Pembredelan pers di masa Orde Baru (1966 1998)

(1)

i

PEMBREDELAN PERS DI MASA ORDE BARU (1966-1998)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh :

Olyvie Bintang Haritajaya NIM: 121314020

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2017


(2)

(3)

(4)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Sebagai ungkapan kasih, skripsi ini saya persembahkan kepada:

1. Kepada orangtua tercinta, kedua saudara saya, Fernandus Lucky dan Bastianus Zaevie dan motivasi saya Vinsen dan Fabian.

2. Teman-teman angkatan 2012 yang telah berjuang bersama selama kuliah di Sanata Dharma.

3. Teman-teman asrama putri II Pemda Kutai Barat.


(5)

v

MOTTO

Kebanggaan kita yang terbesar adalah bukan tidak pernah gagal, tetapi bangkit kembali setiap kali kita jatuh.

(Confusius)

Learn from yesterday Life for today Hope for tomorrow

(Albert Einstein)

Ada resiko dan harga yang dibayar untuk bertindak tapi semuanya jauh lebih sedikit dibanding resiko jangka panjang jika hanya berdiam.


(6)

(7)

(8)

viii ABSTRAK

PEMBREDELAN PERS DI MASA ORDE BARU (1966-1998)

Oleh:

Olyvie Bintang Haritajaya Universitas Sanata Dharma

2017

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis tiga permasalahan pokok, yaitu: (1) latar belakang pembredelan pers di masa Orde Baru, (2) bentuk dan alasan pembredelan pers di masa Orde Baru, (3) dampak pembredelan pers di masa Orde Baru.

Penelitian ini disusun berdasarkan metode penelitian historis faktual dengan tahapan: pemilihan topik, pengumpulan sumber, verifikasi, interpretasi dan historiografi. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan multidimensional yaitu politik, sosial dan ekonomi dengan model penulisan deskriptif analitis.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) lahirnya Orde Baru memberikan perubahan sikap pemerintah terhadap kehidupan pers, dan munculnya berbagai kebijakan terhadap pers (2) kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap pers sekaligus bentuk alat pemerintah untuk membredel pers dengan alasan demi menjaga kestabilan politik dan keamanan nasional (3) dampak dari pembredelan pers memberikan berbagai pengaruh dalam perkembangan pers Indonesia seperti bidang industri pers, profesi wartawan, tenaga kerja pers, pers mahasiswa, dan euforia kebebasan pers.


(9)

ix ABSTRACT

THE PROHIBITION OF PRESS DURING NEW ORDER (1966-1998) By:

Olyvie Bintang Haritajaya Sanata Dharma University

2017

The purposes of this research are to describe and to analyze three main problems, such as: (1) The background of the prohibition of press during New Order; (2) The form and reason of the prohibition of press during New Order; (3) The impact of the prohibition of press during New Order.

This research was organized based on historically factual research method using the following steps: selection of a topic, gathering resources, verification, interpretation and historiography. The approach used in the research is a multidimensional approach which is politic, social and economic with descriptive analytic writing model.

The research‟s results show that (1) The inception of New Order changes the government attitude toward press life, and shows many policies for the press.

(2) The government‟s policies toward press is a tool for the government to

prohibit press with a reason to protect the stability of politic and national security. (3) The impact of the prohibition of press has given many influences to Indonesia press development such as in press Industry sector, journalist profession, labor press, student press, and euphoria of press freedom.


(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul “ Pembredelan Pers di Masa Orde Baru (1966-1998)”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat meraih gelar Sarjana Pendidikan di Universitas Sanata Dharma, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Ilmu Pendidikan Sosial, Program Studi Pendidikan Sejarah.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak Rohandi, Ph.D. Selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Bapak Ignatius Bondan Suratno, S.Pd.,M.Si. Selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Sanata Dharma.

3. Dra. Theresia Sumini, M.Pd. Selaku Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

4. Drs. Sutarjo Adisusilo J.R.,S.Th., M.Pd selaku dosen pembimbing yang telah sabar membimbing, membantu, dan memberikan banyak pengarahan, saran serta masukan selama penyusunan skripsi ini.


(11)

(12)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang ... 1

B.Rumusan Masalah ... 9

C.Tujuan Penulisan ... 9

D.Manfaat Penelitian ... 9

E. Tinjauan Pustaka ... 10

F. Landasan Teori... 13

G.Metodologi Penelitian ... 41

H.Sistematika Penulisan ... 45

BAB II LATAR BELAKANG PEMBREDELAN PERS ... 46

A.Lahirnya Orde Baru ... 46

B.Sikap Pemerintah Orde Baru terhadap Pers ... 48

C.Kebijakan Pemerintah terhadap Pers ... 55

BAB III BENTUK DAN ALASAN PEMBREDELAN PERS ... 65

A.Bentuk Pembredelan Pers selama berlakunya UU PP No.11/1966 ... 65

B.Alasan Pembredelan Pers selama berlakunya UU PP No.11/1966.... 67

C.Cara Pembredelan Pers selama berlakunya UU PP No.21/1982 ... 76


(13)

xiii

BAB IV DAMPAK PEMBREDELAN PERS ... 86

A.Industri Pers ... 86

B.Profesi Wartawan ... 89

C.Tenaga Kerja Pers ... 95

D.Kehidupan Pers Mahasiswa ... 97

E. Euforia Kebebasan Pers ... 101

BAB V KESIMPULAN ... 106

DAFTAR PUSTAKA ... 109


(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Istilah press (Inggris) atau pers (Belanda) yang sebenarnya berarti menekan (pressing) karena mesin cetak menekan kertas untuk memunculkan tulisan. Secara harafiah pers berarti mencetak dan penyiaran yang tercetak atau publikasi yang dicetak (printed publication). Berdasarkan penjelasan di atas, pers memiliki dua pengertian yakni pers dalam arti luas dan pers dalam arti sempit. Pers dalam arti luas meliputi segala penerbitan, sedangkan pers dalam arti sempit hanya terbatas pada media massa cetak yaitu, surat kabar, majalah, tabloid dan buletin.1 Berkaitan dengan pengertian di atas, maka yang dimaksud pers dalam penelitian ini adalah pers dalam arti sempit, yaitu menyangkut produk penerbitan berupa surat kabar, majalah, tabloid dan buletin.

Awal sejarah pers di Indonesia memiliki ciri-ciri khusus terkait dengan kehidupan sosial masyarakat, kebudayaan, dan politik. Hal tersebut berpengaruh dalam perkembangan pers di Indonesia sehingga muncul pers Belanda, pers Melayu-Tionghoa, pers masa kependudukan Jepang, dan pers setelah kemerdekaan Indonesia. Seiring munculnya jenis-jenis pers yang berkembang maka bahasa pers yang digunakan juga berbeda sesuai dengan kebutuhan.

Secara garis besar perkembangan pers dimulai dari zaman penjajahan Belanda. Sebagai daerah jajahan, pers hanya diperuntukan bagi orang-orang Belanda. Usaha pertama untuk memulai mencetak surat kabar resmi dimulai

1


(15)

masa Gubernur Jenderal Van Imhoff, yang pada tahun 1744 menerbitkan Bataviache Nouvelles yang hanya bertahan kurang lebih selama dua tahun.2 Hal ini dikarenakan para direktur Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) di negeri Belanda mendengar tentang surat kabar itu dan langsung menulis kepada

gubernur jenderal isi surat tersebut “Karena kami telah menemukan akibat-akibat yang membahayakan di negeri ini dalam mencetak dan menerbitkan surat kabar di Batavia yang mulia pada saat menerima surat ini akan segera melarang

percetakan dan penerbitan surat kabar yang terkait”.3

Perkembangan pers Belanda dalam bidang penerbitan surat kabar resmi dan penyebarannya masih sangat terbatas dibeberapa daerah besar seperti Batavia, Yogyakarta, Semarang, Sumatera, dan Kalimantan, yang hanya penting bagi administrasi ataupun sebagai pusat perdagangan perusahaan-perusahaan Belanda. Isi dari pers Belanda sudah tentu berorientasi pada pemerintah kolonial.

Pemerintah kolonial tidak peduli dengan keadaan masyarakat Indonesia kerena dianggap tidak memberikan keuntungan, bahkan untuk mengetahui tentang surat kabar yang ditulis rakyat pribumi dirasa tidak perlu.4 Oleh sebab itu, pemerintah kolonial hanya mementingkan perkembangan surat kabar Belanda karena berguna dalam memonopoli berita perdagangan untuk mendapatkan keuntungan. Bahasa yang digunakan pers Belanda yaitu bahasa Belanda sehingga pembaca surat kabar tersebut sangat terbatas hanya kalangan tertentu saja yang bisa membaca surat kabar berbahasa Belanda, seperti keturunan Indo-Belanda.

2

Abdurrachman Surjomihardjo, 2002, Beberapa Segi Perkembangan Pers di Indonesia, Jakarta,

Kompas Media Nusantara, hlm. 25.

3

Smith Edward Cecil,1986,Sejarah Pembredelan Pers di Indonesia,Jakarta,Grafiti Pers, hlm.1.

4


(16)

Peraturan pertama mengenai pers di zaman Hindia Belanda tahun 1856 dalam Reglement op de Drukwerken in Nederlandsch-Indie, yang diperbaharui tahun 1906, disesuaikan dengan tuntutan keadaan, dapat dikatakan bahwa Undang-Undang Pers (Drukpersreglement) tahun 1856 lebih bersifat preventif, sedangkan ketentuan perundang-undangan tahun 1906 mengenai pers bersifat pengawasan represif.5 Peraturan itu, antara lain disebutkan bahwa sebelum diterbitkan, satu eksemplar dari semua karya cetak harus dikirimkan terlebih dahulu kepada kepala pemerintah setempat, pejabat justisi dan Aglemeene Sectretarie.6 Bila ketentuan ini tidak dipatuhi karya cetak bisa disita, bahkan disertai dengan penyegelan percetakan atau tempat peyimpanan cetakan tersebut.

Pada 7 September 1931, pemerintah kolonial melahirkan apa yang kemudian dikenal sebagai Persbreidel Ordonnantie, dan disebutkan bahwa Gubernur Jenderal diberi hak untuk melarang terbitan tertentu yang dinilai bisa

“mengganggu ketertiban umum”. Pasal 2 peraturan ini menegaskan bahwa

Gubernur Jenderal berhak melarang percetakan, penerbitan dan penyebaran surat kabar, paling lama delapan hari. Namun, jika sesudah diperbolehkan terbit kembali surat kabar yang bersangkutan dinilai mengganggu ketertiban umum, larangan terbit bisa lebih lama, walaupun tidak lebih dari 30 hari berturut-turut.7

Selain Persbreidel Ordonnantie, pada zaman pemerintahan Belanda juga dikenal tindakan terhadap pers yang disebut Haatzai Artikalen, yaitu pasal-pasal yang mengancam hukuman terhadap siapapun yang menyebarkan rasa

5

Ibid, hlm. 172.

6

Aglemene Secretarie adalah sebutan untuk sekretaris Jenderal.

7 Idem.


(17)

permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap pemerintah Nederland atau Hindia Belanda, yang diatur dalam pasal 154-157 dari Wetboek van Strafrecht.8

Perkembangan pers Melayu-Tionghoa yang muncul di Indonesia mula-mula dalam bahasa Melayu-Tionghoa karena perantauan Tionghoa yang menetap di Jawa secara turun-menurun, kebanyakan tidak bisa berbahasa Tionghoa lagi, bahkan kebiasaan mereka pun berbeda dengan totok Tionghoa. Bahasa sehari-hari yang mereka gunakan ialah Bahasa Indonesia setempat. Oleh karena itu bahasa yang digunakan dalam surat kabar ialah bahasa yang mereka kenal, yaitu sejenis bahasa Melayu yang banyak dipengaruhi oleh bahasa Hokkian, kemudian dikenal sebagai bahasa Melayu-Tionghoa. Surat kabar peranakan Tionghoa menggunakan bahasa Melayu seiring bangkitnya nasionalisme Tionghoa di Hindia Belanda.9

Pers Melayu-Tionghoa memenuhi fungsi untuk berkomunikasi di antara kaum peranakan Tionghoa dan masyarakat pribumi yang menggunakan Bahasa Indonesia pada umumnya. Bebarapa surat kabar Melayu-Tionghoa muncul setelah bangkitnya Nasionalisme, seperti: di pulau Jawa, Li Po (1901), Pewarta Soerabaja (1902) dan Perniagaan (1903), Sin Po (1910), Keng po (1923).10

Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, pers Belanda dan pers Tionghoa diambil alih Jepang. Beberapa penerbitan pers Indonesia masih tetap bisa terbit, tetapi di bawah pengawasan militer Jepang. Edward Cecil Smith mengutip dari Indonesian Historiography tentang beberapa surat kabar selama

kependudukan Jepang seperti berikut: “Indonesia terbagi dalam dua bagian: Jawa

dan Sumatera dikuasai Angkatan Darat Jepang, sementara Kalimantan, Sulawesi,

8

Ibid. hlm. 173.

9

Ibid. hlm. 73.

10


(18)

dan daerah sebelah timurnya dikuasai Angkatan Laut. Sebagai media komunikasi di daerah-daerah tersebut, ada lima surat kabar yang diterbitkan di bawah pengawasan pemerintahan militer. Surat kabar itu adalah Jawa Shinbun (Jawa), Sumatera Shinbun (Sumatera), Ceram Shinbun (pulau Seram), Borneo Shinbun (Kalimantan), dan Celebes Shinbun (Sulawesi).11 Surat kabar berbahasa Indonesia yang diterbitkan pemerintah Jepang untuk pulau Jawa : Asia Raya (Batavia), Pembangoenan, Pemandangan, Kung Yung Pao, Tjahja (Bandung), Sinar Matahari (Yogyakarta), Sinar Baroe (Semarang), Pewarta Perniagaan ( Surabaya). Selain surat kabar berbahasa Indonesia, beberapa surat kabar Belanda masih diperbolehkan terbit, yaitu: Soeabajaasch Hendelsblad dan Soeara Asia.12

Peraturan mengenai pers zaman pendudukan Jepang untuk mengatur sarana publikasi dan komunikasi tertuang dalam Osamu Sereirei (Undang-undang No.16, tahun 1942). Dengan terbitnya peraturan ini, dikatakan bahwa setiap artikel, termasuk iklan-iklan yang akan diterbitkan terlebih dahulu harus mendapat cap dari badan sensor meskipun beritanya berasal dari kantor berita Jepang (Domei).13

Dalam Undang-Undang No.16, terdapat dua segi yang menarik perhatian yaitu, berlakunya sistem izin terbit dan sensor preventif. Pasal (1) menyatakan bahwa semua jenis barang cetakan harus memiliki publikasi atau izin terbit. Pasal (2) melarang semua penerbitan yang sebelumnya memusuhi Jepang, untuk meneruskan penerbitanya. Penerbitan yang dilarang itu meliputi semua surat

11

Edward Cecil Smith. op.cit. hlm. 71.

12

Abdurrachman Sosromiharjo. op.cit. hlm. 101.

13

Uka Tjandrasasmita,2010,Arkeologi Islam Nusantara, Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia,


(19)

kabar Belanda, Indonesia yang anti Jepang, dan juga surat kabar berbahasa Cina yang menyerang agresi Jepang terhadap Tiongkok.

Di bawah kekuasaan Jepang, aturan hidup sangat keras, namun rakyat Indonesia memperoleh pengalaman yang tak ternilai harganya. Mereka bekerja sebagai pemimpin pemerintahan dan teknisi yang tadinya dipegang Belanda. Rakyat Indonesia dijadikan satuan-satuan tempur dan diberi latihan militer, persiapan yang tidak disengaja untuk revolusi menuju kemerdekaan Indonesia.

Pers setelah kemerdekaan Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno yang dipercaya menjadi Presiden pertama Republik Indonesia, pers mulai mengalami perubahan seiring dengan perkembangan politik. Pers nasional ikut dalam arus politik sehingga mempengaruhi watak pers nasional dari pers perjuangan menjadi pers partisan sebagai sarana partai politik. Pergolakan politik terus terjadi selama era demokrasi Liberal. Pergantian kabinet silih berganti masa Demokrasi Liberal mengakibatkan kondisi politik negara tidak stabil sehingga Presiden Soekarno mengubah sistem politik yang berlaku, pada 28 Oktober 1956 dari sistem pemerintahan demokrasi Liberal menjadi Demokrasi Terpimpin.

Ketika itu situasi politik tidak stabil, karena pemberontakan yang terjadi di berbagai daerah menentang kabinet baru yang dipilih oleh Presiden Soekarno yaitu kabinet Djuanda Kartawidjaja. Selama masa jabatan kabinet Djuanda, Presiden Soekarno memperkokoh kekuasaannya dengan ungkapan-ungkapan kharismatik yang sangat populer ialah: Manifesto politik, Nasakom, Ganefo, Nefo dan Oldefo.14 Situasi krisis politik yang terjadi karena aksi pemberontakan yang

14


(20)

gagal mencapai kesepakatan perdamaian semakin membuat situasi semakin tidak terkendali. Karena melihat situasi semakin rumit Presiden Soekarno memberlakukan keadaan darurat perang (SOB).15 Dalam keadaan tersebut penguasa mengeluarkan berbagai peraturan untuk mengontrol pers dan upaya Presiden Soekarno untuk mengkonsolidasi kekuasaannya melalui ungkapan revolusi belum selesai.

Pada tanggal 12 Oktober 1960, sebagai Penguasa Perang Tertinggi (Peperti), Presiden Soekarno mengeluarkan peraturan bahwa setiap penerbitan harus mendaftarkan diri untuk mendapat surat izin terbit (SIT). Agar izin terbit diperoleh, pers harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu, seperti setia kepada manifesto politik, serta turut berjuang menentang imperialisme, kolonialisme, liberalisme, federalisme, dan separatisme16

Penguasa Demokrasi Terpimpin memandang pers semata-mata dari sudut kemampuannya dalam memobilisasi massa dan opini publik. Pers dianggap sebagai alat revolusi yang besar pengaruhnya untuk menggerakan atau meradikalisasi massa untuk menyelesaikan sebuah revolusi. Oleh karena itu, rezim Demokrasi Terpimpin merasa perlu menguasai pers, yang dalam praktik bukannya untuk memperbaiki kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masyarakat tetapi untuk alat revolusi kekuasaan rezim Orde Lama.17 Dalam sejarah pers Indonesia, salah satu masalah yang menarik adalah pelarangan terbit atau pembredelan terhadap surat kabar. Ada surat kabar yang dilarang terbit untuk sementara dan selamanya. Pelarangan terbit itu sering disertai pula penahanan

15 Idem. 16

Peraturan Panglima Perang Tertinggi, No. 10 diterbitkan tahun 1960.

17


(21)

terhadap pimpinan surat kabar yang bersangkutan dan juga penahanan tanpa pengadilan terhadap wartawan terkait pembredelan.

Periode pembredelan dalam penelitian ini difokuskan pada 1966-1998, dengan analisis berdasarkan Undang-Undang Pokok Pers No.11 tahun 1966 dan Undang-Undang Pokok Pers No. 21 tahun 1982. Setelah peristiwa G 30 S tahun 1965, Jenderal Soeharto melakukan pembredelan terhadap semua surat kabar PKI dan yang diduga terkait dengan ormas tersebut. Namun sikap kritis pers terhadap pemerintahan telah tumbuh mulai dari tahun 1966 dan semakin meningkat ketika pemerintahan di dominasi oleh Angkatan Darat, serta isu-isu korupsi mulai merajalela, tetapi pemerintah masih memberikan toleransi terhadap kritik pers, dan menahan diri untuk melakukan tindakan pemberdelan. Hal ini terlihat dari data pembredelan menunjukan pemerintah baru melakukan pembredelan tahun 1971, namun Ini artinya pemerintah mulai meletakkan tali kekang untuk mengendalikan pers. Dapat ditemukan juga pemerintah lebih represif pasca Malari 1974, surat kabar yang di larang terbit (harian dan mingguan) serta majalah, yaitu harian Nusantara, Indonesia Raya, Pedoman, Abadi, harian KAMI, The Jakarta Times, mingguan Wenang, Pemuda Indonesia dan Ekspres, Mingguan Mahasiswa Indoesia yang (Bandung), Suluh Berita yang terbit di Surabaya, serta Pos Indonesia yang (Ujung Pandang),18 dan Sinar Harapan.19

18

Ahmad Zaini Abar, 1995, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, Yogyakarta,Lkis, hlm. 1.

19

Yuli Andanwati.Pembredelan Sinar Harapan Tahun 1986. Avatara E-journal Pendidikan


(22)

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat ditarik beberapa permasalahan sebagai berikut.

1. Apa latar belakang pembredelan pers di masa Orde Baru?

2. Bentuk dan alasan pembredelan pers yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru?

3. Apa dampak dari pembredelan pers bagi perkembangan kehidupan pers? C.Tujuan Penelitian

1. Menjelaskan latar belakang pembredelan pers pada masa Orde Baru. 2. Menjelaskan bentuk dan alasan pembredelan pers yang dilakukan oleh

pemerintah Orde Baru.

3. Menjelaskan dampak dari pembredelan pers bagi perkembangan pers pasca Orde Baru.

D.Manfaat Penelitian

1. Bagi Universitas Sanata Dharma

Untuk melaksanakan salah satu Tridharma perguruan tinggi khususnya bidang penelitian yaitu untuk ilmu pengetahuan sosial. Penulisan ini juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber referensi bagi rekan-rekan mahasiswa. Selain itu, juga dapat dimanfaatkan untuk contoh dalam penulisan skripsi bagi mahasiswa selanjutnya.

2. Bagi Dunia Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Untuk menambah wawasan dan pengetahuan sejarah Indonesia pada era Orde Baru, khususnya tentang pembredelan pers 1966-1998.


(23)

3. Bagi Masyarakat Luas

Dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang pembredelan pers di masa Orde Baru dan menjadi bahan refleksi tentang kebebasan pers di masa Orde Baru.

E. Tinjauan Pustaka

Penelitian ini disusun dengan menggunakan sumber primer berupa Undang-undang Pokok Pers, surat kabar, dan sumber sekunder berupa buku, jurnal ilmiah dalam penulisan skripsi ini banyak menggunakan sumber sekunder berupa buku-buku pokok yang menunjang penulisan skripsi ini.

Beberapa buku yang digunakan antara lain: Beberapa Segi Perkembangan Pers di Indonesia, karya Abdurrachman Surjomihardjo, et.al. Buku ini memberikan gambaran tentang sejarah pers di Indonesia, yang memiliki ciri-ciri khusus yang berhubungan dengan keadaan masyarakat, kebudayaan dan politik.

Buku ini juga menguraikan jenis-jenis pers yang berkembang di Indonesia yaitu pers Belanda, pers Melayu-Tionghoa, pers Indonesia dan pers daerah.20 Selain memaparkan tentang beberapa jenis-jenis pers yang berkembang pra dan pasca kemerdekaan Indonesia, ditegaskan pula bahwa kontrol terhadap pers yang tertuang dalam peraturan berupa Undang-undang pers sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda di nusantara. Oleh sebab itu, semakin memberikan pemahaman tentang sejarah pers Indonesia hingga saat ini.

Pembredelan Pers di Indonesia tulisan Edward Cecil Smith, semakin memperlengkap tentang dinamika Pers Indonesia. Meskipun banyak cobaan yang

20


(24)

dihadapi pada awal sejarahnya, justru karena cobaan itulah, pers dapat bertahan sebagai sistem komunikasi. Pers Belanda, pers Tionghoa dan pers Indonesia, yang saling beradaptasi dengan lingkungan dan kebudayaan satu sama lain, meskipun terdapat sensor dan undang-undang yang melarang mengkritik pemerintah, namun pers masih tetap dapat bertahan terus di pasaran yang masih terbatas karena besarnya jumlah penduduk yang buta huruf dan masih sangat kecil mendapat penghasilan ketika Indonesia baru merdeka.21

Kisah Pers 1966-1974, ditulis Ahmad Zaini Abar 22 yang bermula dari kajian untuk skripsi, tugas akhir pada jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Ahmad Zaini Abar telah memadukan antara kegemaran dengan disiplin keilmuan formalnya, sehingga melahirkan karya ini. Buku ini berpretensi mengenali fenomena sosio-politik dengan difokuskan kepada kekuasaan Orde Baru. Buku karya Ahmad Zaini Abar memaparkan tentang faktor-faktor politik yang menyebabkan daya kritis dan kebebasan pers tumbuh dan berkembang, lalu kemudian kehilangan maknanya, perubahan sikap kritis pers serta sikap pemerintah terhadap pers, dapat dilihat dari Peristiwa Malari 1974 sebagai tolok ukur.

Pers pra-Malari adalah pers idealis, pers yang menyuarakan hati nurani dan aspirasi rakyat, berani dan kritis melakukan kontrol sosial. Singkatnya pers pra-Malari adalah pers yang bebas, merdeka serta akumulatif. Sebaliknya, pers Post-Malari pers menjadi kurang idealis, cenderung mewakili kepentingan penguasa,

21

Edward.C.Smith, op.cit, hlm. 3.

22


(25)

pemerintah atau negara serta tidak lagi pernah melakukan kontrol sosial secara kritis. Pers post-Malari adalah pers yang tidak bebas.

David T.Hill dengan bukunya yang berjudul Pers di Masa Orde Baru23 memperlengkap tentang perkembangan pers setelah merdeka khususnya masa pemerintahan Orde Baru. Orde Baru membangun relasi saling terkait yang pelik antara kendali keamanan dan undang-undang tangan besi yang mengendalikan pers. Pers di bawah pemerintahan Presiden Soeharto yang berusaha untuk menghilangkan organ-organ partai dan surat kabar-surat kabat yang kritis, menjinakkan pers pembuat kegaduhan, dan memastikan bahwa para pekerja dan pihak manajemen pers bertanggung jawab secara mutlak pada pemerintah. 24

Dalam buku ini juga dipaparkan tentang periode-periode pemerintah melakukan tindakan anti pers atau lebih sering dikatakan sebagai pembredelan terhadap pers, kebebasan pers yang pernah dijanjikan oleh pemerintahan Presiden Soeharto dengan Orde Baru-nya hanya sebagai kebebasan semu. Ini terbukti dari adanya pembredelan terhadap surat kabar maupun majalah karena dianggap memuat berita yang dapat mengganggu kestabilan politik.

Humanisme dan Kebebasan Pers, editor buku St.Sularto25, memberikan gambaran tentang kebebasan pers yang ada di Indonesia serta peraturan-peraturan pasca Indonesia merdeka menjadi semakin mempersempit kebebasan pers yang sebenarnya sudah tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28.

Pada masa Orde Baru dikenal adanya keharusan mendapatkan izin untuk menerbitkan surat kabar, namun proses untuk mendapatkan izin cukup sulit,

23

David.T.Hill, 2011, Pers di Masa Orde Baru, Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

24

Ibid,hlm. 7.

25


(26)

ditambah kebabasan pers hampir dikatakan tidak ada ketika dalam Undang-Undang Pers 1982 mencantumkan pasal keharusan mendapatkan Surat Izin Usaha Percetakan Pers (SIUPP), meskipun Surat Izin Terbit dihapus, dengan munculnya SIUPP sebagai alat kontrol terhadap pers oleh pemerintah. Peraturan ini lebih berat dirasakan oleh industri pers karena ketika surat kabar dan majalah dianggap memberitakan isu-isu yang dapat menganggu kestabilan keamanan dan politik serta kehidupan Presiden Soeharto, maka Menteri Penerangan dapat membatalkan SIUPP yang diberikan. Tindakan tersebut memberikan dampak yang sangat merugikan bagi industri pers karena surat kabar dan majalah dibredel dan tidak ada sumber rezeki dari industri pers yang selama ini menjadi sumber kehidupan bagi para karyawan.

F. Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan beberapa konsep sebagai dasar landasan teori. Konsep-konsep tersebut antara lain adalah sistem pemerintahan otoriter, teori totaliter, pers, sistem pers, kebebasan pers, pembredelan dan bahasa dalam pers.

1. Sistem Pemerintahan Otoriter/Fasis

Fasisme berasal dari bahasa Latin Fasces yang berarti „ikatan‟. Pada masa Roma kuno, petugas hukum mengenakan tanda berupa seikat sambuk dan kapak sebagai simbol, wewenang dan keadilan. Di tahun 1920 Mussolini mengadopsi

simbol ini dengan memberi nama yang mirip, „Fasci’ untuk kelompok bersenjata yang dia harapkan dapat membawanya kepada kekuasaan.26

26


(27)

Mussolini ditiru seorang Jerman bernama Adolf Hitler. Pengikut -pengikut Hitler yang revolusioner merupakan anggota Partai Buruh Sosialis Jerman (National Socialist German Worker’s Party/NSDAP). Dari nama partai inilah istilah Nazi Jerman dan Fasis Italia cukup memiliki kesamaan antar keduanya,

hingga kata „fasis‟ patut dilekatkan bagi kedua gerakan revolusioner itu. Slogan Ein Reich, Ein Volk, Ein Fuehrer, dapat digunakan untuk menympulkan apa arti sebenarnya Fasisme.27

Ein Reich (Negara Totaliter). Menurut doktrin fasis, negar harus totaliter. Ini berarti negara harus memiliki kekuasaan total atas seluruh aspek kehidupan rakyatnya. Di negara totaliter rakyat ada untuk kepentingan negara. Hanya ada satu partai politik dimana setiap orang memberikan suaranya, dan partai ini adalah pemerintah. Pemerintah mengontrol semuanya: pendidikan dan media massa, industri dan perdagangan, rekreasi dan agama, bahkan kehidupan berkeluarga.

Ein Volk ( Rasialisme dan Nasionalisme). Kaum fasis percaya bahwa manusia adalah predator, tetapi hal ini bukan satu-satunya pembenaran mereka mendukung negara kuat. Secara sederhana, seorang rasialis percaya bahwa rasnya, entah berasal dari Inggris, Jerman, Cina atau manusia keturunan manapun, adalah superior atas ras lainnya. Rasialisme berkaitan erat dengan nasionalisme. Seorang nasionalis adalah seorang yang memiliki kebanggaan atas bangsanya, hingga terkadang sampai pada taraf memujanya. Yang dimaksud dengan „bangsa‟ di sini adalah istilah kolektif yang mencakup negara (sebuah sistem pemerintahan),

27


(28)

masyarakat (sebuah kelompok ras yang disatukan oleh ikatan darah), serta budaya dan tradisi yang telah berkembang berabad-abad.28

Ein Fuehrer (Prinsip Kepemimpinan). Jika fasisme adalah agama maka pemimpinnya (Fuehrer) adalah Tuhannya atau God Given ( keturunan Tuhan). Pada tahun 1920-1945, pemimpin kaum fasis adalah para diktator. Dua dari mereka Hitler dan Mussolini yang memiliki kekuasan total, menggunakan alat-alat demokratik pemilihan umum dan tawar-menawar politik mendapat kekuasaan. Namun sekali mereka mengambil alih pemerintahan, mereka menggengam seluruh kekuasaan di tangan mereka. Kata-kata mereka adalah hukum. Mereka menjadi diktator tidak hanya berkat kualitas kepemimpinan mereka. Seorang fasis mendukung negara totaliter yang dipimpin seorang diktator yang populer. Ia selalu yakin dengan superioritas rasnya dan kebesaran bangsanya. 29

Untuk semakin menjelaskan ciri pemerintahan yang otoriter/fasis teori totaliterisme yang telah berkembang dapat memberikan gambaran ringkas sebagai berikut:Rezim totaliter dimanapun bermaksud mengarahkan masa rakyat untuk membangun suatu masyarakat baru, suatu sistem nilai baru dengan cara-cara yang revolusioner dengan prinsip tujuan menghalalkan segala cara, di samping mengontrol semua kekuasaan sosial. Menurut Zbigniew Brzezinki (di samping Hannah Arendt, Karl Popper, Raymond Aron,dll.) Masyarakat totaliter mempunyai unsur pokok, yaitu:30

28

Ibid, hlm. 7.

29

Ibid, hlm. 14-15.

30

Sutarjo Adisusilo.J.R, 2016, Revolusi Eropa Menjadi Modern, Yogyakarta, Sanata Dharma


(29)

1) Suatu ideologi yang menjelaskan dunia, masyarakat manusia dan sejarah, merupakan ideologi yang harus ditaati, dipropagandakan dan diterima oleh semua warga negara.

2) Pemusatan kekuasaan sosial dan politik di tangan satu partai (biasanya didominasi oleh satu orang pemimpin)

3) Intimidasi atas rakyat melalui ketidakpastian hukum teror politis yang sewenang-wenang.

4) Monopoli negara atas sarana-sarana informasi dan komunikasi 5) Perekonomian yang terpusat dan serba terencana.

Dengan unsur-unsur yang dimilikinya, maka rezim totaliter ternyata mengandung unsur paradoksial di dalam dirinya, tidak efisien dan kontra produktif. Hal ini dapat dicermati dari:

1) Ideologi

Memberlakukan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi negara, berarti setiap warga negara harus menerimanya, membuat tidak ada kemajemukan/pluralisme dalam berbagai hal termasuk pendapat, ide, gagasan, pikiran, dll. Semua harus seragam. Berbeda berarti menentang, dan mati. Kendati diindoktinisasikan, ideologi seperti itu tidak akan meresap dalam hati dan dihayati warga masyarakat. Jika dipelajari maka hal itu hanya lahiriah sifatnya, tetapi ideologi itu akan dibenci di dalam hati sanubari, kemunafikan merajalela. Memaksakan ideologi yang hanya dilegitimasikan kekuasaan justru kontra produktif.


(30)

2) Sistem partai tunggal

Jika dalam suatu negara hanya ada satu atau non multi partai, tetapi satu partai memonopoli semua kekuasaan negara, maka konsekuensi logisnya adalah partai dan birokrasi negara tumbuh menjadi sesuatu yang berukuran raksasa dan tidak dapat tidak menjadi tidak becus dan korupsi, nepotisme maupun kolusi akan berkembang subur. Sistem partai tunggal menjadi buta kritik, saran dan penyegaran. Keangkuhan, kesombongan dalam segala hal mengantar partai secara pelan tapi pasti masuk dalam kehancuran.

3) Teror

Ciri lain pemerintahan totaliter adalah menindas kelompok minoritas (agama, ras, budaya, sosial, dll) secara sistematis. Di samping itu tidak ada kepastian hukum sebab hukum untuk mengabdi penguasa dan situasi ini akan berdampak struktur masyarakat lambat laun akan lumpuh. Ketakutan yang ditimbulkan oleh penguasa (polisi, tentara, jaksa, hakim, dll), lambat laun akan berubah menjadi rasa jijik dan benci yang meluas di kalangan rakyat terhadap penguasa.

4) Kontrol informasi

Radio, TV, Surat Kabar, internet dan alat-alat komunikasi modern amat membantu propaganda pemerintah. Di pihak lain alat-alat tersebut kendati dibungkam dibredel, akan tetap menjadi alat komunikasi bagi setiap orang untuk melawan pemerintah. Dengan kata lain pemerintah totaliter pada dasarnya tidak akan dapat membungkam rakyatnya dengan memanipulir informasi atau membatasi informasi. Pemerintah manapun akan gagal mengontrol dan


(31)

memblokir informasi, pembredelan surat kabar, internet dll. Justru mendorong rakyat mencari dan mempercayai informasi dari luar dan membenci informasi pemerintahnya.

5) Perekonomian berencana yang terpusat.

Perekonomian berencana yang terpusat terus menerus lambat laun tidak efisien sebab melenyapkan prinsip-prinsip persaingan sehat. Akibat motivasi untuk bertindak secara ekonomis hilang. Produktivitas dan kreativitas lenyap demi mengutamakan loyalitas, komitmen pada partai dan ideologi. Dalam keadaan seperti ini ekonomi tidak saja stagnan tetapi mundur dan akhirnya runtuh. Dengan melihat struktur paradoksal totalitarianisme maka hasil akhirnya adalah kekacauan ekonomi dan hilangnya kredibilitas rakyat terhadap penguasa sebab ideologi yang dipaksakan demi legitimasi penguasa akan berguna.

Penulis memaparkan teori tentang fasisme dan totalitarisme sebagai suatu gambaran sejarah ketika negara dipimpin oleh seorang otoriter,gambaran inilah yang di masa Orde Baru dapat kita lihat, bagaimana seorang pemimpin secara penuh menggunakan kekuasaanya dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Menurut Ashadi Siregar31 rezim Orde Baru digerakan oleh budaya negara berdasarkan norma militerisme dan/ atau fasisme dengan menjalankan prinsip monopoli mulai dari pengendalian secara fisik, sampai penguasaan alam pikiran warga. Pengendalian fisik dilakukan antara lain dengan tindakan-tindakan, sementara penguasaan alam pikiran dilakukan dengan monopoli wacana melalui penguasaan alat-alat komunikasi dalam masyarakat.

31

Ashadi Siregar. Media Pers dan Negara: Keluar dari Hegemoni. Jurnal Ilmu Komunikasi dan


(32)

Militerisme dan fasisme dapat berjalan bersamaan, tetapi dapat juga berjalan terpisah. Militerisme pada dasarnya secara sederhana dapat diartikan sebagai tindakan dengan menggunakan metode militer dalam kehidupan sipil. Metode militer yang digerakkan dengan norma fasisme dapat menjadi sangat eksesif jika budaya negara ini digerakan oleh pimpinan negara yang memiliki kecendrungan psikopatologis. Kehidupan era Hitler di Jerman dapat menjadi studi mengenai pola fasisme. Struktur negara Orde Baru tidak memberi tempat kepada struktur alternatif atau oposisi karena digerakakkan oleh budaya negara dengan norma militerisme dan fasisme. Dengan norma semacam ini, biasanya terbentuk pula struktur gelap atau bayangan (hidden Structure) yang berasal dari dalam struktur resmi negera. Struktur gelap ini di gunakan untuk menjalankan tindakan secara fisik dan metode lainnya di luar hukum oleh penguasa negara untuk mematikan setiap tindakan yang dianggap sebagai oposisi. Teror terhadap warga, penculikan dan penahanan tanpa prosedur hukum, bahkan sampai penembakan misterius (petrus) yang disebut tindakan shock theraphy dapat menjadi contoh tindakan dari struktur gelap rezim Orde Baru.32

Demikialah era Orde Baru ditandai oleh struktur sosial dengan kekuasaan negara bersifat hegemonik dan korporatis ala fasisme. Selain adanya tindakan-tindakan yang berlangsung melalui struktur negara (resmi dan gelap), penguasaan alam pikiran warga masyarakat dilakukan dengan mengendalikan media massa. Media massa dijadikan oleh penguasa negara sebagai sarana pengendalian masyarakat. Dalam norma otoritarianisme umumnya dan fasisme khususnya

32


(33)

media massa pada dasarnya hanya menjadi alat bagi kekuasaan, bukan sebagai sarana masyarakat untuk mendapat fakta dan mengekspresikan dirinya. Lebih jauh, pengendalian masyarakat adalah kata kunci dalam struktur negara fasis dan militeristis yang bersifat totalitarian.33

2. Pers

Setelah berakhirnya pemerintahan Presiden Soekarno dengan Orde Lama-nya dan digantikan dengan Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto salah satu perubahan yang dilakukan pemerintah yaitu dengan memperbaharui Undang tentang pers yang beberapa kali mengalami perubahan seperti: Undang-Undang tentang perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang No.11 1966 tentang Ketentuan-ketentuan pokok pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.4 1967.

Pasal 1 a. Pengertian tentang pers diubah sebagai berikut alat revolusi diubah menjadi alat perjuangan. Setelah mengalami perubahan kata dalam pengertian pers, menurut Undang-undang No.21 1982 tentang perubahan atas Undang-Undang No.11 1966 tentang ketentuan-ketentuan pokok pers sebagaimana telah diubah oleh Undang-undang No. 4 1967 yang dimaksud dengan pers adalah lembaga kemasyarakatan dan alat perjuangan nasional yang mempunyai karya sebagai salah satu media komunikasi massa yang bersifat umum berupa penerbitan yang teratur waktu terbitnya, dilengkapi dengan alat-alat foto, klise, mesin-mesin stensil atau alat-alat teknik lainnya.34

33

Ibid, hlm, 179.

34


(34)

Perumusan pers menurut Undang-Undang tersebut di atas sangat sesuai dengan perumusan yang dikemukakan oleh Oemar Seno Adji, tentang pers dalam

arti sempit yaitu “Pers yang menjelma dalam surat-surat kabar, majalah-majalah, buku-buku dan lain-lain”.35 Kalau kita telaah lebih dalam kedua perumusan di atas, maka yang dimaksudkan dengan pers adalah semua alat komunikasi yang bersifat umum dan terbit secara teratur berupa majalah-majalah, surat kabar, buku-buku, dan lain sebagainya yang berfungsi sebagai penyebar luas informasi dan sarana perjuangan untuk mencapai cita-cita pembangunan nasional.

3. Sistem Pers

Pers umumnya tunduk pada sistem pers yang berlaku di mana sistem itu hidup, sementara sistem pers itu sendiri tunduk kepada sistem politik pemerintahan yang ada. Bersama dengan lembaga kemasyarakatan lainnya, pers berada dalam keterikatan organisasi yang bernama negara. Oleh karenanya, pers dipengaruhi bahkan ditentukan oleh falsafah dan sistem politik negara di mana pers itu berada. Singkat kata, perkembangan dan perkembangan dan pertumbuhan sistem politik di mana pers itu berada, dan merupakan subsistem politik yang ada. Menurut Fred S. Siebert, dkk dalam buku yang berjudul Four Theories of the Press, terdapat empat teori pers yang mendukung sistem pers di dunia:36

Pertama Teori Pers Otoriter. Ciri utama dari sistem pers otoriter adalah fungsi pers sebagai kepanjangan tangan pemerintah yang sedang berkuasa dan melayani negara. Melalui penerapan hak khusus, lisensi, sensor langsung dan peraturan organisasi media, individu dijauhkan dari kemungkinan mengkritik

35

Oemar Seno Adji, 1977, Pers Aspek-aspek Hukum, cet.2, Jakarta, Erlangga, hlm.79.

36

Inge Hutagalung.”Dinamika Sistem Pers di Indonesia” Jurnal Interaksi.Volume II No.2. Juli 2013, hlm.54.


(35)

pemerintah yang berkuasa. Dalam sistem otoriter, pers dapat dimiliki baik secara publik ataupun perorangan, namun tetap menggunakan pers sebagai alat untuk memberi informasi kepada rakyat tentang kebijakan-kebijakan pemerintah.

Teori pers otoriter muncul pada zaman Renaissance (pencerahan) abad 17 setelah ditemukannya mesin cetak. Teori ini berkembang dari filsafat kekuasaan monarki absolut dan kekuasaan pemerintah absolut. Di beberapa negara di dunia, teori pers otoriter masih di praktikan sampai sekarang. Teori ini muncul dari filsafat kekuasaan monarki absolut.37

Kedua Teori Pers Liberal. Sistem pers ini merupakan suatu bentuk perlawanan dari pandangan otoriter. Ciri teori pers Liberal Pers membantu menemukan kebenaranan dan mengawasi pemerintah sekaligus sebagai media yang memberikan informasi, menghibur, dan mencari keuntungan. Penguasa tidak punya hak untuk mengatur isi berita media. Penguasa dalam sistem ini juga tidak berhak menentukan siapa yang boleh dan tidak boleh menerbitkan media. Pada sistem ini, siapapun sebenarnya punya hak untuk menerbitkan media asalkan mempuyai kemampuan ekonomis. Tidak ada izin atau lisensi khusus untuk menerbitkan media. Apa yang baik dan tidak ditentukan oleh penguasa, tetapi ditentukan oleh khalayak. Dalam sistem ini, penguasa tidak mempunyai hak untuk menutup (bredel) media. Teori ini muncul dari filsafat umum tentang rasionalisme dan hak asasi manusia, teori liberal semula berkembang di Inggris dan digunakan setelah tahun 1688.

37


(36)

Ketiga,Teori Pers Tanggung Jawab Sosial. Ciri teori ini yaitu media selain bertujuan untuk memberikan informasi, menghibur, mencari keuntungan, juga harus dapat memberikan individu hak untuk mengemukakan masalahnya di dalam forum media, dan jika media tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ada pihak yang harus memaksanya. Teori ini, media dikontrol oleh pendapat masyarakat, tindakan konsumen, kode etik profesional, dan penyiaran, dikontrol oleh badan pengatur penyiaran. Pengembangan dari teori liberal menghasilkan teori tanggung jawab sosial, yang dikembangkan pada abad ke 20 di Amerika Serikat.

Keempat, Teori Pers Totaliter-Soviet. Ciri teori ini yaitu kebebasan pers yang sebenarnya akan ada dalam masyarakat tanpa kelas kebebasan pada sistem ini adalah bebas dari kapitalisme, individualisme, burjuasi dan bukan bebas untuk menyatakan pendapat. Media dikontrol oleh tindakan ekonomi dan politik dari pemerintah dan badan pengawas, dan hanya anggota partai yang loyal dan anggota partai ortodoks saja yang dapat menggunakan media secara reguler. Media dalam sistem Soviet dimiliki dan dikontrol oleh negara dan hanya sebagai kepanjangan tangan negara. Tujuan teori ini adalah membantu keberhasilan dan klan kelangsungan sistem Soviet.

Teori ini dikembangkan berdasarkan ideologi Marxis dan nilai kebersamaan antar kelas maupun antar partai/golongan, yaitu selama kelas kapitalis mengawasi fasilitas fisik media, kelas buruh tidak mempunyai akses pada saluran komunikasi.

Menurut penulis masa Orde Baru menganut Teori Pers Otoriter. Hal ini dapat dilihat dari UU PP No.11 1966 terdapat peraturan mengenai surat izin terbit,


(37)

ketika diperbaharui menjadi UU PP No.21 1982 digantikan dengan surat izin usaha penerbitan pers, mencerminkan usaha nyata ke arah pelaksanaan pers dikendalikan oleh pemerintah, suatu bentuk pengabdosian terhadap teori pers otoriter. Pada masa Orde Baru, pers dinyatakan sebagai salah satu media pendukung keberhasilan pembangunan. Bentuk isi pers Indonesia perlu mencerminkan pembangunan. Hingga timbul istilah pers pembangunan, dari kenyataan ini terlihat bahwa pers Indonesia tidak mempunyai kebebasan karena pers harus mendukung program pemerintah Orde Baru.38

Pers Indonesia masa Orde Baru selain menganut teori pers otoriter juga menganut teori pers tanggung jawab sosial, hal ini digambarkan dari sebutan pers nasional adalah pers bebas dan bertanggung jawab, pers diberikan kebebasan dalam memberitakan isu-isu terkini namun pers harus tetap bertanggung jawab atas berita yang ditulis. Pertanggung jawaban pers di jabarkan dalam Undang-Undang Pokok Pers, Garis Besar Haluan Negara (GBHN), Kode Etik Jurnalistik, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sesuai dengan ciri khas teori pers tanggung jawab sosial ialah media bisa dimiliki oleh perorangan tetapi tidak berarti perorangan begitu saja mendiktekan keinginannya melalui media.39

Fungsi dan peranan pers berangkat dari beberapa teori pers yang sudah dikembangkan sejak lama, fungsi pers akhirnya dikaitkan dengan pembangunan dan kepentingan masyarakat. Dalam pembangunan, Schramm menyebutkan, fungsi media massa minimal tiga bentuk; meliputi memberitahu rakyat tentang pembangunan nasional, memusatkan perhatian masyarakat supaya berubah,

38

Inge Hutagalung, op.cit, hlm. 56.

39


(38)

kesempatan menimbulkan perubahan, metode/ cara menimbulkan perubahan, jika mungkin memunculkan aspirasi.

Kusumaningrat mengemukakan, fungsi pers tersebut meliputi : 40

a. Fungsi informatif merupakan fungsi memberi informasi melalui berita secara teratur kepada khalayak. Pers menghimpun berita yang dianggap berguna dan penting bagi orang banyak dan kemudian menulisnya. pers juga memperingatkan khalayak tentang berbagai peristiwa diduga akan terjadi, seperti perubahan cuaca dan bencana alam.

b. Fungsi kontrol pers yang bertanggung jawab tentu akan masuk ke balik “

panggung” kejadian, menyelidiki pekerjaan pemerintah atau perusahaan. Pers harus memberitakan perkembangan yang berjalan baik dan tidak berjalan dengan baik. Fungsi kontrol ini harus dilakukan pers dengan lebih aktif daripada kelompok masyarakat lainnya. Pers dengan kelebihannya yang mampu menyampaikan informasi kepada masyarakat tentang yang baik dan tidak baik, supaya segera mendapat perhatian dan penanganan sebagaimana perlunya.

c. Fungsi interpretatif pers memberikan bimbingan bagi masyarakat. Pers harus menjelaskan kepada masyarakat tentang arti suatu kejadian. Ini dapat dilakukan pers melalui tulisan pada tajuk rencana (editorial) atau tulisan-tulisan latar belakang.

d. Fungsi menghibur, para wartawan atau reporter menulis atau menuturkan kisah-kisah dunia dengan hidup dan menarik. Mereka menyajikan humor,

40


(39)

drama dan musik. Mereka menceritakan kisah lucu untuk diketahui, meskipun kisah itu tidak terlalu penting.

e. Fungsi regeneratif, pers berfungsi menceritakan bagaimana sesuatu dilakukan di masa lampau, bagaimana dunia ini dijalankan sekarang, bagaimana sesuatu diselesaikan dan apa yang dianggap dunia itu benar dan salah. Jadi pers menyampaikan warisan sosial kepada generasi baru supaya terjadi regenerasi.

4. Kebebasan Pers

Konsep kemerdekaan pers di sini adalah sebagai terjemahan dari the freedom of the press, yang secara sederhana dapat dianalogikan dengan arti free from the dom, atau bebas dari penguasa. Dalam perspektif sejarah, pengakuan dan perlindungan hak untuk merdeka dari pengaruh atau tekanan penguasa sudah di mulai sejak deklarasi Magna Charta tahun 1215. Khusus dalam bidang pers, secara eksplisit ditetapkan di dalam pasal 12 Virginia Bill of Right pada 15 Mei 1776 tentang kemerdekaan persurat kabaran.41

Piagam Virginia ini kemudian dimasukan ke dalam Konstitusi Amerika Serikat 1787, pada tahun 1789, piagam itu diadopsi pula oleh Prancis menjadi

Declaration de droits de I’homme et du citoyen, atau naskah pernyataan Hak Asasi Manusia (HAM) dan warga negara. Di Indonesia masalah kemerdekaan/ kebebasan pers adalah apakah sudah sesuai dengan konstitusi serta undang-undang yang berkaitan dengan fungsi dan peranan pers dalam kehidupan demokrasi. Hal ini sangat penting dirumuskan, mengingat pengalaman selama ini,

41

Satrio Saptohadi.2011.”Pasang Surut Kebebasan Pers di Indonesia”. Jurnal Dinamika Hukum. Volume. 11.No.1.Januari.hlm.131.


(40)

hampir setiap sistem politik menyebut dirinya demokratis dan menjamin adanya kebebasan pers, tetapi dalam praktiknya otoriter dan membelenggu pers.42

Negara Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila, dengan demikian semua perilaku warga negara Indonesia diatur, dan dibatasi oleh hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Menurut ketentuan pasal pasal 28 Undang-undang dasar 1945, kemerdekaan untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Dari ketentuan ini nyatalah bahwa kebebasan pers diakui dan dijunjung tinggi. Bahkan jika dilihat dari Undang-Undang Pokok Pers No.11 tahun 1966, tentang ketentuan dari UU pokok pers sebagaimana telah diubah dengan UU No.4 tahun 1967 dan diubah lagi menjadi UU No.21 Tahun 1982, kebebasan pers dijamin sesuai dengan hak asasi warga negara Indonesia. Ketentuan ini diatur dalam pasal 5 dari undang-undang berbunyi: (1.) kebebasan pers sesuai dengan hak asasi warga negara dijamin. (2). Kebebasan pers ini didasarkan atas dasar tanggung jawab nasional dan pelaksanaan pasal 2 dan pasal 3 Undang-undang ini.43

Kebebasan ini di dalam prakteknya memang sangat diperlukan, terutama dalam pelakasanaan fungsi pers sebagai barometer, kritik dan koreksi terhadap kebijaksanaan pemerintah. karena tanpa adanya kebebasan, akan sangat sulit untuk pers untuk memberitakan kejadian yang sesungguhnya yang terjadi di

42

Ibid, hlm.132.

43


(41)

masyarakat.Menurut Oemar Seno Adji, berdasarkan asas demokrasi Pancasila maka dapat digambarkan kebebasan pers di Indonesia adalah sebagai berikut44:

(1). Kemerdekaan pers harus diartikan sebagai kemerdekaan untuk mempunyai dan menyatakan pendapat dan bukan sebagai kemerdekaan untuk memperoleh alat-alat dari expression seperti dikemukakan oleh negara-negara sosialis. (2). Ia tidak mengundang lembaga sensor preventif. (3). Kebebasan ini bukanlah tidak terbatas, tidak mutlak dan bukanlah tidak bersyarat sifatnya. (4). Ia merupakan suatu kebebasan dalam lingkungan batas-batas tertentu, dengan syarat-syarat limitatif dan demokrasi, seperti oleh hukum nasional, hukum internasional dan ilmu hukum. (5). Kemerdekaan pers ini dibimbing oleh rasa tanggung jawab, dan membawa kewajiban-kewajiban untuk pers sendiri. (6). Ia merupakan kemerdekaan yang disesuaikan dengan tugas pers sebagai kritik adalah negatif dalam karakternya juga positif sifatnya. (7). Aspek positif diatas tidak mengandung dan tidak membenarkan suatu konklusi, bahwa posisinya adalah subordinate, tehadap penguasa. (8). Kebebasan adalah suatu kenyataan, bahwa aspek positif ini jarang ditentukan oleh kaum libertarian sebagai suatu unsur esensial dalam persoalan mass-communication. (9). Pernyataan bahwa pers itu tidak subordinated kepada penguasa politik berarti, bahwa konsep autoritarian adalah tidak acceptable bagi pers Indonesia. (10). Kekebasan pers dalam lingkungan batas limitatif dan demokratis, dengan menolak tindakan preventif adalah lazim dalam negara Demokrasi dan karena itu tidak bertentangan dengan ide pers merdeka.

44


(42)

Demikian garis-garis besar di dalam Demokrasi Pancasila yang dikemukakan Oemar Seno Adji Jelaslah bahwa kemerdekaan pers di Negara Indonesia mempunyai batas-batas tertentu, dalam arti terbatas oleh pandangan hidup bangsa Indonesia serta tujuan yang ingin dicapai pembangunan nasional yang sedang kita laksanakan. Ketentuan yang sesuai dengan ini dapat kita lihat dalam Ketetapan MPR Nomor : II/MPR/1983, bagian penerangan dan media

massa yang berbunyi: “Dalam rangka meningkatkan peranan pers dalam

pembangunan perlu ditingkatkan usaha pengembangan pers yang sehat, pers bebas dan bertanggung jawab, yaitu pers yang dapat menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang obyektif, melakukan kontrol sosial yang konstruktif, menyalurkan aspirasi rakyat dan meluaskan komunikasi dan partisipasi masyarakat. Dalam hal ini perlu dikembangkan interaksi positif antara

pers, pemerintah dan masyarakat”.45

Menurut Harmoko, prinsip kebebasan pers di Indonesia adalah bekerja bahu membahu bersama apa saja yang disepakati masyarakat dengan penuh rasa tanggung jawab. Pers Indonesia mengabdi kepada kepentingan nasional seperti yang telah ditetapkan sendiri oleh rakyat. Soemono Mustofa mengatakan sesungguhnya tidak ada kebebasan pers yang mutlak di dunia ini. Kebebasan pers pun tunduk pada hukum lingkungan. Tak ada kebebasan pers yang berlaku sembarang waktu dan di semua negeri, hanya ada ialah kebebasan pers untuk

45


(43)

suatu masyarakat pada suatu masa tertentu dan kebebasan pers di Indonesia ialah kebebasan yang memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia.46

Beberapa konsep kebebasan pers yang berlaku di Indonesia memberikan kesimpulan bahwa kebebasan pers yang bertanggung jawab, dalam artian pers diberikan kebebasan dalam memberitakan kejadian-kejadian yang terjadi namun tetap harus diingat bahwa kebebasan yang diberikan terikat oleh beberapa aturan, oleh sebab itu dikatakan tidak ada kebebasan mutlak. Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara tidak ada kebebasan yang mutlak sifatnya. Kebebasan seorang berhenti apabila melanggar kebebasan orang lain ataupun melanggar kepentingan umum seperti pada masa Orde Baru pers dianggap sebagai suatu ancaman jika memuat berita-berita yang dapat menganggu stabilitas nasional.

5. Pembredelan Pers. a. Pembredelan.

Undang-Undang Pokok Pers No.11 tahun 1966 dan diperbaharui dengan UU PP No.21 tahun 1982, penjelasan mengenai istilah pembredelan tidak ada, setelah berakhirnya Orde Baru dan UU PP No.21 tahun 1982 diperbaharui dengan UU PP No.40 tahun 1999, dijelaskan dalam BAB I tentang ketentuan umum, pasal 1 ayat (9) berbunyi: pembredelan atau pelarangan penyiaran adalah penghentian penerbitan dan peredaran atau penyiaran secara paksa atau melawan hukum.

46


(44)

Namun selama Orde Baru tindakan pembredelan sering terjadi bahkan ketika larangan sensor dan pembredelan tercantum dalam UU PP No.11 Tahun 1966, bab II tentang fungsi, kewajiban dan hak pers, pasal 4 berbunyi: terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan. Serta perturan mengenai izin terbit yang memiliki makna ganda dalam UU PP No.11 Tahun 1966, Bab IV tentang hak penerbitan dan fasilitas pers, pasal 8 ayat (1) berbunyi: setiap warga mempunyai hak penerbitan pers yang bersifat kolektif sesuai dengan hakekatnya Demokrasi Pancasila dan Pasal 8 ayat (2) berbunyi: untuk ini tidak diperlukan Surat Izin Terbit (SIT). Namun ketentuan ini di kaburkan dengan Bab IX tentang peralihan pasal 20 ayat (1) a. Dalam masa peralihan keharusan mendapatkan Surat Izin Terbit masih berlaku sampai ada keputusan pencabutannya oleh Pemerintah atau DPR(GR).

Pasal 20 (1) b. Ketentuan-ketentuan mengenai Surat Izin Terbit dalam masa peralihan diatur oleh pemerintah bersama-sama dengan Dewan Pers. selama berlakunya UU PP No.11 Tahun 1966, selain peraturan mengenai SIT peraturan lain yang digunakan untuk membredel pers adalah Surat Izin Cetak (SIC) yang dikeluarkan oleh Pelaksana Khusus (Laksus) Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah (Kopkamtibda).

Ketentuan mengenai SIT dalam masa peralihan di atur dalam, peraturan Menteri Penerangan Republik Indonesia No.03/PER/MENPEN/1969 tentang Lembaga Surat Izin Terbit dalam masa peralihan bagi penerbitan pers yang bersifat umum. Bab III tentang pencabutan surat izin terbit.47 Pasal 7 berbunyi:

47


(45)

Surat Izin Terbit dicabut akibat dari larangan terbit terhadap penerbitan pers sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 UU PP No.11 Tahun 1966 yang dikenakan kepada: (a). Penerbitan pers yang bertolak dari ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. (b). Penerbitan pers yang cenderung kepada pornografi. (c). Penerbitan pers yang cenderung kepada sadisme dan lain-lain. (d). Penerbitan pers yang bertentangan dengan Pancasila, seperti halnya yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan moral kemanusiaan yang adil dan beradab dan keadilan sosial yang menyangkut tanggung jawab moral terhadap keselamatan generasi muda bangsa.

Berdasarkan Undang-Undang Pokok Pers 1966 dan Undang-Undang PP No.21 tahun 1982 maka bentuk atau larangan penerbitan dapat dirinci sebagai berikut:

a) Pencabutan Surat Izin Cetak.

Bentuk pembredelan dengan bantuk pencabutan SIC terhadap surat kabar seperti harian Indonesia Raya. Dapat kita lihat dari surat Pelaksana Khusus Panglima Komando dan Ketertiban Daerah Keamanan dan Ketertiban Daerah Jakarta Raya dan Sekitarnya, SK No:KEP-007-PK/1/1974 tentang pencabutan izin cetak surat kabar harian Indonesia Raya.48 dengan pertimbangan. Bahwa dipandang perlu untuk mengambil tindakan terhadap surat kabar harian Indonesia Raya dengan pencabutan SIC No.KEP.063.PK/1C/VIII/1973 tanggal 1 Agustus

1973 yang diberikan kepada PT.Badan penerbit “Indonesia Raya” Jln.Veteran I

No.28 Jakarta. Tindakan pencabutan Surat Izin Cetak tersebut atas

48


(46)

pertimbangan sebagai beritkut: (a). Surat kabar harian Indonesia Raya telah melanggar semangat dan jiwa dari ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam TAP.MPR.No.IV/MPR/1973 dan UU No.11 tahun 1966. (b). Surat kabar harian Indonesia Raya telah memuat tulisan yang dapat merusak kewibawaan & kepercayaan kepemimpina nasional.

b) Pencabutan Surat Izin Terbit.

Pembredelan selama berlakunya UU PP No.11 tahun 1966 dilakukan dengan pencabutan SIC, setelah itu dilanjutkan dengan pencabutan SIT. Harian Indonesia Raya setelah dicabut SICnya oleh Pangkopkamtibda, harian Indonesia Raya SITnya dicabut oleh Menteri Penerangan Republik Indonesia, surat keputusan Menteri Penerangan RI No.20/SK/DIRJEN-PG/K/1974 tentang pencabutan Surat Izin Terbit (SIT) surat kabar harian Indonesia Raya. Bahwa tindakan pencabutan SIT tersebut didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: 49

(i). Surat kabar harian Indonesia Raya telah melanggar semangat dari ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ketetapan MPR No.IV/MPR/1973 dan Undang-Undang Pokok Pers No.11 Tahun 1966,di mana dijelaskan bahwa mass media umumnya dan sarana pers khususnya harus menjadi sarana pembinaan partisipasi rakyat dalam pembangunan dan sebagai saluran pendapat rakyat yang konstruktif. (ii). Surat kabar harian Indonesia Raya telah memuat tulisan-tulisan:

49


(47)

1. Pada hakekatnya menjurus ke arah usaha-usaha untuk melemahkan sendi-sendi kehidupan negara dan/atau ketahanan nasional. Dengan jalan mengobarkan isu-isu seperti modal asing,korupsi, dwifungsi, kebobrokan-kebobrokan aparat pemerintah, masalah asisten pribadi (Aspri), Kopkamtib. 2. Merusak kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan nasional. 3. Mendengungkan kepekaan-kepekaan tanpa memberikan pemecahan yang tepat dan positif, yang dapat diartikan menghasut rakyat untuk bangkit bergerak untuk mengambil tindakan-tindakan yang tidak bertanggung jawab yang dapat mengakibatkan gangguan terhadap ketertiban dan keamanan negara. 4. Menciptakan peluang untuk mematangkan situasi yang menjurus kepada perbuatan makar.

Bahwa perbuatan harian Indonesia Raya bertentangan dan merupakan pelanggaran terhadap fungsi dan tanggung jawab pers sebagai mana dimaksud dalam TAP MPR No.IV/MPR/1973, UU PP No.11 Tahun 1966, Kode Etik Jurnalistik dan Peraturan Menteri Penerangan RI No.03/1963. Bab III pasal (7d). Bahwa tindakan pencabutan surat izin terbit terhadap penerbitan yang bersangkutan tidak bertentangan dengan kebebasan pers, melainkan justru menegakan kebebasan pers dalam arti sebenarnya dalam rangka tertib demokrasi Pancasila, dimana pers yang sehat dicita-citakan oleh rakyat Indonesia telah dirumuskan dalam konsensus nasional, TAP MPR No.IV/MPR/73, yaitu pers yang bebas dan bertanggung jawab.

Bentuk pembredelan selama berlakunya UU PP No.11 Tahun 1966 seperti surat izin cetak maupun surat izin terbit merupakan kontrol terhadap pers oleh pemerintah, bahwa Menteri Penerangan memiliki wewenang yang lebih kuat,


(48)

dimana sebuah surat izin cetak serta izin terbit dapat dicabut hanya dengan peraturan yang tingkatannya lebih rendah dari Undang-Undang Pokok Pers yang lebih tinggi kedudukannya menjadi tidak berarti, seperti pasal 4 sudah jelas mengatakan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan, pasal tersebut menjadi tidak bermakna, karena masih saja terjadi pelarangan terbit dalam bentuk pencabutan surat izin cetak dan surat izin terbit.

c) Pencabutan SIUPP.

Undang-Undang Pokok Pers No.21 Tahun 1966 tentang perubahan atas Undang-Undang Pokok Pers No.11 Tahun 1966 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Pokok Pers No.4 Tahun 1967. Peraturan mengenai izin terbit di hapus seperti yang tercantum dalam UU PP No.21 tahun 1982 pasal 8 ayat (2) dihapus diganti dengan keterangan cukup jelas. Dan pasal 20 ayat (1) dihapus. Kedua ayat yang dihapus dalam UU PP No.21 tahun 1982 peraturan mengenai surat izin terbit yang digunakan selama berlakunya UU PP No.11 tahun 1966.

Peraturan mengenai surat izin terbit dihapus dan digantikan dengan peraturan baru yang ditambahkan dalam Bab V tentang perusahaan pers, pasal 13 ditambah ayat (5): setiap penerbitan pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers memerlukan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers selanjutnya disingkat SIUPP yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Ketentuan-ketentuan tentang SIUPP akan diatur oleh Pemerintah setelah mendengar pertimbangan Dewan pers.50

Peraturan mengenai SIUPP juga dikeluarkan oleh Menteri Penerangan RI No.01/PER/MENPEN/1984. Tentang surat izin usaha penerbitan pers. Bab I

50


(49)

tentang ketentuan umum pasal 1 ayat (a) Surat izin usaha penerbitan pers selanjutnya disingkat SIUPP adalah surat izin yang diberikan oleh Menteri Penerangan kepada perusahaan/penerbit pers untuk menyelenggarakan penerbitan pers. Bab II tentang persyaratan umum pemberian SIUPP pasal 2 berbunyi: setiap penerbitan pers yang diselenggarakan oleh perusahaan/ penerbitan pers harus memiliki SIUPP yang dikeluarkan oleh Menteri Penerangan.

Bab VII tentang Sanksi, pasal 13 berbunyi SIUPP yang telah diberikan kepada perusahaan/penerbit pers dapat dibatalkan oleh Menteri Penerangan setelah mendengar Dewan Pers apabila: (a). Perusahaan/penerbitan pers melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana tersebut dalam bab IV tentang permodalan dan pemilikan persuahaan/penerbitan pers. (b). Perusahaan pers melakukan tindakan-tindakan yang tanpa persetujuan Menteri Penerangan menyalahi ketentuan-ketentuan adsministratif sebagaimana ditetapkan oleh Menteri Penerangan.

Pembredelan yang dilakukan oleh Menteri Penerangan dapat diambil contoh dari pencabutan SIUPP majalah mingguan Tempo (Surat Keputusan Menteri Penerangan RI No.123/KEP/MENPEN/1994,Tgl.21 Juni 1994). Adapun salah satu yang menjadi pertimbangan pencabutan majalah Tempo ialah seperti yang tercantum dalam bagian (f) bahwa penilaian terhadap isi penerbitan Tempo selama ini ada beberapa kasus pemberitaan Tempo yang menunjukan itikad tidak sejalan dengan pengarahan Dewan harian Dewan Pers tgl.13 Mei 1982 yang telah diketahui dan ditandatangani oleh Direktur Utama PT.Grafiti Pers dan Pemimpin Redaksi Tempo. (g). Berdasarkan kenyataan sebagaimana tersebut di atas,


(50)

pemuatan isi beberapa penerbitan Tempo tidak lagi mencerminkan kehidupan pers yang bebas dan bertanggung jawab, sehingga sesuai dengan pasal 33 huruf (h) Peraturan Menteri Penerangan No.01/PER/MENPEN/1984 dapat dikenakan sanksi pembatalan SIUPP.

Pasal 33 huruf (h) berbunyi: menurut penilaian dimana Dewan Pers sebagaimana dimaksud, perusahaan/penerbitan pers dan penerbitan pers yang bersangkutan dalam penyelenggarakan penerbitannya tidak lagi mencerminkan kehidupan pers yang sehat, pers yang bebas dan bertanggung jawab. Inilah pasal yang digunakan oleh Menteri Penerangan dalam mencabut SIUPP, seperti yang dijelaskan bahwa SIUPP merupakan bentuk lain dari pembredelan setelah dihapuskannya SIT dalam UU PP No.21 tahun 1982. Digantikannya SIT dengan SIUPP merupakan peraturan yang penuh dengan keritik, sebab SIUPP tidak dapat digunakan untuk membredel pers, sebab fungsi antara SIT dan SIUPP sangat berbeda.

Memperjelas kedudukan antara izin terbit dan izin usaha penerbitan pers Oemar Seno Adji mengatakan, SIT dalam sistematika dan kategori hukum pers, termasuk Code of Publication. sedangkan SIUPP, masuk dalam kategori Code of Enterprise. Artinya, SIT mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan pernyataan pendapat, melalui pers. SIUPP banyak mengatur faktor ekonomis, yang tidak boleh berhubungan dengan kebebasan menyatakan pendapat melalui pers. SIUPP lebih merupakan perizinan berdirinya sebuah perusahaan pers. SIUPP banyak berkaitan dengan hukum dagang, perdata, perpajakan, dan perburuha. Jadi ia tidak langsung berhubungan dengan hal-hal yang fundamental,


(51)

seperti kebebasan berekspresi melalui pers, yang digolongkan dalam Code of Publication. 51

SIUPP digunakan untuk membredel pers merupakan hal yang rancu, sebab SIUPP mengatur masalah bagaimana perusahan pers itu supaya berdiri. Jika syarat-syarat berdirinya perusahaan pers belum terpenuhi, misalnya modal, maka SIUPP dapat dibatalkan untuk diberikan. Bukan dibatalkan karena masalah isi beritanya. Ini menunjukan kekacauan setelah SIT dihapus dan diganti dengan SIUPP diperkuat dengan peraturan Menteri Penerangan.

Ketika kita melihat ketentuan yang tercantum dalam UU PP No.21 tahun 1982 dengan Peraturan Menteri Penerangan, yang lebih digunakan untuk alasan dalam membredel pers ialah peraturan Menteri Penerangan. Fakta yang terdapat dalam surat keputusan pencabutan majalah Tempo karena pertimbangan isi majalah tersebut dianggap dapat menganggu kestabilan nasional. Serta yang melakukan pembredelan adalah Menteri Penerangan, padahal yang berwenang mencabut SIUPP adalah pemerintah sebab pemerintahlah yang mengeluarkan SIUPP seperti yang tercantum dalam pasal 13 ayat 5.

6. Bahasa Jurnalistik Indonesia

Bahasa yang digunakan oleh wartawan dinamakan bahasa pers atau bahasa jurnalistik. Bahasa pers ialah salah satu ragam bahasa. Bahasa Jurnalistik memiliki sifat-sifat khas yaitu: singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas dan

51


(52)

menarik. Akan tetapi, jangan dilupakan, bahasa jurnalistik harus didasarkan pada bahasa Indonesia baku.52

Wojowarsito menjelaskan : bahasa jurnalistik adalah bahasa komunikasi massa sebagai tampak dalam harian-harian dan majalah-majalah. Dengan fungsi yang demikian itu bahasa tersebut haruslah jelas dan mudah dibaca oleh mereka dengan ukuran intelek yang minimal. Sehingga sebagian besar masyarakat yang melek huruf dapat menikmati isinya.

Menurut Yus Badudu: bahasa surat kabar harus singkat, padat, sederhana, jelas, lungas, tetapi selalu menarik. Sifat-sifat itu harus dipenuhi oleh pemakaian bahasa dalam surat kabar mengingat bahwa surat kabar dibaca oleh lapisan-lapisan masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuannya.53

Karya Latihan Wartawan (IKLW) XVII PWI pusat yang diselenggarakan atas kerja sama dengan Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YLTKI) dan Friedrich Stiftung (FES) di Jakarta tanggal 6-10 November 1975 bertema “ Bahasa

Jurnalistik dan Pewartaan” menyetujui sebuah pedoman pemakaian bahasa

Indonesia dalam pers. Pedoman pemakaian bahasa Indonesia dalam pers sebagai berikut: 54

1. Wartawan hendaknya secara konsekuen melaksanakan pedoman ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan. Hal ini juga harus diperhatikan oleh para korektor oleh karena kesalahan paling menonjol dalam penerbitan pers sekarang. Ini ialah kesalahan ejaan.

52

Rosihan Anwar, 2004, Bahasa Jurnalistik dan Komposisi, Yogyakarta, Media Abadi, hlm. 3.

53

Ibid, hlm. 4.

54


(53)

2. Wartawan hendaknya membatasi diri dalam singkatan atau akronim. Kalaupun harus menulis akronim, maka satu kali dia harus menjelaskan dalam dalam tanda kurung kepanjangan akronim tersebut supaya tulisannya dapat dipahami oleh khalayak ramai.

3. Wartawan hendaknya jangan menghilangkan imbuhan, bentuk awalan atau prefix. Pemenggalan kata awal m-e dapat dilakukan dalam kepala berita mengingat keterbatasan ruangan. Akan tetapi pemenggalan jangan sampai disamaratakan sehingga mempengaruhi pula dalam isi berita.

4. Wartawan hendaknya menulis dengan kalimat-kalimat pendek pengutaraan pikirannya harus logis, teratur, lengkap dengan kata pokok, sebutan dan kata tujuan (subyek, predikat, obyek).Menulis dengan induk kalimat dan anak kalimat yang mengandung banyak kata mudah membuat kalimat tidak dipahami. Lagipula prinsip yang

harus dipegang ialah “satu gagasan atau satu ide dalam satu kalimat.”

5. Wartawan hendaknya menjatuhkan diri dari ungkapan klise atau stereotype yang sering dipakai dalam transisi berita seperti kata-kata

“sementara itu”, “dapat ditambahkan”, “perlu diketahui”, “dalam rangka”, “selanjutnya”. Dengan demikian dia menghilangkan

monotomi (keadaan atau bunyi yang selalu sama saja), dan sekaligus dia menerapkan ekonomi kata atau penghematan dalam bahasa.

6. Wartawan hendaknya menghilangkan kata mubazir seperti: adalah, telah, untuk, dari, bahwa dan bentuk jamak yang tidak perlu diulang.


(54)

7. Wartawan hendaknya mendisiplinkan pikirannya supaya jangan campur-aduk dalam satu kalimat bentuk pasif (di) dengan bentuk aktif (me). Sebab kalimat aktif terasa lebih hidup dan kuat dari kalimat pasif.

8. Wartawan hendaknya menghindari kata-kata asing dan istilah-istilah yang terlalu teknis ilmiah dalam berita. Kalaupun terpaksa menggunakannya, maka satu kali harus dijelaskan pengertian atau maksud.

9. Wartawan hendaknya sedapat mungkin mentaati kaidah tata bahasa. 10. Wartawan hendaknya ingat bahasa jurnalistik ialah bahasa yang

komunikatif dan spesifik sifatnya, dan karangan yang baik dinilai dari tiga aspek yaitu: isi, bahasa dan teknik persembahan.

G. Metodologi Penelitian

Penelitian sejarah pada dasarnya memiliki tahapan yaitu:

(1) Pemilihan Topik, (2) pengumpulan sumber, (3) verifikasi, (4) interpretasi, (5) penulisan.55

1. Pemilihan Topik

Pemilihan topik merupakan langkah pertama dalam penelitian sejarah. Topik penelitian ini adalah “Pembredelan Pers Masa Orde Baru (1966-1998). Sikap pemerintah terhadap kebebasan pers di masa Orde Baru menarik untuk dibahas. Sikap pemerintah semakin berubah ketika pers semakin kritis dalam

55


(55)

menyampaikan kritik terhadap kebijakan pemerintah yang tidak adil terhadap masyarakat.

Topik yang telah dipilih ini memberikan daya tarik tentang kehidupan pers masa Orde Baru yang semula menjanjikan kebebasan pers, tetapi nyatanya pers hanya sebagai alat pemerintah untuk memperkuat konsolidasi kekuasaan Orde Baru, setelah pemerintahan Orde Baru sudah cukup kuat, pemerintah mulai melakukan tindakan represi terhadap pers. Kebebasan pers masa Orde Baru semakin sulit, namun setelah berakhirnya Orde Baru kebebasan pers mulai tumbuh kembali di era reformasi.

2. Pengumpulan Sumber

Setelah pemilihan topik dilakukan, tahap berikutnya adalah pengumpulan sumber (heuristik). Pengumpulan sumber harus relevan dan sesuai berdasarkan dengan topik yang akan ditulis. Ada beragam jenis sumber yaitu sumber tertulis, sumber lisan, benda tinggalan dan sumber kuantitatif56. Pada penelitian ini penulis menggunakan sumber yang berupa buku, jurnal, surat kabar dan majalah. Karena sumber yang dicari sangat terbatas di perpustakaan Sanata Dharma, penulis juga mencari sumber-sumber primer di perpustakaan dan museum lain yang terkait.

Namun penulis sangat mengalami kesulitan dalam mendapatkan sumber primer berupa surat kabar dan majalah yang terkait dengan topik. Oleh sebab itu sumber primer berupa surat kabar hanya beberapa saja yang menjadi bahan penulisan skripsi ini. Lebih banyak menggunakan sumber sekunder berupa buku untuk lebih memperlengkap sumber primer yang sangat terbatas jumlahnya.

56


(56)

3. Kritik Sumber (Verifikasi)

Kritik sumber sejarah adalah upaya untuk mendapatkan otentisitas dan kredibilitas sumber. Yang dimaksud dengan kritik adalah kerja intelektual dan rasional yang mengikuti metodologi sejarah untuk mendapatkan objektivitas suatu kejadian.57 Umumnya kritik sumber dilakukan terhadap sumber-sumber pertama. Kritik ini meliputi verifikasi sumber, yaitu pengujian mengenai kebenaran atau ketepatan (akurasi) dari sumber itu. Dalam metode sejarah ada dua jenis kritik sumber, yaitu kritik eksternal (otentisitas dan integritas) dan kritik internal.

Kritik eksternal adalah kritik yang dilakukan untuk mengetahui keaslian sumber, kritik eksternal bertujuan untuk mengetahui ontetik tidaknya sumber yang kita miliki, serta harus menggunakan analisa sumber untuk mengetahui apakah suatu sumber itu asli ataukah turunan. Sumber asli sudah barang tentu lebih tinggi mutunya dari pada sumber turunan. Kritik ekstern digunakan untuk mengetahui utuh tidaknya sumber-sumber, harus diatasi dengan kritik isi sumber. Kecuali untuk mengetahui perubahan-perubahan apa yang dibuat di dalam teks dalam usahanya menyalinnya, kritik teks juga bertugas mengetahui bagaimana sesungguhnya isi sumber asli. Asli dalam arti kata yang sesungguhnya dari tangan pengarang dokumen.58 Kritik Internal mulai bekerja setelah kritik ekstern selesai menentukan, bahwa dokumen yang kita hadapi memang dokumen yang kita cari. Kritik intern harus membuktikan, bahwa kesaksian yang diberikan oleh suatu sumber itu memang dapat dipercaya. Pertama, buktinya diperoleh dengan penilaian intrinsik, dimulai dengan menentukan sifat dari sumber-sumber itu.

57

Ibid, hlm. 35.

58

Nugroho Notosusanto, 1978, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer, Jakarta, Yayasan


(57)

Kedua, menilai sesuatu sumber secara intrinsik, adalah dengan jalan menyoroti pengarang dari sumber itu. Ketiga, membanding-bandingkan kesaksian berbagai sumber dan dilakukan dengan menjejerkan kesaksian, dari saksi-saksi yang tidak berhubungan satu sama lain.59

4. Interpretasi

Interpretasi data juga sering disebut penafsiran data. Data yang telah diperoleh dari sumber kemudian diinterpretasi. Interpretasi data harus berdasarkan argumen yang memiliki landasan data yang relevan. Terdapat dua macam interpretasi yaitu analisis (menguraikan) dan sintesis (menyatukan). Fakta-fakta yang telah diperoleh melalui sumber kemudian diinterpretasi menjadi rangkaian peristiwa yang dapat diuji kebenarannya. Dengan demikian interpretasi data tersebut menjadi kuat karena berdasarkan data yang relevan.

Pendekatan politik, ekonomi dan sosial dipakai dalam memahami Pembredelan Pers di Masa Orde Baru. Pendekatan politik dipilih karena tujuan pemerintah mengendalikan pers adalah untuk menjaga kestabilan politik, pengendalian terhadap pers dengan tindakan pembredelan memberikan dampak kerugian ekonomi dalam industri pers, serta dampak dalam kehidupan sosial masyarakat jika pemberitaan pers tidak lagi sebagai peyambung lidah rakyat lalu bagaimana cara masyarakat menyampaikan aspirasinya terhadap penguasa.

5. Penulisan sejarah (Historiografi)

Penulisan sejarah memiliki tiga bagian penting yang harus diperhatikan yaitu pengantar, hasil penelitian dan kesimpulan. Dalam pengantar menjelaskan

59


(58)

latar belakang topik yang diteliti, kemudian dalam hasil penelitian akan di jelaskan hasil penelitian yang diperoleh penulis dan kesimpulan yaitu melakukan generalisasi dari bab-bab sebelumnya.

H. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi yang berjudul “Pembredelan Pers di Masa Orde Baru (1966-1998)” mempunyai sistematika penulisan sebagai berikut.

Bab I Berupa pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan pustaka, landasan teori, metodologi penelitian dan pendekatan, serta sistematika penulisan.

Bab II Bab ini menyajikan uraian tentang latar belakang pembredelan pers di Masa Orde Baru

Bab III Bab ini menyajikan uraian tentang bentuk dan alasan pembredelan pers dilakukan oleh pemerintah Orde Baru

Bab IV Bab ini menyajikan uraian tentang dampak dari pembredelan pers bagi perkembangan pers di Indonesia pasca Orde Baru.

Bab V Bab ini menyajikan kesimpulan yang berisi tentang jawaban-jawaban permasalahan yang ada dalam Bab II, III, dan IV


(59)

46

BAB II

LATAR BELAKANG PEMBREDELAN PERS DI MASA ORDE

BARU

A. Lahirnya Orde Baru

Pasca peristiwa September 1965, situasi politik menjadi tidak stabil sehingga kekuatan pemerintah Orde Lama semakin melemah. Keadaan politik tersebut mengakibatkan perpecahan antara Presiden Soekarno dan Angkatan Darat. Situasi ketidakstabilan politik dikarenakan perubahan keanggotaan kabinet yang diumumkan Presiden Soekarno untuk mempertahankan kembali kekuasaanya di Indonesia. Tindakan Presiden Soekarno yang mengakibatkan hubungannya dengan kalangan tentara khususnya Angkatan Darat menjadi berubah karena memberhentikan Nasution dan beberapa menteri yang pro Angkatan Darat.60

Sikap Presiden Soekarno mengubah kabinet barunya mendapat kritik dari pihak Angkatan Darat, karena dianggap menteri-menteri yang dipilih hanya orang-orang pro-Soekarno, seperti Soebandrio karena Presiden Soekarno menolak nama-nama yang diusulkan oleh Jenderal Soeharto untuk dikeluarkan dari kabinet.61 Setelah di tolak usulan Jenderal Soeharto, Angkatan Darat menggunakan strategi dukungan terhadap aksi demonstrasi mahasiswa yang terjadi pasca diumumkan perubahan kabinet baru Presiden Soekarno.

Demonstrasi yang sering terjadi di Ibukota Jakarta dipelopori oleh beberapa organisasi mahasiswa seperti KAMI (kesatuan aksi mahasiswa Indonesia dan

60

Harold Crouch, 1999, Militer & Politik di Indonesia, Jakarta, Surya Usaha Ningtias, hlm. 200.

61


(1)

mengungkapkan jawabannya di depan kelas

 Peserta didik melaporkan hasil analisis dan evalusi dalam bentuk tulisan yang berisi tentang

pembredelan pers di masa Orde Baru 1966-1998

Penutup

 Guru mengadakan kegiatan refleksi bersama peserta didik dalam

menyimpulkan hasil kegiatan pembelajaran.

 Peserta didik diberikan tugas untuk membuat salah satu dampak dari pembredelan pers di masa Orde Baru  Informasi materi pembelajaran yang

akan datang.

20 Menit

H.PENILAIAN

A.Sikap Spiritual

a. Teknik Penilaian : Non tes (Pengamatan sikap selama proses pembelajaran) b. Bentuk Instrumen : Lembar penilaian

c. Kisi-kisi:

No Sikap/Nilai Butir Intrumen 1. Bersyukur kepada Tuhan 1 2. Berdoa kepada Tuhan 2

d. Instrumen:

No Nama Peserta Didik

Indikator: Bersyukur

kepada Tuhan (1-4)

Berdoa sebelum dan sesudah kegiatan pembelajaran (1-4)

Nilai Akhir

1. Nunung

2. Thomas


(2)

Kisi-kisi indikator sikap spiritual: bersyukur kepada 1. Bersyukur dengan tidak sungguh-sungguh

2. Kadang-kadang bersyukur dengan sungguh-sungguh 3. Sering bersyukur

4. Selalu bersyukur dengan sungguh

Kisi-kisi indikator sikap spiritual: berdoa, sebelum dan sesudah kegiatan pembelajaran

1. Berdoa tidak sungguh-sungguh

2. Kadang-kadang berdoa dengan sungguh 3. Sering berdoa

4. Selalu berdoa dengan sungguh

Pedoman penyekoran : Peserta didik memperoleh nilai :

A = Baik Sekali : apabila memperoleh skor 8 B = Baik : apabila memperoleh skor 6 C =Cukup : apabila memperoleh skor 4 D = Kurang : apabila memperoleh skor 2

B. Sikap Sosial

a. Teknik Penilaian : Non tes (Pengamatan sikap selama proses pembelajaran) b. Bentuk Instrumen : Lembar penilaian skala sikap

c. Kisi-kisi: Sikap Menghargai

No. Sikap/nilai Butir

Instrumen 1. Sikap saling menghormati 1

2. Peduli 2

3. Santun 3


(3)

d. Instrumen

No Peserta didik

Indikator Jumlah Skor Memiliki

sikap saling menghormati (1-4)

Peduli (1-4)

Santun (1-4)

Kerjasama (1-4)

1. Bima 2. Robert 3. Joni

Kisi-kisi indikator sikap saling menghormati:

Deskriptor Skor

Tidak saling menghormati 1

Kurang menghormati 2

Cukup menghormati 3

Saling menhormati 4

Kisi-kisi Indikator sikap peduli :

Deskriptor Skor

Tidak saling peduli 1

Kurang peduli 2

Cukup peduli 3

Sangat peduli 4

Kisi-kisi indikator sikap santun :

Deskriptor Skor

Tidak pernah bersikap/berperilaku santun 1 Kurang santun dalam bersikap/berperilaku 2 Cukup santun dalam bersikap/berperilaku 3 Sangat santun dalam bersikap/berperilaku 4


(4)

Kisi-kisi indikator sikap kerjasama

Deskriptor Skor

Tidak saling kerja sama 1

Kuang kerja sama 2

Cukup kerja sama 3

Sangat kerja sama 4

Petunjuk Penyekoran:

Peserta didik memperoleh nilai : A = : apabila memperoleh skor 12 B = : apabila memperoleh skor 9 C = : apabila memperoleh skor 6 D = : apabila memperoleh skor 3

C. Penilaian Sikap Diskusi

a. Teknik : Non tes (pengamtan sikap selama diskusi) b. Bentuk instrumen : Lembar penilaian

c. Kisi-kisi : Sikap selama diskusi

No. Sikap/Nilai Butir

Instrumen

1. Keakifan 1

2. Keseriusan 2

3. Mengemukakan pendapatan 3

4. Bertanya 4

d. Instrumen :

No Nama

Indikator Nilai akhir Keaktifan Keseriusan Bertanya Mengemukan

pendapat 1. Bima

2. Robert 3. Joni 4. Jhon 5. Dina

Kisi-kisi indikator penilaian sikap diskusi: Keaktifan, mengemukakan pendapat, bertanya


(5)

a. Skor 1 diperoleh siswa bila tidak terlibat dalam kelompok

b. Skor 2 diperoleh siswa beila terlibat dalam kelompok namun tidak memberikan masukan.

c. Skor 3 diperoleh siswa terlibat dan memberikan masukan d. Skor 4 diperoleh siswa bila berperan aktif dalam kelompok

Keseriusan

a. Sekor 1 diperoleh siswa bila siswa tidak serius dalam mengerjakan tugas b. Skor 2 diperoleh siswa bila siswa cukup serius dalam mengerjakan tugas c. Skor 3 diperoleh siswa bila siswa serius dalam mengerjakan tugas d. Skor 4 diperoleh bila siswa sangat serius dalam mengerjakan tugas Petunjukan penyekoran :

Peserta didik memperoleh nilai :

A = Baik Sekali : apabila memperoleh skor 12 B = Baik : apabila memperoleh skor 9 C = Cukup : apabila memperoleh skor 6 D = Kurang : apabila memperoleh skor 3

D. Pengetahuan (Kognitif)

a. Teknik penilaian : tes

b. Bentuk instrumen: lembar tugas c. Kisi-kisi tugas terstruktur d. Instrumen : tes essay

1. Bagaimana latar belakang pembredelan pers di masa Orde Baru (1966-1998)?

2. Apa saja bentuk dan alasan pembredelan pers di masa Orde Baru ? 3. Bagaimana dampak dari pembredelan pers di masa Orde Baru terhadap

kehidupan pers Indonesia?

Pedoman penskoran

No Rambu-rambu skor Skor

1. Jawaban lengkap dengan alasan yang tepat 20 2. Jawaban berdasarkan referensi yang relevan

dengan alasan seadanya 15 3. Jawaban kurang lengkap 6 4. Jawaban tidak sesuai dengan soal yang

ditanyakan 4


(6)

E. Psikomotorik

a. Teknik penilaian: Tes

b. Bentuk Instrumen: Lembar tugas c. Kisi-kisi:

Tugas : peserta didik diberi tugas untuk membuat artikel ilmiah. d. Instrumen:

Soal : buatlah artikel ilmiah tentang dampak pembredelan pers di masa Orde Baru dalam bentuk narasi.

No

Nama peserta

didik

Aspek yang dinilai Nilai akhir Relevansi

(1-4)

Kelengkapan (1-4)

Pembahasan (1-4)

Ketepatan waktu

(1-4) 1. Bima

2. Robert 3. Joni

Petunjuk penyekoran:

Peserta didik memperoleh nilai:

Baik sekali : apabila memperoleh skor 13-16 Baik : apabila memperoleh skor 9-12 Cukup : apabila memperoleh skor 5-8 Kurang : apabila memperoleh skor 1-4

Yogyakarta 6 Februari 2017 Mengetahui,

Kepala SMAN 1 Kasihan Guru Mata Pelajaran

Susanto,M.Pd. Olyvie Bintang Haritajaya NIP.,