Keragaman Jenis Lalat Pengganggu dan Potensi Permasalahannya pada Ternak Sapi Potong di Bondowoso

KERAGAMAN JENIS LALAT PENGGANGGU DAN POTENSI
PERMASALAHANNYA PADA TERNAK SAPI POTONG
DI BONDOWOSO

PRILLIA NUR SYAFITTRI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keragaman Jenis Lalat
Penganggu dan Potensi Permasalahannya pada Ternak Sapi Potong di Bondowoso
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, November 2013
Prillia Nur Syafittri
NIM B04090054

ABSTRAK
PRILLIA NUR SYAFITTRI. Keragaman Jenis Lalat Pengganggu dan Potensi
Permasalahannya pada Ternak Sapi Potong di Bondowoso. Dibimbing oleh SUSI
SOVIANA.
Penelitian ini bertujuan mempelajari keragaman jenis dan dominasi lalat
pengganggu pada peternakan sapi potong di Bondowoso. Selain itu juga untuk
mengetahui risiko akibat keberadaan lalat pada peternakan sapi potong.
Pengambilan sampel dilakukan pada 14 peternakan rakyat dan 1 peternakan
komunal. Alat yang digunakan untuk mengumpulkan sampel adalah jaring
serangga. Seluruh sampel kemudian diidentifikasi dan dianalisis untuk
mengetahui kepadatan lalat. Kepadatan lalat dinyatakan dengan kelimpahan nisbi
dan dominasi spesies. Keragaman jenis lalat yang ditemukan di Bondowoso
adalah Haematobia exigua, Stomoxys calcitrans, Musca domestica, Hippobosca
variegata, dan Tabanus megalops. Spesies lalat yang paling dominan adalah
Haematobia exigua dengan nilai dominasinya 87.88% pada peternakan rakyat dan

89.27% pada peternakan komunal. Banyaknya feses segar pada peternakan
memengaruhi jumlah Haematobia exigua karena cocok sebagai tempat
perkembangbiakan lalat tersebut. Lalat ini berisiko membawa agen penyakit
Stephanofilaria, Trypanosoma evansi, dan Bacillus anthracis.
Kata kunci: keragaman jenis, lalat pengganggu, risiko penyakit, sapi potong

ABSTRACT
PRILLIA NUR SYAFITTRI. The Diversity of Filth Flies and Their Potential
Problems in Cattle Farms in Bondowoso. Supervised by SUSI SOVIANA.
The aim of this research was to study the diversity of species and the
dominance of filth flies on beef cattle farms in Bondowoso. In addition, this
research was to study the risk due to the presence of filth flies on beef cattle
farms. The samples were carried out on 14 traditional farms and 1 communal
farm. The samples were taken by sweeping net, then it had identified and analyzed
to determine the density of flies. Fly density was expressed with relative
abundance and species dominance. The diversity of flies in Bondowoso were
Haematobia exigua, Stomoxys calcitrans, Musca domestica, Hippobosca
variegata, and Tabanus megalops. The most dominant species was Haematobia
exigua. The dominance value of Haematobia exigua on traditional farms was
87.88% and 89.27% on communal farm. A lot of fresh cow dungs in those farms

influence the number Haematobia exigua because fresh cow dung was a suitable
breeding place for these flies. These flies may carry Stephanofilaria,
Trypanosoma evansi, and Bacillus anthracis.
Keywords: cattle farm, diseases risk, diversity, filth flies

KERAGAMAN JENIS LALAT PENGGANGGU DAN POTENSI
PERMASALAHANNYA PADA TERNAK SAPI POTONG
DI BONDOWOSO

PRILLIA NUR SYAFITTRI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2013

Judul Skripsi : Keragaman Lalat Pengganggu dan Potensi Permasalahannya pada
Ternak Sapi Potong di Bondowoso
Nama
: Prillia Nur Syafittri
NIM
: B04090054

Disetujui oleh

Dr drh Susi Soviana, MSi
Pembimbing

Diketahui oleh

Drh Agus Setiyono, PhD, APVet
Wakil Dekan

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2012 ini ialah lalat
pengganggu, dengan judul Keragaman Jenis Lalat Pengganggu dan Potensi
Permasalahannya pada Ternak Sapi Potong di Bondowoso.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr drh Susi Soviana, MSi selaku
pembimbing atas segala bimbingan dan Ibu drh Upik Kesumawati Hadi, MS,
PhD, dorongan, saran dan kritik yang diberikan selama penulisan skripsi ini.
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Heri, drh
Supriyono, dan seluruh staf laboratorium entomologi FKH IPB yang telah
membantu dalam proses identifikasi spesimen. Di samping itu, penulis juga
mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr drh Chairun Nisa’, MSi, PAVet
selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama
menjadi mahasiswa di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr drh Hj Umi
Cahyaningsih, MS selaku dosen penilai dalam seminar hasil penelitian ini. Terima
kasih penulis ucapkan pada drh. Herwin Pisestyani, MSi selaku dosen moderator
yang telah membantu kelancaran seminar hasil penelitian penulis. Selain itu

penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr Nastiti Kusumorini dan drh.
Mawar Suabngkit, MSi selaku dosen penguji luar pada Ujian Akhir Sarjana
Kedokteran Hewan yang telah memberikan saran, kritik, dan ilmu bagi penulis.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah Drs Sudjoko, ibu Dra
Rika Wahyuni, adik Cahyadesthian Rizki Widigda, serta seluruh keluarga atas
segala doa dan kasih sayangnya, serta dukungan yang telah diberikan selama ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman seperjuangan selama
penelitian (Ikasari) dan teman-teman seangkatan Geochelone 46, khususnya Awit,
Ayu A, Fitri, Irnanda, Neta, Nindya, Ilmi, Novia, Ridha, dan Ina. Terima kasih
kepada teman-teman Omda Bondowoso Ikapindo yang telah memberikan
semangat dan dukungan kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih
atas segala dukungan doa dan semangat kepada Panitia Kurban 2013, khususnya
drh. Chaerul Basri, M.Epid dan Dr Ir Etih Sudarnika, MSi,. Terima kasih atas
dukungan teman-teman kesekretariatan Panitia Kurban 2013 drh Mira Fatmawati,
MSi, Haddi, Ikhsan, Bagus, Lucky dan Nindya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak
kesalahan. Saran dan kritik sebagai evaluasi yang membangun bagi penulis sangat
diharapkan. Terlepas dari kekurangan dan kesalahan yang ada, penulis berharap
semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


Bogor, November 2013
Prillia Nur Syafittri

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

ix

DAFTAR TABEL

x

PENDAHULUAN
Latar Belakang

1

Perumusan masalah

1


Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA
Keadaan Geografis Kabupaten Bondowoso

2

Sistem Manajemen Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Bondowoso

2

Ragam Jenis Lalat Penganggu pada Sapi


3

Peranan Lalat pada Peternakan Sapi

4

MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat

6

Koleksi Lalat di Peternakan Sapi

6

Preservasi dan Identifikasi Lalat

7

Analisis Data


7

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Peternakan

8

Kondisi Mikroklimat Kandang

9

Ragam Jenis Lalat pada Peternakan Sapi Potong

10

Kepadatan dan Dominasi Lalat pada Peternakan Sapi Potong

15


Potensi Permasalahan Keberadaan Lalat pada Peternakan Sapi Potong

16

PENUTUP
Simpulan

18

Saran

18

DAFTAR PUSTAKA

18

RIWAYAT HIDUP

24

DAFTAR TABEL
1 Ragam jenis lalat pengganggu pada sapi di peternakan rakyat
dan peternakan komunal, Juli hingga Agustus 2012
2 Ragam jenis, kelimpahan nisbi, frekuensi tertangkap, dan
dominasi spesies lalat pengganggu pada sapi di peternakan
rakyat dan peternakan komunal, Juli hingga Agustus 2012

11

15

DAFTAR GAMBAR
1 Jaring serangga
2 Kondisi kandang peternakan rakyat di Desa Kupang,
Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, Juli 2012
3 Kondisi kandang peternakan komunal di Desa karang Melok,
Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, Agustus 2012
4 Spesimen Haematobia exigua
5 Spesimen Stomoxys calcitrans
6 Spesimen Musca domestica
7 Spesimen Hippobosca variegata
8 Spesimen Tabanus megalops

7
9
9
12
13
13
14
14

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jumlah sapi potong di Indonesia meningkat sebesar 3.92% pada 2013
berdasarkan Data Populasi Sapi Potong menurut Provinsi yang diterbitkan oleh
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan pada Bulan Juli 2013.
Konsumsi daging sapi di masyarakat pada 5 tahun terakhir juga mengalami
peningkatan sebesar 14.29% (Ditjennak 2013). Peningkatan konsumsi ini
berpengaruh terhadap jumlah dan ketersediaan sapi di Indonesia. Menggalakkan
peternakan sapi potong dalam negeri merupakan salah satu cara untuk memenuhi
konsumsi masyarakat.
Peternakan yang berkembang saat ini tidak hanya peternakan besar, namun
juga peternakan tradisional. Peternakan tradisional biasanya dikelola masyarakat
perseorangan dengan jumlah sapi yang berbeda-beda. Kedua peternakan tersebut
berbeda dalam jumlah sapi yang dipelihara, tujuan dan manajemen
pemeliharaannya. Peternak tradisional biasanya kurang memerhatikan kebersihan
ternak dan kandang. Tumpukan kotoran ternak pada kandang dapat mengundang
serangga, misalnya lalat yang dapat menimbulkan gangguan bagi ternak. Lalat
dapat menjadi perantara bagi agen penyakit ternak. Surra merupakan contoh
penyakit ternak yang penyebarannnya diperantarai oleh Tabanus (van Hennekeler
et al. 2006).
Selain masalah kesehatan, gangguan lalat pada peternakan sapi potong
adalah masalah ekonomi. Lalat dapat menyebabkan pertambahan bobot badan
sapi tidak optimal. Menurut Taylor et al. (2012), kerugian ekonomi yang
diakibatkan oleh gangguan lalat pada industri sapi di Amerika Serikat adalah
2.211 juta dollar per tahun. Kerugian ini diakibatkan oleh Stomoxys calcitrans,
baik pada sapi potong maupun sapi perah. Keberadaan lalat tersebut menyebabkan
penurunan produksi susu sekitar 139 liter/sapi/tahun dan penurunan bobot badan
sebesar 9 kg/sapi/tahun pada sapi potong.

Perumusan Masalah
Lalat dapat menjadi vektor dalam penyebaran penyakit pada sapi dan
menimbulkan masalah ekonomi. Hingga saat ini, data mengenai keragaman jenis
lalat yang menjadi pengganggu di peternakan belum diketahui. Apabila diketahui
jenis lalat yang dominan pada sapi, maka dapat diketahui pula risiko yang akan
ditimbulkan pada sapi karena keberadaan lalat penganggu.

Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mempelajari keragaman
jenis dan dominasi lalat pengganggu pada peternakan sapi potong di Bondowoso.
Penelitian ini juga bertujuan untuk mempelajari risiko yang akan muncul akibat
keberadaan lalat penganggu pada peternakan.

2
Manfaat Penelitian
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi tentang kaitan antara keberadaan lalat dan kesehatan ternak. Hal
tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai pertimbangan masyarakat dalam
memelihara sapi.

TINJAUAN PUSTAKA
Keadaan Geografis Kabupaten Bondowoso
Kabupaten Bondowoso termasuk dalam Propinsi Jawa Timur. Kabupaten ini
dikenal dengan sebutan daerah tapal kuda dengan ibukotanya adalah Bondowoso.
Kabupaten Bondowoso memiliki luas wilayah 1560.10 km2 yang secara geografis
berada pada koordinat antara 113°48′10″ sampai 113°48′26″ BT dan 7°50′10″
sampai 7°56′41″ LS.
Kabupaten Bondowoso memiliki suhu udara yang cukup sejuk yaitu
berkisar antara 15.40 sampai 25.10 °C, karena berada di antara pegunungan
Kendeng Utara dengan puncaknya Gunung Raung, Gunung Ijen dan sebagainya di
sebelah timur, serta kaki pengunungan Hyang dengan puncak Gunung Argopuro,
Gunung Krincing dan Gunung Kilap di sebelah barat. Sedangkan di sebelah utara
terdapat Gunung Alas Sereh, Gunung Biser dan Gunung Bendusa.
Kondisi dataran di Kabupaten Bondowoso terdiri atas pegunungan dan
perbukitan seluas 44.4 %, dataran tinggi seluas 24.9 % dan dataran rendah 30.7 %
dari luas wilayah keseluruhan. Kabupaten Bondowoso berada pada ketinggian
antara 78 sampai 2300 meter dpl.

Sistem Manajemen Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Bondowoso
Sistem manajemen yang diterapkan oleh masyarakat di Indonesia dalam
memelihara sapi adalah sistem manajemen yang sederhana. Sistem ini dikenal
dengan sistem kereman dan banyak diterapkan oleh peternak tradisional. Ternak
sapi diberi pakan hijauan dan konsentrat serta sapi dikandangkan selama
pemeliharaan. Pakan hijauan yang diberikan tergantung dengan kondisi alam, bila
musim hujan maka banyak hijauan yang diberikan pada sapi, namun bila musim
kemarau sapi akan lebih banyak diberi pakan konsentrat atau pakan pengganti
hijauan lainnya (Syafrial 2007).
Peternak tradisional di Kabupaten Bondowoso juga memelihara sapi dengan
sistem kereman. Ternak sapi selalu dikandangkan dan hanya dikeluarkan saat
pembersihan kandang. Pakan yang diberikan utamanya adalah campuran rumput,
leguminosa, dan makanan penguat. Kebutuhan pakan tersebut sepenuhnya
disediakan oleh peternak. Sapi yang digemukkan tidak digunakan sebagai tenaga
kerja.
Selain untuk digemukkan, peternak tradisional di Bondowoso biasanya
memelihara sapi dengan tujuan pembibitan. Pemeliharaan dengan tujuan

3
pembibitan ini bisanya dilakukan pada daerah yang ketersediaan pakan relatif
kurang. Usaha pembibitan relatif tidak memerlukan banyak pakan karena tujuan
utamanya adalah menghasilkan pedet. Kebutuhan pakan pada usaha pembibitan
sapi akan meningkat saat sapi berada dalam masa kebuntingan, terutama pada
minggu ketiga terakhir, dan selama masa laktasi. Ternak sapi memerlukan pakan
dengan kualitas dan kuantitas yang memadai agar pertumbuhan janin dan pedet
selama pra sapih tetap normal (Hadi dan Ilham 2002). Usaha ini umumnya
dikelola oleh rumah tangga petani dengan modal, tenaga kerja, dan manajemen
yang terbatas. Ternak yang dimiliki pun terbatas, kecilnya jumlah ternak yang
dimiliki ini menyebabkan usaha pembibitan atau penggemukan yang dilakukan
oleh peternak tradisonal merupakan usaha sampingan (Yulianto 2010).

Ragam Jenis Lalat Pengganggu pada Sapi
Lalat merupakan ektoparasit yang termasuk ke dalam ordo Diptera. Diptera
adalah serangga yang memiliki dua pasang sayap, namun sayap bagian posterior
telah berubah bentuk dan fungsinya menjadi alat keseimbangan yang disebut
halter. Serangga yang termasuk dalam ordo Diptera mengalami metamorfosis
sempurna. Metamorfosis sempurna adalah metamorfosis yang terdiri dari 4
tahapan, yaitu tahap telur, larva, pupa, dan terakhir adalah tahap dewasa.
Beberapa spesies lalat dianggap sebagai pengganggu pada ternak. Lalat
pengisap darah seperti Haematobia sp., Stomoxys calcitrans, Tabanus sp.,
Chrysops sp., Hippobosca sp. dapat menyebabkan stres dan gangguan kesehatan
bagi ternak. Selain lalat penghisap darah, lalat pengganggu lain yang sering
ditemukan pada peternakan sapi adalah Musca domestica. Beberapa jenis lalat
juga dapat menyebabkan miasis pada ternak, yaitu Chrysomia sp. dan Hypoderma
bovis.
Haematobia sp. biasanya menyerang ternak dalam jumlah besar dan aktif
pada siang hari serta bersifat obligat. Terdapat 2 jenis lalat dari genus Haematobia
yang diketahui di dunia, yaitu Haematobia irritans dan H. exigua. H. irritans
distribusinya lebih luas daripada H. exigua. H. irritans dapat ditemukan di Eropa,
Afrika Selatan, Asia dan Amerika. Sedangkan H. exigua dapat ditemukan di India,
Indonesia, Malaysia, Papua New Guinea, China, dan Australia bagian utara (Foil
dan Hogsette 1994). Torres et al. (2012) menemukan jumlah H. irritans yang
berlimpah pada peternakan sapi yang terletak di dekat Ciudad Victoria,
Tamaulipas, Mexico. Sebanyak 53,354 ekor H. irritans berhasil dikoleksi oleh
Pruett et al. (2003) pada peternakan sapi di Amerika Serikat pada Bulan Mei
hingga September 2001.
Jenis lalat lain yang biasa ditemukan di peternakan sapi adalah Stomoxys sp.
(Mullens et al. 2006). Populasi Stomoxys calcitrans juga dapat ditemukan pada
peternakan sapi perah dan sapi potong di Kanada oleh Beresford dan Sutcliffe
(2009, 2012). S. calcitrans merupakan lalat yang kosmopolit, Skovgard dan
Nachman (2012) menemukan S. calcitrans pada peternakan sapi di Denmark yang
dikoleksi menggunakan jaring serangga.
Karshima et al. (2011) menemukan Tabanus, Haematopota, dan Chrysops
dari hasil koleksi menggunakan perangkap bikonikal yang diletakkan di sekitar
tempat penggembalaan sapi di Nigeria. Penelitian yang dilakukan Krandcmar et al.

4
(2006) menemukan lalat betina dari Tabanus bromius, T. maculicornis, dan T.
tergestinus yang dikoleksi menggunakan jebakan kanopi berumpan urin sapi.
Lalat Hippoboscidae juga sering ditemukan pada peternakan sapi potong,
contohnya Hippobosca equina yang merupakan lalat pengisap darah (Halos et al.
2004). Mohammed (2004) menemukan Hippobosca rufipes pada sapi di Damazin.
Dari penelitian tersebut dapat diketahui bahwa keberadaan Hippobosca rufipes
pada ternak sapi meningkat pada musim hujan. Hippobosca sp. ditemukan
bersama dengan Stomoxys sp. pada peternakan sapi potong di Nagpur, India
dengan teknik koleksi menggunakan jaring serangga (Raut et al. 2008).
Musca sp. merupakan spesies lalat yang kosmopolit. Musca domestica
tersebar di seluruh dunia. Alam dan Zurek (2004) pernah mengoleksi Musca
domestica L. dari peternakan sapi potong di Kansas menggunakan jaring serangga.
Tidak hanya pada peternakan sapi potong, spesies lalat ini juga dapat ditemukan
pada peternakan sapi perah (Kaufman dan Rutz 2001). Selain lalat dewasa, fase
pradewasa dari lalat ini juga dapat ditemukan di peternakan sapi potong (Hogsette
et al. 2012). Selain Musca domestica, spesies lainnya yang dapat ditemukan pada
peternakan sapi adalah Musca sorbens (Yang et al. 2010). Musca seniorwhite, M.
confiscata, M. inferior, M. crassirostris, M. conducens, dan M. formosana
ditemukan pada sapi yang digembalakan di Taiwan (Huang et al. 2007).
Chrysomia merupakan genus anggota famili Calliphoridae yang juga dapat
menjadi pengganggu bagi sapi. Lalat ini menjadi pengganggu karena merupakan
penyebab miasis obligat pada sapi. Ready et al. (2009) menemukan larva
Chrysomya bezziana pada peternakan sapi yang tersebar di Oman, Iran, Hong
Kong, dan Indonesia (Sulawesi dan Sumba Timur). Selain Chrysomia bezziana,
pada peternakan sapi di Arab Saudi juga ditemukan C. albiceps (Alahmed et al.
2006). Chrysomia bezziana, C. megacephala, dan C. rufifacies ditemukan di
sekitar peternakan sapi potong di Banten, Jawa Barat. Koleksi lalat tersebut
menggunakan perangkap berupa lem yang dipasang selama 3 hari di sekitar
peternakan (Wardhana et al. 2012).
Lalat pengganggu lainnya yang umum dijumpai pada ternak sapi adalah
Hypoderma sp. Lalat ini tersebar di Amerika Utara, Eropa, dan Asia. Pada
peternakan sapi potong juga dapat ditemukan Hypoderma lineatum (Boldbaatar et
al. 2001; Panadero et al. 2007). Larva Hypoderma bovis ditemukan pada sampel
susu yang dikumpulkan dari 224 peternakan sapi perah di Italia lalu sampel
tersebut kemudian diuji dengan hypodermosis ELISA kit untuk mengetahui
keberadaan parasit (Regalbono et al. 2003).

Peranan Lalat dalam Peternakan Sapi
Stomoxys calcitrans dan Musca domestica merupakan lalat kosmopolit yang
terdapat pada peternakan. Stres yang diakibatkan gigitan lalat kandang dapat
menurunkan bobot badan dan efisiensi konversi pakan pada sapi potong. Selain
itu juga dapat mengakibatkan penurunan produksi susu pada sapi perah (Gibson
dan Floate 2004). M. domestica adalah spesies lalat yang tersebar di seluruh dunia
dan berperan penting dalam kesehatan manusia dan hewan (Marquez dan Krafsur
2002). Pertumbuhan dan perkembangan lalat ini dipengaruhi oleh faktor
lingkungan yang penting, yaitu temperatur.

5
Beberapa spesies dari Musca dapat menjadi vektor biologis bagi cacing
Thelazia gulosa, T. rhodesi, dan T. skrjabini yang dapat ditemukan pada mata sapi
(Otranto et al. 2001). Cacing tersebut dapat disebarkan oleh Musca domestica dan
Musca autumnalis. Kebiasaan makan M. Autumnalis dapat menyebabkan
kerusakan pada mata dan meningkatkan sekresi cairan pada mata. Hal tersebut
dapat mendukung pertumbuhan dan penyebaran infeksi. Spesies Musca lainnya
yang dapat menjadi inang antara bagi Thelazia adalah Musca larvipara, M. osiris,
dan M. tempestiva (Giangaspero et al. 2004).
Penyakit pada ternak yang dapat disebarkan oleh Musca domestica adalah
penyakit kulit yang diakibatkan oleh bakteri gram positif Dermatophilus
congolensis yang menyebabkan peradangan eksudatif pada kulit (Gebreyohannes
dan Gebresselassie 2013). Dermatophilosis dapat ditemukan di seluruh dunia,
lebih sering pada daerah tropis dan subtropis. Selain itu, Musca domestica juga
berpotensi dalam menyebarkan Bacillus anthracis. B. anthracis dapat bertahan
dalam tubuh lalat selama 2 sampai 12 jam (Fasanella et al. 2010). Kebiasaan
Musca domestica yang mudah hinggap kemudian terbang di sekitar tubuh ternak
dapat menjadi salah satu potensi penyebaran antraks.
Stomoxys calcitrans merupakan salah satu lalat pengisap darah yang
mengganggu pada peternakan sapi potong. Dampak langsung yang ditimbulkan
oleh lalat ini pada ternak adalah kerusakan kulit, penurunan konsumsi pakan, stres,
kehilangan darah, dan menimbulkan penurunan sistem imun. Agen penyakit yang
dapat dibawa adalah Bacillus anthracis, Dermatophilus congolensis, dan
Anaplasma marginale. Bacillus anthracis diketahui dapat bertahan selama 4 jam
pada tubuh Stomoxys calcitrans yang merupakan vektor mekanik dari bakteri
tersebut. Penularan spora antraks mungkin terjadi pada sapi yang rentan karena
selang waktu aktivitas mengisap darah dari Stomoxys calcitrans adalah sekitar 4
sampai 72 jam (Baldacchino et al. 2013).
Jenis lalat lain yang dapat menjadi vektor mekanik bagi agen penyakit pada
sapi adalah Tabanus. Lalat ini berperan sebagai vektor penyakit sura (Veer et al.
2002), anaplasmosis (Rodriguez-Vivas et al. 2004), dan antraks. Trypanosoma
evansi yang merupakan agen penyakit sura dapat bertahan selama 10 sampai 15
menit pada probosis Tabanus. Waktu yang dibutuhkan lalat ini untuk mengisap
darah inangnya dalam sekali makan sekitar 4 menit, sedangkan aktifitas tersebut
terjadi dalam 3 sampai 4 hari sekali. Tabanus berpotensi menyebarkan agen
penyakit apabila jumlah populasinya meningkat pada musim hujan (Baticados et
al. 2011).
Selain itu, Tabanus juga berisiko menjadi vektor mekanik bagi penyebaran
rickettsia Anaplasma marginale (Inci et al. 2013). Menurut Scoles et al. (2008), A.
marginale dapat ditemukan pada probosis Tabanus, rata-rata jumlah agen
penyakit tersebut menurun pada probosis lalat yang dibedah 20 menit setelah lalat
selesai mengisap darah. Kesakitan yang dialami sapi yang terkena anaplasmosis
adalah anemia, kehilangan bobot badan, dan dalam beberapa kasus dapat
menyebabkan kematian.
Haematobia merupakan salah satu ektoparasit yang memiliki peranan
penting pada ternak. Keberadaan lalat ini dapat menyebabkan penurunan yang
signifikan dari produksi susu pada sapi perah dan penurunan bobot badan pada
sapi potong. Inang akan kehilangan darah secara signifikan apabila jumlah lalat
Haematobia exigua yang menyerangnya dalam jumlah besar (biasanya hingga

6
mencapai ribuan). Gigitan yang disebabkan lalat ini menimbulkan rasa sakit dan
mengiritasi serta dapat meninggalkan bekas gigitan pada kulit (Taylor et al. 2007).
Aktivitas lalat dewasa Hypoderma bovis dapat mengganggu kegiatan
merumput bagi ternak. Lalat dewasa meletakkan telurnya pada tubuh sapi. Setelah
menetas, larva masuk melalui kulit dan bermigrasi menuju esofagus atau jaringan
disekitar sumsum tulang belakang. Migrasi larva menyebabkan terbentuknya jalur
nekrotik dalam jaringan otot. Apabila larva mati saat berada di esofagus atau
sumsum tulang belakang, akan menyebabkan reaksi peradangan yang serius.
Selain itu juga dapat merusak kulit, sehingga nilai ekonomis dari kulit sapi
menjadi berkurang (Zajac dan Conboy 2012).
Chrysomya bezziana dapat menyebabkan miasis pada sapi. Miasis terjadi
akibat infestasi larva lalat tersebut pada jaringan hidup ternak. Terdapat daerah
endemik miasis di Indonesia, yaitu Sulawesi, Sumba Timur, Pulau Lombok,
Sumbawa, Papua, dan Jawa (Wardhana 2006). Kejadian miasis juga dilaporkan
terjadi pada ternak sapi yang digembalakan pada padang rumput di Kabupaten
Sumba Timur. Kejadian tersebut meningkat pada musim hujan dan terjadi
penurunan pada musim panas atau kemarau (Hambandima 2002).

MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan pada Bulan Juli 2012 hingga Januari 2013.
Pengumpulan sampel lalat pengganggu pada ternak sapi potong dilakukan pada
Bulan Juli hingga Agustus 2012. Waktu yang dipilih untuk pengambilan sampel
antara jam 09.00 hingga 14.00 WIB. Pengumpulan sampel dilakukan pada 14
peternakan rakyat di Desa Kupang, Kecamatan Curahdami selama 15 hari dan 1
peternakan komunal di Desa Karang Melok, Kecamatan Tamanan, Kabupaten
Bondowoso selama 10 hari. Selanjutnya proses identifikasi dilakukan di
Laboratorium Parasitologi dan Entotomologi Kesehatan Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor.
Koleksi Lalat di Peternakan Sapi
Koleksi lalat pada kedua lokasi peternakan dilakukan menggunakan jaring
serangga (Gambar 1). Koleksi tersebut dilakukan di sekitar tubuh sapi dan sekitar
kandang. Proses pengumpulan serangga dilakukan sebanyak 3 kali pada masingmasing kandang di peternakan rakyat. Pada peternakan komunal, pengumpulan
serangga dilakukan selama 10 hari dengan 3 kali pengambilan pada setiap harinya
pada lokasi yang sama. Pada setiap penangkapan, jaring serangga diayun selama
10 menit ke arah serangga yang dicari.
Serangga yang telah terkumpul kemudian dimatikan untuk mempermudah
proses identifikasi. Cara yang digunakan adalah memasukkan serangga tersebut
ke dalam plastik berisi kapas berkloroform. Setelah serangga dipastikan mati,
serangga tersebut dipindahkan ke dalam wadah yang aman (yang tidak merusak
morfologi serangga) untuk selanjutnya dilakukan preservasi dengan cara kering.

7

Gambar 1 Jaring serangga

Preservasi dan Identifikasi Lalat
Preservasi lalat dilakukan dengan cara kering, yaitu menusuk tubuh
serangga dengan jarum. Jarum yang digunakan harus jarum yang berukuran
panjang dan tidak mudah berkarat. Cara ini dilakukan untuk serangga yang
ukurannya relatif besar bila dibandingkan dengan ukuran jarum. Penusukan
dilakukan pada bagian toraks sebelah kanan atau kiri. Apabila ukuran lalat relatif
kecil bila dibandingkan dengan jarum, maka penusukan tidak dilakukan secara
langsung tetapi menggunakan bantuan kertas segitiga. Serangga ditempelkan pada
bagian kertas yang runcing menggunakan lem kuteks. Jarum ditusukkan pada
bagian kertas yang lain. Penempelan ini harus diatur sedemikian rupa agar
spesimen mudah diidentifikasi.
Setelah ditusuk, spesimen tersebut diberi label dan disimpan pada kotak
penyimpanan serangga. Bagian dasar kotak dialasi gabus agar jarum mudah
ditusukkan. Pada bagian sudut kotak diberi kamper atau kapur barus yang telah
dibungkus dengan tisu. Hal ini bertujuan agar lalat tidak dirusak oleh serangga
lain, misalnya semut. Setelah proses pengawetan selesai, proses selanjutnya
adalah identifikasi spesimen. Identifikasi dilakukan secara bertahap sesuai dengan
kunci identifikasi Tumrasvin dan Shinonaga (1977, 1978, 1982).
Analisis Data
Hasil spesimen yang telah diidentifikasi selanjutnya dianalisis untuk
mengetahui kepadatan lalat yang dinyatakan sebagai kelimpahan nisbi dan
dominasi spesies. Selanjutnya hasil yang didapatkan akan dijelaskan secara
deskriptif. Analisis tersebut menggunakan perhitungan sebagai berikut :
Kelimpahan Nisbi
Kelimpahan nisbi adalah perbandingan jumlah individu spesies lalat
terhadap total jumlah spesies lalat yang diperoleh, dan dinyatakan dalam persen.
Kelimpahan nisbi dapat dibagi dalam 5 kategori yaitu (1) Sangat rendah (kurang
dari 1%), (2) Rendah (1% sampai 10%), (3) Sedang (10% sampai 20%), (4)
Tinggi (20% sampai 30%), dan (5) Sangat tinggi (di atas 30%) (Hadi et al. 2011).
�����ℎ �������� ����� ������� ��������

Kelimpahan nisbi = ����� �����ℎ ������� ����� ���� ��������ℎ X 100%

8
Frekuensi Tertangkap
Frekuensi lalat tertangkap dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah
penangkapan diperolehnya spesies lalat tertentu terhadap jumlah total
penangkapan. Nilai frekuensi yang semakin mendekati angka 1 berarti lalat
tersebut hampir selalu ditemukan pada setiap waktu penangkapan.
Frekuensi =

�����ℎ ����������� ��������ℎ��� ������� ����� ��������
�����ℎ ����� �����������

Dominasi Spesies
Angka dominasi spesies dihitung berdasarkan hasil perkalian antara
kelimpahan nisbi dengan frekuensi lalat tertangkap spesies tersebut dalam satu
waktu penangkapan. Dominasi spesies juga dapat dibagi dalam 5 kategori karena
dipengaruhi oleh tingkat kelimpahan nisbi. Kateri tersebut yaitu (1) Sangat rendah
(kurang dari 1%), (2) Rendah (1% sampai 10%), (3) Sedang (10% sampai 20%),
(4) Tinggi (20% sampai 30%), dan (5) Sangat tinggi (di atas 30%)
Dominasi spesies = Kelimpahan nisbi X Frekuensi tertangkap

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Peternakan
Peternakan rakyat yang dikelola oleh masyarakat Desa Kupang menerapkan
manajemen beternak secara tradisional. Ternak dipelihara dalam kandang secara
intensif dengan jumlah sapi sekitar 2 sampai 4 ekor (Gambar 2.B). Bangunan
kandang ada yang terpisah dan ada juga kandang yang menyatu dengan rumah
peternak. Jarak rumah penduduk yang satu dan yang lainnya saling berdekatan,
begitu pula dengan jarak kandang dan rumah penduduk.
Kandang yang digunakan merupakan kandang sederhana dengan ukuran
tergantung jumlah sapi yang ada. Dinding kandang terbuat dari anyaman bambu.
Alas atau lantai kandang merupakan bambu atau kayu yang disusun berjajar tepat
di atas tanah (Gambar 2.A). Kandang memiliki atap sebagai penutup yang terbuat
dari genteng. Kebanyakan kandang yang ada belum memiliki sistem pembuangan
air yang baik. Belum ada saluran khusus yang digunakan sebagai tempat
pembuangan urin dan feses. Urin biasanya akan dibiarkan merembes ke tanah
melalui celah-celah alas kayu dan feses juga dibiarkan menumpuk di alas kandang
(Gambar 2.B).
Pada masing-masing kandang terdapat tempat pakan yang juga terbuat dari
bambu atau kayu (Gambar 2.A). Tidak ada ruang khusus yang digunakan untuk
menyimpan pakan. Pakan yang diberikan bervariasi, yaitu hijauan, leguminosa,
atau konsentrat. Jenis pakan yang diberikan bergantung kemampuan peternak.
Selain peternakan rakyat di Desa Kupang, lokasi penelitian lainnya berada
di Desa Karang Melok. Peternakan ini merupakan peternakan komunal dengan
jumlah sapi 20 ekor dalam satu kandang yang menerapkan manajemen peternakan

9

A
B
Gambar 2 Kondisi kandang peternakan rakyat di Desa Kupang, Kabupaten
Bondowoso, Jawa Timur, Juli 2012

B
A
Gambar 3 Kondisi kandang peternakan komunal di Desa Karang Melok,
Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, Agustus 2012
tradisional. Peternakan ini dibangun sebagai tujuan untuk mengumpulkan kotoran
sapi yang nantinya akan digunakan untuk pembuatan kompos.
Kondisi bangunan peternakan ini lebih baik bila dibandingkan dengan
peternakan rakyat di desa sebelumnya. Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa
bangunan kandang terbuat dari bata, atapnya berupa genteng, dan alasnya adalah
semen. Alas kandang dibuat agak miring agar urin sapi dapat langsung masuk ke
saluran pembuangan dan terkumpul pada tempat penampungan urin (Gambar
3.B).
Lokasi peternakan ini berbeda dengan lokasi pemukiman penduduk.
Walaupun bangunan kandang ini lebih baik daripada kandang milik Bpeternak di
Desa Kupang, namun sistem pemberian pakannya tidak berbeda. Waktu
pemberian dan jenis pakan yang diberikan berbeda-beda tergantung kemampuan
peternak. Beberapa sapi selalu diberi hijauan sebagai pakannya, namun ada
beberapa sapi yang diberi pakan berupa jerami kering yang ditaburi garam dan
konsentrat (Gambar 3.A).

Kondisi Mikroklimat Kandang
Mikroklimat adalah keadaan iklim yang khas dari daerah berskala kecil.
Variabel cuaca pada mikroklimat seperti suhu, curah hujan, angin, dan
kelembaban dapat berbeda antara satu area dengan area lainnya. Peternakan rakyat
di Desa Kupang terletak pada ketinggian ± 255 m DPL. Kandang pada peternakan

10
rakyat di Desa Kupang terdapat pada lokasi yang sama dengan pemukiman warga.
Kandang terletak pada tempat yang teduh karena adanya pepohonan di sekitar
kandang yang melindungi kandang dari paparan sinar matahari. Ternak juga
dilindungi oleh atap kandang yang terbuat dari genteng, sehingga ternak tidak
langsung terkena panas sinar matahari. Curah hujan selama penelitian di
peternakan rakyat Desa Kupang adalah 0 mm, begitu pula dengan jumlah hari
hujan (Dinas Pengairan 2012). Kondisi lingkungan tetap sejuk walaupun selama
15 hari pengambilan sampel di Desa Kupang tidak turun hujan.
Pengambilan sampel di peternakan komunal dilakukan selama 10 hari pada
Bulan Agustus 2012. Ketinggian tempat dari peternakan yang terletak di Desa
Karang Melok, Kecamatan Tamanan ini berada pada ± 359 m DPL. Menurut data
pada dokumen Data Potensi Desa dan Kelurahan Tahun 2012, suhu harian ratarata di Desa Karang Melok adalah sekitar 33 °C. Kandang dari peternakan
komunal ini berada pada lokasi yang berjauhan dengan pemukiman warga.
Kandang terletak di sebuah tanah lapang dan tidak ada pepohonan yang ditanam
di sekitar kandang. Pelindung ternak dari paparan langsung sinar matahari
hanyalah atap kandang yang terbuat dari genteng. Hujan juga tidak turun selama
10 hari pengambilan sampel di peternakan komunal. Seperti halnya pada
peternakan rakyat yang terletak di Desa Kupang, curah hujan di peternakan
komunal Desa Karang Melok selama penelitian adalah 0 mm (Dinas Pengairan
2012).

Ragam Jenis Lalat pada Peternakan Sapi Potong
Lalat merupakan serangga yang sering ditemukan pada peternakan sapi
potong. Lalat dapat menjadi pengganggu bagi sapi karena dapat menimbulkan
ketidaknyamanan dan stres pada sapi. Jumlah total lalat yang diperoleh selama
penelitian adalah 881 lalat. Lalat-lalat ini diperoleh dari 14 peternakan rakyat dan
1 peternakan komunal. Pengumpulan lalat pada kedua peternakan dan seluruh
lalat yang diidentifikasi adalah menggunakan jaring serangga. Ragam jenis lalat
hasil identifikasi dapat dilihat pada Tabel 1.
Keragaman jenis lalat yang diperoleh selama penelitian adalah Haematobia
exigua, Stomoxys calcitrans, Musca domestica, Hippobosca variegata, dan
Tabanus megalops. Seluruh spesies tersebut dapat ditemukan di peternakan rakyat,
namun tidak semua dapat ditemukan pada peternakan komunal. Jenis-jenis lalat
yang merupakan hasil koleksi di peternakan komunal adalah H. exigua, S.
calcitrans, dan M. domestica (Tabel 1).
Haematobia exigua merupakan lalat yang paling banyak ditemukan di
kedua peternakan. Lalat ini juga ditemukan berlimpah di peternakan sapi potong
di Thailand yang dikoleksi dengan vavoua traps oleh Changbunjong et al. (2012).
Jumlah lalat tersebut di peternakan rakyat adalah 665 lalat (94.46%), sedangkan di
peternakan komunal adalah 158 lalat (89.27%).
H. exigua merupakan lalat yang berukuran kecil sekitar 4 mm (Gambar 4.A).
Probosis yang runcing merupakan ciri bagi lalat pengisap darah (Gambar 4.B).
Probosis dan palpi dari Haematobia exigua berukuran sama panjang (Gambar
4.B) dan palpusnya merupakan palpus yang kokoh (Hadi dan Soviana 2010).
Bagian sayap M 1+2 H. exigua melengkung halus, sehingga tidak menyatu dengan

11
Tabel 1

Ragam jenis lalat pengganggu pada sapi di peternakan rakyat dan
peternakan komunal, Juli hingga Agustus 2012
Spesies

Haematobia exigua
Stomoxys calcitrans
Musca domestica
Hippobosca variegata
Tabanus megalops
Total

Peternakan Rakyat
Jumlah Persentase (%)
665
94.46
19
2.70
14
1.99
4
0.57
2
0.29
704
100

Peternakan Komunal
Jumlah Persentase (%)
158
89.27
10
5.65
9
5.08
177
100

R 4+5 (Gambar 4.C). Lalat ini berwarna kelabu dan memiliki 2 garis longitudinal
pada bagian toraks (Gambar 4.D). Haematobia spp. juga diketahui sebagai lalat
yang paling banyak ditemukan di daerah peternakan sapi di California apabila
dibandingkan dengan lalat pengisap darah lainnya (Chung et al. 2004).
Jumlah Stomoxys calcitrans yang diperoleh jauh lebih kecil bila
dibandingkan Haematobia exigua, yaitu 19 lalat (2.70 %) pada peternakan rakyat
dan 10 lalat (5.65%) pada peternakan komunal. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Masmeatathip et al (2006) di Thailand, S. calcitrans adalah spesies Stomoxys
yang paling sering ditemukan apabila dibandingkan terhadap jenis Stomoxys
lainnya. Lalat tersebut diperoleh dari peternakan sapi perah dan sapi potong pada
3 lokasi di Thailand bagian tengah. Pada penelitian tersebut ditemukan empat
jenis Stomoxys yaitu S. calcitrans, S. sitiens, S. indica, dan S. bengalensis.
Muenworn et al. (2010) menyatakan nilai dominasi S. calcitrans di Thailand
sebesar 92.4%. Nilai ini jauh lebih tinggi dibandingkan nilai dominasi spesies
Stomoxys lainnya yaitu S. indicus (7%) dan S. sitiens (0.8%).
Panjang tubuh Stomoxys calcitrans berukuran 7 sampai 8 mm (Gambar 5.A).
Tipe probosisnya adalah tipe penusuk yang merupakan ciri dari lalat pengisap
darah (Gambar 5.A.i). Palpi dari Stomoxys berukuran kecil dan panjangnya hanya
1/4 dari panjang probosisnya (Wall dan Shearer 1997). Venasi sayap dari S.
calcitrans tidak menyatu pada bagian M 1+2 dan R 4+5 karena lengkungan M 1+2
tidak menukik (Gambar 5.B). Selain itu, ciri khas S. calcitrans yaitu terdapat
noktah berwarna hitam simetris pada abdomen segmen ketiga dan keempat
(Gambar 5.C). Lalat ini berwarna abu-abu dan mempunyai 4 garis longitudinal
pada bagian toraks (Gambar 5.D).
Sebanyak 14 lalat (1.99%) Musca domestica ditemukan di peternakan rakyat
dan 9 lalat (5.08%) di peternakan komunal. Panjang tubuh lalat dewasa M.
domestica adalah 6 sampai 8 mm (Gambar 6.A). M. domestica memiliki probosis
tipe penjilat (Gambar 6.B). Bagian toraks berwarna abu-abu dengan 4 garis
panjang longitudinal. Abdomennya berwarna kuning kecoklatan dengan garis
longitudinal berwarna hitam yang terletak di bagian tengahnya (Gambar 6.C).
Pada venasi sayap lalat ini, terlihat M 1+2 membentuk lengkungan yang menukik
tajam dan menyatu dengan R 4+5 (Gambar 6.C). Lalat ini sebagian besar banyak
ditemukan di daerah tropis dan di sekitar garis equator (Tardelli et al. 2004). Chin
et al. (2010) menemukan keberadaan larva lalat M. domestica pada kotoran sapi
yang dikumpulkan dari 5 peternakan sapi potong di Sentul Timur, Malaysia. M.

12
domestiva juga pernah ditemukan pada peternakan sapi potong di Queensland
Tengah bersama lalat pengganggu lainnya, yaitu Musca vetustissima dan
Chrysomya rufifacies (Urech et al. 2012).
Hippobosca variegata hanya ditemukan pada peternakan rakyat, jumlah
lalat yang ditemukan adalah 4 lalat (0.57%). Di Indonesia, lalat ini dapat
ditemukan di Sulawesi, Sumba, dan Timor (Hadi dan Soviana 2010). Keberadaan
lalat ini di daerah penelitian dimungkinkan akibat transportasi ternak. Tidak
adanya pengawasan terhadap ektoparasit pada kegiatan pengiriman sapi dari
wilayah Indonesia Timur ke wilayah Indonesia Barat memungkinkan penyebaran
lalat ini. Hal tersebut karena H. variegata selalu menempel pada tubuh inangnya
dan tidak mudah terusik. H. variegata berwarna kuning kecoklatan (Gambar 7.A).
Probosis lalat ini langsing dan digunakan untuk menusuk dan merobek jaringan
(Gambar 7.B). Pada bagian dorsal toraks terdapat corak khas yang bervariasi
(Gambar 7.C). Bagian abdomennya memiliki corak yang khas dan tubuhnya
tertutupi oleh rambut-rambut halus (Gambar 7.D).
Tabanus megalops hanya ditemukan 2 lalat (0.29%) pada peternakan rakyat,
sedangkan pada peternakan komunal lalat ini tidak ditemukan. Lalat dewasa T.
megalops berukuran 1 sampai 2.5 cm (Gambar 8.A). Kepala Tabanus berbentuk
segitiga, ukurannya besar dan terdapat sepasang mata bertipe holoptik pada lalat
jantan serta sepasang mata bertipe dichoptik pada lalat betina (Gambar 8.B).
Bagian abdomennya terdiri dari tiga segmen (Gambar 8.C).Selain itu juga terdapat
sepasang antena, bersegmen tiga dengan ujung beranulasi (Gambar 8.D)
(Natadisastra 2009).

250 µm

403 µm

A

B

701 µm

C
D
Gambar 4 Haematobia exigua (A), palpi (Bi) dan probosis (Bii),
venasi sayap (C), dan garis longitudinal toraks (D)

13

403 µm

655 µm

A

B

Gambar 5 Stomoxys calcitrans (A), probosis (Ai), venasi sayap (B), noktah
hitam pada abdomen (C), dan garis longitudinal toraks (D)

410µm
230 µm

A

B

D
Gambar 6 Musca domestica (A), probosis (B), abdomen (C), venasi sayap (D)

14

403µm
250 µm

A

B

C
D
Gambar 7 Hippobosca variegata (A), kepala (B), thorax (C), abdomen (D)

A

B

C
D
Gambar 8 Tabanus megalops (A), mata (B), abdomen (C), antena (D)

15
Kepadatan dan Dominasi Lalat pada Peternakan Sapi Potong
Kepadatan dan dominasi lalat yang didapat selama penelitian ditunjukkan
pada Tabel 2. Lalat yang mendominasi di kedua peternakan adalah lalat yang
sama yaitu Haematobia exigua. Nilai dominasi lalat ini pada peternakan rakyat
adalah 87.88% dan 89.27% pada peternakan komunal.
Tabel 2

Ragam jenis, kelimpahan nisbi, frekuensi tertangkap, dan dominasi
spesies lalat pengganggu pada sapi di peternakan rakyat dan peternakan
komunal, Juli hingga Agustus 2012
Peternakan Rakyat
Peternakan Komunal
Spesies
KN (%) Frek. DS (%) KN (%) Frek. DS (%)
Haematobia exigua
94.46 0.93
87.88
89.27 1.00
89.27
Stomoxys calcitrans
2.70 0.43
1.16
5.65 1.00
5.65
Musca domestica
1.99 0.29
0.58
5.08 1.00
5.08
Hippobosca variegata
0.57 0.07
0.04
Tabanus megalops
0.29 0.14
0.04
Keterangan : KN = Kelimpahan Nisbi, Frek. = Frekuensi, DS = Dominasi Spesies

Tingginya dominasi H. exigua dipengaruhi oleh keadaan peternakan yang
mendukung perkembangannya. Banyaknya feses segar merupakan faktor
pendukung H. exigua untuk meletakkan telur-telurnya (Floate 2011). Pada kedua
peternakan, feses segar tidak langsung dibersihkan oleh peternak. Feses biasanya
dibiarkan menumpuk di sekitar tubuh sapi hingga feses tersebut mengering.
Banyak peternak yang membiarkan feses menempel pada tubuh sapi. Hal ini
sangat memungkinkan bagi H. exigua untuk menemukan tempat
perkembangbiakan yang cocok.
Dendo (2003) menemukan pada feses segar terdapat pupa Haematobia
exigua lebih banyak dibanding Musca domestica. Pada feses segar diketahui
terdapat amoniak dan zat organik lain yang dapat menarik lalat dewasa H. exigua
untuk meletakkan telur-telurnya. Selain akibat keberadaan feses yang berlimpah
pada kedua peternakan, tingginya dominasi lalat ini juga dipengaruhi oleh
kebiasaan makan H. exigua. Lalat ini mengisap darah kira-kira 20 sampai 40 kali
sehari. Waktu yang dibutuhkan H. exigua pada setiap kali mengisap darah adalah
25 sampai 30 menit (Pareira 1998). Perilaku makan yang sangat sering ini
menyebabkan lalat tersebut selalu berada pada inang, sehingga kemungkinan lalat
tersebut tertangkap besar.
Jumlah Stomoxys calcitrans pada kedua jenis peternakan lebih sedikit bila
dibandingkan Haematobia exigua. Dominasi lalat ini pada peternakan rakyat
adalah 1.16% dan pada peternakan komunal adalah 5.65%. Hal tersebut berkaitan
dengan tidak turunnya hujan di kedua lokasi tersebut selama penelitian
berlangsung. Jumlah S. calcitrans akan meningkat saat musim hujan karena dapat
mendukung proses berkembang biak lalat dewasa (Dawit et al. 2012).
Hasil penelitian Keawrayup et al. (2012) menunjukkan bahwa kelimpahan
lalat Stomoxys lebih banyak pada musim hujan. Pada musim panas, jumlah lalat
yang berhasil dikoleksi sangat sedikit bila dibanding saat musim hujan. Hal
tersebut dikarenakan tidak adanya hujan dan suhu lingkungan yang tinggi. Kedua

16
faktor tersebut merupakan kondisi yang tidak cocok bagi perkembangan larva S.
calcitrans. Selama penelitian berlangsung, curah hujan dan hujan harian di
Bondowoso adalah 0 (Dinas Pengairan 2012), hal ini dapat menjadi salah satu
penyebab rendahnya dominasi spesies S. calcitrans.
Musca domestica yang diperoleh selama penelitian menunjukkan angka
dominasi yang kecil, yaitu 0.58% pada peternakan rakyat dan 5.08% pada
peternakan komunal. Hasil penelitian Putra et al. (2013) menunjukkan bahwa
larva lalat rumah pada feses sapi diketahui akan mengalami perkembangan yang
lambat yaitu sekitar 10 hari dan tingkat mortalitas larva yang tinggi bila
dibandingkan dengan perkembangan larva pada feses kuda dan ayam. Hal ini
mungkin disebabkan oleh nilai C/N yang tinggi sehingga proses pertumbuhan
mikroba, yang merupakan komponen penting pada nutrisi bagi larva, terhambat.
Lalat dewasa M. domestica akan meletakkan telur-telurnya pada manur.
Khan et al. (2012) menyatakan bahwa keberadaan manur dapat mendukung
populasi lokal dari M. domestica. Pada kedua peternakan yang digunakan sebagai
lokasi penelitian, manur lebih banyak diletakkan pada tempat khusus di luar
kandang. Hal tersebut dapat menjadi salah satu faktor yang memengaruhi
rendahnya lalat M. domestica yang terdapat di sekitar sapi di dalam kandang.
Hippobosca variegata dan Tabanus megalops selama penelitian hanya
diperoleh pada peternakan rakyat. Angka dominasi Tabanus megalops memiliki
nilai yang sama dengan angka dominasi Hippobosca variegata, yaitu 0.04%.
Lalat dewasa H. variegata hidup pada tempat yang memiliki suhu cukup tinggi
dan kering. Kondisi tersebut tidak mendukung untuk perkembangan telur dan
larva dari lalat ini. Lalat ini adalah pupipara, lalat dewasa Hippobosca akan
meniyimpan telurnya hingga menjadi larva pada saluran reproduksi lalat betina.
Pupa akan diletakkan pada tempat yang mendukung perkembangannya, seperti
celah-celah kayu atau ranting pohon (Hadi dan Soviana 2010).
Keberadaan lalat Tabanus megalops yang sangat sedikit dapat dikarenakan
lingkungan peternakan yang tidak mendukung bagi fase perkembangannya. T.
megalops membutuhkan tempat yang lembab, seperti lumpur, sebagai
perkembangan pupa. Kondisi lingkungan pada peternakan rakyat maupun
komunal adalah lingkungan dengan kondisi tanah yang kering. Keberhasilan
perkembangan dan penetasan telur-telur Tabanus lebih banyak terjadi pada musim
hujan (Mikuska 2012).

Potensi Permasalahan Keberadaan Lalat pada Peternakan Sapi Potong
Keberadaan lalat pada peternakan dapat menimbulkan masalah, baik dari
segi kesehatan ataupun ekonomi. Hal ini tentunya akan menyebabkan kerugian
bagi peternak. Kerugian ekonomi yang dapat dirasakan langsung adalah kenaikan
bobot sapi yang tidak optimal, kehilangan darah dan konversi pakan yang tidak
optimal (Sanson et al. 2003). Selain itu, keberadaan lalat dapat menyebabkan
kerusakan pada kulit sapi. Hal tersebut dapat mengurangi nilai ekonomis dari kulit
sapi.
Haematobia exigua berpotensi menjadi vektor mekanik penyebaran agen
penyakit sura (Baticados et al. 2011) dan vektor biologis cacing Stephanofilaria.
Larva Stephanofilaria dapat ditemukan pada lalat betina dewasa H. exigua (Shaw

17
dan Sutherland 2006). Stephanofilaria juga dapat disebarkan oleh lalat Musca
conduscens yang merupakan vektor biologis (Rai et al. 2010). Stomoxys sp., dan
Hippobosca sp. juga dimungkinkan dapat menyebarkan Stephanofilaria.
Lalat yang berperan sebagai vektor Stephanofilaria akan hinggap pada luka
hewan yang terinfeksi, kemudian mikrofilaria akan masuk dalam tubuh lalat
ketika lalat mengisap darah. Mikrofilaria tersebut akan berkembang menjadi larva
stadium 3 yang infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu dalam tubuh lalat. L3
tersebut dapat pindah ke probosis lalat dan akan masuk ke tubuh sapi ketika lalat
melakukan aktivitas mengisap darah. Penyebaran penyakit ini dapat meningkat
apabila jumlah lalat yang menjadi vektor meningkat. Sapi sehat yang
dikandangkan bersamaan dengan sapi penderita Stephanofilariasis akan mudah
tertular akibat gigitan lalat yang sudah mengandung mikrofilaria (Estuningsih
2007).
Haematobia exigua dapat berpotensi menjadi vektor mekanik bagi agen
penyakit penyebab sura. Trypanosoma evansi dapat bertahan kira-kira 15 menit
pada probosis H. exigua. Penyebaran penyakit dipengaruhi oleh kebiasaan lalat ini.
H. exigua menyerang ternak secara bergerombol dalam jumlah besar dan
merupakan parasit obligat yang selalu berada pada tubuh sapi (Desquesnes et al.
2013). Lalat ini mengisap darah 20-40 kali dalam sehari. Kebiasaan mengisap
darah berkali-kali ini dapat memungkinkan penyebaran T. evansi pada sapi rentan
yang dikandangkan berdekatan dengan sapi yang menderita sura.
Lalat ini juga berisiko menjadi vektor mekanik bagi bakteri Bacillus
anthracis (Fasanella et al. 2010). Agen penyakit tersebut merupakan penyebab
antraks. Agen penyakit dapat menempel pada probosis Haematobia exigua ketika
lalat ini hinggap pada karkas sapi yang terinfeksi antraks. Kemungkinan
penyebaran antraks oleh H. exigua didukung oleh kebiasaan lalat tersebut yang
mengisap darah berkali-kali dalam sehari dan secara bergerombol.
Kejadian miasis juga berpotensi terjadi pada sapi yang terdapat pada
peternakan rakyat dan komunal. Hal ini dikarenakan pada tubuh sapi terdapat luka.
Luka tersebut biasanya akibat sapi menggesekkan tubuhnya pada lantai atau
dinding kandang ketika sapi merasa gatal atau terganggu akibat kehadiran
Haematobia exigua. Adanya luka pada tubuh sapi dapat mengundang kehadiran
lalat lain seperti Chrysomia bezziana untuk meletakkan larvanya dan akhirnya
menimbulkan miasis pada sapi (Wardhana 2006).
Lokasi peternakan yang dekat dengan pemukiman dan eratnya kontak antara sapi
dan peternak juga dapat menimbulkan masalah. Musca domestica merupakan
contoh lalat yang dapat membawa agen penyakit Escherichia coli O157:H7 dan
Campylobacter bagi manusia (Szalanski et al. 2004). Agen penyakit dapat berada
pada ekskreta dari regurgitasi dan defekasi dari lalat, serta dapat menempel pada
kutikula dan probosisnya. Kebiasaan terbang kemudian pergi dan kembali lagi
dari feses ke makanan sangat memungkinkan terjadinya proses penularan penyakit
(Hastutiek dan Fitri 2007).

18

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Keragaman jenis lalat pengganggu yang dapat ditemui di Bondowoso adalah
Haematobia exigua, Stomoxys calcitrans, Musca domestica, Hippobosca
v