Pembangunan Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Jambu Mete ( Anacardium occidentale L) dan Optimasi Manajemen Spesifik Lokasi Usaha Tani Jambu Mete di Kabupaten Dompu

(1)

PEMBANGUNAN KRITERIA KESESUAIAN LAHAN UNTUK JAMBU METE

(Anacardium occidentale L) DAN OPTIMASI MANAJEMEN SPESIFIK LOKASI

USAHA TANI JAMBU METE DI KABUPATEN DOMPU

ARI KRISNOHADI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis

Pembangunan Kriteria

Kesesuaian Lahan untuk Jambu Mete (

Anacardium occidentale

L) dan

Optimasi Manajemen Spesifik Lokasi Usaha Tani Jambu Mete di

Kabupaten Dompu

adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2008

ARI KRISNOHADI NRP A353060051


(3)

ABSTRACT

Cashew nuts plantation in Dompu District is a local comodity that increasing farmer welfare since 1990, but had many problems to reach larger profits. The purposes of this research is to develop Land Suitability Criteria for cashew nuts using Boundary Line method, and to increase cashew nuts productivity among Site Specific Management Zones using Linear Programming and GIS. About 4,1- 6,1 number of dry month with more than 622 mm/year rainfall could increase productivity more than 80 % of productivity rate (over 40,42 kg/plant); for the same percentage of productivity, cashew nuts are need Cation Exchange Capacity (CEC) value of > 12 me/100 g, pH 6,2 – 7,1 and organic-C more than 0,95 %, total N >0,1 %, P >12 ppm, and K >0,44 me/100 g, percentage of rock < 7 %, and slopes < 55 %. Therefore, Dompu Disctrict has Land Suitability Class for cashew nuts were Moderately Suitable Class (S2) and Marginally Suitable class (S3). Retency factors including percentage of rock, slopes, soil texture, nutrient supply, and roots environment were the productivity limitation. Based on optimized models, all sites had plantation profit approximately 109,94% than presents.

Keywords: Cashew nuts, Land Suitability Criteria, Site Specific Management Zones, Optimization, Linear Programing


(4)

RINGKASAN

ARI KRISNOHADI. Pembangunan Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Jambu Mete (Anacardium occidentale L) dan Optimasi Manajemen Spesifik Lokasi Usaha Tani Jambu Mete di Kabupaten Dompu. Dibimbing oleh: WIDIATMAKA dan ATANG SUTANDI.

Perkebunan jambu mete di Nusa Tenggara Barat memiliki nilai strategis dalam aspek konservasi, efek multiplier terhadap pengembangan wilayah dan nilai ekspor yang menyumbang terhadap PDRB Nasional, dalam perkembangannya memiliki permasalahan produktivitas dan menuntut adanya kajian terhadap aspek kesesuaian lahan dan sistem manajemen lahan. Kriteria kesesuaian lahan, yang menjadi dasar untuk menetapkan kelas kesesuaian lahan, masih memerlukan tinjauan lebih dalam berdasarkan data atribut lahan hasil survey secara spesifik sehingga kriteria tersebut menjadi acuan berdasarkan hubungan antara faktor biofisik dan lingkungan terhadap produktivitas.

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: (1) Karakterisasi biofisik lahan dan lingkungan dan korelasinya dengan produktivitas tanaman jambu mete, (2) membangun kriteria kesesuaian lahan untuk jambu mete, (3) memetakan kelas kesesuaian lokasi tanaman jambu mete di kabupaten Dompu, (4) mengetahui produktivitas optimum dengan kendala-kendala tertentu pada tiap tipe kesesuaian lokasi dalam pengembangan usaha tani jambu mete di kabupaten Dompu, (5) memetakan zona manajemen spesifik lokasi pada tiap nilai optimal manajemen usaha tani jambu mete di Kabupaten Dompu.

Pendekatan metode analisis yang dipakai dalam penelitian ini antara lain Analisis Komponen Utama (Principal Component Analisys-PCA), Analisis Kelompok, Analisis Regresi Multivariat, Analisis Garis Batas (Boundary Line Method), dan Analisis Spasial.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Jumlah bulan kering sekitar 4,1 hingga 6,1 dengan curah hujan lebih tinggi dari 622 curah hujan mm/tahun bisa meningkatkan produktivitas tanaman lebih tinggi dari 80 % dari tingkat produktivitas (40,42 kg/tanaman); untuk produktivitas yang sama, pohon jambu mete menginginkan jumlah Kapasitas Pertukaran Kation (KTK) >12 me/100 g, pH 6,2 -7,1 dan C organik yang lebih tinggi dari 0,95 %, N total >0,1 %, P >12 ppm, dan K >0,44 me/100 g, persentase batuan permukaan <7 %, serta kemiringan lereng < 55 %; (2) persamaan hubungan antara faktor biofisik lingkungan dan produktivitas menunjukkan bahwa faktor terrain, faktor hara tanah dan faktor iklim akan berpengaruh nyata dan berkontribusi tinggi terhadap produktivitas. Jika faktor terrain (x3) meningkat satu satuan, maka akan menyebabkan penurunan produktivitas jambu mete sebesar x31,1 Jika faktor hara tanah (x6) meningkat satu satuan, maka akan meningkatkan produktivitas sebesar x61,85, dan jika faktor iklim (x2) meningkat satu persen, akan menyebabkan produktivitas tanaman meningkat x21,95.

Berdasarkan kriteria kesesuaian lahan hasil pemodelan, Kabupaten Dompu didominasi oleh kelas Cukup Sesuai (S2) untuk tanaman jambu mete dengan beberapa faktor pembatas, antara lain persentase batuan permukaan, kelas testur, dan ketersediaan hara dan kelas Sesuai Marjinal (S3) dengan faktor pembatas persentase batuan permukaan, kelas tekstur, ketersediaan hara, serta media perakaran.


(5)

Jika menerapkan model optimasi, secara keseluruhan modal usaha tani dari mulai pengolahan lahan hingga pengeringan hasil panen mengalami peningkatan sebesar 25,98%, namun keuntungan petani jika melaksanakan usaha tani optimum di Kabupaten Dompu adalah meningkat sebesar 109,04 %.

Tipe Manajemen I memerlukan pupuk N dalam dosis tinggi, P dalam dosis tinggi dan K dalam dosis rendah. Dengan kondisi lereng pada zona ini relatif datar (0-8 %), dan kondisi lingkungan perakaran yang menunjang (persentase batuan permukaan sama dengan nol dan kedalaman perakaran lebih dari 90 cm), tidak banyak kebutuhan tenaga kerja untuk kegiatan pengolahan lahan yang diperlukan. Biaya input optimum pada tipe manajemen I ini adalah Rp. 1.064.070,-. Dan produktivitas tanaman yang dapat dihasilkan Rp. 3.303.075,-.

Tipe Manajemen II memiliki faktor pembatas utama retensi hara, ketersediaan hara dan kelas tekstur. Untuk peningkatan produktivitas, zone ini membutuhkan input pupuk N dalam dosis tinggi, P dalam dosis sedang dan K dalam dosis rendah. Lereng pada zona ini termasuk kelas bergelombang (8-15%) dan persentase batuan permukaan rata-rata 11%. Biaya input optimum pada tipe manajemen II ini adalah Rp. 1.587.408,-, dan produktivitas yang dihasilkan melalui optimasi manajemen spesifik lokasi dapat mencapai 636,49 kg/ha atau Rp. 3.818.944,-

Tipe Manajemen III dapat meningkat produktivitasnya dengan input pupuk N dalam dosis sedang, P dalam dosis sedang dan K dalam dosis rendah. Serta pengolahan lahan intensif untuk mengurangi kemiringan lereng, misalnya dengan pembuatan teras-teras. Biaya input optimum pada tipe manajemen III ini cukup besar, yakni Rp. 1.587.408,-. Dengan harga gelondong mete Rp 6.000,- per kg, maka pada zone ini dapat menghasilkan Rp. 4.402.605,-. per hektar.

Tipe Manajemen IV terletak di desa Bonggo dan Nusajaya. Faktor pembatas pertumbuhan tanaman yang utama adalah kelas kemiringan lereng dan ketersediaan unsur hara. Manajemen pada kelas ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan N dengan pemberian pupuk N dalam dosis tinggi, P dalam dosis tinggi dan K dalam dosis rendah serta pengolahan lahan dan kebutuhan tenaga kerja intensif untuk mengurangi faktor penghambat lereng. Biaya input optimum pada tipe manajemen IV ini adalah Rp. 1.073.705,-, dan output yang dihasilkan dapat mencapai Rp. 4.848.502,-

Tipe Manajemen V dapat ditingkatkan produktivitasnya dengan pemberian pupuk N dalam dosis sedang, P dalam dosis sedang dan K dalam dosis rendah. Biaya input optimum pada tipe manajemen 5 ini adalah Rp. 1.587.408,-, dan output yang dihasilkan dapat mencapai Rp. 4.576.095,-.

Tipe Manajemen VI berpotensi untuk peningkatan produktivitas melalui pemberian pupuk N dalam dosis tinggi, P dalam dosis sedang dan K dalam dosis rendah diharapkan dapat meningkatkan kualitas lahan menjadi kelas S1. Biaya input optimum pada tipe manajemen VI ini adalah Rp. 1.283.300,- dan output yang dihasilkan dapat mencapai Rp. 4.178.758,-

Tipe Manajemen VII ditandai oleh kelas lahan S2 n m, memerlukan pupuk N dalam dosis tinggi, P dalam dosis tinggi dan K dalam dosis rendah. Biaya input optimum pada tipe manajemen VII ini adalah Rp. 1.302.200,-, dan output yang dihasilkan dapat mencapai Rp. 3.505.200,-.

Tipe Manajemen VIII memerlukan pupuk N dalam dosis tinggi, P dalam dosis sedang dan K dalam dosis sedang serta memerlukan pengolahan lahan semi


(6)

intensif untuk mengurangi kemiringan lereng. Biaya input optimum pada tipe manajemen VIII ini adalah Rp. 1.064.900,-, dan output yang dihasilkan dapat mencapai Rp. 3.759.975,-.

Tipe Manajemen IX memerlukan pupuk N dalam dosis tinggi, P dalam dosis tinggi dan K dalam dosis rendah. Lereng pada zona ini termasuk kelas bergelombang (8-15 %), berbukit (15-25 %) hingga agak curam (25-40%), sehingga juga memerlukan kegiatan pengolahan lahan yang intensif untuk mengurangi kendala kondisi perakaran. Biaya input optimum pada tipe manajemen IX ini adalah Rp. 1.602.408,-, dan output yang dihasilkan dapat mencapai Rp. 3.861.491,-.

Berdasarkan model optimasi tersebut, Kabupaten Dompu sebagai wilayah dengan keunikan lokal untuk tanaman jambu mete memiliki prospek peningkatan produktivitas tanaman jambu mete sebesar 1 ton per hektar sebagaimana target Deptan (2006), dengan beberapa persyaratan, diantaranya adalah persentase jumlah tanaman yang hidup dan berproduksi per hektar dapat mencapai 100%. Berdasarkan pengamatan lapang, kondisi perkebunan jambu mete rakyat di Kabupaten Dompu saat ini memiliki persentase tanaman hidup dan berproduksi per hektar sekitar 40 hingga 60 % saja.

Penetapan komoditas unggulan khususnya tanaman jambu mete di Kabupaten Dompu dilakukan untuk menjaga kesinambungan suplai sehingga komoditas tersebut dapat terjaga produksinya dan meningkat kualitasnya. Berkaitan dengan hal tersebut maka setiap Zone Manajemen Spesifik Lokasi diharapkan dapat menjaring investasi yang dapat meningkatkan pendapatan daerah khususnya dan perekonomian masyarakat pada umumnya.


(7)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya


(8)

PEMBANGUNAN KRITERIA KESESUAIAN LAHAN UNTUK JAMBU METE (Anacardium occidentale L) DAN OPTIMASI MANAJEMEN

SPESIFIK LOKASI USAHA TANI JAMBU METE DI KABUPATEN DOMPU

ARI KRISNOHADI

Tesis

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(9)

(10)

Judul Tesis : Pembangunan Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Jambu Mete (Anacardium occidentale L) dan Optimasi Manajemen Spesifik Lokasi Usaha Tani Jambu Mete di Kabupaten Dompu

Nama : Ari Krisnohadi

NIM : A353060051

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Widiatmaka, DAA Dr. Ir. Atang Sutandi, M.Si

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Dekan

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pasca Sarjana

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.Sc.


(11)

PRAKATA

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunianya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2007 sampai Februari 2008 ini adalah pendekatan dalam membangun kriteria kesesuaian lahan dan manajemen usaha tani secara spesifik lokasi. Untuk itu, karya ilmiah ini diberi judul Pembangunan Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Jambu Mete (Anacardium occidentale L) dan Optimasi Manajemen Spesifik Lokasi Usaha Tani Jambu Mete di Kabupaten Dompu.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Dr. Ir. Ernan Rustiadi,M.Agr selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) IPB.

2. Dr. Ir. Widiatmaka, DAA selaku Dosen Pembimbing Utama. 3. Dr. Ir. Atang Sutandi, M.Si, selaku Dosen Pembimbing Anggota.

4. Departemen Pertanian, yang telah membiayai penelitian ini melalui kerjasama penelitian KKP3T.

5. Mahasiswa Pasca Sarjana IPB, Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) IPB, khususnya Program Reguler Angkatan 2006.

6. Semua pihak yang membantu dalam penulisan rencana penelitian ini. Akhir kata semoga karya ilmiah ini, baik dalam pemaknaan substansi maupun ekspresi penulisan dapat bermanfaat bagi yang membacanya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Bogor, Agustus 2008


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pontianak, pada tanggal 26 Januari 1982 dari Ayah yang bernama Sutadi dan Ibu yang bernama Zainab Ahmad Sood. Penulis merupakan putra kedua dari empat bersaudara.

Tahun 1999 penulis lulus dari SMA Negeri 7 Pontianak, dan pada tahun yang sama melanjutkan ke Jurusan Ilmu Tanah Universitas Tanjungpura, dan lulus pada tahun 2004. Tahun 2006, penulis diterima di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah pada Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari BPPS DIKTI.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura Pontianak sejak 2005.


(13)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ………. i

DAFTAR TABEL .……… iv

DAFTAR GAMBAR ……… vi

DAFTAR LAMPIRAN ……… viii

PENDAHULUAN  Latar Belakang ... 1 

Identifikasi Masalah ... 6 

Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7 

TINJAUAN PUSTAKA  Pembangunan dan Pengembangan Wilayah ... 9

Karakteristik Lahan dan Tipe Penggunaan Lahan (LUT) ... 11  

Kesesuaian Lokasi dan Produktivitas Tanaman Jambu Mete ... 13 

Metode Boundary Line dalam Pengembangan Kriteria Kesesuaian Lahan . 14  Principal Component Analysis (PCA) ... 15  

Optimasi Usaha Tani Jambu Mete dengan Linear Programming ... 16

Analisis Pendapatan Usaha Tani ... 18

Zona Manajemen Spesifik Lokasi (Site-Spesific Management Zone) ... 19  

SpasialisasidenganSistem Informasi Geografi(SIG) ... 22  

METODE PENELITIAN  Kerangka Pemikiran ... 24 

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 27 

Alat dan Bahan Penelitian ... 27 

Rancangan Penelitian ... 28 

1. Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis-PCA), Analisis Gerombol (Cluster Analysis) dan Analisis Regresi ... 28 

2. Pembangunan Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Jambu Mete ... 31 

3. Analisis Kesesuaian Lahan ... 32 

4. Penambahan Input untuk Usaha Tani Jambu Mete ... 33 


(14)

ii

6.    Spasialisasi Zona Manajemen Spesifik Lokasi untuk Usaha Tani

Jambu Mete ... 38 

HASIL DAN PEMBAHASAN  Kondisi Biofisik Lingkungan Tanaman Jambu Mete Kabupaten Dompu ... 41 

Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Dompu ... 55 

Pengelompokan Karakteristik Biofisik dan Lingkungan Tanaman Jambu Mete di Kabupaten Dompu ... 57 

Hubungan antara Karakteristik Biofisik Lingkungan terhadap Produktivitas Tanaman Jambu Mete ... 59

Pembangunan Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Jambu Mete ... 63 

Kriteria Ketersediaan Air ... 65

Kriteria Kondisi Daerah Perakaran... 66 

Kriteria Retensi Hara ... 68 

Kriteria Ketersediaan Hara... 69 

Kriteria Kondisi Terrain ... 70 

Model Kriteria Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Jambu Mete ... 71 

Analisis Kesesuaian Lahan untuk Jambu Mete di Kabupaten Dompu ... 72 

Pengusahaan Jambu Mete Aktual di Kabupaten Dompu ... 77 

Model Optimasi Pengelolaan Usaha Tani Jambu Mete ... 79 

Zona Manajemen Spesifik Lokasi untuk Jambu Mete di Kabupaten Dompu ... 85 

Prospek Pengembangan Wilayah Kabupaten Dompu Berbasis Komoditi Jambu Mete ... 97 

PENUTUP  Kesimpulan ... 102 

Saran... 105 

DAFTAR PUSTAKA ... 106


(15)

iii

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Luas perkebunan dan produksi jambu mete di propinsi Nusa

Tenggara Barat ... 3 2. Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman jambu mete ... 14 3. Jenis masukan dan kemungkinan perbaikan yang dapat dilakukan

untuk masing-masing karakteristik lahan ... 21 4. Jenis dan sumber data penelitian ... 27 5. Dosis pupuk untuk jambu mete berdasarkan kebutuhan nutrisi

tiap umur tanaman ... 35

6. Luas jenis tanah di Kabupaten Dompu ……….. 49

7. Kualitas C organik, N total, P tersedia dan C/N rasio pada

beberapa titik pengamatan di Kabupaten Dompu ……….. 51 8. Kualitas kation basa pada beberapa titik pengamatan di

Kabupaten Dompu ………. 53

9. Reaksi tanah pada beberapa titik pengamatan di Kabupaten

Dompu ………... 54

10. Tekstur tanah pada beberapa lokasi pengamatan di Kabupaten

Dompu ………... 55

11. Persentase laju pertumbuhan PDRB tiap sektor di Kabupaten

Dompu ………... 56

12. Kelompok faktor berdasarkan analisis gerombol terhadap

parameter biofisik lingkungan jambu mete di Kabupaten Dompu. 57 13. Hasil regresi hubungan antara karakteristik biofisik dan

lingkungan terhadap produktivitas jambu mete ………. 60 14. Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman Jambu Mete ... 72 15. Kisaran kebutuhan input pupuk untuk tanaman jambu mete pada


(16)

iv

16. Rata-rata kebutuhan input per hektar yang digunakan untuk

usaha tani jambu mete Kabupaten Dompu aktual ……… 78 17. Kombinasi input pada tiap tipe lahan hasil model optimasi di

Kabupaten Dompu ... 82 18. Perbandingan rata-rata biaya input usaha tani jambu mete aktual

dan optimasi ………... 83

19. Luas Penutup /Penggunaan Lahan di Kabupaten Dompu ... 87 20. Input, output dan keuntungan usaha tani tiap manajemen spesifik


(17)

v

DAFTAR GAMBAR

halaman

1. Diagram Alir Proses Analisis dengan Sistem Informasi

Geografis………. 22

2. Kerangka Pemikiran Penelitian Pembangunan Kriteria Kesesuaian Lahan dan Optimasi Manajemen Spesifik Lokasi

untuk Usaha Tani Jambu Mete ……….. 26

3. Alur analisis pembangunan kriteria kesesuaian lahan dan optimasi manajemen spesifik lokasi untuk pengusahaan jambu

mete (Anacordium occidentale L) ………. 40

4. Peta Lereng Kabupaten Dompu……….. 45

5. Peta Jenis Tanah Kabupaten Dompu……….. 50

6. Hubungan produksi gelondong aktual dan produksi teraan

dengan umur tanaman ... 60 7. Hubungan produksi gelondong teraan dengan curah hujan dan

jumlah bulan kering ... 65 8. Hubungan Produksi teraan dengan sifat daerah perakaran

kedalaman efektif dan kandungan pasir dan liat ... 67 9. Hubungan antara produksi teraan jambu mete dengan reaksi

tanah (pH), dan C-organik dan KTK

tanah………... 68 10. Hubungan antara produksi Jambu mete dengan ketersediaan hara

N total, P tersedia ...……… 69 11. Hubungan antara produksi Jambu mete dengan ketersediaan hara

ketersediaan K-dd………... 70 12. Hubungan antara produksi teraan Jambu mete dengan kondisi

terain ... 71 13. Peta Kelas Kesesuaian Lahan Aktual Kabupaten Dompu ……… 76 14. Peta Penutup/Penggunaan Lahan Kabupaten Dompu ... 86 15. Peta Areal Perkebunan Jambu Mete di Kabupaten Dompu ... 87


(18)

vi

16. Zona Manajemen Spesifik Lokasi untuk Usaha Tani Jambu Mete di Kabupaten Dompu ... 89


(19)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

halaman

1. Hasil Pengamatan Lapang dan Analisis Sampel Tanah pada Titik Pengamatan di Nusa Tenggara Barat...

109

2. Nilai Faktor Loading Variabel Lahan ……… 110

3. Nilai Faktor Scores Variabel Lahan ……….. 111

4. Input dan Output Usaha Tani Jambu Mete ... 112

5. Kelas Kesesuaian Karakteristik Lahan Tiap Titik Pengamatan …. 113 6. Biaya Optimum Input dan Produktivitas Usaha Tani ……… 114 7. Input dan Pendapatan Usaha Tani Jambu Mete Kabupaten Dompu Tahun 1991 – 2007 ... 115 8. Keuntungan dan B-C Rasio Usaha Tani Jambu Mete Kabupaten Dompu dari Tahun 1991 - 2007……… 116

9. Parameter Pertumbuhan Tanaman Jambu Mete pada Beberapa Titik Pengamatan... 117

10. Data Parameter Produktivitas Tanaman Jambu Mete pada Beberapa Titik Pengamatan... ... 118 11. Peta Kualitas C-organik Kabupaten Dompu... 119

12. Peta Kualitas K-dd Kabupaten Dompu... 120

13. Peta Kualitas N- total Kabupaten Dompu... 121

14. Peta Kualitas P Kabupaten Dompu ... 122


(20)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman perkebunan mempunyai peranan besar, terutama berkontribusi pada penyediaan lapangan kerja, ekspor dan sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sampai dengan tahun 2003 sub sektor perkebunan telah menyerap 17,1 juta tenaga kerja atau 1,03 % dari angkatan kerja nasional, sedangkan kontribusi terhadap nilai ekspor pada 2004 sebesar 4,39 % per tahun (Ditjen Perkebunan, 2006), dan tahun 2006 sumbangan sub sektor perkebunan terhadap PDB Nasional adalah 5,12 %. Meskipun krisis ekonomi melanda Indonesia sejak beberapa tahun silam, sub sektor ini mampu berkembang terus, dengan nilai produktivitas dan peningkatan luas lahan per tahun sebesar 5,6 % dan 2,15 %, dari tahun 1998 sampai 2004. Nilai produksi nasional beberapa komoditas utama yaitu kelapa, jambu mete, tembakau, lada, dan cengkeh pada tahun 1999 mencapai Rp. 18,3 triliun.

Komoditi jambu mete (Anacardium occidentale L) merupakan salah satu komoditi yang memiliki nilai strategis dalam pembangunan agribisnis perkebunan. Kacang mete di pasar dunia termasuk salah satu produk kacang-kacangan yang paling banyak diperdagangkan dan termasuk komoditi mewah bila dibandingkan dengan kacang tanah atau almond. Saat ini Indonesia berada pada peringkat empat produsen kacang mete, dengan produksi gelondong sebesar 69.438 ton, atau 6,30 % dari produksi gelondong mete dunia, di bawah India, Brazil, dan Tanzania (Ditjen Perkebunan, 2006). Menurut Ditjen Perkebunan (2006) pada tahun 2004 ekspor jambu mete sekitar 59.372 ton. Selain berperan sebagai komoditas perkebunan, reboisasi atau konservasi lahan dan perdagangan, jambu mete juga terkait sebagai bahan baku industri, konstruksi, kimia, pestisida nabati, dan makanan ternak.

Kontribusi ekspor jambu mete terhadap total ekspor komoditas perkebunan meskipun relatif kecil, tetapi mengalami peningkatan yang cukup pesat dari 29.666 ton dengan nilai US$ 19.152.000 pada tahun 1997 menjadi 59.372 ton dengan nilai US$ 58.187.000 pada tahun 2004 atau peningkatan


(21)

2

volume ekspor rata-rata 26,78% per tahun. Ekspor jambu mete Indonesia sebagian besar dalam bentuk gelondong mete (94,4%) dan sisanya berupa kacang mete, sementara untuk kebutuhan pasar dunia umumnya dalam bentuk kacang mete. Dalam perdagangan dunia, pangsa pasar terbesar adalah India sebesar 42,78%, kemudian diikuti Brazil (12%) diperingkat kedua dan Tanzania (9,25%) diperingkat ketiga. Sedangkan Indonesia merupakan negara produsen dan konsumen ke-3 setelah Brazil dan India.

Program pengembangan jambu mete pada tahun 1990-an banyak membantu pengembangan perkebunan mete ini. Sejalan dengan kapasitas penggunaan lahan dan orientasi agribisnis, program yang dulunya berorientasi pada aspek konservasi dengan reboisasi dan pemanfaatan lahan kering kini diupayakan untuk tujuan memaksimumkan kesejahteraan petani lahan kering. Dari areal jambu mete seluas 82.541 ha pada 1978 dengan produksi 8.800 ton, meningkat menjadi 426.900 ha dengan produksi 74.995 ton pada 1995 (Ditjenbun, 2006). Pelaksanaan pengembangan jambu mete melalui proyek APBN dari tahun 1990 – 1994 mencapai angka 28.264 ha, dan melalui bantuan luar negeri sebesar 65.050 ha. Pertambahan luas areal rata-rata mencapai 29.500 ha/tahun. Areal pengembangan hingga tahun 2002 mencapai angka 580.000 ha. Kondisi ini mengisyaratkan peran penting komoditas jambu mete terhadap pengembangan wilayah, dan diharapkan memberikan suatu efek multiplier terhadap kekuatan ekonomi daerah.

Di Nusa Tenggara Barat 51.719 ha areal perkebunan mete rakyat menghasilkan 11.154 ton kacang mete kering pada 2002 (Dinas Perkebunan Propinsi NTB, 2003). Sebagai perbandingan, perkebunan kelapa dan kopi Virginia diusahakan di atas lahan seluas 66.946 ha dan 18.016 ha. Implikasinya terhadap tenaga kerja di NTB adalah sebanyak 144.667 rumah tangga petani mengusahakan jambu mete. Semua produksi mete saat ini berasal dari perkebunan rakyat dan rata-rata umur tanaman adalah 10 tahun. Penyebaran areal dan produksi mete di NTB pada tahun 2002 disajikan pada Tabel 1.

Pada tahun 2002 Kabupaten Dompu memiliki produktivitas pertanaman jambu mete yang lebih tinggi yakni dapat mencapai 750 kg kacang mete berkulit


(22)

3

per hektar, dibandingkan dengan Lombok Barat yang hanya 450 kg kacang mete berkulit per hektar (Budastra, 2002). Perkebunan mete di Dompu berada di sekitar lereng Gunung Tambora yang subur sementara jambu mete di Lombok Barat ditanam di wilayah sepanjang pantai utara. Lokasi penanaman Jambu Mete di Kabupaten Dompu di areal dekat hutan tropis, sementara di Kabupaten Lombok Barat ditanam di areal lahan kering yang semula tidak menghasilkan.

Tabel 1. Luas perkebunan dan produksi jambu mete di propinsi Nusa Tenggara Barat

No Kabupaten Luas (ha) Produksi (ton)

1. Lombok Barat 21.252 3.974

2. Lombok Tengah 3.534 243

3. Lombok Timur 4.238 1.509

4. Sumbawa 9.201 1.160

5. Dompu 12.899 3.916

6. Bima 4.395 442

Total 51.720 11.244

Sumber: Dinas Perkebunan Propinsi NTB, 2003.

Tanaman jambu mete memiliki keunggulan dapat ditanam di lahan marginal beriklim kering, sehingga memiliki peluang pemanfaatan lahan pada daerah-daerah beriklim kering. Namun persepsi pemahaman pemanfaatan lahan marginal selama ini tidak didasari dengan pengetahuan tentang ketersediaan lahan yang cocok, sehingga pertumbuhan jambu mete tidak berjalan dengan optimal. Pada beberapa kasus pertumbuhan tanaman jambu mete berjalan baik hanya sampai saat mulai berbunga, selanjutnya tanaman meranggas dan menguning, dan hanya berwarna hijau bila musim hujan saja.

Kondisi ini mengisyaratkan perlunya analisis terhadap kesesuaian lokasi untuk tanaman jambu mete. Analisis kesesuaian lokasi merupakan alat perencanaan untuk mendesain pola penggunaan lahan yang dapat mencegah terjadinya konflik lingkungan melalui hubungan antara faktor spasial dengan lingkungan. Aspek terpenting dalam analisis kesesuaian lahan ini meliputi : (1) karakteristik fisiografi, iklim dan kualitas lahan yang merupakan kondisi spesifik suatu wilayah yang unik, dan (2) interaksi antar kriteria tersebut secara spasial dengan faktor sosial dan ekonomi untuk mendukung pertumbuhan tanaman.


(23)

4

Kedua aspek ini menjadi dasar bagi penetapan lokasi dan kriteria-kriteria yang mempengaruhinya untuk pengembangan jambu mete.

Pemanfaatan sumber daya lahan perlu ditata dalam menentukan kapasitas produksi tanaman yang diharapkan. Hal ini didapat dari suatu kegiatan penilaian dan pengklasifikasian tingkat kesesuaian lahan dengan berdasarkan pada kriteria kesesuaian lahan dimana sifat berbagai atribut lahan yang berbeda-beda merupakan dasar pertimbangan dalam menentukan sistem manajemen tiap satuan unit lahan. Klasifikasi ini dapat mengacu pada sistem identifikasi dan klasifikasi lahan yang telah dikenal seperti FAO, PPT, dan lainnya. Kriteria dapat dibangun dari hubungan antara sifat-sifat yang dikandung lahan dan produktivitas. Kriteria yang dibentuk dengan membandingkan antara produktivitas komoditas jambu mete dan faktor biofisik dan lingkungan merupakan suatu kondisi yang memiliki korelasi tertentu, sehingga kesesuaian lokasi dapat dipetakan.

Hasil dari pengkelasan ini adalah kesesuaian lahan aktual yang dapat dipetakan. Dalam kaitannya dengan pengembangan potensi wilayah untuk sektor pertanian, keragaman sifat lahan akan sangat menentukan jenis komoditas yang dapat diusahakan serta tingkat produktivitasnya. Hal ini karena setiap jenis komoditas pertanian memerlukan persyaratan sifat lahan yang spesifik untuk dapat tumbuh dan berproduksi dengan optimal. Perencanaan wilayah dalam rangka memanfaatkan sumberdaya lahan harus berdasarkan data dan informasi mengenai karakteristik biofisik lahan yang meliputi iklim, tanah, dan topografi, disamping aspek lain yang mencakup sosial, budaya, dan kondisi ekonomi.

Keragaan sifat lahan merupakan modal dasar yang dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam menentukan zone manajemen spesifik lokasi. Perencanaan pembangunan pertanian yang berdasarkan zone manajemen spesifik lokasi merupakan salah satu fokus untuk mengoptimumkan tiap usaha tani, khususnya yang dilakukan oleh masyarakat yang selama ini belum berorientasi pada agribisnis, sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan keunggulannya secara spesifik lokal terhadap wilayah lainnya dan tetap menjamin peluang pasar. Dengan demikian kegiatan pengelolaan lahan, khususnya dalam bidang pertanian dapat berimplikasi pada peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat.


(24)

5

Pengetahuan tentang kesesuaian lahan mendorong suatu arahan manajemen lahan yang terpadu, dengan mempertimbangkan atribut-atribut yang terdapat pada lahan tersebut sehingga menentukan satuan tipe penggunaan lahannya. Atribut yang terdapat pada satuan tipe penggunaan lahan terdiri dari hasil, tenaga kerja, modal, manajemen, teknologi dan skala usaha tani. Skala usaha tani akan terkait dengan prospek kesesuaian lokasi atau pola spasialnya yang bersifat unik, sehingga dapat dipetakan.

Upaya memanfaatkan lahan kering secara optimal, khususnya dengan komoditas jambu mete di daerah Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat memiliki peluang yang cukup cerah. Dalam buku Road Map Mete (Ditjen Perkebunan, 2006), Deptan menargetkan produktivitas hasil gelendong sebesar 1000 kg/ha/tahun. Hal ini tentu saja memerlukan suatu manajemen usaha tani yang optimal berdasarkan efisiensi pada setiap atribut, sehingga dapat meningkatkan produktivitas tanaman, khususnya pada tiap tipe lokasi manajemen input rendah, sedang dan tinggi.

Keterpaduan antara kesesuaian lahan secara fisik dan ekonomi merupakan aspek dasar dalam menetapkan suatu kegiatan perencanaan penggunaan ruang secara layak. Perencanaan ini bersifat krusial mengingat jumlah lahan terbatas, karena penggunaannya, khususnya untuk kegiatan pertanian, jika tidak sesuai dengan kemampuannya dapat menyebabkan kerusakan tanah atau kerugian secara ekonomis terhadap aktivitas pertanian itu sendiri. Pengambilan keputusan terhadap manajemen usaha tani ini melibatkan database dan peta-peta sehingga kegiatan pengelolaan lahan yang optimum baik secara fisik maupun ekonomis ini dapat berimplikasi terhadap peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat dalam suatu wilayah. Pertanyaan yang mengemuka adalah apakah dengan pertimbangan tersebut potensi optimal penggunaan lahan pada tiap sentra komoditas jambu mete di Kabupaten Dompu khususnya untuk komoditas jambu mete dapat dipetakan? Pembangunan Kriteria Kesesuaian Lokasi dan Optimasi Manajemen Spesifik Lokasi Jambu Mete di Kabupaten Dompu diperlukan untuk menjawabnya.


(25)

6

Identifikasi Masalah

Di Indonesia, sebagian besar jambu mete diusahakan sebagai tanaman perkebunan rakyat, yang meliputi 98,79 % dari total luas areal, dan menyumbang produksi sebesar 99,82 %. Sisanya dalam jumlah sedikit merupakan tanaman perkebunan besar swasta dan perkebunan negara (Darsono, 2004). Sebagaimana terjadi pada semua komoditi pertanian yang diusahakan oleh rakyat atau petani, masalah terbesar adalah produksi dan pemasaran.

Masalah produksi berkaitan dengan masih berpengaruhnya faktor alam, sehingga menyebabkan tingginya peluang untuk terjadinya kegagalan produksi. Produktivitas jambu mete merupakan interaksi antara variabel biofisik dan lingkungan suatu lahan dengan persyaratan tumbuh tanaman untuk menghasilkan produktivitas yang optimal. Sejauh ini penentuan lokasi pengembangan komoditas jambu mete tidak didasari dengan pengetahuan tentang ketersediaan lahan yang cocok (Ditjen Perkebunan, 2006). Hal ini terutama disebabkan oleh minimnya data kesesuaian lokasi untuk pengembangan komoditas jambu mete, dan secara umum kriteria kesesuaian lokasi yang dibangun merupakan model yang tidak didasari pada hubungan faktor biofisik lingkungan suatu lahan dengan produktivitas.

Keadaan tersebut diperburuk oleh pola pengusahaan yang kurang intensif. Pengusahaan lahan secara umum menyangkut aspek iklim, fisiografi, tanah, manusia, unsur teknologi serta perekonomian. Dengan demikian kegiatan pengusahaan komoditas jambu mete sangatlah dipengaruhi oleh kemampuan atau kesesuaian lahan, tingkat sosial-ekonomi, dan tingkat teknologi yang dikuasai masyarakat setempat. Kurangnya apresiasi dalam manajemen tiap Tipe Penggunaan Lahan (Land Utilization Type-LUT) menyebabkan berbagai permasalahan kerusakan lahan, seperti erosi, penurunan produksi, dan lain sebagainya.

Di lain pihak kebutuhan adanya usaha tani yang bersifat local uniqueness dan menjadi unggulan suatu daerah merupakan suatu desakan dalam perkembangan ekonomi suatu wilayah, khususnya di Nusa Tenggara Barat. Kabupaten Dompu sebagai salah satu sentra pengembangan jambu mete


(26)

7

diharapkan dapat memicu pertumbuhan ekonomi kerakyatan dan industri-industri sebagai nilai tambah dari produksi jambu mete. Produktivitas hasil dan kemantapan usaha tani jambu mete yang dilakukan menjadi suatu keharusan. Sinergi antara faktor lahan dan sosial ekonomi merupakan suatu implikasi teknis yang menentukan perkembangan usaha tani jambu mete. Perbedaan tingkat produktivitas hasil jambu mete antar beberapa wilayah di Kabupaten Dompu antara lain juga dipicu oleh kendala-kendala yang dihadapi oleh petani, sehingga walaupun nilai kelayakan usaha taninya dapat disebut layak, namun optimalisasi usaha tani belum dapat ditentukan.

Beranjak dari hal tersebut, maka permasalahan yang diangkat melalui penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah hubungan antara sifat biofisik lahan dan lingkungan dengan produktivitas tanaman jambu mete?

2. Bagaimanakah kriteria kesesuaian lahan untuk jambu mete berdasarkan hubungan antara karakter biofisik dan produktivitas tersebut?

3. Bagaimanakah sebaran spasial kesesuaian lokasi untuk pengembangan jambu mete di Kabupaten Dompu?

4. Bagaimanakah sistem usaha tani jambu mete yang optimal di Kabupaten Dompu?

5. Bagaimanakah sebaran Zona Manajemen Spesifik Lokasi untuk jambu mete di Kabupaten Dompu?

Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Karakterisasi biofisik lahan dan lingkungan lahan dan korelasinya dengan produktivitas tanaman jambu mete.

2. Pembangunan kriteria kesesuaian lahan untuk jambu mete.

3. Memetakan kelas kesesuaian lokasi tanaman jambu mete di Kabupaten Dompu.


(27)

8

4. Mengetahui produktivitas optimum dengan kendala-kendala tertentu pada tiap tipe kesesuaian lokasi dalam pengembangan usaha tani jambu mete di Kabupaten Dompu.

5. Memetakan zona manajemen spesifik lokasi pada tiap nilai optimal manajemen usaha tani jambu mete di Kabupaten Dompu.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa:

1. Kriteria kesesuaian lahan untuk jambu mete berdasarkan beberapa sifat biofisik dan lingkungan.

2. Model optimasi pengembangan jambu mete, sehingga usaha tani yang dilakukan dapat menguntungkan secara ekonomis dengan memperhitungkan faktor kendala luas lahan yang sesuai, modal usaha tani, dan tenaga kerja dari tiap LUT.

3. Peta zona manajemen spesifik lokasi sehubungan dengan produktivitas optimum jambu mete yang dapat dihasilkan Kabupaten Dompu dengan mempertimbangkan kendala-kendala pada tiap LUT.


(28)

9

TINJAUAN PUSTAKA

Pembangunan dan Pengembangan Wilayah

Pembangunan merupakan proses alami untuk mewujudkan cita-cita bernegara, yaitu terwujudnya masyarakat makmur sejahtera secara adil dan merata. Proses alami tersebut harus diciptakan melalui intervensi pemerintah melalui serangkaian kebijaksanaan pembangunan yang akan mendorong terciptanya kondisi yang memungkinkan rakyat berpartisipasi penuh dalam proses pembangunan. Proses pembangunan yang memihak rakyat merupakan upaya sinergi dalam langkah pemberdayaan masyarakat. Peran pemerintah adalah sebagai katalisator dalam mewujudkan langkah pemberdayaan masyarakat. Dalam kerangka itu pembangunan harus dipandang sebagai suatu rangkaian proses perubahan yang berjalan secara berkesinambungan untuk mewujudkan pencapaian tujuan (Sumodiningrat, 1999).

Paradigma baru pembangunan pada saat ini mengarahkan kepada terjadinya pemerataan (equity), pertumbuhan (efficiency), dan keberlanjutan (sustainability). Menurut Anwar dan Setiahadi (1996) dalam Rustiadi et al. (2006), pembangunan wilayah tersebut memerlukan pemahaman mengenai perencanaan pembangunan wilayah yang berdimensi ruang yang terkait aspek sosial ekonomi wilayah sehingga dapat mewujudkan pertumbuhan ekonomi. Pembangunan wilayah itu sendiri memiliki tujuan yang saling terkait antara sisi sosial ekonomi dan ekologis. Dari sudut pandang sosial ekonomi, pengembangan wilayah adalah upaya meningkatkan kesejahteraan kualitas hidup masyarakat, seperti menciptakan pusat-pusat produksi, memberikan kemudahan prasarana dan pelayanan logistik. Secara ekologis, pengembangan wilayah juga bertujuan untuk menjaga keseimbangan lingkungan sebagai akibat campur tangan manusia terhadap lingkungan (Triutomo, 1999 dalam AlKadri et al., 2001).

Menurut Sumodiningrat (1999) pembangunan daerah dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu pembangunan sektoral, pembangunan wilayah, dan pembangunan pemerintahan. Dari segi pembangunan sektoral, pembangunan


(29)

10

daerah merupakan pencapaian sasaran pembangunan nasional dilakukan melalui berbagai kegiatan atau pembangunan sektoral, seperti pertanian, industri, dan jasa yang dilaksanakan di daerah. Pembangunan sektoral dilaksanakan di daerah sesuai dengan kondisi dan potensinya.

Pembangunan wilayah, mencakup wilayah perkotaan dan perdesaan sebagai pusat dan lokasi kegiatan sosial ekonomi dari wilayah tersebut. Dari segi pemerintahan, pembangunan daerah merupakan usaha untuk mengembangkan dan memperkuat pemerintahanan daerah untuk makin mantapnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi dan bertanggung jawab. Pembangunan daerah di Indonesia memiliki dua aspek yaitu bertujuan memacu pertumbuhan ekonomi dan sosial di daerah yang relatif terbelakang, dan untuk lebih memperbaiki dan meningkatkan kemampuan daerah dalam melaksanakan pembangunan melalui kemampuan menyusun perencanaan sendiri dan pelaksanaan program serta proyek secara efektif.

Pembangunan berbasis pengembangan wilayah memandang pentingnya keterpaduan antar sektoral, spasial, serta pelaku pembangunan di dalam maupun antar daerah. Keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional dan sinergis antar sektor pembangunan sehingga setiap program pembangunan sektoral selalu dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah (Rustiadi et al., 2006).

Pada konsep pembangunan daerah yang berbasis pada sektor/komoditas unggulan ada beberapa kriteria sektor/komoditas sebagai motor penggerak pembangunan suatu daerah, antara lain: mampu memberikan kontribusi yang signifikan pada peningkatan produksi, pendapatan dan pengeluaran, mempunyai keterkaitan ke depan dan belakang (forward dan backward linkage) yang kuat, mampu bersaing (competitiveness), memiliki keterkaitan dengan daerah lain, mampu menyerap tenaga kerja, bertahan dalam jangka waktu tertentu, berorientasi pada kelestarian sumber daya alam dan lingkungan serta tidak rentan terhadap gejolak eksternal dan internal.

Menurut Rondinelli (1985) dalam sudut pandang wilayah sebagai suatu sistem produksi pertanian, kebijakan-kebijakan dan program-program


(30)

11

pembangunan wilayah difokuskan pada memperbaiki output pertanian dan efisiensi usaha tani. Informasi yang dikumpulkan pada wilayah tersebut adalah yang berhubungan dengan faktor-faktor yang perlu dikelola untuk meningkatkan produktivitas hasil-hasil pertanian.

Komisi Sosial Ekonomi Asia Pasifik (the Economic and Social Comission for Asia and the Pasific/ESCAP) mempertimbangkan usaha tani dan rumah tangga tani sebagai unit dasar dari aktivitas pertanian terhadap produktivitas pertanian wilayah. Karenanya informasi yang dikumpulkan adalah mengenai penggunaan lahan pertanian, tenaga kerja, modal, dan kondisi pengelolaan pertanian di wilayah tersebut serta komposisinya, kebutuhan subsisten, preferensi dan kebutuhan rumah tangga tani.

Usaha tani dan rumah tangga tani dipengaruhi oleh kondisi lingkungan fisik (iklim, vegetasi, tanah, hama dan penyakit), karakteristik penduduk (jumlah, densitas, pertumbuhan, dan komposisi penduduk), faktor sosial budaya, tingkat pelayanan sosial ekonomi, harga dan kondisi perdagangan tingkat dunia, harga nasional dan dukungan kebijakan. Formulasi kebijakan dan implementasinya difokuskan pada mengkoordinasikan semua faktor yang dibutuhkan untuk meningkatkan produksi regional dan pendapatan masyarakat.

Karakteristik Lahan dan Tipe Penggunaan Lahan (LUT)

Istilah lahan dipergunakan berkenaan dengan permukaan lahan dan termasuk semua sifat-sifat yang ada padanya dan penting bagi kehidupan serta keberhasilan manusia (Christian dan Stewart, 1984), dimana dalam pengertiannya lahan merupakan suatu konsep dinamika dan menganding aspek yang sangat luas. Lahan terdiri dari lingkungan fisik termasuk iklim, relief, tanah, hidrologi, dan vegetasi yang berpengaruh besar terhadap potensinya (FAO, 1976; Dent dan Young, 1981; Sys, 1985). Dalam hal ini termasuk juga hasil kegiatan manusia di masa lalu dan saat ini.

Karakteristik lahan merupakan data dasar dalam menentukan dan melaksanakan tahap-tahap evaluasi lahan. Data karakteristik dan kualitas lahan


(31)

12

dapat dinilai dari potensi dan kemampuan lahan untuk suatu tujuan penggunaan tertentu.

Karakteristik lahan adalah suatu atribut lahan yang dapat diukur dan diduga secara langsung, yang berhubungan dengan penggunaan lahan, misalnya lereng, curah hujan, tekstur tanah, ketersediaan air, biomassa (FAO, 1976). Sementara Sys (1985) mengemukakan bahwa karateristik lahan dapat tersedia setelah survey tanah dan dapat digunakan sebagai unsur penilaian, yang meliputi : (1) Iklim, (2) Topografi, (3) Kelembaban tanah, yaitu drainase dan penggenangan, (4) Sifat Fisik tanah yang terdiri dari tekstur, batuan, kedalaman efektif, kelembaban, lapisan sulfat masam, CaCO3, dan CaSO4, (5) karakteristik

kesuburan tanah yang tidak dapat dikoreksi, yaitu KTK, fraksi liat, sebagai gambaran tingat pelapukan, kejenuhan basa, dan bahan organik, dan (6) Status alkalinitas dan salinitas.

Penggunaan lahan didefinisikan sebagai segala macam campur tangan manusia baik secara permanen ataupun secara siklis terhadap suatu kumpulan sumber daya alam dan sumber daya buatan yang secara keseluruhan disebut lahan, dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhannya baik secara kebendaan maupun spiritual atau keduanya (Sys, 1985).

Persyaratan penggunaan lahan dari sebuah Land Utilization Type-LUT adalah suatu perangkat kualitas lahan yang dibutuhkan agar tipe penggunaan lahan yang spesifik dapat berfungsi dengan baik. Persyaratan tersebut dapat berupa persyaratan ekologis, pengelolaan, konservasi dan perbaikan.

Tipe penggunaan lahan (LUT) didefinisikan sebagai kategori bawah dari penggunaan lahan dan disajikan sebagai sasaran dari evaluasi lahan. Atribut yang terdapat pada satuan tipe penggunaan lahan (Land Utilization Type-LUT) terdiri dari hasil, tenaga kerja, modal, manajemen, teknologi dan skala usaha tani (FAO, 1976). Pada keadaan tertentu tipe-tipe penggunaan lahan secara terinci tidak hanya terdiri dari satu macam tanaman, tetapi dapat pula lebih dari satu (multiple cropping). Tentu saja dengan sistem tersebut tiap-tiap jenis tanaman akan memerlukan masukan, persyaratan dan hasil yang berbeda-beda. Akan tetapi


(32)

13

untuk tujuan evaluasi lahan, sistem penggunaan lahan berganda tersebut dianggap sebagai satu satuan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001).

Kesesuaian Lahan dan Produktivitas Tanaman Jambu Mete

Semua jenis komoditi, termasuk komoditas pertanian, peternakan, perikanan, yang berbasis lahan, untuk dapat hidup dan berproduksi memerlukan persyaratan-persyaratan tertentu, yang mungkin berbeda satu sama lain (Rayes, 2007). Persyaratan tumbuh atau persyaratan penggunaan lahan yang diperlukan oleh masing-masing komoditas mempunyai batas kisaran minimum, optimum, dan maksimum. Untuk menentukan kelas kesesuaiannya, persyaratan tersebut dijadikan dasar dalam menyusun kriteria kesesuaian lokasi, yang dikaitkan dengan kualitas dana karakteristik lahan.

Tanaman jambu mete dapat tumbuh dengan baik serta berproduksi secara maksimal apabila persyaratan lingkungan tumbuhnya terpenuhi. Persyaratan lingkungan tumbuh tersebut secara umum dapat digolongkan kedalam dua faktor, yaitu tanah dan iklim. Faktor tanah yang berkaitan erat dengan produktivitas terdiri atas tebal solum, tekstur, kemasaman (pH), kemiringan, kedalaman permukaan air dan drainase. Sedangkan faktor iklim meliputi tinggi tempat, curah hujan, bulan kering, bulan basah, dan kelembaban udara.

Berdasarkan persyaratan tumbuh, daerah pengembangannya dapat dibedakan atas empat katagori, yaitu sangat sesuai (S1), sesuai (S2), sesuai marjinal (S3) dan tidak sesuai (N). Untuk tujuan peningkatan produktivitas usaha tani jambu mete pada kegiatan peremajaan, rehabilitasi dan intensifikasi dianjurkan untuk menggunakan tanah dengan katagori S1, S2 dan S3. Sedangkan untuk kegiatan ekstensifikasi dianjurkan menggunakan tanah dengan kategori S1 dan S2 (Ditjen Perkebunan, 2006). Kriteria kesesuaian tanah dan iklim untuk tanaman jambu mete disajikan pada Tabel 2.


(33)

14

Tabel 2. Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman jambu mete

Faktor Lingkungan Sangat Sesuai Sesuai Sesuai Marjinal Tidak Sesuai

S1 S2 S3 N

a. Tebal Solum

b. Drainase Sangat baik baik sedang buruk c. Tesktur Lempung Pasir berlempung liat berlempung liat

Lempungberpasir lempungberpasir lempungliat berpasir liat berpasir

berpasir liat berdebu

d. Kedalaman tanah (m) 2‐5 1.5‐2 8‐13 >13 e. pH 6‐7 5.6‐5.9 5.1‐5.5 <5.5 f. Kemiringan (%) <3 3‐5 6‐25 >25 g. Altitude (m dpl) <200 200‐500 500‐700 >700

h. Hujan tahunan (mm) 1500‐2500 1000 800‐1000 <800 atau >2500 i. Bulan Kering 4‐5 5‐6 2‐4 >7 atau <2 j. Bulan Basah 5‐7 4‐5 3‐4 atau 8‐9 <3 atau > 9 k. Kelembaban udara (%) 70 ‐ 80 65 ‐ 70 60 ‐ 65 <60

Sumber: Ditjen Perkebunan, 2006.

Metode Boundary Line dalam Pengembangan Kriteria Kesesuaian Lahan Metode Boundary Line merupakan salah satu metode untuk menentukan produktivitas suatu komoditas. Tahap pertama untuk melakukan evaluasi menggunakan metode Boundary Line ini adalah pembuatan sebuah nilai standar atau norm. Metode ini menggunakan pendekatan survey untuk penetapan norm yang didasarkan pada respons tanaman terhadap faktor-faktor lingkungannya. Jika suatu set data telah dikumpulkan, data-data produksi dapat diplot terhadap status hara atau faktor-faktor lingkungan dalam sebuah atau beberapa grafik. Sebaran atau distribusi titik-titik observasi tersebut akan patuh terhadap suatu model. Dalam model ini, ketika sebuah faktor pembatas dikurangi (misalnya dengan pemupukan, pengapuran, dan lain-lain), produksi akan meningkat. Hal ini mirip dengan berlakunya hukum minimum J.V. Liebig. Dengan demikian garis paling atas akan merepresentasikan batas, pada kondisi mana produksi aktual dibatasi oleh variable yang di plot pada absis. Puncak (peak) observasi menunjukkan nilai optimal bagi kombinasi produksi – faktor yang di plot pada absis. Sebaliknya, garis paling bawah merepresentasikan respons produksi pada kondisi yang paling tidak optimal. Data di atas kurva paling atas dalam model ini tidak dapat diperoleh hanya dengan menggunakan faktor tunggal eksperimen karena tingkat optimal dari variabel lain akan senantiasa berubah melalui interaksi secara dinamis.


(34)

15

Dengan demikian pendekatan survey merupakan pendekatan yang paling memungkinkan untuk menetapkan norm pada metode ini (Sutandi, 1996).

Menurut Sutandi (1996:12), data yang menggambarkan hubungan antara produksi dengan kadar hara tanaman dikumpulkan dari lingkungan geografis yang luas. Data tersebut diplot sebaran diagramnya sehingga sebaran data lebih banyak pada produksi rendah dengan kadar hara rendah daripada kadar hara tinggi. Hal ini disebabkan oleh karena petani lebih banyak bekerja pada dosis rendah, daripada pemupukan berlebihan, dan kelebihan unsur hara juga dapat menyebabkan produksi rendah.

Dari rataan komposisi hara pada sub populasi produksi tinggi diperkirakan pada keadaan optimal. Koefisien keragaman dari sebaran data sub populasi tinggi diperoleh untuk mengukur sebaran relatif dari respon pada tingkat produksi yang lebih tinggi. Kelompok produksi tinggi merupakan cerminan dari kondisi optimum dimana jumlah faktor pembatas sudah lebih banyak berkurang dibanding pada kelompok produksi rendah. Sejumlah faktor pembatas yang membatasi produksi pada tingkat rendah, semakin dikurangi faktor pembatas tersebut, maka produksi akan semakin tinggi.

Sekat produksi digunakan untuk membagi sub populasi produksi tinggi dan rendah, ditetapkan dengan:

(1) Produksi yang lebih baik yang biasa dicapai petani atau

(2) Kelompok produksi tinggi adalah 10 % dari populais pengamatan yang mempunyai produksi tertinggi atau

(3) Tingkat produksi yang diharapkan dengan pertimbangan ekonomi atau (4) Tingkat produksi yang dikombinasikan dengan tingkat kualitas yang

diinginkan.

Principal Component Analysis (PCA)

Principal Component Analysis (PCA) merupakan prinsip matematik yang digambarkan sebagai alih ragam linear ortogonal yang mengubah bentuk data pada suatu sistem koordinat yang baru dimana perbedaan yang terbesar oleh


(35)

16

setiap proyeksi data ditunjukkan oleh koordinat yang pertama, perbedaan yang terbesar yang kedua di koordinat yang kedua, dan seterusnya.

Salah satu asumsi (prasyarat) dasar yang membolehkan penggunaan Analisis Regresi Berganda (pendugaan parameter struktur hubungan linier antara satu variable tujuan dengan lebih dari satu variabel penjelas), dimana pendugaan parameter struktur hubungan linier antara satu variabel pengelompokan dengan lebih dari satu variabel penjelas perbedaan antar kelompok adalah tidak terjadinya apa yang disebut dengan multicollinearity (fenomena saling berkorelasi antar variabel penjelas). PCA dapat membantu dalam menyelesaikan permasalahan multicollinearity ini, dengan menyajikan data dengan struktur yang jauh lebih sederhana tanpa kehilangan esensi informasi yang terkandung didalamnya, maka akan lebih mudah memahami, mengkomunikasikan, dan menetapkan prioritas penanganan terhadap hal-hal yang lebih pokok dari struktur permasalahan yang kita hadapi. Dengan demikian efisiensi dan efektifitas penanganan permasalahan dapat lebih ditingkatkan.

Ada dua tujuan dasar dari PCA, yakni:

(1) Ortogonalisasi Variabel: mentransformasikan suatu struktur data dengan variable-variabel yang saling berkorelasi menjadi struktur data baru dengan variabel-variabel baru (yang disebut sebagai Komponen Utama atau Faktor) yang tidak saling berkorelasi.

(2) Penyederhanaan Variabel: banyaknya variabel baru yang dihasilkan, jauh lebih sedikit dari pada variabel asalnya, tapi total kandungan informasinya (total ragamnya) relatif tidak berubah.

Optimasi Usaha Tani Jambu Mete dengan Linear Programming

Penggunaan sumber daya lahan khususnya pada daerah beriklim kering merupakan fungsi yang memiliki dualisme tujuan, yakni meningkatkan keuntungan ekonomi dengan meningkatkan produktivitas dan menjaga tanah dari ancaman degradasi dengan memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air. Dengan demikian penggunaan sumber daya yang optimal mengandung makna


(36)

17

azas pelestarian sumber daya alam dan lingkungan. Optimalisasi sumber daya lahan akan memberikan pendapatan yang tinggi kepada penduduk, serta mendukung sejumlah penduduk dalam keadaan hidup layak.

Secara ekonomi, pengelolaan sumber daya lahan ditujukan untuk memaksimalkan pendapatan masyarakat. Pencapaian pendapatan maksimum, usaha tani dihadapkan pada berbagai faktor pembatas, seperti potensi sumberdaya (dalam hal ini kesesuian lahan), harga input-output sumberdaya, tenaga kerja, modal, infrastruktur, dan input penunjang lainnya. Untuk memecahkan masalah tersebut, maka aspek perencanaan dalam mengalokasikan sumberdaya yang tersedia harus dilakukan secara optimal, dengan pendekatan program linear (Linear Programming). Namun, pada kondisi tertentu, pengelolaan sumber daya lahan tidak hanya menekankan pencapaian tujuan pendapatan maksimum, akan tetapi juga mempertimbangkan pemenuhan permintaan (ekspor dan konsumsi domestik) dan perluasan kesempatan kerja (Kasryno, 1979).

Riset operasi merupakan suatu teknik analisis yang bertujuan untuk menentukan kegiatan-kegiatan terbaik (optimum) dari suatu masalah pengambilan keputusan dengan kendala sumber daya. Bentuk umum model riset operasi terdiri dari suatu fungsi tujuan (objective function) dan beberapa pembatas (restriction) yang dinyatakan dalam peubah-peubah pengambil keputusan (decision variable) dari suatu permasalahan. Model Linear Programming (LP) mengasumsikan bahwa model mempunyai satu tujuan yang ingin dicapai yakni maksimisasi laba atau meminimisasi laba. Dengan formulasi satu tujuan ini, pemakai model LP dipaksa untuk menyatukan semua tujuan. Kendala-kendala pada LP merupakan sarana untuk mewujudkan sasaran yang hendak dicapai, dinyatakan sebagai nilai konstanta pada ruas kanan kendala atau disebut sebagai kendala tujuan (Nasendi dan Anwar, 1985, dalam Diana 2006).

Program linear memakai skala yang ukurannya dalam unit tetap, misalnya uang rupiah atau pun dollar. Dalam program linier terdapat beberapa asumsi, menurut Abarientos (1972) dalam Akbar (2001) adalah sebagai berikut:


(37)

18

1. Linieritas : perbandingan antara input yang satu dengan input lainnya, atau input dengan output besarnya tetap dan tidak bergantung pada tingkat produksi.

2. Addifitas : kriteria optimasi dari fungsi tujuan adalah jumlah dari nilai parameter (Cj) pada aktivitas yang terpisah (Xi). Disamping itu jumlah sumber daya yang digunakan adalah sama dengan penjumlahan dari sumber daya masing-masing aktivitas.

3. Divisibilitas : peubah pengambil keputusan Xj, jika diperlukan dapat dibagi dalam pecahan-pecahan.

4. Proporsionalitas : jika peubah pengambilan keputusan Xj, maka perubahannya akan menyebar dalam proporsi yang sama terhadap fungsi tujuan XjXj dan juga kendalanya aij Xj. Jika Xj dinaikkan dua kali maka secara proporsional nilai-nilai aij Xj juga akan naik dua kali lipat.

5. Finiteness : proses pemrogramannya pada jumlah alternatif aktivitas dan kendala sumberdaya yang terbatas.

6. Deterministik : parameter dalam peubah pengambilan keputusan c, a, dan b ditentukan dan diketahui terlebih dahulu secara pasti.

Model LP berguna untuk 2 (dua) macam analisis yaitu : (1) menentukan syarat-syarat pemakaian sumberdaya untuk mencapai beberapa tujuan dengan sumberdaya yang tersedia, dan (2) memberikan penyelesaian yang memuaskan menurut masukan yang bermacam-macam, tingkat aspirasi dan struktur prioritas. LP mampu menangani banyak tujuan dalam berbagai dimensi, dimana konversi berbagai faktor dari kerugian dan keuntungan mungkin tidak terlalu diperhitungkan. Beberapa penerapan dan pengembangannya adalah: kasus sumberdaya hutan (Rachman, 2000), perikanan (Panjaitan et al., 1995), dan perencanaan pola tanam (Akbar, 2001).

Analisis Pendapatan Usaha tani

Usaha tani yang dilakukan oleh petani pada akhirnya akan memperhitungkan biaya yang dikeluarkan dengan penerimaan yang diperoleh.


(38)

19

Selisih antara biaya-biaya yang dikeluarkan dengan penerimaan yang diperoleh merupakan pendapatan bersih dari kegiatan usaha tani.

Soeharjo dan Patong (1997), menyebutkan bahwa analisis pendapatan usaha tani mempunyai kegunaan bagi petani maupun pemilik faktor produksi. Ada dua tujuan utama dari analisis pendapatan, yaitu: (1) menggambarkan keadaan sekarang dari suatu kegiatan usaha, dan (2) menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan atau tindakan.

Analisis pendapatan usaha tani memerlukan dua keterangan pokok, yaitu keadaan penerimaan dan keadaan pengeluaran selama jangka waktu tertentu. Penerimaan merupakan total nilai produk yang dihasilkan, yakni hasil kali antara jumlah output yang dihasilkan dengan harga produk tersebut. Sedangkan pengeluaran atau biaya semua pengorbanan sumberdaya ekonomi dalam satuan uang yang diperlukan untuk menghasilkan suatu produk dalam suatu periode produksi. Penerimaan usaha tani dapat berbentuk dalam tiga hal, yaitu (1) hasil penjualan tunai, (2) produk yang dikonsumsi keluarga petani, dan (3) kenaikan nilai inventaris (selisih akhir tahun dengan awal tahun).

Pengeluaran usaha tani secara umum meliputi biaya tetap dan biaya variabel. Bentuk pengeluaran usaha tani berupa pengeluaran tunai (cash cost) dan pengeluaran yang diperhitungkan (inputed cost). Pengeluaran tunai ialah pengeluaran yang dibayarkan dengan uang, seperti biaya pembelian sarana produksi dan biaya untuk membayar tenaga kerja. Sedangkan pengeluaran yang diperhitungkan digunakan untuk menghitung berapa sebenarnya pendapatan kerja petani seandainya bunga modal dan nilai kerja keluarga diperhitungkan.

Pembayaran yang diberikan kepada faktor-faktor produksi yang dipergunakan dalam proses produksi, terdiri dari upah untuk tenaga kerja, bunga, modal, sewa tanah dan bangunan, laba bagi kewiraswataan dan resiko modal. Salah satu analisis yang digunakan adalah nilai B/C rasio, yang menunjukkan perbandingan keuntungan terhadap biaya pemasaran dari komoditas jambu mete di Kabupaten Dompu, baik pada usaha tani aktual dan hasil optimasi.


(39)

20

Zona Manajemen Spesifik Lokasi (Site-Spesific Management Zone) Suatu zona manajemen spesifik lokasi didefinisikan sebagai suatu areal yang menyatakan kombinasi secara fungsional dari faktor-faktor pembatas produktivitas yang homogen di mana suatu tingkat input secara spesifik sesuai (Doerge, 1999). Delineasi Site Spesific Management Zona dilakukan berdasarkan analisis GIS pada tiga layer data, yakni: data tanah tabular atau citra, topografi, dan pengalaman petani dalam pengelolaan lahan. Zona manajemen akan mengidentifikasi tiga tipe potensial produksi, yani produktivitas tinggi, sedang, dan rendah (Koch, et al., 2003).

Ahli ilmu tanah sudah mencoba untuk menghindari keterbatasan dari sistem sampling non-grid dengan memasukkan karakteristik-karakteristik lokasi lain ketika mereka mengembangkan input dan strategi pada masing-masing variabel. Dengan demikian, penggambaran zona-zona manajemen hanyalah suatu cara penggolongan keragaman spasial di dalam suatu areal. Agar strategi penggambaran berhasil didasarkan pada hubungan antara karakteristik-karakteristik lokasi dan produktivitas tanaman (Doerge, 1999).

Semakin banyak variabel tercakup di suatu manajemen strategi zona, semakin baik ketelitian peta tingkat manajemen. Beberapa prinsip dalam pertimbangan untuk memilih lokasi dan memetakan dalam suatu zona manajemen antara lain:

1. Hubungan dengan persentase hasil panen. Faktor-faktor untuk termasuk di suatu zona manajemen adalah yang mempunyai pengaruh paling signifikan terhadap hasil panen. Contoh : hubungan kelembaban tanah, pH,dan kadar hara tanah. Ironisnya, pola panen hasil pemetaan tidak akan stabil pada masing-masing musim untuk di gambarkan dalam zona-zona manajemen tanpa informasi tambahan.

2. Beberapa karakteristik-karakteristik lokasi secara langsung terukur dan tidak akan berubah, misalnya topografi, DHL, warna tanah, dan sifat fisika lainnya. Jika data ini yang dihubungkan dengan hasil panen, memiliki signifikansi untuk di gambarkan pada zona manajemen. Keuntungan dari jenis informasi ini adalah karena stabil dari waktu ke


(40)

21

waktu dan hanya perlu untuk diukur pada suatu waktu, namun bisa diinterpretasikan pada zona yang keliru, kecuali secara signifikan mempengaruhi produktivitas.

3. Kepadatan data. Kerapatan sampel dan interpolasinya dalam zonasi tidak menjadi masalah jika diperkuat dengan data pendukung yang memiliki densitas tinggi misalnya DEM, foto udara / citra satelit.

Untuk menetapkan manajemen spesifik lokasi, perlu diketahui terlebih dahulu kesesuaian lahan aktual dari suatu areal. Dengan diketahuinya pembatas secara rinci, akan memudahkan penafsiran perencanaan pada tingkat usaha tani, dalam hal ini perbaikan atau input tertentu. Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001) menggolongkan input tersebut atas tiga bagian, yakni input rendah, input sedang, dan input tinggi. Jenis input dan kemungkinan perbaikan yang dapat dilakukan untuk masing-masing karakteristik lahan disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Jenis masukan dan kemungkinan perbaikan yang dapat dilakukan untuk masing-masing karakteristik lahan

‐ Rejim Tempera tur Tidak dapat diperba iki

‐ Ketersediaa n Air (w)

  ‐ Curah huja n Irigas i Hi

  ‐ Bulan Kering irigas i

‐ Media pera kara n (r )

‐  Dra inas e ta nah Drainase bua tan Hi

‐  Tekstur Tidak dapat diperba iki

  ‐  Kedala ma n efektif  Hi

‐ Retensi hara (f)

  ‐  KTK  Pengapuran Mi ‐ Hi

  ‐  pH  Pengapuran

Hara ters edia (h)

  ‐  Total N Pemupukan untk kelas S2 Li ‐ Mi

  ‐  P Pemupukan untk kelas S3/N Mi

  ‐  K‐dd s d a

Toksisita s

  ‐ Salinita s Rekla ma si untuk tanah s a ling kelas S2/S3/N Mi

Kondisi medan/ terrain (m)

‐  Lereng (%) konstruksi sa wa h kemiringa n < 3% Li

konstruksi sa wa h kemiringa n  3 ‐ 8% Mi

konstruksi sa wa h kemiringa n  8 ‐ 15% Hi

pena naman strip rumput pa da kontur kemiringan 0 ‐ 8% Li

Teras tanpa SPA, kemiringan < 8 % Li

Teras tanpa SPA, kemiringan > 8 % Li

‐  Batuan lepas Pengambilan ba tuan untuk kela s S2/S3 Mi

‐ Batuan singkapan Tidak dapat diperba iki Mi

Sumber : Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001) keterangan :  Hi : Masukan tinggi Mi : Masukan sedang Li : Masukan rendah y g

Dikelompokkan Berda s a rkan Kualitas 

Lahan Perba ika n da n Simbolnya

Tingkat  Input

Umumnya tidak dapat diperbaiki jika la pisa n yang  menghamba t tebal dan tida k da pat ditembus, teta pi  jika la pis an yang menghambat tipis dan da pat  diperbaiki masih da pat diperba iki


(41)

22

SpasialisasidenganSistem Informasi Geografi(SIG)

Penyusunan suatu database spasial yang menunjukkan distribusi sistem manajemen usaha tani spesifik lokasi yang optimal komoditas jambu mete pada penelitian ini diintegrasikan dalam Sistem Informasi Geografis.

Sistem Informasi Geografi atau disingkat SIG merupakan suatu sistem yang berorientasi operasi berkaitan dengan pengumpulan, penyimpanan, dan manipulasi data yang bereferensi geografi secara konvensional. Operasi ini melibatkan perangkat komputer (perangkat keras dan perangkat lunak) yang mampu menangani data mencakup (input), (b) manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data) dan (c) manipulasi dan analisis, dan (d) pengembangan produk dan percetakan, seperti dinyatakan oleh Aronoff (1989) dalam Barus (2000).

Selanjutnya ditambahkan oleh Durana (1996) dalam Barus (2000) bahwa dalam pengertian yang lebih luas lagi harus dimasukkan dalam definisi GIS selain perangkat lunak dan perangkat keras juga pemakai dan organisasinya serta data yang dipakai. Hal ini disebabkan oleh karena tanpa mereka SIG tidak akan dapat dioperasikan.

Secara umum proses SIG disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Diagram Alir Proses Analisis dengan Sistem Informasi Geografis

Fungsi manipulasi dan analisis merupakan ciri utama SIG yang akan sangat menentukan pembuatan suatu keputusan berkaitan dengan data spasial. SIG merupakan alat yang handal untuk menangani data spasial. Dalam SIG data disimpan dalam format digital, yang lebih padat dibanding dalam bentuk cetak, tabel, maupun bentuk konvensional lainnya. Dengan dipakainya sistem

Tujuan, Manajemen Organisasi dan Pengelola

INPUT - Peta - Data Atribut

Subsistem Pemasukan

Subsistem Manajemen

Data

Subsistem Analisis

dan Manipulasi

Subsistem

Keluaran

OUPUT - Peta - Data Atribut


(42)

23

komputerisasi maka bila diperlukan, data dalam jumlah besar dapat dipanggil dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dan biaya per satuan yang lebih rendah daripada cara manual. Demikian pula dalam hal kemampuan manipulasi data spasial dan mengaitkannya dengan informasi atribut dan mengintegrasikannya dengan berbagai tipe data dalam suatu analisis.

Kemampuan untuk melaksanakan analisis spasial yang kompleks secara cepat mempunyai keuntungan kualitatif dan kuantitatif, dimana skenario perencanaan, model keputusan, deteksi perubahan dan analisis, dan tipe analisis lainnya dapat dikembangkan dengan membuat update data secara berkala. Operasi yang interaktif menjadi praktis karena setiap komputer dioperasikan dapat dilakukan cepat dan dengan biaya yang relatif murah. Selain itu dengan SIG tidak hanya data yang berbeda dapat diintegrasikan, prosedur yang berbeda juga dapat dipadukan.

Salah satu prosedur kerja yang umum dilakukan dalam SIG adalah penumpangtindihan beberapa peta untuk mencari suatu wilayah tertentu. Dalam pekerjaan perencanaan keruangan dimana data-data disajikan dalam bentuk peta, pendekatan ini sangat biasa dilakukan. Tumpang tindih bukan hanya menggabungkan garis yang terdapat pada dua atau tiga peta tersebut menjadi gabungan, karena hal ini hanya bagian kegiatan fisiknya, akan tetapi yang lebih penting menggali makna yang diakibatkan oleh kegiatan tersebut (Barus dan Wiradisastra, 2000).


(43)

24

METODE PENELITIAN

Kerangka Pemikiran

Usaha tani jambu mete di NTB telah memberikan penghidupan dan kesempatan kerja bagi sebagian besar petani pedesaan. Respon petani untuk menanam jambu mete sudah mulai baik karena usaha tani jambu mete mampu memberikan pendapatan yang cukup berarti bagi petani sejalan dengan meningkatnya permintaan ekspor. Di samping itu pemeliharaan tanaman jambu mete relatif mudah. Namun demikian, di tingkat petani masih ditemukan berbagai permasalahan yang menghambat keberhasilan usaha tani berbasis agribisnis.

Dari aspek biofisik dan lingkungan, penentuan lokasi pengembangan komoditas jambu mete tidak didasari dengan pengetahuan tentang ketersediaan lahan yang cocok (Ditjen Perkebunan, 2006). Hal ini terutama disebabkan oleh minimnya data kesesuaian lokasi untuk pengembangan komoditas jambu mete, dan secara umum kriteria kesesuaian lahan yang dibangun merupakan model yang tidak didasari pada hubungan faktor biofisik lingkungan suatu lahan dengan produktivitas.

Permasalahan lainnya dari segi investasi usaha tani yang menyebabkan aplikasi pupuk masih rendah. Menurut Supriatna (2004), petani hanya menggunakan pupuk Urea dari tiga jenis pupuk anjuran yaitu Urea, SP-36, dan KCl, bahkan ditemukan beberapa petani tidak menggunakan pupuk sama sekali. Pemupukan yang kurang sempurna akan menurunkan produksi tanaman, baik kuantitas maupun kualitas hasil.

Selain itu, penggunaan tenaga kerja kurang efektif. Selama ini yang menjadi tenaga kerja pada lahan perkebunan adalah keluarga petani dan tetangga terdekat sehingga upah tenaga kerja sangat jarang diperhitungkan. Jika upah tenaga kerja diperhitungkan, maka usaha tani akan merugi. Supriatna (2004) menyebutkan bahwa jika tenaga kerja diperhitungkan, akan membuat usaha tani merugi sebesar Rp. 350.000,- per tahun.


(44)

25

Kondisi usaha tani jambu mete tersebut mengisyaratkan perlunya persepsi agribisnis di kalangan petani, dan berorientasi pada peningkatan produktivitas jambu mete. Pengelolaan usaha tani jambu mete oleh petani dihadapkan pada kendala sumberdaya, antara lain tenaga kerja, modal, dan input yang digunakan. Di satu sisi tujuan pengelolaan adalah untuk memaksimumkan pendapatan bersih dengan konsekuensi mengurangi input, namun terdapat prospek peningkatan produktivitas jika meningkatkan jumlah input yang digunakan. Dengan demikian perlu sistem pengelolaan usaha tani jambu mete yang optimal.

Pada penelitian ini, dilakukan kajian terhadap pengaruh variabel-variabel biofisik, iklim, dan kualitas lahan terhadap produktivitas jambu mete di Kabupaten Dompu sehingga menghasilkan kriteria kesesuaian lahan yang selama ini menjadi dasar bagi pengembangan usaha tani dan pemilihan wilayah yang cocok. Produktivitas tanaman yang merupakan variabel penghubung antara karakteristik lahan dengan aspek ekonomi merupakan dasar menentukan input dan output usaha tani yang optimal, yang terintegrasi dalam suatu kegiatan manajemen spesifik lokasi. Dengan mempertimbangkan faktor pembatas yang ada pada tiap lokasi secara spesifik, selanjutnya dilakukan zonasi manajemen usaha tani jambu mete sesuai dengan karakter masing-masing lokasi secara spesifik. Alur kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1.


(45)

26

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Pembangunan Kriteria Kesesuaian Lahan dan Optimasi Manajemen Spesifik Lokasi untuk Usaha Tani Jambu Mete

Hubungan Aspek Biofisik Lingkungan

dan Produktivitas Tanaman

Aspek Sosial Ekonomi Wilayah:

-Jumlah penduduk

dan Tenaga Kerja

-Modal

Aspek Biofisik dan Lingkungan:

-Kualitas Lahan

-Iklim

-Fisiografi Lahan

Alokasi Sumber Daya Optimal Kelayakan Fisik

Evaluasi Kesesuaian Lokasi

Peta Kesesuaian Lokasi

Manajemen Spesifik Lokasi

Peta Zona Optimasi Manajemen Spesifik Lokasi untuk Jambu Mete

Aspek Tanaman:

-Parameter

Pertumbuhan Tanaman

-Parameter

Produktivitas Tanaman

Kriteria Kesesuaian Lahan

Penggunaan Lahan


(46)

27

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi objek penelitian ini dikelompokkan berdasarkan tujuan penelitian. Untuk pembangunan kriteria kesesuaian lahan tanaman jambu mete, sampel diperoleh dari Kabupaten Bogor, Majalengka, Karawang, Sumbawa, Lombok Barat, Lombok Timur, Dompu dan Bima. Sedangkan lokasi objek penelitian untuk optimasi manajemen spesifik lokasi adalah Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat. Penelitian berlangsung selama 8 (delapan) bulan, dari bulan Juli 2007 sampai dengan Februari 2008.

Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah komputer dan software SIG, Software Linear Programming dan pengolah statistik lainnya.Bahan yang digunakan dalam penelitian ini tertera pada Tabel 4.

Tabel 4. Jenis dan sumber data penelitian

No Jenis Data Sumber Data

1. Data Hasil Analisis Sampel Tanah Kompilasi Data Primer 2. Data Produktivitas Tanaman Jambu Mete

di Kabupaten Dompu

Kompilasi Data Primer 3. Peta Rupa Bumi Indonesia Kabupaten

Dompu skala 1 :50.000

Bakosurtanal 4. Peta Lereng Kabupaten Dompu skala

1 : 50.000

Kompilasi Data Peta RBI Kab. Dompu

5. Peta Administrasi Kabupaten Dompu skala 1 : 50.000.

Kompilasi Data Peta RBI Kab. Dompu

6. Peta Jenis Tanah Kabupaten Dompu skala 1 : 50.000.

Puslitanak. 7. Citra Satelit/Peta Penutup/Penggunaan

Lahan Kabupaten Dompu skala 1 : 50.000.

Kompilasi Data Peta RBI Kab. Dompu

Citra Landsat/TM.

8. Data Iklim Stasiun Klimatologi BMG

Dinas Pertanian Kab. Dompu 9. Data Input/Output Usaha Tani Jambu

Mete di Kab. Dompu

Data Primer. Podes Kab. Dompu BPS Kabupaten Dompu.


(47)

28

Rancangan Penelitian

Penelitian detil dilakukan dilakukan di semua kecamatan di Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat dengan pertimbangan bahwa lokasi ini secara umum memiliki tingkat produktivitas tanaman jambu mete yang cukup tinggi. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey. Penetapan desa ditentukan dengan purposive sampling.

Rancangan penelitian yang digunakan untuk menjawab tujuan-tujuan penelitian terdiri atas:

1. Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis-PCA), Analisis Gerombol (Cluster Analysis) dan Analisis Regresi Multivariate

1.1. Tujuan Analisis

Analisis Komponen Utama (PCA) dilakukan untuk menentukan atribut lahan, yang menjadi variabel yang signifikan mempengaruhi produktivitas hasil jambu mete.

1.2. Variabel Analisis

Variabel yang diperlukan untuk analisis ini adalah:

- Variabel Fisiografi Lahan: kemiringan lereng dan batuan permukaan, kedalaman efektif, tekstur tanah.

- Variabel Iklim: Curah hujan, jumlah bulan kering.

- Variabel Kualitas Lahan: kadar C-organik, total-N, kadar P2O5, kadar

K2O, Kejenuhan Basa, Kapasitas Tukar Kation, dan pH tanah.

- Variabel Produktivitas Tanaman Jambu Mete: produksi tanaman (kg/ha atau kg/pohon).

1.3. Metode Analisis

Sebelum menentukan korelasi antara karakter biofisik lahan dan lingkungan dengan produtivitas, terlebih dahulu produksi perlu ditera dengan umur tanaman agar satu sampel dengan lainnya tidak dipengaruhi oleh umur dan dapat diperbandingkan satu sama lainnya, dan variabilitas yang ada tidak lagi dipengaruhi umur namun dipengaruhi oleh faktor lingkungan biofisik semata.


(48)

29

Produksi merupakan fungsi dari umur, sehingga produksi yang satu dengan yang lainnya akan diperbandingkan atau sebagai dependent variable. Metode peneraan yang akan digunakan adalah:

Y = f(t)

Y = produksi dugaan berdasarkan umur. t = umur (tahun atau bulan)

Y teraan = Yi + (Ŷ – Y) Dimana:

Y teraan = produksi teraan Yi = produksi aktual

Ŷ = rataan umum

Y = produksi dugaan berdasarkan umur.

Selanjutnya dilakukan Analisis Komponen Utama (PCA) untuk melihat pengelompokan antar variabel yang telah hilang multikolinearitasnya. Untuk menampilkan data pada objek-objek yang mempunyai beberapa peubah (dimensi) maka perlu dilakukan transformasi melalui Analisis Komponen Utama (Principle Component Analysis/ PCA).

Analisis Komponen Utama merupakan teknik analisis multivariabel (menggunakan banyak variabel) yang dilakukan untuk tujuan ortogonalisasi dan penyederhanaan variabel. Analisis ini merupakan teknik statistik yang mentransformasikan secara linier satu set variabel ke dalam variabel baru dengan ukuran lebih kecil namun representatif dan tidak saling berkorelasi (ortogonal).

Analisis Komponen Utama (PCA) sering digunakan sebagai analisis antara maupun analisis akhir. Sebagai analisis antara PCA bermanfaat untuk menghilangkan multicollinearity atau untuk mereduksi variabel yang berukuran besar ke dalam variabel baru yang berukuran sederhana. Untuk analisis akhir, PCA umumnya digunakan untuk mengelompokkan variabel-variabel penting dari suatu bundel variabel besar untuk menduga suatu fenomena, sekaligus memahami struktur dan melihat hubungan antar variabel. Pada dasarnya PCA adalah analisis yang mentransformasikan data sejumlah p ke dalam struktur data baru sejumlah k dengan jumlah k < p. Perhitungan dengan PCA memerlukan beberapa


(49)

30

pertimbangan, yang sekaligus menggambarkan adanya kendala dan tujuan yang ingin dicapai dari hasil analisis PCA.

Di dalam PCA akan dihitung vektor pembobot yang secara matematis ditujukan untuk memaksimumkan keragaman dari kelompok variabel baru (yang sebenarnya merupakan fungsi linier peubah asal) atau memaksimumkan jumlah kuadrat korelasi antar PCA dengan variabel asal. Hasil analisis komponen-komponen utama antara lain nilai akar ciri, proporsi, dan kumulatif akar ciri, nilai pembobot atau sering disebut faktor loading, serta faktor scores.

Analisis Gerombol (Cluster Analysis) merupakan salah satu teknik multivariabel yang umumnya digunakan untuk mengelompokkan data ke dalam satu kelas yang mempunyai ciri-ciri tertentu yang sama. Tujuan dilakukan analisis kelompok ini adalah untuk menemukan kelompok alami dari satu kumpulan data. Analisis kelompok ini dilakukan untuk tujuan: (1) menggali data/eksplorasi data, (2) mereduksi data menjadi kelompok data baru dengan jumlah lebih kecil atau dinyatakan dengan pengkelasan (klasifikasi) data, (3) menggeneralisasi suatu populasi untuk memperoleh suatu hipotesis, (4) menduga karakteristik data-data. Di dalam membentuk suatu cluster, metode ini menggunakan perbedaan atau “jarak” euclidean antara nilai objek sebagai dasar pengelompokannya.

Sebelum melakukan penggabungan data perlu dihitung terlebih dahulu jarak antara dua data atau jarak antara dua gerombol data dengan ciri yang serupa. Untuk dapat dilakukan penggerombolan diperlukan suatu skala pengukuran yang sama. Jika skala data tidak sama maka data perlu ditransformasikan dalam suatu bentuk skor tertentu yang disebut dengan jarak baku. Dalam analisis gerombol dikenal terdapat beberapa ukuran jarak antara lain: jarak mahalanobis, jarak eucledian, jarak chebicef, power distance, dan percent disagreement. Ukuran jarak yang sering digunakan adalah jarak eucledian (eucledian distance).

Persamaan penghitungan jarak eucledian antara dua titik atau dua gerombol:

(

Xi

Yj

)

D

p

i

=

=

2 / 1 1


(50)

31 Keterangan:

Xi = pusat data dari gerombol X Yj = pusat data dari gerombol Y

Nilai D merupakan jarak antara titik data/gerombol X dan Y. Makin kecil nilai D makin besar kemiripan data X dan Y. Dalam analisis gerombol ini tidak

Selanjutnya untuk mengetahui faktor biofisik lingkungan yang mempengaruhi produktivitas tanaman dianalisis melalui persamaan regresi berganda linier. Model hubungan kausal yang digunakan adalah model regresi berganda linier sebagai berikut:

Keterangan:

Y = produktivitas tanaman jambu mete ß0 = konstanta

X1 s/d X6 = kelompok faktor biofisik lingkungan yang telah

distandarisasi dengan Analisis Komponen Utama ß 1 s/d ß6 = koefisien tiap faktor biofisik lingkungan

µ = kesalahan pengganggu (error)

Untuk Analisis Komponen Utama, Analisis Gerombol dan Analisis Regresi menggunakan tools yang ada pada software Statistica ver. 6.0.

2. Pembangunan Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Jambu Mete 2.1. Tujuan Analisis

Analisis ini dilakukan untuk menentukan kriteria kesesuaian lahan untuk komoditas jambu mete berdasarkan hubungan antara karakter biofisik lahan dan lingkungan dengan produktivitas tanaman.

2.2. Variabel Analisis

- Variabel Fisiografi Lahan: kemiringan lereng dan batuan permukaan, kedalaman efektif, tekstur tanah.

- Variabel Iklim: Curah hujan, jumlah bulan kering.

- Variabel Kualitas Lahan: kadar C-organik, total-N, kadar P2O5, kadar

K2O, Kejenuhan Basa, Kapasitas Tukar Kation, dan pH tanah. μ β

β β

β β

β

β + + + + + + +

= 0 1X1 2X2 3 4X4 5X5 6X6


(1)

118

 

 

Lampiran

 

10

 

Data

 

Parameter

 

Produktivitas

 

Tanaman

 

Jambu

 

Mete

 

pada

 

Beberapa

 

Titik

 

Pengamatan

 

 

kg/pohon

1 K1.1 12 25 9 1,5 2,50

2 K1.2 10 3 9 1,5 0,25

3 K1.3 12 25 15 1,5 2,50

4 K2.1 9 0 0 0 0,00

5 K2.2 11 0 0 0 0,00

6 K2.3 8 0 0 0 0,00

7 B1.1 6 0 0 0 0,00

8 B1.2 12 32 0 3,6 7,68

9 B2.1 30 24 22 3,6 14,40

10 B2.2 14 38 46 3,6 10,64

11 B2.3 54 32 142 3,6 34,56

12 M1.1 Manggala 11 21 20 1,2 1,54

13 P1.1 Putat 13 17 8 4 4,91

14 P1.2 20 28 8 6 18,67

15 A1.1 14 21 10 6 9,80

16 A1.2 10 13 42 6 4,33

17 A1.3 10 11 0 6 3,67

18 L1.1 12 35 0 2 4,67

19 L1.2 15 36 0 2 6,00

20 L1.3 11 16 1 2 1,96

21 O1.1 44 78 17 5 47,67

22 O1.2 36 25 4 4 10,00

23 O1.3 48 53 19 6 42,40

24 O2.1 42 31 27 10 36,17

25 O2.2 35 58 23 9 50,75

26 Al1.1 12 9 12 5 3,00

27 Al1.2 15 12 1 3 3,00

28 Al2.1 30 11 7 7 12,83

29 Al2.2 45 18 7 7 31,50

30 Al3.1 24 57 1 4 30,40

31 Al3.2 30 13 3 3 6,50

32 Ry1.1 Jati sari 17 23 76 8 17,38

33 Ry2.1 Sumber sari 30 62 28 8 41,33

34 Lp1.1 1 4 6 6 0,13

35 Lp1.2 1 7 6 6 0,23

36 Lp1.3 1 4 6 6 0,13

37 Lp1.4 7 9 6 6 2,10

38 Pl1.1 Muir 15 21 15 3 5,25

39 MP1.1 Monggu 27 36 9 4 21,60

40 MP2.1 Madawa 11 10 2 4 2,44

41 SG1.1 26 44 2 10 31,78

42 SG1.2 42 27 25 8 25,20

43 SG1.3 48 49 1 9 58,80

44 Ml1.1 12 29 80 10 19,33

45 Ml1.2 80 26 26 4 23,11

46 Ml1.3 30 29 0 5 24,17

47 Ml2.1 24 26 3 5 17,33

48 Ml2.2 17 26 25 6 14,73

49 Ml2.3 12 40 91 10 26,67

50 ML3.1 Nusajaya 20 49 78 7 38,11

51 Ml3.2 17 139 18 4 52,51

52 Ml3.3 24 87 0 5 58,00

53 Ml4.1 36 134 49 3 56,28

54 DP1.1 7 61 22 4 9,49

55 Dp2.1 9 28 0 3 4,20

56 Sa1.1 18 28 0 4 11,20

57 Sa1.2 44 17 0 4 16,62

58 Sa1.3 40 21 0 4 18,67

59 Cl1.1 36 29 0 6 34,80

60 Cl1.2 54 29 0 4 34,80

61 Cl1.3 28 65 0 4 40,44

62 Pk1.1 Karombo2 75 29 3 4 48,33

63 Pk2.1 41 57 13 4 51,93

64 Pk2.2 56 70 20 4 43,56

65 Pk2.3 48 75 45 4 48,00

66 Pk3.1 12 130 0 4 34,67

67 Pk4.1 56 52 3 4 38,83

68 Pk4.2 55 101 110 3 55,55

69 Pk4.3 36 129 51 4 61,92

70 Prg1.1 Parung Parung 16 27 26 1 2,40

71 jsg1.1 1 0 0 1 0,00

72 jsg1.2 1 2 2 1 0,01

73 krc1.1 7 5 2 1 0,19

74 krc2.1 5 10 20 3,4 0,94

75 krc3.1 4 12 9 1,8 0,48

76 dmg Darmaga darmaga 9 18 19 2,1 1,91

77 MK1.1 Pancurendangbabakan Jawa 14 26 18 2,4 4,85

78 MK2.1 12 4 4 1,2 0,32

79 MK3.1 14 16 8 1,5 1,87

80 MK4.1 18 9 18 2 1,80

81 MK5.1 7 4 1 2 0,31

82 MK6.1 15 22 12 2,5 4,58

83 Laode Kase1 30 16 4,45 1,2 14,24

84 Laode Bani 3 75 5 1,28 1,9 5,07

85 BO2.1 84 5 19 5,1 32,50

86 B02.4 75 8 1,1 4,7 17,24

87 Nigeria 66 6 3 5,2 34,32

Produksi Gelondong = Jlh cabang proporsional*Jumlah shoot bunga/cabang*rata²buah per shoot/180

Jumlah 

Cabang 

proporsional

Kayangan

rata2 buah 

per shoot

Produksi 

rataan 

No

Kampung Desa Kabupaten

Lokasi

Kecamatan Kode Sampel 

Tanaman

Karangtal

Lokorangan

Lombok Barat Kayangan

Lombok Timur Beburung

Loloan

Bayan Lubuk Baru

Sampik Elen

Sukadamai

Manggelewa

Sumbawa Tengah

Labuan Badas Sampik Elen

Pemenang

Lembah Pede Akar‐akar Bayan

Bima

Bonggo

karacak cigudeg Kadindi Barat

Obel‐obel Sambelia

Dompu Kempo Madapaga Karawang Cikampek Majalengka leuwiliang jasinga Utan Rhe Pekat Manggelewa Woja

Parameter Produktivitas

Bogor

Majalengka Dompu Sanggar Kore

Beringin Jaya Calabai

Jumlah shoot 

bunga/ 

cabang

Jumlah buah/ 

cabang Loloan Sidomukti Sampargadung Songgajah Setuiberang Rhe

darma bakti Surinomo Madaprana Buana Sari


(2)

 

Lampiran

 

11

 

Peta

 

Kualitas

 

C

organik

 

di

 

Kabupaten

 

Dompu

  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


(3)

120

 

 

Lampiran

 

12

 

Peta

 

Kualitas

 

K

DD

 

di

 

Kabupaten

 

Dompu

  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


(4)

Lampiran

 

13

 

Peta

 

Kualitas

 

N

total

 

di

 

Kabupaten

 

Dompu

  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


(5)

122

 

 

 

Lampiran

 

14

 

Peta

 

Kualitas

 

P

 

di

 

Kabupaten

 

Dompu

  

 

 

 

 

 


(6)

Lampiran

 

15

 

Peta

 

Lokasi

 

Titik

 

Pengamatan

 

di

 

Kabupaten

 

Dompu