini. Ucapan terima kasih
juga disampaikan kepada Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si, Dr. Lukytawati
Anggraeni, SP, M.Si dan Dr. Toni Irawan beserta para pengelola Program
Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi serta seluruh dosen yang telah
berbagi ilmu kepada penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan Progran Magister pada
Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana IPB. Tak lupa penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Bapak, Ibu, Istri, anak dan adik-adik tercinta
yang telah memberikan dukungan dan doa kepada penulis serta rekan-rekan
kuliah, baik kelas Kementerian Perdagangan S2 IPB batch 1 dan 2, maupun kelas
regular yang telah membantu dan memberikan semangat hingga selesainya tesis
ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena
keterbatasan kemampuan penulis. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Februari 2016
Purwono Nugroho
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vii
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
1
1
6
7
8
8
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teoritis
Penelitian Terdahulu
Hipotesis Penelitian
Kerangka Pemikiran
9
9
14
15
16
3 METODE
Jenis dan Sumber Data
Identifikasi Variabel Penelitian
Metode Analisis
17
17
17
18
4 GAMBARAN UMUM
Ekspor Produk Hortikultura
Standar Keamanan Pangan
23
23
29
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Dayasaing Komoditi Hortikultura
Pengaruh Standar Keamanan Pangan terhadap Ekspor
Hortikultura Indonesia
43
43
55
55
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
63
63
63
DAFTAR PUSTAKA
65
LAMPIRAN
68
RIWAYAT HIDUP
78
DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
Jumlah penolakan ekspor produk pangan Indonesia
Jenis dan Sumber Data yang digunakan
Matriks EPD berdasarkan posisi dayasaing
Perbandingan PDB sektor pertanian dan peternakan terhadap PDB
nasional (Harga Konstan dalam Trilyun Rupiah)
5. Nilai ekspor produk hortikultura Indonesia ke negara tujuan ekspor
(FOB US $)
6. Jumlah notifikasi SPS negara-negara di dunia
7. Jumlah pestisida yang diatur oleh negara tujuan ekspor hortikultura
Indonesia
8. Hasil perhitungan nilai RCA Bunga kol Indonesia ke negara tujuan
ekspor
9. Hasil perhitungan nilai RCA kubis Indonesia di negara tujuan ekspor
10. Hasil perhitungan nilai RCA jamur Indonesia di negara tujuan
ekspor
11. Hasil perhitungan nilai RCA Pisang Indonesia di negara tujuan
ekspor
12. Hasil perhitungan nilai RCA Jambu Mangga Manggis Indonesia di
negara tujuan ekspor
13. Hasil perhitungan nilai RCA Rambutan Indonesia di negara tujuan
ekspor
14. Hasil perhitungan nilai RCA Jahe Indonesia di negara tujuan ekspor
15. Hasil perhitungan nilai RCA Temulawak Indonesia di negara tujuan
ekspor
16. Koefisien variabel penduga ekspor hortikultura Indonesia (PLS)
17. Korelasi antara MRL Pestisida dengan Indeks Dayasaing (RCA)
5
17
19
23
25
30
33
44
45
47
48
50
51
52
54
55
61
DAFTAR GAMBAR
1. Jumlah notifikasi SPS dan tingkat tarif periode 1996-2010
2. Kinerja ekspor impor produk hortikultura Indonesia
3. Kurva perdagangan internasional
4. Klasifikasi Non Tariff Measures
5. Kerangka Pemikiran
6. Neraca perdagangan sektor pertanian Indonesia
7. Neraca perdagangan produk hortikultura Indonesia
8. Perkembangan ekspor hortikultura Indonesia
9. Perkembangan nilai dan volume ekspor hortikultura Indonesia
10. Perkembangan ekspor komoditi hortikultura unggulan
11. Hubungan antara pendapatan negara dan jumlah standar
12. Produksi dan Impor Pestisida Dunia (1940-2000)
13. Plot EPD Bunga kol Indonesia
14. Plot EPD Kubis Indonesia
15. Plot EPD Jamur Indonesia
3
4
9
12
16
24
24
26
27
28
29
32
45
46
47
16. Plot EPD Pisang Indonesia
17. Plot EPD Jambu Mangga Manggis Indonesia
18. Plot EPD Rambutan Indonesia
19. Plot EPD Jahe Indonesia
20. Plot EPD Temulawak Indonesia
49
50
52
53
54
DAFTAR LAMPIRAN
1. Ekspor produk hortikultura Indonesia ke 25 negara (FOB US $)
2. Nilai ekspor produk Bunga kol Indonesia ke negara tujuan ekspor
(US $)
3. Nilai ekspor produk kubis ke negara tujuan ekspor (US $)
4. Nilai ekspor produk Jamur ke negara tujuan ekspor (US $)
5. Nilai ekspor produk Pisang ke negara tujuan ekspor (US $)
6. Nilai ekspor Jambu, Mangga, Manggis ke negara tujuan ekspor (US
$)
7. Nilai ekspor produk Rambutan ke negara tujuan ekspor (US $)
8. Nilai ekspor produk Jahe ke negara tujuan ekspor (US $)
9. Nilai ekspor produk Temulawak ke negara tujuan ekspor (US $)
10. Hasil estimasi Gravity Model produk Bunga kol
11. Hasil estimasi Gravity Model produk Kubis
12. Hasil estimasi Gravity Model produk Jamur
13. Hasil estimasi Gravity Model produk Pisang
14. Hasil estimasi Gravity Model produk Jambu, Mangga, Manggis
15. Hasil estimasi Gravity Model produk Jahe
16. Hasil estimasi Gravity Model produk Temulawak
68
68
69
69
69
69
70
70
70
71
72
73
74
75
76
77
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keamanan pangan merupakan jaminan bahwa suatu produk pangan tidak
akan menyebabkan bahaya kepada konsumen ketika dipersiapkan dan/atau
dimakan sesuai peruntukannya. Memastikan pangan yang aman dan sehat
merupakan syarat penting untuk mencapai ketahanan pangan. Hal ini perlu bagi
kehidupan manusia baik di negara maju maupun negara berkembang. Keamanan
pangan tidak lagi menjadi sebuah kemewahan bagi orang mampu karena semua
golongan masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan persediaan yang cukup
terhadap pangan yang aman dan bergizi.
Pengertian tentang keamanan dan kualitas pangan kadang-kadang dapat
membingungkan. Keamanan pangan mengacu pada semua bahaya, baik kronis
atau akut, yang dapat membuat makanan berbahaya bagi kesehatan konsumen.
Hal ini tidak bisa ditawar. Kualitas mencakup semua atribut lainnya yang
mempengaruhi nilai suatu produk kepada konsumen. Hal ini termasuk atribut
negatif seperti pembusukan, kontaminasi dengan kotoran, perubahan warna, bau
dan atribut positif seperti metode asal, warna, rasa, tekstur dan pengolahan
makanan. Perbedaan antara keamanan dan kualitas memiliki implikasi bagi
kebijakan publik dan mempengaruhi sifat dan isi dari sistem kontrol makanan
yang paling cocok untuk memenuhi tujuan nasional yang telah ditentukan1.
Dengan meningkatnya liberalisasi pasar agroindustri dan rantai suplai
makanan seluruh dunia, jaminan kualitas dan keamanan pangan telah menjadi
perhatian utama. Perdagangan global membutuhkan produk berstandar.
Perlindungan konsumen telah menjadi prioritas dalam pembuatan kebijakan di
pasar konsumen besar Amerika Serikat dan Uni Eropa. Ada standar keamanan
pangan di negara-negara maju, seperti untuk aflatoksin di Uni Eropa dan residu
pestisida di Amerika Serikat, telah dibuat lebih ketat selama dekade terakhir.
Banyak peraturan baru melibatkan persyaratan untuk kontrol proses seperti sistem
Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) yang merupakan pendekatan
untuk pencegahan, pemantauan, dan pengendalian bahaya yang dapat diterapkan
untuk setiap proses produksi. Regulasi baru didasarkan pada penilaian risiko
ilmiah secara ilmiah, dan karena bahaya bisa masuk ke pasokan makanan di salah
satu dari beberapa titik, penilaian seperti sekarang dilakukan dari lahan pertanian
sampai dengan meja makan2.
Peraturan baru di negara-negara maju pasti memiliki implikasi bagi
produsen pangan di negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal tersebut dapat
meningkatkan biaya ekspor. Selama satu dekade terakhir, ekspor negara-negara
berkembang pada produk pangan segar dan produk proses minimal banyak
memasuki pasar negara maju telah meningkat tajam, termasuk makanan laut, ikan,
buah-buahan, dan sayuran. Eksportir dari negara berkembang sering menghadapi
1
Assuring Food Safety and Quality : Guidelines for Strengthening National Food Control System.
Join FAO and WHO Publication
2
Will M and Guenther Doris. 2007. Food Quality and Safety Standards as required by EU Law
and the Private Industry. A Practitioners Reference Book. Agriculture, Fisheries and Food.
Division 45
2
kesulitan dalam memenuhi peraturan keselamatan pangan yang semakin ketat
yang dikenakan oleh negara-negara maju. Bantuan teknis, investasi oleh produsen,
dan kebijakan baru di negara berkembang memainkan peran dalam membantu
eksportir negara berkembang mempertahankan akses pasarnya.
Indonesia sebagai salah satu anggota World Trade Organization (WTO)
mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Salah
satu hak sebagai anggota WTO yaitu memperoleh atau mempertahankan akses
pasar jika kepentingan ekspornya terganggu serta melakukan perlindungan pasar
dalam negeri melalui penerapan trade remedies atau trade defence measures.
Salah satu contohnya yaitu penerapan regulasi teknis dan standar produk. Regulasi
teknis dan standar diidentifikasi sebagai prinsip hambatan non tarif selama
negosiasi Putaran Tokyo (1973 sampai dengan 1979). Negosiasi ini menghasilkan
keputusan yang disebut Agreement on Technical Barriers to Trade (Standard
Code). Keputusan ini memasukan prinsip-prinsip General Agreement on Tariff
and Trade (GATT) yaitu most favoured nation dan national treatment serta
diterapkan pada standar teknis dan standar sanitary and phitosanitary (SPS) yang
mengatur perdagangan internasional pada komoditas pangan dan produk pertanian
(Osiemo, 2012).
Sejak terjadinya krisis keuangan global, kebijakan proteksi perdagangan
banyak diterapkan oleh negara-negara di dunia. Banyak negara menggunakan
instrumen hambatan perdagangan non tarif untuk melindungi industri dalam
negeri dari ancaman produk impor. Dalam situasi seperti ini, hambatan
perdagangan non tarif menggantikan kebijakan tarif sebagai salah satu hambatan
utama dalam perdagangan produk pertanian (Song, 2010). Menurut aturan WTO,
suatu negara dapat menerapkan standar SPS sendiri untuk melindungi kesehatan
manusia, hewan dan tanaman serta melindungi lingkungan hidup selama standar
tersebut tidak diskriminatif dan mempunyai alasan ilmiah. Lebih dari 60 %
produk pangan terpengaruh akibat penerapan standar SPS di negara-negara tujuan
ekspor.
Isu tentang hambatan perdagangan non tarif mengemuka dalam agenda
kebijakan Pemerintah dalam usahanya melakukan integrasi perdagangan negara
dengan ekonomi global. Adanya liberalisasi perdagangan dan perundingan
perdagangan multilateral, plurilateral serta bilateral, negara-negara telah
bersepakat untuk menurunkan tarif terhadap produk impor bahkan sampai dengan
nol persen. Hal ini tidak serta merta menghilangkan hambatan perdagangan.
Hambatan perdagangan non tarif dalam bentuk kuota impor, regulasi teknis, dan
standar sekarang menjadi hambatan perdagangan baru dalam kebijakan
perdagangan. Hambatan non tarif ini di beberapa negara dimanfaatkan sebagai
senjata untuk alat proteksi dalam perang dagang yang terjadi antar negara (Cadot
et al, 2012).
Regulasi standar keamanan pangan dapat digunakan untuk mengganggu
perdagangan produk pertanian dalam rangka untuk melindungi kesehatan
manusia. Kebijakan ini banyak dipakai negara maju dalam kerangka WTO untuk
menghadang ekspor produk pertanian dari negara-negara berkembang (Song,
2010). Perjanjian penerapan SPS oleh WTO terjadi pada tahun 1995. WTO
mengijinkan negara-negara anggotanya untuk menerapkan SPS measures untuk
melindungi kesehatan manusia, hewan dan tanaman serta melindungi lingkungan.
Namun demikian, standar keamanan pangan dan produk pertanian yang semakin
3
ketat yang diterapkan oleh negara-negara maju menjadi tantangan utama bagi
produk pangan dan pertanian untuk masuk dalam pasar internasional terutama
yang berasal dari negara berkembang. Standar keamanan pangan, khususnya SPS
measures menjadi hambatan utama dalam perdagangan produk pertanian. Antara
tahun 1996 sampai dengan 2009, tingkat rata-rata tarif global pada produk
pertanian menurun dari 14.6% menjadi 10.8%, sedangkan jumlah notifikasi SPS
negara-negara dunia pada produk pertanian mengalami peningkatan dari 136
notifikasi pada 1996 meningkat menjadi 564 notifikasi pada 2009. Hal ini
mengindikasikan bahwa standar keamanan pangan menjadi semakin ketat di
negara-negara pengimpor (Dou et al, 2013).
Sumber : Aisbett dan Pearson, 20123
Gambar 1 Jumlah notifikasi SPS dan tingkat tarif periode 1996-2010
Indonesia merupakan negara tropis yang mempunyai keanekaragaman
hayati yang melimpah4. Hal ini membuat Indonesia yang mempunyai lahan
pertanian seluas 100.7 juta Ha5 dapat ditanami berbagai jenis tanaman yang
mempunyai nilai ekonomis dan dapat diperdagangkan baik di pasar domestik
maupun pasar internasional. Kementerian Pertanian membagi tanaman pertanian
menjadi tiga bagian yaitu tanaman perkebunan, tanaman pangan dan hortikultura.
Menurut Undang-undang No. 13 tahun 2010 tentang Hortikultura,
hortikultura adalah segala hal yang berkaitan dengan buah, sayuran, bahan obat
nabati, dan florikultura, contohnya meliputi jamur, lumut, dan tanaman air yang
3
Aisbett, E dan Pearson, L. 2012. Environtmental and Health Protections,or New Protectionism?
Determinants os SPS Notifications by WTO Members. Australian National University
http://www.etsg.org/ETSG2012/Programme/Papers/333.pdf
4
http://www.ifacs.or.id/id/climate-change-forests-and-us/forests-and-biodiversity/
5
http://www.litbang.pertanian.go.id/special/komoditas/b1lahan
4
$1,600
$1,400
$1,200
$1,000
$800
$600
$400
$200
$1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Juta
berfungsi sebagai sayuran, bahan obat nabati, dan/atau bahan estetika. Tanaman
hortikultura sebagai kekayaan hayati merupakan salah satu kekayaan sumber daya
alam Indonesia yang sangat penting sebagai sumber pangan bergizi, bahan obat
nabati, dan estetika, yang bermanfaat dan berperan besar dalam meningkatkan
kualitas hidup masyarakat, yang perlu dikelola dan dikembangkan secara efisien
dan berkelanjutan. Salah satu subsektor yang berperan penting dan menunjang
ketahanan pangan yaitu subsektor hortikultura. Kontribusi sektor pertanian
tanaman hortikultura terhadap produk domestik bruto selama periode 2000 –
2011, dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Hortikultura memberikan
pangsa yang cukup besar yaitu sekitar 11.83 % pada PDB Indonesia (Dahar,
2014).
Nilai Ekspor Hortikultura
Nilai Impor Hortikultura
Sumber : BPS, 2014
Gambar 2 Kinerja ekspor impor produk hortikultura Indonesia
Hortikultura terdiri atas empat kelompok yaitu kelompok buah-buahan,
sayuran, tanaman obat (biofarmaka), dan tanaman hias atau florikultur. Keempat
kelompok ini mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai usaha
agribisnis yang akan mendorong peningkatan pendapatan petani khususnya petani
hortikultura. Produk hortikultura merupakan produk yang potensial karena
bernilai ekonomis tinggi dan mempunyai permintaan pasar yang tinggi. Produk
hortikultura yang terbesar yaitu kelompok buah-buahan, diikuti kelompok
sayuran. Dengan kondisi wilayah Indonesia yang luas dan keragaman agroklimat
memberikan potensi bagi produk hortikultura untuk dapat dikembangkan lebih
baik lagi. Pengembangan berbagai jenis tanaman ini mencakup 323 jenis
komoditas yang terdiri dari 60 jenis kelompok buah-buahan, 80 jenis kelompok
sayuran, 66 jenis kelompok biofarmaka atau tanaman obat, dan 117 jenis
kelompok tanaman hias atau florikultur6.
Hortikultura merupakan subsektor yang mengalami perkembangan
konsumsi pada beberapa tahun terakhir ini7. Peningkatan tersebut dikarenakan
masyarakat Indonesia menyadari pentingnya mengkonsumsi produk hortikultura.
6
7
Bagian Pertama Buku Kajian Undang-Undang No.13 Tahun 2010 tentang Hortikultura
http://bali.antaranews.com/berita/39039/konsumsi-buah-di-indonesia-meningkat-tajam
5
Produk hortikultura menyediakan kebutuhan yang menunjang kesehatan manusia.
Oleh karena itu, pertanian tanaman hortikultura menjadi salah satu subsektor
pertanian yang mempunyai arti yang cukup strategis dalam perekonomian
nasional. Produk hortikultura dikembangkan sebagai salah satu komoditas andalan
ekspor selain produk tanaman perkebunan seperti kopi, kelapa sawit dan kakao
yang merupakan produk strategis ekspor non-migas Indonesia.
Kinerja ekspor dan impor produk hortikultura (buah-buahan, sayuran dan
tanaman biofarmaka) terlihat dalam Gambar 2. Kinerja ekspor produk hortikultura
Indonesia mengalami pertumbuhan yang stagnan. Hal ini berbanding terbalik
dengan nilai impor produk hortikultura yang tumbuh secara signifikan sejak tahun
2006. Perkembangan ekspor produk hortikultura yang stagnan perlu perhatian
serius bagi pengambil kebijakan di bidang pertanian mengingat potensi
pengembangan ekspor di sektor hortikultura yang besar.
Pengembangan subsektor hortikultura dalam perspektif paradigma baru
tidak hanya terfokus pada upaya peningkatan produksi komoditas saja namun
terkait dengan isu-isu strategis dalam pembangunan yang lebih luas.
Pembangunan subsektor hortikultura mengacu pada pencapaian target sukses dari
Kementerian Pertanian yaitu peningkatan diversifikasi pangan, peningkatan nilai
tambah, dayasaing dan ekspor dalam rangka peningkatan kesejahteran petani.
Selain itu, pengembangan subsektor hortikultura juga dalam rangka antisipasi
meningkatnya nilai impor komoditas hortikultura dan sebaliknya harus mampu
meningkatkan nilai ekspor (Ibrahim, 2012).
Tabel 1 Jumlah penolakan ekspor produk pangan Indonesia
Negara
Pengimpor
Australia
Uni Eropa
Jepang
Amerika
Serikat
Total
2006
73
43
24
Tahun
2007
2008
52
40
23
14
59
26
2009
48
16
35
2010
38
23
44
Total
251
119
188
Rata-rata
tahunan
50
24
38
327
467
383
517
264
363
313
418
1614
2712
323
434
327
407
Sumber : TSC Footprints, 20128
Dalam perdagangan produk pangan di pasar global, ekspor produk pangan
Indonesia banyak mengalami penolakan di pasar dunia. Berdasarkan data pada
Tabel 1, antara tahun 2006 sampai dengan 2010 terdapat 2712 penolakan ekspor
pangan Indonesia di empat negara pengimpor yaitu Australia, Uni Eropa, Jepang
dan Amerika Serikat. Angka penolakan rata-rata per tahun ekspor pangan
Indonesia tertinggi yaitu di pasar Amerika Serikat yaitu 323 penolakan per tahun,
diikuti penolakan di pasar Australia yaitu 50 penolakan per tahun, pasar Jepang 38
penolakan per tahun dan di pasar Uni Eropa 24 penolakan per tahun. Berdasarkan
8http://www.unido.org/fileadmin/user_media_upgrade/What_we_do/Topics/Quality_and_c
ompliance/TSC_Footprint_Indonesia.pdf
6
data UNIDO (2010)9, ekspor produk sayuran dan buah-buahan ke Uni Eropa
antara tahun 2002-2008 yang mengalami penolakan bernilai US $ 548 juta
sedangkan nilai ekspor produk sayuran dan buah-buahan Indonesia yang
mengalami penolakan di Amerika Serikat bernilai US $ 458 juta. Hal ini patut
menjadi perhatian bagi pengambil kebijakan di sektor pertanian untuk mengambil
langkah-langkah strategis untuk mencegah kerugian akibat penolakan ekspor
produk pertanian Indonesia.
Selain masalah hambatan perdagangan baik tarif maupun hambatan non
tarif, akses pasar produk hortikultura Indonesia ke pasar internasional juga
dipengaruhi oleh faktor dayasaing produk. Faktor dayasaing produk berperan
penting karena Indonesia harus bersaing dengan negara-negara pengekspor
produk hortikultura lain seperti Thailand, Malaysia, Cina dan negara pengekspor
lainnya. Berdasarkan penelitian Yunawati (2013)10, jahe mempunyai keunggulan
komparatif di Belanda sedangkan temulawak mempunyai keunggulan di pasar
Amerika Serikat, Belanda dan Singapura. Jahe dan temulawak mempunyai posisi
“Rising Star” di semua negara kecuali di Jepang. Sedangkan berdasarkan
penelitian Agri (2011), produk hortikultura yang mempunyai dayasaing kuat yaitu
temulawak, jambu, mangga dan manggis. Produk yang mempunyai dayasaing
lemah yaitu produk pisang. Produk hortikultura Indonesia mempunyai dayasaing
kuat di pasar Singapura dan Taiwan, sedangkan di Jepang dan Malaysia
dayasaingnya lemah. Berdasarkan analisis Export Product Dynamic (EPD),
produk hortikultura Indonesia mempunyai dayasaing terbaik “Rising Star” di
negara Jepang dan Singapura. Pesaing utama untuk produk jahe yaitu Cina,
sedangkan untuk produk pisang pesaing terkuat yaitu Filipina.
Perumusan Masalah
Perdagangan produk pertanian dihadapkan pada masalah volatilitas harga
dan berbagai hambatan perdagangan seperti hambatan tarif dan hambatan non
tarif. Sejak berdirinya World Trade Organization (WTO) pada tahun 1995,
negara-negara anggotanya bersepakat untuk menurunkan tarif untuk produk
pertanian secara bertahap. Walaupun terjadi penurunan tarif produk pertanian,
hambatan perdagangan di sektor pertanian tidak berkurang. Hambatan
perdagangan non tarif seperti penerapan standar keamanan pangan berupa
penetapan batas ambang maksimal untuk residu pestisida yang semakin ketat oleh
negara pengimpor menjadi tantangan dan hambatan baru bagi negara eksportir.
Penerapan standar keamanan pangan di berbagai negara sekarang ini
berbeda-beda. Hal ini menimbulkan berbagai masalah. Dengan adanya
peningkatan pendapatan konsumen, permintaan bahan pangan dan akses ke WTO,
petani dan eksportir produk hortikultura Indonesia harus melakukan langkah
antisipasi dampak penerapan standar keamanan produk hortikultura pada produksi
9
Henson, S dan Olale, E. 2010. What do Border Rejections tell us about Trade Standards
Compliance of Developing Countries? Analysis of EU and US Data 2002-2008. UNIDO Working
Paper. www.unido.org/tradestandardscompliance
10
Skripsi dengan judul Analisis Dayasaing serta faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan
jahe dan temulawak Indonesia di lima negara tujuan ekspor. Bogor : IPB
7
dan ekspor produk tersebut. Partisipasi dalam perdagangan internasional
mempunyai arti bahwa produk hortikultura Indonesia menghadapi standar
internasional dan keunggulan komparatif produk hortikultura Indonesia
dipengaruhi secara signifikan oleh berbagai peraturan internasional. Ekspansi
pasar produk hortikultura ke pasar internasional harus diimbangi dengan adanya
peningkatan produksi. Peningkatan produksi bergantung pada pupuk kimia dan
pestisida untuk mengontrol hama dan penyakit tanaman. Sebagai hasilnya,
pemakaian pestisida yang berlebihan meningkatkan resiko bagi kesehatan
manusia dan pencemaran lingkungan.
Ekspor produk hortikultura Indonesia dari tahun ke tahun tidak mengalami
pertumbuhan yang signifikan, bahkan cenderung stagnan. Perkembangan ekspor
yang stagnan perlu diberi perhatian khusus karena Indonesia sebagai negara yang
mempunyai keanekaragaman hayati yang berlimpah dan lahan pertanian yang luas
seharusnya memproduksi dan mengeskpor produk pertanian khususnya produk
hortikultura sehingga dapat mensejahterakan petani dan rakyat Indonesia. Ada
beberapa faktor yang menyebabkan stagnannya ekspor produk hortikultura yaitu
faktor dayasaing produk dan tingkat produksi serta adanya hambatan
perdagangan. Walaupun ada banyak faktor yang mempengaruhi kinerja ekspor
produk hortikultura, standar keamanan pangan yang semakin ketat diterapkan di
negara importir diindikasikan sebagai salah satu hambatan utama dalam
perdagangan produk hortikultura sekarang ini setelah era hambatan tarif mulai
berakhir.
Penelitian ini mencoba melakukan analisis dayasaing serta analisis
dampak penerapan standar keamanan pangan terhadap kinerja ekspor beberapa
produk hortikultura andalan Indonesia serta membandingkan standar keamanan
pangan di berbagai negara dengan standar keamanan pangan yang diterapkan di
Indonesia.
Sehingga permasalahan yang ada dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana kinerja ekspor produk hortikultura utama Indonesia?
2. Bagaimana dayasaing produk hortikultura Indonesia di pasar dunia?
3. Bagaimana penerapan standar keamanan pangan di berbagai negara tujuan
ekspor produk hortikultura Indonesia?
4. Bagaimana dampak penerapan standar keamanan pangan di negara tujuan
ekspor terhadap kinerja ekspor produk hortikultura Indonesia?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latarbelakang dan perumusan masalah, penelitian ini
bertujuan :
1. Mendeskripsikan kinerja ekspor produk hortikultura Indonesia.
2. Menganalisis dayasaing beberapa produk hortikultura Indonesia di pasar dunia.
3. Menganalisis penerapan standar keamanan pangan di berbagai negara tujuan
ekspor.
4. Menganalisis pengaruh penerapan standar keamanan pangan di negara tujuan
ekspor produk hortikultura Indonesia terhadap kinerja ekspor produk
hortikultura Indonesia.
8
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu memberikan masukan
bagi pengambil kebijakan di bidang pertanian khususnya produk hortikultura yang
dapat mendukung peningkatan ekspor produk hortikultura dan peningkatan
kualitas produk melalui penerapan berbagai standar keamanan pangan.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini berfokus menganalisis posisi dayasaing dan dampak
penerapan standar keamanan pangan di negara tujuan ekspor utama terhadap
kinerja ekspor produk hortikultura yang berhubungan dengan pangan (buahbuahan, sayuran dan tanaman biofarmaka). Negara tujuan ekspor untuk tiap
komoditi berbeda-beda. Produk hortikultura yang dianalisis yaitu yang
mempunyai kontribusi ekspor yang signifikan yaitu produk sayuran : bunga kol
(HS 070410), kubis (HS 070490), jamur (HS 070951); produk buah-buahan :
pisang (HS 080300), jambu mangga manggis (HS 080450), rambutan (HS
081090); dan produk biofarmaka : jahe (091010) dan temulawak (HS 091030).
Periode data antara tahun 2003 sampai dengan 2013. Selain itu, penelitian juga
membandingkan standar keamanan pangan yang diterapkan di negara tujuan
ekspor dan di Indonesia secara deskriptif.
Penelitian ini melakukan analisis dayasaing dengan alat analisis Revealed
Comparative Advantage (RCA) dan Export Product Dynamics (EPD). Sedangkan
analisis dampak standar keamanan pangan terhadap ekspor produk hortikultura
secara kuantitatif dengan gravity model yang menjelaskan hubungan antara
volume ekspor (buah-buahan, sayuran dan tanaman biofarmaka) dengan variabelvariabel produksi, GDP negara eksportir dan importir, jarak ekonomi, tarif ad
valorem dan maximum residual limit pestisida tertentu serta indeks dayasaing
RCA.
9
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teoritis
Teori Perdagangan Internasional
Suatu negara terlibat dalam perdagangan internasional karena dua alasan,
pertama karena tiap negara berbeda satu dan lainnya. Negara sebagai sebuah
individu dapat mengambil manfaat dari perbedaan dengan bekerjasama dengan
negara lain. Kedua, negara terlibat dalam perdagangan internasional untuk
mencapai skala ekonomi dalam produksi (Krugman dan Obstfeld, 2003).
Negara A (Ekspor)
Perdagangan Internasional
Negara B (Impor)
Sumber : Salvatore, 1997
Gambar 3 Kurva perdagangan internasional
Dari Gambar 3 dapat dijelaskan bahwa suatu negara (negara A) akan
mengekspor suatu komoditi ke negara lain (negara B) apabila harga domestik
negara A (sebelum terjadinya perdagangan internasional) relatif lebih rendah bila
dibandingkan dengan harga domestik negara B. Stuktur harga yang terjadi di
negara A lebih rendah karena produksi domestiknya lebih besar daripada
konsumsi domestiknya sehingga di negara A telah terjadi excess supply (memiliki
kelebihan produksi). Dengan demikian, negara A mempunyai kesempatan
menjual kelebihan produksinya ke negara lain. Dilain pihak, di negara B terjadi
kekurangan supply karena konsumsi domestiknya lebih besar daripada produksi
domestiknya (excess demand) sehingga harga yang terjadi di negara B lebih
tinggi. Dalam hal ini negara B berkeinginan untuk membeli suatu produk dari
negara lain yang relatif lebih murah. Jika kemudian terjadi komunikasi antara
negara A dengan negara B, maka akan terjadi perdagangan antar keduanya dengan
harga yang diterima oleh kedua negara adalah sama.
Konsep perdagangan bebas untuk pertama kali diperkenalkan oleh Adam
Smith pada awal abad ke-19 dengan teori keunggulan absolut (absolute
advantage). Teori Adam Smith kemudian disempurnakan oleh David Ricardo
(1817) dengan model keunggulan komparatif (The Theory of Comparative
Advantage). David Ricardo mengatakan bahwa keunggulan komparatif akan
tercapai jika suatu negara mampu memproduksi barang dan jasa dengan biaya
pengorbanan yang lebih murah dibandingkan negara lain (Salvatore, 1997).
10
Perdagangan antara dua negara akan menguntungkan kedua belah pihak jika
masing-masing negara memproduksi dan mengekspor produk yang keunggulan
komparatifnya dikuasai. Teori klasik Ricardo tersebut selanjutnya dikembangkan
oleh Heckscher-Ohlin (H-O) dengan The Theory of Factor Proportions (1949 –
1977). Model H-O mengatakan bahwa walaupun tingkat teknologi yang dimiliki
sama, perdagangan internasional akan tetap terjadi bila ada perbedaan
kepemilikan faktor produksi (factor endowment) diantara masing-masing negara.
Satu negara dengan kepemilikan kapital berlebih akan berspesialisasi dan
mengekspor komoditi padat kapital (capital-intensive goods), dan sebaliknya
negara dengan kepemilikan tenaga kerja berlebih akan memproduksi dan
mengekspor komoditi padat tenaga kerja (labor-intensive goods).
Berdasarkan teori H-O, keunggulan komparatif suatu negara ditentukan
oleh faktor kelangkaan relatif (rasio faktor endowment relatif terhadap dunia atau
suatu kumpulan negara). Namun demikian, telah diketahui bahwa pengukuran
keunggulan komparatif dan menguji teori H-O mempunyai beberapa kesulitan
(Balassa, 1989) karena harga relatif dibawah autarky tidak dapat teramati.
Berdasarkan fakta ini, Balassa mengusulkan bahwa keunggulan komparatif
diungkapkan oleh pola perdagangan yang teramati dan sejalan dengan teori.
Balassa memperoleh suatu indeks (disebut indeks Balassa) yang mengukur
keunggulan komparatif suatu negara. Indeks ini mengidentifikasi apakah suatu
negara mempunyai keunggulan komparatif terungkap dibandingkan menentukan
sumber dari keunggulan komparatif. Sejak pertama kali diusulkan oleh Balassa,
definisi RCA telah beberapa kali direvisi dan dimodifikasi sehingga sekarang ada
beberapa metode perhitungan.
Hambatan Perdagangan
Konsep proteksi dalam perdagangan internasional berarti usaha-usaha
pemerintah yang membatasi atau mengurangi jumlah barang yang diimpor dari
negara-negara lain dengan tujuan untuk mencapai beberapa tujuan tertentu yang
penting artinya dalam pembangunan negara dan kemakmuran perekonomian
negara. Hambatan perdagangan dibagi dua yaitu hambatan tarif dan hambatan non
tarif.
Hambatan Tarif
Tarif merupakan suatu kebijakan perdagangan yang paling umum yaitu
pajak yang dikenakan atas barang-barang yang diimpor. Selain itu, tarif
merupakan bentuk kebijakan perdagangan yang paling tua dan secara tradisional
telah digunakan sebagai sumber penerimaan pemerintah (Krugman & Obsfeld,
2003). Tarif adalah hambatan perdagangan yang berupa penetapan pajak atas
barang-barang impor atau barang-barang dagangan yang melintasi daerah pabean
(custom area). Apabila suatu barang impor dikenakan tarif, maka harga jual
barang tersebut di negara pengimpor menjadi lebih tinggi sehingga menyebabkan
masyarakat enggan untuk membeli barang tersebut, sehingga barang-barang hasil
produksi dalam negeri lebih banyak dibeli oleh masyarakat.
Menurut Krugman dan Obstfeld (2003) mekanisme perhitungan tarif, dibagi :
Ad valorem duties, yakni biaya pabean yang tingginya dinyatakan dalam
presentasi dari nilai barang yang dikenakan bea tersebut.
11
Specific duties, yakni biaya pabean yang tingginya dinyatakan untuk setiap
ukuran fisik dari barang yang dikenakan bea tersebut.
Compound duties, yakni biaya pabean yang tingginya adalah hasil kombinasi
dari ad valorem dan specific duties.
Hambatan Non Tarif
Pemerintah membuat peraturan administratif yang bersifat teknis yang
berhubungan dengan standar produk, keamanan pangan, kesehatan, standar
lingkungan, keselamatan listrik yang dapat menghambat masuknya produk
impor. Non Tariff Measures (NTMs) mencakup semua kebijakan yang
berhubungan dengan biaya perdagangan yang dikeluarkan mulai dari produksi
sampai dengan konsumen akhir, kecuali kebijakan tarif. Klasifikasi NTMs oleh
UNCTAD adalah taksonomi semua aturan-aturan yang dianggap relevan dalam
situasi saat ini dalam perdagangan internasional. Klasifikasi tersebut adalah
proses berkembang yang harus beradaptasi dengan realitas perdagangan dan
kebutuhan pengumpulan data internasional. Klasifikasi ini terdiri atas aturanaturan teknis dan non-teknis, seperti aturan Sanitary and Phitosanitary (SPS),
Technical Barrier to Trade (TBT) dan aturan tradisional lainnya digunakan
sebagai instrumen kebijakan komersial, misalnya kuota, pengendalian harga,
pembatasan ekspor, atau tindakan perlindungan perdagangan kontingen, serta
aturan-aturan di kawasan pabean, seperti kompetisi, aturan investasi yang
terkait dengan perdagangan, pengadaan pemerintah atau pembatasan distribusi.
Klasifikasi aturan-aturan non-tarif meliputi 16 bab (A ke P), dan setiap
bab dibagi menjadi kelompok dengan kedalaman hingga tiga tingkat. Bab A
berhubungan dengan Sanitary and Phytosanitary, yang umumnya disebut
sebagai SPS. Bab ini mengumpulkan aturan-aturan seperti pembatasan untuk
bahan pangan dan memastikan keamanan pangan, dan hal tersebut untuk
mencegah penyebaran penyakit atau hama. Bab A juga mencakup semua
aturan-aturan penilaian kesesuaian yang berhubungan dengan keamanan
pangan, seperti sertifikasi, pengujian dan inspeksi, dan karantina.
Definisi SPS measures yaitu aturan yang diterapkan untuk melindungi
kehidupan manusia dan dan hewan dari risiko akibat bahan tambahan pangan,
kontaminan, racun atau organisme penyebab penyakit dalam pangan yang
dikonsumsi; untuk melindungi manusia dari tanaman atau hewan pembawa
penyakit; untuk melindungi hewan atau tanaman dari hama, penyakit atau
organisme penyebab penyakit; untuk mencegah atau membatasi kerusakan ke
sebuah negara dari masuk dan berkembang atau penyebaran hama; dan untuk
melindungi keanekaragaman hayati. Aturan ini juga melindungi kesehatan ikan
dan hewan liar dan juga hutan dan tanaman liar.
Secara lebih rinci, Sanitary and Phitosanitary dibagi menjadi aturan teknis
dan prosedur penilaian kesesuaian. Aturan teknis mencakup larangan impor
karena alasan SPS; batas toleransi residu dan zat yang dilarang digunakan;
pelabelan, penandaan dan persyaratan pengemasan; persyaratan higienis;
perlakuan untuk menghilangkan hama tanaman dan hewan serta organisme
penyebab penyakit pada produk akhir; persyaratan lain pada proses produksi atau
pasca produksi. Prosedur penilaian kesesuaian mencakup beberapa beberapa hal
yaitu persyaratan registrasi produk, persyaratan pengujian, persyaratan sertifikasi,
12
persyaratan inspeksi, persyaratan ketertelusuran dan persyaratan karantina serta
persyaratan lain yang menyangkut SPS.
Sumber : UNCTAD, 2012
Gambar 4 Klasifikasi Non Tariff Measures
Kebijakan Standar Keamanan Pangan
Standar Sanitary and Phitosanitary adalah segala aturan yang diterapkan
untuk melindungi manusia atau hewan atau kesehatan dari resiko akibat bahan
tambahan, kontaminan, racun atau organisme penyebab penyakit dalam makanan,
minuman atau bahan pangan. Standar ini mencakup semua aturan, persyaratan dan
prosedur termasuk kriteria produk akhir; proses dan metode produksi; pengujian;
inspeksi, sertifikasi dan prosedur penerimaan; perlakuan karantina termasuk
persyaratan yang berhubungan dengan transportasi hewan atau tanaman, atau
dengan bahan yang dibutuhkan berhubungan penyelamatan selama pemindahan;
provisi pada metode statistik, prosedur pengambilan contoh dan metode pengujian
resiko; dan pengemasan serta persyaratan pelabelan secara langsung terkait
keamanan pangan (Osiemo, 2012).
Perjanjian tentang SPS mengamanatkan hak dan kewajiban negara anggota
WTO terkait perlindungan kesehatan manusia, hewan dan tanaman. Aturan SPS
didefinisikan sebagai aturan bagi negara anggota WTO diterapkan untuk :
Melindungi kesehatan atau hidup hewan dan tanaman dari resiko yang berasal
dari masuknya, pembentukan atau penyebaran hama, penyakit, organisme
pembawa penyakit atau organisme penyebab penyakit;
Melindungi hidup atau kesehatan manusia atau hewan dari resiko yang berasal
dari bahan tambahan, kontaminan, racun, atau organisme penyebab penyakit
pada makanan, minuman atau bahan pangan lainnya;
13
Melindungi kesehatan atau hidup manusia dari resiko yang berasal dari
tanaman atau hewan pembawa penyakit, dan dari hama hewan atau tanaman,
penyakit, organisme penyebab penyakit, atau dari masuknya,
perkembangbiakan atau penyebaran hama
Mencegah atau membatasi kerusakan karena masuknya, perkembangbiakan
atau penyebaran hama (WTO, 2012)11
Menurut Bank Dunia (2010)12 Perjanjian SPS ini mempunyai beberapa prinsip
antara lain:
Nondiskriminasi adalah tindakan yang sama diterapkan pada importir serta
produsen dalam negeri. Semua mitra dagang tunduk pada persyaratan yang
sama.
Transparansi adalah informasi tentang ketentuan SPS mudah diakses. Ada
prosedur yang ditetapkan untuk pemberitahuan dalam kasus tindakan baru atau
ada perubahan.
Proporsional adalah intervensi yang sebanding dengan risiko kesehatan yang
akan dikendalikan.
Kesetaraan adalah adanya saling pengakuan antara mitra dari tindakan yang
berbeda untuk mencapai tingkat perlindungan yang sama.
Penggunaan tindakan berbasis ilmu pengetahuan : langkah-langkah untuk
melindungi tanaman, hewan, dan kesehatan manusia didasarkan pada prinsipprinsip ilmiah dengan bukti ilmiah yang cukup. Umumnya, hal ini
membutuhkan penilaian resiko dan definisi tingkat resiko yang dapat diterima
Regionalisasi. Prinsip ini mengakui kemungkinan penyakit atau negara-hama
yang terkena memiliki area penyakit atau bebas hama atau wilayah dan
memungkinkan ekspor dari penyakit tersebut atau daerah bebas hama atau
wilayah.
Penelitian-penelitian yang berhubungan dengan standar keamanan
pangan menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kebijakan standar keamanan
pangan yaitu penerapan batas ambang maksimum residu pestisida atau racun
tertentu. Maximum Residual Limit (MRL) adalah indeks yang mewakili
konsentrasi maksimum residu pestisida (dinyatakan sebagai mg/kg) secara hukum
diizinkan dalam komoditas pangan dan pakan ternak. Batas maksimum residu
pada impor pangan ditetapkan oleh masing-masing negara dan yang diterapkan
sebagai standar peraturan di perbatasan/kawasan pabean. Penelitian Otsuki et al.
(2004) menggunakan Chlorpyrifos MRL pada buah pisang. Penelitian Chen et al.
(2008) menggunakan Chlorpyrifos MRL pada sayuran dan Oxytetracycline MRL
pada produk perikanan. Penelitian Wei et al (2012) menggunakan Endosulfan,
Fenvalerate, Flucythrinate MRL pada produk teh. Penelitian Wei et al. (2012)
yang lain juga menggunakan Chloromycetin MRL pada produk madu. Penelitian
Nugroho (2014) menggunakan batas ambang maksimum pada Ochratoxin A yang
diterapkan di Uni Eropa dan Carbaryl yang diterapkan di Jepang untuk produk
kopi.
11
http://www.wto.org/english/tratop_e/sps_e/sps_e.htm
Sanitary and phitosanitary measures. Enhancing agro-food trade in the Lao PDR. World
Bank : Briefing note. Trade Development Issue3, June 2010
12
14
Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang dampak hambatan perdagangan non tarif telah banyak
dilakukan, akan tetapi di Indonesia sendiri penelitian mengenai dampak penerapan
standar keamanan pangan terhadap ekspor produk hortikultura masih sangat
terbatas. Penelitian mengenai hal ini banyak menggunakan Gravity Model. Otsuki
et al. (2001) meneliti dampak harmonisasi baru terhadap standar aflatoxin yang
diterapkan di Uni Eropa terhadap ekspor pangan dari Afrika. Analisis
menggunakan gravity model untuk mengestimasi dampak perubahan dalam
tingkat perbedaan proteksi dalam standar Uni Eropa yang dibandingkan dengan
standar internasional. Penelitian ini menggunakan data survei perdagangan dan
peraturan dari lima belas negara Eropa dan sembilan negara Afrika antara tahun
1989 sampai dengan 1998. Hasil penelitian yaitu implementasi standar aflatoxin
yang baru di Uni Eropa mempunyai dampak negatif terhadap ekspor produk
sereal, buah kering dan kacang dari Afrika. Standar baru ini akan menyelamatkan
1.4 nyawa per milyar orang dan akan menurunkan ekspor sebanyak 64 % atau
senilai US $ 670 juta.
Penelitian Nugroho (2014) meneliti pengaruh regulasi yang spesifik
terhadap perdagangan kopi Indonesia dibandingkan dengan peraturan umum
dunia tentang standar keamanan pangan kopi. Model yang digunakan yaitu gravity
model dengan panel data sepuluh negara importir kopi dalam periode 2002 sampai
dengan 2011. Kesimpulan penelitian ini yaitu bahwa regulasi tentang Ochratoxin
A yang diterapkan oleh semua negara pengimpor mempunyai pengaruh signifikan
terhadap perdagangan kopi Indonesia dibandingkan regulasi spesifik yang
diterapkan oleh suatu negara (Jepang).
Wei et al. (2012) meneliti dampak penerapan standar keamanan pangan
terhadap ekspor teh dari China. Model yang digunakan yaitu gravity model
dengan data sebanyak 31 (tiga puluh satu) negara importir teh selama periode
1996 sampai dengan 2009. Kesimpulan yang dihasilkan yaitu penerapan batas
ambang maksimal pestisida oleh negara importir teh berpengaruh signifikan
terhadap ekspor pr
PANGAN TERHADAP EKSPOR HORTIKULTURA
INDONESIA
PURWONO NUGROHO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI THESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Dayasaing dan Pengaruh
Standar Keamanan Pangan Terhadap Ekspor Produk Hortikultura Indonesia”
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2016
Purwono Nugroho
NIM. H151137054
RINGKASAN
PURWONO NUGROHO. Dayasaing dan Pengaruh Standar Keamanan Pangan
Terhadap Ekspor Produk Hortikultura Indonesia. Dibimbing oleh MUHAMMAD
FIRDAUS dan ALLA ASMARA.
Produk hortikultura merupakan produk yang potensial karena bernilai
ekonomis dan mempunyai permintaan pasar yang tinggi. Kinerja ekspor produk
hortikultura Indonesia mengalami pertumbuhan yang stagnan. Hal ini berbanding
terbalik dengan nilai impor produk hortikultura yang tumbuh secara signifikan
sejak tahun 2006. Sejak terjadinya krisis keuangan global, kebijakan proteksi
perdagangan banyak diterapkan oleh negara-negara di dunia. Standar keamanan
pangan, khususnya Sanitary and Phitosanitary measures menjadi hambatan utama
dalam perdagangan produk pertanian. Akses pasar produk hortikultura Indonesia
ke pasar internasional juga dipengaruhi oleh faktor dayasaing produk. Tujuan
penelitian ini yaitu menganalisis dayasaing produk hortikultura dan analisis
pengaruh standar keamanan pangan terhadap ekspor produk hortikultura utama
Indonesia serta mendeskripsikan standar keamanan pangan yang diterapkan oleh
negara tujuan ekspor.
Analisis dayasaing menggunakan metode Revealed Comparative
Advantage (RCA) dan Export Product Dynamic (EPD). Indeks dayasaing RCA
digunakan sebagai salah satu variabel pada analisis gravity model. Standar
keamanan pangan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu batas ambang
maksimum residu pestisida. Analisis pengaruh standar keamanan pangan
menggunakan gravity model dengan data panel. Penelitian ini menggunakan data
sekunder dengan rentang waktu 2003 sampai dengan 2013. Komoditi hortikultura
yang dianalisis yaitu Bunga kol, kubis, jamur, pisang, rambutan, jambu, mangga,
manggis, jahe dan temulawak.
Analisis dayasaing produk hortikultura dengan metode Revealed
Comparative Advantage (RCA) dan Export Product Dynamic (EPD)
menunjukkan bahwa produk hortikultura Indonesia yang memiliki keunggulan
komparatif dan kompetitif tertinggi di negara tujuan dan dunia adalah kubis,
jamur dan temulawak. Sedangkan produk Bunga kol, pisang, rambutan, jambu
mangga manggis dan jahe Indonesia kehilangan kesempatan pangsa ekspor untuk
produk yang dinamis di pasar dunia. Analisis data panel terhadap model gravity
menunjukkan bahwa sebagian besar variabel bebas pada tujuh komoditi
hortikultura yang dianalisis signifikan secara statistik dan memiliki koefisien
sesuai dengan hipotesis. Batas residu maksimum pestisida yang diterapkan oleh
negara tujuan ekspor berpengaruh signifikan terhadap volume ekspor produk
hortikultura Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa standar keamanan pangan
yang semakin ketat di negara tujuan ekspor akan berpengaruh terhadap penurunan
volume ekspor produk hortikultura Indonesia. Pemerintah perlu menambah ruang
lingkup aturan standar keamanan pangan khususnya produk hortikultura sehingga
kualitas produk meningkat yang pada akhirnya meningkatkan dayasaing dan nilai
ekspornya sekaligus memperketat masuknya produk hortikultura impor.
Kata kunci: Dayasaing, Standar Keamanan Pangan, Ekspor, Hortikultura, Gravity
Model
SUMMARY
PURWONO NUGROHO. Competitiveness and Effect of Food Safety Standard
on Export of Indonesia’s Horticulture Products. Supervised by MUHAMMAD
FIRDAUS and ALLA ASMARA.
Horticulture product is a product that is a potential because of economic
value and has a high market demand. The export performance of Indonesian
horticultural products grew stagnant. It is inversely proportional to the value of
imports of horticultural products which grown significantly since 2006. Since the
global financial crisis, trade protection policies applied by many countries in the
world. Food safety standards, particularly Sanitary and Phitosanitary measures
become a major barrier in the agricultural products trade. Indonesian horticultural
products market access to international markets also affected by competitiveness
factors. The purpose of this study is to analyze the competitiveness of horticultural
products and analyze influence of food safety standards on the Indonesian
horticultural products export and also describing the food safety standards applied
by destination country of export.
Competitiveness analysis use Revealed Comparative Advantage (RCA)
and Export Product Dynamics (EPD). RCA competitiveness index is used as one
of the variables in the analysis of gravity models. Food safety standards that are
used in this research is the maximum threshold level of pesticide residues.
Analysis of the influence of food safety standards use gravity models with panel
data. This study uses secondary data with the time span 2003 to 2013.
Horticulture products which analyzed namely cauliflower, cabbage, mushrooms,
banana, rambutan, guava mango mangosteen, ginger and curcuma.
Analysis of the competitiveness of horticultural products with Revealed
Comparative Advantage (RCA) and Export Product Dynamics (EPD) shows that
Indonesian horticultural products that have the highest comparative and
competitive advantages in the destination country and the world are cabbage,
mushrooms and ginger. While cauliflower, banana, rambutan, mangosteen and
ginger mango guava lost the opportunity share of exports to dynamic products in
world markets. Analysis of panel data on gravity models indicate that most of the
independent variables on seven horticulture product shows statistically significant
and has a coefficient according to the hypothesis. The maximum residue limits of
pesticides were applied by the destination country exports have a significant effect
on the volume of Indonesian exports of horticultural products. This shows that
stringent food safety standards in destination countries will affect to the decrease
in volume of exports of horticultural Indonesia. The government needs to increase
the scope of the rules of food safety standards especially horticultural products so
that product quality increased, which in turn increase the competitiveness and
value of its exports at the same time tighten the entry of imports of horticultural
products.
Keywords: Competitiveness, Food Safety Standard, Export, Horticulture, Gravity
Model
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
DAYASAING DAN PENGARUH STANDAR KEAMANAN
PANGAN TERHADAP EKSPOR PRODUK HORTIKULTURA
INDONESIA
PURWONO NUGROHO
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Amzul Rifin, SP, MA
Judul Tesis
: Dayasaing dan Pengaruh Standar Keamanan Pangan terhadap
Ekspor Produk Hortikultura Indonesia
Nama
: Purwono Nugroho
M
: H151137054
j
Disetu ui oleh
Komisi Pembimbing
f�
Dr. Alla Asmara. S.Pt, M.Si
SP. M.Si
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
lmu Ekonomi
�
Dr. Lawati graeni, SP. M.Si
j
Tanggal U ian: 3 Desember 2015
Tanggal Lulus:
0 1
NAR 2016
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan karuniaNya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam selalu tercurah
kepada Nabi Muhammad SAW. Penelitian dengan tema perdagangan
internasional yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2015 ini berjudul
“Dayasaing dan Pengaruh Standar Keamanan Pangan terhadap Ekspor Produk
Hortikultura Indonesia”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu demi terselesaikannya penelitian ini. Apresiasi dan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya penulis sampaikan secara khusus kepada Bapak Prof. Dr.
Muhammad Firdaus, SP, M.Si dan Bapak Dr. Alla Asmara, S.Pt, M.Si selaku
komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan
selama proses penelitian ini. Terima kasih kepada Bapak Dr. Amzul Rifin, SP,
MA selaku dosen penguji luar komisi dan Ibu Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si atas
kritik dan saran yang bermanfaat bagi perbaikan tesis ini. Ucapan terima kasih
juga disampaikan kepada Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si, Dr. Lukytawati
Anggraeni, SP, M.Si dan Dr. Toni Irawan beserta para pengelola Program
Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi serta seluruh dosen yang telah
berbagi ilmu kepada penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan Progran Magister pada
Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana IPB. Tak lupa penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Bapak, Ibu, Istri, anak dan adik-adik tercinta
yang telah memberikan dukungan dan doa kepada penulis serta rekan-rekan
kuliah, baik kelas Kementerian Perdagangan S2 IPB batch 1 dan 2, maupun kelas
regular yang telah membantu dan memberikan semangat hingga selesainya tesis
ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena
keterbatasan kemampuan penulis. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Februari 2016
Purwono Nugroho
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vii
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
1
1
6
7
8
8
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teoritis
Penelitian Terdahulu
Hipotesis Penelitian
Kerangka Pemikiran
9
9
14
15
16
3 METODE
Jenis dan Sumber Data
Identifikasi Variabel Penelitian
Metode Analisis
17
17
17
18
4 GAMBARAN UMUM
Ekspor Produk Hortikultura
Standar Keamanan Pangan
23
23
29
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Dayasaing Komoditi Hortikultura
Pengaruh Standar Keamanan Pangan terhadap Ekspor
Hortikultura Indonesia
43
43
55
55
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
63
63
63
DAFTAR PUSTAKA
65
LAMPIRAN
68
RIWAYAT HIDUP
78
DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
Jumlah penolakan ekspor produk pangan Indonesia
Jenis dan Sumber Data yang digunakan
Matriks EPD berdasarkan posisi dayasaing
Perbandingan PDB sektor pertanian dan peternakan terhadap PDB
nasional (Harga Konstan dalam Trilyun Rupiah)
5. Nilai ekspor produk hortikultura Indonesia ke negara tujuan ekspor
(FOB US $)
6. Jumlah notifikasi SPS negara-negara di dunia
7. Jumlah pestisida yang diatur oleh negara tujuan ekspor hortikultura
Indonesia
8. Hasil perhitungan nilai RCA Bunga kol Indonesia ke negara tujuan
ekspor
9. Hasil perhitungan nilai RCA kubis Indonesia di negara tujuan ekspor
10. Hasil perhitungan nilai RCA jamur Indonesia di negara tujuan
ekspor
11. Hasil perhitungan nilai RCA Pisang Indonesia di negara tujuan
ekspor
12. Hasil perhitungan nilai RCA Jambu Mangga Manggis Indonesia di
negara tujuan ekspor
13. Hasil perhitungan nilai RCA Rambutan Indonesia di negara tujuan
ekspor
14. Hasil perhitungan nilai RCA Jahe Indonesia di negara tujuan ekspor
15. Hasil perhitungan nilai RCA Temulawak Indonesia di negara tujuan
ekspor
16. Koefisien variabel penduga ekspor hortikultura Indonesia (PLS)
17. Korelasi antara MRL Pestisida dengan Indeks Dayasaing (RCA)
5
17
19
23
25
30
33
44
45
47
48
50
51
52
54
55
61
DAFTAR GAMBAR
1. Jumlah notifikasi SPS dan tingkat tarif periode 1996-2010
2. Kinerja ekspor impor produk hortikultura Indonesia
3. Kurva perdagangan internasional
4. Klasifikasi Non Tariff Measures
5. Kerangka Pemikiran
6. Neraca perdagangan sektor pertanian Indonesia
7. Neraca perdagangan produk hortikultura Indonesia
8. Perkembangan ekspor hortikultura Indonesia
9. Perkembangan nilai dan volume ekspor hortikultura Indonesia
10. Perkembangan ekspor komoditi hortikultura unggulan
11. Hubungan antara pendapatan negara dan jumlah standar
12. Produksi dan Impor Pestisida Dunia (1940-2000)
13. Plot EPD Bunga kol Indonesia
14. Plot EPD Kubis Indonesia
15. Plot EPD Jamur Indonesia
3
4
9
12
16
24
24
26
27
28
29
32
45
46
47
16. Plot EPD Pisang Indonesia
17. Plot EPD Jambu Mangga Manggis Indonesia
18. Plot EPD Rambutan Indonesia
19. Plot EPD Jahe Indonesia
20. Plot EPD Temulawak Indonesia
49
50
52
53
54
DAFTAR LAMPIRAN
1. Ekspor produk hortikultura Indonesia ke 25 negara (FOB US $)
2. Nilai ekspor produk Bunga kol Indonesia ke negara tujuan ekspor
(US $)
3. Nilai ekspor produk kubis ke negara tujuan ekspor (US $)
4. Nilai ekspor produk Jamur ke negara tujuan ekspor (US $)
5. Nilai ekspor produk Pisang ke negara tujuan ekspor (US $)
6. Nilai ekspor Jambu, Mangga, Manggis ke negara tujuan ekspor (US
$)
7. Nilai ekspor produk Rambutan ke negara tujuan ekspor (US $)
8. Nilai ekspor produk Jahe ke negara tujuan ekspor (US $)
9. Nilai ekspor produk Temulawak ke negara tujuan ekspor (US $)
10. Hasil estimasi Gravity Model produk Bunga kol
11. Hasil estimasi Gravity Model produk Kubis
12. Hasil estimasi Gravity Model produk Jamur
13. Hasil estimasi Gravity Model produk Pisang
14. Hasil estimasi Gravity Model produk Jambu, Mangga, Manggis
15. Hasil estimasi Gravity Model produk Jahe
16. Hasil estimasi Gravity Model produk Temulawak
68
68
69
69
69
69
70
70
70
71
72
73
74
75
76
77
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keamanan pangan merupakan jaminan bahwa suatu produk pangan tidak
akan menyebabkan bahaya kepada konsumen ketika dipersiapkan dan/atau
dimakan sesuai peruntukannya. Memastikan pangan yang aman dan sehat
merupakan syarat penting untuk mencapai ketahanan pangan. Hal ini perlu bagi
kehidupan manusia baik di negara maju maupun negara berkembang. Keamanan
pangan tidak lagi menjadi sebuah kemewahan bagi orang mampu karena semua
golongan masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan persediaan yang cukup
terhadap pangan yang aman dan bergizi.
Pengertian tentang keamanan dan kualitas pangan kadang-kadang dapat
membingungkan. Keamanan pangan mengacu pada semua bahaya, baik kronis
atau akut, yang dapat membuat makanan berbahaya bagi kesehatan konsumen.
Hal ini tidak bisa ditawar. Kualitas mencakup semua atribut lainnya yang
mempengaruhi nilai suatu produk kepada konsumen. Hal ini termasuk atribut
negatif seperti pembusukan, kontaminasi dengan kotoran, perubahan warna, bau
dan atribut positif seperti metode asal, warna, rasa, tekstur dan pengolahan
makanan. Perbedaan antara keamanan dan kualitas memiliki implikasi bagi
kebijakan publik dan mempengaruhi sifat dan isi dari sistem kontrol makanan
yang paling cocok untuk memenuhi tujuan nasional yang telah ditentukan1.
Dengan meningkatnya liberalisasi pasar agroindustri dan rantai suplai
makanan seluruh dunia, jaminan kualitas dan keamanan pangan telah menjadi
perhatian utama. Perdagangan global membutuhkan produk berstandar.
Perlindungan konsumen telah menjadi prioritas dalam pembuatan kebijakan di
pasar konsumen besar Amerika Serikat dan Uni Eropa. Ada standar keamanan
pangan di negara-negara maju, seperti untuk aflatoksin di Uni Eropa dan residu
pestisida di Amerika Serikat, telah dibuat lebih ketat selama dekade terakhir.
Banyak peraturan baru melibatkan persyaratan untuk kontrol proses seperti sistem
Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) yang merupakan pendekatan
untuk pencegahan, pemantauan, dan pengendalian bahaya yang dapat diterapkan
untuk setiap proses produksi. Regulasi baru didasarkan pada penilaian risiko
ilmiah secara ilmiah, dan karena bahaya bisa masuk ke pasokan makanan di salah
satu dari beberapa titik, penilaian seperti sekarang dilakukan dari lahan pertanian
sampai dengan meja makan2.
Peraturan baru di negara-negara maju pasti memiliki implikasi bagi
produsen pangan di negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal tersebut dapat
meningkatkan biaya ekspor. Selama satu dekade terakhir, ekspor negara-negara
berkembang pada produk pangan segar dan produk proses minimal banyak
memasuki pasar negara maju telah meningkat tajam, termasuk makanan laut, ikan,
buah-buahan, dan sayuran. Eksportir dari negara berkembang sering menghadapi
1
Assuring Food Safety and Quality : Guidelines for Strengthening National Food Control System.
Join FAO and WHO Publication
2
Will M and Guenther Doris. 2007. Food Quality and Safety Standards as required by EU Law
and the Private Industry. A Practitioners Reference Book. Agriculture, Fisheries and Food.
Division 45
2
kesulitan dalam memenuhi peraturan keselamatan pangan yang semakin ketat
yang dikenakan oleh negara-negara maju. Bantuan teknis, investasi oleh produsen,
dan kebijakan baru di negara berkembang memainkan peran dalam membantu
eksportir negara berkembang mempertahankan akses pasarnya.
Indonesia sebagai salah satu anggota World Trade Organization (WTO)
mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Salah
satu hak sebagai anggota WTO yaitu memperoleh atau mempertahankan akses
pasar jika kepentingan ekspornya terganggu serta melakukan perlindungan pasar
dalam negeri melalui penerapan trade remedies atau trade defence measures.
Salah satu contohnya yaitu penerapan regulasi teknis dan standar produk. Regulasi
teknis dan standar diidentifikasi sebagai prinsip hambatan non tarif selama
negosiasi Putaran Tokyo (1973 sampai dengan 1979). Negosiasi ini menghasilkan
keputusan yang disebut Agreement on Technical Barriers to Trade (Standard
Code). Keputusan ini memasukan prinsip-prinsip General Agreement on Tariff
and Trade (GATT) yaitu most favoured nation dan national treatment serta
diterapkan pada standar teknis dan standar sanitary and phitosanitary (SPS) yang
mengatur perdagangan internasional pada komoditas pangan dan produk pertanian
(Osiemo, 2012).
Sejak terjadinya krisis keuangan global, kebijakan proteksi perdagangan
banyak diterapkan oleh negara-negara di dunia. Banyak negara menggunakan
instrumen hambatan perdagangan non tarif untuk melindungi industri dalam
negeri dari ancaman produk impor. Dalam situasi seperti ini, hambatan
perdagangan non tarif menggantikan kebijakan tarif sebagai salah satu hambatan
utama dalam perdagangan produk pertanian (Song, 2010). Menurut aturan WTO,
suatu negara dapat menerapkan standar SPS sendiri untuk melindungi kesehatan
manusia, hewan dan tanaman serta melindungi lingkungan hidup selama standar
tersebut tidak diskriminatif dan mempunyai alasan ilmiah. Lebih dari 60 %
produk pangan terpengaruh akibat penerapan standar SPS di negara-negara tujuan
ekspor.
Isu tentang hambatan perdagangan non tarif mengemuka dalam agenda
kebijakan Pemerintah dalam usahanya melakukan integrasi perdagangan negara
dengan ekonomi global. Adanya liberalisasi perdagangan dan perundingan
perdagangan multilateral, plurilateral serta bilateral, negara-negara telah
bersepakat untuk menurunkan tarif terhadap produk impor bahkan sampai dengan
nol persen. Hal ini tidak serta merta menghilangkan hambatan perdagangan.
Hambatan perdagangan non tarif dalam bentuk kuota impor, regulasi teknis, dan
standar sekarang menjadi hambatan perdagangan baru dalam kebijakan
perdagangan. Hambatan non tarif ini di beberapa negara dimanfaatkan sebagai
senjata untuk alat proteksi dalam perang dagang yang terjadi antar negara (Cadot
et al, 2012).
Regulasi standar keamanan pangan dapat digunakan untuk mengganggu
perdagangan produk pertanian dalam rangka untuk melindungi kesehatan
manusia. Kebijakan ini banyak dipakai negara maju dalam kerangka WTO untuk
menghadang ekspor produk pertanian dari negara-negara berkembang (Song,
2010). Perjanjian penerapan SPS oleh WTO terjadi pada tahun 1995. WTO
mengijinkan negara-negara anggotanya untuk menerapkan SPS measures untuk
melindungi kesehatan manusia, hewan dan tanaman serta melindungi lingkungan.
Namun demikian, standar keamanan pangan dan produk pertanian yang semakin
3
ketat yang diterapkan oleh negara-negara maju menjadi tantangan utama bagi
produk pangan dan pertanian untuk masuk dalam pasar internasional terutama
yang berasal dari negara berkembang. Standar keamanan pangan, khususnya SPS
measures menjadi hambatan utama dalam perdagangan produk pertanian. Antara
tahun 1996 sampai dengan 2009, tingkat rata-rata tarif global pada produk
pertanian menurun dari 14.6% menjadi 10.8%, sedangkan jumlah notifikasi SPS
negara-negara dunia pada produk pertanian mengalami peningkatan dari 136
notifikasi pada 1996 meningkat menjadi 564 notifikasi pada 2009. Hal ini
mengindikasikan bahwa standar keamanan pangan menjadi semakin ketat di
negara-negara pengimpor (Dou et al, 2013).
Sumber : Aisbett dan Pearson, 20123
Gambar 1 Jumlah notifikasi SPS dan tingkat tarif periode 1996-2010
Indonesia merupakan negara tropis yang mempunyai keanekaragaman
hayati yang melimpah4. Hal ini membuat Indonesia yang mempunyai lahan
pertanian seluas 100.7 juta Ha5 dapat ditanami berbagai jenis tanaman yang
mempunyai nilai ekonomis dan dapat diperdagangkan baik di pasar domestik
maupun pasar internasional. Kementerian Pertanian membagi tanaman pertanian
menjadi tiga bagian yaitu tanaman perkebunan, tanaman pangan dan hortikultura.
Menurut Undang-undang No. 13 tahun 2010 tentang Hortikultura,
hortikultura adalah segala hal yang berkaitan dengan buah, sayuran, bahan obat
nabati, dan florikultura, contohnya meliputi jamur, lumut, dan tanaman air yang
3
Aisbett, E dan Pearson, L. 2012. Environtmental and Health Protections,or New Protectionism?
Determinants os SPS Notifications by WTO Members. Australian National University
http://www.etsg.org/ETSG2012/Programme/Papers/333.pdf
4
http://www.ifacs.or.id/id/climate-change-forests-and-us/forests-and-biodiversity/
5
http://www.litbang.pertanian.go.id/special/komoditas/b1lahan
4
$1,600
$1,400
$1,200
$1,000
$800
$600
$400
$200
$1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Juta
berfungsi sebagai sayuran, bahan obat nabati, dan/atau bahan estetika. Tanaman
hortikultura sebagai kekayaan hayati merupakan salah satu kekayaan sumber daya
alam Indonesia yang sangat penting sebagai sumber pangan bergizi, bahan obat
nabati, dan estetika, yang bermanfaat dan berperan besar dalam meningkatkan
kualitas hidup masyarakat, yang perlu dikelola dan dikembangkan secara efisien
dan berkelanjutan. Salah satu subsektor yang berperan penting dan menunjang
ketahanan pangan yaitu subsektor hortikultura. Kontribusi sektor pertanian
tanaman hortikultura terhadap produk domestik bruto selama periode 2000 –
2011, dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Hortikultura memberikan
pangsa yang cukup besar yaitu sekitar 11.83 % pada PDB Indonesia (Dahar,
2014).
Nilai Ekspor Hortikultura
Nilai Impor Hortikultura
Sumber : BPS, 2014
Gambar 2 Kinerja ekspor impor produk hortikultura Indonesia
Hortikultura terdiri atas empat kelompok yaitu kelompok buah-buahan,
sayuran, tanaman obat (biofarmaka), dan tanaman hias atau florikultur. Keempat
kelompok ini mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai usaha
agribisnis yang akan mendorong peningkatan pendapatan petani khususnya petani
hortikultura. Produk hortikultura merupakan produk yang potensial karena
bernilai ekonomis tinggi dan mempunyai permintaan pasar yang tinggi. Produk
hortikultura yang terbesar yaitu kelompok buah-buahan, diikuti kelompok
sayuran. Dengan kondisi wilayah Indonesia yang luas dan keragaman agroklimat
memberikan potensi bagi produk hortikultura untuk dapat dikembangkan lebih
baik lagi. Pengembangan berbagai jenis tanaman ini mencakup 323 jenis
komoditas yang terdiri dari 60 jenis kelompok buah-buahan, 80 jenis kelompok
sayuran, 66 jenis kelompok biofarmaka atau tanaman obat, dan 117 jenis
kelompok tanaman hias atau florikultur6.
Hortikultura merupakan subsektor yang mengalami perkembangan
konsumsi pada beberapa tahun terakhir ini7. Peningkatan tersebut dikarenakan
masyarakat Indonesia menyadari pentingnya mengkonsumsi produk hortikultura.
6
7
Bagian Pertama Buku Kajian Undang-Undang No.13 Tahun 2010 tentang Hortikultura
http://bali.antaranews.com/berita/39039/konsumsi-buah-di-indonesia-meningkat-tajam
5
Produk hortikultura menyediakan kebutuhan yang menunjang kesehatan manusia.
Oleh karena itu, pertanian tanaman hortikultura menjadi salah satu subsektor
pertanian yang mempunyai arti yang cukup strategis dalam perekonomian
nasional. Produk hortikultura dikembangkan sebagai salah satu komoditas andalan
ekspor selain produk tanaman perkebunan seperti kopi, kelapa sawit dan kakao
yang merupakan produk strategis ekspor non-migas Indonesia.
Kinerja ekspor dan impor produk hortikultura (buah-buahan, sayuran dan
tanaman biofarmaka) terlihat dalam Gambar 2. Kinerja ekspor produk hortikultura
Indonesia mengalami pertumbuhan yang stagnan. Hal ini berbanding terbalik
dengan nilai impor produk hortikultura yang tumbuh secara signifikan sejak tahun
2006. Perkembangan ekspor produk hortikultura yang stagnan perlu perhatian
serius bagi pengambil kebijakan di bidang pertanian mengingat potensi
pengembangan ekspor di sektor hortikultura yang besar.
Pengembangan subsektor hortikultura dalam perspektif paradigma baru
tidak hanya terfokus pada upaya peningkatan produksi komoditas saja namun
terkait dengan isu-isu strategis dalam pembangunan yang lebih luas.
Pembangunan subsektor hortikultura mengacu pada pencapaian target sukses dari
Kementerian Pertanian yaitu peningkatan diversifikasi pangan, peningkatan nilai
tambah, dayasaing dan ekspor dalam rangka peningkatan kesejahteran petani.
Selain itu, pengembangan subsektor hortikultura juga dalam rangka antisipasi
meningkatnya nilai impor komoditas hortikultura dan sebaliknya harus mampu
meningkatkan nilai ekspor (Ibrahim, 2012).
Tabel 1 Jumlah penolakan ekspor produk pangan Indonesia
Negara
Pengimpor
Australia
Uni Eropa
Jepang
Amerika
Serikat
Total
2006
73
43
24
Tahun
2007
2008
52
40
23
14
59
26
2009
48
16
35
2010
38
23
44
Total
251
119
188
Rata-rata
tahunan
50
24
38
327
467
383
517
264
363
313
418
1614
2712
323
434
327
407
Sumber : TSC Footprints, 20128
Dalam perdagangan produk pangan di pasar global, ekspor produk pangan
Indonesia banyak mengalami penolakan di pasar dunia. Berdasarkan data pada
Tabel 1, antara tahun 2006 sampai dengan 2010 terdapat 2712 penolakan ekspor
pangan Indonesia di empat negara pengimpor yaitu Australia, Uni Eropa, Jepang
dan Amerika Serikat. Angka penolakan rata-rata per tahun ekspor pangan
Indonesia tertinggi yaitu di pasar Amerika Serikat yaitu 323 penolakan per tahun,
diikuti penolakan di pasar Australia yaitu 50 penolakan per tahun, pasar Jepang 38
penolakan per tahun dan di pasar Uni Eropa 24 penolakan per tahun. Berdasarkan
8http://www.unido.org/fileadmin/user_media_upgrade/What_we_do/Topics/Quality_and_c
ompliance/TSC_Footprint_Indonesia.pdf
6
data UNIDO (2010)9, ekspor produk sayuran dan buah-buahan ke Uni Eropa
antara tahun 2002-2008 yang mengalami penolakan bernilai US $ 548 juta
sedangkan nilai ekspor produk sayuran dan buah-buahan Indonesia yang
mengalami penolakan di Amerika Serikat bernilai US $ 458 juta. Hal ini patut
menjadi perhatian bagi pengambil kebijakan di sektor pertanian untuk mengambil
langkah-langkah strategis untuk mencegah kerugian akibat penolakan ekspor
produk pertanian Indonesia.
Selain masalah hambatan perdagangan baik tarif maupun hambatan non
tarif, akses pasar produk hortikultura Indonesia ke pasar internasional juga
dipengaruhi oleh faktor dayasaing produk. Faktor dayasaing produk berperan
penting karena Indonesia harus bersaing dengan negara-negara pengekspor
produk hortikultura lain seperti Thailand, Malaysia, Cina dan negara pengekspor
lainnya. Berdasarkan penelitian Yunawati (2013)10, jahe mempunyai keunggulan
komparatif di Belanda sedangkan temulawak mempunyai keunggulan di pasar
Amerika Serikat, Belanda dan Singapura. Jahe dan temulawak mempunyai posisi
“Rising Star” di semua negara kecuali di Jepang. Sedangkan berdasarkan
penelitian Agri (2011), produk hortikultura yang mempunyai dayasaing kuat yaitu
temulawak, jambu, mangga dan manggis. Produk yang mempunyai dayasaing
lemah yaitu produk pisang. Produk hortikultura Indonesia mempunyai dayasaing
kuat di pasar Singapura dan Taiwan, sedangkan di Jepang dan Malaysia
dayasaingnya lemah. Berdasarkan analisis Export Product Dynamic (EPD),
produk hortikultura Indonesia mempunyai dayasaing terbaik “Rising Star” di
negara Jepang dan Singapura. Pesaing utama untuk produk jahe yaitu Cina,
sedangkan untuk produk pisang pesaing terkuat yaitu Filipina.
Perumusan Masalah
Perdagangan produk pertanian dihadapkan pada masalah volatilitas harga
dan berbagai hambatan perdagangan seperti hambatan tarif dan hambatan non
tarif. Sejak berdirinya World Trade Organization (WTO) pada tahun 1995,
negara-negara anggotanya bersepakat untuk menurunkan tarif untuk produk
pertanian secara bertahap. Walaupun terjadi penurunan tarif produk pertanian,
hambatan perdagangan di sektor pertanian tidak berkurang. Hambatan
perdagangan non tarif seperti penerapan standar keamanan pangan berupa
penetapan batas ambang maksimal untuk residu pestisida yang semakin ketat oleh
negara pengimpor menjadi tantangan dan hambatan baru bagi negara eksportir.
Penerapan standar keamanan pangan di berbagai negara sekarang ini
berbeda-beda. Hal ini menimbulkan berbagai masalah. Dengan adanya
peningkatan pendapatan konsumen, permintaan bahan pangan dan akses ke WTO,
petani dan eksportir produk hortikultura Indonesia harus melakukan langkah
antisipasi dampak penerapan standar keamanan produk hortikultura pada produksi
9
Henson, S dan Olale, E. 2010. What do Border Rejections tell us about Trade Standards
Compliance of Developing Countries? Analysis of EU and US Data 2002-2008. UNIDO Working
Paper. www.unido.org/tradestandardscompliance
10
Skripsi dengan judul Analisis Dayasaing serta faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan
jahe dan temulawak Indonesia di lima negara tujuan ekspor. Bogor : IPB
7
dan ekspor produk tersebut. Partisipasi dalam perdagangan internasional
mempunyai arti bahwa produk hortikultura Indonesia menghadapi standar
internasional dan keunggulan komparatif produk hortikultura Indonesia
dipengaruhi secara signifikan oleh berbagai peraturan internasional. Ekspansi
pasar produk hortikultura ke pasar internasional harus diimbangi dengan adanya
peningkatan produksi. Peningkatan produksi bergantung pada pupuk kimia dan
pestisida untuk mengontrol hama dan penyakit tanaman. Sebagai hasilnya,
pemakaian pestisida yang berlebihan meningkatkan resiko bagi kesehatan
manusia dan pencemaran lingkungan.
Ekspor produk hortikultura Indonesia dari tahun ke tahun tidak mengalami
pertumbuhan yang signifikan, bahkan cenderung stagnan. Perkembangan ekspor
yang stagnan perlu diberi perhatian khusus karena Indonesia sebagai negara yang
mempunyai keanekaragaman hayati yang berlimpah dan lahan pertanian yang luas
seharusnya memproduksi dan mengeskpor produk pertanian khususnya produk
hortikultura sehingga dapat mensejahterakan petani dan rakyat Indonesia. Ada
beberapa faktor yang menyebabkan stagnannya ekspor produk hortikultura yaitu
faktor dayasaing produk dan tingkat produksi serta adanya hambatan
perdagangan. Walaupun ada banyak faktor yang mempengaruhi kinerja ekspor
produk hortikultura, standar keamanan pangan yang semakin ketat diterapkan di
negara importir diindikasikan sebagai salah satu hambatan utama dalam
perdagangan produk hortikultura sekarang ini setelah era hambatan tarif mulai
berakhir.
Penelitian ini mencoba melakukan analisis dayasaing serta analisis
dampak penerapan standar keamanan pangan terhadap kinerja ekspor beberapa
produk hortikultura andalan Indonesia serta membandingkan standar keamanan
pangan di berbagai negara dengan standar keamanan pangan yang diterapkan di
Indonesia.
Sehingga permasalahan yang ada dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana kinerja ekspor produk hortikultura utama Indonesia?
2. Bagaimana dayasaing produk hortikultura Indonesia di pasar dunia?
3. Bagaimana penerapan standar keamanan pangan di berbagai negara tujuan
ekspor produk hortikultura Indonesia?
4. Bagaimana dampak penerapan standar keamanan pangan di negara tujuan
ekspor terhadap kinerja ekspor produk hortikultura Indonesia?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latarbelakang dan perumusan masalah, penelitian ini
bertujuan :
1. Mendeskripsikan kinerja ekspor produk hortikultura Indonesia.
2. Menganalisis dayasaing beberapa produk hortikultura Indonesia di pasar dunia.
3. Menganalisis penerapan standar keamanan pangan di berbagai negara tujuan
ekspor.
4. Menganalisis pengaruh penerapan standar keamanan pangan di negara tujuan
ekspor produk hortikultura Indonesia terhadap kinerja ekspor produk
hortikultura Indonesia.
8
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu memberikan masukan
bagi pengambil kebijakan di bidang pertanian khususnya produk hortikultura yang
dapat mendukung peningkatan ekspor produk hortikultura dan peningkatan
kualitas produk melalui penerapan berbagai standar keamanan pangan.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini berfokus menganalisis posisi dayasaing dan dampak
penerapan standar keamanan pangan di negara tujuan ekspor utama terhadap
kinerja ekspor produk hortikultura yang berhubungan dengan pangan (buahbuahan, sayuran dan tanaman biofarmaka). Negara tujuan ekspor untuk tiap
komoditi berbeda-beda. Produk hortikultura yang dianalisis yaitu yang
mempunyai kontribusi ekspor yang signifikan yaitu produk sayuran : bunga kol
(HS 070410), kubis (HS 070490), jamur (HS 070951); produk buah-buahan :
pisang (HS 080300), jambu mangga manggis (HS 080450), rambutan (HS
081090); dan produk biofarmaka : jahe (091010) dan temulawak (HS 091030).
Periode data antara tahun 2003 sampai dengan 2013. Selain itu, penelitian juga
membandingkan standar keamanan pangan yang diterapkan di negara tujuan
ekspor dan di Indonesia secara deskriptif.
Penelitian ini melakukan analisis dayasaing dengan alat analisis Revealed
Comparative Advantage (RCA) dan Export Product Dynamics (EPD). Sedangkan
analisis dampak standar keamanan pangan terhadap ekspor produk hortikultura
secara kuantitatif dengan gravity model yang menjelaskan hubungan antara
volume ekspor (buah-buahan, sayuran dan tanaman biofarmaka) dengan variabelvariabel produksi, GDP negara eksportir dan importir, jarak ekonomi, tarif ad
valorem dan maximum residual limit pestisida tertentu serta indeks dayasaing
RCA.
9
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teoritis
Teori Perdagangan Internasional
Suatu negara terlibat dalam perdagangan internasional karena dua alasan,
pertama karena tiap negara berbeda satu dan lainnya. Negara sebagai sebuah
individu dapat mengambil manfaat dari perbedaan dengan bekerjasama dengan
negara lain. Kedua, negara terlibat dalam perdagangan internasional untuk
mencapai skala ekonomi dalam produksi (Krugman dan Obstfeld, 2003).
Negara A (Ekspor)
Perdagangan Internasional
Negara B (Impor)
Sumber : Salvatore, 1997
Gambar 3 Kurva perdagangan internasional
Dari Gambar 3 dapat dijelaskan bahwa suatu negara (negara A) akan
mengekspor suatu komoditi ke negara lain (negara B) apabila harga domestik
negara A (sebelum terjadinya perdagangan internasional) relatif lebih rendah bila
dibandingkan dengan harga domestik negara B. Stuktur harga yang terjadi di
negara A lebih rendah karena produksi domestiknya lebih besar daripada
konsumsi domestiknya sehingga di negara A telah terjadi excess supply (memiliki
kelebihan produksi). Dengan demikian, negara A mempunyai kesempatan
menjual kelebihan produksinya ke negara lain. Dilain pihak, di negara B terjadi
kekurangan supply karena konsumsi domestiknya lebih besar daripada produksi
domestiknya (excess demand) sehingga harga yang terjadi di negara B lebih
tinggi. Dalam hal ini negara B berkeinginan untuk membeli suatu produk dari
negara lain yang relatif lebih murah. Jika kemudian terjadi komunikasi antara
negara A dengan negara B, maka akan terjadi perdagangan antar keduanya dengan
harga yang diterima oleh kedua negara adalah sama.
Konsep perdagangan bebas untuk pertama kali diperkenalkan oleh Adam
Smith pada awal abad ke-19 dengan teori keunggulan absolut (absolute
advantage). Teori Adam Smith kemudian disempurnakan oleh David Ricardo
(1817) dengan model keunggulan komparatif (The Theory of Comparative
Advantage). David Ricardo mengatakan bahwa keunggulan komparatif akan
tercapai jika suatu negara mampu memproduksi barang dan jasa dengan biaya
pengorbanan yang lebih murah dibandingkan negara lain (Salvatore, 1997).
10
Perdagangan antara dua negara akan menguntungkan kedua belah pihak jika
masing-masing negara memproduksi dan mengekspor produk yang keunggulan
komparatifnya dikuasai. Teori klasik Ricardo tersebut selanjutnya dikembangkan
oleh Heckscher-Ohlin (H-O) dengan The Theory of Factor Proportions (1949 –
1977). Model H-O mengatakan bahwa walaupun tingkat teknologi yang dimiliki
sama, perdagangan internasional akan tetap terjadi bila ada perbedaan
kepemilikan faktor produksi (factor endowment) diantara masing-masing negara.
Satu negara dengan kepemilikan kapital berlebih akan berspesialisasi dan
mengekspor komoditi padat kapital (capital-intensive goods), dan sebaliknya
negara dengan kepemilikan tenaga kerja berlebih akan memproduksi dan
mengekspor komoditi padat tenaga kerja (labor-intensive goods).
Berdasarkan teori H-O, keunggulan komparatif suatu negara ditentukan
oleh faktor kelangkaan relatif (rasio faktor endowment relatif terhadap dunia atau
suatu kumpulan negara). Namun demikian, telah diketahui bahwa pengukuran
keunggulan komparatif dan menguji teori H-O mempunyai beberapa kesulitan
(Balassa, 1989) karena harga relatif dibawah autarky tidak dapat teramati.
Berdasarkan fakta ini, Balassa mengusulkan bahwa keunggulan komparatif
diungkapkan oleh pola perdagangan yang teramati dan sejalan dengan teori.
Balassa memperoleh suatu indeks (disebut indeks Balassa) yang mengukur
keunggulan komparatif suatu negara. Indeks ini mengidentifikasi apakah suatu
negara mempunyai keunggulan komparatif terungkap dibandingkan menentukan
sumber dari keunggulan komparatif. Sejak pertama kali diusulkan oleh Balassa,
definisi RCA telah beberapa kali direvisi dan dimodifikasi sehingga sekarang ada
beberapa metode perhitungan.
Hambatan Perdagangan
Konsep proteksi dalam perdagangan internasional berarti usaha-usaha
pemerintah yang membatasi atau mengurangi jumlah barang yang diimpor dari
negara-negara lain dengan tujuan untuk mencapai beberapa tujuan tertentu yang
penting artinya dalam pembangunan negara dan kemakmuran perekonomian
negara. Hambatan perdagangan dibagi dua yaitu hambatan tarif dan hambatan non
tarif.
Hambatan Tarif
Tarif merupakan suatu kebijakan perdagangan yang paling umum yaitu
pajak yang dikenakan atas barang-barang yang diimpor. Selain itu, tarif
merupakan bentuk kebijakan perdagangan yang paling tua dan secara tradisional
telah digunakan sebagai sumber penerimaan pemerintah (Krugman & Obsfeld,
2003). Tarif adalah hambatan perdagangan yang berupa penetapan pajak atas
barang-barang impor atau barang-barang dagangan yang melintasi daerah pabean
(custom area). Apabila suatu barang impor dikenakan tarif, maka harga jual
barang tersebut di negara pengimpor menjadi lebih tinggi sehingga menyebabkan
masyarakat enggan untuk membeli barang tersebut, sehingga barang-barang hasil
produksi dalam negeri lebih banyak dibeli oleh masyarakat.
Menurut Krugman dan Obstfeld (2003) mekanisme perhitungan tarif, dibagi :
Ad valorem duties, yakni biaya pabean yang tingginya dinyatakan dalam
presentasi dari nilai barang yang dikenakan bea tersebut.
11
Specific duties, yakni biaya pabean yang tingginya dinyatakan untuk setiap
ukuran fisik dari barang yang dikenakan bea tersebut.
Compound duties, yakni biaya pabean yang tingginya adalah hasil kombinasi
dari ad valorem dan specific duties.
Hambatan Non Tarif
Pemerintah membuat peraturan administratif yang bersifat teknis yang
berhubungan dengan standar produk, keamanan pangan, kesehatan, standar
lingkungan, keselamatan listrik yang dapat menghambat masuknya produk
impor. Non Tariff Measures (NTMs) mencakup semua kebijakan yang
berhubungan dengan biaya perdagangan yang dikeluarkan mulai dari produksi
sampai dengan konsumen akhir, kecuali kebijakan tarif. Klasifikasi NTMs oleh
UNCTAD adalah taksonomi semua aturan-aturan yang dianggap relevan dalam
situasi saat ini dalam perdagangan internasional. Klasifikasi tersebut adalah
proses berkembang yang harus beradaptasi dengan realitas perdagangan dan
kebutuhan pengumpulan data internasional. Klasifikasi ini terdiri atas aturanaturan teknis dan non-teknis, seperti aturan Sanitary and Phitosanitary (SPS),
Technical Barrier to Trade (TBT) dan aturan tradisional lainnya digunakan
sebagai instrumen kebijakan komersial, misalnya kuota, pengendalian harga,
pembatasan ekspor, atau tindakan perlindungan perdagangan kontingen, serta
aturan-aturan di kawasan pabean, seperti kompetisi, aturan investasi yang
terkait dengan perdagangan, pengadaan pemerintah atau pembatasan distribusi.
Klasifikasi aturan-aturan non-tarif meliputi 16 bab (A ke P), dan setiap
bab dibagi menjadi kelompok dengan kedalaman hingga tiga tingkat. Bab A
berhubungan dengan Sanitary and Phytosanitary, yang umumnya disebut
sebagai SPS. Bab ini mengumpulkan aturan-aturan seperti pembatasan untuk
bahan pangan dan memastikan keamanan pangan, dan hal tersebut untuk
mencegah penyebaran penyakit atau hama. Bab A juga mencakup semua
aturan-aturan penilaian kesesuaian yang berhubungan dengan keamanan
pangan, seperti sertifikasi, pengujian dan inspeksi, dan karantina.
Definisi SPS measures yaitu aturan yang diterapkan untuk melindungi
kehidupan manusia dan dan hewan dari risiko akibat bahan tambahan pangan,
kontaminan, racun atau organisme penyebab penyakit dalam pangan yang
dikonsumsi; untuk melindungi manusia dari tanaman atau hewan pembawa
penyakit; untuk melindungi hewan atau tanaman dari hama, penyakit atau
organisme penyebab penyakit; untuk mencegah atau membatasi kerusakan ke
sebuah negara dari masuk dan berkembang atau penyebaran hama; dan untuk
melindungi keanekaragaman hayati. Aturan ini juga melindungi kesehatan ikan
dan hewan liar dan juga hutan dan tanaman liar.
Secara lebih rinci, Sanitary and Phitosanitary dibagi menjadi aturan teknis
dan prosedur penilaian kesesuaian. Aturan teknis mencakup larangan impor
karena alasan SPS; batas toleransi residu dan zat yang dilarang digunakan;
pelabelan, penandaan dan persyaratan pengemasan; persyaratan higienis;
perlakuan untuk menghilangkan hama tanaman dan hewan serta organisme
penyebab penyakit pada produk akhir; persyaratan lain pada proses produksi atau
pasca produksi. Prosedur penilaian kesesuaian mencakup beberapa beberapa hal
yaitu persyaratan registrasi produk, persyaratan pengujian, persyaratan sertifikasi,
12
persyaratan inspeksi, persyaratan ketertelusuran dan persyaratan karantina serta
persyaratan lain yang menyangkut SPS.
Sumber : UNCTAD, 2012
Gambar 4 Klasifikasi Non Tariff Measures
Kebijakan Standar Keamanan Pangan
Standar Sanitary and Phitosanitary adalah segala aturan yang diterapkan
untuk melindungi manusia atau hewan atau kesehatan dari resiko akibat bahan
tambahan, kontaminan, racun atau organisme penyebab penyakit dalam makanan,
minuman atau bahan pangan. Standar ini mencakup semua aturan, persyaratan dan
prosedur termasuk kriteria produk akhir; proses dan metode produksi; pengujian;
inspeksi, sertifikasi dan prosedur penerimaan; perlakuan karantina termasuk
persyaratan yang berhubungan dengan transportasi hewan atau tanaman, atau
dengan bahan yang dibutuhkan berhubungan penyelamatan selama pemindahan;
provisi pada metode statistik, prosedur pengambilan contoh dan metode pengujian
resiko; dan pengemasan serta persyaratan pelabelan secara langsung terkait
keamanan pangan (Osiemo, 2012).
Perjanjian tentang SPS mengamanatkan hak dan kewajiban negara anggota
WTO terkait perlindungan kesehatan manusia, hewan dan tanaman. Aturan SPS
didefinisikan sebagai aturan bagi negara anggota WTO diterapkan untuk :
Melindungi kesehatan atau hidup hewan dan tanaman dari resiko yang berasal
dari masuknya, pembentukan atau penyebaran hama, penyakit, organisme
pembawa penyakit atau organisme penyebab penyakit;
Melindungi hidup atau kesehatan manusia atau hewan dari resiko yang berasal
dari bahan tambahan, kontaminan, racun, atau organisme penyebab penyakit
pada makanan, minuman atau bahan pangan lainnya;
13
Melindungi kesehatan atau hidup manusia dari resiko yang berasal dari
tanaman atau hewan pembawa penyakit, dan dari hama hewan atau tanaman,
penyakit, organisme penyebab penyakit, atau dari masuknya,
perkembangbiakan atau penyebaran hama
Mencegah atau membatasi kerusakan karena masuknya, perkembangbiakan
atau penyebaran hama (WTO, 2012)11
Menurut Bank Dunia (2010)12 Perjanjian SPS ini mempunyai beberapa prinsip
antara lain:
Nondiskriminasi adalah tindakan yang sama diterapkan pada importir serta
produsen dalam negeri. Semua mitra dagang tunduk pada persyaratan yang
sama.
Transparansi adalah informasi tentang ketentuan SPS mudah diakses. Ada
prosedur yang ditetapkan untuk pemberitahuan dalam kasus tindakan baru atau
ada perubahan.
Proporsional adalah intervensi yang sebanding dengan risiko kesehatan yang
akan dikendalikan.
Kesetaraan adalah adanya saling pengakuan antara mitra dari tindakan yang
berbeda untuk mencapai tingkat perlindungan yang sama.
Penggunaan tindakan berbasis ilmu pengetahuan : langkah-langkah untuk
melindungi tanaman, hewan, dan kesehatan manusia didasarkan pada prinsipprinsip ilmiah dengan bukti ilmiah yang cukup. Umumnya, hal ini
membutuhkan penilaian resiko dan definisi tingkat resiko yang dapat diterima
Regionalisasi. Prinsip ini mengakui kemungkinan penyakit atau negara-hama
yang terkena memiliki area penyakit atau bebas hama atau wilayah dan
memungkinkan ekspor dari penyakit tersebut atau daerah bebas hama atau
wilayah.
Penelitian-penelitian yang berhubungan dengan standar keamanan
pangan menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kebijakan standar keamanan
pangan yaitu penerapan batas ambang maksimum residu pestisida atau racun
tertentu. Maximum Residual Limit (MRL) adalah indeks yang mewakili
konsentrasi maksimum residu pestisida (dinyatakan sebagai mg/kg) secara hukum
diizinkan dalam komoditas pangan dan pakan ternak. Batas maksimum residu
pada impor pangan ditetapkan oleh masing-masing negara dan yang diterapkan
sebagai standar peraturan di perbatasan/kawasan pabean. Penelitian Otsuki et al.
(2004) menggunakan Chlorpyrifos MRL pada buah pisang. Penelitian Chen et al.
(2008) menggunakan Chlorpyrifos MRL pada sayuran dan Oxytetracycline MRL
pada produk perikanan. Penelitian Wei et al (2012) menggunakan Endosulfan,
Fenvalerate, Flucythrinate MRL pada produk teh. Penelitian Wei et al. (2012)
yang lain juga menggunakan Chloromycetin MRL pada produk madu. Penelitian
Nugroho (2014) menggunakan batas ambang maksimum pada Ochratoxin A yang
diterapkan di Uni Eropa dan Carbaryl yang diterapkan di Jepang untuk produk
kopi.
11
http://www.wto.org/english/tratop_e/sps_e/sps_e.htm
Sanitary and phitosanitary measures. Enhancing agro-food trade in the Lao PDR. World
Bank : Briefing note. Trade Development Issue3, June 2010
12
14
Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang dampak hambatan perdagangan non tarif telah banyak
dilakukan, akan tetapi di Indonesia sendiri penelitian mengenai dampak penerapan
standar keamanan pangan terhadap ekspor produk hortikultura masih sangat
terbatas. Penelitian mengenai hal ini banyak menggunakan Gravity Model. Otsuki
et al. (2001) meneliti dampak harmonisasi baru terhadap standar aflatoxin yang
diterapkan di Uni Eropa terhadap ekspor pangan dari Afrika. Analisis
menggunakan gravity model untuk mengestimasi dampak perubahan dalam
tingkat perbedaan proteksi dalam standar Uni Eropa yang dibandingkan dengan
standar internasional. Penelitian ini menggunakan data survei perdagangan dan
peraturan dari lima belas negara Eropa dan sembilan negara Afrika antara tahun
1989 sampai dengan 1998. Hasil penelitian yaitu implementasi standar aflatoxin
yang baru di Uni Eropa mempunyai dampak negatif terhadap ekspor produk
sereal, buah kering dan kacang dari Afrika. Standar baru ini akan menyelamatkan
1.4 nyawa per milyar orang dan akan menurunkan ekspor sebanyak 64 % atau
senilai US $ 670 juta.
Penelitian Nugroho (2014) meneliti pengaruh regulasi yang spesifik
terhadap perdagangan kopi Indonesia dibandingkan dengan peraturan umum
dunia tentang standar keamanan pangan kopi. Model yang digunakan yaitu gravity
model dengan panel data sepuluh negara importir kopi dalam periode 2002 sampai
dengan 2011. Kesimpulan penelitian ini yaitu bahwa regulasi tentang Ochratoxin
A yang diterapkan oleh semua negara pengimpor mempunyai pengaruh signifikan
terhadap perdagangan kopi Indonesia dibandingkan regulasi spesifik yang
diterapkan oleh suatu negara (Jepang).
Wei et al. (2012) meneliti dampak penerapan standar keamanan pangan
terhadap ekspor teh dari China. Model yang digunakan yaitu gravity model
dengan data sebanyak 31 (tiga puluh satu) negara importir teh selama periode
1996 sampai dengan 2009. Kesimpulan yang dihasilkan yaitu penerapan batas
ambang maksimal pestisida oleh negara importir teh berpengaruh signifikan
terhadap ekspor pr