Sistem Pers Landasan Teori

drama dan musik. Mereka menceritakan kisah lucu untuk diketahui, meskipun kisah itu tidak terlalu penting. e. Fungsi regeneratif, pers berfungsi menceritakan bagaimana sesuatu dilakukan di masa lampau, bagaimana dunia ini dijalankan sekarang, bagaimana sesuatu diselesaikan dan apa yang dianggap dunia itu benar dan salah. Jadi pers menyampaikan warisan sosial kepada generasi baru supaya terjadi regenerasi.

4. Kebebasan Pers

Konsep kemerdekaan pers di sini adalah sebagai terjemahan dari the freedom of the press, yang secara sederhana dapat dianalogikan dengan arti free from the dom, atau bebas dari penguasa. Dalam perspektif sejarah, pengakuan dan perlindungan hak untuk merdeka dari pengaruh atau tekanan penguasa sudah di mulai sejak deklarasi Magna Charta tahun 1215. Khusus dalam bidang pers, secara eksplisit ditetapkan di dalam pasal 12 Virginia Bill of Right pada 15 Mei 1776 tentang kemerdekaan persurat kabaran. 41 Piagam Virginia ini kemudian dimasukan ke dalam Konstitusi Amerika Serikat 1787, pada tahun 1789, piagam itu diadopsi pula oleh Prancis menjadi Declaration de droits de I’homme et du citoyen, atau naskah pernyataan Hak Asasi Manusia HAM dan warga negara. Di Indonesia masalah kemerdekaan kebebasan pers adalah apakah sudah sesuai dengan konstitusi serta undang- undang yang berkaitan dengan fungsi dan peranan pers dalam kehidupan demokrasi. Hal ini sangat penting dirumuskan, mengingat pengalaman selama ini, 41 Satrio Saptohadi.2011.”Pasang Surut Kebebasan Pers di Indonesia”. Jurnal Dinamika Hukum. Volume. 11.No.1.Januari.hlm.131. hampir setiap sistem politik menyebut dirinya demokratis dan menjamin adanya kebebasan pers, tetapi dalam praktiknya otoriter dan membelenggu pers. 42 Negara Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila, dengan demikian semua perilaku warga negara Indonesia diatur, dan dibatasi oleh hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Menurut ketentuan pasal pasal 28 Undang-undang dasar 1945, kemerdekaan untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Dari ketentuan ini nyatalah bahwa kebebasan pers diakui dan dijunjung tinggi. Bahkan jika dilihat dari Undang-Undang Pokok Pers No.11 tahun 1966, tentang ketentuan dari UU pokok pers sebagaimana telah diubah dengan UU No.4 tahun 1967 dan diubah lagi menjadi UU No.21 Tahun 1982, kebebasan pers dijamin sesuai dengan hak asasi warga negara Indonesia. Ketentuan ini diatur dalam pasal 5 dari undang-undang berbunyi: 1. kebebasan pers sesuai dengan hak asasi warga negara dijamin. 2. Kebebasan pers ini didasarkan atas dasar tanggung jawab nasional dan pelaksanaan pasal 2 dan pasal 3 Undang-undang ini. 43 Kebebasan ini di dalam prakteknya memang sangat diperlukan, terutama dalam pelakasanaan fungsi pers sebagai barometer, kritik dan koreksi terhadap kebijaksanaan pemerintah. karena tanpa adanya kebebasan, akan sangat sulit untuk pers untuk memberitakan kejadian yang sesungguhnya yang terjadi di 42 Ibid, hlm.132. 43 Hamzah,et.al, 1987, Delik-delik pers di Indonesia,Jakarta, Media Sarana Press, hlm.13-14. masyarakat.Menurut Oemar Seno Adji, berdasarkan asas demokrasi Pancasila maka dapat digambarkan kebebasan pers di Indonesia adalah sebagai berikut 44 : 1. Kemerdekaan pers harus diartikan sebagai kemerdekaan untuk mempunyai dan menyatakan pendapat dan bukan sebagai kemerdekaan untuk memperoleh alat-alat dari expression seperti dikemukakan oleh negara-negara sosialis. 2. Ia tidak mengundang lembaga sensor preventif. 3. Kebebasan ini bukanlah tidak terbatas, tidak mutlak dan bukanlah tidak bersyarat sifatnya. 4. Ia merupakan suatu kebebasan dalam lingkungan batas-batas tertentu, dengan syarat- syarat limitatif dan demokrasi, seperti oleh hukum nasional, hukum internasional dan ilmu hukum. 5. Kemerdekaan pers ini dibimbing oleh rasa tanggung jawab, dan membawa kewajiban-kewajiban untuk pers sendiri. 6. Ia merupakan kemerdekaan yang disesuaikan dengan tugas pers sebagai kritik adalah negatif dalam karakternya juga positif sifatnya. 7. Aspek positif diatas tidak mengandung dan tidak membenarkan suatu konklusi, bahwa posisinya adalah subordinate, tehadap penguasa. 8. Kebebasan adalah suatu kenyataan, bahwa aspek positif ini jarang ditentukan oleh kaum libertarian sebagai suatu unsur esensial dalam persoalan mass-communication. 9. Pernyataan bahwa pers itu tidak subordinated kepada penguasa politik berarti, bahwa konsep autoritarian adalah tidak acceptable bagi pers Indonesia. 10. Kekebasan pers dalam lingkungan batas limitatif dan demokratis, dengan menolak tindakan preventif adalah lazim dalam negara Demokrasi dan karena itu tidak bertentangan dengan ide pers merdeka. 44 Idem. Demikian garis-garis besar di dalam Demokrasi Pancasila yang dikemukakan Oemar Seno Adji Jelaslah bahwa kemerdekaan pers di Negara Indonesia mempunyai batas-batas tertentu, dalam arti terbatas oleh pandangan hidup bangsa Indonesia serta tujuan yang ingin dicapai pembangunan nasional yang sedang kita laksanakan. Ketentuan yang sesuai dengan ini dapat kita lihat dalam Ketetapan MPR Nomor : IIMPR1983, bagian penerangan dan media massa yang berbunyi: “Dalam rangka meningkatkan peranan pers dalam pembangunan perlu ditingkatkan usaha pengembangan pers yang sehat, pers bebas dan bertanggung jawab, yaitu pers yang dapat menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang obyektif, melakukan kontrol sosial yang konstruktif, menyalurkan aspirasi rakyat dan meluaskan komunikasi dan partisipasi masyarakat. Dalam hal ini perlu dikembangkan interaksi positif antara pers, pemerintah dan masyarakat”. 45 Menurut Harmoko, prinsip kebebasan pers di Indonesia adalah bekerja bahu membahu bersama apa saja yang disepakati masyarakat dengan penuh rasa tanggung jawab. Pers Indonesia mengabdi kepada kepentingan nasional seperti yang telah ditetapkan sendiri oleh rakyat. Soemono Mustofa mengatakan sesungguhnya tidak ada kebebasan pers yang mutlak di dunia ini. Kebebasan pers pun tunduk pada hukum lingkungan. Tak ada kebebasan pers yang berlaku sembarang waktu dan di semua negeri, hanya ada ialah kebebasan pers untuk 45 Ibid, hlm.16. suatu masyarakat pada suatu masa tertentu dan kebebasan pers di Indonesia ialah kebebasan yang memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia. 46 Beberapa konsep kebebasan pers yang berlaku di Indonesia memberikan kesimpulan bahwa kebebasan pers yang bertanggung jawab, dalam artian pers diberikan kebebasan dalam memberitakan kejadian-kejadian yang terjadi namun tetap harus diingat bahwa kebebasan yang diberikan terikat oleh beberapa aturan, oleh sebab itu dikatakan tidak ada kebebasan mutlak. Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara tidak ada kebebasan yang mutlak sifatnya. Kebebasan seorang berhenti apabila melanggar kebebasan orang lain ataupun melanggar kepentingan umum seperti pada masa Orde Baru pers dianggap sebagai suatu ancaman jika memuat berita-berita yang dapat menganggu stabilitas nasional.

5. Pembredelan Pers.

a. Pembredelan. Undang-Undang Pokok Pers No.11 tahun 1966 dan diperbaharui dengan UU PP No.21 tahun 1982, penjelasan mengenai istilah pembredelan tidak ada, setelah berakhirnya Orde Baru dan UU PP No.21 tahun 1982 diperbaharui dengan UU PP No.40 tahun 1999, dijelaskan dalam BAB I tentang ketentuan umum, pasal 1 ayat 9 berbunyi: pembredelan atau pelarangan penyiaran adalah penghentian penerbitan dan peredaran atau penyiaran secara paksa atau melawan hukum. 46 T.Atmadi, 1985, Bunga Rampai Sistem Pers Indonesia, Jakarta, Pantja Simpati, hlm. 136. Namun selama Orde Baru tindakan pembredelan sering terjadi bahkan ketika larangan sensor dan pembredelan tercantum dalam UU PP No.11 Tahun 1966, bab II tentang fungsi, kewajiban dan hak pers, pasal 4 berbunyi: terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan. Serta perturan mengenai izin terbit yang memiliki makna ganda dalam UU PP No.11 Tahun 1966, Bab IV tentang hak penerbitan dan fasilitas pers, pasal 8 ayat 1 berbunyi: setiap warga mempunyai hak penerbitan pers yang bersifat kolektif sesuai dengan hakekatnya Demokrasi Pancasila dan Pasal 8 ayat 2 berbunyi: untuk ini tidak diperlukan Surat Izin Terbit SIT. Namun ketentuan ini di kaburkan dengan Bab IX tentang peralihan pasal 20 ayat 1 a. Dalam masa peralihan keharusan mendapatkan Surat Izin Terbit masih berlaku sampai ada keputusan pencabutannya oleh Pemerintah atau DPRGR. Pasal 20 1 b. Ketentuan-ketentuan mengenai Surat Izin Terbit dalam masa peralihan diatur oleh pemerintah bersama-sama dengan Dewan Pers. selama berlakunya UU PP No.11 Tahun 1966, selain peraturan mengenai SIT peraturan lain yang digunakan untuk membredel pers adalah Surat Izin Cetak SIC yang dikeluarkan oleh Pelaksana Khusus Laksus Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah Kopkamtibda. Ketentuan mengenai SIT dalam masa peralihan di atur dalam, peraturan Menteri Penerangan Republik Indonesia No.03PERMENPEN1969 tentang Lembaga Surat Izin Terbit dalam masa peralihan bagi penerbitan pers yang bersifat umum. Bab III tentang pencabutan surat izin terbit. 47 Pasal 7 berbunyi: 47 Abdurrachman Surjomiharjo, op.cit, hlm. 384.