kabar Belanda, Indonesia yang anti Jepang, dan juga surat kabar berbahasa Cina yang menyerang agresi Jepang terhadap Tiongkok.
Di bawah kekuasaan Jepang, aturan hidup sangat keras, namun rakyat Indonesia memperoleh pengalaman yang tak ternilai harganya. Mereka bekerja
sebagai pemimpin pemerintahan dan teknisi yang tadinya dipegang Belanda. Rakyat Indonesia dijadikan satuan-satuan tempur dan diberi latihan militer,
persiapan yang tidak disengaja untuk revolusi menuju kemerdekaan Indonesia. Pers setelah kemerdekaan Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden
Soekarno yang dipercaya menjadi Presiden pertama Republik Indonesia, pers mulai mengalami perubahan seiring dengan perkembangan politik. Pers nasional
ikut dalam arus politik sehingga mempengaruhi watak pers nasional dari pers perjuangan menjadi pers partisan sebagai sarana partai politik. Pergolakan politik
terus terjadi selama era demokrasi Liberal. Pergantian kabinet silih berganti masa Demokrasi Liberal mengakibatkan kondisi politik negara tidak stabil sehingga
Presiden Soekarno mengubah sistem politik yang berlaku, pada 28 Oktober 1956 dari sistem pemerintahan demokrasi Liberal menjadi Demokrasi Terpimpin.
Ketika itu situasi politik tidak stabil, karena pemberontakan yang terjadi di berbagai daerah menentang kabinet baru yang dipilih oleh Presiden Soekarno
yaitu kabinet Djuanda Kartawidjaja. Selama masa jabatan kabinet Djuanda, Presiden Soekarno memperkokoh kekuasaannya dengan ungkapan-ungkapan
kharismatik yang sangat populer ialah: Manifesto politik, Nasakom, Ganefo, Nefo dan Oldefo.
14
Situasi krisis politik yang terjadi karena aksi pemberontakan yang
14
Edward C. Smith. op.cit, hlm.146.
gagal mencapai kesepakatan perdamaian semakin membuat situasi semakin tidak terkendali. Karena melihat situasi semakin rumit Presiden Soekarno
memberlakukan keadaan darurat perang SOB.
15
Dalam keadaan tersebut penguasa mengeluarkan berbagai peraturan untuk mengontrol pers dan upaya
Presiden Soekarno untuk mengkonsolidasi kekuasaannya melalui ungkapan revolusi belum selesai.
Pada tanggal 12 Oktober 1960, sebagai Penguasa Perang Tertinggi Peperti, Presiden Soekarno mengeluarkan peraturan bahwa setiap penerbitan
harus mendaftarkan diri untuk mendapat surat izin terbit SIT. Agar izin terbit diperoleh, pers harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu, seperti setia
kepada manifesto politik, serta turut berjuang menentang imperialisme, kolonialisme, liberalisme, federalisme, dan separatisme
16
Penguasa Demokrasi Terpimpin memandang pers semata-mata dari sudut kemampuannya dalam memobilisasi massa dan opini publik. Pers dianggap
sebagai alat revolusi yang besar pengaruhnya untuk menggerakan atau meradikalisasi massa untuk menyelesaikan sebuah revolusi. Oleh karena itu,
rezim Demokrasi Terpimpin merasa perlu menguasai pers, yang dalam praktik bukannya untuk memperbaiki kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masyarakat
tetapi untuk alat revolusi kekuasaan rezim Orde Lama.
17
Dalam sejarah pers Indonesia, salah satu masalah yang menarik adalah pelarangan terbit atau
pembredelan terhadap surat kabar. Ada surat kabar yang dilarang terbit untuk sementara dan selamanya. Pelarangan terbit itu sering disertai pula penahanan
15
Idem.
16
Peraturan Panglima Perang Tertinggi, No. 10 diterbitkan tahun 1960.
17
Mansyur Semma, 2008, Negara dan Korupsi, Jakarta, Obor Indonesia, hlm.117.
terhadap pimpinan surat kabar yang bersangkutan dan juga penahanan tanpa pengadilan terhadap wartawan terkait pembredelan.
Periode pembredelan dalam penelitian ini difokuskan pada 1966-1998, dengan analisis berdasarkan Undang-Undang Pokok Pers No.11 tahun 1966 dan
Undang-Undang Pokok Pers No. 21 tahun 1982. Setelah peristiwa G 30 S tahun 1965, Jenderal Soeharto melakukan pembredelan terhadap semua surat kabar PKI
dan yang diduga terkait dengan ormas tersebut. Namun sikap kritis pers terhadap pemerintahan telah tumbuh mulai dari tahun 1966 dan semakin meningkat ketika
pemerintahan di dominasi oleh Angkatan Darat, serta isu-isu korupsi mulai merajalela, tetapi pemerintah masih memberikan toleransi terhadap kritik pers,
dan menahan diri untuk melakukan tindakan pemberdelan. Hal ini terlihat dari data pembredelan menunjukan pemerintah baru melakukan pembredelan tahun
1971, namun Ini artinya pemerintah mulai meletakkan tali kekang untuk mengendalikan pers. Dapat ditemukan juga pemerintah lebih represif pasca Malari
1974, surat kabar yang di larang terbit harian dan mingguan serta majalah, yaitu harian Nusantara, Indonesia Raya, Pedoman, Abadi, harian KAMI, The Jakarta
Times, mingguan Wenang, Pemuda Indonesia dan Ekspres, Mingguan Mahasiswa Indoesia yang Bandung, Suluh Berita yang terbit di Surabaya, serta Pos
Indonesia yang Ujung Pandang,
18
dan Sinar Harapan.
19
18
Ahmad Zaini Abar, 1995, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, Yogyakarta,Lkis, hlm. 1.
19
Yuli Andanwati.Pembredelan Sinar Harapan Tahun 1986. Avatara E-journal Pendidikan Sejarah..Vol I . No.3.2013. hlm. 580.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat ditarik beberapa permasalahan
sebagai berikut.
1. Apa latar belakang pembredelan pers di masa Orde Baru?
2. Bentuk dan alasan pembredelan pers yang dilakukan oleh pemerintah
Orde Baru? 3.
Apa dampak dari pembredelan pers bagi perkembangan kehidupan pers?
C. Tujuan Penelitian
1. Menjelaskan latar belakang pembredelan pers pada masa Orde Baru.
2. Menjelaskan bentuk dan alasan pembredelan pers yang dilakukan oleh
pemerintah Orde Baru. 3.
Menjelaskan dampak dari pembredelan pers bagi perkembangan pers pasca Orde Baru.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Universitas Sanata Dharma
Untuk melaksanakan salah satu Tridharma perguruan tinggi khususnya bidang penelitian yaitu untuk ilmu pengetahuan sosial. Penulisan ini juga
dapat dimanfaatkan sebagai sumber referensi bagi rekan-rekan mahasiswa. Selain itu, juga dapat dimanfaatkan untuk contoh dalam penulisan skripsi
bagi mahasiswa selanjutnya. 2.
Bagi Dunia Keguruan dan Ilmu Pendidikan Untuk menambah wawasan dan pengetahuan sejarah Indonesia pada era
Orde Baru, khususnya tentang pembredelan pers 1966-1998. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3. Bagi Masyarakat Luas
Dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang pembredelan pers di masa Orde Baru dan menjadi bahan refleksi tentang kebebasan pers di
masa Orde Baru.
E. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini disusun dengan menggunakan sumber primer berupa Undang- undang Pokok Pers, surat kabar, dan sumber sekunder berupa buku, jurnal ilmiah
dalam penulisan skripsi ini banyak menggunakan sumber sekunder berupa buku- buku pokok yang menunjang penulisan skripsi ini.
Beberapa buku yang digunakan antara lain: Beberapa Segi Perkembangan Pers di Indonesia, karya Abdurrachman Surjomihardjo, et.al. Buku ini
memberikan gambaran tentang sejarah pers di Indonesia, yang memiliki ciri-ciri khusus yang berhubungan dengan keadaan masyarakat, kebudayaan dan politik.
Buku ini juga menguraikan jenis-jenis pers yang berkembang di Indonesia yaitu pers Belanda, pers Melayu-Tionghoa, pers Indonesia dan pers daerah.
20
Selain memaparkan tentang beberapa jenis-jenis pers yang berkembang pra dan pasca kemerdekaan Indonesia, ditegaskan pula bahwa kontrol terhadap pers yang
tertuang dalam peraturan berupa Undang-undang pers sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda di nusantara. Oleh sebab itu, semakin memberikan
pemahaman tentang sejarah pers Indonesia hingga saat ini. Pembredelan Pers di Indonesia tulisan Edward Cecil Smith, semakin
memperlengkap tentang dinamika Pers Indonesia. Meskipun banyak cobaan yang
20
Abdurrachman Surjomihardjo,op.cit, hlm. 6.
dihadapi pada awal sejarahnya, justru karena cobaan itulah, pers dapat bertahan sebagai sistem komunikasi. Pers Belanda, pers Tionghoa dan pers Indonesia, yang
saling beradaptasi dengan lingkungan dan kebudayaan satu sama lain, meskipun terdapat sensor dan undang-undang yang melarang mengkritik pemerintah, namun
pers masih tetap dapat bertahan terus di pasaran yang masih terbatas karena besarnya jumlah penduduk yang buta huruf dan masih sangat kecil mendapat
penghasilan ketika Indonesia baru merdeka.
21
Kisah Pers 1966-1974, ditulis Ahmad Zaini Abar
22
yang bermula dari kajian untuk skripsi, tugas akhir pada jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Ahmad Zaini Abar telah memadukan antara kegemaran dengan disiplin keilmuan formalnya,
sehingga melahirkan karya ini. Buku ini berpretensi mengenali fenomena sosio- politik dengan difokuskan kepada kekuasaan Orde Baru. Buku karya Ahmad Zaini
Abar memaparkan tentang faktor-faktor politik yang menyebabkan daya kritis dan kebebasan pers tumbuh dan berkembang, lalu kemudian kehilangan maknanya,
perubahan sikap kritis pers serta sikap pemerintah terhadap pers, dapat dilihat dari Peristiwa Malari 1974 sebagai tolok ukur.
Pers pra-Malari adalah pers idealis, pers yang menyuarakan hati nurani dan aspirasi rakyat, berani dan kritis melakukan kontrol sosial. Singkatnya pers pra-
Malari adalah pers yang bebas, merdeka serta akumulatif. Sebaliknya, pers Post- Malari pers menjadi kurang idealis, cenderung mewakili kepentingan penguasa,
21
Edward.C.Smith, op.cit, hlm. 3.
22
Ahmad Zaini Abar, op.cit, hlm. 4.
pemerintah atau negara serta tidak lagi pernah melakukan kontrol sosial secara kritis. Pers post-Malari adalah pers yang tidak bebas.
David T.Hill dengan bukunya yang berjudul Pers di Masa Orde Baru
23
memperlengkap tentang perkembangan pers setelah merdeka khususnya masa pemerintahan Orde Baru. Orde Baru membangun relasi saling terkait yang pelik
antara kendali keamanan dan undang-undang tangan besi yang mengendalikan pers. Pers di bawah pemerintahan Presiden Soeharto yang berusaha untuk
menghilangkan organ-organ partai dan surat kabar-surat kabat yang kritis, menjinakkan pers pembuat kegaduhan, dan memastikan bahwa para pekerja dan
pihak manajemen pers bertanggung jawab secara mutlak pada pemerintah.
24
Dalam buku ini juga dipaparkan tentang periode-periode pemerintah melakukan tindakan anti pers atau lebih sering dikatakan sebagai pembredelan
terhadap pers, kebebasan pers yang pernah dijanjikan oleh pemerintahan Presiden Soeharto dengan Orde Baru-nya hanya sebagai kebebasan semu. Ini terbukti dari
adanya pembredelan terhadap surat kabar maupun majalah karena dianggap memuat berita yang dapat mengganggu kestabilan politik.
Humanisme dan Kebebasan Pers, editor buku St.Sularto
25
, memberikan gambaran tentang kebebasan pers yang ada di Indonesia serta peraturan-peraturan
pasca Indonesia merdeka menjadi semakin mempersempit kebebasan pers yang sebenarnya sudah tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28.
Pada masa Orde Baru dikenal adanya keharusan mendapatkan izin untuk menerbitkan surat kabar, namun proses untuk mendapatkan izin cukup sulit,
23
David.T.Hill, 2011, Pers di Masa Orde Baru, Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
24
Ibid,hlm. 7.
25
St.Sularto,2001, Humanisme dan Kebebasan Pers,Jakarta,Kompas Media Nusantara.
ditambah kebabasan pers hampir dikatakan tidak ada ketika dalam Undang- Undang Pers 1982 mencantumkan pasal keharusan mendapatkan Surat Izin Usaha
Percetakan Pers SIUPP, meskipun Surat Izin Terbit dihapus, dengan munculnya SIUPP sebagai alat kontrol terhadap pers oleh pemerintah. Peraturan ini lebih
berat dirasakan oleh industri pers karena ketika surat kabar dan majalah dianggap memberitakan isu-isu yang dapat menganggu kestabilan keamanan dan politik
serta kehidupan Presiden Soeharto, maka Menteri Penerangan dapat membatalkan SIUPP yang diberikan. Tindakan tersebut memberikan dampak yang sangat
merugikan bagi industri pers karena surat kabar dan majalah dibredel dan tidak ada sumber rezeki dari industri pers yang selama ini menjadi sumber kehidupan
bagi para karyawan.
F. Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan beberapa konsep sebagai dasar landasan teori. Konsep-konsep tersebut antara lain adalah sistem pemerintahan otoriter, teori
totaliter, pers, sistem pers, kebebasan pers, pembredelan dan bahasa dalam pers.
1. Sistem Pemerintahan OtoriterFasis
Fasisme berasal dari bahasa Latin Fasces yang berarti „ikatan‟. Pada masa
Roma kuno, petugas hukum mengenakan tanda berupa seikat sambuk dan kapak sebagai simbol, wewenang dan keadilan. Di tahun 1920 Mussolini mengadopsi
simbol ini dengan memberi nama yang mirip, „Fasci’ untuk kelompok bersenjata yang dia harapkan dapat membawanya kepada kekuasaan.
26
26
Hugh Purcell, 2004, Fasisme, Yogyakarta, Resist Book, hlm. 4.
Mussolini ditiru seorang Jerman bernama Adolf Hitler. Pengikut -pengikut Hitler yang revolusioner merupakan anggota Partai Buruh Sosialis Jerman
National Socialist German Worker’s PartyNSDAP. Dari nama partai inilah istilah Nazi Jerman dan Fasis Italia cukup memiliki kesamaan antar keduanya,
hingga kata „fasis‟ patut dilekatkan bagi kedua gerakan revolusioner itu. Slogan Ein Reich, Ein Volk, Ein Fuehrer, dapat digunakan untuk menympulkan apa arti
sebenarnya Fasisme.
27
Ein Reich Negara Totaliter. Menurut doktrin fasis, negar harus totaliter. Ini berarti negara harus memiliki kekuasaan total atas seluruh aspek kehidupan
rakyatnya. Di negara totaliter rakyat ada untuk kepentingan negara. Hanya ada satu partai politik dimana setiap orang memberikan suaranya, dan partai ini adalah
pemerintah. Pemerintah mengontrol semuanya: pendidikan dan media massa, industri dan perdagangan, rekreasi dan agama, bahkan kehidupan berkeluarga.
Ein Volk Rasialisme dan Nasionalisme. Kaum fasis percaya bahwa manusia adalah predator, tetapi hal ini bukan satu-satunya pembenaran mereka
mendukung negara kuat. Secara sederhana, seorang rasialis percaya bahwa rasnya, entah berasal dari Inggris, Jerman, Cina atau manusia keturunan manapun, adalah
superior atas ras lainnya. Rasialisme berkaitan erat dengan nasionalisme. Seorang nasionalis adalah seorang yang memiliki kebanggaan atas bangsanya, hingga
terkadang sampai pada taraf memujanya. Yang dimaksud dengan „bangsa‟ di sini
adalah istilah kolektif yang mencakup negara sebuah sistem pemerintahan,
27
Ibid, hlm. 5.