Maskulinisasi Ikan Nila Melalui Perendaman Larva Pada Suhu 36 °C Dan Pengukuran Residu 17α Metiltestosteron

MASKULINISASI IKAN NILA MELALUI PERENDAMAN LARVA
PADA SUHU 36 °C DAN PENGUKURAN RESIDU
17α-METILTESTOSTERON

MEGA DISSA AFPRIYANINGRUM

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul maskulinisasi ikan nila
melalui perendaman larva pada suhu 36 °C dan pengukuran residu 17αmetiltestosteron adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2016
Mega Dissa Afpriyaningrum
NIM C151140321

RINGKASAN
MEGA DISSA AFPRIYANINGRUM. Maskulinisasi ikan nila melalui
perendaman larva pada suhu 36 °C dan pengukuran residu 17α-metiltestosteron
Dibimbing oleh DINAR TRI SOELISTYOWATI dan ALIMUDDIN.
Ikan nila memiliki sifat dimorfisme kelamin, yaitu ikan jantan memiliki
pertumbuhan lebih cepat dari pada ikan betina. Sifat ini akan sangat
menguntungkan pembudidaya jika ikan nila dibudidayakan secara monoseks
jantan. Monoseks jantan dapat dihasilkan dengan pembalikan kelamin
menggunakan hormon 17α-metiltestosteron (MT) pada saat sebelum terjadi
diferensiasi kelamin. Namun, pembatasan penggunaan hormon ini perlu dilakukan
karena dampak yang ditimbulkan. Pembatasan tersebut berupa meminimalisasi
dosis dengan kombinasi peningkatan suhu inkubasi. Induksi suhu dapat
mempengaruhi ekspresi hormon yang mengarahkan diferensiasi kelamin menjadi
jantan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan dosis minimum
MT yang dikombinasikan dengan suhu 36 °C dan lama perendaman terhadap
efektivitas pengarahan kelamin jantan pada ikan nila.

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap faktorial dengan dua
kombinasi perlakuan, yakni suhu dan lama perendaman. Suhu yang digunakan
ialah suhu 26 °C dan 36 °C, sedangkan lama perendaman dilakukan selama 2 dan
4 jam. Sebanyak 300 ekor larva umur 10 hari pascatetas direndam dalam satu liter
larutan MT dosis 2 mg/L. Perendaman dilakukan dalam kantong plastik berukuran
30x50 cm2 yang diisi dengan oksigen. Untuk perendaman suhu 36 °C dilakukan di
waterbath, sedangkan untuk suhu 26 °C direndam di akuarium. Pemeriksaan
konsentrasi MT di tubuh ikan dilakukan setelah perendaman, hari ke-30, hari ke60 dan hari ke-90. Parameter uji lainnya ialah nisbah kelamin jantan, konsentrasi
glukosa darah, tingkat kelangsungan hidup, dan kualitas air.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nisbah kelamin jantan berbeda nyata
antara perlakuan dan kontrol. Kombinasi lama perendaman MT dan suhu dapat
meningkatkan kelamin jantan. Konsentrasi glukosa darah pada sebagian besar
perlakuan berbeda nyata, sedangkan perlakuan pada suhu 26 °C lama perendaman
2 jam tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan kontrol negatif. Tingkat
kelangsungan hidup sesaat setelah perendaman berbeda nyata antara suhu 26 °C
dan suhu 36 °C, sedangkan tingkat kelangsungan hidup selama pemeliharaan
tidak berbeda nyata antar perlakuan. Konsentrasi hormon MT di tubuh ikan
setelah 30 hari menurun tajam dari 23,86-16,49 ng/g menjadi 2,72-3,93 ng/g dan
setelah 90 hari menjadi 3,13-3,96 ng/g. Nilai pada hari ke-90 ini tidak berbeda
dengan kontrol.

Kata kunci: Alih kelamin, ikan nila, lama perendaman, suhu, 17αmetiltestosteron.

SUMMARY
MEGA DISSA AFPRIYANINGRUM. Masculinization of Nile Tilapia by Larva
Immersion at 36 °C and 17α-methyltestosterone Residual Measurement.
Supervised by DINAR TRI SOELISTYOWATI and ALIMUDDIN.
Tilapia has properties sex dimorphism, i.e males had faster growth rates
than female fish. These properties will greatly benefit farmers if tilapia is
cultivated in monosex males. Monosex male can be generated by sex reversal
using the 17α-methyltestosterone (MT) hormone before sex is differentiated.
However, restrictions on the use of this hormone is necessary because the impacts.
The restrictions in the form of minimizing the dose to a combination of increased
temperature incubation. Temperature induction can affect endogenous hormone
level to drive sex differentiation to male. This study aimed to evaluate
effectiveness of the use of the minimum dose of MT combined with different
temperature and immersion time on sex reversal of tilapia.
This study used a completely randomized factorial design with two
treatment combination, namely incubation temperature and duration of immersion.
The temperature used were 26 °C and 36 °C, while the dipping time was
performed for 2 and 4 hours. A total of 300 ten-day-old larvae was immersed in

one liter of MT solution at a dose of 2 mg/L. Immersion was performed using
30x50 cm2 of packing plastic that has been filled with oxygen. Temperature of
36 °C immersion is done in water bath, while the temperature 26 °C immersed in
an aquarium. Measurement of MT concentration is done after immersion, day 30,
day 60 and day 90. Other test parameters, namely the male sex ratio, blood
glucose consentration, survival rate, and water quality were also examined.
The results showed that male sex ratio were significantly different between
the treatment and control groups. MT immersion time with temperature combined
can increase male sex ratio. Blood glucose concentrations at most of the treatment
was significantly different whereas treatment at temperature 26 °C, 2 hours
immersion time was not significantly different when compare to the negative
control. The survival rate shortly after immersion significantly different between
temperature 26 °C and a temperature of 36 °C. While the survival rate for
maintenance were not significantly different between treatments. MT hormone
content in the body of the fish after 30 days dropped to 23.86-16.49 ng/g until
2.72 to 3.93 ng/g and after 90 days be 3.13 to 3.96 ng/g. Values in the 90 days
was not different from control.
Keywords: Nile tilapia, long immersion, sex reversal, temperatures, 17αmethyltestosterone.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

MASKULINISASI IKAN NILA MELALUI PERENDAMAN LARVA
PADA SUHU 36 ˚C DAN PENGUKURAN RESIDU
17α-METILTESTOSTERON

MEGA DISSA AFPRIYANINGRUM

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Akuakultur


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir M Zairin Jr, MSc

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2015 ini ialah
sex reversal, dengan judul penelitian “Maskulinisasi ikan nila melalui perendaman
larva pada suhu 36 °C dan pengukuran residu 17α-metiltestosteron”. Pada
Program Studi Ilmu Akuakultur, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr Ir Dinar Tri
Soelistyowati, DEA dan Bapak Dr Alimuddin, SPi, MSc selaku dosen
pembimbing serta Bapak Dian Hardyantho, SPi, MSi selaku pembimbing lapang
atas waktu, arahan, kesabaran, nasehat, serta semangat yang telah diberikan
hingga tesis ini dapat terselesaikan. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada

Prof Dr Ir M Zairin Jr, MSc sebagai dosen penguji luar komisi dan Dr Ir
Widanarni, MSi sebagai komisi program studi yang telah memberikan saran
dalam ujian sidang tesis ini.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada orangtua tercinta, Bapak
Sunarya dan Ibu Samidah yang telah tulus mendoakan, memberi kasih sayang
serta semangat agar tidak mudah menyerah dan fokus dalam menyelesaikan studi.
Selain itu kepada saudara saya Lucky Dian Wijayanti dan Mellinda Rizky
Fahrizza serta keluarga besar yang telah memberikan doa dan semangat.
Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh dosen
Program Studi Ilmu Akuakultur Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
dan seluruh pegawai BBPBAT Sukabumi khususnya di POKJA nila, laboratorium
genetik dan laboratorium pakan dan residu yang telah memberikan saran kepada
penulis. Terimakasih kepada rekan-rekan yang telah membantu selama penelitian
serta memberikan masukan dan ide yang membangun yaitu Agung Luthfi Fauzan,
Fadilla Maharani Putri, Deny Yunus Wijaya, M. Restya Naufal serta teman-teman
mahasiswa Program Studi Ilmu Akuakultur Angkatan 2014 atas kebersamaan dan
motivasinya selama menempuh studi.
Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk kemajuan ilmu
pengetahuan umumnya dan perikanan khususnya.


Bogor, Desember 2016
Mega Dissa Afpriyaningrum

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR

xii

DAFTAR LAMPIRAN

xii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian

Hipotesis

1
1
2
2
2

3 METODE
Waktu dan Tempat
Alih Kelamin Jantan
Identifikasi Nisbah Kelamin Jantan
Konsentrasi Glukosa Darah
Pengukuran Kadar Hormon 17-metiltestosteron pada Tubuh Ikan
Analisis kualitas air
Parameter Uji
Nisbah kelamin jantan
Konsentrasi glukosa darah
Tingkat kelangsungan hidup
Konsentrasi 17α-metiltestosteron dalam tubuh ikan

Analisis Data

3
3
3
4
4
4
4
5
5
5
5
5
6

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Nisbah kelamin jantan
Konsentrasi glukosa darah

Tingkat kelangsungan hidup
Konsentrasi 17α-metiltestosteron
Kualitas air
Pembahasan

6
6
6
6
7
8
9
9

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

11
11
11

DAFTAR PUSTAKA

11

LAMPIRAN

15

RIWAYAT HIDUP

23

DAFTAR TABEL
1 RAL dengan perlakuan suhu dan lama perendaman dalam MT pada alih
kelamin ikan nila
2 Kualitas air

3
9

DAFTAR GAMBAR
1 Nisbah kelamin jantan yang direndam pada fase larva dalam air suhu
berbeda dan mengandung hormon 17α-metiltestosteron, dengan lama
waktu perendaman berbeda
2 Konsentrasi glukosa darah pada ikan nila sesaat setelah perendaman
dalam air suhu 36 ˚C (□) dan 36 ˚C (■) mengandung hormon 17αmetiltestosteron serta K- (kontrol negatif ░).
3 Tingkat kelangsungan hidup (TKH) ikan nila sesaat setelah
perendaman yang direndam pada fase larva dalam air suhu berbeda, dan
mengandung hormon 17α-metiltestosteron (MT), dengan lama waktu
berbeda
4 Tingkat kelangsungan hidup (TKH) ikan nila selama dipelihara di
akuarium (30 hari) yang direndam pada fase larva dalam air suhu
berbeda, dan mengandung hormon 17α-metiltestosteron (MT), dengan
lama waktu berbeda
5 Tingkat kelangsungan hidup (TKH) ikan nila selama dipelihara di
kolam (90 hari) yang direndam pada fase larva dalam air suhu berbeda,
dan mengandung hormon 17α-metiltestosteron (MT), dengan lama
waktu berbeda
6 Konsentrasi residu 17α-metiltestosteron dalam tubuh ikan nila yang
direndam pada fase larva dalam air suhu berbeda (26 ˚C, dan 36 ˚C)
dan mengandung hormon 17α-metiltestosteron (MT), dengan lama
waktu berbeda

6

7

7

8

8

8

DAFTAR LAMPIRAN
1 Prosedur analisis kadar glukosa darah menggunakan KIT Glucose GOD
FS dari DiaSys International
2 Ekstraksi tubuh ikan nila
3 Hasil uji ANOVA

16
16
17

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ikan nila Oreochromis niloticus merupakan salah satu jenis ikan air tawar
yang tumbuh cepat, mempunyai daya hidup tinggi dan mempunyai dimorfisme
kelamin dimana pertumbuhan ikan nila jantan lebih cepat daripada ikan betina
(Srisakultiew dan Komonrat 2013). Sifat tersebut mengarahkan untuk memelihara
ikan nila dengan jenis kelamin jantan. Monoseks jantan pada ikan nila dapat
memberikan pertumbuhan hampir dua kali lipat daripada ikan nila yang
dibudidayakan secara campuran (Dagne et al. 2013), mengurangi reproduksi yang
tidak terkontrol (Ferdous dan Ali 2011) dan menyeragamkan ukuran saat panen
(Beardmore et al. 2001). Produksi monoseks jantan efektif dilakukan
menggunakan hormon androgen yaitu 17α-metiltestosteron (Wassermann dan
Afonso 2003, Megbowon dan Mojekwu 2014).
Aplikasi hormon ini dapat dilakukan dengan perendaman, penyuntikan dan
melalui pakan (Beardmore et al. 2001). Metode perendaman lebih efisien
digunakan pada stadia larva. Larva direndam sebelum atau saat terjadi diferensiasi
kelamin atau periode kritis, yaitu otak larva masih dalam keadaan bipotensial
dalam mengarahkan pembentukan kelamin baik secara morfologi, tingkah laku
maupun fungsi (Carman et al. 2008). Perendaman larva umur 14 hari
menggunakan MT 1,8 mg/L selama 4 jam menghasilkan jantan sebanyak 91,6%
(Wasserman dan Afonso 2003), sedangkan Srisakultiew dan Komonrat (2013)
melakukan perendaman larva umur 10 hari menggunakan MT 0,5 mg/L selama 12
jam dapat menghasilkan jantan sebanyak 86,4%.
Penggunaan 17α-metiltestosteron (MT) di Indonesia menurut Keputusan
Menteri Kelautan dan Perikanan No: KEP.52/MEN/2014 telah dilarang karena
potensi bahaya yang ditimbulkannya. Untuk menggantikan fungsi 17αmetiltestosteron beberapa peneliti telah mencari alternatif lain seperti penggunaan
madu (Soelistyowati et al. 2007), propolis (Ariyanto et al. 2012), dan purwoceng
(Arfah 2013). Hasil dari penggunaan bahan alami tersebut belum seefektif MT
yang menghasilkan ikan jantan sebanyak 100% (Zairin et al. 2002), sehingga
beberapa pembudidaya masih menggunakan MT karena efektivitas yang lebih
baik.
Dalam Internasional Standards for Resposible Tilapia Aquaculture,
penggunaan metil dan etiltestosteron masih boleh dipergunakan (WWF 2009).
Beberapa peneliti menemukan bahwa hormon ini tidak selamanya berada di tubuh
ikan. Kadar MT di plasma menurun pada jam ke-22 setelah penghentian pakan
menjadi 0,05) (Gambar 1
dan Lampiran 3). Pada suhu 26 ˚C lama perendaman 2 dan 4 jam dapat
meningkatkan NKJ sebanyak 24% (57% menjadi 81%) dan 31% (57% menjadi
88%) dibandingkan kontrol. Pada suhu 36 ˚C lama perendaman 2 dan 4 jam dapat
meningkatkan jantan sebanyak 25% (62% menjadi 87%) dan 30% (62% menjadi
93%) dibandingkan kontrol. Penggunaan suhu 36 ˚C dapat meningkatkan jantan
sebanyak 5-6% dibandingkan suhu 26 ˚C. Dengan demikian perlakuan suhu dan
lama perendaman MT dapat meningkatkan nisbah kelamin jantan.
100

d

c

e

d

80
60

b

a

Suhu 26 ˚C

40

Suhu 36 ˚C

20
0
0

2

4

Lama Perendaman (jam)
Gambar 1. Nisbah kelamin jantan yang direndam pada fase larva dalam air suhu berbeda dan
mengandung hormon 17α-metiltestosteron, dengan lama waktu perendaman berbeda.
Huruf kecil yang berbeda di atas bar menunjukkan beda nyata (p0,05) (Gambar 2 dan Lampiran 3).
c

160
140
120

bc

c

bc

a

bc
a

100
80

Suhu 6 ˚C

60

Suhu 6 ˚C

40
20
0
K-

0

2

4

Lama Perendaman (jam)

Gambar 2. Konsentrasi glukosa darah pada ikan nila sesaat setelah perendaman dalam air suhu 26
˚C (□) dan 36 ˚C (■) mengandung hormon 17α-metiltestosteron serta K- (kontrol
negatif ░).

Tingkat kelangsungan hidup
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup (TKH)
ikan pada setelah perendaman sebanyak 92-96%. Perlakuan suhu 36 ˚C
memberikan pengaruh nyata (p0,05) (Lampiran 3).
Tingkat kelangsungan
hidup (%)

100

a

b

a

b

a

b

80
60
40

Suhu 26 ˚C

20

Suhu 36 ˚C

0
0

2

4

Lama perendaman (jam)

Gambar 3. Tingkat kelangsungan hidup (TKH) ikan nila sesaat setelah direndam pada fase larva
dalam air suhu berbeda, dan mengandung hormon 17α-metiltestosteron (MT), dengan
lama waktu berbeda. Huruf yang berbeda di atas bar menunjukkan nilai berbeda nyata
(p0,05).
100

a

a

a

a

a

a

80
60
40

Suhu 6 ˚C

20

Suhu 6 ˚C

0
0

2

4

Lama perendaman (jam)

Gambar 5. Tingkat kelangsungan hidup (TKH) ikan nila selama dipeliharan di kolam (90 hari)
yang direndam pada fase larva dalam air suhu berbeda, dan mengandung hormon 17αmetiltestosteron (MT), dengan lama waktu berbeda. Huruf yang berbeda di atas bar
menunjukkan nilai berbeda nyata (p>0,05).

Konsentrasi 17α-metiltestosteron
Dengan menggunakan metode ELISA, konsentrasi dalam tubuh larva ikan
nila setelah perendaman pada perlakuan suhu 36 ˚C yaitu 23,05-23,86 ng/g, sama
dengan kadar MT pada suhu ruang (16,49-18,35 ng/g) (Gambar 6). Konsentrasi
17α-metiltestosteron pada masa pemeliharaan hari ke-30 setelah perendaman
menurun tajam pada semua perlakuan MT dan cenderung stabil hingga hari ke-90.
Konsentrasi 17α-metiltestosteron pada ikan umur 10 hari setelah menetas tanpa
pemberian MT (kontrol) sebanyak 4,15 ng/g dan cenderung stabil sampai hari ke90 (3,86 ng/g).

9
Gambar 6. Konsentrasi residu 17α-metiltestosteron dalam tubuh ikan nila yang direndam pada fase
larva dalam air suhu berbeda (26 ˚C, dan 36 ˚C) dan mengandung hormon 17αmetiltestosteron (MT), dengan lama waktu berbeda. Lama perendaman 2 jam (2 J), dan
4 jam (4 J).

Kualitas air
Hasil pengukuran kualitas air selama pemeliharaan ikan maskulinisasi
dengan kombinasi MT dan suhu (Tabel 2).
Tabel 2. Kualitas air selama pemeliharaan

Parameter
Suhu (˚C)
pH
Oksigen terlarut (mg/L)
Amonia (mg/L)

Hasil
Akurium
24-26
6,5-7,5
7,0-7,5
0,28-0,29

Kolam
25-28
6,2-7,5
6,5-7,5
0,31-0,35

SNI 7550: 2009
25-32
6,5-8,5
>3
≤0,02

Pembahasan
Kombinasi lama perendaman dan suhu meningkatkan nisbah kelamin
jantan (Gambar 1). Selanjutnya, lama perendaman berpengaruh signifikan
terhadap nisbah kelamin jantan ikan nila. Hasil yang diperoleh relatif sama
dengan yang dilaporkan oleh Wassermann dan Afonso (2003). Namun demikian,
pada penelitian ini perendaman dilakukan satu kali pada larva umur 10 hari, air
suhu 36C mengandung MT dosis 2 mg/L, kepadatan 300 ekor/L, selama 4 jam
menghasilkan ikan nila jantan 93%. Wassermann dan Afonso (2003) merendam
larva umur 10 dan 14 hari (dua kali perendaman) setelah penetasan menggunakan
MT 1,8 mg/L, sebanyak dua kali perendaman dengan kepadatan 125 ekor/L,
menghasilkan ikan nila jantan 98,3%. Bombardelli dan Hayashi (2005),
melakukan perendaman menggunakan 2 mg/L MT pada ikan nila umur 15 hari
setelah penetasan dengan kepadatan 100 ekor/L selama 36 jam menghasilkan
jantan 85,19%.
Cara kerja MT menurut Kitano et al. (2000), ialah MT dapat menekan
ekspresi P450 arom, sehingga enzim sitokrom P450 aromatase tidak terbentuk.
Enzim ini berfungsi untuk merubah androgen menjadi esterogen sehingga terjadi
perkembangan ovarium. Adanya penekanan ekspresi P450 arom menyebabkan
testosteron tidak dirubah menjadi estrogen sehingga diarahkan kepembentukan
testis (Kitano et al. 2000).
Selain pengaruh MT, suhu juga memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap nisbah kelamin jantan ikan nila. Efek suhu lingkungan telah dilaporkan
dapat meningkatkan nisbah kelamin jantan (Tessema et al. 2006; Azaza et al.
2008; El-Fotoh et al. 2014). Mekanismenya adalah melibatkatkan enzim
aromatase (Kitano et al. 1999, Piferrer 2011). Menurut Navarro-Martin et al.
(2011), suhu tinggi dapat meningkatkan metilasi DNA pada promotor cyp19a.
Metilasi ini berbanding terbalik dengan tingkat ekspresi P450 arom, ketika
ekspresi P450 arom rendah maka enzim sitokrom P450 aromatase tidak terbentuk
sehingga testosteron tidak diubah menjadi estrogen dan diarahkan kepembentukan
testis. Selain pengaruh MT dan suhu, perendaman larva umur 10 hari setelah

10
menetas juga menentukan keberhasilan maskulinisasi karena larva masih berada
dalam masa diferensiasi kelamin. Hal ini sejalan dengan penelitian Wassermann
dan Afonso (2003), Tessema et al. (2006) yang berhasil melakukan maskulinisasi
menggunakan larva umur 10 hari setelah penetasan. Pembentukan ovarium dan
testis pada ikan nila terjadi pada 20-25 hari setelah menetas (Kobayasi et al. 2008).
Menurut Hasheesh et al. (2011) faktor yang mempengaruhi keberhasilan
maskulinisasi ialah spesies, umur larva ketika diberi perlakuan, lamanya
perlakuan, suhu, dosis dan kemurnian hormon yang digunakan.
Konsentrasi glukosa darah pada semua perlakuan berbeda nyata kecuali
pada suhu 26 ˚C lama perendaman 2 jam jika dibandingkan dengan kontrol
negatif (Gambar 2). Meningkatnya nilai glukosa darah ini disebabkan ikan
mengalami stres karena perlakuan. Stres dapat disebabkan secara fisik, kimia
maupun kondisi lingkungan (Barton 2002). Menurut Hastuti et al. (2003)
perubahan suhu lingkungan akan berpengaruh langsung terhadap proses
metabolisme sehingga akan mempengaruhi tingginya kebutuhan pasok glukosa
darah untuk termogenesis karena sifat ikan yang poikiloterm. Konsentrasi glukosa
darah pada perlakuan tanpa pemberian MT selama 0 jam baik pada suhu 26 ˚C
dan 36 ˚C lebih tinggi dari pada perlakuan pemberian MT selama 2 jam dengan
suhu 26 ˚C. Hal ini diduga karena respons stres setiap ikan berbeda. Sejalan
dengan Schyolden et al. (2005) bahwa respons perilaku dan fisiologis stres sangat
bervariasi tergantung spesies ikan, strain dan individu. Glukosa darah dapat
dijadikan indikator stres, tetapi merupakan indikator sekunder jika dibandingkan
dengan kortisol (primer) sebaiknya untuk melihat tingkat stres ikan dilakukan
pengukuran kortisol dan glukosa darah (Pottinger et al.1998).
Tingkat kelangsungan hidup sesaat setelah perendaman pada suhu 36 ˚C
lebih rendah daripada suhu 26 ˚C. Hal ini menunjukkan bahwa suhu 36 ˚C
menyebabkan kematian ikan lebih banyak daripada suhu 26 ˚C. Hal ini sejalan
dengan penelitian Pandit dan Nakamura (2010) bahwa pada suhu 37 ˚C TKH
lebih rendah (57±0,0%) daripada suhu 27 ˚C (96±3,2%). Kematian ikan
disebabkan karena ikan mengalami stres. Menurut Azwar et al. (2016) stres pada
ikan dapat menyebabkan menurunnya produktivitas dan daya tahan tubuh serta
meningkatnya angka kematian. Lama perendaman di MT tidak berpengaruh
terhadap TKH. Hal ini sesuai dengan Srisakultiew dan Komonrat (2013), bahwa
MT tidak memberikan pengaruh terhadap TKH. TKH ikan nila selama
pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 4 dan Gambar 5. TKH di akuarium lebih
rendah daripada di kolam, hal ini diduga karena ukuran ikan di akuarium lebih
kecil daripada di kolam. Sejalan dengan penelitian Dan dan Litte (2000), bahwa
TKH ikan kecil (1 g) (54%). TKH
baik di akuarium maupun di kolam tidak berbeda nyata pada semua perlakuan.
TKH ikan selama pemeliharaan didukung oleh kualitas air (Tabel 2) yang sesuai
untuk pertumbuhan ikan nila kecuali amonia. Ikan nila merupakan ikan yang
mempunyai adaptasi yang tinggi terhadap stres, hal ini memberikan kontribusi
terhadap tingginya TKH (Haheesh et al. 2011).
Metode ELISA digunakan pada penelitian ini untuk mengukur konsentrasi
MT dalam tubuh ikan (Memmat et al. 2015). Berdasarkan Gambar 6, kadar MT
yang diserap tubuh ikan berkisar 16,49-23,86 ng/g. Pada suhu perendaman yang
sama, perlakuan lama perendaman tidak mempengaruhi penyerapan MT oleh
larva ikan nila. Pada Gambar 1, persentase ikan nila kelamin jantan pada

11
perlakuan suhu 36 ˚C lebih banyak daripada suhu 26 ˚C. Dengan demikian, kadar
MT yang diserap oleh tubuh larva ikan nila meningkatkan persentase kelamin
jantan, dan suhu 36 ˚C mempengaruhi penyerapan MT. Penyerapan MT yang
lebih banyak diduga karena pada perlakuan suhu 36 ˚C pergerakan ikan lebih aktif
dan pergerakan tutup insang lebih cepat dari pada suhu 26 ˚C, sehingga MT
banyak yang masuk ke dalam tubuh. Hal ini sejalan dengan Tantarpale et al.
(2012), bahwa suhu 35 ˚C dapat mempercepat pergerakan tutup insang.
Seperti ditunjukkan pada Gambar 6, kadar MT menurun tajam pada H30
setelah perendaman, dan setelah itu cenderung stabil hingga H90. Hal tersebut
menunjukkan bahwa residu MT tidak ada lagi dalam tubuh ikan nila pada H90.
Penurunan kadar steroid yang cepat juga telah dilaporkan oleh Pandian dan
Kirankumar (2012), bahwa penurunan steroid sangat cepat sewaktu di awal dan
secara bertahap stabil. Tingkat penurunan kadar hormon tergantung pada spesies,
kemurnian steroid yang digunakan, organ yang dideteksi dan metode yang
digunakan. Pada penelitian ini deteksi MT dilakukan menggunakan seluruh tubuh
ikan nila.
Konsentrasi MT pada H30 hingga H90 relatif stabil dan sama dengan ikan
kontrol pada H90. Hal ini menunjukan bahwa MT tidak selamanya terakumulasi
di dalam tubuh. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa mengonsumsi ikan nila
setelah H90 pascarendam relatif aman. Hal ini sejalan dengan yang dilaporkan
oleh Rizkalla et al. (2004) bahwa tidak ada potensi bahaya pada orang yang
memakan ikan yang telah diberi perlakuan pemberian MT melalui pakan
sebanyak 30-120 mg/kg sewaktu larva dengan lama pemberian 28 jam.
Megbowon dan Mojekwu (2014) juga mengatakan bahwa hormon ini tidak
memberikan efek pada daging ikan ketika larvanya diberi perlakuan, tidak
berbahaya bagi manusia, pada lingkungan steroid ini juga biodegradable dan
mineralized.

4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Peningkatan suhu dapat meningkatkan nisbah kelamin jantan dan kadar MT
menurun seiring dengan waktu.

DAFTAR PUSTAKA
Arfah H, Soelistyowati DT, Bulkini A. 2013. Maskulinisasi ikan cupang Betta
splendes melalui perendaman embrio dalam ekstrak purwoceng Pimpinella
alpina. Jurnal Akuakultur Indonesia. 12(2): 145-150.
Ariyanto D, Robisalmi A, Larasati AK. 2012. Propolis, the alternatif natural
material for sex reversal in tilapia. Indonesian Aquaculture Journal. 7(2): 8794.
Azaza MS, Dhraief MN, Kraiem MM. 2008. Effects of water temperature on
growth and sex ratio of juvenile Nile tilapia Oreochromis niloticus (Linnaeus)

12
reared in geothermal waters in southern Tunisia. Journal of Thermal Biology.
33: 98-105.
Azwar M, Emiyarti, Yusnaini. 2016. Critical thermal dari ikan Zebrasoma scopas
yang berasal dari perairan pulau hoga kabupaten wakatobi. Sapa Laut. 1(2):6066.
Baroiller JF, Chourrout D, Fostier A, Jalabert B. 1995. Temperature and sex
chromosomes govern sex ratios of the mouthbrooding cichlid fish Oreochromis
niloticus. The Journal of Experimental Zoologi. 273:216-223.
Barton BA. 2002. Stress in fishes: A diversity of responses with particular
reference to changes in circulating corticosteroids. Integrative and
Comparative Biology. 42:517-525.
Beardmore JA, Mair GC, Lewis RI. 2001. Monosex male production in finfish as
exemplified by tilapia: applications, problems, and prospects. Aquaculture.
197: 283-301.
Bombardelli RA, Hayashi C. 2005. Masculinization of larva of Nile tilapia
Oreochromis niloticus L. by immersion baths with 17α–methyltestosterone. R
Bras Zootec. 34(2): 365-372.
Carman O, Jamal MY, Alimuddin. 2008. Pemberian 17α-metiltestosteron melalui
pakan meningkatkan persentase kelamin jantan lobster air tawar. Jurnal
Akuakultur Indonesia. 7(1):25-31.
Dagne A, Degefu F, Lakew A. 2013. Comparative growth performance of monosex and mixed-sex Nile tilapia Oreochromis niloticus L. in pond culture system
at sabeta, Ethiopian. International Journal of Aquaculture. 3(7): 30-34.
Dan NC, Little DC. 2000. Overwintering performance of Nile tilapia
Oreochromis niloticus (L.) broodfish and seed at ambient temperature in
northern Vietnam. Aquaculture Research. 35:485-493.
El-Fotoh EMA, Ayyat MS, El-Rahman GAA, Farag ME. 2014. Mono sex male
production in Nile tilapia Oreochromis niloticus using different water
temperature. Zagazig Journal of Agricultural Research. 41(1): 1-8.
Ferdous M, Ali MM. 2011. Optimization of hormonal dose during
masculinization of tilapia Oreochromis niloticus fry. Journal Bangladesh
Agricultural University. 9(2):359-364.
Firdous Z, Masum MA, Ali MM. 2011. Influence of stocking density on growth
performance and survival of monosex tilapia Oreochromis niloticu fry.
International Journal of Research in Fisheries and Aquaculture. 4(2):99-103.
Hasheesh WS, Marie MAS, Abbas HH, Eshak MG, Zahran EA. 2011. An
evolution of the effect of 17α-methyltestosterone hormone on some
biochemical, molecular and histological changes in the liver of Nile tilapia,
Oreochromis niloticus. Life Science Journal. 8(3): 343-358.
Hastuti S, Supriyono E, Mokoginta I, Subandiyono. 2003. Respon glukosa darah
ikan gurami Osphronemus gouramy LAC terhadap stres perubahan suhu dan
lingkungan. Jurnal Akuakultur Indonesia. 2(2):73-77.
Johnstone R, Macintosh DJ, Wright RS. 1983. Elimination of orally administered
17α-metyltestosterone by Oreochromis mossambicus (tilapia) and Salmo
gairdneri (rainbow trout) juveniles. Aquaculture. 35: 249-257.
Kent A. 1985. Laboratory Manual Histopathology. Balitvet Project. Bogor (ID):
Balai Penelitian Veteriner.

13
Kitano T, Takamune K, Nagahama Y, Abe S. 1999. Suppression of P450
aromatase gene expression in sex-reversed males produced by rearing
genetically female larvae at high water temperature during a periode of sex
differentiation in the Japanese flounder Paralichthys olivaceus. Journal of
Molecular Endocrinology. 23:167-176.
Kitano T, Takamune K, Nagahama Y, Abe S. 2000. Aromatase inhibitor and 17αmethyltestosterone cause sex-reversal from genetical females to phenotypic
males and suppression of P450 aromatase gene expression in Japanese flounder
Paralichthys olivaceus. Molecular Reproduction and Development. 56:1-5.
Kobayashi T, Kobayashi HK, Guan G, Nagahama Y. Sexual dimorphic
expression of DMRT1 and Sox9a during gonadal differentiation and hormoneinduced sex reversal in teleost fish Nile tilapia Oreochromis niloticus.
Developmental Dynamics. 237:287-306.
Megbowon I, Mojekwu TO. 2014. Tilapia sex reversal using methyltestosterone
(MT) and its effect on fish, man and environment. Biotechnology. 13(5): 213216.
Memmat MI, Reham AA, Omaima MD, Asmaa EH. 2015. Detection of
methyltestosterone and atrenbolone acetate hormones residue in Nile tilapia
Oreochromis niloticus. Benha Veterinary Medical Journal. 28(1): 276-280.
Navarro-Martin L, Vinas J, Ribas L, Diaz N, Gutierez A, Croce LD, Piferrer F.
2011. DNA methylation of the gonadal aromatase (cyp19a) promotor is
involved in temperature-dependent sex ratio shifts in the european sea bass.
Plos Gentics. 7(12):e1002447.
Padian TJ, Kirankumar S. 2012. Recent advances in hormonal induction of sexreversal in fish. Journal Application Aquaculuture. 13:205-230.
Pandit NP, Nakamura M. 2010. Effect oh high temperature on survival, growth
and feed conversion ratio of Nile tilapia Oreochromis niloticus. Our Nature.
8:219-224.
Piferrer P. 2011. Endocrine control of sex differentiation in fish. In: The sense,
suporting tissue, reproduction, and behavior. Farrell AP, Cech JJ, Richards JG,
stevens ED editor. Columbia, Canada (US). Encyclopedia of fish physiology:
From genome to environment. Page: 1490-1499.
Pottinger TG, Rand-Weaver M, Sumpter JP. 1998. Overwinter fasting and refeeding in rainbow trout: plasma growth hormone and cortisol levels in relation
to energy mobilization. Comparative Biochemistry and Physiology Part B.
136:403-417.
Rinchard J, Dabrowski K, Garcia-Abiado MA. 1999. Uptake and depletion of
plasma 17α-metiltestosterone during induction of masculinization in
muskellunge, Esox masquinongy: effect on plama steroids and sex reversal.
Steroids. 64(8): 518-525.
Rizkalla EH, Haleem HH, Abdel-Halim AMMRH. 2004. Evaluation of using 17αmethyltestosterone for monosex Oreochromis niloticus fry production. Egypt
Ger Soc Zool. 43(a): 315-335.
Schyolden J, Stoskhus S, Winberg S. 2005. Dose individual variation in stress
responses and agonistic behaviour reflect divergent stress coping strategies in
juvenile rainbow trout? Physiology Biochemical Zoology. 78:715–723.

14
Soelistyowati DT, Martati E, Arfah H. 2007. Efektivitas madu terhadap
pengarahan kelamin ikan gapi Poecilia reticulata Peters. Jurnal Akuakultur
Indonesia. 6(2): 155-160.
Srisakultiew P, Kamonrat W. 2013. Immersion of 17α-methyltestosterone dose &
duration on tilapia masculinization. Journal of Fisheries Science. 7(4): 302308.
Tantarpale VT, Rathord SH, Kapil S. 2012. Temperature stress on opercular beats
and respiratory rate of freshwater fish Channa punctatus. International Journal
of Scientific and Research Publication. 2(12):1-5.
Tessema M, Muller-Belecke A, Horstgen-Schwark G. 2006. Effect of rearing
temperatures on the sex ratios of Oreochromis niloticus populations.
Aquaculture. 258: 270-277.
Wassermann GJ, Afonso LOB. 2003. Sex reversal in Nile tilapia Oreochromis
niloticus Linnaeus by androgren immersion. Aquaculture Research. 34: 65-71.
Wedemeyer GA, Yasutake WT. 1977. Clinical Methode for The Assessment of
the Effect on Environmental Sress on fish health. Technical Paper of the U.S.
Fish and Wildlife Service. US Depert. Of the Interior, Fish and wildlife Service
American 89 : 1- 17.
WWF (World Wildlife Fund). 2009. International standards for responsible tilapia
aquaculture. Tilapia Aquaculture Dialoge. WWF. 38 pp.
Zairin JrM, Naufal MR, Maulana F, Setiawati M, Hardiantho D, Alimuddin. 2016
Oktober. The ratio of male and testosterone levels in tilapia immersed in
different doses of 17α-metiltestosterone. Jurnal Akuakultur Indonesia,
forthcoming.
Zairin Jr M, Nurlestyoningrum D, Raswin. 2005. Pengaruh dosis akriflavin yang
diberikan secara oral kepada larva ikan nila merah Oreochromis sp. Terhadap
nisbah kelaminya. Jurnal Akuakultur Indonesia. 4(2):131-137.
Zairin Jr M, Yuniarti, Dewi RRSPS, Sumantadinata K. 2002. Pengaruh waktu
perendaman induk di dalam larutan hormon 17α-metiltestosteron terhadap
nisbah kelamin anak ikan gapi Poecilia reticulata Peters. Jurnal Akuakultur
Indonesia. 1(1): 31-35.
Zonneveld N, Huisman EA, Boon JH. 1991. Prinsip-prinsip Budidaya Ikan.
Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama.

15

LAMPIRAN

16
Lampiran 1 Prosedur analisis kadar glukosa darah menggunakan KIT Glucose
GOD FS dari DiaSys International
1. Mempersiapkan larutan blanko, standar dan sampel glukosa benih ikan
nila dengan menambahkan akuades atau reagen sesuai prosedur berikut
ini.
Larutan
Sampel atau standar
Aquades
Reagen

Blanko
10 µl
1000 µl

Sampel atau standar
10 µl
1000 µl

2. Homogenkan dengan bantuan vortex. Selanjutnya diinkubasi selama 20
menit pada suhu 20-25 ˚C, atau selama 10 menit pada suhu 37 ˚C.
3. Baca absorbansi dalam 60 menit dan dibandingkan dengan blanko.
Panjang gelombang yang digunakan 546 nm.
4. Penghitungan kadar glukosa:
* Dengan standar atau kalibrator:
Glukosa [mg/dl] =
x konsentrasi. Std/Cal [mg/dl]
konsentrasi Std/Cal [mg/dl] = 100 mg /dl ( 5,55 mmol/l )
* Konversi faktor:
Glukosa [mg/dl] x 0,05551 = Glukosa [mmol/l]

Lampiran 2 Ekstraksi tubuh ikan nila
Ekstraksi ikan dilakukan dengan menghaluskan ikan sebanyak 20 gram.
Kemudian diambil sebanyak 2 gram dan dicampur dengan 6 ml metanol 100%,
dihomogenasi menggunakan vorteks selama 5 menit dan diinkubasi menggunakan
over-head shaker selama 25 menit. Selanjutnya, sampel disentrifugasi dengan
kecepatan 3000 rpm pada suhu 25 ˚C selama 10 menit. Supernatan diambil
sebanyak 4 mL dan dikeringkan menggunakan nitrogen evaporator pada suhu 60
˚C. Setelah larutan kering ditambahkan 1 ml metanol 80% dan dihomogenasi
dengan vorteks selama 10 detik serta ditambahkan heksan sebanyak 2 ml,
kemudian dicampur hingga homogen dan disentrifugasi kembali dengan
kecepatan 3000 rpm pada suhu 25 ˚C selama 10 menit. Sebanyak 1 ml larutan
dibagian bawah dipindahkan ke tabung baru kemudian ditambah 2 ml 20 mM
PBS Buffer, pH 7,4. Kemudian dicuci menggunakan RIDA C18 Columnn, setelah
itu di keringkan menggunakan nitrogen evaporator. Column yang telah
dikeringkan ditambahkan 1 ml larutan methanol 80%.

17
Lampiran 3

Hasil uji ANOVA

Oneway
Uji Homogenitas Varians
Levene
Statistik
df1
df2
1.607
5
12
1.607
5
12
1.342
5
12
1.439
5
12

NKJ
TKH1
TKH akuarium
TKH kolam

ANOVA
Jumlah
Derajat
kuadrat
bebas
NKJ

Antar grup

Sig.
.232
.232
.312
.279

Kuadrat
tengah

3325.434

5

665.087

Dalam grup

58.333

12

4.861

Total
TKH1
Antar grup
Dalam grup
Total
TKH
Antar grup
akuarium
Dalam grup
Total
TKH kolam Antar grup
Dalam grup

3383.767
59.622
2.825
62.448
176.949
969.707
1146.656
23.325
37.253
60.577

17
5
12
17
5
12
17
5
12
17

Total

F
136.818

50.648

.000

35.390
80.809

.438

.814

4.665
3.104

1.503

.260

NKJ
a

Duncan

N

.000

11.924
.235

Test Post Hoc
Subset Homogen

Perlakuan
Kontrol 26 C
Kontrol 36 C
2 jam 26 C
2 jam 36 C
4 jam 26 C
4 jam 36 C
Sig.

Sig.

Subset untuk alpa = 0.05
2
3
4

1
5
3 56.6667
3
62.0833
3
80.8333
3
86.6667
3
88.3333
3
92.5000
1.000
1.000
1.000
.373
1.000

18
Rata-rata untuk kelompok subset homogeny ditampilkan.
a. Penggunaan rata-rata ukuran sampel = 3.000.
TKH Setelah Perendaman
a

Duncan

Subset untuk alpa = 0.05
Perlakuan
N
1
2
4 jam 36 C
3
92.1100
2 jam 36 C
3
92.3333
Kontrol 36 C
3
92.5567
2 jam 26 C
3
95.8867
4 jam 26 C
3
95.8867
Kontrol 26 C
3
96.1100
Sig.
.305
.602
Rata-rata untuk kelompok subset homogeny ditampilkan.
a. Penggunaan rata-rata ukuran sampel = 3.000.
TKH akuarium
a

Duncan

Subset untuk alpa = 0.05
Perlakuan
N
1
2 jam 36 C
3
72.5533
2 jam 26 C
3
75.4433
4 jam 26 C
3
76.7767
4 jam 36 C
3
77.5533
Kontrol 26 C
3
79.1100
Kontrol 36 C
3
82.7233
Sig.
.233
Rata-rata untuk kelompok subset homogeny ditampilkan.
a. Penggunaan rata-rata ukuran sampel = 3.000.

19
TKH kolam
a

Duncan

Subset untuk alpa = 0.05
Perlakuan
N
1
2 jam 36 C
3
94.7767
Kontrol 26 C
3
96.0033
Kontrol 36 C
3
96.2367
2 jam 26 C
3
96.7733
4 jam 26 C
3
98.0033
4 jam 36 C
3
98.0033
Sig.
.066
Rata-rata untuk kelompok subset homogeny ditampilkan.
a. Penggunaan rata-rata ukuran sampel = 3.000.

Uji Homogenitas Varians
Glukosa
Levene Statistic
8.452E+15

df1

df2
6

7

Sig.
.000

ANOVA
Glukosa

Antar grup
Dalam grup
Total

Jumlah kuadrat
2371.036
394.472
2765.508

Derajat
bebas
6
7
13

Kuadrat
tengah
395.173
56.353

F
7.012

Sig.
.011

20
Test Post Hoc
Subset Homogen
Glukosa
Duncana
Subset untuk alpa = 0.05
1
2
3
MT suhu 26 C, 2 jam
2 109.1875
Kontrol negatif
2 114.2050
114.2050
Tanpa MT suhu 36 C
2
129.4035
129.4035
MT suhu 26 C, 4 jam
2
129.9720
129.9720
Tanpa MT suhu 26 C
2
131.7475
131.7475
MT suhu 36 C, 4 jam
2
143.3240
MT suhu 36 C, 2 jam
2
148.0110
Sig.
.525
.063
.054
Rata-rata untuk kelompok subset homogen ditampilkan.
a. Penggunaan rata-rata ukuran sampel = 2.000.
Perlakuan

MT1
MT30
MT60
MT90

N

Uji Homogenitas Varians
Levene
Statistic
df1
df2
.
3
.
597478970884
3
4
9990.000
.
3
.
.
3
.

MT1 Antar grup
Dalam grup
Total
MT3 Antar grup
0
Dalam grup
Total
MT6 Antar grup
0
Dalam grup
Total
MT9 Antar grup
0
Dalam grup
Total

ANOVA
Jumlah
Derajat
kuadrat
bebas
77.037
3
116.393
4
193.430
1.851
3.051
4.902
.588
.982
1.571
.745
.331

7
3
4
7
3
4
7
3
4

1.077

7

Sig.
.
.000
.
.

Kuadrat
tengah
25.679
29.098

F
.882

Sig.
.522

.617
.763

.809

.551

.196
.246

.799

.556

.248
.083

2.999

.158

21
Test Post Hoc
Subset Homogen
MT1
a

Duncan

Subset untuk alpa = 0.05
Perlakuan
N
1
4 jam 26 C
2
16.4950
2 jam 26 C
2
18.3600
4 jam 36 C
2
23.0600
2 jam 36 C
2
23.8700
Sig.
.248
Rata-rata untuk kelompok subset homogeny ditampilkan.
a. Penggunaan rata-rata ukuran sampel = 2.000.

Duncana

MT30

Subset untuk alpa = 0.05
Perlakuan
N
1
4 jam 36 C
2
2.7250
2 jam 36 C
2
3.4200
4 jam 26 C
2
3.8550
2 jam 26 C
2
3.9400
Sig.
.242
Rata-rata untuk kelompok subset homogeny ditampilkan.
a. Penggunaan rata-rata ukuran sampel = 2.000.

MT60
a

Duncan

Subset untuk