Pencirian Dan Standardisasi Kultivar Jambu Mete (Anacardium Occidentale L.)

PENCIRIAN DAN STANDARDISASI KULTIVAR
JAMBU METE (Anacardium occidentale L.)

SARAH FEBRIANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pencirian dan
Standardisasi Kultivar Jambu Mete (Anacardium occidentale L.) adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2016
Sarah Febriani
G353120101

RINGKASAN
SARAH FEBRIANI. Pencirian dan Standardisasi Kultivar Jambu Mete
(Anacardium occidentale L.). Dibimbing oleh ALEX HARTANA dan MIEN
AHMAD RIFAI.
Jambu mete (Anacardium occidentale L.) merupakan tanaman tropis yang
berasal dari Amerika Selatan seperti Bolivia, Brazil, Ekuador, Peru dan saat ini
telah banyak dibudidayakan di beberapa daerah Indonesia. Kultivar unggul jambu
mete yang tercantum dalam SK Menteri Pertanian RI belum dikenal petani,
apalagi karena sistem penamaan tanaman budi daya dalam Undang-Undang No 29
tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah nomor 13 tahun 2004 tidak sejalan dengan
Kode Internasional Tata Nama Tanaman Budi Daya 2009. Penelitian kultivar
jambu mete saat ini hanya mengkaji sektor ekonomi dan belum mencakup
standardisasi kultivar. Pengenalan ciri kultivar yang Distinct (berbeda), Uniform
(seragam), dan Stable (stabil) (DUS) diharapkan mampu memberikan informasi
bagi produsen dan konsumen. Oleh karena itu dilakukan penelitian untuk
mengeksplorasi keberagaman jambu mete dan mengelasifikasikan kelompok

kultivar jambu mete berdasarkan karakter yang mudah, praktis dan tidak
menimbulkan kerancuan dan mempelajari permasalahan jambu mete di lingkup
petani.
Lima puluh dua sampel tanaman dikoleksi dari Kabupaten Wonogiri (Jawa
Tengah) dan 66 contoh tanaman dari Kabupaten Bantul (Daerah Istimewa
Yogyakarta). Sebanyak 82 sampel tanaman yang memiliki organ vegetatif dan
generatif yang lengkap dianalisis. Pengelompokan sampel tanaman menggunakan
metode Pair Group Method with Average (UPGMA) dan koefisien kemiripan
Simple Matching (SM).
Jambu mete memiliki variasi yang tinggi pada karakter warna tangkai
bunga, warna mahkota bunga, bentuk buah semu, warna buah semu masak, bentuk
panggul kacang, dan bentuk ujung kacang. Berdasarkan dendogram 8 karakter
terpilih yang praktis dan tidak menimbulkan kerancuan terdiri atas warna buah
semu masak, bentuk buah semu masak, permukaan buah semu, ujung buah semu,
aroma buah, panggul kacang, bentuk ujung buah sejati, dan berat kacang.
Pengelompokan jambu mete dalam dendogram menjadi 4 kelompok yaitu
Anacardium Grup Brambang, Anacardium Grup Senja, Anacardium Grup Lumut
dan Anacardium Grup Pancawarna.
Jika membandingkan dengan kode tata nama internasional tanaman budi
daya maka PP nomor 13 tahun 2004 memiliki beberapa kekurangan. Salah satu

kekurangannya yaitu kode tata nama internasional tanaman budi daya mengatur
penulisan kultivar dalam tanda kutip tunggal („) di awal dan akhir nama kultivar,
namun berbagai nama kultivar unggul jambu mete di Indonesia belum
menerapkan aturan tersebut. Sebagai contoh penulisan kultivar yang benar yaitu
jambu mete „Meteor‟ atau Anacardium occidentale „Meteor‟.
Diperlukan proses yang panjang dan bertahap agar petani dan konsumen
memiliki pengetahuan mengenai distinctive dan uniformity pada tanaman budi
daya. Kultivar unggul yang dikeluarkan oleh pemerintah dapat dikelompokkan ke
dalam 4 grup berdasarkan dendogram, sehingga pengelompokan ini dapat
menyederhanakan seluruh kultivar yang ada di Indonesia dan juga membantu

petani dalam mengenal kultivar. Perlu adanya pengajian dan penyesuaian
Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2004, Undang-Undang nomor 29 tahun
2000 dan Surat Keputusan terhadap Kode Internasional Tata Nama Tanaman Budi
Daya supaya kultivar-kultivar jambu mete Indonesia diakui secara internasional.

Kata kunci: Anacardium, jambu mete, pencirian, tanaman budi daya

SUMMARY
SARAH FEBRIANI. Characterization and Standardization of Cashew Cultivar

(Anacardium occidentale L.). Supervised by ALEX HARTANA and MIEN
AHMAD RIFAI.
Cashew is a tropical plant from South America including Bolivia, Brazil,
Ecuador, Peru, and now it is cultivated in many areas of Indonesia. The
Indonesian farmers do not know the cultivars names because the nomenclature
system that being used is not in accordance with International Code of
Nomenclature for Cultivated Plants. Standardization of cashew cultivars was
important to provide information to the farmers and consumers about characters
distinctness, uniformity and stability (DUS). The aims of this study were to
explore and classify cashew cultivars based on simple and practical characters and
to study the cashew cultivars problem in the farmers.
Fifty two cashew plants from Wonogiri (Central Java) and 66 cashew
plants from Bantul (Yogyakarta) were observed based on cashew apple and
kernel. Specimen were grouped based on its similarity with eight characters.
Unweighted Pair Group Method with Average (UPGMA) and Simple Matching
simmilarity method was used to group.
Cashew has high variations in the characters of flower color, cashew apple
shape, cashew apple colour, flanks of nut, and shape of nut apex. Based on the
dendogram, 8 selected characters mature cashew apple colour, cashew apple
shape, skin of cashew apple, cashew apple apex, flesh odour, flanks of nut,shape

of nut apex, nut weight. Cashew was classified into 4 groups which are
Anacardium Brambang Group, Anacardium Senja Group, Anacardium Lumut
Group, and Anacardium Pancawarna Group.
Both legislation and government regulation to cultivated plant are not in
accordance with the International Code of Nomenclature for Cultivated Plants.
One of the mistaken is the implementation of international nomenclature code
cultivars in writing single quotation marks (') at the beginning and in the end of
the cultivar name. As a matter of fact, the indonesian cashew cultivars should be
implemented the rule yet. For example the correct cultivars name was cashew
'Meteor' or Anacardium occidentale 'Meteor'.
Continous processes are needed to provide the knowledge of farmers and
consumers about distinctive and uniformity of cultivated plant. Cashew cultivars
released by the government can be grouped into 4 groups based on the
dendogram, so that this result is able to can simplify the whole cultivars in
Indonesia and also help farmers to identify the cultivars. Review and adaptation
are neded for Government Regulation and legislation cultivar with the
International Code of Nomenclature of Plant Cultivation, so that Indonesian
cultivar will be Internationally certified.
Keywords: Anacardium, cashew, characterization, cultivated plant


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENCIRIAN DAN STANDARDISASI KULTIVAR
JAMBU METE (Anacardium occidentale L.)

SARAH FEBRIANI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biologi Tumbuhan


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Deby Arifiani

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah
Pencirian dan Standardisasi Kultivar Jambu Mete (Anacardium occidentale L.).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Alex Hartana dan Prof Dr
Mien Ahmad Rifai selaku pembimbing, serta Dr Deby Arifiani yang telah banyak
memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada
Kelompok Tani Catur Makaryo Desa Wisata Karang Tengah, dan Kelompok Giri
Makmur 1, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul Yogyakarta serta seluruh
masyarakat dan petani kecil di Kabupaten Wonogiri yang telah membantu penulis
dalam menyelesaikan penelitian ini. Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada

Direktorat Jenderal Penelitian Tinggi (DIKTI) yang telah mendanai penelitian ini
melalui Beasiswa Unggulan 2012. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2016
Sarah Febriani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN

viii


1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian

1
1
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Asal dan Persebaran Jambu Mete
Botani dan Syarat Tumbuh Jambu Mete
Pemanfaatan Jambu Mete
Kultivar Jambu Mete
Pengembangan Budi Daya Jambu Mete Indonesia
Klasifikasi Tanaman Budi Daya
Standardisasi Kultivar
Peraturan Sistem Tanaman Budi Daya Nasional dengan
Kode Internasional Tata Nama Tanaman Budi Daya
Permasalahan Pengembangan Jambu Mete di Indonesia


3
3
3
4
4
4
6
6
7
8

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Koleksi Sampel Jambu Mete di Lapangan
Pengamatan Morfologi
Pengelompokan Sampel Tanaman Jambu Mete
Pembuatan Kunci Identifikasi
Identifikasi Masalah Jambu Mete di Petani


10
10
10
10
11
11
11

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Keanekaragaman Jambu Mete berdasarkan Karakter Morfologi
Pengelompokan Jambu Mete
Permasalahan Jambu Mete di Lapangan

12
12
15
20

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

23
23
23

DAFTAR PUSTAKA

24

LAMPIRAN

27

RIWAYAT HIDUP

33

DAFTAR TABEL
1 Nama-nama kultivar jambu mete di Indonesia
2 Karakter dan sifat karakter yang digunakan dalam penyusunan kelompok
dendogram

8
15

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Peta lokasi pengambilan sampel tanaman jambu mete
Warna tangkai bunga jambu mete
Warna mahkota bunga jambu mete
Bentuk buah semu jambu mete mengerucut hingga membulat telur
sungsang
5 Bentuk buah semu jambu mete menyilinder
6 Bentuk buah semu jambu mete membulat
7 Bentuk ujung buah semu jambu mete
8 Bentuk ujung kacang jambu mete
9 Dendogram pengelompokan 82 tanaman jambu mete dengan 75 karakter
morfologi
10 Dendogram pengelompokan 75 karakter morfologi
11 Dendogram pengelompokan 82 tanaman jambu mete dengan delapan
karakter morfologi

10
12
12
13
13
13
14
14
16
17
18

DAFTAR LAMPIRAN
1 Karakter morfologi yang diamati. Beberapa karakter diambil dan
dimodifikasi dari deskriptor jambu mete (Anacardium occidentale L.)
dan penambahan karakter morfologi baru

29

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jambu mete (Anacardium occidentale L.) merupakan tanaman pertanian
tropik yang berasal dari Amerika Selatan meliputi negara Bolivia, Brazil,
Ecuador, dan Peru (Vavilov 1951; Hou 1978; Behrens 1998; Azam-Ali dan Judge
2000). Jambu mete pertama kali diperkenalkan dari Brazil ke Nigeria pada abad
ke-16 untuk program penanaman hutan, mengurangi erosi, dan konservasi tanah
(Mitchell dan Mori 1987; Aliyu dan Awopetu 2006). Namun setelah itu jambu
mete dikembangkan menjadi tanaman pertanian ekspor di berbagai negara.
Benua Asia, Afrika, dan Amerika Selatan merupakan kawasan utama yang
mengembangkan penanaman jambu mete. Kawasan Asia terutama di India,
Vietnam, dan Indonesia menjadi negara penghasil jambu mete terbesar (FBSPL
2014). Jambu mete di Indonesia banyak ditanam di provinsi Jawa Tengah, Jawa
Timur, Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi
Tenggara (IICB 2012).
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri (Balittri)
sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Litbang Pertanian yang menangani
komoditas mete, mengeluarkan beberapa kultivar unggul nasional antara lain
„GG1‟, „PK 36‟, dan „MR 851 (Daras et al. 2007; Saefudin 2009). Kultivar
unggul nasional tersebut dilepas berdasarkan SK Menteri Pertanian nomor
63/Kpts/SR.120/1/2004 dan 64/Kpts/SR.120/1/2004 tahun 2004 (Daras et al.
2007), akan tetapi petani belum mengenal kultivar unggul jambu mete. Hal ini
dikarenakan jumlah biji atau bibit masing-masing kultivar unggul sangat terbatas
sehingga belum mampu tersebar luas ke kawasan pengembangan jambu mete
lainnya. Balittri melakukan kegiatan perakitan kultivar unggul tanaman untuk
usaha peningkatan produksi jambu mete terus-menerus, akan tetapi hal tersebut
tidak diimbangi usaha sosialisasi kepada petani. Dibandingkan dengan
pembudidayaan jambu mete di Vietnam penyebarluasan kultivar unggulnya
dilakukan oleh perusahaan swasta yang memberikan secara gratis bahan tanaman
kultivar unggul, penyuluhan hingga pemasaran hasil, sedangkan peran pemerintah
lebih bersifat fasilitasi dan pembuatan perangkat peraturan (Daras 2007).
Pemerintah Indonesia telah mengatur sistem tata nama budi daya dalam
Undang-Undang No 29 tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah nomor 13 tahun
2004, sedangkan secara internasional tata penamaan kultivarnya diatur dalam
Kode Internasional Tata Nama Tanaman Budi Daya tahun 2009. Peraturan sistem
tata nama budi daya Indonesia tidak sejalan dengan tata aturan kode internasional,
sehingga kultivar tanaman budi daya jambu mete Indonesia belum diakui secara
internasional. Permasalahan ini ditambah pula dengan aturan tata nama yang
belum dipahami oleh petani, produsen, dan konsumen secara benar.
Secara taksonomi, kultivar jambu mete Indonesia belum memiliki
klasifikasi tanaman budi daya yang baku. Penelitian kultivar jambu mete saat ini
hanya mengkaji sektor ekonomi dan belum mencakup standardisasi kultivar.
Standardisasi kultivar diperlukan untuk memberikan suatu informasi yang pasti
untuk mengenal ciri kultivar yang ada di pasaran. Pengenalan ciri kultivar yang
Distinct (berbeda), Uniform (seragam), dan Stable (stabil) (DUS) diharapkan

2
mampu memberikan informasi bagi produsen dan konsumen (Rifai 2010). Oleh
karena itu, penelitian ini dilakukan untuk memberikan informasi bagi para pelaku
agronomi, petani, dan konsumen jambu mete untuk mencapai keseragaman bentuk
atau kualitas dalam setiap produk yang diinginkan.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengeksplorasi keberagaman jambu mete
berdasarkan karakter morfologi, mengelasifikasikan kelompok kultivar jambu
mete berdasarkan karakter yang mudah, praktis, dan tidak menimbulkan
kerancuan, serta mempelajari permasalahan jambu mete di lingkup petani.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Asal dan Persebaran Jambu Mete
Jambu mete merupakan tanaman asli dari daerah tropis Amerika Selatan,
khususnya di Timur Laut Brazil (Ohler 1979; Asogwa et al. 2008). Proses awal
penyebaran jambu mete dilakukan oleh bangsa Portugis pada abad ke-15 hingga
16 ke Afrika dan Asia (Woodroof 1967; Ohler 1979). Persebaran tanaman ini
makin meluas hingga menjangkau Malaysia dan Indonesia. Bangsa Portugis
mulai mengintroduksi jambu mete di Indonesia dan pengembangannya dilakukan
secara bertahap hingga menjangkau di seluruh wilayah Indonesia (Koerniati dan
Hadad 1996). Madura merupakan sentra produksi pertama kali jambu mete
(Dibyo et al. 2008). Tanaman jambu mete ini mulai dijadikan sebagai tanaman
reboisasi di Sulawesi Tenggara oleh Departemen Kehutanan pada tahun 1969
(Hadad et al. 1995).
Botani dan Syarat Tumbuh Jambu Mete
Jambu mete (Anacardium occidentale L.) yang dikenal juga dengan nama
jambu monyet, jambu mente, atau jambu dwipa merupakan tanaman budi daya
tropik yang termasuk dalam suku Anacardiaceae yang terdiri atas 75 marga dan
700 jenis (Nakasone dan Paull 1998). Jenis ini dipertelakan pertama kali oleh
Linnaeus dalam Spesies Plantarum tahun 1753 (Hou 1978).
Jambu mete termasuk tanaman yang memiliki daun tidak meranggas, tinggi
pohon 12 m, panjang percabangan utama 0.5–1.5 m. Jambu mete berdaun
berseling, melonjong hingga membundar telur sungsang, ukuran daun sekitar
20x15 cm, permukaan daun kasar, daun muda jambu mete berwarna merah
kecoklatan dan akan berubah warna menjadi hijau tua ketika daun dewasa,
permukaan daun gundul, tulang dan urat daun terlihat jelas; panjang tangkai daun
1–2 cm, bengkak pada pangkal, rata pada permukaan atas. Jambu mete memiliki
keunikan tersendiri pada buahnya. Buah jambu mete terdiri atas dua tipe yaitu
buah semu dan buah sejati. Buah semu merupakan perkembangan tangkai buah
yang membesar dan memiliki variasi permukaan warna merah, kuning, dan hijau.
Perbungaan jambu mete terletak di terminal dan bersifat renggang, merunduk,
malai bunga banyak, panjang ibu tangkai bunga hingga 25 cm, aroma bunga
wangi, bunga terdiri atas bunga jantan dan hermaprodit; jumlah sepal 5, melanset
hingga melonjong membulat telur sungsang, berbulu balig; jumlah petal 5,
memita-melanset, ukuran petal 7–13 mm x 1–1.5 mm, tertekuk balik, keputihputihan pada antesis, merah muda-merah, jumlah stamen 10; 9 stamen pendek dan
1 stamen panjang. Buah sejati berbentuk ginjal, 3 cm x1.2 cm, berwarna abucoklat, buah semu berukuran 10–20 cm x 4–8 cm, mengkilap, halus dan berair,
berwana merah hingga kuning (Eijnatten 1992).
Tanaman jambu mete dapat tumbuh pada tanah yang miskin unsur hara,
tanah kering berpasir (Aliyu 2007). Syarat tumbuh jambu mete lainnya antara lain
suhu rata-rata berkisar 15–35oC dan curah hujan per tahun sebesar 400 mm
dengan ketinggian tempat 200 m di atas permukaan laut (Chipojola et al. 2009).

4

Pemanfaatan Jambu Mete
Daging buah semu jambu mete bisa dimanfaatkan untuk rujak, salad buah,
masakan tumisan, dodol, manisan, pakan ternak, dan minuman jus, serta dapat
juga difermentasikan menjadi minuman beralkohol (cashew wine) (Asogwa et al.
2008). Buah sejati merupakan perkembangan bakal buah untuk menghasilkan biji
yang biasa dikenal dengan kacang mete. Kacang mete mengandung 47% lemak,
21% protein, dan 22% karbohidrat (Ohler 1979).
Tidak hanya buah semu dan kacangnya saja yang dapat dimanfaatkan, daun
mudanya dapat dijadikan lalapan, cairan pada kulit kacang (cashew nut shell
liquid/ CSNL) biasa digunakan untuk pelumas rem kendaraan bermotor, cat,
pernis, pelapis jaring ikan, dan perekat kayu tripleks (Murthy dan Sivasambari
1985; Eijnatten 1992; Akaranta et al. 1996), sedangkan kulit batang dan akar
dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional (Eijnatten 1992).
Kultivar Jambu Mete
Jambu mete menjadi salah satu komoditas pertanian dan memiliki nilai
ekonomi yang penting dalam bahan baku industri makanan. Kacang mete sebagai
bahan baku industri menempati posisi prioritas dan memiliki prospek yang baik,
sehingga Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri
(Balittri) melakukan usaha pemuliaan jambu mete. Pelepasan kultivar jambu mete
„GG1‟, „PK36‟, „MR851‟, „B02‟, „SM9‟, „Meteor Yk‟, „MPF1‟, dan „MPEl‟
sebagai kultivar unggul oleh Balittri telah disahkan serta bersertifikasi hukum
yang dituangkan dalam SK Menteri Pertanian (Daras et al. 2007). Di Indonesia
terdapat empat kebun percobaan yang mengoleksi kultivar jambu mete yang
berasal dari berbagai daerah dan kultivar introduksi. Total sebanyak 259 koleksi
kultivar jambu mete ditanam di kebun percobaan Cikampek Jawa Barat,
Muktiharjo Jawa Tengah, Pakuwon Sukabumi, dan Asembagus Jawa Timur
(Ferry 2012).

Pengembangan Budi Daya Jambu Mete Indonesia
Pengembangan kultivar unggul jambu mete di Indonesia dilakukan dengan
beberapa cara, antara lain sebagai berikut.
1. Pemilihan pohon induk unggul pada kebun Blok Penghasil Tinggi (BPT)
jambu mete. Seleksi pohon induk terpilih dari BPT dilakukan untuk memperoleh
individu yang memiliki karakteristik sifat vegetatif dan generatif yang unggul.
Sifat vegetatif dan generatif tersebut harus mampu dibedakan antar daerahnya, hal
ini bertujuan agar sifat tersebut menjadi penciri suatu daerah tertentu. Cara
tersebut sudah diterapkan di daerah Muna Sulawesi Tenggara, khususnya di BPT
La Ode Gani 1 dan La Ode Kase mempunyai sifat unggul adaptif terhadap lahan
kering iklim basah, produksi gelondong mete cukup tinggi, toleran terhadap
penyakit Fusarium, bobot dan ukuran gelondong kacang cukup besar serta rasa
kacang gurih (Wicaksono et al. 2011). Cara tersebut merupakan awal mula
dikeluarkannya kultivar jambu mete „Muna‟ oleh pemerintah. Pemilihan pohon
induk unggul dari kebun BPT memiliki permasalahan yakni usia pohon induk

5
sudah tua kurang lebih 30 tahun, kondisi kebun tidak terawat dan masih minimnya
proses peremajaan pohon induk.
2. Penanaman biji. Cara ini memerlukan berbagai nomor biji jambu mete
yang telah dikoleksi oleh Kebun Percobaan. Kelemahan dari cara ini memerlukan
waktu yang lama karena meliputi proses penanaman, penyiangan, pemupukan
serta pengendalian terhadap hama dan penyakit. Dengan cara tersebut maka
terdapat catatan lengkap pengamatan dari tahun ke tahun. Catatan lengkap
pengamatan tanaman jambu mete secara keseluruhan untuk membandingkan
masing-masing sifat vegetatif dan generatifnya, serta penghasil produksi tertinggi
sehingga bisa terlihat pohon yang memiliki karakteristik superior. Pengamatan
secara keseluruhan tersebut dapat memprediksi produksi hanya dengan melihat
bagian morfologi seperti luas kanopi, jumlah tunas per m2, persentase bunga
hermaprodit, jumlah bunga per tangkai, bobot gelondong, bobot kacang atau
rendemen kacang. Pengamatan secara keselutuhan tersebut dicoba dengan
menguji 12 benih jambu mete antara lain Jepara (F2-10), Tegineneng (A3-2),
Madura (M4-2), Gunung Gangsir (293), Gunung Gangsir (180), Balakrisnan (B
02), Mojokerto (XII/8), Madura (L3-3), Segayung (21) (SM9), Jatiroto Jambon
(III/4-5), Wonogiri (C6-5) dan Yogya Putih (XII/8) (Dibyo et al. 2008).
Berdasarkan penelitian tersebut terlihat bahwa jambu mete SM9 memiliki
produksi tinggi dengan 11,76 kg/pohon gelondong pada umur 7 tahun. SM9 telah
mengungguli kultivar unggul lainnya yang telah dikeluarkan oleh pemerintah
terlebih dahulu yaitu GG1 dengan produktivitas 8,59 kg/ph/thn gelondong pada
umur 7-8 tahun. SM9 merupakan nama yang akan diusulkan sebagai kultivar.
Kultivar ini berasal dari varietas A 9 yakni hasil introduksi dari Srilanka,
sedangkan nama asalnya adalah Segayung Jawa Tengah dan akan diusulkan
sebagai calon kultivar dengan nama Segayung Muktiharjo 9 atau SM9.
Penanaman jambu mete dari biji memiliki beberapa persyaratan yakni biji harus
bersertifikasi, ukuran biji seragam dan pada saat panen harus dipilih antara biji
yang akan dijual untuk konsumsi dan untuk dijadikan bibit. Perbanyakan jambu
mete dengan menggunakan biji memiliki kendala variasi karakter fenotipik yang
tidak sama dengan induknya (Valencia et al. 2008). Besarnya variasi karakter
pada jambu mete ini disebabkan jambu mete memiliki sifat penyerbukan silang
yang prosesnya dilakukan oleh serangga.
3. Sambung pucuk (grafting). Cara ini dilakukan dengan menyambungkan
benih batang bawah dan batang atas (entres) yang berasal dari pohon induk yang
berasal dari varietas sejenis, pohon induk terpilih atau berasal dari kultivar unggul
yang dikehendaki (Daras et al. 2007), memadukan antara batang atas asal varietas
unggul produksi tinggi dengan batang bawah asal pohon induk lokal. Syarat
sambung pucuk tanaman antara lain batang bawah memilki perakaran yang kuat,
tahan terhadap penyakit busuk akar dan dapat beradaptasi baik pada kondisi
lingkungan yang sub optimal (Supriadi dan Heryana 2012), selain itu kondisi
bahan tanaman juga harus dalam kondisi fisiologis yang optimal (Hartman dan
Kester 1975). Penelitian dengan metode grafting pada umumnya menyimpulkan
kombinasi batang atas dan batang bawah dari jenis kultivar yang menghasilkan
produktivitas tinggi dan perbandingan ukuran panjang tunas sambungan dan
jumlah tunas yang muncul hasil dari grafting. Hasil penelitian tersebut belum
membahas mengenai cara pemberian nama kultivar yang akan dicalonkan sebagai
kultivar unggul dari metode grafting. Walaupun dalam Peraturan Menteri

6
Pertanian Nomor 92/Permentan/OT.140/9/2013 mengenai standar operasional
prosedur sertifikasi benih dan pengawasan mutu benih tanaman jambu mete harus
memiliki informasi lengkap mengenai (Kementan 2013):
a. Asal usul benih batang bawah dan entres
b. Pemeriksaan dokumen benih untuk kebun entres
c. Surat Keputusan penetapan kebun entres
d. Kebun entres telah direkomendasikan oleh instansi yang berwenang.
Segala persyaratan tersebut telah dipenuhi maka dilanjutkan dengan
pemeriksaan lapangan untuk sertifikasi benih tanaman jambu mete siap tanam
asal grafting dengan mencatat umur benih (bulan), tinggi benih (cm), diameter
batang (mm), warna daun, kesehatan tanaman, hasil sambungan, kompatibilitas
batang atas dan bawah, ukuran dan warna polibeg. Tahapan selanjutnya mengenai
kelayakan benih untuk mendapatkan sertifikasi bergantung pada ketentuan yang
berlaku tentang Pengawasan dan Pengujian Mutu Benih Perkebunan (UndangUndang Nomor 12 tahun 1992, Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1995, dan
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 39 Tahun 2006) dan dari hasil pemeriksan
lapangan. Hasil pemeriksaan tersebut mencantumkan varietas/klon, lokasi (desa,
Kecamatan dan Kabupaten), asal benih dan tolok ukur standar benih.
Menteri Pertanian telah menyusun Standar Operasional Prosedur Sertifikasi
Benih dan Pengawasan Mutu Benih Tanaman Jambu Mete namun belum
mengatur cara pemberian nama kultivar yang berasal dari metode grafting. Belum
adanya aturan tersebut memberikan kesulitan pemberian nama kutivar gabungan
dari asal benih entres dan batang bawah, atau hanya dari nama asal benih entres
dan batang bawah saja. Kesulitan inilah yang menyebabkan terjadinya kerancuan
di lapangan.
Klasifikasi Tanaman Budi Daya
Berbeda halnya dengan klasifikasi tumbuhan yang diatur oleh International
Code of Nomenclature, klasifikasi tanaman budi daya diatur oleh kode
Internasional tata nama tanaman budi daya (International Code of Nomenclature
for Cultivated Plants). Kode tata nama tanaman tersebut mengatur tanaman budi
daya ke dalam grup/ grex dan kultivar, serta terdapat pasal yang mengatur
beberapa hal kaitannya dengan penamaan kultivar. Salah satu aturan dalam kode
internasional tersebut menggunakan tanda baca petik („‟), pemberian nama kulta
juga berdasarkan atas asal tanaman, karakter yang menonjol, atau alasan lainnya
(ISHS 2009); (Fitmawati et al. 2009). Namun disayangkan, para petani lokal tidak
mengetahui adanya nama-nama jambu mete yang disebutkan dalam SK Menteri
Pertanian. Bahkan selama ini para pemulia dan peneliti jambu mete lebih sering
menyebut kultivar dengan nama varietas. Padahal varietas merupakan istilah yang
digunakan untuk kategori tumbuhan sedangkan kultivar merupakan kategori
tanaman budi daya (ISHS 2009). Banyak hal yang harus dikoreksi dalam
penamaan tanaman budi daya jika itu benar mengacu pada kode tata nama
tanaman budi daya.
Standardisasi Kultivar
Kegiatan inventarisasi, karakterisasi, dan evaluasi merupakan tahapan awal
untuk pembakuan variasi ciri yang ada dan menyusunnya dalam klasifikasi tepat

7
sehingga data siap digunakan sebagai informasi untuk mengenal kultivar jambu
mete oleh semua pihak yang berkepentingan. Kegiatan penelitian ini
menghasilkan seperangkat ciri yang dapat mendukung pembedaan antar kultivar
dan diharapkan memberikan hasil pengelompokan yang stabil. Kestabilan
penamaan diharapkan akan menjamin produk di pasaran (Fitmawati 2009).
Standardisasi kultivar menjadi salah satu keharusan bagi kultivar untuk memenuhi
ketentuan Distinct, Uniform, Stable (DUS) bagi tanaman budi daya. Distinct,
Uniform, Stable berguna untuk mempertelakan dan memetakan variasi tanaman
budi daya secara tegas sehingga jelas terbedakan dengan kultivar lainnya dan
untuk melegalisasi peraturan bagi kepentingan konsumen, produsen produk jambu
mete, dan tata niaganya (Rifai 2010).
Peraturan Sistem Tanaman Budi Daya Nasional dengan Kode
Internasional Tata Nama Tanaman Budi Daya
Indonesia memiliki Undang-Undang nomor 29 tahun 2000 yang mengatur
Perlindungan Varietas Tanaman. Bab II bagian pertama pasal 2 butir 1 dalam
undang-undang tersebut tertulis “ varietas yang dapat diberi PVT meliputi varietas
dari jenis atau spesies tanaman baru yang baru, unik, seragam dan diberi nama”.
Pasal tersebut sebagai dasar bahwa pemerintah akan menyetandarkan semua
varietas yang baru. Butir-butir dalam pasal berikut ini menjelaskan apa yang
dimaksud dengan varietas unik, seragam, dan stabil:
Butir 3 “ Suatu varietas dianggap unik apabila varietas tersebut dapat
dibedakan secara jelas dengan varietas lain yang keberadaannya sudah diketahui
secara umum pada saat penerimaan permohonan hak PVT”.
Butir 4 “Suatu varietas dianggap seragam apabila sifat-sifat utama atau
penting pada varietas tersebut terbukti seragam meskipun bervariasi sebagai
akibat dari cara tanam dan lingkungan yang berbeda-beda”.
Butir 5 “Suatu varietas dianggap stabil apabila sifat-sifatnya tidak
mengalami perubahan setelah ditanam berulang-ulang, atau untuk yang
diperbanyak melalui siklus perbanyakan khusus, tidak mengalami perubahan pada
setiap akhir siklus tersebut”.
Indonesia juga memiliki Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2004 yang
mengatur penamaan pendaftaran dan penggunaan varietas asal untuk pembuatan
varietas turunan esensial. Bab III pasal 4 pada PP tersebut mengatur mengenai
penamaan varietas lokal harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. mencerminkan identitas Varietas Lokal yang bersangkutan;
b. tidak menimbulkan kerancuan karakteristik, nilai atau identitas suatu Varietas
Lokal;
c. tidak telah digunakan untuk nama Varietas yang sudah ada;
d. tidak menggunakan nama orang terkenal;
e. tidak menggunakan nama alam;
f. tidak menggunakan lambang negara; dan/atau
g. tidak menggunakan merek dagang untuk barang dan jasa yang dihasilkan dari
bahan propagasi seperti benih atau bibit atau bahan yang dihasilkan dari
Varietas lain, jasa transportasi atau penyewaan tanaman.
Contoh nama-nama kultivar jambu mete pada Tabel 1 mengacu pada nama
daerah tempat jambu mete tersebut berasal, namun jika dilihat kembali pasal 4

8
bahwa nama kultivar harus mencerminkan identitas varietas lokal yang
bersangkutan maka penciri identitas dari nama kultivar belum terlihat jelas.
Tabel berikut contoh nama-nama kultivar jambu mete yang dikoleksi dari 4
kebun percobaan yang terdapat di daerah Cikampek, Muktiharjo, Asembagus, dan
Pakuwon.
Tabel 1 Nama-nama kultivar jambu mete di Indonesia
No
Daerah Asal
Kultivar
1.
Wonogiri
„Wonogiri Merah‟, „Jambon‟, „Kuning‟, „Hijau‟,
„Wonogiri‟ dan „Ngadirojo‟
2.
Pasuruan
„Pasuruan Merah‟, „Putih‟, „Kuning‟, „293‟, „180
3.
Mojokerto
„Mojokerto Merah‟, „Hijau‟, „Kuning‟,
„Mojokerto‟, „Wonosari‟
4.
Sleman
„Sleman Merah‟ dan „Putih‟
5.
Sulawesi Selatan
„Pangkep‟, „Barru‟, „Maros‟, „MR 851‟, „PK 36‟
6.
Yogya
„Yogya putih XII/8‟, „XII/2‟
7.
Pasuruan
„Pasuruan V/8‟
8.
Jambi
„Jambi merah S3‟, „S5‟, „Kuning‟
9.
Madura
„Dasuk‟, „Waru‟
10.
Sri Lanka
„Segayung‟, „Arjasari‟
11.
Gn. Gangsir
Malang Putih‟, 4, 6, 11, 12, 35, 39, 43, 76, 82, 85,
86, 126, 136, 145, 177, 180, 202, 217, 223, 234,
236, 242, 251, 255, 262, 285, 293, 320
12.
Sumba Barat
„Sum B‟
13.
Sumba Barat Daya
„Sum BLBPT‟
14.
Ende
„Ende 163‟, MKL‟
15.
Bali
„Bali‟
16.
Pasuruan
„GG 1‟
17.
Muna
Sulawesi „L. Gani‟, „L. Kase‟, „La Manta‟,
Tenggara
Muna‟
18.
Tegineneng
„Tegineneng A‟
19.
Brazil
„Oniki Brazil‟ 1, 2, 3 dan 4
20.
NTT
„Flotim‟, „Ende‟, „Alor‟
Sumber: (Ferry 2012)
Permasalahan Pengembangan Jambu Mete di Indonesia
Areal pengembangan jambu mete di Indonesia berstatus perkebunan rakyat
yang sebagian besar tersebar di kawasan Indonesia Timur, Yogyakarta, Jawa
Tengah, dan Jawa Timur yang memiliki lahan kritis dan iklim kering (Ditjenbun
2007). Pengembangan yang relatif luas tersebut menimbulkan persoalan
ketersediaan kuantitas dan kualitas benih. Untuk mengatasi masalah tersebut,
pemerintah melakukan penelitian perakitan kultivar unggul yang menunjukkan
potensi daerah (Baihaki 2004). Seperti halnya di negara India (Rao 1998),
Thailand (Chaikiattiyos 1998), Vietnam (Chau 1998), Cina (Kangde et al. 1998)
yang di setiap lokasinya menggunakan kultivar unggul lokal untuk mencapai
peningkatan produktifitas jambu mete. Berkaitan dengan hal tersebut maka
penelitian seharusnya mengarah pada seleksi terhadap beberapa populasi jambu

9
mete yang mempunyai ukuran kacang besar dan produksi tinggi untuk memenuhi
kebutuhan konsumen pasar dalam dan luar negeri.
Saat ini Indonesia hanya mampu menyuplai 6.3% dari kebutuhan dunia,
sementara peningkatan kebutuhan hampir 10% terus terjadi per tahunnya
(Indrawanto et al. 2005; Ferry 2012). Usaha peningkatan produktivitas juga akan
meningkatkan daya saing mete nasional dengan mendorong industri mete dalam
negeri menjadi produk untuk diekspor.

10

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada Februari 2013 hingga April 2014. Tanaman
jambu mete diambil melalui eksplorasi dengan menggunakan metode eksplorasi
di Kabupaten Wonogiri Jawa Tengah yang meliputi empat kecamatan yaitu
Ngadirojo, Sidoharjo, Jatisrono, dan Jatiroto, serta kebun budi daya jambu mete
Kecamatan Imogiri Kabupaten Bantul Yogyakarta (Gambar 1). Pengamatan
morfologi dan identifikasi spesimen dilakukan di Laboratorium Biologi
Tumbuhan Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi Institut
Pertanian Bogor (PPSHB IPB).

A

B

Gambar 1 Peta lokasi pengambilan sampel tanaman jambu mete. Lokasi
pengambilan sampel (
) di Kabupaten Wonogiri Jawa Tengah
(A) dan Kabupaten Bantul Yogyakarta (B). (Sumber:
http://www.pn-wonogiri.go.id/ dan http://www.gloriaamandahotel.com/map/).

Koleksi Sampel Jambu Mete di Lapangan
Sampel tanaman yang berasal dari Kabupaten Wonogiri berjumlah 52
tanaman dan dari Kecamatan Imogiri Kabupaten Bantul sebanyak 66 tanaman.
Sampel tanaman diamati dan dikarakterisasi mengikuti deskriptor International
Board for Plant Genetic Resource (IBPGR 1986). Delapan puluh dua sampel
tanaman jambu mete yang memiliki kelengkapan organ vegetatif dan generatif
dikoleksi dan disimpan di laboratorium Sistematika Tumbuhan Institut Pertanian
Bogor.
Pengamatan Morfologi
Keseluruhan karakter dalam pengamatan berjumlah 94 (Lampiran 1)
Sebanyak 82 sampel tanaman yang memiliki organ vegetatif dan generatif yang
lengkap dianalisis lebih lanjut berdasarkan 75 karakter morfologi yang telah
dipilih, terdiri atas 40 karakter kualitatif dan 35 karakter kuantitatif.

11
.

Pengelompokan Sampel Tanaman Jambu Mete
Pengelompokan 82 sampel tanaman jambu mete berdasarkan kemiripan 75
karakternya menggunakan metode UPGMA (Unweighted Pair Group Method
with Arithmatic Average) dengan koefisien kesamaan menggunakan Simple
Matching (SM). Hasil analisis ditransformasi menjadi data skor membentuk
matriks data morfologi berukuran (82x75). Pengelompokan karakter berdasarkan
keeratan antar 75 karakter morfologi jambu mete untuk memilih karakter penciri
kelompok kultivar jambu mete digunakan UPGMA dari matriks data yang diputar
(75x82). Pemilihan karakter berdasarkan dendrogram kelompok karakter
mempertimbangkan syarat-syarat karakter distinct, uniform, dan stable dengan
memperhatikan kesederhanaan demi kepraktisan. Delapan karakter organ buah
semu, dan buah sejati terpilih digunakan untuk mengelompokkan kembali 82
sampel jambu mete. Hasil pengelompokan UPGMA berbentuk dendogram
menggunakan program kompurter NTSYS (Numerical Taxonomy and
Multivariate System) versi 2.02 (Rohfl 1998).
Pembuatan Kunci Identifikasi
Pembuatan kunci identifikasi dilakukan dengan pengelompokan karakter
morfologi terlebih dahulu. Penyeleksian karakter dilakukan untuk mengetahui
karakter apa saja yang memudahkan dalam pencirian kelompok tanaman. Syarat
karakter yang terpilih antara lain karakter tersebut praktis dan tidak menimbulkan
kerancuan oleh petani.
Identifikasi Masalah Jambu Mete di Petani
Identifikasi masalah jambu mete dilakukan dengan wawancara pada petani,
pengepul, pedagang mete, masyarakat dan penyuluh dari Balai Sertifikasi
Pengujian Mutu Benih Proteksi Tanaman Kehutanan dan Perkebunan
(BSPMBPTKP) Dinas Kehutanan dan Perkebunan Daerah Istimewa Yogyakarta.

12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Keanekaragaman Jambu Mete berdasarkan Karakter Morfologi
Berdasarkan pengamatan dari 82 tanaman jambu mete terdapat variasi yang
tinggi pada karakter warna tangkai bunga, warna mahkota bunga, bentuk buah
semu, warna buah semu masak, ujung buah semu, dan bentuk ujung buah sejati.

Warna tangkai bunga
Berdasarkan pada deskriptor jambu mete, karakter warna tangkai tidak
termasuk dalam daftar organ yang dikarakterisasi. Penambahan pengamatan
mengenai warna tangkai dipilih ketika pengamatan di lapangan dilakukan.
Dijumpai dua variasi warna, yaitu hijau dan merah (Gambar 2).

Gambar 2 Warna tangkai bunga jambu mete. Hijau (A), merah (B)
Warna mahkota bunga
Terdapat tiga macam warna yang dijumpai pada satu rangkaian bunga dalam
satu pohon yaitu putih, krem, dan merah muda. Ketiga warna tersebut muncul
dalam tahapan perkembangan bunga dari kuncup hingga bunga mekar. Bunga
mekar pertama kali berwarna putih, kemudian berubah menjadi putih strip merah,
krem, merah strip dan atau merah seluruhnya (Gambar 3).

Gambar 3 Warna mahkota bunga jambu mete. Putih (A), putih strip merah
(B), merah dan merah strip (C), krem (D)

13
Bentuk buah semu
Terdapat tiga bentuk buah semu jambu mete di Kabupaten Bantul, yaitu
mengerucut hingga membulat telur sungsang (Gambar 4), menyilinder (Gambar
5), dan membulat (Gambar 6). Di Kabupaten Wonogiri hanya ditemukan bentuk
mengerucut hingga membulat telur sungsang. Bentuk buah semu muda dan
masak tidak berubah, hanya terjadi perubahan ukuran saja.

Gambar 4 Bentuk buah semu jambu mete mengerucut hingga membulat
telur sungsang. sampel pohon Bantul 41 (A), sampel pohon
Bantul 14 (B), sampel pohon Wonogiri 2 (C)

Gambar 5 Bentuk buah semu jambu mete menyilinder.

Gambar 6

Bentuk buah semu jambu mete membulat. Sampel pohon
Bantul 15 (A), sampel Pohon Bantul 62 (B)

14
Warna buah semu masak
Variasi warna buah semu masak di Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten
Bantul terdiri atas merah, kuning jingga, kuning, dan kuning kehijauan.
Persilangan antar pohon berbuah semu jingga dengan merah, menghasilkan pohon
berbuah semu jingga. Jika diamati secara berkelanjutan pada perkembangan
jambu mete dari kuncup bunga hingga buah semu masak, maka variasi tangkai
dan mahkota bunga tersebut akan menentukan warna buah semu masak.
Munculnya tangkai bunga berwarna merah, warna rangkaian bunga merah, warna
mahkota bunga putih strip merah dan keseluruhan merah maka buah semu yang
akan muncul berwarna merah dan merah jingga. Munculnya tangkai bunga
berwarna hijau, warna mahkota bunga krem dan putih maka buah semu yang akan
muncul berwarna kuning dan kuning kehijauan.
Ujung buah semu dan perlekatan buah sejati
Terdapat dua bentuk ujung buah semu yaitu mendatar dan menyerong
(Gambar 7). Bentuk ujung buah semu menyerong memiliki perlekatan dengan
buah sejati yang kendur, sedangkan ujung buah semu yang mendatar memiliki
perlekatan yang kuat.

Gambar 7

Bentuk ujung buah semu jambu mete.
Mendatar (A), menyerong (B).

Bentuk ujung buah sejati
Terdapat tiga bentuk ujung buah sejati yaitu membulat, antara, dan menajam
(Gambar 8). Bentuk ujung buah sejati berkorelasi dengan bentuk kacangnya. Jika
bentuk ujung buah sejati membulat maka ujung kacang membulat, bentuk ujung
kacang antara maka ujung kacang antara, dan bentuk ujung kacang menajam
maka ujung kacang pun menajam.

Gambar 8 Bentuk ujung kacang jambu mete. Membulat (A), antara
(B), menajam (C).

15
Pengelompokan Jambu Mete
Delapan puluh dua tanaman jambu mete dari Kabupaten Bantul dan
Kabupaten Wonogiri mengelompok ke dalam 2 kelompok A dan B pada
kemiripan 63% (Gambar 9) berdasarkan 75 karakter morfologi. Kelompok A
merupakan tanaman jambu mete yang ditanam di Wonogiri Jawa Tengah,
mempunyai permukaan kulit buah semu kasar dan kusam. Sedangkan Kelompok
B seluruhnya berasal dari Kabupaten Bantul dengan kesamaan karakter yakni
permukaan kulit buah semu licin dan mengkilap.
Penggunaan 75 karakter morfologi terlalu banyak dan tidak praktis bagi
peneliti agronomi dan petani untuk mengelompokkan serta mengidentifikasi
kultivar jambu mete. Oleh karena itu, dilakukan pemilihan karakter dengan cara
mengelompokkan karakter dengan metode UPGMA dari matriks data yang
diputar (75x82). Dari dendogram yang dihasilkan (Gambar 10) maka karakter
dipilih berdasarkan pertimbangan syarat-syarat distinct, uniform, dan stable
dengan memperhatikan kesederhanaan demi kepraktisan. Setiap jumlah karater
yang terpilih maka dilakukan analisis ulang dengan pengelompokan UPGMA.
Hasil pengelompokan karakter UPGMA (Gambar 10) dicoba untuk dipilih
kembali karakternya hingga akhirnya mendapatkan karakter yang dirasa mampu
menunjukkan pengelompokan sampel yang tetap. Maka hasil dari berulang kali
analisis pengelompokan karakter dengan UPGMA, terpilihlah delapan karakter
yang memenuhi syarat distinct, uniform, stable, sederhana &praktis (Tabel 2).
Tabel 2 Karakter dan sifat karakter yang digunakan dalam penyusunan kelompok
dendogram
No

Karakter dan sifat karakter

1 Warna buah semu masak: kuning-hijau (0), kuning-jingga (1), jingga-merah
(2)
2 Bentuk buah semu: menyilinder (0), mengerucut hingga membulat telur
sungsang (1), membulat (2)
3 Permukaan buah semu: licin dan mengkilap (0), kasar dan kusam (1)
4 Ujung buah semu: mendatar (0), menyerong (1)
5 Aroma buah: tidak menyengat (0), menyengat (1)
6 Panggul kacang: membulat (0), menonjol (1)
7 Bentuk ujung buah sejati: membulat (0), antara (1)
8 Berat kacang: ringan (3–4 g) (0), intermediet (5–6 g) (1), berat (7–8 g) (2)
Pengelompokan menggunakan delapan karakter (Gambar 11) menghasilkan
pola yang serupa dengan dendogram menggunakan 75 karakter (Gambar 9).
Delapan puluh dua tanaman jambu mete terbagi menjadi Kelompok A dan B pada
kemiripan 68%. Kelompok A mengelompok berdasarkan kesamaan karakter
permukaan kulit buah semu kasar dan kusam; ujung buah semu mendatar; bentuk
buah semu mengerucut hingga membulat telur sungsang; aroma buah tidak
menyengat. Kelompok B mengelompok berdasarkan kesamaan karakter
permukaan buah semu licin dan mengkilap dan panggul kacang menonjol.

16

Gambar 9

Dendogram pengelompokan 82 tanaman jambu mete dengan 75
karakter morfologi.

17

Gambar 10 Dendogram pengelompokan 75 karakter morfologi.

18

Gambar 11 Dendogram pengelompokan 82 tanaman jambu mete dengan delapan
karakter morfologi.

19
Kelompok II memiliki karakter warna buah semu masak kuning jingga,
permukaan buah semu kasar dan kusam, ujung buah semu mendatar, bentuk buah
semu mengerucut hingga membulat telur sungsang, aroma buah tidak menyengat,
bentuk ujung buah sejati membulat dan berat kacang ringan (3–6 g).
Kelompok III memiliki karakter warna buah semu kuning kehijauan, ujung
buah semu mendatar, permukaan buah semu licin dan mengkilap, bentuk buah
semu mengerucut hingga membulat telur sungsang, aroma buah menyengat,
panggul kacang membulat, panggul kacang menonjol, dan bentuk ujung buah
sejati bersifat antara. Semua anggota Kelompok IV memiliki karakter panggul
kacang menonjol dan bentuk ujung buah sejati membulat akan tetapi memiliki
ketiga macam warna buah.
Petani di Kabupaten Bantul mengelompokkan kultivar jambu mete mereka
berdasarkan warna buah semu masaknya, sedangkan di Kabupaten Wonogiri
tidak ada nama spesifik untuk jambu mete. Terdapat kesamaan dan perbedaan
pola antara kelompok dari hasil penelitian dengan kelompok kultivar yang dikenal
petani Bantul. Petani di Kabupaten Bantul Yogyakarta telah Petani mengenal
jambu mete Brambang (dalam Bahasa Jawa berarti bawang merah) untuk jambu
mete berkulit semu merah, jambu mete Senja untuk buah semu berkulit kuning
jingga, dan jambu mete Lumut untuk buah semu berkulit kuning kehijauan.
Kesamaan pola pengelompokan petani dengan hasil penelitian pada Kelompok I
termasuk dalam Grup Brambang, Kelompok II termasuk dalam Grup Senja, dan
Kelompok III termasuk dalam Grup Lumut. Pengelompokan petani tidak dapat
diterapkan pada Kelompok IV, semua warna buah dimiliki oleh kelompok
tersebut, sehingga perlu diwadahi sebagai grup tersendiri yang diusulkan dengan
nama Grup Pancawarna yang berarti memiliki banyak warna.
Hasil penelitian yang diungkapkan dalam Gambar 11 dibandingkan dengan
praktek yang dilakukan petani Kabupaten Bantul, terlihat serupa atau sangat erat
hubungannya dengan kelompok I,II, III dan IV dengan kelompok yang dikenal
oleh petani. Dari pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa berdasarkan hal tersebut
diusulkan Kelompok I dinamakan Anacardium Grup Brambang, Kelompok II
Anacardium Grup Senja, Kelompok III Anacardium Grup Lumut dan Kelompok
IV Anacardium Grup Pancawarna. Berdasarkan permukaan buah semu dan bentuk
ujung buah sejati maka disusunlah kunci identifikasi untuk memisahkan
kelompok kultivar jambu mete:
1a. Permukaan buah semu kasar dan kusam; buah semu masak jingga kemerahan;
aroma buah tidak menyengat...............................Anacardium Grup Brambang
1b. Permukaan buah semu licin dan mengkilap; buah semu masak kuning jingga;
panggul kacang menonjol............................................Anacardium Grup Senja
2a. Bentuk ujung buah sejati bersifat antara, warna buah semu kuning kehijauan,
panggul kacang membulat.........................................Anacardium Grup Lumut
2b. Bentuk ujung buah sejati membulat; warna buah semu jingga
kemerahan,kuning jingga, dan kuning kehijauan; panggul kacang menonjol;
......................................................................Anacardium Grup Pancawarna
Indonesia memiliki banyak kultivar dengan nama-nama pengenal yang
dikeluarkan oleh pemerintah. Kultivar jambu mete „PK 36‟ yang terdapat pada
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 64/Kpts/SR.120/1/2004 memiliki karakter
antara lain warna buah sejati abu-abu, warna buah semu kuning kemerahan, dan

20
bentuk buah semu lonjong yang serupa dengan hasil pengelompokan pada
Anacardium Grup Brambang.
Kultivar jambu mete „Meteor YK‟
berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 338/Kpts/Sr.120/3/2008
memiliki karakter antara lain bentuk buah bulat segitiga, warna buah kulit masak
merah mengkilap, dan warna buah sejati putih keabu-abuan. Akan tetapi, jambu
mete „Meteor YK‟ yang ditemukan di lapangan memiliki warna buah semu
kuning jingga, sehingga termasuk dalam Anacardium Grup Senja. Perbedaan
warna buah semu antara kultivar „Meteor YK‟ di lapang dan SK terdapat beberapa
kemungkinan antara lain kultivar tersebut memiliki dua tipe warna buah semu dan
kesalahan dalam menafsirkan warna. Kultivar „MR851‟ berdasarkan Keputusan
Menteri Pertanian Nomor 63/Kpts/SR.120/1/2004 memiliki karakter warna buah
semu kuning, bentuk buah semu lonjong dan warna buah sejati abu-abu yang
serupa dengan hasil pengelompokan pada Anacardium Grup Lumut. Kultivar
jambu mete di Indonesia sangat banyak namun belum semuanya dapat
dikelompokkan ke dalam grup di atas, hal ini dikarenakan terbatasnya informasi
yang dapat diakses mengenai deskripsi kultivar jambu mete, sehingga hal ini
menyulitkan kultivar apa saja yang termasuk dalam Anacardium Grup
Pancawarna.
Permasalahan Jambu Mete di Lapangan
Lembaga, peneliti, dan pemulia tanaman telah banyak melakukan riset
untuk pelepasan nama kultivar unggul jambu mete. Hal ini menyebabkan semakin
banyak lagi ragam kultivar yang ada di lapangan, dan hal lain yang membuat
kesulitan adalah tanaman jambu mete memiliki sistem penyerbukan terbuka.
Penyerbukan terbuka mengakibatkan tidak terkontrolnya variasi buah semu dan
buah sejati jambu mete sehingga bisa menjadi pemicu berubahnya keseragam dan
kestabilan hasil budi daya jambu mete.
Pemerintah juga mengeluarkan sertifikasi benih dan menyimpulkan adanya
perbedaan karakter spesifik daerah lokal tertentu jambu mete dari ukuran kacang
dan rasa kacangnya, namun petani tidak mengetahui nama-nama kultivar yang
dikeluarkan. Petani tidak mengelompokkan antar masing-masing pohon kultivar
yang sejenis ketika masa panen. Petani tidak memisahkan buah sejati jambu mete
berdasarkan bentuk buah semu, warna buah semu, bentuk panggul kacang, bentuk
ujung kacang, bentuk pangkal kacang, dan berat kacang melainkan hanya
berdasarkan perkiraan besar dan kecil. Jambu mete hasil panen dijual petani ke
pengepul dalam bentuk gelondong kacang.
Pengepul memberikan harga sesuai kesepakatan dengan petani, bisa berupa
uang ataupun barang pokok yang sedang dibutuhkan petani. Pada proses jual beli
inilah pengepul memainkan harga tidak selayaknya. Proses dilanjutkan dengan
pengupasan dari kulit luarnya. Pada proses pengupasan ini juga terjadi pemilihan
kembali berdasarkan kacang belah atau utuh, dan ukuran kacang besar atau kecil.
Harga beli untuk kacang belah atau utuh dan ukurannya mampu mempengaruhi
perbedaan harga. Pengemasan dan pelabelan harga kacang mete utuh besar diberi
kisaran harga yang lebih mahal dibanding kacang mete belah kecil. bahkan ada
kecurangan dari pengepul yang melekatkan kembali (pengeleman) kacang yang
terbelah hasil dari pengupasan dan dijual dengan harga utuh. Proses pengeleman
tersebut dilakukan dengan pati.

21
Kerancuan standardisasi kultivar jambu mete terjadi saat proses panen,
pengemasan, dan pelabelan. Nama kultivar jambu mete yang berbeda bisa
terdapat dalam satu kemasan jambu mete yang dijual di pasaran. Bahkan apabila
permintaan pasar untuk kacang mete meningkat maka pengepul akan mencari
kacang mete ke daerah lain yang memiliki pasokan berlebih dan
mencampurkannya. Misalkan saja jumlah permintaan kacang mete di Imogiri
meningkat namun jumlah barang terbatas, maka pengepul akan mencari kacang
mete di daerah Wonogiri, Bima, Bali, dan Madura kemudian mencampurkannya
dengan kacang mete Imogiri dan memberikan label kacang mete Imogiri dalam
kemasan tersebut. Dengan cara sepert