Analisis Kerentanan Petani Di Daerah Dengan Bahaya Banjir Tinggi Di Kabupaten Karawang

ANALISIS KERENTANAN PETANI DI DAERAH DENGAN
BAHAYA BANJIR TINGGI DI KABUPATEN KARAWANG

TOMMI
H152124031

PROGRAM PASCASARJANA
ILMU PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH DAN PERDESAAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul ANALISIS
KERENTANAN PETANI DI DAERAH DENGAN BAHAYA BANJIR TINGGI
DI KABUPATEN KARAWANG adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian
Bogor.

Bogor, September 2016

Tommi
NIM H152124031

RINGKASAN

TOMMI. Analisis Kerentanan Petani di Daerah dengan Bahaya Banjir Tinggi di
Kabupaten Karawang. Dibimbing oleh BABA BARUS dan ARYA HADI
DHARMAWAN
Banjir merupakan bencana yang sering terjadi di Kabupaten Karawang.
Penyebab banjir di wilayah ini disebabkan oleh kondisi DAS Citarum Hulu yang
buruk. Kondisi DAS Citarum yang buruk terlihat dari luas hutan yang sedikit
sehingga menyebabkan erosi dan peningkatan debit jauh lebih tinggi ketika musim
hujan. Debit sungai yang jauh meningkat ketika musim hujan menyebabkan banjir di

daerah hilir seperti Karawang. Banjir yang terjadi di Kabupaten hampir selalu
menyebabkan kegagalan panen. Data dari Distanhut Kabupaten Karawang dari
musim tanam 2008/2009 hingga 2013/2014 rata – rata luas tanaman padi yang
mengalami gagal panen (puso) mencapai 219,84 ha. Kondisi ini tentunya merupakan
ancaman bagi kehidupan petani di Kabupaten Karawang. Maka dari itu, penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis tingkat kerusakan DAS Citarum Hulu, menganalisis
tingkat bahaya banjir di Kabupaten Karawang, dan menganalisis tingkat kerentanan
nafkah petani di Kabupaten Karawang.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus hingga Desember 2015 dalam
3 tahapan. Tahapan pertama yaitu melakukan analisis kerusakan DAS Citarum Hulu.
Parameter yang digunakan dalam analisis ini adalah KRS, Koefisien Aliran
Permukaan, Indeks Erosi, Laju Sedimentasi, dan Luas Vegetasi Permanen. Nilai
gabungan dari parameter tersebut akan menghasilkan tingkat kerusakan DAS Citarum
Hulu. Tahapan kedua adalah melakukan analisis tingkat bahaya banjir di Kabupaten
Karawang. Analisis ini dilakukan pada sebaran lahan sawah di Kabupaten Karawang
yang dialiri Sungai Citarum. Parameter yang digunakan dalam analisis ini adalah
curah hujan, drainase tanah, dan data historis banjir di lahan sawah yang terdiri dari
tinggi genangan, lama genangan, dan frekuensi banjir selama 5 tahun terakhir. Hasil
dari analisis ini akan menghasilkan peta tingkat bahaya banjir lahan sawah di
Kabupaten Karawang. Tahapan ketiga dalam penelitian ini adalah menganalisis

tingkat kerentanan nafkah petani di daerah dengan dengan bahaya banjir tinggi.
Responden petani yang diambil dalam analisis ini adalah petani yang berada di
daerah dengan bahaya banjir tinggi. Parameter yang digunakan dalam analisis ini
adalah kelima sumber modal yaitu modal manusia, fisik, alam, finansial, dan sosial.
Hasil dari analisis ini akan menghasilkan indeks kerentanan nafkah (LVI) dan peta
kerentanan nafkah petani di daerah dengan dengan bahaya banjir tinggi.
Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini adalah untuk tingkat kerusakan
DAS Citarum Hulu berada pada kriteria agak buruk dengan nilai 3,57. Parameter
yang buruk terdapat pada nilai KRS yang tinggi, indeks erosi (IE) yang tinggi, dan
luas vegetasi permanen yang masih rendah. Tingkat bahaya banjir di Kabupaten
Karawang secara keseluruhan masih berada pada tingkat bahaya sedang. Namun, ada

tiga wilayah yang berada pada tingkat bahaya banjir tinggi yaitu Kecamatan
Jayakerta, Kecamatan Telukjambe Barat, dan Telukjambe Timur. Kerentanan nafkah
petani di daerah dengan bahaya banjir tinggi didapatkan bahwa petani di Dusun
Pengasinan dan Dusun Kampek Desa Karangligar Kecamatan Telukjambe Barat
kerentanan nafkahnya lebih tinggi dibandingkan dengan Dusun Peundeuy Desa
Ciptamarga Kecamatan Jayakerta.
Kerentanan nafkah petani di Dusun Pengasinan yang paling tinggi disebabkan
oleh penguasaan modal yang masih rendah yaitu modal manusia, fisik, dan finansial.

Kerentanan modal petani di Dusun Kampek yang juga tinggi namun masih lebih
rendah dibandingkan dengan Dusun Pengasinan juga disebabkan penguasaan modal
yang rendah pada modal manusia, fisik, dan finansial. Kerentanan nafkah petani yang
rendah di Dusun Peundeuy disebabkan oleh penguasaan keseluruhan modal yang
lebih kuat dibandingkan dengan Dusun Pengasinan dan Dusun Kampek.
Kata Kunci: banjir, kerentanan nafkah, tingkat bahaya

SUMMARY

TOMMI. Vulnerability Analysis Of Farmers In Areas With High Flood
Hazards In The District Karawang. Supervised by BABA BARUS and
ARYA HADI DHARMAWAN
Floods often happened in the Karawang District. It is caused by the bad
condition of Citarum Hulu Watershed that has been seen from the fact that is
deforested area. Conversion of land leds to erosion and highly rate of run-off in rainy
season. High streamflow when rainy caused flooding in downstream area especially
in the Karawang District. Floods always make a failure of crop in Karawang District.
Data from Distanhut of Karawang District period 2008/2009 to 2013/2014 showing
the average of failure field area was 219.84 ha. This condition become a threat to a
farmer life in the Karawang District. Therefore, this study aimed to analyze the

damage level of Citarum Hulu Watershed, to analyze the level of flood hazard in
Karawang District, and to analyze the vulnerability of farmers livelihood in the
Karawang District.
Time of the research are from August to December of 2015. The research
consists of three steps. The first step is to analyze the damage of Citarum Hulu
Watershed. The parameters in this analysis are KRS, Run-off Coefficient, Erosion
Index, Sedimentation Rate, and Permanent Vegetation Area. The combined value of
these parameters will show the damage level result of Citarum Hulu Watershed. The
second step is to analyze the level of flood hazard in the Karawang District. The
analysis was carried out on the distribution of paddy field in Karawang District that
flow by Citarum River. The parameters in this analysis are rainfall, soil drainage, and
flooding in the historical data that consists of high inundation of paddy fields, long
inundation, and frequency of floods during the last 5 years. The results of this
analysis is a map of hazard level flooding of paddy field in Karawang District. The
third step is to analyze the vulnerability of farmers livelihood in areas with high flood
hazard. Respondents farmers who live in areas with high flood hazard. The
parameters are fifth source of capital such as human capital, physical, natural,
financial, and social. The results of this analysis will produce a Living Vulnerability
Index (LVI) and map of livelihood vulnerability of farmers in are with high flood
hazard.

The results of damage Citarum Hulu Watershed currently on criteria semipoor with a score 3.57. Poor Parameter values contained in high value of KRS, high
value of Erosion Index (IE), and low value of vegetation permanent area. Overall,
flood hazard level in the Karawang District is still at the middle. However, there are
three areas that are at high flood hazard level are Jayakerta sub District, West
Telukjambe sub disctrict and East Telukjambe sub distict. The livelihood
vulnerability of farmers living in areas with high flood hazard was found that farmers
in Dusun Pengasinan and Dusun Kampek Karangligar Village District of West

Telukjambe, their livelihood vulnerabilities higher than Dusun Peundeuy Village
Jayakerta sub district of Ciptamarga.
The livelihood vulnerability of farmers in the Dusun Pengasinan is highest
caused by the own of capital is still low such as human capital, physical, and
financial. The livelihood vulnerability of farmers capital in the Dusun Kampek is
also high but still lower than the Dusun Pengasinan, it is caused by the low of own
capital on human capital, physical, and financial. The lower livelihood vulnerability
of farmers in the Dusun Peundeuy caused by the all control of a own capital bigger
than Dusun Pengasinan and Dusun Kampek.
Keywords: flood, livelihood vulnerability, the level of hazard

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS KERENTANAN PETANI DI DAERAH DENGAN
BAHAYA BANJIR TINGGI DI KABUPATEN KARAWANG

TOMMI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Sidang Tesis : Prof.Dr.Ir M. Parulian Hutagaol, M.Sc

i

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME atas segala karuniaNya sehingga Tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini
ialah bencana banjir dengan judul: Analisis Kerentanan Petani di Daerah dengan
Bahaya Banjir Tinggi di Kabupaten Karawang.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr.Ir.
Baba Barus, M.Sc dan Dr.Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr yang telah
membimbing, mengarahkan dan memotivasi penulis selama menempuh studi di
institusi ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada ketua Program Studi PWD
IPB Prof. Dr.Ir. Bambang Juanda, MS, Sekretaris Program Studi PWD Dr.Ir Sri
Mulatsih, M.Sc.Agr, dan seluruh tenaga pengajar di Program Studi PWD IPB yang
telah memberikan banyak ilmu selama kuliah di Program Studi PWD IPB.
Selain itu penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada BPDAS

Citarum Ciliwung, BBWS Citarum, Dinas PSDA Jawa Barat, Dinas Pertanian
Kabupaten Karawang, dan seluruh warga Desa Karangligar dan Desa Ciptamarga
yang telah membantu penulis memberikan informasi yang dibutuhkan dalam
penulisan tesis ini.
Penulis menyampaikan terimakasih dan rasa hormat setinggi-tingginya
kepada kedua orang tua Stefanus Tani S. Meliala (Alm) dan Sugiarti Mahyudin
kakak - kakak, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Ucapan
terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman PWD atas kebersamaan selama
ini, serta semua pihak yang telah membantu dalam diskusi, saran, doa hingga tesis ini
terselesaikan dengan baik.
Semoga tesis ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya.
Bogor, September 2016

Tommi

ii

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
DAFTAR BOX

ii
iv
v
vi
vi

1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kerangka Pemikiran

1
2
9

10
10

2. TINJAUAN PUSTAKA
Banjir
Bahaya
Indeks Bahaya/Ancaman
Kerentanan
Indeks Kerentanan Banjir
Kerentanan Nafkah

11
13
13
14
15
16

3. METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Bahan dan Alat
Teknik Pengumpulan Data
Prosedur Analisis Data

17
18
18
23

4. GAMBARAN UMUM
Kabupaten Karawang

34

5. KERUSAKAN DAS CITARUM HULU
Koefisien Regim Sungai (KRS)
Koefisien Aliran Permukaan (C)
Laju Sedimentasi (Qs)
Indeks Erosi (IE)

41
42
43
43

iii

Indeks Penutupan Lahan (IPL)
6. ANALISIS TINGKAT BAHAYA BANJIR
Curah Hujan
Drainase
Frekuensi Banjir
Tinggi Genangan
Lama Genangan
7. KERENTANAN NAFKAH PETANI TERHADAP BAHAYA BANJIR
Modal Manusia
Modal Alam
Modal Fisik
Modal Sosial
Modal Finansial
Pengaruh Modal terhadap Kerentanan
Indeks Kerentanan Nafkah

44

50
52
54
57
58

69
71
73
75
77
79
80

8. SINTESIS PENELITIAN
Konsep Pendekatan Bioregional
Pendekatan Sosio Kultural

87
98

9. KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
SARAN

100
101

DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

101
109

iv

DAFTAR TABEL
1. Data Lokasi Bencana Banjir Kabupaten Karawang
Tahun 2007 – 2014
2. Perubahan Penggunaaan Lahan DAS Citarum Hulu Tahun
2001 dan 2011
3. Metode dan Prosedur Analisis Data
4. Kriteria Nilai KRS dalam Penilaian Kerusakan DAS
5. Kriteria Nilai Koefisien Aliran Permukaan dalam Penilaian Kerusakan DAS
6. Berat Jenis Tanah pada Berbagai Jenis Tanah
7. Kriteria Laju Sedimentasi (Qs) dalam Penilaian Kerusakan DAS
8. Nilai SDR berdasarkan Luas DAS
9. Pedoman penetapan nilai erosi yang dibolehkan (T) di Indonesia
10. Kriteria Nilai Indeks Erosi (IE) dalam Penilaian Kerusakan DAS
11. Kriteria Nilai Indeks Penggunaan Lahan (IPL) dalam
Penilaian Kerusakan DAS
12. Kriteria Nilai Kinerja DAS
13. Skor dan Kriteria Penilaian Tingkat Bahaya Banjir
14. Jumlah Penduduk Kabupaten Karawang Per Kecamatan Tahun 2014
15. Luas Penggunaan Lahan Kabupaten Karawang Tahun 2013
16. Hasil Perhitungan KRS DAS Citarum Hulu Tahun 2009 - 2014
17. Hasil Perhitungan Koefisien Aliran Permukaan DAS Citarum Hulu
Tahun 2009 - 2014
18. Hasil Perhitungan Laju Sedimentasi DAS Citarum Hulu
Tahun 2009 - 2014
19. Land Cover DAS Citarum Hulu Tahun 2013
20. Hasil Penilaian Kinerja DAS Citarum Hulu Tahun 2009 – 2014
21. Sebaran Luas Kelas Curah Hujan di Kabupaten Karawang Tahun 2015
22. Luas Kelas Drainase Tanah di Kabupaten Karawang Tahun 2015
23. Frekuensi Banjir di Kabupaten Karawang Dalam Kurun
Waktu Tahun 2009 - 2014
24. Tinggi Rata – Rata Genangan Banjir di Kabupaten
Karawang Tahun 2009 – 2014
25. Lama Rata - Rata Genangan Banjir di Kabupaten
Karawang Tahun 2009 - 2014
26. Tingkat Bahaya Banjir Kabupaten Karawang Tahun 2015
27. Luas Penggunaan Lahan Desa Karangligar Kecamatan
Telukjambe Barat Tahun 2015
28. Luas Penggunaan Lahan Desa Ciptamarga Kecamatan Jayakerta

5
8
20
25
25
26
26
27
27
28
28
29
31
38
40
42
42
43
45
46
52
53
55
58
59
62
67

v

Tahun 2015
29. Modal Manusia Desa Karangligar dan Desa Ciptamarga
Tahun 2015
30. Modal Alam Desa Karangligar dan Desa Ciptamarga Tahun 2015
31. Modal Fisik Desa Karangligar dan Desa Ciptamarga Tahun 2015
32. Modal Sosial Desa Karangligar dan Desa Ciptamarga Tahun 2015
33. Modal Finansial Desa Karangligar dan Desa Ciptamarga Tahun 2015
34. Nilai LVI Desa Karangligar dan Desa Ciptamarga
Tahun 2015

68
70
72
74
76
78
80

DAFTAR GAMBAR
1. Perubahan Pola Curah Hujan Kabupaten Karawang
PeriodeTahun 1991-2000 dan 2001-2010
2. Curah Hujan Kabupaten Karawang Tahun 2009 – 2013
3. Koefisien Aliran Permukaan di DAS Citarum Hulu Tahun 2009- 2014
4. Koefisien Regim Sungai DAS Citarum Hulu Tahun 2009 – 2014
5. Volume Sedimentasi di DAS Citarum Hulu Tahun 2002 – 2007
6. Rata - Rata Luas Sawah Gagal Panen di Kabupaten Karawang
Musim Tanam 2008/2009 – 2013/2014
7. Kerangka Pemikiran
8. Peta Lokasi Penelitian
9. Tahahapan Analisis Penelitian
10. Analisis Kerusakan DAS Citarum Hulu
11. Tahapan Analisis Bahaya Banjir
12. Tahapan Analisis Kerentanan Nafkah
13. Peta Administrasi Kabupaten Karawang
14. Peta Daerah Aliran Sungai Citarum Tahun 2013
15. Peta Topografi Kabupaten Karawang Tahun 2015
16. Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Karawang Tahun 2013
17. Peta Tutupan Lahan DAS Citarum Hulu Tahun 2013
18. Peta Kinerja DAS Citarum Hulu Tahun 2014
19. Peta Curah Hujan Kabupaten Karawang Tahun 2015
20. Peta Drainase Tanah di Kabupaten Karawang Tahun 2015
21. Peta Frekuensi Banjir di Kabupaten Karawang dalam
Kurun Waktu Tahun 2009 – 2014
22. Peta Rata - Rata Tinggi Genangan Banjir di Kabupaten Karawang
Tahun 2009 – 2014
23. Peta Rata - Rata Lama Genangan Banjir di Kabupaten Karawang

3
4
6
7
7
9
11
18
23
24
30
33
34
35
37
39
45
46
50
53
56
57

vi

Tahun 2009 – 2014
24. Peta Tingkat Bahaya Banjir di Kabupaten Karawang Tahun 2015
25. Peta Daerah Banjir di Desa Karangligar Kecamatan
Telukjambe Barat Kabupaten Karawang Tahun 2014
26. Peta Administrasi Desa Ciptamarga Kecamatan Jayakerta
Tahun 2014
27. Peta Daerah Banjir Desa Ciptamarga Kecamatan Jayakerta
Kabupaten Karawang Tahun 2014
28. Diagram Kerentanan Modal Nafkah Petani Dusun Pengasinan,
Dusun Kampek, dan Dusun Peundeuy Tahun 2015
29. Peta Kerentanan Nafkah Petani Desa Ciptamarga dan
Desa Karangligar Tahun 2015

DAFTAR BOX
1. Kerentanan Nafkah Petani di Dusun Pengasinan
2. Kerentanan Nafkah Petani di Dusun Kampek
3. Kerentanan Nafkah Petani di Dusun Peundeuy

60
61
66
67
69
79
83

81
82
84

DAFTAR LAMPIRAN
1. Peta Penggunaan Lahan Desa Karangligar
2. Peta Penggunaan Lahan Desa Ciptamarga
3. Indeks Kerentanan Nafkah Petani Desa Karangligar dan
Desa Ciptamarga Tahun 2015

107
107
108

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan pembangunan ketahanan pangan adalah untuk menjamin ketersediaan
dan konsumsi pangan seluruh penduduk yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi
seimbang, baik pada tingkat nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, Desa, Keluarga
hingga peorangan. Dalam mencapai tujuan tersebut, pemerintah mengeluarkan
kebijakan ketahanan pangan nasional yang diarahkan untuk (a) meningkatkan
ketersediaan dan penanganan kerawanan pangan;(b) meningkatkan sistem distribusi
dan stabilitas harga pangan;dan (c) meningkatkan pemenuhan kebutuhan konsumsi
dan keamanan pangan (DKP 2010).
Namun, dalam melaksanakan arahan kebijakan tersebut ada berbagai
permasalahan yang dihadapi seperti seperti pemanasan global, variabilitas iklim,
perubahan tata ekonomi global, dan lain sebagainya. Disamping itu, kenyataan
menunjukkan bahwa daya dukung alam untuk produksi pangan juga cenderung terus
menurun, diantaranya ketersediaan lahan subur semakin menyempit sebagai akibat
dari terjadinya alih fungsi lahan dan terjadinya degradasi lingkungan sehingga
menurunkan produktivitas dan produksi hasil pertanian.
Salah satu masalah yang cukup besar dalam meningkatkan ketersediaan dan
penanganan kerawanan pangan adalah perubahan iklim. Perubahan iklim merupakan
akibat dari adanya pemanasan global. Perubahan iklim sudah hampir dirasakan di
seluruh dunia. Gejala dari perubahan iklim tersebut yang sudah terlihat antara lain
kenaikan suhu udara, pergeseran awal musim, perubahan tinggi maupun keragaman
hujan, dan naiknya muka air laut. Perubahan iklim juga memberikan dampak
terhadap pergeseran awal musim hujan yang berlangsung lebih singkat dengan
intensitas curah hujan lebih tinggi, sedangkan musim kemarau/kering lebih panjang.
Musim kemarau yang lebih panjang dan musim hujan yang lebih singkat dengan
intensitas yang tinggi menyebabkan kejadian – kejadian ekstrim seperti banjir pada
musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau.
Banjir dan kekeringan merupakan fenomena perubahan iklim yang sangat
mengancam khususnya kawasan pertanian. Hal ini dikarenakan banjir dan kekeringan
sering menyebabkan gagal panen sehingga dapat menghambat produksi pertanian.
Bencana tersebut dapat mengakibatkan kehilangan hasil, menurunkan mutu hasil,
terganggunya kontinuitas produksi serta penurunan pendapatan petani. Selain itu
dapat menyebabkan ketidakpastian ketahanan pangan dan juga dalam jangka panjang
akan menyebabkan kemiskinan.
Salah satu fenomena perubahan iklim yang sering terjadi di Kabupaten
Karawang adalah banjir. Setiap tahun banjir hampir selalu melanda Kabupaten
Karawang. Selama Januari sampai Mei 2013, di Kabupaten Karawang terdapat 573
kejadian bencana hidrometeorologi yang mengakibatkan 253 orang meninggal dunia,
512.080 orang menderita dan mengungsi, 30.525 unit rumah rusak, dan puluhan
fasilitas umum seperti sekolah, rumah ibadah, dan sebagainya mengalami kerusakan
(BPLH 2013).

2

Selain perubahan iklim, banjir di Kabupaten Karawang juga disebabkan oleh
kondisi hulu DAS Citarum yang buruk. Kondisi hulu DAS Citarum yang buruk dapat
terlihat dari luas hutan yang semakin berkurang sementara lahan pertanian dan
pemukiman semakin meningkat. Luas hutan yang semakin berkurang menyebabkan
ketika musim hujan aliran permukaan meningkat sehinggadebit aliran sungai sangat
tinggi. Debit aliran sungai yang tinggi dari hulu menyebabkan daerah hilir seperti
Kabupaten Karawang sering terkena banjir.
Ancaman banjir di Kabupaten Karawang baik dari perubahan iklim maupun
kerusakan hulu DAS Citarum tentunya harus mendapatkan penanganan yang baik.
Hal ini dikarenakan Kabupaten Karawang merupakan daerah lumbung padi Jawa
Barat dan salah satu daerah yang memberikan kontribusi bagi kebutuhan beras
nasional rata-rata mencapai 865.000 ton beras/tahun (Dinas Pertanian, Kehutanan,
Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Karawang. Ancaman banjir harus segera
ditangani dengan baik agar potensi pangan Kabupaten Karawang yang sangat besar
tetap terjaga. Dalam lima tahun terakhir, banjir hampir selalu menyebabkan banyak
sawah yang gagal panen dan yang paling tinggi pada musim tanam tahun 2013/2014
dimana banjir menyebabkan 7.700 ha sawah gagal panen (Dinas Pertanian,
Kehutanan, Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Karawang). Kondisi ini sangat
mempengaruhi produksi pangan di wilayah tersebut. Sawah yang gagal panen
menyebabkan waktu panen menjadi mundur sehingga ketersediaan pangan di wilayah
tersebut akan berkurang. Jika ancaman banjir tidak bisa ditangani, tentu akan
mengancam ketahanan pangan di wilayah tersebut. Hal ini dikarenakan produksi
beras menurun sehingga akan mengurangi aksesibilitas konsumen terhadap bahan
pangan.
Ancaman banjir yang terus meningkat juga berdampak buruk terhadap
masyarakat Kabupaten Karawang. Masyarakat Kabupaten Karawang yang sebagian
besar pekerjaannya sebagai petani akan sangat rentan terhadap banjir. Ancaman
banjir yang terus meningkat tentunya akan meningkatkan kerentanan petani. Maka
dari itu, diperlukan penilaian tingkat kerusakan hulu DAS Citarum dan pemetaan
daerah bahaya banjir untuk mengetahui tingkat bahaya di setiap daerah. Adanya
pemetaan tersebut akan mempermudah penilaian kerentanan petani khususnya dalam
mengahadapi bahaya banjir. Kerentanan petani di daerah yang memiliki tingkat
bahaya banjir yang tinggi akan menjadi suatu acuan dalam menyusun suatu strategi
dalam menghadapi bahaya banjir.
Perumusan Masalah
Kebijakan ketahanan pangan untuk meningkatkan produksi pangan saat ini
dihadapkan pada ancaman pemanasan global. Pemanasan global menyebabkan terjadi
perubahan iklim dan peningkatan variabilitas iklim. Gejala perubahan iklim saat ini
sudah dirasakan hampir di seluruh dunia. Gejala – gejala tersebut diantaranya
peningkatan suhu udara, perubahan pola curah hujan, kenaikan muka air laut, dan
pergeseran musim. Gejala tersebut sering mengakibatkan kejadian – kejadian ekstrim
seperti banjir dan kekeringan.
Perubahan iklim juga sudah terlihat di Kabupaten Karawang. Kabupaten
Karawang yang sebagian besar didominasi oleh kawasan pertanian tentunya sangat

3

terpengaruh dengan adanya kejadian ekstrim yang disebabkan oleh perubahan iklim.
Salah satu perubahan iklim yang terlihat di Kabupaten Karawang adalah pola curah
hujan. Selama 20 tahun terakhir pola curah hujan Kabupaten Karawang mengalami
peningkatan. Gambar 1 menunjukkan pada periode 1991 – 2000 musim kemarau
lebih banyak daripada musim hujan. Musim hujan dan kemarau terjadi selama 6
bulan sedangkan pada periode 2001 – 2010 musim hujan lebih lama yaitu selama 8
bulan dan musim kemarau hanya terjadi 4 bulan.
400
350

Curah Hujan (mm)

300
250
200
150

1991-2000

100

2001-2010

50
0

Bulan
Sumber : Pramudia 2006 dan TRMM

Gambar 1. Perubahan Pola Curah Hujan Kabupaten Karawang PeriodeTahun
1991-2000 dan 2001-2010
Rata – rata intensitas curah hujan sangat tinggi khususnya pada bulan
Desember, Januari dan Februari. Bulan Maret, April, Mei, dan November
intensitasnya relatif sedang namun terjadi peningkatan yang sangat jauh. Sementara
pada musim kemarau Juni, Juli Agustus, dan September intensitasnya sangat rendah
dan tidak ada peningkatan curah hujan yang signifikan selama 20 tahun. Kondisi ini
sering sekali menyebabkan kejadian ekstrim seperti banjir pada musim hujan dan
kekeringan pada musim kemarau di Kabupaten Karawang.
Pola curah hujan tersebut juga masih terjadi dalam lima tahun terakhir. Curah
hujan di Kabupaten Karawang, cenderung mengalami peningkatan. Gambar 2
menunjukkan tahun 2009 hingga 2013 menunjukkan curah hujan tahunan mengalami
peningkatan kecuali hanya pada tahun 2011. Distribusi curah hujan menunjukkan
peningkatan umunya terjadi pada waktu musim hujan yaitu bulan Januari, November,
dan Desember. Peningkatan curah hujan yang sangat tinggi terjadi pada bulan
Januari.

4

800
2009

Curah hujan (mm)

700
600

2010

500
400

2011

300
2012

200
100

2013

0

Bulan

Sumber : BMKG 2015

Gambar 2. Curah Hujan Kabupaten Karawang Tahun 2009 – 2013

Kondisi curah hujan yang meningkat dalam 5 tahun terakhir khususnya pada
musim hujan menyebabkan wilayah ini sering terkena banjir ketika musim hujan.
Tabel 1 menunjukkan banjir selalu terjadi pada bulan Januari. Hal tersebut terlihat
pada tahun terjadi banjir yaitu tahun 2010, 2013, dan 2014. Banjir yang terjadi pada
bulan tersebut hampir selalu berdampak luas. Hal tersebut terlihat pada tahun 2007
dimana banjir melanda 21 kecamatan kemudian tahun 2013 melanda 14 kecamatan
dan tahun 2014 melanda 15 kecamatan. Curah hujan yang sangat tinggi pada bulan
Januari sangat berpengaruh terhadap terjadinya banjir di Kabupaten Karawang.
Banjir yang berdampak luas juga terjadi pada bulan Februari tahun 2008.
Banjir tersebut melanda 20 Kecamatan. Namun, banjir pada bulan Februari tahun
2014 banjir tidak berdampak luas hanya 3 Kecamatan. Kondisi ini menunjukan
bahwa banjir tidak terlalu sering terjadi di Kabupaten Karawang pada bulan Febrauari
dibandingkan dengan bulan Januari.
Banjir yang berdampak luas juga terjadi pada bulan Maret tahun 2010. Banjir
tersebut melanda 10 kecamatan di Kabupaten Karawang. Banjir yang terjadi selain
pada bulan Januari menunjukkan pengaruh curah hujan tidak terlalu kuat karena
curah hujan pada bulan lainnya jauh lebih rendah dibandingkan bulan Januari. Banjir
yang sering terjadi di wilayah ini mengakibatkan banyak sawah, rumah, dan fasilitas
umum yang rusak. Banjir juga banyak memakan korban jiwa.
Banjir pada bulan lainya seperti April, Mei, September, dan Desember terjadi
tidak berdampak luas. Banjir pada bulan tersebut hanya terjadi pada daerah – daerah

5

tertentu seperti Telukjambe Barat, Telukjambe Timur, dan Cilamaya Wetan. Banjir di
daerah tersebut tidak selalu terjadi karena curah hujan tinggi.
Tabel 1. Bencana Banjir Kabupaten Karawang Tahun 2007 – 2014
Tahun/Bulan

Kecamatan

Pangkalan
Tegalwaru
Ciampel
Telukjambe Timur
Telukjambe Barat

2
0
0
7

2
0
0
8

2
0
0
9

J
a
n

F
e
b

J
a
n

M M S O D
a e e k e
r i p t s

2014

A
p
r

J
a
n




J
a
n

F
e
b

A
p
r

D
e
s








√ √



























Cilamaya Kulon
Telagasari




Majalaya
Karawang Timur
Karawang Barat
Rawamerta
Tempuran
Kutawaluya
Rengasdengklok








Sumber : BNPB 2015

J
a
n

2013



Klari
Cikampek
Purwasari
Tirtamulya
Jatisari
Kotabaru
Cilamaya Wetan

Jayakerta
Pedes
Cilebar
Cibuaya
Tirtajaya
Batujaya
Pakisjaya

2010























√ √
































































Keterangan : √ = bencana banjir




















6

Selain karena curah hujan yang tinggi, banjir di Kabupaten Karawang juga
disebabkan oleh kondisi DAS Citarum yang semakin buruk khususnya di bagian
hulu. Kondisi DAS yang buruk dapat terlihat secara hidrologi dari aliran permukaan
yang tinggi. Nilai koefisien aliran permukaan (run-off) yang terdapat pada Gambar 3
menunjukkan nilai Koefisien Aliran Permukaan dalam dua titik tahun terakhir lebih
besar dari 0,5. Hal ini menunjukkan curah hujan yang turun di DAS Citarum kurang
dari 50 persen yang masuk ke dalam tanah dan lebih dari 50 % menjadi aliran
permukaan.

1.00
0.80
0.60
0.40
0.20
0.00
2009

2010

2011

2012

2013

2014

Sumber : BBWS Citarum 2013 diolah

Gambar 3. Koefisien Aliran Permukaan di DAS Citarum Hulu Tahun 2009- 2014
Koefisien aliran permukaan yang tinggi di DAS Citarum Hulu disebabkan
oleh kurangnya daerah resapan di sekitar hulu DAS Citarum. Sedikitnya luasan hutan
di DAS Citarum Hulu menyebabkan air hujan yang jatuh sedikit sekali yang masuk
ke dalam tanah sehingga air yang mengalir di permukaan lebih banyak. Aliran
permukaan yang meningkat membuat debit aliran sungai cepat meningkat. Debit
aliran sungai yang cepat meningkat di daerah hulu membuat daerah hilir sering
terkena banjir. Kondisi ini juga diperparah dengan kondisi daerah hilir yang juga
banyak pemukiman dan daerah industri. Kondisi ini membuat daerah hilir sering
mengalami banjir akibat pembuangan dari daerah hulu.
Aliran permukaan yang tinggi menyebabkan air yang masuk ke dalam sungai
cepat meningkat. Air yang cepat meningkat tersebut menyebabkan debit air sungai
ketika musim hujan jauh meningkat dibandingkan musim kemarau. Nilai koefisien
regim sungai (KRS) pada Gambar 4 menunjukkan nilai KRS sangat tinggi pada tahun
2013. Nilai pada tahun tersebut diatas 1.500. Nilai KRS yang tinggi menunjukkan
adanya perbandingan yang sangat jauh antara debit maksimum dan minimum.
Kondisi ini membuat daerah hulu ketika musim hujan tidak mampu menahan air dan
mengalirkannya ke dalam tanah, air hujan jatuh melimpas menjadi aliran permukaan
dan dialirkan ke sungai. Jumlah hujan yang tinggi dalam waktu yang sangat singkat

7

menyebabkan daerah hilir sering terjadi banjir. Selain itu, pada musim kemarau
sering terjadi kekerigan karena debit sungai yang sangat rendah.

1800.0
1500.0
1200.0
900.0
600.0
300.0
0.0
2009
2010
2011
Sumber : BBWS Citarum 2015 diolah

2012

2013

2014

Gambar 4. Koefisien Regim Sungai DAS Citarum Hulu Tahun 2009 – 2014

Tinginya Koefisien Aliran Permukaan, dan nilai KRS DAS Citarum sangat
dipengaruhi oleh perubahan penggunaan lahan yang terjadi di DAS Citarum Hulu.
Tabel 2 menunjukkan selama tahun 2001 hingga 2011 di DAS Citarum hulu terjadi
pengurangan luas hutan kurang lebih 1.300 ha. Luas hutan yang berkurang diikuti
dengan penambahan luas pemukiman dan pertanian lahan lahan kering campuran.
Luas hutan yang berkurang dan meningkatnya luas pemukiman dan pertanian lahan
kering campuran menyebabkan kurangnya daerah resapan. Daerah resapan yang
berkurang menyebabkan kemampuan infiltrasi tanah berkurang sehingga
menyebabkan run-off yang tinggi pada musim hujan. Selain itu, berkurangnya luas
hutan juga menyebabkan kemampuan sungai dalam menyimpan air berkurang
sehingga debit sungai pada musim hujan jauh lebih tinggi daripada musim kemarau.
Pengurangan luas hutan juga meningkatkan volume sedimentasi, hal ini dikarenakan
debit sungai yang makin tinggi banyak membawa material dari hulu sehingga banyak
terjadi pengendapan.
Penggunaan lahan DAS Citarum Hulu yang didominasi lahan pertanian dan
pemukiman banyak tidak sesuai dengan kapasitas daya dukung lahan (Hidayat et al.
2013). Kondisi ini menyebabkan air hujan sulit meresap ke dalam tanah sehingga
aliran permukaan meningkat. Aliran permukaan yang meningkat menyebabkan debit
sungai ketika musim hujan tinggi, namun karena kemampuan sungai dalam
menyimpan air rendah menyebabkan debit ketika musim kemarau sangat rendah.
Curah hujan di DAS Citarum Hulu yang cukup tinggi dan penggunaan lahan yang
tidak sesuai kemampuan lahan menyebabkan peningkatan erosi. Erosi yang terus
meningkat menyebabkan sedimentasi sungai meningkat. Peningkatan aliran

8

permukaan, debit sungai ketika musim hujan, dan sedimentasi sungai sering
menyebabkan banjir di daerah hilir.
Tabel 2. Perubahan Penggunaan Lahan DAS Citarum Hulu Tahun 2001 dan 2011
Penggunaan Lahan
Badan Air
Hutan
Hutan Tanaman
Perkebunan
Pertanian Lahan Kering
Pertanian Lahan Kering
Campuran
Pemukiman
Semak Belukar
Sawah
Tanah Terbuka
TOTAL
Sumber : Megandana 2013

Luas Penggunaan Lahan (HA)
Tahun
2001
%
2011
2.246,29 0,97 2.246,29
1.4191,59 6,11 12.834,70
2.5851,2 11,13 26.512,32
4.215,58 1,81 4.256,41
4.6597,94 20,06 44.694,29
3.1296,68
3.8899,15
1.603,98
6.4689
2.732,25
23.2323,66

13,47 32.350,83
16,74 41.562,4
0,69
1.710,43
27,84 64.664,84
1,18
1.491,15
100
232.323,66

%

Perubahan

0,97 0
5,52 -1.356,89
11,41
661,12
1,83
40,83
19,24 -1903,65
13,92 1054,15
17,89 2663,25
0,74 106,45
27,83 -24,16
0,64 -1241,1
100

Kondisi hulu DAS Citarum yang buruk juga diperparah dengan kondisi hilir
DAS Citarum yang buruk. Hal tersebut terlihat dari banyaknya pengalihan fungsi
lahan pertanian menjadi lahan permukiman. Selain itu adanya degradasi prasarana
pengendali banjir dan prasarana jaringan irigasi bahkan ada beberapa titik yang
kekurangan prasarana pengendali banjir di muara. Kondisi tersebut menyebabkan
Waduk Jatiluhur tidak mampu menampung debit banjir sehingga menyebabkan
limpasan tinggi. Akibatnya aliran keluar dari waduk mengalir ke Sungai Citarum
adalah sebesar 700 m3/detik. Bersamaan dengan meluapnya sungai Cikao di
Purwakarta mengakibatkan banjir Sungai Cibeet di Karawang yang mengalir ke
Sungai Citarum, sehingga alur Sungai Citarum di Karawang tidak mampu lagi
menampung debit banjir dari hulu, sehingga terjadi banjir di beberapa wilayah di
Kabupaten Karawang.
Ancaman banjir tersebut sudah mulai melanda persawahan di Kabupaten
Karawang. Banjir yang melanda persawahan tersebut hampir selalu menyebabkan
kegagalan panen (puso) di wilayah Kabupaten Karawang. Gambar 6 menunjukkan
kegagalan panen akibat banjir hampir terjadi di seluruh kecamatan di Kabupaten
Karawang. Luas sawah rata – rata dari musim tanam 2008/2009 – 2013/2014 yang
gagal panen akibat banjir berbeda – beda setiap wilayah. Secara keseluruhan rata –
rata luas sawah yang puso mencapai 219,84 ha. Wilayah yang luas rata – rata
pusonya tertinggi adalah Kecamatan Cilamaya Kulon. Kecamatan tersebut rata- rata
luas pusonya di atas 700 ha kemudian diikuti dengan Kecamatan Cilebar dengan luas
puso hampir 600 ha.

9

900
800
700
600
500
400
300
200
100
0

Tegalwaru
Pangkalan
Telukjambe Barat
Telukjambe…
Ciampel
Klari
Purwasari
Cikampek
Kota Baru
Tirtamulya
Jatisari
Banyusari
Cilamaya Wetan
Cilamaya Kulon
Lemahabang
Talagasari
Majalaya
Karawang Timur
Karawang Barat
Rawamerta
Tempuran
Cilebar
Kutawulya
Rengasdengklok
Jayakerta
Pedes
Cibuaya
Tirtajaya
Batujaya
Pakisjaya

Luas
(Ha)

Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Karawang 2015

Gambar 6. Rata - Rata Luas Sawah Gagal Panen di Kabupaten Karawang Musim
Tanam 2008/2009 – 2013/2014
Ancaman banjir yang terus meningkat di Kabupaten Karawang tentunya akan
menimbulkan masalah bagi masyarakat Kabupaten Karawang. Hal ini dikarenakan
banjir akan mengganggu keamanan dan ketahanan pangan. Selain itu, mata
pencaharian masyarakat yang sebagian besar petani tentunya akan sangat terpengaruh
dengan adanya ancaman banjir. Hal ini dikarenakan banjir menyebabkan sawah
menjadi rusak sehingga akan mengurangi pendapatan petani. Kondisi ini pada jangka
panjang akan menyebabkan kemiskinan pada petani.
Berdasarkan uraian tersebut maka muncul pertanyaan dalam penelitian ini:
1. Bagaimana tingkat kerusakan DAS Citarum Hulu?
2. Daerah mana saja di Kabupaten Karawang yang memiliki tingkat bahaya tinggi?
3. Bagaimana tingkat kerentanan petani Kabupaten Karawang dalam menghadapi
bahaya banjir?

Tujuan Penelitian
1. Menganalisis tingkat kerusakan DAS Citarum Hulu
2. Menganalisis tingkat bahaya banjir di Kabupaten Karawang
3. Menganalisis tingkat kerentanan petani Kabupaten Karawang di daerah dengan
tingkat bahaya banjir tinggi.

10

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa informasi kepada
pemerintah daerah setempat dan masyarakat khususnya petani mengenai kerentanan
petani di daerah dengan bahaya banjir yang tinggi sehingga dapat menjadi masukan
dalam strategi untuk menghadapi bahaya banjir.
Kerangka Pemikiran
Perubahan iklim menyebabkan perubahan pola curah hujan di Kabupaten
Karawang. Perubahan pola curah hujan tersebut menyebabkan pada musim hujan
intensitas curah hujan jauh meningkat di atas normal. Curah hujan yang jauh
meningkat pada musim hujan menyebabkan kejadian ekstrim seperti banjir di
Kabupaten Karawang sering terjadi.
Kondisi DAS Citarum bagian hulu yang buruk karena berkurangnya luas
hutan dan terus bertambahnya permukiman juga ikut menyebabkan kejadian banjir di
Kabupaten Karawang. Hal ini terlihat dari debit sungai Citarum bagian hulu yang
jauh meningkat pada musim hujan. Selain itu, sedimentasi yang tinggi di DAS
Citarum menyebabkan pendangkalan sungai sehingga kemampuan sungai dalam
menampung air berkurang sehingga ketika musim hujan sungai mudah meluap dan
menyebabkan banjir,
Perubahan pola curah hujan dan buruk hulu DAS Citarum meningkatkan
ancaman banjir di Kabupaten Karawang. Ancaman banjir tersebut juga sudah
melanda areal persawahan di Kabupaten Karawang. Banjir merendam sawah – sawah
di Kabupaten sehingga menyebabkan kegagalan panen (puso). Kegagalan panen
tersebut menyebabkan ketidakpastian pangan sehingga akan menganggu ketahanan
pangan nasional. Banjir yang terus meningkat frekuensinya juga merupakan ancaman
bagi kehidupan petani di Kabupaten Karawang. Hal ini dikarenakan kegagalan panen
akan menyebabkan penurunan pendapatan petani karena penurunan hasil panen..
Ancaman banjir yang terus meningkat akan meningkatkan kerentanan terhadap
petani. Petani yang rentan umumnya memiliki kemampuan adaptasi yang
rendah.Sementara petani yang memiliki kemampuan adaptasi tinggi akan mampu
bertahan pada kondisi tersebut.
Kerentanan nafkah petani di pengaruhi oleh kelima modal. Modal tersebut
adalah modal manusi, modal alam, modal fisik, modal sosial, dan modal finansial.
Kelima modal tersebut memegang peranan penting dalam menilai kerentanan.
Kurangnya suatu modal akan membuat petani cukup rentan terhadap ancaman atau
bahaya dari luar.
Banjir yang sering terjadi di Kabupaten Karawang perlu dilakukan
penanganan agar tidak menimbulkan masalah yang lebih besar lagi. Maka dari itu,
diperlukan suatu strategi yang tepat dalam menghadapi bencana banjir. Strategi yang
yang tepat tersebut harus mempertimbangkan tingkat kerusakan DAS Citarum Hulu,
tingkat bahaya banjir suatu wilayah, dan tingkat nafkah petani khususnya petani di
wilayah dengan bahaya banjir tinggi sehingga petani di desa tersebut semakin kuat
dalam mengahadapi ancaman atau bahaya banjir.

11

Perubahan
Penggunaan
Lahan

Peningkatan
Debit Sungai

Sedimentasi

Perubahan Iklim

Peningkatan Curah

Kerusakan

Hujan

DAS Citarum

Hulu

Bahaya / Ancaman
Banjir
Kerentanan
Nafkah Petani

Strategi
Gambar 7. Kerangka Pemikiran

2 TINJAUAN PUSTAKA
Banjir
Banjir terjadi ketika volume air tidak lagi tertampung di dalam wadah yang
seharusnya, sehingga menggenangi suatu daerah atau kawasan lain di sekitarnya
(Suherlan 2001). Dengan demikian debit air sungai yang meningkat pada suatu waktu
dan tidak tertampung lagi oleh alur sungai dapat melahirkan banjir. Banjir menjadi
masalah dan berkembang menjadi bencana ketika banjir tersebut mengganggu
aktivitas manusia dan bahkan membawa korban jiwa dan harta benda (Sobirin 2009).
Banjir dapat dipandang sebagai suatu peristiwa alam, namun dapat pula dilihat
sebagai hasil dari ulah atau campur tangan manusia seperti pengembangan kota yang
sangat cepat, namun tidak diimbangi dengan pembangunan sarana drainase
(Diposaptono dan Budiman 2007).
Banjir disebabkan oleh kondisi dan fenomena alam (topografi dan curah
hujan), kondisi geografis daerah dan kegiatan manusia yang berdampak pada
perubahan tata ruang atau guna lahan di suatu daerah (BMKG 2013). Kodoatie
dan Syarief (2006) menjelaskan faktor penyebab banjir antara lain perubahan
guna lahan, pembuangan sampah, erosi dan sedimentasi, kawasan kumuh di
sepanjang sungai, sistem pengendalian banjir yang tidak tepat, curah hujan tinggi,

12

fisiografi sungai, kapasitas sungai yang tidak memadai, pengaruh air pasang,
penurunan tanah, bangunan air, kerusakan bangunan pengendali banjir. banjir juga
dipengaruhi oleh kegiatan manusia atau pembangunan
yang kurang
memperhatikan kaidah - kaidah konservasi lingkungan. Banyak pemanfaatan ruang
yang kurang memperhatikan kemampuannya dan melebihi kapasitas daya
dukungnya (Rosyidie 2013).
Banjir merupakan salah satu bencana yang berdampak paling signifikan di
dunia. Lebih dari setengah kerusakan banjir global terjadi di Asia. Banjir disebabkan
oleh faktor alam dan manusia. Faktor penyebab alami antara lain hujan deras dan
gelombang laut yang tinggi. Sedangkan, faktor penyebab manusia adalah
pemblokiran saluran atau penyumbatan saluran drainase, penggunaan lahan yang
tidak tepat, deforestasi di daerah hulu, dll. Banjir menyebabkan kerugian jiwa dan
material. Peningkatan populasi urbanisasi menghasilkan daerah kurang infiltrasi, dan
menjadi puncak banjir dan limpasan. Masalah menjadi lebih penting karena banjir
yang lebih parah mungkin sering disebabkan oleh perubahan iklim, ketidakpuasan
publik, dan keterbatasan dana (Tingsanchali 2011).
Banjir menjadi ancaman serius bagi usaha tani padi khususnya di daerah
pesisir, seperti di bagian barat Sumatera, Selatan dan utara Jawa, dan timur Papua. Di
Indonesia diperkirakan setiap tahunnya terdapat 300 ribu ha lahan sawah yang
mengalami kerusakan akibat banjir dan terendam, dan 60 ribu ha diantaranya gagal
panen (Manikmas 2008). Di propinsi Jawa Barat, banjir merupakan bencana yang
paling sering terjadi, terutama pada saat musim hujan. Banyak petani di pantura
yang hanya bisa pasrah menyaksikan lahan pertanian dan perikanannya hancur
diterjang banjir. Ketinggian air ada yang mencapai lebih dari satu meter. Banjir
tidak hanya menggenangi daerah perdesaan tetapi juga kawasan perkotaan (Rosyidie
2013).
Banjir juga sering terjadi di DAS Citarum terutama di bagian hulu. Banjir
terjadi sejak puluhan tahun lalu antara lain tahun 1931, 1984, 1986, 2005, 2007,
2010 dan tahun 2012 (Dinas PSDA Jawa Barat 2013). Salah satu kawasan di
Citarum Hulu yang sering mengalami banjir adalah Cieunteung. Kampung ini
biasanya juga paling parah terkena dampak banjir. Setiap tahun ratusan penduduk
harus meninggalkan tempat tinggalnya mengungsi ke tempat lain karena rumah
tempat tinggal mereka tergenang banjir. Banjir tersebut telah mengganggu berbagai
kegiatan penduduk baik untuk keperluan bekerja, pendidikan, maupun lainnya
Kejadian bencana banjir berpengaruh signifikan terhadap produksi padi. Umur
padi yang tergenang banjir, varietas yang digunakan, dan lama genangan yang
berbeda menyebabkan produksi yang diperoleh berbeda. Produksi tanaman pangan
khususnya padi, dapat menurun akibat kejadian banjir, terutama pada kondisi
terjadinya iklim ekstrem. Akibat iklim ekstrem, pada musim penghujan dapat terjadi
kelebihan air yang dapat mengakibatkan genangan di lahan pertanaman tanaman
pangan. Hal tersebut dapat menjadi ancaman serius terhadap keberlanjutan produksi
beras nasional (Suhartatik et al. 2010).
Di kebanyakan negara berkembang, kegiatan penanggulangan bencana banjir
ditangani oleh pemerintah. Partisipasi LSM dan sektor swasta sangat terbatas.
Kegiatan tersebut dilakukan lebih mandiri tanpa koordinasi yang baik atau integrasi.

13

Penanggulangan banjir di negara – negara berkembang sebagian besar masih reaktif
menanggapi situasi bencana yang terjadi (tanggap darurat dan pemulihan). Respon
reaktif tersebut harus diubah menjadi respon proaktif untuk meningkatkan efektivitas
manajemen dan mengurangi kerugian jiwa dan material. Manajemen bencana yang
proaktif membutuhkan partisipasi yang lebih dari berbagai pihak baik pemerintah,
LSM, swasta dan partisipasi masyarakat (Tingsanchali 2011).
Kegiatan penanggulangan banjir di Indonesia hampir sama seperti di negara
berkembang lainnya. Dimana, peran pemerintah masih sangat dominan pada setiap
tahap bencana. Partisipasi masyarakat sebagai salah satu stakeholder masih sangat
kurang. Partisipasi masyarakat yang merupakan critical player pada tahap sebelum
bencana, memiliki pengaruh sangat kecil dalam proses dan implementasi kebijakan.
Tingkat partisipasi terbaik yang terjadi baru pada tingkat consultation. Pada beberapa
kegiatan masih pada tingkat information. Di tahap ini masyarakat masih sebagai
obyek program/kegiatan pemerintah. Partisipasi telah dimulai pada tingkat
partnership pada lingkup lingkungan setempat yang dilaksanakan secara spontan.
Kegiatan tanggap darurat, di saat bencana banjir datang, partisipasi masyarakat
seimbang dengan stakeholder lainnya. Tingkat partisipasi yang dicapai adalah
partnership, baik secara individu maupun kelompok organisasi sosial. Pada tahapan
rehabilitasi setelah bencana, pemerintah kembali dominan, terutama dalam kegiatan
fisik. Partisipasi masyarakat hanya sebatas konsultasi. Tingkat partisipasi risk sharing
dan partnership dilakukan lingkup lingkungan setempat (Direktorat Pengairan dan
Irigasi 2008).
Bahaya (Hazard)
Menurut Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan
Penanganan Pengungsi (BAKORNAS PB 2002) bahaya (hazard) adalah suatu
fenomena alam atau buatan manusia yang mempunyai potensi mengancam kehidupan
manusia, kerugian harta benda hingga kerusakan lingkungan. Berdasarkan United
Nation International Strategy for Disaster Reduction (UN-ISDR), bahaya dibedakan
menjadi lima kelompok yaitu:
1. Bahaya beraspek geologi, antara lain gempa bumi, tsunami, gunung api,
dan longsor.
2. Bahaya beraspek hidrometereologi antara lain banjir, kekeringan, angin
topan, dan gelombang pasang
3. Bahaya beraspek biologi, antara lain wabah penyakit, hama, dan penyakit
tanaman.
4. Bahaya beraspek teknologi, antara lain kecelakaan transportasi, kecelakaan
industri, dan kegagalan teknologi.
5. Bahaya beraspek lingkungan, antara lain kebakaran hutan, kerusakan
lingkungan, dan pencemaran limbah
Indeks Bahaya/Ancaman
Indeks Ancaman Bencana disusun berdasarkan dua komponen utama, yaitu
kemungkinan terjadi suatu ancaman dan besaran dampak yang pernah tercatat untuk
bencana yang terjadi tersebut. Dapat dikatakan bahwa indeks ini disusun berdasarkan
data dan catatan sejarah kejadian yang pernah terjadi pada suatu daerah.(BNPB 2012)

14

Indeks bahaya banjir disusun dengan variabel – variabel curah hujan, liputan
lahan, lereng, sistem lahan, dan elevasi (Hariyani et al. 2012). Pemakaian variabel
tersebut mengacu pada penelitian yang sudah dilakukan Kementerian Pekerjaan
Umum yang dimodifikasi sesuai dengan kondisi daerah penelitian. Variabel –
variabel kemudian digabungkan data historis kejadian banjir. Dalam pembuatan
model bahaya banjir diperlukan bobot dari setia variabel tersebut. Setelah bobot
setiap variabel didapatkan maka indeks bahaya banjir didapatkan dengan rumus :
Indeks Bahaya Banjir = (Wch x Sch) + (Wl x Sl) + (We x Se) + (Wlc x Slc) + (Wlfx Slf)
Keterangan :
Wi = bobot untuk masing – masing variabel
E = elevasi
Si = skor untuk masing – masing variabel
Lc = Tutupan Lahan (Land
Cover)
Ch = curah hujan
Lf = Bentuk Lahan (Land Form)
L = lereng
Penentuan wilayah rawan banjir/ genangan pada lahan sawah, digunakan
parameter kondisi morfologi wilayah termasuk kondisi relief/topografi, curah hujan,
dan drainase tanah. Berdasarkan parameter tersebut kemudian dibuat skor dan
pembobotan (Balittanah 2005).
Kerentanan
Konsep kerentanan mempunyai sejarah akademik yang muncul dari penelitian
pada risiko, bahaya, dampak dari perubahan iklim, ketahanan pangan (Adger 2006).
Sehubungan dengan kemajuan teori pada bagaimana kerentanan dikonseptualisasi,
telah datang suatu jangkauan yang luas dari aplikasi konsep kerentanan pada berbagai
disiplin ilmu untuk berbagai bidang ilmu atau tujuan praktek. Kecenderungan yang
tumbuh cepat baru – baru ini telah menjadikan integrasi antara kerentanan dengan
ilmu keberlanjutan dan penelitian lingkungan global. Pendekatan ini terhadap
kerentanan lebih empiris dan praktis untuk mendiagnosis dan mengevaluasi cara
untuk membantu kelompok rentan atau mengurangi risiko sektor atau mencegah
sistem rapuh dalam menghadapi perubahan lingkungan (Kwan Hui –Lin dan Chang
Yi-Chang 2013).
IPCC (2007) mendefinisikan kerentanan sebagai derajat suatu sistem yang
mudah terkena dan tidak mampu mengatasi dampak yang merugikan dari perubahan
iklim termasuk variabilitas iklim dan iklim yang ekstrim. Ini merupakan suatu fungsi
dari karakter dan tingkat perubahan iklim dan variasi yang ada terhadap suatu sistem
yang tidak bisa diarahkan termasuk sensitivitas dan adaptive capacity. Sensitivitas
menunjukkan derajat dimana sistem dibatasi atau dipengaruhi oleh gangguan atau
bahaya. Adaptasi mengartikan penyesuaian sistem lingkungan dan sosial-ekonomi
dalam merespon dampak aktual atau diperkirakan dan dampak yang timbul secara
keseluruhan.Secara lebih spesifik ketika melihat pada dimensi sosial kerentanan.
Kerentanan juga menunjukkan kemungkinan menderita, kematian, kehilangan,
gangguan pada mata pencaharian, atau kerusakan lain yang dihasilkan dari guncangan
lingkungan seperti banjir, tanah longsor, atau bahaya kerusakan lain hasil dari
perubahan sosial seperti restrukturisasi ekonomi, kegagalan lembaga atau konflik
sosial.

15

Kerentanan didefinisikan sebagai sejauh mana sebuah komunitas, struktur,
jasa atau wilayah geografis mungkin akan rusak atau terganggu oleh dampak bahaya
tertentu, karena sifatnya, konstruksi dan dekat dengan medan berbahaya atau daerah
yang rawan bencana. Kerentanan dapat dikategorikan ke dalam kerentanan sosialekonomi dan fisik. Kerentanan fisik meliputi pengertian tentang siapa dan apa yang
mungkin rusak atau hancur oleh bencana alam seperti kekeringan, banjir dan gempa
bumi. Hal ini didasarkan pada kondisi fisik orang dan elemen berisiko, misalnya
bangunan, alam dan kedekatan bahaya. Hal ini juga berkaitan dengan kemampuan
teknis dari subyek untuk melawan gaya yang bekerja pada mereka. Sedangkan,
kerentanan sosial ekonomi berarti sejauh mana populasi manusia dipengaruhi oleh
bahaya; itu tidak akan hanya tergantung