Keragaman Jenis Dan Aktivitas Nyamuk Pada Peternakan Sapi Unit Reproduksi Dan Rehabilitasi Fkh Ipb

KERAGAMAN JENIS DAN AKTIVITAS NYAMUK PADA
PETERNAKAN SAPI DI UNIT REPRODUKSI DAN REHABILITASI
FKH IPB

DAVID ALFIAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “KERAGAMAN
JENIS DAN AKTIVITAS NYAMUK PADA PETERNAKAN SAPI DI UNIT
REPRODUKSI DAN REHABILITASI FKH IPB” adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2015
David Alfian
NIM B04090173

ABSTRAK
DAVID ALFIAN. Keragaman Jenis dan Aktivitas Nyamuk pada Peternakan Sapi
Unit Reproduksi dan Rehabilitasi FKH IPB
Nyamuk merupakan serangga yang penggangu karena mengeluarkan suara
bising, memicu alergi pada sebagian orang, mengisap darah, dan menularkan
patogen. Selain menularkan penyakit pada manusia nyamuk juga berperan dalam
penularan zoonosis seperti JE, RVF, WN, dan lain-lain. Informasi mengenai
keragaman jenis nyamuk sebagai vektor zoonosis di Indonesia sangat terbatas.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keragaman jenis, fluktuasi
populasi dan aktivitas nyamuk pada peternakan sapi di Unit Reproduksi dan
Rehabilitasi (URR) FKH IPB. Koleksi nyamuk menggunakan metode BLC dari
pukul 18.00 hingga 06.00 pada maret sampai mei 2013. Diperoleh sebanyak 104
nyamuk dari 8 kali pengambilan yang terdiri atas tujuh spesies Culex (Cx. gelidus,

Cx. bitaenorhynchus, Cx. quinquefasciatus, Cx. huchinsoni, Cx. pseudosinensis,
Cx. fuscocephalus, Cx. tritaenorhynchus) dan satu spesies Armigeres (Ar.
subalbatus). Spesies dominan adalah Cx. gelidus (28,85%) dan Ar. subalbatus
(17,30%). Aktivitas nyamuk tertinggi terjadi pada pukul 18.00 sampai 19.00.
Kata kunci: Armigeres, BLC, Culex, URR FKH IPB

ABSTRACT
DAVID ALFIAN. Diversity and Activity of Mosquitoes at Cattle Farm Unit
Reproduction and Rehabilitation FKH IPB .
Mosquitoes are annoying insects because of a noise, blood sucker, transmit
pathogens, and trigger allergies in some people. Mosquitoes play a role in the
transmission of zoonoses such as JE, RVF, WN, etc. Information about diversity of
mosquitoes that play as vectors on zoonoses in Indonesia has limited. The purpose
of this study was to determine the diversity, population fluctuation, and the
activity of mosquitoes at cattle farm in Unit Reproduction and Rehabilitation
(URR) Bogor Agricultural University. Mosquitoes was collected by BLC method
from 6 pm to 6 am on March to May 2013. There were 104 mosquitoes from 8
times collections, consisted of 7 species Culex (Cx. gelidus, Cx. bitaenorhynchus,
Cx. quinquefasciatus, Cx. huchinsoni, Cx. pseudosinensis, Cx. fuscocephalus, Cx.
tritaenorhynchus) and one Armigeres (Ar. subalbatus). The dominant species was

Cx. gelidus (28.85%) and Ar. subalbatus (17.30%). The highest mosquitoes
activity was discovered at 6 pm to 7 pm.
Keywords: Armigeres, BLC, Culex, URR FKH IPB

KERAGAMAN JENIS DAN AKTIVITAS NYAMUK PADA
PETERNAKAN SAPI DI UNIT REPRODUKSI DAN REHABILITASI
FKH IPB

DAVID ALFIAN

Skripsi
Skripsi
sebagai
salah
satu
syarat
untuk memperoleh gelar
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
Sarjana Kedokteran Hewan

pada
pada
Fakultas
Kedokteran
Hewan
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini ialah
“KERAGAMAN JENIS DAN AKTIVITAS NYAMUK PADA PETERNAKAN
SAPI DI UNIT REPRODUKSI DAN REHABILITASI FKH IPB”
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Drh. Susi Soviana, MSi
selaku pembimbing yang telah banyak memberi masukan dan saran. Di samping

itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh staf Laboratorium Entomologi
IPB yang telah membantu selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada Ayahanda, Ibunda, Adikku dan seluruh keluarga atas segala
doa dan kasih sayangnya. Salam persahabatan penulis ucapkan kepada temanteman Geochelone 46 yang telah banyak membantu selama perkuliahan, serta
patner kerja yakni Rofindra Rohannato dan M Jamaluddin A.
Penulis menyadari penulisan skripsi ini tidak luput dari kekurangan, untuk
itu Penulis sangat berterimakasih atas kritik dan saran-saran yang bersifat
membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini
bermanfaat, baik bagi penulis maupun pembaca.

Bogor, Juli 2015

David Alfian

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR


viii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA


2

Klasifikasi, Morfologi dan Biologi Nyamuk

2

Nyamuk sebagai vektor penyakit

4

METODE

5

Waktu dan tempat

5

Metode Penelitian


5

Analisis Data

6

PEMBAHASAN

7

Keragaman Jenis Nyamuk

7

Kelimpahan Nisbi, Frekuensi, dan Dominansi

9

Kepadatan Nyamuk yang Tertangkap


11

Fluktuasi Aktivitas Menggigit Nyamuk

12

SIMPULAN DAN SARAN

13

Simpulan

13

Saran

13

DAFTAR PUSTAKA


13

RIWAYAT HIDUP

16
LAMPIRAN

RIWAYAT HIDUP

15

1

DAFTAR TABEL
1. Keragaman jenis dan persentase nyamuk yang tertangkap pada manusia
di peternakan sapi URR FKH-IPB, Maret-Mei 2013.
2. Kelimpahan nisbi, frekuensi, dan dominansi nyamuk yang tertangkap
pada manusia di peternakan sapi URR FKH-IPB, Maret-Mei 2013.
3. Kepadatan nyamuk yang tertangkap pada manusia di peternakan sapi

URR FKH-IPB, Maret-Mei 2013

9
10
11

DAFTAR GAMBAR
1. Keragaman jenis nyamuk yang tertangkap di peternakan URR FKH IPB
2. Kepadatan nyamuk yang tertangkap setiap jam

8
12

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Nyamuk tergolong serangga yang cukup tua di alam dan telah melewati
suatu proses evolusi yang panjang. Insekta ini memiliki sifat yang spesifik dan
sangat adaptif tinggal bersama manusia (Hadi dan Koesharto 2006). Nyamuk
tersebar luas di seluruh dunia mulai dari daerah kutub sampai ke daerah tropika
(Hadi dan Soviana 2010). Selain mengganggu secara langsung akibat suara,
gigitan nyamuk dapat menularkan patogen antara manusia maupun hewan.
Penyakit dapat menular melalui beberapa cara, salah satunya yaitu melalui
vektor. Penyakit yang ditularkan oleh vektor disebut dengan vector borne disease
dan sebagian dari vector borne disease bersifat zoonosis yaitu dapat ditularkan
antara hewan dan manusia. Nyamuk dapat sebagai vektor dengan menularkan
agen penyakit.
Penyakit yang disebabkan oleh patogen yang ditransmisikan nyamuk
disebut mosquito borne disease. Mosquito borne disease sering kali meresahkan
pemerintah maupun masyarakat karena dapat menyebabkan kesakitan atau
kematian pada inang. Sebagian mosquito borne disease bersifat zoonosis yaitu
dapat ditularkan antara hewan dan manusia. Beberapa mosquito borne disease
yang bersifat zoonosis antara lain adalah Rift Valey Fever (RVF), Japanese
Enchephalitis (JE), West Nile (WN) (Weissenbock et al 2010).
Kerugian akibat mosquito borne disease pada hewan meliputi menurunnya
produktivitas, kesakitan bahkan kematian. Pada ruminansia, RVF menimbulkan
mortalitas yang tinggi pada hewan yang baru lahir dan aborsi pada hewan yang
bunting (Pages et al 2009). Jenis hewan dan umur menjadi faktor kerentanan
hewan terhadap RVF. Domba lebih rentan dari pada sapi dan umur hewan muda
memiliki mortalitas yang lebih tinggi. Sedangkan gejala RVF pada manusia tidak
begitu parah, umumnya berupa flu, nyeri otot, nyeri sendi, sakit kepala, leher yang
kaku, sensitif terhadap cahaya, dan muntah. RVF virus pada manusia akan
berangsur-angsur hilang dari darah seiring munculnya respon antibodi (WHO
2010).
Informasi mengenai keragaman jenis dan aktivitas nyamuk yang
berpotensi sebagai vektor pada mosquito borne disease yang bersifat zoonosis
masih sangat minim. Untuk itu penelitian ini dilakukan di kandang sapi dan
menggunakan umpan manusia.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keragaman jenis,
kelimpahan nisbi dan aktivitas nyamuk pada peternakan sapi Unit Reproduksi dan
Rehabilitasi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (URR FKHIPB).

2
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan menjadi informasi agar masyarakat lebih
waspada terhadap potensi penyakit yang dapat ditularkan dari hewan melalui
gigitan nyamuk.

TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi, Morfologi dan Biologi Nyamuk
Nyamuk merupakan serangga terbang yang sering kali mengganggu
ketentraman dan termasuk ke dalam filum Artropoda, kelas Insekta, ordo Diptera,
dan famili Culicidae. Diperkirakan terdapat sekitar 42 genus, 140 subgenus, 3500
spesies dan subspesies nyamuk di dunia yang telah berhasil diidentifikasi. Tiga
subfamili penting dari Culicidae adalah Toxorhynchitinae, Anophelinae dan
Culicinae. Di dalam subfamili Toxorhynchitinae terdapat satu genus penting di
bidang kesehatan yakni Toxorhynchites. Satu genus penting dari Anophelinae
adalah Anopheles, sedangkan dari subfamili Culicinae pada umumnya adalah
Aedes, Armigeres, Culex, dan Mansonia (Hadi dan Koesharto 2006).
Nyamuk mengalami metamorfosis sempurna yang diawali dengan telur,
larva, pupa, dan dewasa. Perkembangan pradewasa nyamuk terjadi di lingkungan
air sedangkan nyamuk dewasa adalah serangga teresterial. Nyamuk dewasa yang
keluar dari pupa akan mencari pasangan untuk mengadakan perkawinan. Setelah
kawin nyamuk jantan akan beristirahat sedangkan nyamuk betina mencari darah
untuk perkembangan dan pematangan sel telurnya. Nyamuk yang menggunakan
nutrisi dalam darah untuk telurnya disebut anautogenous. Setelah mengisap darah,
perkembangan ovarium akan dimulai hingga pematangan telur dan siap ovulasi.
Selama proses pematangan telur, nyamuk betina akan beristirahat terutama pada
tempat yang gelap dan sejuk. Setelah itu nyamuk akan mencari tempat bertelur
berupa perairan yang cocok dan menyediakan bahan pakan bagi larvanya.
Selanjutnya, nyamuk betina akan kembali melakukan perkawinan dan kembali
mencari darah untuk siklus bertelur berikutnya yang dikenal sebagai siklus
gonotrofik (Hadi dan Koesharto 2006).
Nyamuk betina meletakan telur pada permukaan air sesuai dengan
habitatnya. Telur nyamuk dari subfamili Anophelinae dilengkapi pelampung,
sedangkan telur nyamuk dari subfamili Culicinae tanpa pelampung. Nyamuk
Aedes dan Anopheles meletakan telur secara tunggal sedangkan Culex secara
berkelompok sehingga terlihat seperti rakit. Sementara itu Mansonia meletakan
telur berkelompok tetapi menempel pada tanaman air (Hadi dan Koesharto 2006).
Telur nyamuk dapat bertahan hidup cukup lama di alam dalam bentuk dorman.
Selanjutnya telur akan menetas menjadi larva.
Larva adalah stadium makan dalam perkembangan nyamuk. Larva nyamuk
memiliki kepala, toraks dan abdomen yang jelas dan terdapat rambut-rambut halus
yang menutupi seluruh tubuh larva nyamuk. Anophelinae menggunakan lubang
spirakel sebagai alat pernapasan sedangkan Cuilcinae menggunakan tabung sifon
yang terletak pada ujung abdomen. Larva nyamuk memakan organisme renik di
perairan, tetapi ada larva nyamuk yang menjadi predator larva nyamuk lain seperti

3
Toxorhyncites. Larva nyamuk akan menjadi pupa setelah mengalami empat kali
pergantian kulit (instar).
Pupa nyamuk berbentuk oval dengan ujung abdomen melengkung dan
mempunyai sepasang sifon (Hadi dan Koesharto 2006). Nyamuk stadium ini tidak
makan tetapi aktif bergerak ke dasar atau permukaan air terutama apabila terdapat
gangguan.
Nyamuk dewasa memiliki tubuh bilateral simetris yang terbagi menjadi tiga
bagian yaitu kepala, toraks dan abdomen. Kepala nyamuk terdapat sepasang mata
majemuk, antena, palpus dan satu probosis. Antena nyamuk betina berambut
jarang yang disebut antena pilose, sedangkan pada jantan berambut lebat disebut
antena plumose (Hadi dan Soviana 2010). Antena nyamuk memiliki kemoreseptor
yang distimulasi oleh asam laktat dan dapat dihambat repelen (Rueda 2008).
Palpus terletak di antara antena dan probosis. Palpus berfungsi sebagai organ
sensorik yang digunakan untuk mendeteksi kadar karbon dioksida yang
dikeluarkan makhluk hidup lain dan kelembapan udara lingkungan. Probosis
merupakan modifikasi bentuk mulut nyamuk yang berfungsi untuk menusuk dan
mengisap dan terdiri atas labrum-epifaring, hipofarings, sepasang mandibula dan
stilet. Selain mengisap nektar tumbuhan, probosis nyamuk betina juga digunakan
untuk mengisap darah mamalia.
Toraks nyamuk memiliki ukuran lebih lebar daripada kepala dan abdomen,
dan tertutup oleh skutum di bagian dorsal. Toraks nyamuk tersusun atas tiga
bagian yaitu protoraks, mesotoraks dan metatoraks. Mesotoraks menjadi bagian
tempat melekatnya sayap. Sayap nyamuk berupa sayap transparan yang memiliki
garis-garis (vena) sayap dan sisik yang tersebar ke seluruh bagian sayap sampai ke
ujung-ujungnya. Setiap bagian toraks terdapat sepasang kaki yang terdiri atas satu
ruas femur, satu ruas tibia, dan lima ruas tarsus. Pada ujung belakang toraks
terdapat sepasang halter yang berfungsi sebagai penyeimbang selama terbang.
Bagian terakhir adalah abdomen yang terdiri atas 10 segmen dengan tiga segmen
terakhir bermodifikasi menjadi alat reproduksi dan ekskresi. Nyamuk betina
memiliki 2 sersi dan nyamuk jantan memiliki hipopigidium sebagai alat
reproduksi (Hadi dan Soviana 2010).
Nyamuk mencari makan untuk memenuhi kebutuhan energi harian dengan
mengisap nektar. Selain itu, nyamuk betina mengisap darah mamalia untuk
kepentingan reproduksinya. Di permukiman, nyamuk yang mengisap darah di luar
rumah dikenal sebagai nyamuk eksofagik, sebaliknya di dalam rumah disebut
endofagik. Setelah mengisap darah, nyamuk akan beristirahat baik di dalam
rumah (endofilik) ataupun di luar rumah (eksofilik) untuk mempersiapkan telurtelurnya. Berdasarkan kesukaannya terhadap inang, nyamuk yang lebih menyukai
darah manusia disebut antropofilik sedangkan darah hewan disebut zoofilik.
Selain itu nyamuk yang menyukai darah hewan dan darah manusia disebut
antropozoofilik (Loaiza at al 2012). Nyamuk zoofilik menyukai lingkungan dan
aktivitas yang dekat dengan hewan, sedangkan nyamuk antropofilik menyukai
lingkungan dan aktivitas yang dekat dengan manusia. Nyamuk antropozoofilik
dapat berkembang biak dalam lingkungan pemukiman manusia ataupun dekat
dengan hewan (Hadi dan Koesharto 2006). Sifat nyamuk antropozoofilik lebih
berbahaya karena berpotensi menularkan patogen zoonosis.
Genus nyamuk yang berbahaya di Indonesia terdiri atas Anopheles, Aedes,
Culex, Mansonia dan Armigeres. Spesies Anopheles yang tersebar di Indonesia

4
dan dikonfirmasi sebagai vektor malaria adalah Anopheles aconitus, An.
balabacensis, An. bancroftii, An. barbirostris, An. barbumbrosus, An. farauti, An.
flavirostris, An. karwari, An. kochi, An. koliensis, An. leucosphyrus, An.
maculatus, An. nigerrimus, An. parangensis, An. punctulatus, An. sinensis, An.
subpictus, An. sundaicus, An. tessellatus dan An. vagus (Elyzar et al 2013). Jenis
Aedes yang tersebar di Indonesia dan diketahui sebagai vektor demam berdarah
dengue (DBD) terdiri atas Ae. aegypti dan Aedes albopictus. Spesies Armigeres
di Indonesia terutama adalah Armigeres subalbatus, Ar. flavus, Ar. foliatus,
sedangkan dari genus Culex umumnya adalah Culex bitaenorhiynchus, Cx.
fuscocephalus, Cx. gelidus, Cx. huchinsoni, Cx. pseudosinensis, Cx.
tritaenorhynchus dan lain-lain. Genus Culex merupakan nyamuk yang paling
mudah ditemukan karena bersifat kosmopolit (Hadi dan Koesharto 2006).
Nyamuk sebagai vektor penyakit
Dalam menularkan penyakit, pada umumnya nyamuk berperan sebagai
vektor biologis. Di dalam tubuh nyamuk vektor biologis, patogen mengalami
perkembangan ataupun pertambahan jumlah sehingga patogen membutuhkan
waktu untuk menjadi stadium infektif agar dapat menimbulkan penyakit pada
inang yang lain.
Nyamuk mendapatkan patogen akibat mengisap darah inang penderita
penyakit dan sebaliknya menularkan patogen kepada inang ketika proses
pengisapan darah pada inang yang lain. Saat mengisap darah, patogen yang
diperoleh nyamuk betina akan dikeluarkan bersama dengan saliva masuk ke
dalam pembuluh darah inang lain. Selanjutnya, patogen menuju organ tertentu
sesuai jenis agen penyakit untuk berkembangbiak. Berbagai patogen yang dapat
ditularkan oleh nyamuk vektor dapat berupa virus, mikroba, protozoa bahkan
cacing.
Anopheles merupakan nyamuk yang telah dikonfirmasi sebagai vektor
malaria. Malaria merupakan masalah utama kesehatan dunia (Tikar et al. 2011).
Penularan malaria didominasi oleh nyamuk bersifat eksofagik zoofilik
(Charlwood et al 2005). Malaria disebabkan oleh parasit Plasmodium. Sporozoit
yang ditularkan oleh nyamuk akan menginfasi sel hati. Sporozoit berkembangbiak
dalam organ hati sampai menjadi merozoit kemudian masuk ke peredaran darah
dan menginfeksi sel darah merah (WHO 2015). Gejala umum malaria berupa
demam, konvulsi, pembesaran limpa, dan nyeri otot. Nyamuk Anopheles belum
dikonfirmasi sebagai vektor dari zoonosis.
Nyamuk dari genus Aedes adalah vektor dari virus demam berdarah
dengue (DEN 1, 2, 3 dan 4). Di dalam tubuh inang virus akan menuju kelenjar
getah bening, hati, dan limpa serta melakukan replikasi pada makrofag darah.
Gejala DBD pada penderita berupa nyeri terutama pada bagian tengah perut,
demam, dan adanya bintik kemerahan di kulit. Sampai saat ini Aedes tidak dikenal
sebagai vektor zoonosis.
Culex sp adalah nyamuk yang mempunyai keragaman spesies terbanyak.
Nyamuk Culex dapat menularkan penyakit zoonosis seperti WN dan Japanese
Enchephalitis (JE). Inang utama JEV adalah babi dan burung-burung migrasi,
sedangkan manusia adalah inang insidental (CDC 2012). Orang yang terinfeksi JE
menunjukan gejala klinis seperti konvulsi, demam tinggi, tremor, disorientasi, dan

5
sakit kepala. Pada hewan, JE dapat menunjukan gangguan saraf seperti konvulsi
dan tremor, selain itu JE dapat menyebabkan aborsi dan penurunan jumlah sperma
(OIE 2015). Spesies yang bertanggung jawab atas JE di Jepang, India, Sri Lanka,
dan Asia Tenggara adalah Cx. tritaenorhynchus, Cx. gellidus,dan Cx. vishui
(Beriajaya 2005). WNV menyebabkan gangguan saraf dan mematikan manusia.
WNV umumnya ditemukan di Afrika, Eropa, Amerika Utara dan Asia Barat
(WHO 2011).
Selain sebagai vektor mosquito borne diseases yang bersifat zoonosis,
Culex sp dan Mansonia sp diketahui sebagai vektor limphatic filariasis pada
manusia di daerah urban dan suburban. Jenis cacing penyebab limfatic filariasis di
Indonesia adalah Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan B. timor. Limphatic
filariasis tidak bersifat zoonosis.
Armigeres sp dapat menjadi nyamuk vektor yang bersifat zoonosis, seperti
filariasis yang disebabkan oleh cacing Brugia pahangi (Muslim et al 2013) dan
JE yang disebabkan oleh Japanese Encephalitis Virus (JEV) (Chen et al 2000). B.
pahangi merupakan jenis cacing yang dapat berkembang dalam sistem limfatik
mamalia. Gejala yang timbul akibat B. pahangi pada manusia seperti gejala
filariasis limfatik yaitu pembengkakan jaringan dan mikrofilaria dalam darah
(mikrofilaremia), sedangkan pada hewan dapat cacing ini dapat ditemukan di
subkutan, dan pada rodensia dapat ditemukan pada jantung dan paru-paru (Ash
dan Riley 1970). Armigeres menularkan patogen ke tubuh manusia pada fase
larva infektif. Larva ini akan menuju kelenjar limfe dan berkembang sampai
dewasa. Cacing dewasa dalam kelenjar limfe memproduksi mikrofilaria yang
beredar di dalam darah sampai diisap nyamuk. Di dalam tubuh Armigeres
mikrofilaria berkembang sampai fase larva infektif dan akan bermigrasi ke kepala
dan probosis nyamuk untuk ditularkan kembali.

METODE
Waktu dan tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada Maret sampai Mei 2013. Koleksi nyamuk
dilakukan di peternakan sapi URR FKH IPB dan selanjutnya identifikasi nyamuk
dilakukan di Laboratorium Entomologi Kesehatan Departemen Ilmu Penyakit
Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan,
Institut Pertanian Bogor.
Metode Penelitian
Koleksi Nyamuk
Penangkapan nyamuk menggunakan metode BLC (Bare Leg Collection),
yaitu penangkapan nyamuk menggunakan aspirator dengan umpan orang.
Penangkapan nyamuk dilakukan di dekat kandang sapi dengan frekuensi
penangkapan seminggu sekali selama delapan minggu. Kolektor nyamuk
sekaligus berperan sebagai umpan berjumlah dua orang yang duduk terpisah
dengan celana digulung sampai lutut. Setiap nyamuk yang hinggap pada kaki
yang terbuka segera diisap dengan aspirator sesaat sebelum nyamuk mengisap

6
darah. Penangkapan nyamuk dilakukan selama 12 jam (pukul 18.00 sampai
06.00), dan setiap jam penangkapan dilakukan selama 40 menit selanjutnya 20
menit digunakan untuk istirahat dan preservasi nyamuk yang tertangkap. Nyamuk
yang diperoleh setiap jam dimasukkan ke dalam paper cup terpisah yang ditutup
dengan kain kasa dan dimatikan menggunakan kloroform.
Preservasi Nyamuk
Preservasi nyamuk dilakukan dengan cara pembuatan preparat kering
menggunakan metode pinning (Hadi dan Soviana 2010). Pembuatan preparat
dilakukan dengan cara menempelkan bagian toraks nyamuk pada kertas segitiga
kecil yang telah ditancapkan pada jarum. Keseragaman tinggi nyamuk pada jarum
menggunakan sebuah balok khusus (pinning block). Setelah dilakukan pinning,
nyamuk diberi label dan disimpan dalam kotak penyimpanan. Bagian dasar kotak
diberi alas gabus dan tiap sudut kotak diberi kapur barus agar terhindar dari semut
dan hama perusak lain. Preparat nyamuk diberi label sesuai jam penangkapan.
Identifikasi Nyamuk
Identifikasi nyamuk menggunakan mikroskop stereo dengan acuan WRBU
(2013) dan Depkes (2008).
Analisis Data
Parameter yang dianalisis berupa kepadatan nyamuk yang dinyatakan
dalam Man Hour Density (MHD), Kelimpahan Nisbi, Frekuensi, dan Angka
Dominansi.
Pengukuran Kepadatan Nyamuk yang Dinyatakan dalam MHD
Man Hour Density (MHD) merupakan jumlah nyamuk tertentu yang
menggigit orang per jam dalam waktu tertentu
MHD =





















(

)

Pengukuran Kelimpahan Nisbi, Angka Frekuensi, dan Angka Dominasi
Kelimpahan nisbi merupakan perbandingan antara jumlah nyamuk spesies
tertentu dengan total jenis nyamuk dari berbagai spesies yang ditangkap.
Kelimpahan Nisbi =













%



Angka frekuensi spesies adalah perbandingan antara banyaknya nyamuk
spesies tertentu yang ditangkap dengan banyaknya penangkapan yang dilakukan
menurut cara tertentu.
Frekuensi =











Angka dominansi spesies merupakan hasil perkalian dari kelimpahan nisbi
dengan angka frekuensi nyamuk spesies tertentu yang tertangkap.

7
Angka Dominansi=

×



Pengukuran Aktivitas Nyamuk
Pengukuran aktivitas nyamuk merupakan plotting dari rata-rata kepadatan
nyamuk setiap jam yang dinyatakan dalam MHD dengan jam penangkapan
selama 12 jam. Selanjutnya,disajikan dalam bentuk gambar yang memperlihatkan
fluktuasi rata-rata kepadatan nyamuk setiap jam sejak pukul 18.00-06.00.

PEMBAHASAN
Keragaman Jenis Nyamuk
Selama 8 kali penangkapan diperoleh 104 nyamuk, yang hanya terdiri atas
genus Culex dan Armigeres. Jenis dan persentase nyamuk yang tertangkap pada
penelitian ini adalah Culex gelidus (28.85%), Armigeres subalbatus (17.30%), Cx.
bitaenorhynchus (15.38%), Cx. quinquefasciatus (10.58%), Cx. huchinsoni
(10.58%), Cx. pseudosinensis (8.65%), Cx. fuscocephalus (4.81%), dan Cx.
tritaenorhynchus (3.85%). Data keragaman jenis nyamuk yang tertangkap
ditunjukkan pada Tabel 1 dan Gambar 1.
Dibandingkan terhadap Culex, nyamuk Armigeres memiliki ukuran tubuh
lebih besar dan ditandai dengan probosis yang melengkung ke bawah.
Berdasarkan ciri morfologis pada probosisnya, Culex betina umumnya dibagi
menjadi dua grup yaitu Pipiens dan Sitiens. Grup Pipiens dibedakan berdasarkan
probosis yang tanpa gelang putih, sebaliknya grup Sitiens memiliki gelang putih
(Depkes 2008).
Ar. subalbatus adalah nyamuk yang berwarna hitam, probosis yang panjang
dan melengkung ke bawah. Pada abdomen terdapat terdapat bercak-bercak hitam
putih (Gambar 1A). Spesies Culex tertangkap yang termasuk dalam grup Pipiens
yaitu Cx. fuscocephalus, Cx. hutchinsoni, dan Cx. quinqufasciatus, sedangkan
grup Sitiens yaitu Cx. bitaenorhynchus, Cx. gelidus, Cx. pseudosinensis, dan Cx.
tritaenorhynchus. Cx. fuscocephalus memiliki ciri khusus diantara grup Pipiens
yaitu abdomen yang berwarna hitam tanpa gelang putih (Gambar 1C), Cx.
hutchinsoni dan Cx. quinquefasciatus memiliki gelang basal yang sempit pada
abdomennya. Perbedaan khusus dari Cx. hutchinsoni dan Cx. quinqufasciatus
terletak pada integumen pleuronnya, Cx. hutchinsoni memiliki integument pleuron
berwarna coklat kehitaman (Gambar 1E), sedangkan Cx. quinquefasciatus
berwarna colkat merata (Gambar 1G). Abdomen Cx. gelidus dan Cx.
tritaenorhynchus selalu terdapat gelang basal putih, berbeda dengan Cx.
bitaenorhynchus dan Cx. pseudosinensis yang memiliki gelang pucat apical pada
bagian atasnya mirip segitiga. Cx. gelidus memiliki ciri skutum yang tertutup sisik
perak (Gambar 1D), sedangkan Cx. tritaenorhynchus skutumnya tertutup sisik
coklat secara merata (Gambar 1H). Pada Cx. bitaenorhynchus memiliki skutum
tanpa sisik keperakan dan sayap memiliki sisik-sisik pucat (Gambar 1B),
sedangkan Cx. pseudosinensis tidak memiliki sisik-sisik pucat pada sayapnya dan
skutum terdapat sisik keperakan (Gambar 1F).

8
c
b

c
a
a

b

1 mm

1 mm
B. Cx. bitaenorhynchus
c
a

A. Ar. subalbatus
a
c

b

b
1 mm
C. Cx. fuscocephalus

1 mm
D. Cx. gelidus

c
c
b

a
1 mm
F. Cx. pseudosinensis

1 mm
E. Cx. hutchinsoni
c
b
a

a

c

1 mm

1 mm

G. Cx. quinqufasciatus

b

b

a

H. Cx. tritaenorhynchus

Gambar 1 Keragaman jenis nyamuk yang tertangkap di peternakan URR FKH
IPB. (a. Probosis, b. Abdomen, c. Toraks)

9
Tabel 1 Keragaman jenis dan persentase nyamuk yang tertangkap pada manusia
di peternakan sapi URR FKH-IPB, Maret-Mei 2013.
No
1
2
3
4
5
6
7
8

Spesies
Cx. gelidus
Ar. subalbatus
Cx. bitaenorhynchus
Cx. huchinsoni
Cx. quinquefasciatus
Cx. pseudosinensis
Cx. fuscocephalus
Cx. tritaenorhynchus
Jumlah

Jumlah Spesies
30
18
16
11
11
9
5
4
104

Persentase (%)
28,85
17,30
15,38
10,58
10,58
8,65
4,81
3,85
100

Perbedaan lokasi penangkapan, umpan, dan metode penangkapan akan
menghasilkan keragaman nyamuk yang berbeda. Terdapat metode lain untuk
koleksi nyamuk selain BLC seperti perangkap cahaya (menggunakan cahaya
sebagai umpan) dan perangkap hewan (menggunakan hewan sebagai umpan). Di
lokasi yang sama yakni di peternakan sapi URR FKH IPB, Ikhsan (2014)
memperoleh keragaman nyamuk yang terdiri atas 10 spesies dengan
menggunakan metode perangkap cahaya. Nyamuk Ar. Subalbatus merupakan
spesies yang mendominasi. Hadi et al (2011) melaporkan ragam jenis nyamuk
yang tertangkap pada peternakan babi, Sumatera Utara menggunakan metode
perangkap cahaya terdiri atas 12 spesies dengan spesies terbanyak adalah Cx.
tritaenorhynchus. Taviv (2005) juga mendapati bahwa hasil koleksi nyamuk
dengan metode perangkap hewan di Desa Segara Kembang, Sumatera Selatan
terdiri atas 17 spesies dengan spesies terbanyak adalah Cx. sitiens.
Kelimpahan Nisbi, Frekuensi, dan Dominansi
Kelimpahan nisbi, frekuensi, dan dominansi nyamuk yang diperoleh
sebagaimana disajikan pada Tabel 2. Cx. gelidus adalah spesies yang ditemukan
paling banyak pada penelitian ini dengan kelimpahan nisbi dan dominansi
tertinggi. Cx. gelidus terutama berkembangbiak pada
persawahan yang
menyediakan berbagai bahan organik sebagai sumber pakan larvanya. Pada lokasi
penelitian banyak ditemukan genangan-genangan air bekas sawah dan rawa. Air
sawah yang jernih dapat meningkatkan daya tarik betina Cx. gelidus untuk
meletakan telurnya, selain itu Cx. gelidus juga memiliki tingkat invasi yang tinggi
dalam hal menempati habitat yang baru sehingga berpotensi menjadi spesies yang
dominan pada habitat yang cocok (Sudeep 2014).

10
Tabel 2 Kelimpahan nisbi, frekuensi, dan dominansi nyamuk yang tertangkap
pada manusia di peternakan sapi URR FKH-IPB, Maret-Mei 2013.
Spesies
Cx. gelidus
Ar. subalbatus
Cx. bitaenorhynchus
Cx. huchinsoni
Cx. pseudosinensis
Cx. quinquefasciatus
Cx. fuscocephalus
Cx. tritaenorhynchus

Jumlah
Spesies
30
18
16
11
9
11
5
4

Kelimpahan Frekuensi
Nisbi (%)
28,85
1,00
17,30
1,00
15,38
0,88
10,58
0,63
8,65
0,50
10,58
0,38
4,81
0,38
3,85
0,38

Dominansi
spesies (%)
28,85
17,30
13,46
6,61
4,33
3,97
1,80
1,44

Nyamuk Ar. subalbatus memiliki kelimpahan nisbi dan dominansi spesies
sebesar 17,30%. Nyamuk ini ditemukan pada setiap penangkapan dan merupakan
spesies yang mendominasi setelah Cx. gelidus. Hal yang sama juga dilaporkan
Ikhsan (2014) bahwa Ar. subalbatus memiliki dominansi tertinggi pada
peternakan sapi URR FKH IPB dengan metode perangkap cahaya. Habitat
pradewasa Ar. subalbatus berupa air kotor seperti genangan air hasil feses ternak,
genangan air pada pohon, tanggul, bambu, genangan air tanah serta semak dengan
kondisi lingkungan yang teduh. Armigeres sering meletakan telurnya pada air
dengan kandungan organik yang tinggi (Harbach 2008). Di lingkungan
permukiman, larva Armigeres berkembang biak pada septic tank (Rajavel 1992).
Nyamuk Ar. subalbatus betina cenderung meletakan telurnya pada wadah yang
terbuat dari tanah liat dari pada wadah yang terbuat dari plastik (Astuti dan
Marina 2009). Nyamuk Ar. subalbatus betina juga lebih senang meletakan
telurnya pada penampungan air yang dekat dengan permukaan tanah. Semakin
tinggi jarak wadah dari permukaan tanah, nyamuk Ar. subalbatus semakin sedikit
meletakan telurnya (Amerasinghe dan Alagoda 1984). Lokasi penelitian
berpotensi sebagai tempat untuk perkembangbiakan nyamuk ini karena
lingkungan yang teduh dan terdapat feses ternak.
Cx.bitaenorhinchus ditemukan paling banyak ke tiga pada penelitian ini.
Spesies ini ditemukan tujuh kali dari delapan kali penangkapan. Pradewasa Cx.
bitaenorhinchus berkembangbiak pada genangan air seperti sawah, rawa, lubang,
dan sumur (Rattanarithikul et al 2005). Spesies yang juga tidak ditemukan pada
setiap penangkapan adalah Cx. hutchinsoni dan Cx. pseudosinensis. Cx.
hutchinsoni tertangkap lima kali dari delapan kali pengambilan dan Cx.
pseudosinensis empat kali. Spesies lain yang tertangkap adalah Cx.
quinquefasciatus, Cx. fuscocephalus, dan Cx. tritaenorhynchus yang ditemukan
dalam frekuensi yang kecil. Cx. quinquefasciatus adalah jenis nyamuk rumah dan
dapat dijumpai dimana-mana di sekitar perumahan (Hadi dan Koesharto 2006),
sedangkan koleksi nyamuk pada penelitian ini dilakukan di luar rumah di dekat
kandang sapi.

11
Tabel 3 Kepadatan nyamuk yang tertangkap pada manusia di peternakan sapi
URR FKH-IPB, Maret-Mei 2013
Spesies
Cx. gelidus

MHD
(Nyamuk/Jam/Orang)
0,23

Ar. subalbatus

0,14

Cx. bitaenorhynchus

0,13

Cx. hutchinsoni

0,09

Cx. quinquefasciatus

0,09

Cx. pseudosinensis

0,07

Cx. fuscocephalus

0,03

Cx. tritaenorhynchus

0,03

Kepadatan Nyamuk yang Tertangkap
Tingginya kepadatan spesies nyamuk vektor di suatu wilayah merupakan
saru diantara faktor keberhasilan nyamuk menularkan penyakit. Populasi nyamuk
yang tinggi dapat disebabkan oleh tersedianya habitat perkembangbiakan yang
mendukung seperti genangan air akibat hujan atau penampungan air yang tidak
tertutup. Kepadatan nyamuk yang diperoleh sebagaimana terlihat pada Tabel 3.
Kepadatan nyamuk yang tertinggi adalah Cx. gelidus yang memiliki nilai 0,23
nyamuk/jam/orang. Cx. gelidus dilaporkan berada di Malaysia, Thailand,
Vietnam, Indonesia, Sri Lanka, Australia, dan nyamuk ini adalah vektor penting
dari JE di Asia Tenggara. Beberapa jenis virus yang pernah diisolasi pada Cx.
gelidus adalah Ross River Virus, getah virus, Kunjin virus, Muray Valley
Encephalitis virus, Chikungunya virus, Candipura virus, dan Chittoor virus
(Sudeep 2014).
Nyamuk Ar. subalbatus mempunyai nilai MHD tertinggi kedua yaitu
sebesar 0,14 nyamuk/jam/orang. Nyamuk Ar. subalbatus berpotensi menularkan
mosquito borne disease yang bersifat zoonosis. Chen et al (2000) melaporkan Ar.
subalbatus dapat mentransmisikan JE antar vertebrata di Taiwan dan Muslim et al
(2013) melaporkan Ar. subalbatus sebagai vektor filariasis (B. pahangi) di
Suburburan Kuala Lumpur, Malaysia. Lee at al (2007) melaporkan Ar. subalbatus
merupakan vektor potensial dari Dirofilaria repens. D. repens adalah jenis
caciang yang tinggal di subkutan pada manusia, pada hewan cacing ini dapat
bermigrasi ke jantung. Menurut Astuti dan Marina (2009) nyamuk Armigeres
mempunyai sifat antropozoofilik atau menyerang manusia dan hewan.
Cx. bitaenorhynchus memiliki MHD ketiga yakni 0,13 nyamuk/jam/orang.
Kim et al (2011) melaporkan bahwa JEV baru ditemukan pada Cx.
bitaenorhynchus di Korea Selatan. Patogen lain dilaporkan oleh Manguin et al
(2010) yang menyatakan bahwa Cx. bitaenorhynchus merupakan vektor utama W.
bancrofti di Asia dan New Guinea. Solichah (2009) menyatakan Cx.
quinquefasciatus merupakan vektor penyakit yang disebabkan oleh WNV di
Kansas, California, Amerika Serikat.
Spesies nyamuk lain yang ditemukan pada penelitian ini memiliki nilai
MHD dibawah 0.1 adalah Cx. hutchinsoni, Cx. quinquefasciatus, Cx.
pseudosinensis, Cx. fuscocephalus, dan Cx. tritaenorhynchus. Nyamuk Cx.

12
tritaenorhynchus tertangkap paling sedikit pada penelitian ini. Cx.
tritaenorhynchus berbahaya karena dapat menularkan mosquito borne disease
yang bersifat zoonosis seperti dilaporkan NVBDCP (2006) Cx. tritaenorhynchus
dapat sebagai vektor JE pada hewan seperti babi dan kuda. Nyamuk Cx.
tritaeniorhynchus dan Cx. quinquefasciatus merupakan vektor penyakit
dirofilariasis pada anjing (Hadi dan Soviana 2010). Banyaknya nyamuk Culex
yang tertangkap karena lingkungan sekitar penelitian mendukung
perkembangbiakan nyamuk ini.
Fluktuasi Aktivitas Menggigit Nyamuk

KEPADATAN NYAMUK (NYAMUK/JAM/ORANG)

Fluktuasi aktivitas menggigit nyamuk penelitian ini terjadi setiap jam
dengan spesies nyamuk yang berbeda. Grafik fluktuasi aktivitas menggigit dapat
dilihat pada Gambar 2. Nyamuk Ar. subalbatus kemungkinan memiliki aktivitas
menggigit sebelum pukul 18.00, karena fluktuasi aktivitas menggigit Ar.
subalbatus langsung menduduki puncak aktivitasnya pada awal jam penangkapan
yaitu pukul 18.00-19.00. Rogozi et al (2012) melaporkan Ar. subalbatus memiliki
puncak aktivitas pada pukul 18.00-19.00, selanjutnya tidak ditemukan aktivitas
menggigit mulai pukul 21.00. Penelitian lain mengenai aktivitas menggigit Ar.
subalbatus yang dilakukan selama 24 jam, dilaporkan oleh Pandian dan
Chandrashekaran (1980) bahwa nyamuk ini memiliki puncak aktivitas pada pukul
06.00-07.00 dan pukul 18.00-19.00.
1,40
1,20
1,00
0,80

Cx. gelidus
Ar. subalbatus
Cx. bitaenorhynchus
Cx. huchinsoni
Cx. quinquefasciatus
Cx. pseudosinensis
Cx. fuscocephalus
Cx. tritaenorhynchus

0,60
0,40
0,20
0,00

Gambar 2 Kepadatan nyamuk yang tertangkap setiap jam

13
Fluktuasi populasi Culex hampir ditemukan setiap jam penangkapan
sepanjang malam. Aktivitas Culex turun pada pukul 23.00 selanjutnya
berfluktuasi kembali sampai pukul 06.00. Hadi et al (2011) melaporkan aktivitas
mengisap darah nyamuk Culex pada peternakan babi di Peternakan Rakyat
Simangunsong terjadi pukul 20.00 sampai 24.00, kemudian semakin sedikit
nyamuk yang tertangkap. Das et al (2004) mendapati aktivitas Cx. gelidus dan Cx.
bitaenorhinchus mengisap darah di luar rumah (eksofagik).

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Keragaman nyamuk yang tertangkap pada peternakan sapi URR FKH IPB
terdiri atas Cx. gelidus, Ar. subalbatus, Cx. bitaenorhynchus, Cx. huchinsoni, Cx.
pseudosinensis, Cx. quinquefasciatus, Cx. fuscocephalus, dan Cx.
tritaenorhynchus. Spesies yang memiliki kelimpahan nisbi, frekuensi dan
dominasi yang tinggi serta berpotensi menularkan mosquito borne disease yang
bersifat zoonosis pada penelitian ini adalah Cx. gelidus dan Ar. subalbatus.
Puncak aktivitas menggigit Cx. gelidus pada URR FKH IPB pukul 19.00-20.00
dan Ar. subalbatus 18.00-19.00.
Saran
Perlu adanya program pengendalian nyamuk di peternakan URR FKH IPB.
Perlu dilakukan juga penelitian mengenai adanya agen penyakit pada berbagai
jenis nyamuk pada URR FKH IPB.

DAFTAR PUSTAKA
Amerasinghe FP and Alagoda TSB. 1984. Mosquito Oviposition in Bamboo
Traps, with Special Reference to Aedes albopictus, Aedes novalpictus, and
Armigeres subalbatus. J Insect Sci Applic. Vol.5(6):493-500.
Ash LR and Riley JM. 1970. Development of Brugia pahangi in the Jird,
Meriones unguiculatus, with Notes on Infections in Other Rodents. J
Parasitol. Vol.56(5):962-968.
Astuti EP dan Marina R. 2009. Ovoposisi dan Perkembangan Nyamuk Armigeres
pada Berbagai Kontainer. Aspirator. Vol.1(2):87-93.
Beriajaya. 2005. Peranan Vektor Sebagai Penular Penyakit Zoonosis. Bogor(ID):
Puslitbang Peternakan
[CDC] Centers for Disease Control and Prevention. 2012. Transmission of
Japanese Encephalitis Virus [Internet]. [diunduh 2015 April 27]. Tersedia
pada: http://www.cdc.gov/japaneseencephalitis/transmission/index.html
Charlwood JD, Alcantara J, Pinto J, Sousa CA, Rompao H, Gil V, Rosario VE.
2005. Do Bednets Reduce Malaria Transmission by Exophagic
Mosquitoes?. Trans R Soc Trop Med Hyg. Vol.99(12):901-904.

14
Chen WJ, Dang CF, Chiou LY, Chaung WL. 2000. Potential Role of Armigeries
subalbatus (Diptera: Culicidae) in the Transmission of Japanese
Encephalitis Virus in the Absence of Rice Culture on Liu-Chiu Islet,
Taiwan. J Med Entomol. Vol.37(1):108-113.
Das BP, Shiv L, and Saxena VK. 2004. Outdoor Resting Preference of Culex
tritaenorhynchus, the Vector of Japanese Encephalitis in Warangal and
Karim Nagar Districts, Andhra Pradesh. J Vect Borne Dis. Vol.41:32-36.
[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Kunci Identifikasi
Nyamuk Culex. Jakarta (ID): Dit. Jen. PP & PL
Elyzar IRF, Sinka ME, Genthing PW, Tarmidzi SN, Surya A, Kusriastuti R,
Winarno, Baird JK, Hay SI, Bangs MJ. 2013. The Distribution and
Bionomics of Anopheles Malaria Vector Mosquitoes in Indonesia. Adv
Parasitol. Vol.83(3):173-209.
Hadi UK, Koesharto FX. 2006. Nyamuk dalam Hama Permukiman Indonesia:
Pengenalan, Biologi, dan Pengendalian. Sigit SH, UK Hadi, editor. Bogor
(ID): Unit Kajian Pengendalian Hama Permukiman.
Hadi UK, Soviana S. 2010. Ektoparasit, Pengenalan, Identifikasi, dan
Pengendaliannya. Bogor (ID): IPB Pr
Hadi UK, Soviana S, Syafriati T. 2011. Ragam Jenis Nyamuk di Sekitar Kandang
Babi dan Kaitannya dalam Penyebaran Japanese Encephalitis. J Vet.
Vol.12(4):326-334.
Harbach R. 2008. Genus Armigeres Theobald 1901 [Internet]. [diunduh 2014
November 11]. Tersedia pada: http://mosquito-taxonomic-inventory.
info/genus-armigeres-theobald-1901
Ikhsan M. 2014. Keragaman Jenis dan Fluktuasi Kepadatan Nyamuk pada
Peternakan Sapi Unit Reproduksi dan Rehabilitasi Institut Pertanian Bogor
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Kim HC, Klein TA, Takhampunya R, Evans BP, Mingmongkolchai S,
Kengluecha A, Grieco J, Masuoka P, Kim MS, Lee JK, and Lee WJ. 2011.
Japanese Encephalitis Virus in Culicine Mosquitoes (Diptera: Culicidae)
Collected at Daeseongdong, a Village in the Demilitarized Zone of the
Republic of Korea. J Med Entomol. Vol.48(6): 1250-1256.
Loaiza JR, Bermingham E, Sanjur O.I, Scott ME, Bickersmith SA, Conn JE.
2012. Review of Genetic Diversity in Malaria Vectors (Culicidae:
Anophelinae). Infect Genet Evol. Vol.12:1-12
Manguin S, Bangs MJ, Pothikasikorn J, and Chareonviriyaphap T. 2010. Review
on Global Co-transmission of Human Plasmodium Species and Wuchereria
bancrofti by Anopheles Mosquitoes. Infect Genet Evol. Vol. 10:160-174.
Muslim A, Fong MY, Mahmud R, Lau YL, and Silvanandam S. 2013. Armigeres
subalbatus incriminated as a vector of zoonotic Brugia pahangi filariasis in
Suburban Kuala Lumpur, Peninsular Malaysia. Parasit Vectors. Vol.6:219.
[NVBDCP] National Vector Borne Diseases Control Programme. 2006.
Guidelines for Surveillance of Acute Encephalitis Syndrome (with Special
Reference to Japanese Encephalitis). New Delhi (IN): Directorate of
National Vector Borne Diseases Control Programme
[OIE] Office International des Epizooties. 2015. Japanese Encephalitis. [Internet].
[diunduh 2015 Juli 03]. Tersedia pada: http://www.oie.int/fileadmin/

15
Home/eng/Animal_Health_in_the_World/docs/pdf/Disease_cards/JAPANE
SE_ENCEPHALITIS.pdf
Pages N, Huber K, Cipriani M, Chevallier V, Contraths FJ, and Balenghien T.
2009. Scientific Review on Mosquitoes and Mosquito-Borne Diseases
[Internet]. [diunduh 2015 Mei 13]. Tersedia pada:http://www.efsa.europa.
eu/en/ supporting/doc/7e.pdf
Pandian RS and Candrashekaran MK. 1980. Rhythms in Biting Behaviour of a
Mosquito Armigeres subalbatus. Oecol. Vol.47:89-95.
Rajavel AR. 1992. Laval Habitat of Armigeres subalbatus (COQ) and its
Characteristics in Pondicherry. J Trop Med. Vol.23(3):470-473.
Rogozi E, Ahmad RB, and Ismail Z. 2012. Biting Activity Cycles of some
Antropophilic Mosquito Species in Malaysia. J Int Environ App Sci.
Vol.7(5):894-900.
Rattanarithikul R, Harbach RE, Harrison BA, Panthusiri P, Jones JW, and
Coleman RE. 2005. Illustrated Keys to The Mosquitoes of Thailand. J Trop
Med Public Health. Vol.36(2):1-97
Solichah Z. 2009. Ancaman dari nyamuk Culex sp. yang terabaikan. Balaba.
Vol.5(1):21-23.
Sudeep AB. 2014. Culex gelidus: An Emerging Mosquito Vector with Potential to
Transmit Multiple Virus Infections. J Vector Borne Dis. Vol.51:251-258.
Taviv Y. 2005. Fauna nyamuk di Desa Segara Kembang Kecamatan Lengkiti,
Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan [tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Tikar SN, MJ Mendki, AK Sharma, D Sukumaran, V Veer, S Prakash, BD
Parashar. 2011. Resistance Status of the Malaria Vector Mosquitoes,
Anopheles stephensi and Anopheles subpictus Towards Adulticides and
Larvicides in Arid and Semi-Arid Areas of India. J Insect Sci. Vol.2:2-3
Weissenbock H, Hubalek Z, Bakonyi T, Nowotny N. 2010. Zoonotic MosquitoBorne Flaviviruses: Worldwide Presence of Agents with Proven
Pathogenicity and Potential Candidates of Future Emerging Diseases. Vet
Microbiol. Vol.140:271-280.
[WHO] World Health Organization. 2010. Rift Valley fever [Internet]. [diunduh
2015 Mei 12]. Tersedia pada: http:// www.who.int/mediacentre/factsheets/
fs207/en/
[WHO] World Health Organization. 2011. West Nile Virus [Internet]. [diunduh
2015 April 27]. Tersedia pada: http://www. who. int/ mediacentre/
factsheets/fs354/en/
[WHO] World Health Organization. 2015. Guidelines for the Treatment of
Malaria 3rd edition [Internet]. [diunduh 2015 April 25]. Tersedia pada:
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/162441/1/9789241549127_eng. pdf
[WRBU] Walter Reed Biosystematics Unit. 2013. Mosquito Identification
Resource. Walter Reed Army Institute of Research.

16

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Seputih Banyak, Lampung Tengah, pada tanggal 11
September 1991 sebagai anak pertama dari 3 bersaudara, anak dari pasangan
Taryono dan Nur Ati.
Pendidikan formal penulis sampai tingkat SMA diselesaikan di Kabupaten
Lampung Tengah, yaitu SDN 3 Sido Binangun, SMPN 2 Way Seputih, dan
SMAN 1 Seputih Banyak. Penulis lulus dari SMA pada tahun yang sama diterima
di jurusan Fakultas Kedokteran Hewan melalui jalur SNMPTN pada tahun 2009.