Keragaman Jenis Lalat Pengganggu dan Potensi Permasalahannya Pada Ternak Sapi Potong di Daerah Cirebon
KERAGAMAN JENIS LALAT PENGGANGGU DAN POTENSI
PERMASALAHANNYA PADA TERNAK SAPI POTONG DI
DAERAH CIREBON
IKASARI ANANDA PUTRI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTUTUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keragaman Jenis Lalat
Pengganggu dan Potensi Permasalahannya Pada Ternak Sapi Potong di Daerah
Cirebon adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Ikasari Ananda Putri
NIM B04090013
ABSTRAK
IKASARI ANANDA PUTRI. Keragaman Jenis Lalat Pengganggu dan Potensi
Permasalahannya Pada Ternak Sapi Potong di Daerah Cirebon. Dibimbing oleh
SUSI SOVIANA.
Tujuan dari penelitian ini untuk mempelajari keragaman jenis lalat
pengganggu pada sapi potong di Cirebon, dominasi lalat, korelasi antara
kepadatan lalat dengan suhu dan kelembapan, serta risiko penyakit yang
ditularkan oleh lalat pada sapi potong. Sebanyak 18 peternakan rakyat dan 1
peternakan besar lalat diambil dengan menggunakan sweeping net. Pada
peternakan rakyat lalat yang mendominasi adalah S. calcitrans (57.19%),
sedangkan pada peternakan besar lalat yang mendominasi adalah H. exigua
(97.64%). Korelasi antara kepadatan lalat dengan faktor cuaca (suhu dan
kelembapan) dianalisis dengan menggunakan software Minitab 16, hanya di
peternakan besar. Koefisien korelasi (r) antara kepadatan lalat dengan suhu, yaitu
r=0.352 pada M. domestica dan r=0.158 pada H. exigua. Koefisien korelasi antara
kepadatan lalat dengan kelembapan, yaitu r=0.233 pada M. domestica dan r=0.018
pada H. exigua. Hasil tersebut dapat terlihat bahwa tidak ada pengaruh antara
kepadatan lalat dengan suhu dan kelembapan. Tingginya populasi S. calcitrans di
peternakan rakyat dapat memunculkan risiko penyakit Trypanosomiasis dan
Besnoitiosis, sedangkan tingginya populasi H. exigua di peternakan rakyat dapat
memunculkan risiko penyakit, terutama miasis.
Kata kunci: keragaman lalat, lalat pengganggu, sapi potong
ABSTRACT
IKASARI ANANDA PUTRI. The Diversity of Filth Flies and Its Potensial Risks
at Beef Cattle in Cirebon Area. Supervised by SUSI SOVIANA.
The aim of this research was to find out the diversity of filth flies on beef
cattle in Cirebon, the domination of flies, the correlation of flies density and
temperature and humidity, and the risk of disease that can be transmitted by the
flies. The filth flies were taken by sweeping net in 18 small husbandries and 1
large husbandry in Cirebon. The data showed that the small husbandries was
dominated by S. calcitran (57.19%), while the large husbandry was dominated by
H. exigua (97.64%). Correlation of flies density and climate factor (temperature
and humidity) were analysed by Minitab 16 only in large husbandry. The
coefisient correlation (r) of flies density and temperature r=0.352 on M.
domestica and r=0.158 on H. exigua. On the other hand, coefisient correlation of
flies density and humidity was r=0.233 on M. domestica and r=0.018 on H.
exigua. These result showed that there were no influence of climate factor to flies
density fluctuation. The high population of S. calcitrans in small husbandries
were potensial to raise Trypanosomiasis and Besnoitiosis cases, whereas
population of H. exigua in large husbandry was to raise disease, especially miasis.
Keyword: beef cattle, flies diversity, filth flies
KERAGAMAN JENIS LALAT PENGGANGGU DAN POTENSI
PERMASALAHANNYA PADA TERNAK SAPI POTONG DI
DAERAH CIREBON
IKASARI ANANDA PUTRI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi
Nama
NIM
Keragaman Jenis Lalat Pengganggu dan Potensi
Permasalahannya Pada Temak Sapi Potong di Daerah
Cirebon
Ikasari Ananda Putri
B04090013
Disetujui oleh
Pembimbing
Tanggal Lulus:
0 1 NOV LO lj
Judul Skripsi
Nama
NIM
: Keragaman Jenis Lalat Pengganggu dan Potensi
Permasalahannya Pada Ternak Sapi Potong di Daerah
Cirebon
: Ikasari Ananda Putri
: B04090013
Disetujui oleh
Dr drh Susi Soviana, MSi
Pembimbing
Diketahui
drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet
Wakil Dekan
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
karuniaNya, sehingga skripsi dengan judul Keragaman Jenis Lalat Pengganggu
dan Potensi Permasalahannya Pada Ternak Sapi Potong di Daerah Cirebon dapat
diselesaikan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr drh Susi Soviana, MSi selaku
dosen pembimbing atas segala bimbingan, dorongan, kritik, dan saran yang telah
diberikan selama penelitian dan penulisan skripsi ini. Di samping itu, penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Dr drh Savitri Novelina, MSi, PAVet selaku
dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama menjadi
mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB).
Ungkapan terimakasih penulis ucapkan kepada drh Upik Kesumawati Hadi, MS,
PhD, drh Supriyono, Pak Heri, Bu Juju, dan staf Bagian Entomologi Kesehatan
atas dorongan, masukan, dan bantuan selama penelitian berlangsung.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada papa Slamet dan mama
Siti Asiah yang selalu memberikan dukungan materil dan spiritual, kakak Wiki
Aidin, SPt dan Adang Sudarto, ST, Mba Ira, Mba Alfiah, dan keponakan Adzkia
Zhavira Aidin atas doa, kasih sayang, dan dukungan yang diberikan selama ini.
Selanjutnya ungkapan terima kasih penulis ucapkan kepada teman seperjuangan
selama penelitian Prillia. Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada temanteman Fitri, Ebro, Ayu, Neta, Ina, Awit, Nindy, Rida, Ilmi, Pakupik, Ririn,
Harmoniers (Dewi, Kak Tiwi, Eci, Sendy), Padasukaers (Mba Emil, Manda,
Fika), adek-adek asrama putri Indramayu, dan teman-teman Geochelone 46 yang
sama-sama berjuang dalam menempuh pendidikan di FKH IPB.
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun sebagai
evaluasi bagi penulis. Terlepas dari kekurangan yang ada, penulis berharap skripsi
ini dapat memberi manfaat bagi yang membutuhkan.
Bogor, September 2013
Ikasari Ananda Putri
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
Kondisi Umum Daerah Cirebon
2
Morfologi dan Siklus Hidup Lalat
3
Keragaman Jenis Lalat di Peternakan
4
Berbagai Jenis Lalat pada Peternakan Sapi Potong
4
Kerugian Akibat Keberadaan Lalat pada Peternakan Sapi Potong
5
MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat
6
Metode Penelitian
6
Data Cuaca dan Hasil Wawancara
8
Analisis Data
8
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Peternakan Rakyat dan Peternakan Besar
9
Keragaman Jenis Lalat pada Peternakan Rakyat dan Peternakan Besar
12
Kelimpahan Nisbi, Frekuensi, dan Dominasi Spesies Lalat
15
Hubungan antara Kepadatan Lalat dengan Suhu dan Kelembapan di
Peternakan Besar
17
Potensi Permasalahan akibat Lalat
19
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
20
Saran
20
DAFTAR PUSTAKA
20
LAMPIRAN
25
RIWAYAT HIDUP
28
DAFTAR TABEL
1 Jumlah dan persentase spesies lalat
2 Data kelimpahan nisbi, frekuensi, dan dominasi spesies pada
peteternakan rakyat dan peternakan besar
3 Korelasi / hubungan antara kepadatan lalat dengan suhu dan
kelembapan
12
15
18
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Sweeping net
Peternakan Rakyat
Peternakan Besar (UPTD BPTP Kota Cirebon)
Lalat M. domestica
Lalat H. exigua
Lalat S. calcitrans
Lalat T. megalops dan T. rubidus
Hubungan antara kepadatan lalat dengan suhu
Hubungan antara kepadatan lalat dengan kelembapan
7
10
11
13
13
14
14
17
18
DAFTAR LAMPIRAN
1 Data suhu, kelembapan, dan keragaman spesies pada peternakan
rakyat
2 Data suhu, kelembapan, dan keragaman spesies pada peternakan
besar
3 Analisi Korelasi
26
26
27
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Konsumsi daging sapi perkapita bangsa Indonesia tahun 2010, 2011, dan
2012 mencapai 0.365, 0.417, dan 0.365 kg per tahun (Deptan 2012). Angka ini
menunjukkan terjadi peningkatan konsumsi daging sapi, tetapi kembali menurun
dengan nilai yang sama. Penurunan yang terjadi karena pasokan daging sapi yang
kurang maksimal sehingga masih sebagian mengandalkan produk daging sapi
impor negara lain. Optimalisasi penyediaan daging sapi dapat terlaksana dengan
manajemen yang baik dan penanggulangan yang optimal terhadap penyakit pada
sapi potong, termasuk penyakit yang disebabkan oleh ektoparasit.
Cirebon merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki potensi
sebagai pemasok daging sapi. Hal ini tidak didukung dengan baik karena
manajemen peternakan sapi potong di Cirebon belum maksimal. Kebersihan
kandang dan sapi potong kurang diperhatikan. Feses dan sisa pakan dikumpulkan
begitu saja di sekitar kandang. Feses dan manure merupakan media yang sangat
cocok untuk berkembangbiaknya ektoparasit, terutama lalat.
Ektoparasit adalah parasit yang hidup di bagian luar dari tempatnya
bergantung atau pada permukaan tubuh inangnya (Hadi dan Soviana 2010). Lalat
merupakan jenis ektoparasit yang berperan sebagai penganggu, terdiri dari lalat
pengisap darah dan lalat bukan penghisap darah. Tabanus, Haematopota,
Chrysops, Stomoxys, dan Haematobia merupakan jenis lalat pengisap darah,
sedangkan lalat bukan penghisap darah, contohnya Musca dan Hydrotaea (Ahmed
et al. 2005, Thomas dan Jespersen 1994)
Lalat menimbulkan kerugian pada sapi potong dan kerugian ekonomi bagi
peternak. Kerugian pada sapi potong berupa kehilangan darah, tertular suatu
penyakit, dan ketidaknyamanan sehingga sapi potong akan mengalami penurunan
bobot badan dan produksi daging pun akan menurun. Lalat memiliki kemampuan
mentransmisikan beberapa penyakit yang disebabkan oleh virus, bakteri, dan
parasit (Khoobdel et al. 2013).
Kerugian ekonomi bagi peternak dapat dihitung dari penurunan
produktivitas ternak yang mengakibatkan harga jual ternak menurun dan biaya
tambahan untuk pengendalian lalat. Amerika Serikat mengalami kerugian
US$2.211 juta per tahun akibat keberadaan lalat kandang (Stomoxys calcitrans)
pada industri sapi potong (Taylor et al. 2012). Jumlah kerugian ini akan
meningkat dari tahun ke tahun jika tidak dilakukan tindakan pengendalian
terhadap keberadaan lalat pengganggu pada sapi potong.
Perumusan Masalah
Indonesia belum banyak memiliki data mengenai keragaman jenis lalat
pengganggu pada hewan ternak, termasuk sapi potong. Lalat mengakibatkan
gangguan pada kesehatan hewan ternak. Kekurangan data ini akan mengakibatkan
sulitnya melakukan tindakan pengendalian lalat pada hewan ternak. Dengan
demikian, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui keragaman jenis lalat pada
sapi potong di Cirebon.
2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keragaman jenis lalat
pengganggu pada sapi potong di Cirebon. Dari data keragaman yang diperoleh ini
maka akan dapat diketahui lalat yang mendominasi pada peternakan sapi potong.
Penelitian ini juga dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kepadatan lalat
dengan faktor cuaca (suhu dan kelembapan). Selain itu, bertujuan pula untuk
mengetahui risiko penyakit yang ditularkan pada sapi potong yang dikaitkan
dengan lalat sebagai vektor penyakit.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui gambaran keragaman jenis lalat
pengganggu yang sering ditemukan pada sapi potong di Cirebon. Adanya
pengetahuan mengenai keragaman jenis lalat pengganggu ini dapat dijadikan
acuan untuk melakukan pengendalian terhadap risiko penyakit yang dapat terjadi.
TINJAUAN PUSTAKA
Kondisi Umum Daerah Cirebon
Cirebon merupakan wilayah yang berada di Jawa Barat terletak pada jalur
pantai utara Pulau Jawa. Cirebon terdiri dari dua wilayah kepemerintahan, yaitu
Kabupaten Cirebon dan Kota Cirebon. Cirebon merupakan daerah dengan iklim
tropis dengan suhu minimum 22.3oC dan rata-rata suhu maksimum 33.0oC, serta
banyaknya curah hujan 1,351 mm per tahun dengan hari hujan 86 hari. Cirebon
memiliki kelembapan udara sebesar 50-90%. Dengan kondisi demikian, Cirebon
merupakan daerah yang cocok untuk dikembangkan sebagai daerah peternakan
sapi potong.
Luas wilayah Kabupaten Cirebon 990.36 km2. Berdasarlan letak
geografisnya, wilayah Kabupaten Cirebon dibatasi oleh wilayah Kabupaten
Indramayu di sebelah Utara, sebelah Barat berbatasan dengan wilayah Kabupaten
Majalengka, sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah Kabupaten Kuningan,
sebelah Timur berbatasan dengan wilayah Kotamadya Cirebon dan Kabupaten
Brebes (Jawa Tengah). Faktor iklim dan curah hujan di Kabupaten Cirebon
dipengaruhi oleh keadaan alamnya yang sebagian besar terdiri dari daerah pantai
dan perbukitan terutama daerah bagian utara, timur, dan barat, sedangkan daerah
bagian selatan merupakan daerah perbukitan.
Luas wilayah Kotamadya Cirebon 37.35 km2. Secara geografis Kotamadya
Cirebon dibatasi oleh Sungai Kedung Pane di sebelah Utara, sebelah Barat
dibatasi oleh Sungai Banjir Kanal/Kabupaten Cirebon, sebelah Selatan dibatasi
oleh Sungai Kalijaga, dan sebelah Timur dibatasi oleh Laut Jawa. Kotamadya
Cirebon termasuk daerah iklim tropis, dengan suhu udara minimum rata-rata
22.3oC dan maksimun rata-rata 33.0oC dan banyaknya curah hujan 1,351 mm per
tahun dengan hari hujan 86 hari.
3
Morfologi dan Siklus Hidup Lalat
Umumnya tubuh lalat berukuran kecil, sedang, sampai tergolong besar
(Hadi dan Sigit 2006). Tubuh lalat terdiri dari tiga bagian, yaitu kepala, toraks,
dan abdomen. Lalat memiliki dua tipe alat mulut (probosis), yaitu tipe alat mulut
penghisap dan tipe alat mulut penusuk. Tipe probosis penghisap memiliki struktur
seperti spons dengan bentuk probosis tumpul dan bagian ujung (labela) melebar.
Probosis ini berfungsi menyerap makanan. Tipe probosis penusuk memiliki
bentuk panjang dan mencuat ke depan kepala. Probosis tipe ini berfungsi menusuk
kulit dan mengisap darah.
Ciri morfologi dari lalat Musca, yaitu tubuh jantan berukuran 5.8-6.5 mm
dan betina 6.5-7.5 mm. Toraks berwarna kelabu dengan empat ban hitam
longitudinal di dorsal, tubuh tidak berwarna biru metalik atau hijau (Carvalho dan
Mello-Patiu 2008). Lalat ini memiliki probosis tipe penghisap dengan bentuk
seperti spons. Antena pendek dengan arista yang berambut (plumose) pada bagian
ventral dan dorsal. Sayap jernih dengan vena sayap M 1+2 sangat khas membentuk
lengkungan sudut yang tajam dengan sel R 5 agak tertutup di distal.
Ciri morfologi dari lalat Stomoxys, yaitu ukuran tubuh hampir sama dengan
lalat Musca dengan warna yang lebih gelap. Lalat memiliki empat ban hitam
longitudinal pada toraks dan adanya bercak-bercak hitam pada abdomen
(Masmeatathip et al. 2006). Tipe probosis penusuk dan pengisap darah dengan
bentuk yang memanjang. Arista hanya berambut pada bagian dorsal. Venasi sayap
berbeda dengan lalat Musca, yaitu sayap M 1+2 melengkung halus dan sel R 5
terbuka di distal.
Haematobia exigua (H. exigua) merupakan spesies lalat yang berada di
wilayah Asia dan Australia, termasuk Indonesia. Lalat ini memiliki kesamaan
dengan Haematobia irritans (H. irritans) yang dapat ditemukan di wilayah
Amerika, Afrika Utara, dan Eropa (Urech et al. 2005). Ciri morfologi dari lalat
Haematobia, yaitu ukuran tubuh hanya setengah dari ukuran tubuh lalat Musca.
Lalat ini mempunyai dua ban hitam longitudinal pada toraks. Lalat ini memiliki
palpus maksila yang kokoh dan panjangnya sama dengan probosis. Arista dan
venasi sayapnya mirip dengan lalat Stomoxys.
Ciri morfologi lalat Tabanus, yaitu tubuhnya besar dan kokoh berukuran 625 mm dengan kepala yang berbentuk setengah lingkaran, dan memiliki mata
yang dominan (Hadi dan Soviana 2010). Bentuk antena pendek dan memiliki tiga
ruas dengan berbagai modifikasi pada ruas terakhirnya. Bagian mulut terdiri atas
probosis yang pendek dengan maksila yang bekerja sebagai pisau untuk merobek,
serta labrum-epifaring dan hipofaring sebagai penusuk dan pengisap. Lalat ini
merupakan bagian lalat yang penting dalam dunia medik dan veteriner karena lalat
ini termasuk dalam lalat pengisap darah (El-Hassan et al. 2010).
Dalam melakukan perkembangbiakannya lalat mengalami beberapa siklus
hidup. Lalat mengalami metamorfosis sempurna. Metamorfosis sempurna dapat
disebut pula dengan holometabola (Mitra 2013). Siklus hidup lalat ini dimulai dari
telur, larva, pupa, dan dewasa. Lalat bertelur biasanya diletakkan pada bahan
organik yang membusuk seperti tumpukan sampah, manure sapi, dan feses segar.
Dari telur tersebut, kemudian berkembang menjadi larva (belatung). Larva ini
biasanya memakan semua bahan organik untuk menunjang hidupnya. Kemudian
4
berkembang menjadi pupa dalam puparium. Setelah beberapa hari pupa ini
berubah menjadi lalat dewasa.
Keragaman Jenis Lalat di Peternakan
Parasitisme secara luas diakui sebagai faktor yang dapat mempengaruhi
komposisi dan struktur alami hewan (Mouritsen dan Poulin 2002). Parasit adalah
organisme yang hidupnya bergantung pada organisme lainnya. Parasit terdiri dari
ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit adalah parasit yang tempat hidupnya
biasa berada di luar tubuh inangnya, sedangkan endoparasit adalah parasit yang
hidup di dalam tubuh inangnya. Jenis ektoparasit yang biasanya hidup pada tubuh
hewan adalah lalat, kutu, nyamuk, caplak, dan tungau
Pada peternakan kuda lalat yang sering ditemukan adalah deer flies dan
horse flies (Diptera: Tabanidae). Gigitan lalat ini dapat mengakibatkan kesakitan.
Lalat betina makan dengan mengisap darah, sedangkan makanan lalat jantan
berupa nektar. Gigitan lalat betina ini dapat mengakibatkan iritasi pada kuda.
Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat diperoleh berbagai jenis lalat
Tabanidae yang ditangkap dari peternakan kuda, yaitu Tabanus lineo, T. fulvulus,
T. petiolatus, T. gladiator, T. melanocerus, T. nigripes, T. pumilus, T. sulcifrons,
T. americanus, T. sparus, T. atratus, T. trimaculafus, Chrysops calidus, C.
univittatus, dan C. vitfatus (Watson et al. 2007)
Lalat yang berperan penting pada peternakan kambing dan domba adalah
Oestrus ovis (O. ovis). Lalat ini merupakan penyebab Oestrosis. Oestrosis
merupakan penyakit yang disebabkan oleh larva lalat O. ovis yang dapat
mengakibatkan miasis. Lalat dewasa biasanya meletakkan larva di sekitar hidung
yang kemudian berkembang dan akan bergerak menuju hidung, sinus-sinus, dan
faring. Larva lalat ini merupakan parasit obligat pada hidung dan sinus kambing
dan domba (Gunalan et al. 2011).
Keragaman jenis lalat pengganggu hewan ternak berbeda dalam setiap jenis
ternaknya. Lalat pengganggu yang menyebar secara kosmopolitian di berbagai
peternakan, yaitu M. domestica dan S. calcitrans. Peternakan sapi perah dengan
pemeliharaan pada greenhouse banyak terperangkap lalat Stomoxys calcitrans (S.
calcitrans) dan Musca domestica (M. domestica) (Kaufman et al. 2005). Pada
peternakan unggas lalat pengganggu yang sering ditemukan, yaitu Muscina
stabulans, M. domestica, Chrysomia putoria, Crysomia megacephala, dan S.
calcitrans (Avancini dan Silveira 2000). Pada peternakan babi lalat pengganggu
yang ditemukan, yaitu S. calcitrans, M. domestica, dan Fannia cannicularis
(Meerburg et al. 2007).
Berbagai Jenis Lalat pada Peternakan Sapi Potong
Lalat yang sering ditemukan pada peternakan sapi potong adalah lalat yang
termasuk dalam lalat pengisap darah dan lalat bukan pengisap darah. Lalat
pengisap darah contohnya horn flies (H. irritans), buffalo flies (H. exigua), stable
flies (S. calcitrans), horse flies (Tabanus sp.), deer flies (Chrysops sp.). Selain
sebagai lalat pengisap darah, lalat-lalat ini dapat mengakibatkan stress dan
ketidaknyamanan bagi sapi potong. Pada peternakan sapi potong ada juga lalat
bukan pengisap darah, yaitu heel flies (Hypoderma bovis dan Hypoderma
5
lineatum). Lalat ini mengakibatkan agitasi selama masa bertelur, larva lalat ini
akan berinfestasi pada kulit dan mengakibatkan miasis. Terdapat pula lalat
sebagai vektor mekanik virus, bakteri, dan penyakit parasit lainnya, yaitu face
flies (Musca autumnalis) dan M. domestica.
Jenis lalat Musca yang distribusinya secara kosmopolitan adalah M.
domestica. Lalat ini dapat ditemukan di seluruh penjuru dunia dan dapat
ditemukan di setiap jenis peternakan, baik peternakan sapi potong, sapi perah,
unggas, babi, kerbau, kambing, dan domba. Di Arab Saudi pernah dilakukan
penelitian pada tahun 2008 dan 2009, ditemukan lalat M. domestica pada
peternakan sapi potong baik peternakan out-door dan in-door (Albarrak 2009).
S. calcitrans merupakan jenis lalat Muscidae yang distribusinya secara
kosmopolitan. Lalat ini banyak mengakibatkan kerugian bagi peternakan,
terutama peternakan sapi potong. Menurut penelitian Broce et al. (2005) di
Amerika Serikat, S. calcitrans merupakan hama utama yang bertahan selama dua
dekade yang ditemukan pada peternakan sapi potong dan kuda.
Haematobia hidup secara bergerombol pada sapi potong. Terdapat dua jenis
lalat Haematobia sesuai dengan distribusinya, yaitu H. irritans dan H. exigua. Di
wilayah Asia dan Australia, termasuk Indonesia hanya terdapat lalat jenis H.
exigua. Menurut Changbunjong et al. (2012) H. exigua merupakan hama utama
pada peternakan yang menyebabkan banyak kerugian, terutama kerugian ekonomi
pada peternakan sapi potong di Thailand.
Kerugian Akibat Keberadaan Lalat pada Peternakan Sapi Potong
Diptera ini merupakan salah satu bagian terbesar pembawa patogen yang
sangat berperan penting dalam medis dan kedokteran hewan (Habeeb 2012). Lalat
hidup sebagai ektoparasit yang berada di sekitar tubuh hewan ternak. Pada
peternakan lalat berperan sebagai pengganggu dan berbahaya bagi kesehatan
manusia dan hewan ternak. Lalat memiliki perilaku dan cara hidup yang
memungkinkan untuk melakukan transmisi kuman ke manusia dan hewan ternak
(Albarrak 2009). Lalat menyebabkan masalah ekonomi untuk semua hewan
ternak (sapi, unta, dan domba). Lalat mengurangi produksi daging pada
peternakan sapi potong karena lalat pengganggu dapat menghisap darah dan sapi
potong membutuhkan energi ekstra untuk menangkis keberadaan lalat penganggu
tersebut. Lalat mengganggu pekerja dan menurunkan produktivitas pekerja
peternakan, seperti saat memberi makan dan membersihkan kandang. Lalat
pengganggu memainkan peran utama dalam transmisi mikroorganisme yang
menyebabkan penyakit pada hewan dan manusia (Brazil et al. 2007). Lalat dapat
meningkatkan frekuensi penularan penyakit pada hewan ternak, sehingga
menyebabkan peningkatan biaya untuk jasa pengobatan hewan, tindakan
pengendalian
dan
pemberantasan,
serta
tindakan
menekan potensi penyebaran penyakit pada manusia.
M. domestica yang biasa disebut lalat rumah, lalat ini biasanya berada di
lingkungan peternakan dan perumahan. Menurut Vazirianzadeh et al. (2008)
lebih dari 100 agen patogen terkait dengan lalat rumah dapat menyebabkan
penyakit pada hewan dan manusia. Agen patogen ini dapat mengakibatkan
penyakit tipus, kolera, disentri basiler, TBC, antraks, ophtalmia dan diare, serta
sebagai pembawa parasit protozoa dan cacing.
6
S. calcitrans disebut juga stable fly atau lalat kandang. Lalat pengganggu ini
memiliki probosis tipe penusuk dan penghisap darah. Lalat ini juga
mengakibatkan kerugian ekonomi yang besar bagi produksi hewan karena rasa
sakit dan energi yang terbuang pada hewan dalam upaya menghindari gangguan
yang dihasilkan dari gigitan lalat (Castro et al. 2007). Adanya gigitan lalat ini
mengakibatkan inang akan kehilangan berat badan. Selain itu, kelemahan pada
inang ini akan mengakibatkan hewan lebih rentan terhadap penyakit.
Haematobia merupakan masalah kesehatan terbesar bagi hewan ternak di
Kanada dan Argentina (Torres et al. 2012). Lalat jantan dan betina makan 24-38
kali per hari dan menelan rata-rata 14.3 mg darah per terbang (Cupp et al. 1998).
Selain mengakibatkan penurunan produk daging, lalat ini juga sebagai vektor
mekanik penyakit trypanosomiasis (Sinshaw et al. 2006), Corynebacterium
pseudotuberculosis (Spier et al. 2004), Staphylococcus aureus (Gillespie et al.
1999), dan bovine anaplasmosis (Rodriguez et al. 2009).
Lalat pengganggu lainnya ada Tabanus. Lalat ini dapat disebut lalat kuda
(horse fly). Lalat ini merupakan penerbang yang tangguh dan penggigit persisten
yang aktif pada siang hari. Lalat ini selain sebagai penghisap darah yang ganas,
juga dapat menularkan beberapa penyakit yang berbahaya (Hadi dan Soviana
2010). Penyakit yang dapat ditularkan melalui lalat ini, yaitu trypanosomiasis
(Hennekeler et al. 2008), tularemia, dan antraks (Ihemanma et al. 2013).
MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan selama periode Juli 2012 sampai Januari 2013.
Penangkapan lalat dilakukan selama lima minggu, sejak 9 Juli 2012 hingga 10
Agustus 2012 pada siang hari pukul 09.00 sampai 17.00 WIB. Penangkapan lalat
dilakukan pada hari Senin sampai Jumat. Pada tiga minggu pertama penangkapan
lalat dilakukan di 18 peternakan rakyat Kabupaten Cirebon yang tersebar di 4
kecamatan (Kecamatan Sumber, Kecamatan Dukuh Puntang, Kecamatan Depok,
dan Kecamatan Talun). Pada dua minggu terakhir penangkapan lalat dilakukan di
peternakan besar Unit Pelaksana Teknis Daerah Balai Pengembangan Ternak
Potong (UPTD BPTP) Kecamatan Harjamukti, Kotamadya Cirebon. Identifikasi
dilakukan di Laboratorium Entomologi Bagian Parasitologi dan Entomologi
Kesehatan Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat
Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Metode Penelitian
1. Koleksi Sampel Lalat
Metode penangkapan lalat dilakukan dengan menggunakan sweeping net
(Gambar 1). Sweeping net (jaring serangga) digunakan untuk menangkap lalat dan
serangga terbang lainnya. Penggunaan sweeping net dilakukan dengan cara
mengayunkan jaring ke arah lalat yang akan dicari di sekitar sapi potong. Pada
peternakan rakyat penggunaan sweeping net ini dilakukan dengan cara
7
mengayunan jaring pada tiga titik berbeda di setiap kandang. Masing-masing titik
ini dilakukan pengayunan selama 10 menit. Pada peternakan besar penggunaan
sweeping net dilakukan pada tiga titik yang sama setiap harinya. Masing-masing
titik penangkapan dilakukan selama 10 menit. Penangkapan ini dilakukan
berulang sebanyak 10 kali selama 10 hari.
Lalat yang diperoleh dimatikan dengan kloroform. Penggunaan kloroform
ini sangat diperlukan karena dapat langsung mematikan lalat, sehingga lalat yang
telah tertangkap tidak banyak bergerak dan tidak merusak bagian-bagian tubuh
lalat tersebut. Semua lalat yang diperoleh dilakukan pencatatan dengan pemberian
label pada masing-masing tempat penangkapan.
Gambar 1 Sweeping net
2. Preservasi Spesimen
Preservasi spesimen lalat dilakukan dengan dua metode, yaitu preservasi
dalam cairan dan preservasi dengan cara kering (Hadi et al. 2011). Preservasi
dalam cairan ini, artinya lalat diawetkan dalam bentuk koleksi basah dengan cara
dimasukkan ke dalam alkohol 70%. Preservasi ini dilakukan sesegera mungkin
setelah lalat tersebut mati. Preservasi dalam cairan ini dilakukan pada lalat-lalat
yang bentuknya kecil dalam jumlah banyak.
Preservasi dengan cara kering dapat dilakukan dengan cara pinning atau
menusuk tubuh lalat dengan jarum. Penusukan lalat dilakukan secara tegak lurus.
Jarum ditusukkan pada bagian toraks sedikit ke sisi kanan atau kiri dari garis
tengah. Lalat yang bentuknya lebih kecil tidak dapat dilakukan penusukan
langsung. Lalat tersebut terlebih dahulu ditempelkan pada kertas segitiga dengan
menggunakan lem kuteks, kemudian kertas segitiga tersebut ditusukkan dengan
jarum.
Setelah preservasi selesai dilakukan, spesimen-spesimen tersebut harus
disimpan dengan cara hati-hati. Spesimen diberi label dan disimpan dalam kotakkotak penyimpanan lalat. Bagian dasar kotak penyimpanan ini harus lunak agar
jarum mudah ditusukkan. Bagian pojok kotak penyimpanan tersebut diberi kapur
barus. Penyimpanan secara hati-hati dan tepat ini dilakukan untuk memudahkan
saat proses identifikasi dan spesimen dapat tersimpan dengan baik agar terhindar
dari kerusakan bagian-bagian tubuh spesimen.
3. Identifikasi Spesimen
Proses identifikasi dilakukan dengan menggunakan kunci identifikasi.
Identifikasi terlebih dahulu dilakukan pengelompokkan lalat berdasarkan genus,
8
setelah itu dilakukan identifikasi spesies. Proses identifikasi ini dilakukan dengan
melihat morfologi yang membedakan dengan kelompok spesies yang lain. Kunci
identifikasi yang digunakan, yaitu Tumrasvin dan Shinonaga 1977, Tumrasvin
dan Shinonaga 1978, dan Tumrasvin dan Shinonaga 1982.
Data Cuaca dan Sistem Peternakan
Pengumpulan data sekunder berupa data cuaca, yaitu jumlah hari hujan,
jumlah curah hujan, suhu, dan kelembapan yang diperoleh dari Stasiun
Meteorologi Jatiwangi Majalengka Jawa Barat. Selain itu, data tentang sistem
manajemen peternakan dikedua macam peternakan ini dikumpulkan melalui
wawancara dan pengamatan.
Analisis Data
1. Kelimpahan Nisbi
Kelimpahan nisbi adalah perbandingan jumlah individu lalat pengganggu
spesies tertentu terhadap total jumlah spesies lalat yang diperoleh dan dinyatakan
dalam persen.
Kelimpahan Nisbi =
Kelimpahan nisbi dapat dibagi dalam 5 kategori yaitu (1) sangat rendah (kurang
dari 1%), (2) rendah (1% sampai 10%), (3) sedang (10% sampai 20%), (4) tinggi
(20% sampai 30%), dan (5) sangat tinggi (di atas 30%) (Hadi et al. 2011).
2. Frekuensi Lalat Tertangkap
Frekuensi lalat tertangkap dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah
penangkapan diperolehnya spesies lalat tertentu terhadap jumlah total
penangkapan.
Frekuensi =
3. Dominasi Spesies (%)
Angka dominasi spesies dihitung berdasarkan hasil perkalian antara
kelimpahan nisbi dengan frekuensi lalat tertangkap spesies tersebut dalam satu
waktu penangkapan.
Dominasi spesies =
4. Korelasi antara Kepadatan Lalat dengan Cuaca (Suhu dan Kelembapan)
Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui hubungan cuaca (suhu dan
kelembapan) terhadap fluktuasi kepadatan lalat. Analisis menggunakan software
Minitab 16.
9
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Peternakan Rakyat dan Peternakan Besar
Peternakan Rakyat
Peternakan sapi potong rakyat merupakan usaha sambilan yang dilakukan
oleh masyarakat desa. Pembentukan peternakan ini dengan tujuan sebagai
pekerjaan sampingan dan bukan merupakan pekerjaan pokok. Peternakan rakyat
dibatasi oleh usaha kecil, teknologi sederhana, sistem manajemen sederhana,
produktivitas rendah, dan mutu produk tidak seragam, serta masih berbasis
kekeluargaan. Kandang ternak biasanya berada di sekitar rumah dan wilayah
pemukiman warga (Gambar 2A). Selain itu, jumlah sapi yang dipelihara sedikit
berkisar 1 sampai 24 ekor sapi.
Pada peternakan rakyat ini memiliki sistem perkandangan yang cukup layak
untuk pemeliharaan sapi potong (Gambar 2B) . Secara umum kandang dibuat dari
kayu atau bambu. Alas kandang sudah layak dibuat dari pasir dan semen. Atap
kandang sudah dilengkapi dengan kanopi yang baik, sehingga sapi potong
terlindungi dari panas matahari dan hujan. Kandang juga dilengkapi dengan
tempat pakan dan minum yang mudah dijangkau oleh hewan ternak. Kepadatan
cukup karena luasnya kandang sesuai dengan jumlah ternak yang dipelihara. Ada
beberapa peternakan sapi potong menggunakan sistem perkandangan yang
dicampurkan dengan hewan lain, seperti ayam dan kambing peranakan etawa
(Gambar 2C).
Pemeliharaan sapi potong pada peternakan rakyat dilihat dari segi
pemberian pakan sudah cukup baik. Sapi potong yang dipelihara diberikan pakan
dan minum cukup. Pakan biasanya diberikan sebanyak tiga kali sehari. Pakan
berupa rumput dan jerami. Ada satu peternakan memberikan pakan dicampurkan
dengan tetes tebu. Pencampuran tetes tebu ini bertujuan untuk mengurangi bau
ternak. Pemberian air minum diberikan secara adlibitum. Pada beberapa
peternakan rakyat pemberian air minum dicampur dengan air tempe dan garam
dapur.
Penanganan feses pada peternakan rakyat dapat dikatakan masih kurang
baik. Terdapat beberapa peternakan rakyat yang belum memanfaatkan feses
secara maksimal, feses hanya dibuang dan dikumpulkan di belakang kandang
(Gamba 2D). Pembuangan feses sekitar kandang ini akan terjadi menumpukan
feses dan bau yang tidak sedap yang dapat mengganggu kenyamanan hewan
ternak dan masyarakat di sekitar peternakan. Cara pembuangan feses juga
dilakukan dengan cara membuangnya ke dalam lubang pembuangan feses yang
sengaja dibuat oleh peternak. Selain itu, feses ditangani oleh peternak dengan cara
dikeringkan terlebih dahulu, kemudian feses dibakar, tetapi ada juga beberapa
peternakan rakyat yang sudah mulai memanfaatkan feses secara maksimal, seperti
pembuatan pupuk kompos dan pupuk kandang.
Peternak sangat memperhatikan kebersihan sapi potong dan kandang.
Sebagian besar peternakan tempat pengambilan sampel lalat ini membersihkan
kandang sehari sebanyak dua kali, yaitu pada pagi dan sore hari, sedangkan sapi
potong dimandikan sehari sebanyak satu kali. Perhatian yang lebih ini dilakukan
10
karena sebagian besar peternakan rakyat yang ada lokasinya berada di tengahtengah
Gambar 2 (A) Kandang ternak berada di sekitar pemukiman warga, (B) sistem
perkandangan sudah cukup layak, (C) kandang sapi potong
dicampurkan dengan ternak lainnya, seperti ayam dan kambing
peranakan etawa, (D) feses dibuang dan dikumpulkan di sekitar
kandang, (E) pembakaran rumput kering untuk mengusir lalat, (F)
pemasangan jaring kelambu untuk mencegah lalat masuk ke dalam
kandang.
karena sebagian besar peternakan rakyat yang ada lokasinya berada di tengahtengah pemukiman warga, sehingga kebersihan lebih diperhatikan agar tidak
mengganggu kenyamanan hidup warga sekitar.
Kesehatan sapi potong pada peternakan rakyat lebih ditangani secara
individu oleh peternak sendiri. Dokter hewan belum banyak terlibat dalam
menangani masalah kesehatan sapi potong pada peternakan rakyat di daerah
Cirebon ini. Ada beberapa peternakan rakyat yang sadar akan keberadaan lalat
pengganggu yang biasa menyerang sapi potong. Peternak menyemprotkan
insektisida pada sapi potong setiap harinya. Selain penggunaan insektisida, ada
peternak yang melakukan pembakaran rumput kering di sekitar kandang untuk
mencegah lebih banyaknya keberadaan lalat pengganggu pada sapi potong
(Gambar 2E). Menurut para peternak, pencegahan terhadap lalat pengganggu
dapat dilakukan pula dengan cara menaburkan abu di sekitar kandang dan
terkadang pada tubuh sapi potong. Beberapa kandang pada peternakan rakyat ini
11
menggunakan kelambu untuk mengurangi masuknya lalat penganggu ke dalam
kandang (Gambar 2F)
Pada peternakan rakyat tujuan pemeliharaan sapi hanya untuk penggemukan
saja tidak untuk pembibitan. Biasanya peternak membeli sapi potong pedet atau
sapi dara, kemudian dipelihara untuk digemukkan. Peternak juga membeli sapi
potong kurusan yang kemudian dipelihara untuk digemukkan. Sapi-sapi ini akan
dijual pada musim kurban atau untuk kebutuhan hajatan warga sekitar.
Peternakan Besar (UPTD BPTP Kota Cirebon)
UPTD BPTP Kota Cirebon merupakan suatu balai pengembangan ternak
sapi potong yang didirikan oleh pemerintahan Kotamadya Cirebon dibawah
pengawasan Dinas Kelautan, Perikanan, Peternakan, dan Pertanian Kota Cirebon.
Balai ini memiliki tugas pokok memberi petunjuk, membagi tugas, membimbing,
memeriksa, mengoreksi, mengawasi, merencanakan, dan melaksanakan kegiatan
teknis operasional urusan penyelenggaraan pelayanan perbibitan ternak potong.
Tugas pokok ini meliputi pelaksanaan proses alih mudigah dan plasma nutfah
ternak potong, pelaksanaan pemeliharaan, perkawinan, breeding, dan pencatatan
(recording) pembibitan ternak potong, serta pemasaran hasil produksi ternak
potong dan hasil ikutannya.
Peternakan ini terletak di daerah yang jauh dari pemukiman warga (Gambar
3A). Di sekitar peternakan terdapat hutan dan tidak jauh dari wilayah peternakan
ini terdapat tambang pasir. Lahan di sekitar peternakan dijadikan lahan untuk
penanaman rumput gajah saat musim penghujan (Gambar 3B).
Gambar 3 (A) Peternakan terletak jauh dari pemukiman, (B) lahan di sekitar
peternakan dijadikan untuk penanaman rumput gajah, (C) kandang
terdiri dari tiga blok kandang, yaitu kandang A-B, C-D, dan E-F, (D)
tempat pakan dan minum menyatu dengan kandang.
12
Peternakan ini memiliki tujuan pemeliharaan yang berbeda dengan
peternakan rakyat. Tujuan pemeliharaan ini sesuai dengan tugas pokok yang
diberikan oleh pemerintahan Kota Cirebon, yaitu tujuan pemeliharaan untuk
pembibitan ternak potong, sedangkan peternakan rakyat hanya untuk
penggemukan. Sapi potong yang terdapat dalam peternakan ini sebanyak 104 ekor
sapi betina. Proses perkawinan melalui inseminasi buatan.
Sistem kandang pada peternakan ini terdiri dari tiga blok kandang, yaitu
kandang A-B, kandang C-D, dan kandang E-F (Gambar 3C). Masing-masing blok
ini terdiri pula dari beberapa blok. Satu blok ini dapat berisi 3-4 ekor sapi dewasa
atau 5-7 ekor sapi anak. Kandang berdiri kokoh terbuat dari pipa besi sebagai
pembatas blok dan kayu kuat sebagai penyangga kandang. Atap kandang terbuat
dari asbes, sedangkan alas kandang terbuat dari semen. Tempat pakan dan air
minum menyatu dengan kandang terbuat dari semen (Gambar 3D).
Pakan yang diberikan pada ternak berupa pakan hijauan dan konsentrat.
Pemberian pakan sebanyak tujuh kali dalam sehari semalam. Pakan hijauan
berupa jerami dan rumput gajah. Pakan jerami diberikan pada ternak saat musim
kemarau, sedangkan pakan rumput gajah diberikan saat musim penghujan. Pakan
hijauan ini selalu tersedia penuh dalam kandang. Pakan konsentrat berupa
campuran onggok dan dedak. Pakan konsentrat ini diberikan pagi hari saja setiap
hari.
Penanganan kebersihan ternak dan kandang belum maksimal dilakukan.
Kandang pada peternakan ini terlihat sangat kotor dengan feses dan urin sapi yang
bertumpuk di alas kandang. Di pinggiran kandang banyak feses yang menumpuk.
Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari pekerja, peternakan ini dibersihkan
sehari sekali, tetapi untuk kebersihan sapi itu sendiri hanya dilakukan dengan
memandikan sapi satu kali dalam sebulan.
Keragaman Jenis Lalat pada Peternakan Rakyat dan Peternakan Besar
Pada penelitian ini ditemukan beberapa jenis lalat penganggu, yakni S.
calcitrans, H. exigua, M. domestica, T. megalops, T. rubidus, dan M. seniorwhitei.
Jenis-jenis lalat ini juga ditemukan pada peternakan besar. Selain itu, di
peternakan besar juga diperoleh S. indicus.
M. domestica yang diperoleh pada 18 peternakan rakyat sebanyak 53 lalat
(16.56%), sedangkan pada peternakan besar diperoleh 254 lalat (2.19%) (Tabel 1).
Tabel 1 Jumlah dan persentase spesies lalat
Peternakan rakyat
Spesies lalat
Jumlah
Persentase (%)
16.56
M. domestica
53
0.31
M. seniorwhitei
1
23.44
H. exigua
75
57.19
S. calcitrans
183
0.00
S. indicus
0
1.25
T. megalops
4
1.25
T. rubidus
4
Total
320
Peternakan Besar
Jumlah
Persentase (%)
2.19
254
0.01
1
97.64
11,312
0.12
14
0.01
1
0.02
2
0.01
1
11,585
13
4.86 mm
Gambar 4 (A) Bentuk umum M. domestica, (B) tipe mulut penghisap, (C) arista
berambut pada bagian ventral dan dorsal, (D) venasi sayap, (E) toraks
(F) abdomen.
M. domestica dewasa berukuran panjang 5.8-6.5 mm untuk jantan dan 6.5-7.5 mm
untuk betina (Gambar 4A). Ciri khas lalat ini terdapat pada bagian ujung probosis
(labela) melebar dan memiliki struktur seperti spons berfungsi untuk menyerap
makanan (Gambar 4B). Arista berambut pada bagian ventral dan dorsal (Gambar
4C). Vena sayap membentuk lengkungan sudut yang tajam pada bagian M 1+2 dan
R 5 agak tertutup ke distal (Gambar 4D). Toraks berwarna kelabu dengan empat
ban hitam longitudinal (Gambar 4E). Abdomen berwarna kuning juga merupakan
ciri khas lalat M. domestica (Gambar 4F).
M. seniorwhitei yang diperoleh pada peternakan rakyat hanya 1 lalat
(0.31%), jumlah ini sama dengan di peternakan besar hanya 1 lalat (0.01%) (Tabel
1). Distribusi M. seniorwhitei di Indonesia berada pada Jawa dan Sumatera
(Huang et al. 2007). M. seniorwhitei ini memiliki bentuk yang sama dengan M.
domestica, ciri khas lalat ini terletak pada tibia bagian tengah anteroventral
berbulu dan garis tengah berwarna hitam abdomen terbentuk sempurna
(Tumrasvin dan Shinonaga 1977).
H. exigua yang diperoleh pada peternakan rakyat sebanyak 75 lalat
(23.44%), sedangkan pada peternakan besar diperoleh sebanyak 11,312 lalat
(97.64%) (Tabel 1). Jumlah perolehan lalat H. exigua ini tertinggi pada
peternakan
Gambar 5 (A) Bentuk umum H. exigua, (B) tipe mulut penusuk dan pengisap
darah, (C) arista berambut pada bagian dorsal, (D) venasi sayap, (E)
toraks (F) abdomen.
14
4.16 mm
Gambar 6 (A) bentuk umum S. calcitrans, (B) tipe mulut penusuk dan pengisap
darah, (C) arista berambut pada bagian dorsal, (D) venasi sayap, (E)
toraks, (F) abdomen.
peternakan besar. H. exigua memiliki ukuran tubuh setengah dari lalat rumah,
yaitu 4 mm (Gambar 5A). Panjang palpus maksila sama panjangnya dengan
probosis. Probosis tipe penusuk dan pengisap darah (Gambar 5B). Arista
berambut pada bagian dorsal saja (Gambar 5C). Venasi sayap mirip dengan venasi
sayap pada S. calcitrans, yaitu vena sayap M 1+2 melengkung halus dan sel R 5
terbuka di distal (Gambar 5D). Toraks berwarna kelabu dengan dua ban hitam
longitudinal pada permukaannya (Gambar 5E). Abdomen berwarna kelabu,
bagian abdomen ini tidak memberikan ciri khas morfologi lalat H. exigua
(Gambar 5F).
S. calcitrans yang diperoleh pada peternakan rakyat sebanyak 183 lalat
(57.19%), sedangkan pada peternakan besar diperoleh sebanyak 14 lalat (0.12%)
(Tabel 1). Pada peternakan rakyat S. calcitrans yang diperoleh nilai persentasenya
tertinggi dibandingkan dengan pada peternakan besar. Ukuran tubuh S. calcitrans
hampir sama dengan M. domestica, yaitu 4-6 mm (Gambar 6A). Lalat ini
memiliki probosis dengan tipe penusuk dan pengisap darah (Gambar 6B). Arista
berambut hanya pada bagian dorsal (Gambar 6C). Sayap jernih dengan vena sayap
M 1+2 melengkung halus dan sel R 5 terbuka di distal (Gambar 6D). Bagian toraks
memiliki empat ban hitam longitudinal (Gambar 6E). Abdomen memiliki pola
spoy
diperoleh
Gambar 7 (A) bentuk umum T. megalops dan T. rubidus, (B) ukuran tubuh T.
rubidus, (C) ukuran tubuh T. megalops, (D) tipe mulut, (E) kalus T.
megalops.
15
spot dengan garis tengah pendek dan luas, serta bagian tergite kedua dan ketiga
terdapat spot membulat pada bagian lateral (Gambar 6F).
Lalat Stomoxys lain yang diperoleh pada peternakan besar, yaitu S. indicus.
Wilayah distribusi lalat ini berada pada Taiwan, Burma, China, India, Indonesia,
Jepang, Filipina, Sri Lanka, dan Vietnam (Huang et al. 2007). Pada peternakan
besar lalat ini diperoleh hanya 1 lalat (0.01%) (Tabel 1). Abdomen memiliki pola
spot dengan garis tengah yang menyatu pada tergite kedua dan ketiga, serta pada
tergite kesatu, kedua, dan ketiga terdapat spot horizontal panjang dan lebar
(Tumrasvin dan Shinonaga 1978).
Pada peternakan rakyat T. megalops dan T. rubidus yang diperoleh masingmasing 4 lalat (1.25%), sedangkan pada peternakan besar T. megalops yang
diperoleh sebanyak 2 lalat (0.01%) dan T. rubidus 1 lalat (0.02%). Lalat Tabanus
merupakan ektoparasit yang memiliki tubuh besar dan kokoh, berukuran 5-25 mm
(Gambar 7B dan 7C). T. rubidus biasanya memiliki ukuran tubuh yang lebih besar
dibandingkan dengan T. megalops (Gambar 7A). Bagian mulut terdiri atas
probosis yang pendek dengan maksila yang bekerja seperti pisau untuk merobek,
serta bagian labrum-epifarings dan hipofarings sebagai penusuk dan pengisap
(Gambar 7D). Kalus pada lalat T. megalops berwarna hitam memanjang tanpa ada
celah pemisah (Gambar 7E), sedangkan kalus pada T. rubidus berwarna hitam dan
terpisah oleh celah.
Kelimpahan Nisbi, Frekuensi, dan Dominasi Spesies Lalat
Pada peternakan rakyat diperoleh kelimpahan nisbi sangat tinggi pada lalat
S. calcitrans (57.19%). Kelimpahan nisbi tinggi terdapat pada H. exigua
(23.44%), kemudian kelimpahan nisbi sedang pada M.domestica (16.56%).
Kelimpahan nisbi rendah terdapat pada lalat T. megalops dan T. rubidus (1.25%),
diikuti oleh M. seniorwhitei (0.31%) dengan kelimpahan nisbi sangat rendah.
Frekuensi tertinggi terdapat pada lalat S. calcitrans (1.00), diikuti dengan M.
domestica (0.72), H. exigua (0.22), T. megalops (0.22), T. rubidus (0.11), dan M.
seniorwhitei (0.06). Nilai frekuensi yang diperoleh ini dapat digunakan untuk
perhitungan persentase dominasi spesies lalat. Persentase dominasi spesies lalat
tertinggi, yaitu S. calcitrans (57.19%), diikuti dengan M. domestica (11.92%), H.
senio
Tabel 2 Data kelimpahan nisbi, frekuensi, dan dominasi spesies pada peternakan
rakyat dan peternakan besar
Peternakan Rakyat
Peternakan Besar
Spesies Lalat
KN (%) Frek Dom (%) KN (%) Frek Dom (%)
16.56
0.72
11.92
2.19
1.00
2.19
M. domestica
0.31
0.06
0.02
0.01
0.10
0.00
M. seniorwhitei
23.44
0.22
5.16
97.64
1.00
97.64
H. exigua
57.19
1.00
57.19
0.12
0.90
0.11
S. calcitrans
0.00
0.00
0.00
0.01
0.10
0.00
S. indicus
1.25
0.22
0.28
0.02
0.20
0.00
T. megalops
1.25
0.11
0.14
0.01
0.10
0.00
T. rubidus
KN = kelimpahan nisbi, Frek = frekuensi, Dom = dominasi
16
exigua (5.16%), T. megalops (0.28%), T. rubidus (0.14%), dan M. seniorwhitei
(0,02%).
Pada peternakan besar diperoleh kelimpahan nisbi sangat tinggi pada lalat
H. exigua (97.64%). Kelimpahan nisbi rendah terdapat pada M. domestica
(2.19%). Kelimpahan nisbi sangat rendah pada lalat S. calcitrans (0.12%), T.
megalops (0.02%), M.seniorwhitei (0.01%), dan S. indicus (0.01%), dan T.
rubidus (0.01%). Frekuensi tertinggi saat penangkapan terdapat pada lalat
H.exigua (1.00) dan M. domestica (1.00), kemudian diikuti S. calcitrans (0.90), T.
megalops (0.20), M. seniorwhitei (0.10), S. indicus (0.10), dan T. rubidus (0.10).
Nilai frekuensi ini digunakan untuk menentukan nilai dominasi spesies lalat.
Dominasi spesies lalat tertinggi pada lalat H. exigua (97.64%), kemudian diikuti
lalat M. domestica (2.19%) dan S. calcitrans (0.11%).
Hasil perhitungan tersebut dapat dibandingkan antara peternakan rakyat
dengan peternakan besar. Pada peternakan besar kelimpahan nisbi spesies lalat
lebih bervariasi, tetapi nilainya rendah. Berbeda dengan kelimpahan nisbi pada
peternakan rakyat, kelimpahan nisbi spesies lalat cukup bervariasi dengan nilai
yang lebih tinggi dibandingkan dengan peternakan besar. Selama proses
penangkapan spesies lalat yang selalu diperoleh dan tertangkap pada peternakan
rakyat, yaitu S. calcitrans, sedangkan pada peternakan besar, yaitu H. exigua dan
M. domestica.
Spesies lalat yang mendominasi pada peternakan rakyat, yaitu S. calcitrans
(57.19%). S. calcitrans lebih dominan ditemukan pada peternakan rakyat, hal ini
terjadi karena peternakan rakyat memiliki luas peternakan yang lebih sempit
dibandingakan dengan peternakan besar. Sempitnya luas peternakan ini
mengakibatkan bau khas yang dihasilkan oleh ternak akan tercium lebih kuat oleh
S. calcitrans. Bau khas yang dihasilkan oleh ternak berperan sebagai penarik
beberapa jenis Stomoxys (Torr et al. 2006). Selain itu, S. calcitrans lebih
menyukai meletakkan telur pada tumpukan manure yang banyak terdapat pada
peternakan rakyat. S. calcitrans tidak mendominasi pada peternakan besar, lalat
ini memiliki nilai dominasi yang sangat kecil dibandingkan dengan nilai dominasi
pada peternakan rakyat. Menurut Muenworn et al. (2010) S. calcitrans tidak
menyukai area yang luas dan terbuka. S. calcitrans lebih menyukai mengisap
darah pada ternak yang dipelihara untuk tujuan penggemukan karena pada
umumnya ternak ini ditempatkan pada area terbatas atau dikandangkan.
Keragaman jenis lalat yang terdapat dalam peternakan rakyat tergolong
bervariasi. Tetapi variasi ragam jenisnya tidak memiliki populasi yang cukup
tinggi. Walaupun dengan manajemen yang sederhana, ada beberapa peternakan
rakyat yang sudah menggunakan insektisida untuk mengendalikan lalat pada
ternak. Insektisida merupakan senyawa kimia yang digunakan untuk
mengendalikan populasi serangga yang merugikan manusia, ternak, tanaman, dan
sebagainya yang diusahakan manusia untuk kesejahteraan hidupnya agar kerugian
dan gangguan dapat ditekan sekecil mungkin (Hadi dan Soviana 2010). Populasi
lalat pada peternakan rakyat tergolong kecil juga dipengaruhi oleh tindakan para
peternak yang dapat mengendalikan populasi lalat dengan cara pemberian abu
pada kandang dan tubuh sapi. Pemberian abu ini bertujuan untuk mengurangi bau
yang dihasilkan feses sapi potong dan mempercepat pengeringan feses dan
manure sehingga dapat menghambat tempat perkembangbiakan lalat. Selain itu,
17
pengendalian sederhana yang dilakukan peternak dengan cara membakar rumput
kering di sekitar kandang sehingga lalat di sekitar tubuh sapi potong berkurang.
Dominasi spesies lalat tertinggi pada lalat H. exigua (97.64%) karena selain
kelimpahan nisbi tinggi, juga diperoleh dalam seluruh frekuensi penangkapan. H.
exigua merupakan jenis lalat yang lebih menyukai darah sapi (Kuramochi 2000).
Tidak seperti diptera lainnya yang makan sedikit-sedikit untuk memenuhi
perkembangbiakannya, sedangkan lalat H. exigua membutuhkan makan sepanjang
24 jam sehingga lalat ini selalu berada di dekat inangnya karena sifat tersebut H.
exigua lebih banyak tertangkap. H. exigua juga merupakan lalat yang cenderung
memilih inang yang cocok. Jika lalat ini telah menemukan inang yang cocok
maka lalat ini tidak akan berpindah inang dan akan menjadikan inang yang
ditempatinya sebagai inang tetap. H. exigua juga merupakan jenis lalat yang biasa
hidup sebagai suatu kawanan (Pruett et al. 2003) sehingga setiap kali
penangkapan diperoleh lalat H. exigua dalam jumlah banyak. Hal ini
mengakibatkan nilai dominasi tertinggi lalat H. exigua pada peternakan besar.
H. exigua akan lebih cenderung berkembang biak pada wilayah peternakan
besar ini. Larva lalat akan berkembang dalam feses segar hewan ternak dengan
bantuan bakteri yang terdapat dalam feses. Hal ini mengakibatkan lalat terus
berkembang biak dalam peternakan dan mengalami siklus hidup tetap dalam
peternakan ini. Kondisi peternakan besar ini yang kurang memperhatikan
kebersihan kandang, sapi potong dimandikan hanya sebulan sekali, dan
banyaknya tumpukan feses yang ada di sekitar kandang mengakibatkan lalat lebih
men
PERMASALAHANNYA PADA TERNAK SAPI POTONG DI
DAERAH CIREBON
IKASARI ANANDA PUTRI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTUTUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keragaman Jenis Lalat
Pengganggu dan Potensi Permasalahannya Pada Ternak Sapi Potong di Daerah
Cirebon adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Ikasari Ananda Putri
NIM B04090013
ABSTRAK
IKASARI ANANDA PUTRI. Keragaman Jenis Lalat Pengganggu dan Potensi
Permasalahannya Pada Ternak Sapi Potong di Daerah Cirebon. Dibimbing oleh
SUSI SOVIANA.
Tujuan dari penelitian ini untuk mempelajari keragaman jenis lalat
pengganggu pada sapi potong di Cirebon, dominasi lalat, korelasi antara
kepadatan lalat dengan suhu dan kelembapan, serta risiko penyakit yang
ditularkan oleh lalat pada sapi potong. Sebanyak 18 peternakan rakyat dan 1
peternakan besar lalat diambil dengan menggunakan sweeping net. Pada
peternakan rakyat lalat yang mendominasi adalah S. calcitrans (57.19%),
sedangkan pada peternakan besar lalat yang mendominasi adalah H. exigua
(97.64%). Korelasi antara kepadatan lalat dengan faktor cuaca (suhu dan
kelembapan) dianalisis dengan menggunakan software Minitab 16, hanya di
peternakan besar. Koefisien korelasi (r) antara kepadatan lalat dengan suhu, yaitu
r=0.352 pada M. domestica dan r=0.158 pada H. exigua. Koefisien korelasi antara
kepadatan lalat dengan kelembapan, yaitu r=0.233 pada M. domestica dan r=0.018
pada H. exigua. Hasil tersebut dapat terlihat bahwa tidak ada pengaruh antara
kepadatan lalat dengan suhu dan kelembapan. Tingginya populasi S. calcitrans di
peternakan rakyat dapat memunculkan risiko penyakit Trypanosomiasis dan
Besnoitiosis, sedangkan tingginya populasi H. exigua di peternakan rakyat dapat
memunculkan risiko penyakit, terutama miasis.
Kata kunci: keragaman lalat, lalat pengganggu, sapi potong
ABSTRACT
IKASARI ANANDA PUTRI. The Diversity of Filth Flies and Its Potensial Risks
at Beef Cattle in Cirebon Area. Supervised by SUSI SOVIANA.
The aim of this research was to find out the diversity of filth flies on beef
cattle in Cirebon, the domination of flies, the correlation of flies density and
temperature and humidity, and the risk of disease that can be transmitted by the
flies. The filth flies were taken by sweeping net in 18 small husbandries and 1
large husbandry in Cirebon. The data showed that the small husbandries was
dominated by S. calcitran (57.19%), while the large husbandry was dominated by
H. exigua (97.64%). Correlation of flies density and climate factor (temperature
and humidity) were analysed by Minitab 16 only in large husbandry. The
coefisient correlation (r) of flies density and temperature r=0.352 on M.
domestica and r=0.158 on H. exigua. On the other hand, coefisient correlation of
flies density and humidity was r=0.233 on M. domestica and r=0.018 on H.
exigua. These result showed that there were no influence of climate factor to flies
density fluctuation. The high population of S. calcitrans in small husbandries
were potensial to raise Trypanosomiasis and Besnoitiosis cases, whereas
population of H. exigua in large husbandry was to raise disease, especially miasis.
Keyword: beef cattle, flies diversity, filth flies
KERAGAMAN JENIS LALAT PENGGANGGU DAN POTENSI
PERMASALAHANNYA PADA TERNAK SAPI POTONG DI
DAERAH CIREBON
IKASARI ANANDA PUTRI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi
Nama
NIM
Keragaman Jenis Lalat Pengganggu dan Potensi
Permasalahannya Pada Temak Sapi Potong di Daerah
Cirebon
Ikasari Ananda Putri
B04090013
Disetujui oleh
Pembimbing
Tanggal Lulus:
0 1 NOV LO lj
Judul Skripsi
Nama
NIM
: Keragaman Jenis Lalat Pengganggu dan Potensi
Permasalahannya Pada Ternak Sapi Potong di Daerah
Cirebon
: Ikasari Ananda Putri
: B04090013
Disetujui oleh
Dr drh Susi Soviana, MSi
Pembimbing
Diketahui
drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet
Wakil Dekan
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
karuniaNya, sehingga skripsi dengan judul Keragaman Jenis Lalat Pengganggu
dan Potensi Permasalahannya Pada Ternak Sapi Potong di Daerah Cirebon dapat
diselesaikan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr drh Susi Soviana, MSi selaku
dosen pembimbing atas segala bimbingan, dorongan, kritik, dan saran yang telah
diberikan selama penelitian dan penulisan skripsi ini. Di samping itu, penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Dr drh Savitri Novelina, MSi, PAVet selaku
dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama menjadi
mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB).
Ungkapan terimakasih penulis ucapkan kepada drh Upik Kesumawati Hadi, MS,
PhD, drh Supriyono, Pak Heri, Bu Juju, dan staf Bagian Entomologi Kesehatan
atas dorongan, masukan, dan bantuan selama penelitian berlangsung.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada papa Slamet dan mama
Siti Asiah yang selalu memberikan dukungan materil dan spiritual, kakak Wiki
Aidin, SPt dan Adang Sudarto, ST, Mba Ira, Mba Alfiah, dan keponakan Adzkia
Zhavira Aidin atas doa, kasih sayang, dan dukungan yang diberikan selama ini.
Selanjutnya ungkapan terima kasih penulis ucapkan kepada teman seperjuangan
selama penelitian Prillia. Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada temanteman Fitri, Ebro, Ayu, Neta, Ina, Awit, Nindy, Rida, Ilmi, Pakupik, Ririn,
Harmoniers (Dewi, Kak Tiwi, Eci, Sendy), Padasukaers (Mba Emil, Manda,
Fika), adek-adek asrama putri Indramayu, dan teman-teman Geochelone 46 yang
sama-sama berjuang dalam menempuh pendidikan di FKH IPB.
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun sebagai
evaluasi bagi penulis. Terlepas dari kekurangan yang ada, penulis berharap skripsi
ini dapat memberi manfaat bagi yang membutuhkan.
Bogor, September 2013
Ikasari Ananda Putri
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
Kondisi Umum Daerah Cirebon
2
Morfologi dan Siklus Hidup Lalat
3
Keragaman Jenis Lalat di Peternakan
4
Berbagai Jenis Lalat pada Peternakan Sapi Potong
4
Kerugian Akibat Keberadaan Lalat pada Peternakan Sapi Potong
5
MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat
6
Metode Penelitian
6
Data Cuaca dan Hasil Wawancara
8
Analisis Data
8
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Peternakan Rakyat dan Peternakan Besar
9
Keragaman Jenis Lalat pada Peternakan Rakyat dan Peternakan Besar
12
Kelimpahan Nisbi, Frekuensi, dan Dominasi Spesies Lalat
15
Hubungan antara Kepadatan Lalat dengan Suhu dan Kelembapan di
Peternakan Besar
17
Potensi Permasalahan akibat Lalat
19
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
20
Saran
20
DAFTAR PUSTAKA
20
LAMPIRAN
25
RIWAYAT HIDUP
28
DAFTAR TABEL
1 Jumlah dan persentase spesies lalat
2 Data kelimpahan nisbi, frekuensi, dan dominasi spesies pada
peteternakan rakyat dan peternakan besar
3 Korelasi / hubungan antara kepadatan lalat dengan suhu dan
kelembapan
12
15
18
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Sweeping net
Peternakan Rakyat
Peternakan Besar (UPTD BPTP Kota Cirebon)
Lalat M. domestica
Lalat H. exigua
Lalat S. calcitrans
Lalat T. megalops dan T. rubidus
Hubungan antara kepadatan lalat dengan suhu
Hubungan antara kepadatan lalat dengan kelembapan
7
10
11
13
13
14
14
17
18
DAFTAR LAMPIRAN
1 Data suhu, kelembapan, dan keragaman spesies pada peternakan
rakyat
2 Data suhu, kelembapan, dan keragaman spesies pada peternakan
besar
3 Analisi Korelasi
26
26
27
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Konsumsi daging sapi perkapita bangsa Indonesia tahun 2010, 2011, dan
2012 mencapai 0.365, 0.417, dan 0.365 kg per tahun (Deptan 2012). Angka ini
menunjukkan terjadi peningkatan konsumsi daging sapi, tetapi kembali menurun
dengan nilai yang sama. Penurunan yang terjadi karena pasokan daging sapi yang
kurang maksimal sehingga masih sebagian mengandalkan produk daging sapi
impor negara lain. Optimalisasi penyediaan daging sapi dapat terlaksana dengan
manajemen yang baik dan penanggulangan yang optimal terhadap penyakit pada
sapi potong, termasuk penyakit yang disebabkan oleh ektoparasit.
Cirebon merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki potensi
sebagai pemasok daging sapi. Hal ini tidak didukung dengan baik karena
manajemen peternakan sapi potong di Cirebon belum maksimal. Kebersihan
kandang dan sapi potong kurang diperhatikan. Feses dan sisa pakan dikumpulkan
begitu saja di sekitar kandang. Feses dan manure merupakan media yang sangat
cocok untuk berkembangbiaknya ektoparasit, terutama lalat.
Ektoparasit adalah parasit yang hidup di bagian luar dari tempatnya
bergantung atau pada permukaan tubuh inangnya (Hadi dan Soviana 2010). Lalat
merupakan jenis ektoparasit yang berperan sebagai penganggu, terdiri dari lalat
pengisap darah dan lalat bukan penghisap darah. Tabanus, Haematopota,
Chrysops, Stomoxys, dan Haematobia merupakan jenis lalat pengisap darah,
sedangkan lalat bukan penghisap darah, contohnya Musca dan Hydrotaea (Ahmed
et al. 2005, Thomas dan Jespersen 1994)
Lalat menimbulkan kerugian pada sapi potong dan kerugian ekonomi bagi
peternak. Kerugian pada sapi potong berupa kehilangan darah, tertular suatu
penyakit, dan ketidaknyamanan sehingga sapi potong akan mengalami penurunan
bobot badan dan produksi daging pun akan menurun. Lalat memiliki kemampuan
mentransmisikan beberapa penyakit yang disebabkan oleh virus, bakteri, dan
parasit (Khoobdel et al. 2013).
Kerugian ekonomi bagi peternak dapat dihitung dari penurunan
produktivitas ternak yang mengakibatkan harga jual ternak menurun dan biaya
tambahan untuk pengendalian lalat. Amerika Serikat mengalami kerugian
US$2.211 juta per tahun akibat keberadaan lalat kandang (Stomoxys calcitrans)
pada industri sapi potong (Taylor et al. 2012). Jumlah kerugian ini akan
meningkat dari tahun ke tahun jika tidak dilakukan tindakan pengendalian
terhadap keberadaan lalat pengganggu pada sapi potong.
Perumusan Masalah
Indonesia belum banyak memiliki data mengenai keragaman jenis lalat
pengganggu pada hewan ternak, termasuk sapi potong. Lalat mengakibatkan
gangguan pada kesehatan hewan ternak. Kekurangan data ini akan mengakibatkan
sulitnya melakukan tindakan pengendalian lalat pada hewan ternak. Dengan
demikian, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui keragaman jenis lalat pada
sapi potong di Cirebon.
2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keragaman jenis lalat
pengganggu pada sapi potong di Cirebon. Dari data keragaman yang diperoleh ini
maka akan dapat diketahui lalat yang mendominasi pada peternakan sapi potong.
Penelitian ini juga dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kepadatan lalat
dengan faktor cuaca (suhu dan kelembapan). Selain itu, bertujuan pula untuk
mengetahui risiko penyakit yang ditularkan pada sapi potong yang dikaitkan
dengan lalat sebagai vektor penyakit.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui gambaran keragaman jenis lalat
pengganggu yang sering ditemukan pada sapi potong di Cirebon. Adanya
pengetahuan mengenai keragaman jenis lalat pengganggu ini dapat dijadikan
acuan untuk melakukan pengendalian terhadap risiko penyakit yang dapat terjadi.
TINJAUAN PUSTAKA
Kondisi Umum Daerah Cirebon
Cirebon merupakan wilayah yang berada di Jawa Barat terletak pada jalur
pantai utara Pulau Jawa. Cirebon terdiri dari dua wilayah kepemerintahan, yaitu
Kabupaten Cirebon dan Kota Cirebon. Cirebon merupakan daerah dengan iklim
tropis dengan suhu minimum 22.3oC dan rata-rata suhu maksimum 33.0oC, serta
banyaknya curah hujan 1,351 mm per tahun dengan hari hujan 86 hari. Cirebon
memiliki kelembapan udara sebesar 50-90%. Dengan kondisi demikian, Cirebon
merupakan daerah yang cocok untuk dikembangkan sebagai daerah peternakan
sapi potong.
Luas wilayah Kabupaten Cirebon 990.36 km2. Berdasarlan letak
geografisnya, wilayah Kabupaten Cirebon dibatasi oleh wilayah Kabupaten
Indramayu di sebelah Utara, sebelah Barat berbatasan dengan wilayah Kabupaten
Majalengka, sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah Kabupaten Kuningan,
sebelah Timur berbatasan dengan wilayah Kotamadya Cirebon dan Kabupaten
Brebes (Jawa Tengah). Faktor iklim dan curah hujan di Kabupaten Cirebon
dipengaruhi oleh keadaan alamnya yang sebagian besar terdiri dari daerah pantai
dan perbukitan terutama daerah bagian utara, timur, dan barat, sedangkan daerah
bagian selatan merupakan daerah perbukitan.
Luas wilayah Kotamadya Cirebon 37.35 km2. Secara geografis Kotamadya
Cirebon dibatasi oleh Sungai Kedung Pane di sebelah Utara, sebelah Barat
dibatasi oleh Sungai Banjir Kanal/Kabupaten Cirebon, sebelah Selatan dibatasi
oleh Sungai Kalijaga, dan sebelah Timur dibatasi oleh Laut Jawa. Kotamadya
Cirebon termasuk daerah iklim tropis, dengan suhu udara minimum rata-rata
22.3oC dan maksimun rata-rata 33.0oC dan banyaknya curah hujan 1,351 mm per
tahun dengan hari hujan 86 hari.
3
Morfologi dan Siklus Hidup Lalat
Umumnya tubuh lalat berukuran kecil, sedang, sampai tergolong besar
(Hadi dan Sigit 2006). Tubuh lalat terdiri dari tiga bagian, yaitu kepala, toraks,
dan abdomen. Lalat memiliki dua tipe alat mulut (probosis), yaitu tipe alat mulut
penghisap dan tipe alat mulut penusuk. Tipe probosis penghisap memiliki struktur
seperti spons dengan bentuk probosis tumpul dan bagian ujung (labela) melebar.
Probosis ini berfungsi menyerap makanan. Tipe probosis penusuk memiliki
bentuk panjang dan mencuat ke depan kepala. Probosis tipe ini berfungsi menusuk
kulit dan mengisap darah.
Ciri morfologi dari lalat Musca, yaitu tubuh jantan berukuran 5.8-6.5 mm
dan betina 6.5-7.5 mm. Toraks berwarna kelabu dengan empat ban hitam
longitudinal di dorsal, tubuh tidak berwarna biru metalik atau hijau (Carvalho dan
Mello-Patiu 2008). Lalat ini memiliki probosis tipe penghisap dengan bentuk
seperti spons. Antena pendek dengan arista yang berambut (plumose) pada bagian
ventral dan dorsal. Sayap jernih dengan vena sayap M 1+2 sangat khas membentuk
lengkungan sudut yang tajam dengan sel R 5 agak tertutup di distal.
Ciri morfologi dari lalat Stomoxys, yaitu ukuran tubuh hampir sama dengan
lalat Musca dengan warna yang lebih gelap. Lalat memiliki empat ban hitam
longitudinal pada toraks dan adanya bercak-bercak hitam pada abdomen
(Masmeatathip et al. 2006). Tipe probosis penusuk dan pengisap darah dengan
bentuk yang memanjang. Arista hanya berambut pada bagian dorsal. Venasi sayap
berbeda dengan lalat Musca, yaitu sayap M 1+2 melengkung halus dan sel R 5
terbuka di distal.
Haematobia exigua (H. exigua) merupakan spesies lalat yang berada di
wilayah Asia dan Australia, termasuk Indonesia. Lalat ini memiliki kesamaan
dengan Haematobia irritans (H. irritans) yang dapat ditemukan di wilayah
Amerika, Afrika Utara, dan Eropa (Urech et al. 2005). Ciri morfologi dari lalat
Haematobia, yaitu ukuran tubuh hanya setengah dari ukuran tubuh lalat Musca.
Lalat ini mempunyai dua ban hitam longitudinal pada toraks. Lalat ini memiliki
palpus maksila yang kokoh dan panjangnya sama dengan probosis. Arista dan
venasi sayapnya mirip dengan lalat Stomoxys.
Ciri morfologi lalat Tabanus, yaitu tubuhnya besar dan kokoh berukuran 625 mm dengan kepala yang berbentuk setengah lingkaran, dan memiliki mata
yang dominan (Hadi dan Soviana 2010). Bentuk antena pendek dan memiliki tiga
ruas dengan berbagai modifikasi pada ruas terakhirnya. Bagian mulut terdiri atas
probosis yang pendek dengan maksila yang bekerja sebagai pisau untuk merobek,
serta labrum-epifaring dan hipofaring sebagai penusuk dan pengisap. Lalat ini
merupakan bagian lalat yang penting dalam dunia medik dan veteriner karena lalat
ini termasuk dalam lalat pengisap darah (El-Hassan et al. 2010).
Dalam melakukan perkembangbiakannya lalat mengalami beberapa siklus
hidup. Lalat mengalami metamorfosis sempurna. Metamorfosis sempurna dapat
disebut pula dengan holometabola (Mitra 2013). Siklus hidup lalat ini dimulai dari
telur, larva, pupa, dan dewasa. Lalat bertelur biasanya diletakkan pada bahan
organik yang membusuk seperti tumpukan sampah, manure sapi, dan feses segar.
Dari telur tersebut, kemudian berkembang menjadi larva (belatung). Larva ini
biasanya memakan semua bahan organik untuk menunjang hidupnya. Kemudian
4
berkembang menjadi pupa dalam puparium. Setelah beberapa hari pupa ini
berubah menjadi lalat dewasa.
Keragaman Jenis Lalat di Peternakan
Parasitisme secara luas diakui sebagai faktor yang dapat mempengaruhi
komposisi dan struktur alami hewan (Mouritsen dan Poulin 2002). Parasit adalah
organisme yang hidupnya bergantung pada organisme lainnya. Parasit terdiri dari
ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit adalah parasit yang tempat hidupnya
biasa berada di luar tubuh inangnya, sedangkan endoparasit adalah parasit yang
hidup di dalam tubuh inangnya. Jenis ektoparasit yang biasanya hidup pada tubuh
hewan adalah lalat, kutu, nyamuk, caplak, dan tungau
Pada peternakan kuda lalat yang sering ditemukan adalah deer flies dan
horse flies (Diptera: Tabanidae). Gigitan lalat ini dapat mengakibatkan kesakitan.
Lalat betina makan dengan mengisap darah, sedangkan makanan lalat jantan
berupa nektar. Gigitan lalat betina ini dapat mengakibatkan iritasi pada kuda.
Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat diperoleh berbagai jenis lalat
Tabanidae yang ditangkap dari peternakan kuda, yaitu Tabanus lineo, T. fulvulus,
T. petiolatus, T. gladiator, T. melanocerus, T. nigripes, T. pumilus, T. sulcifrons,
T. americanus, T. sparus, T. atratus, T. trimaculafus, Chrysops calidus, C.
univittatus, dan C. vitfatus (Watson et al. 2007)
Lalat yang berperan penting pada peternakan kambing dan domba adalah
Oestrus ovis (O. ovis). Lalat ini merupakan penyebab Oestrosis. Oestrosis
merupakan penyakit yang disebabkan oleh larva lalat O. ovis yang dapat
mengakibatkan miasis. Lalat dewasa biasanya meletakkan larva di sekitar hidung
yang kemudian berkembang dan akan bergerak menuju hidung, sinus-sinus, dan
faring. Larva lalat ini merupakan parasit obligat pada hidung dan sinus kambing
dan domba (Gunalan et al. 2011).
Keragaman jenis lalat pengganggu hewan ternak berbeda dalam setiap jenis
ternaknya. Lalat pengganggu yang menyebar secara kosmopolitian di berbagai
peternakan, yaitu M. domestica dan S. calcitrans. Peternakan sapi perah dengan
pemeliharaan pada greenhouse banyak terperangkap lalat Stomoxys calcitrans (S.
calcitrans) dan Musca domestica (M. domestica) (Kaufman et al. 2005). Pada
peternakan unggas lalat pengganggu yang sering ditemukan, yaitu Muscina
stabulans, M. domestica, Chrysomia putoria, Crysomia megacephala, dan S.
calcitrans (Avancini dan Silveira 2000). Pada peternakan babi lalat pengganggu
yang ditemukan, yaitu S. calcitrans, M. domestica, dan Fannia cannicularis
(Meerburg et al. 2007).
Berbagai Jenis Lalat pada Peternakan Sapi Potong
Lalat yang sering ditemukan pada peternakan sapi potong adalah lalat yang
termasuk dalam lalat pengisap darah dan lalat bukan pengisap darah. Lalat
pengisap darah contohnya horn flies (H. irritans), buffalo flies (H. exigua), stable
flies (S. calcitrans), horse flies (Tabanus sp.), deer flies (Chrysops sp.). Selain
sebagai lalat pengisap darah, lalat-lalat ini dapat mengakibatkan stress dan
ketidaknyamanan bagi sapi potong. Pada peternakan sapi potong ada juga lalat
bukan pengisap darah, yaitu heel flies (Hypoderma bovis dan Hypoderma
5
lineatum). Lalat ini mengakibatkan agitasi selama masa bertelur, larva lalat ini
akan berinfestasi pada kulit dan mengakibatkan miasis. Terdapat pula lalat
sebagai vektor mekanik virus, bakteri, dan penyakit parasit lainnya, yaitu face
flies (Musca autumnalis) dan M. domestica.
Jenis lalat Musca yang distribusinya secara kosmopolitan adalah M.
domestica. Lalat ini dapat ditemukan di seluruh penjuru dunia dan dapat
ditemukan di setiap jenis peternakan, baik peternakan sapi potong, sapi perah,
unggas, babi, kerbau, kambing, dan domba. Di Arab Saudi pernah dilakukan
penelitian pada tahun 2008 dan 2009, ditemukan lalat M. domestica pada
peternakan sapi potong baik peternakan out-door dan in-door (Albarrak 2009).
S. calcitrans merupakan jenis lalat Muscidae yang distribusinya secara
kosmopolitan. Lalat ini banyak mengakibatkan kerugian bagi peternakan,
terutama peternakan sapi potong. Menurut penelitian Broce et al. (2005) di
Amerika Serikat, S. calcitrans merupakan hama utama yang bertahan selama dua
dekade yang ditemukan pada peternakan sapi potong dan kuda.
Haematobia hidup secara bergerombol pada sapi potong. Terdapat dua jenis
lalat Haematobia sesuai dengan distribusinya, yaitu H. irritans dan H. exigua. Di
wilayah Asia dan Australia, termasuk Indonesia hanya terdapat lalat jenis H.
exigua. Menurut Changbunjong et al. (2012) H. exigua merupakan hama utama
pada peternakan yang menyebabkan banyak kerugian, terutama kerugian ekonomi
pada peternakan sapi potong di Thailand.
Kerugian Akibat Keberadaan Lalat pada Peternakan Sapi Potong
Diptera ini merupakan salah satu bagian terbesar pembawa patogen yang
sangat berperan penting dalam medis dan kedokteran hewan (Habeeb 2012). Lalat
hidup sebagai ektoparasit yang berada di sekitar tubuh hewan ternak. Pada
peternakan lalat berperan sebagai pengganggu dan berbahaya bagi kesehatan
manusia dan hewan ternak. Lalat memiliki perilaku dan cara hidup yang
memungkinkan untuk melakukan transmisi kuman ke manusia dan hewan ternak
(Albarrak 2009). Lalat menyebabkan masalah ekonomi untuk semua hewan
ternak (sapi, unta, dan domba). Lalat mengurangi produksi daging pada
peternakan sapi potong karena lalat pengganggu dapat menghisap darah dan sapi
potong membutuhkan energi ekstra untuk menangkis keberadaan lalat penganggu
tersebut. Lalat mengganggu pekerja dan menurunkan produktivitas pekerja
peternakan, seperti saat memberi makan dan membersihkan kandang. Lalat
pengganggu memainkan peran utama dalam transmisi mikroorganisme yang
menyebabkan penyakit pada hewan dan manusia (Brazil et al. 2007). Lalat dapat
meningkatkan frekuensi penularan penyakit pada hewan ternak, sehingga
menyebabkan peningkatan biaya untuk jasa pengobatan hewan, tindakan
pengendalian
dan
pemberantasan,
serta
tindakan
menekan potensi penyebaran penyakit pada manusia.
M. domestica yang biasa disebut lalat rumah, lalat ini biasanya berada di
lingkungan peternakan dan perumahan. Menurut Vazirianzadeh et al. (2008)
lebih dari 100 agen patogen terkait dengan lalat rumah dapat menyebabkan
penyakit pada hewan dan manusia. Agen patogen ini dapat mengakibatkan
penyakit tipus, kolera, disentri basiler, TBC, antraks, ophtalmia dan diare, serta
sebagai pembawa parasit protozoa dan cacing.
6
S. calcitrans disebut juga stable fly atau lalat kandang. Lalat pengganggu ini
memiliki probosis tipe penusuk dan penghisap darah. Lalat ini juga
mengakibatkan kerugian ekonomi yang besar bagi produksi hewan karena rasa
sakit dan energi yang terbuang pada hewan dalam upaya menghindari gangguan
yang dihasilkan dari gigitan lalat (Castro et al. 2007). Adanya gigitan lalat ini
mengakibatkan inang akan kehilangan berat badan. Selain itu, kelemahan pada
inang ini akan mengakibatkan hewan lebih rentan terhadap penyakit.
Haematobia merupakan masalah kesehatan terbesar bagi hewan ternak di
Kanada dan Argentina (Torres et al. 2012). Lalat jantan dan betina makan 24-38
kali per hari dan menelan rata-rata 14.3 mg darah per terbang (Cupp et al. 1998).
Selain mengakibatkan penurunan produk daging, lalat ini juga sebagai vektor
mekanik penyakit trypanosomiasis (Sinshaw et al. 2006), Corynebacterium
pseudotuberculosis (Spier et al. 2004), Staphylococcus aureus (Gillespie et al.
1999), dan bovine anaplasmosis (Rodriguez et al. 2009).
Lalat pengganggu lainnya ada Tabanus. Lalat ini dapat disebut lalat kuda
(horse fly). Lalat ini merupakan penerbang yang tangguh dan penggigit persisten
yang aktif pada siang hari. Lalat ini selain sebagai penghisap darah yang ganas,
juga dapat menularkan beberapa penyakit yang berbahaya (Hadi dan Soviana
2010). Penyakit yang dapat ditularkan melalui lalat ini, yaitu trypanosomiasis
(Hennekeler et al. 2008), tularemia, dan antraks (Ihemanma et al. 2013).
MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan selama periode Juli 2012 sampai Januari 2013.
Penangkapan lalat dilakukan selama lima minggu, sejak 9 Juli 2012 hingga 10
Agustus 2012 pada siang hari pukul 09.00 sampai 17.00 WIB. Penangkapan lalat
dilakukan pada hari Senin sampai Jumat. Pada tiga minggu pertama penangkapan
lalat dilakukan di 18 peternakan rakyat Kabupaten Cirebon yang tersebar di 4
kecamatan (Kecamatan Sumber, Kecamatan Dukuh Puntang, Kecamatan Depok,
dan Kecamatan Talun). Pada dua minggu terakhir penangkapan lalat dilakukan di
peternakan besar Unit Pelaksana Teknis Daerah Balai Pengembangan Ternak
Potong (UPTD BPTP) Kecamatan Harjamukti, Kotamadya Cirebon. Identifikasi
dilakukan di Laboratorium Entomologi Bagian Parasitologi dan Entomologi
Kesehatan Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat
Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Metode Penelitian
1. Koleksi Sampel Lalat
Metode penangkapan lalat dilakukan dengan menggunakan sweeping net
(Gambar 1). Sweeping net (jaring serangga) digunakan untuk menangkap lalat dan
serangga terbang lainnya. Penggunaan sweeping net dilakukan dengan cara
mengayunkan jaring ke arah lalat yang akan dicari di sekitar sapi potong. Pada
peternakan rakyat penggunaan sweeping net ini dilakukan dengan cara
7
mengayunan jaring pada tiga titik berbeda di setiap kandang. Masing-masing titik
ini dilakukan pengayunan selama 10 menit. Pada peternakan besar penggunaan
sweeping net dilakukan pada tiga titik yang sama setiap harinya. Masing-masing
titik penangkapan dilakukan selama 10 menit. Penangkapan ini dilakukan
berulang sebanyak 10 kali selama 10 hari.
Lalat yang diperoleh dimatikan dengan kloroform. Penggunaan kloroform
ini sangat diperlukan karena dapat langsung mematikan lalat, sehingga lalat yang
telah tertangkap tidak banyak bergerak dan tidak merusak bagian-bagian tubuh
lalat tersebut. Semua lalat yang diperoleh dilakukan pencatatan dengan pemberian
label pada masing-masing tempat penangkapan.
Gambar 1 Sweeping net
2. Preservasi Spesimen
Preservasi spesimen lalat dilakukan dengan dua metode, yaitu preservasi
dalam cairan dan preservasi dengan cara kering (Hadi et al. 2011). Preservasi
dalam cairan ini, artinya lalat diawetkan dalam bentuk koleksi basah dengan cara
dimasukkan ke dalam alkohol 70%. Preservasi ini dilakukan sesegera mungkin
setelah lalat tersebut mati. Preservasi dalam cairan ini dilakukan pada lalat-lalat
yang bentuknya kecil dalam jumlah banyak.
Preservasi dengan cara kering dapat dilakukan dengan cara pinning atau
menusuk tubuh lalat dengan jarum. Penusukan lalat dilakukan secara tegak lurus.
Jarum ditusukkan pada bagian toraks sedikit ke sisi kanan atau kiri dari garis
tengah. Lalat yang bentuknya lebih kecil tidak dapat dilakukan penusukan
langsung. Lalat tersebut terlebih dahulu ditempelkan pada kertas segitiga dengan
menggunakan lem kuteks, kemudian kertas segitiga tersebut ditusukkan dengan
jarum.
Setelah preservasi selesai dilakukan, spesimen-spesimen tersebut harus
disimpan dengan cara hati-hati. Spesimen diberi label dan disimpan dalam kotakkotak penyimpanan lalat. Bagian dasar kotak penyimpanan ini harus lunak agar
jarum mudah ditusukkan. Bagian pojok kotak penyimpanan tersebut diberi kapur
barus. Penyimpanan secara hati-hati dan tepat ini dilakukan untuk memudahkan
saat proses identifikasi dan spesimen dapat tersimpan dengan baik agar terhindar
dari kerusakan bagian-bagian tubuh spesimen.
3. Identifikasi Spesimen
Proses identifikasi dilakukan dengan menggunakan kunci identifikasi.
Identifikasi terlebih dahulu dilakukan pengelompokkan lalat berdasarkan genus,
8
setelah itu dilakukan identifikasi spesies. Proses identifikasi ini dilakukan dengan
melihat morfologi yang membedakan dengan kelompok spesies yang lain. Kunci
identifikasi yang digunakan, yaitu Tumrasvin dan Shinonaga 1977, Tumrasvin
dan Shinonaga 1978, dan Tumrasvin dan Shinonaga 1982.
Data Cuaca dan Sistem Peternakan
Pengumpulan data sekunder berupa data cuaca, yaitu jumlah hari hujan,
jumlah curah hujan, suhu, dan kelembapan yang diperoleh dari Stasiun
Meteorologi Jatiwangi Majalengka Jawa Barat. Selain itu, data tentang sistem
manajemen peternakan dikedua macam peternakan ini dikumpulkan melalui
wawancara dan pengamatan.
Analisis Data
1. Kelimpahan Nisbi
Kelimpahan nisbi adalah perbandingan jumlah individu lalat pengganggu
spesies tertentu terhadap total jumlah spesies lalat yang diperoleh dan dinyatakan
dalam persen.
Kelimpahan Nisbi =
Kelimpahan nisbi dapat dibagi dalam 5 kategori yaitu (1) sangat rendah (kurang
dari 1%), (2) rendah (1% sampai 10%), (3) sedang (10% sampai 20%), (4) tinggi
(20% sampai 30%), dan (5) sangat tinggi (di atas 30%) (Hadi et al. 2011).
2. Frekuensi Lalat Tertangkap
Frekuensi lalat tertangkap dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah
penangkapan diperolehnya spesies lalat tertentu terhadap jumlah total
penangkapan.
Frekuensi =
3. Dominasi Spesies (%)
Angka dominasi spesies dihitung berdasarkan hasil perkalian antara
kelimpahan nisbi dengan frekuensi lalat tertangkap spesies tersebut dalam satu
waktu penangkapan.
Dominasi spesies =
4. Korelasi antara Kepadatan Lalat dengan Cuaca (Suhu dan Kelembapan)
Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui hubungan cuaca (suhu dan
kelembapan) terhadap fluktuasi kepadatan lalat. Analisis menggunakan software
Minitab 16.
9
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Peternakan Rakyat dan Peternakan Besar
Peternakan Rakyat
Peternakan sapi potong rakyat merupakan usaha sambilan yang dilakukan
oleh masyarakat desa. Pembentukan peternakan ini dengan tujuan sebagai
pekerjaan sampingan dan bukan merupakan pekerjaan pokok. Peternakan rakyat
dibatasi oleh usaha kecil, teknologi sederhana, sistem manajemen sederhana,
produktivitas rendah, dan mutu produk tidak seragam, serta masih berbasis
kekeluargaan. Kandang ternak biasanya berada di sekitar rumah dan wilayah
pemukiman warga (Gambar 2A). Selain itu, jumlah sapi yang dipelihara sedikit
berkisar 1 sampai 24 ekor sapi.
Pada peternakan rakyat ini memiliki sistem perkandangan yang cukup layak
untuk pemeliharaan sapi potong (Gambar 2B) . Secara umum kandang dibuat dari
kayu atau bambu. Alas kandang sudah layak dibuat dari pasir dan semen. Atap
kandang sudah dilengkapi dengan kanopi yang baik, sehingga sapi potong
terlindungi dari panas matahari dan hujan. Kandang juga dilengkapi dengan
tempat pakan dan minum yang mudah dijangkau oleh hewan ternak. Kepadatan
cukup karena luasnya kandang sesuai dengan jumlah ternak yang dipelihara. Ada
beberapa peternakan sapi potong menggunakan sistem perkandangan yang
dicampurkan dengan hewan lain, seperti ayam dan kambing peranakan etawa
(Gambar 2C).
Pemeliharaan sapi potong pada peternakan rakyat dilihat dari segi
pemberian pakan sudah cukup baik. Sapi potong yang dipelihara diberikan pakan
dan minum cukup. Pakan biasanya diberikan sebanyak tiga kali sehari. Pakan
berupa rumput dan jerami. Ada satu peternakan memberikan pakan dicampurkan
dengan tetes tebu. Pencampuran tetes tebu ini bertujuan untuk mengurangi bau
ternak. Pemberian air minum diberikan secara adlibitum. Pada beberapa
peternakan rakyat pemberian air minum dicampur dengan air tempe dan garam
dapur.
Penanganan feses pada peternakan rakyat dapat dikatakan masih kurang
baik. Terdapat beberapa peternakan rakyat yang belum memanfaatkan feses
secara maksimal, feses hanya dibuang dan dikumpulkan di belakang kandang
(Gamba 2D). Pembuangan feses sekitar kandang ini akan terjadi menumpukan
feses dan bau yang tidak sedap yang dapat mengganggu kenyamanan hewan
ternak dan masyarakat di sekitar peternakan. Cara pembuangan feses juga
dilakukan dengan cara membuangnya ke dalam lubang pembuangan feses yang
sengaja dibuat oleh peternak. Selain itu, feses ditangani oleh peternak dengan cara
dikeringkan terlebih dahulu, kemudian feses dibakar, tetapi ada juga beberapa
peternakan rakyat yang sudah mulai memanfaatkan feses secara maksimal, seperti
pembuatan pupuk kompos dan pupuk kandang.
Peternak sangat memperhatikan kebersihan sapi potong dan kandang.
Sebagian besar peternakan tempat pengambilan sampel lalat ini membersihkan
kandang sehari sebanyak dua kali, yaitu pada pagi dan sore hari, sedangkan sapi
potong dimandikan sehari sebanyak satu kali. Perhatian yang lebih ini dilakukan
10
karena sebagian besar peternakan rakyat yang ada lokasinya berada di tengahtengah
Gambar 2 (A) Kandang ternak berada di sekitar pemukiman warga, (B) sistem
perkandangan sudah cukup layak, (C) kandang sapi potong
dicampurkan dengan ternak lainnya, seperti ayam dan kambing
peranakan etawa, (D) feses dibuang dan dikumpulkan di sekitar
kandang, (E) pembakaran rumput kering untuk mengusir lalat, (F)
pemasangan jaring kelambu untuk mencegah lalat masuk ke dalam
kandang.
karena sebagian besar peternakan rakyat yang ada lokasinya berada di tengahtengah pemukiman warga, sehingga kebersihan lebih diperhatikan agar tidak
mengganggu kenyamanan hidup warga sekitar.
Kesehatan sapi potong pada peternakan rakyat lebih ditangani secara
individu oleh peternak sendiri. Dokter hewan belum banyak terlibat dalam
menangani masalah kesehatan sapi potong pada peternakan rakyat di daerah
Cirebon ini. Ada beberapa peternakan rakyat yang sadar akan keberadaan lalat
pengganggu yang biasa menyerang sapi potong. Peternak menyemprotkan
insektisida pada sapi potong setiap harinya. Selain penggunaan insektisida, ada
peternak yang melakukan pembakaran rumput kering di sekitar kandang untuk
mencegah lebih banyaknya keberadaan lalat pengganggu pada sapi potong
(Gambar 2E). Menurut para peternak, pencegahan terhadap lalat pengganggu
dapat dilakukan pula dengan cara menaburkan abu di sekitar kandang dan
terkadang pada tubuh sapi potong. Beberapa kandang pada peternakan rakyat ini
11
menggunakan kelambu untuk mengurangi masuknya lalat penganggu ke dalam
kandang (Gambar 2F)
Pada peternakan rakyat tujuan pemeliharaan sapi hanya untuk penggemukan
saja tidak untuk pembibitan. Biasanya peternak membeli sapi potong pedet atau
sapi dara, kemudian dipelihara untuk digemukkan. Peternak juga membeli sapi
potong kurusan yang kemudian dipelihara untuk digemukkan. Sapi-sapi ini akan
dijual pada musim kurban atau untuk kebutuhan hajatan warga sekitar.
Peternakan Besar (UPTD BPTP Kota Cirebon)
UPTD BPTP Kota Cirebon merupakan suatu balai pengembangan ternak
sapi potong yang didirikan oleh pemerintahan Kotamadya Cirebon dibawah
pengawasan Dinas Kelautan, Perikanan, Peternakan, dan Pertanian Kota Cirebon.
Balai ini memiliki tugas pokok memberi petunjuk, membagi tugas, membimbing,
memeriksa, mengoreksi, mengawasi, merencanakan, dan melaksanakan kegiatan
teknis operasional urusan penyelenggaraan pelayanan perbibitan ternak potong.
Tugas pokok ini meliputi pelaksanaan proses alih mudigah dan plasma nutfah
ternak potong, pelaksanaan pemeliharaan, perkawinan, breeding, dan pencatatan
(recording) pembibitan ternak potong, serta pemasaran hasil produksi ternak
potong dan hasil ikutannya.
Peternakan ini terletak di daerah yang jauh dari pemukiman warga (Gambar
3A). Di sekitar peternakan terdapat hutan dan tidak jauh dari wilayah peternakan
ini terdapat tambang pasir. Lahan di sekitar peternakan dijadikan lahan untuk
penanaman rumput gajah saat musim penghujan (Gambar 3B).
Gambar 3 (A) Peternakan terletak jauh dari pemukiman, (B) lahan di sekitar
peternakan dijadikan untuk penanaman rumput gajah, (C) kandang
terdiri dari tiga blok kandang, yaitu kandang A-B, C-D, dan E-F, (D)
tempat pakan dan minum menyatu dengan kandang.
12
Peternakan ini memiliki tujuan pemeliharaan yang berbeda dengan
peternakan rakyat. Tujuan pemeliharaan ini sesuai dengan tugas pokok yang
diberikan oleh pemerintahan Kota Cirebon, yaitu tujuan pemeliharaan untuk
pembibitan ternak potong, sedangkan peternakan rakyat hanya untuk
penggemukan. Sapi potong yang terdapat dalam peternakan ini sebanyak 104 ekor
sapi betina. Proses perkawinan melalui inseminasi buatan.
Sistem kandang pada peternakan ini terdiri dari tiga blok kandang, yaitu
kandang A-B, kandang C-D, dan kandang E-F (Gambar 3C). Masing-masing blok
ini terdiri pula dari beberapa blok. Satu blok ini dapat berisi 3-4 ekor sapi dewasa
atau 5-7 ekor sapi anak. Kandang berdiri kokoh terbuat dari pipa besi sebagai
pembatas blok dan kayu kuat sebagai penyangga kandang. Atap kandang terbuat
dari asbes, sedangkan alas kandang terbuat dari semen. Tempat pakan dan air
minum menyatu dengan kandang terbuat dari semen (Gambar 3D).
Pakan yang diberikan pada ternak berupa pakan hijauan dan konsentrat.
Pemberian pakan sebanyak tujuh kali dalam sehari semalam. Pakan hijauan
berupa jerami dan rumput gajah. Pakan jerami diberikan pada ternak saat musim
kemarau, sedangkan pakan rumput gajah diberikan saat musim penghujan. Pakan
hijauan ini selalu tersedia penuh dalam kandang. Pakan konsentrat berupa
campuran onggok dan dedak. Pakan konsentrat ini diberikan pagi hari saja setiap
hari.
Penanganan kebersihan ternak dan kandang belum maksimal dilakukan.
Kandang pada peternakan ini terlihat sangat kotor dengan feses dan urin sapi yang
bertumpuk di alas kandang. Di pinggiran kandang banyak feses yang menumpuk.
Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari pekerja, peternakan ini dibersihkan
sehari sekali, tetapi untuk kebersihan sapi itu sendiri hanya dilakukan dengan
memandikan sapi satu kali dalam sebulan.
Keragaman Jenis Lalat pada Peternakan Rakyat dan Peternakan Besar
Pada penelitian ini ditemukan beberapa jenis lalat penganggu, yakni S.
calcitrans, H. exigua, M. domestica, T. megalops, T. rubidus, dan M. seniorwhitei.
Jenis-jenis lalat ini juga ditemukan pada peternakan besar. Selain itu, di
peternakan besar juga diperoleh S. indicus.
M. domestica yang diperoleh pada 18 peternakan rakyat sebanyak 53 lalat
(16.56%), sedangkan pada peternakan besar diperoleh 254 lalat (2.19%) (Tabel 1).
Tabel 1 Jumlah dan persentase spesies lalat
Peternakan rakyat
Spesies lalat
Jumlah
Persentase (%)
16.56
M. domestica
53
0.31
M. seniorwhitei
1
23.44
H. exigua
75
57.19
S. calcitrans
183
0.00
S. indicus
0
1.25
T. megalops
4
1.25
T. rubidus
4
Total
320
Peternakan Besar
Jumlah
Persentase (%)
2.19
254
0.01
1
97.64
11,312
0.12
14
0.01
1
0.02
2
0.01
1
11,585
13
4.86 mm
Gambar 4 (A) Bentuk umum M. domestica, (B) tipe mulut penghisap, (C) arista
berambut pada bagian ventral dan dorsal, (D) venasi sayap, (E) toraks
(F) abdomen.
M. domestica dewasa berukuran panjang 5.8-6.5 mm untuk jantan dan 6.5-7.5 mm
untuk betina (Gambar 4A). Ciri khas lalat ini terdapat pada bagian ujung probosis
(labela) melebar dan memiliki struktur seperti spons berfungsi untuk menyerap
makanan (Gambar 4B). Arista berambut pada bagian ventral dan dorsal (Gambar
4C). Vena sayap membentuk lengkungan sudut yang tajam pada bagian M 1+2 dan
R 5 agak tertutup ke distal (Gambar 4D). Toraks berwarna kelabu dengan empat
ban hitam longitudinal (Gambar 4E). Abdomen berwarna kuning juga merupakan
ciri khas lalat M. domestica (Gambar 4F).
M. seniorwhitei yang diperoleh pada peternakan rakyat hanya 1 lalat
(0.31%), jumlah ini sama dengan di peternakan besar hanya 1 lalat (0.01%) (Tabel
1). Distribusi M. seniorwhitei di Indonesia berada pada Jawa dan Sumatera
(Huang et al. 2007). M. seniorwhitei ini memiliki bentuk yang sama dengan M.
domestica, ciri khas lalat ini terletak pada tibia bagian tengah anteroventral
berbulu dan garis tengah berwarna hitam abdomen terbentuk sempurna
(Tumrasvin dan Shinonaga 1977).
H. exigua yang diperoleh pada peternakan rakyat sebanyak 75 lalat
(23.44%), sedangkan pada peternakan besar diperoleh sebanyak 11,312 lalat
(97.64%) (Tabel 1). Jumlah perolehan lalat H. exigua ini tertinggi pada
peternakan
Gambar 5 (A) Bentuk umum H. exigua, (B) tipe mulut penusuk dan pengisap
darah, (C) arista berambut pada bagian dorsal, (D) venasi sayap, (E)
toraks (F) abdomen.
14
4.16 mm
Gambar 6 (A) bentuk umum S. calcitrans, (B) tipe mulut penusuk dan pengisap
darah, (C) arista berambut pada bagian dorsal, (D) venasi sayap, (E)
toraks, (F) abdomen.
peternakan besar. H. exigua memiliki ukuran tubuh setengah dari lalat rumah,
yaitu 4 mm (Gambar 5A). Panjang palpus maksila sama panjangnya dengan
probosis. Probosis tipe penusuk dan pengisap darah (Gambar 5B). Arista
berambut pada bagian dorsal saja (Gambar 5C). Venasi sayap mirip dengan venasi
sayap pada S. calcitrans, yaitu vena sayap M 1+2 melengkung halus dan sel R 5
terbuka di distal (Gambar 5D). Toraks berwarna kelabu dengan dua ban hitam
longitudinal pada permukaannya (Gambar 5E). Abdomen berwarna kelabu,
bagian abdomen ini tidak memberikan ciri khas morfologi lalat H. exigua
(Gambar 5F).
S. calcitrans yang diperoleh pada peternakan rakyat sebanyak 183 lalat
(57.19%), sedangkan pada peternakan besar diperoleh sebanyak 14 lalat (0.12%)
(Tabel 1). Pada peternakan rakyat S. calcitrans yang diperoleh nilai persentasenya
tertinggi dibandingkan dengan pada peternakan besar. Ukuran tubuh S. calcitrans
hampir sama dengan M. domestica, yaitu 4-6 mm (Gambar 6A). Lalat ini
memiliki probosis dengan tipe penusuk dan pengisap darah (Gambar 6B). Arista
berambut hanya pada bagian dorsal (Gambar 6C). Sayap jernih dengan vena sayap
M 1+2 melengkung halus dan sel R 5 terbuka di distal (Gambar 6D). Bagian toraks
memiliki empat ban hitam longitudinal (Gambar 6E). Abdomen memiliki pola
spoy
diperoleh
Gambar 7 (A) bentuk umum T. megalops dan T. rubidus, (B) ukuran tubuh T.
rubidus, (C) ukuran tubuh T. megalops, (D) tipe mulut, (E) kalus T.
megalops.
15
spot dengan garis tengah pendek dan luas, serta bagian tergite kedua dan ketiga
terdapat spot membulat pada bagian lateral (Gambar 6F).
Lalat Stomoxys lain yang diperoleh pada peternakan besar, yaitu S. indicus.
Wilayah distribusi lalat ini berada pada Taiwan, Burma, China, India, Indonesia,
Jepang, Filipina, Sri Lanka, dan Vietnam (Huang et al. 2007). Pada peternakan
besar lalat ini diperoleh hanya 1 lalat (0.01%) (Tabel 1). Abdomen memiliki pola
spot dengan garis tengah yang menyatu pada tergite kedua dan ketiga, serta pada
tergite kesatu, kedua, dan ketiga terdapat spot horizontal panjang dan lebar
(Tumrasvin dan Shinonaga 1978).
Pada peternakan rakyat T. megalops dan T. rubidus yang diperoleh masingmasing 4 lalat (1.25%), sedangkan pada peternakan besar T. megalops yang
diperoleh sebanyak 2 lalat (0.01%) dan T. rubidus 1 lalat (0.02%). Lalat Tabanus
merupakan ektoparasit yang memiliki tubuh besar dan kokoh, berukuran 5-25 mm
(Gambar 7B dan 7C). T. rubidus biasanya memiliki ukuran tubuh yang lebih besar
dibandingkan dengan T. megalops (Gambar 7A). Bagian mulut terdiri atas
probosis yang pendek dengan maksila yang bekerja seperti pisau untuk merobek,
serta bagian labrum-epifarings dan hipofarings sebagai penusuk dan pengisap
(Gambar 7D). Kalus pada lalat T. megalops berwarna hitam memanjang tanpa ada
celah pemisah (Gambar 7E), sedangkan kalus pada T. rubidus berwarna hitam dan
terpisah oleh celah.
Kelimpahan Nisbi, Frekuensi, dan Dominasi Spesies Lalat
Pada peternakan rakyat diperoleh kelimpahan nisbi sangat tinggi pada lalat
S. calcitrans (57.19%). Kelimpahan nisbi tinggi terdapat pada H. exigua
(23.44%), kemudian kelimpahan nisbi sedang pada M.domestica (16.56%).
Kelimpahan nisbi rendah terdapat pada lalat T. megalops dan T. rubidus (1.25%),
diikuti oleh M. seniorwhitei (0.31%) dengan kelimpahan nisbi sangat rendah.
Frekuensi tertinggi terdapat pada lalat S. calcitrans (1.00), diikuti dengan M.
domestica (0.72), H. exigua (0.22), T. megalops (0.22), T. rubidus (0.11), dan M.
seniorwhitei (0.06). Nilai frekuensi yang diperoleh ini dapat digunakan untuk
perhitungan persentase dominasi spesies lalat. Persentase dominasi spesies lalat
tertinggi, yaitu S. calcitrans (57.19%), diikuti dengan M. domestica (11.92%), H.
senio
Tabel 2 Data kelimpahan nisbi, frekuensi, dan dominasi spesies pada peternakan
rakyat dan peternakan besar
Peternakan Rakyat
Peternakan Besar
Spesies Lalat
KN (%) Frek Dom (%) KN (%) Frek Dom (%)
16.56
0.72
11.92
2.19
1.00
2.19
M. domestica
0.31
0.06
0.02
0.01
0.10
0.00
M. seniorwhitei
23.44
0.22
5.16
97.64
1.00
97.64
H. exigua
57.19
1.00
57.19
0.12
0.90
0.11
S. calcitrans
0.00
0.00
0.00
0.01
0.10
0.00
S. indicus
1.25
0.22
0.28
0.02
0.20
0.00
T. megalops
1.25
0.11
0.14
0.01
0.10
0.00
T. rubidus
KN = kelimpahan nisbi, Frek = frekuensi, Dom = dominasi
16
exigua (5.16%), T. megalops (0.28%), T. rubidus (0.14%), dan M. seniorwhitei
(0,02%).
Pada peternakan besar diperoleh kelimpahan nisbi sangat tinggi pada lalat
H. exigua (97.64%). Kelimpahan nisbi rendah terdapat pada M. domestica
(2.19%). Kelimpahan nisbi sangat rendah pada lalat S. calcitrans (0.12%), T.
megalops (0.02%), M.seniorwhitei (0.01%), dan S. indicus (0.01%), dan T.
rubidus (0.01%). Frekuensi tertinggi saat penangkapan terdapat pada lalat
H.exigua (1.00) dan M. domestica (1.00), kemudian diikuti S. calcitrans (0.90), T.
megalops (0.20), M. seniorwhitei (0.10), S. indicus (0.10), dan T. rubidus (0.10).
Nilai frekuensi ini digunakan untuk menentukan nilai dominasi spesies lalat.
Dominasi spesies lalat tertinggi pada lalat H. exigua (97.64%), kemudian diikuti
lalat M. domestica (2.19%) dan S. calcitrans (0.11%).
Hasil perhitungan tersebut dapat dibandingkan antara peternakan rakyat
dengan peternakan besar. Pada peternakan besar kelimpahan nisbi spesies lalat
lebih bervariasi, tetapi nilainya rendah. Berbeda dengan kelimpahan nisbi pada
peternakan rakyat, kelimpahan nisbi spesies lalat cukup bervariasi dengan nilai
yang lebih tinggi dibandingkan dengan peternakan besar. Selama proses
penangkapan spesies lalat yang selalu diperoleh dan tertangkap pada peternakan
rakyat, yaitu S. calcitrans, sedangkan pada peternakan besar, yaitu H. exigua dan
M. domestica.
Spesies lalat yang mendominasi pada peternakan rakyat, yaitu S. calcitrans
(57.19%). S. calcitrans lebih dominan ditemukan pada peternakan rakyat, hal ini
terjadi karena peternakan rakyat memiliki luas peternakan yang lebih sempit
dibandingakan dengan peternakan besar. Sempitnya luas peternakan ini
mengakibatkan bau khas yang dihasilkan oleh ternak akan tercium lebih kuat oleh
S. calcitrans. Bau khas yang dihasilkan oleh ternak berperan sebagai penarik
beberapa jenis Stomoxys (Torr et al. 2006). Selain itu, S. calcitrans lebih
menyukai meletakkan telur pada tumpukan manure yang banyak terdapat pada
peternakan rakyat. S. calcitrans tidak mendominasi pada peternakan besar, lalat
ini memiliki nilai dominasi yang sangat kecil dibandingkan dengan nilai dominasi
pada peternakan rakyat. Menurut Muenworn et al. (2010) S. calcitrans tidak
menyukai area yang luas dan terbuka. S. calcitrans lebih menyukai mengisap
darah pada ternak yang dipelihara untuk tujuan penggemukan karena pada
umumnya ternak ini ditempatkan pada area terbatas atau dikandangkan.
Keragaman jenis lalat yang terdapat dalam peternakan rakyat tergolong
bervariasi. Tetapi variasi ragam jenisnya tidak memiliki populasi yang cukup
tinggi. Walaupun dengan manajemen yang sederhana, ada beberapa peternakan
rakyat yang sudah menggunakan insektisida untuk mengendalikan lalat pada
ternak. Insektisida merupakan senyawa kimia yang digunakan untuk
mengendalikan populasi serangga yang merugikan manusia, ternak, tanaman, dan
sebagainya yang diusahakan manusia untuk kesejahteraan hidupnya agar kerugian
dan gangguan dapat ditekan sekecil mungkin (Hadi dan Soviana 2010). Populasi
lalat pada peternakan rakyat tergolong kecil juga dipengaruhi oleh tindakan para
peternak yang dapat mengendalikan populasi lalat dengan cara pemberian abu
pada kandang dan tubuh sapi. Pemberian abu ini bertujuan untuk mengurangi bau
yang dihasilkan feses sapi potong dan mempercepat pengeringan feses dan
manure sehingga dapat menghambat tempat perkembangbiakan lalat. Selain itu,
17
pengendalian sederhana yang dilakukan peternak dengan cara membakar rumput
kering di sekitar kandang sehingga lalat di sekitar tubuh sapi potong berkurang.
Dominasi spesies lalat tertinggi pada lalat H. exigua (97.64%) karena selain
kelimpahan nisbi tinggi, juga diperoleh dalam seluruh frekuensi penangkapan. H.
exigua merupakan jenis lalat yang lebih menyukai darah sapi (Kuramochi 2000).
Tidak seperti diptera lainnya yang makan sedikit-sedikit untuk memenuhi
perkembangbiakannya, sedangkan lalat H. exigua membutuhkan makan sepanjang
24 jam sehingga lalat ini selalu berada di dekat inangnya karena sifat tersebut H.
exigua lebih banyak tertangkap. H. exigua juga merupakan lalat yang cenderung
memilih inang yang cocok. Jika lalat ini telah menemukan inang yang cocok
maka lalat ini tidak akan berpindah inang dan akan menjadikan inang yang
ditempatinya sebagai inang tetap. H. exigua juga merupakan jenis lalat yang biasa
hidup sebagai suatu kawanan (Pruett et al. 2003) sehingga setiap kali
penangkapan diperoleh lalat H. exigua dalam jumlah banyak. Hal ini
mengakibatkan nilai dominasi tertinggi lalat H. exigua pada peternakan besar.
H. exigua akan lebih cenderung berkembang biak pada wilayah peternakan
besar ini. Larva lalat akan berkembang dalam feses segar hewan ternak dengan
bantuan bakteri yang terdapat dalam feses. Hal ini mengakibatkan lalat terus
berkembang biak dalam peternakan dan mengalami siklus hidup tetap dalam
peternakan ini. Kondisi peternakan besar ini yang kurang memperhatikan
kebersihan kandang, sapi potong dimandikan hanya sebulan sekali, dan
banyaknya tumpukan feses yang ada di sekitar kandang mengakibatkan lalat lebih
men