Kebijakan Pemerintah Orde Baru terhadap Pers

berakhir keputusan pencabutan pasa 20 UU Pokok Pers itu belum pernah dilakukan. Berarti pemerintah masih mengkategorikan masa Orde Baru membutuhkan masa transisi yang cukup lama sebagai masa peralihan. Menanggapi suara-suara dari kalangan pers agar SIT dicabut, Menteri Sekretaris Negara saat itu Sudharmono, yang juga merangkap sebagai Menteri Penerangan, hanya mengatakan 8 November 1977 bahwa soal SIT sudah diatur dalam undang-undang . Menpen Sudarmono berkata: 78 “Mengubah undang-undang itu tidak mudah, dan pemerintah tetap bermaksud menjalankan undang-undang yang ada dengan sebaik-baiknya.sikap pemerintah adalah akan mendengar dan menampung suara atau usul mengenai SIT.” Lembaga SIT masih tetap dipertahankan “dalam masa peralihan” pasal 20 UU Pokok Pers 1966 dan ada kemungkinan mencabut izin itu, lagi pula dalam praktiknya juga terjadi persbredel dan izin terbit dimungkinkan berlakukanya dalam keadaan yang dianggap darurat. SIT adalah sebagai kebijakan pemerintah terhadap pers sebagai alat kontrol politik dan besar wewenang penguasa untuk membredel pers yang dianggap salah satu ciri khas yang menonjol, dan dasar dari wewenang itu selalu untuk menjaga ketertiban umum. 2. Surat Izin Cetak SIC Pasca peritiwa September 1965 berlaku pula Surat Izin Cetak SIC, yang dikeluarkan oleh Pelaksana Khusus Laksus Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah Kopkamtibda. Namun SIC ditiadakan sejak 3 Mei 1977. Peniadaan SIC ini dengan pertimbangan, keterangan pers Kepala Staf 78 Akhmad Zaini Abar, op.cit, hlm. 56. Kopkamtib Laksamana Sudomo, 4 Mei 1977.: “karena telah semakin mantapnya stabilitas keamanan nasional, semakin meningkatkannya sikap tanggung jawab dan kesadaran nasional pers Indonesia. Lagi pula secara fungsional pers nasional dibina oleh Menteri Pe nerangan”. 79 Dengan adanya SIC itu, Laksusda berhak penuh melakukan pemanggilan kepada wartawan yang dinilai melakukan kesalahan atau yang dianggap perlu dimintai keterangan. Nomor izin cetak harus dicantumkan pada setiap penerbitan pers, seperti halnya nomor izin terbit yang dikeluarkan oleh Menteri penerangan. Ketika SIC masih berlaku, penindakan terhadap pers pada tahap pertama dilakukan dengan mencabut SIC. Tahap berikutnya, baru SIT-nya dicabut. Lembaga surat izin ini memberi penyelenggara kekuasaan negara memiliki posisi yang kuat sekali dalam mengatur kebijakan pemberitaan pers, sehingga praktis pers betul-betul kehilangan banyak kemerdekaannya. Pers Indonesia dikondisikan menjadi anak baik dari sebuah keluarga dan tidak boleh menggangu harmoni keamaan dan ketertiban keluarga. Disinilah muncul larangan kepada pers untuk memberitakan hal-hal terkait dengan “Suku, Agama, Ras dan Antar-golongan SARA. Disinilah sisi tanggung jawab pers lebih ditonjolkan. Karenanya, terhadap pers yang secara gegabah membuat berita menyangkut SARA dapatlah dikategorikan sebagai pers yang tidak bertanggung jawab, dan karenanya pers tersebut harus dicabut SIT dan SIC-nya. Setelah SIC dihapuskan pada pada tahun 1977, kebijakan tentang SIT juga dihapuskan setelah diberlakukannya Undang-undang pokok pers tahun 1982. SIC 79 Ibid, hlm. 186. dan SIT sebagai alat kontrol pemerintah terhadap pers, yang membuat pers menjadi lemah karena kebijakan pemerintah yang represif. Kita melihat sejarah pembredelan pers semakin melembaga, menerusi sejarah pembredelan pers pada zaman kolonial, kependudukan Jepang dan zaman Orde Lama. 80 3. Surat Izin Usaha Penerbitan Pers Sejak tahun 1966, ketentuan tentang penyelenggara pers di Indonesia dituangkan dalam UU PP No.11 tahun 1966. Undang-undang ini diperbaharui dengan UU PP No.4 tahun 1967 dan terakhir diperbaharui dengan UU PP No.21 tahun 1982. 81 Kebijakan pers yang tertuang dalam Undang-Undang Pokok Pers yang sudah tiga kali mengalami perubahan sampai dengan adanya Undang-undang pokok pers tahun 1982, beberapa perubahan-perubahan dalam pasal-pasal yang tertuang tidaklah bersifat fundamental, hanya ada beberapa penambahan kebijakan baru terhadap pers yang secara langsung berlaku terhadap pers Indonesia secara menyeluruh, yaitu seperti pasal 13 ditambah ayat 5 yang berbunyi sebagai berikut: “setiap penerbitan pers yang diselengarakan oleh perusahaan pers memerlukan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers selanjutnya disingkat SIUPP yang dikelurakan oleh Pemerintah. Ketentuan-ketentuan tentang SIUPP akan diatur oleh pemerintah setelah mendengar pertimbangan Dewan pers. 82 Keterangan lebih lanjut tentang SIUPP juga dikeluarkan oleh peraturan Menteri Penerangan No. 01perMenpen1984, yang derajatnya lebih rendah dari Undang-undang, khusunya pasal 33 butir h. Pasal yang berbunyi: 80 Hotman M. Siahaan.et.al, 1983, Tajuk-tajuk dalam Terik Matahari: Empat Puluh Tahun Surabaya Post, Jakarta, Gramedia, hlm. 470. 81 Sularto, Humanisme, op.cit, hlm. 92. 82 T. Atmadi, Sistem Pers Indonesia, op.cit, hlm. 117. “ Surat Izin Usaha Penerbitan Pers SIUPP yang telah diberikan kepada perusahaanpenerbitan pers dapat dibatalkan oleh Menteri Penerangan setelah mendengar Dewan pers, apabila menurut penilaian Dewan pers perusahaanpenerbit pers dan penerbitan pers yang bersangkutan dalam penerbitaanya tidak lagi mencerminkan kehidupan pers yang sehat, pers yang bebas dan bertanggung jawab.” Kebijakan mengenai SIUPP yang tercantum dalam UU PP tahun 1982, merupakan kebijakan terhadap pers yang kontroversial dikalangan mayarakat karena bertentangan dengan asas kebebasan pers di alam demokrasi. Seperti yang ditulis oleh Goenawan Mohammad tentang SIUPP ialah: 83 “Pers bukan lembaga suci. Ia bisa bikin kesalahan. Dan penerbit serta wartawan bukan manusia yang sepi ing pamri. Dalam hal itu, pers tidak berbeda sebenarnya dengan lembaga lain; termasuk pemerintah. Yang kemudian jadi soal ialah ketika pers dianggap punya daya pengaruh yang sangat besar, pemerintah sebenarnya juga demikian. Tapi bila hak pemerintah untuk “kuat” tak pernah dipermasalahkan, hak pers untuk berpengaruh cenderung dianggap berbahaya .sebab itulah dianggap perlu adanya kontrol terhadap pers, baik dengan aturan, anjuran, maupun juga kekuasaan yang efektif, misalnya larangan terbit. SIUPP adalah salah satu bentuk kontrol. Tentu kita harus ingat, bukan Cuma Departemen Penerangan yang menghendaki adanya SIUPP. Surat izin ini lahir dari keinginan beberapa penerbit sendiri: mereka ingin agar kompetisi khususnya dalam segi komersial penerbitan diatur, hingga tak terjadi persaingan bebas.” Masyarakat memandang kebijakan mengenai pembatalan SIUPP Surat kabar dan majalah, merupakan aturan yang bertentangan UU PP No.21 tahun 1982 pasal 4 berbunyi: terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan. Tetapi pemerintah tidak menganggap demikian. Tindakan pembatalan SIUPP dipandang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Pers. Pandangan pemerintah itu tampaknya diperkuat oleh Mahkamah Agung, seperti diketahui, gugatan pengasuh majalah Tempo terhadap pembatalan SIUPP majalah dan surat kabar berdasarkan Peraturan Menteri Penerangan No. 01 tahun 1984, ternyata ditolak dengan 83 Goenawan Mohamad, SIUPP, Tempo, 22 Juli 1991. perkataan lain pembatalan SIUPP tidak melanggar UU Pokok Pers No.21 Tahun 1982. Keputusan Makhamah Agung ini tentu makin memperkuat posisi ketentuan Peraturan Menteri Penerangan dalam pengaturan corak dan pola kegiatan pers. Akibat lebih lanjut, setiap prinsip kebebasan pers yang diatur dalam konstitusi dan Undang-undang pokok pers mengalami pemasungan terstruktur dan tersistem. 84 Ketentuan lisensi terbit atau biasa disebut sebagai Surat Izin Usaha Penerbitan Pers SIUPP pada hakikatnya merupakan instrument politik pemerintah untuk mengendalikan media pers setelah dihapuskannya SIT dalam Undang-Undang Pokok Pers No.21 tahun 1982, SIUPP merupakan wujud lain dari SIT yang dihapus tersebut. Sementara dalam pelaksanaannya pemerintah tidak mengeluarkan SIUPP baru dengan alasan pasar penanaman modal penuh karena negara ikut memberi keputusan dalam pasar media. 85 Dihalanginya pendatang baru masuk ke usaha pers, diterima bahkan didukung karena menguntungkan bagi perusahan pers. Sedangkan pers yang masih terbit boleh bersenang hati karena lowongan pasar. Pengusaha yang ingin berinvestasi di bidang pers hanya dimungkinkan dengan “membeli” SIUPP yang sudah ada. Kebijakan pemerintah yang represif mengakibatkan pemasungan terhadap prinsip- prinsip universal kebebasan pers ini membawa pengaruh yang cukup mendasar terhadap penyajian berita, obyektivitas dan kesahihan berita, pola kepemilikan pers, serta personalia penyelenggara penerbitan pers. 84 Sularto, op.cit, hlm. 95. 85 Ibid, hlm. 160. 65

BAB III BENTUK DAN ALASAN PEMBREDELAN PERS DI

MASA ORDE BARU

A. Bentuk Pembredelan Pers selama berlakunya UU PP No.11 Tahun 1966.

Kebebasan berserikat dan berkumpul, megeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang, UUD 1945 pasal 28, inilah pasal yang melindungi kebebasan pers nasional, selain pasal 28 dalam UUD 1945, ketentuan-ketentuan mengenai kehidupan pers, diatur dalam UU PP No.11 tahun 1966. Prinsip- prinsip dasar pers menyatakan bahwa “pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan.” bab 2, pasal 4 dan kebebasan pers sesuai dengan hak azasi warga negara dijamin. pasal 5 ayat 1, serta “penerbitan tidak memerlukan surat izin apa pun bab 4, pasal 8 ayat 2. Pada kenyataannya semua tentang kebebasan pers yang telah tercantum hanya semu dan hanya sebatas peraturan yang tidak sampai kepada realisasi dalam kehidupan pers selama Orde Baru. Pasal-pasal yang tercantum dalam Undang-Undang Pokok Pers No. 11 tahun 1966, ada unsur kekaburan dalam makna yang sebenarnya, seperti tentang masa peralihan yang tidak jelas sampai kapan bab 9, pasal 20, ayat 1 a berbunyi “ dalam masa peralihan keharusan mendapatkan Surat Izin Terbit masih berlaku sampai ada keputusan pencabutannya oleh pemerintah atau DPR GR, dan para penerbit surat kabar wajib memiliki dua izin tersebut yaitu Surat Izin Cetak SIC dari Departemen Penerangan dan Surat Izin Terbit SIT dari lembaga keamanan Militer Kopkamtib, tanpa kedua izin tersebut,secara hukum sebuah pers niscaya tak mungkin terbit. Apabila salah satu kedua lembaga tersebut mencabut izin tersebut, secara efektif surat kabar dan majalah itu dibredel. 86 Bentuk pembredelan pers masa berlakunya UU Pokok Pers No.11 Tahun 1966 dikelompokan sebagai berikut : 1. Pencabutan Surat Izin Cetak. Surat Izin Cetak pers dapat dicabut atau dibatalkan oleh Pelaksana Khusus Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah Laksus Pangkopkamtibda jika telah menyiarkan tulisan-tulisan yang tidak berdasarkan pada kebenaran yang dapat menghasut rakyat. 87 2. Pancabutan Surat Izin Terbit. Undang-Undang Pokok Pers No.11 Tahun 1966 pasal 8 ayat 1 berbunyi: setiap warga negara mempunyai hak penerbitan pers yang bersifat kolektif sesuai dengan hakikatnya Demokrasi Pancasila. Pasal 2 berbunyi: untuk ini tidak diperlukan Surat Izin Terbit SIT. Pasal terkait SIT dalam UU PP No.11 tahun 1966 memberikan unsur ketidakjelasan tentang ketentuan SIT. Pasal 20 ayat 1a. Berbunyi: dalam masa peralihan keharusan mendapatkan Surat Izin Terbit masih berlaku sampai ada keputusan pencabutannya oleh pemerintah dan DPR GR. Ayat 1b berbunyi: ketentuan mengenai Surat Izin Terbit dalam masa peralihan diatur pemerintah bersama-sama dengan Dewan Pers. Kejelasan tentang siapa yang berwenang dalam mencabut SIT sebuah surat kabar dalam UU PP No.11 tahun 1966 tidak dicantumkan sehingga, dalam pembredelan dalam bentuk pencabutan SIT bisa dilakukan Presiden Soeharto dan 86 David T.Hill, op.cit, hlm. 35. 87 Abdurrachman Surjomihardjo,op.cit, hlm. 290. para pejabatnya yang menganggap pemberitaan surat kabar dapat menganggu kestabilan nasional. Hal ini digambarkan ketika tahun 1973 yang dianggap tahun panas dengan suhu politik yang sangat tinggi, pada tanggal 2 Januari 1973, Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro mencabut SIT harian Sinar Harapan. 88 Pembredelan dengan cara pencabutan SIT oleh Presiden Soeharto dan pejabat lainnya mesipun tanpa pertimbangan Dewan Pers dianggap sah, oleh sebab itu pers pun tidak berdaya dan bahkan tidak dapat terbit untuk selamanya ketika pencabutan SIT sudah terjadi.

B. Alasan pembredelan pers selama berlakunya UU Pokok Pers No.11

Tahun 1966 dikelompokan sebagai berikut: 1 Politik Alasan politik yang dimaksud dalam skripsi ini dirinci terkait: a. Kekuasaan, Pemerintahan. Ketika rezim Orde Baru sedang membangun pondasi sebagai era baru sebagai pengganti Orde Lama, yang masih membutuhkan banyak dukungan dari berbagai pihak yang dapat membantu memperkuat konsolidasi kekuasaan Presiden Soeharto, oleh sebab itu berita-berita yang disampaikan pers tidak boleh menimbulkan kekacauan yang dapat mengoyahkan kekuatan pemerintahan Orde Baru. seperti pembredelan menjelang Pemilu pertama yang diselenggarakan pada tahun 1971 dengan alasan telah melanggar ketentuan pemilu. Pemilu yang berlangsung pada bulan Juli itu adalah pemilu yang pertama kali diselenggarakan pemerintah Orde Baru. karena itu pemilu ini sangat penting artinya 88 Akhmad Zaini Abar. op.cit.hlm. 72. bagi pemerintah Orde Baru untuk mencari dukungan rakyat serta untuk mendapatkan maupun memperkuat legitimasi politik dari kekuasaanya. 89 Oleh seba itu pemberitaan pers terkait pemilu dapat membahayakan ambisi penguasa Orde Baru dalam memenangkan pemilu pertama pada tahun 1971. b. Ideologi. Pers indonesia adalah pers pancasila yang bebas dan bertanggung jawab, kehidupan pers harus berdasarkan nilai-nilai Pancasila, oleh sebab itu pers tidak diperkenankan untuk menulis berita yang tidak berdasarkan nilai-nilai Pancasila yang mengakibatkan pers yang tidak sehat dan tidak bertanggung jawab. Peraturan mengenai pers Pancasila tercantum dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara GBHN, bagian pers dan penerangan. 2 Ekonomi, sosial-politik. a. korupsi pada masa Orde Baru menjadi sorotan kritis pers, karena dampak dari korupsi yang merajalela dikalangan para pejabat negara telah menimbulkan ketimpangan sosial dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Hal inilah yang diperjuangkan pers melalui surat kabar agar pemerintah memperhatikan kehidupan masyarakat jangan hanya memperkaya diri sebagai pejabat pemerintah. b. Alasan pembredelan karena telah membocorkan rahasia negara yang di kenakan terhadap harian sore Sinar Harapan, hanya sebagai pelampiasan pemerintah atas situasi ekonomi yang sedang mengalami inflasi, karena semakin terungkap pemberitaan mengenai kebijakan ekonomi pemerintah 89 Akhmad Zaini Abar, op.cit, hlm. 126. dan lambatnya pertumbuhan ekonomi yang mengakibatkan harga kebutuhan sehari-hari meningkat untuk mengatasi defisit keuangan negara. Serta jika pemberitaan terkait isu ekonomi dianggap dapat menimbulkan kekhawatiran dikalangan masyarakat. 3 Keamanan dan Pertahanan. Menjaga stabilitas nasional merupakan alasan yang paling mendasar pemerintah dalam membredel pers, karena ketika pers terlalu bebas menyampaikan kejadian-kejadian terbaru, dan tanggapan dari masyarakat terhadap pemberitaan tersebut dapat melahirkan konflik serta demonstrasi massa yang dapat membahayakan keamanan nasional serta elit penguasa, maka pemerintah dengan senantiasa membredel surat kabar yang dianggap menganggu keamanan demi terciptanya masyarakat yang tentram Pemberitaan mengenai dwi fungsi ABRI adalah pemberitaan yang dilarang selain keluarga Presiden, hal inilah yang terjadi ketika harian Kompas ketika di bredel tahun 1982, karena memberitakan persoalan dwi fungsi ABRI dan demonstrasi mahasiswa yang dikhawatirkan akan memperuncing konflik. Kompas dapat terbit kembali setelah menyanggupi persyaratan dari pemerintah salah satu isi dari persyaratan tersebut ialah, tidak akan mempersoalkan dwifungsi ABRI. 90 4 Suku, Agama, Ras dan Aliran SARA Pemberitaan mengenai pertikaian antar agama, pemberontakan atau perlawanan terhadap pemerintah pusat oleh kelompok sparatis seperti di Timor 90 St.Sularto, Syukur Tiada Akhir, op.cit, hlm. 23. Timur, Aceh dan Papua Barat. Tidak dapat diberitakan dengan bebas karena di bawah pengawasan pemerintah. 91 5 Hak Asasi Manusia Pemberitaan terkait HAM pada masa Orde Baru, hanya beberapa surat kabar yang berani memberitakan, dengan konsekuensi surat kabarnya ditutup. Karena pemberitaan mengenai HAM dianggap pemerintah mencorengkan hukum Indonesia, meskipun hukum berlaku namun ketidakadilan masih terjadi dan diketahui oleh masyarakat luas, hal tersebut dikhawatirkan akan menyebabkan tindakan anarkis dari masyarakat. Seperti ketika Tempo mengulas kasus Marsinah seorang buruh dalam laporan utama Tempo selama bulan Maret 1994, pada tahun tersebut juga Menpen mencabut SIUPP Tempo, selain alasan pemerintah membredel Tempo karena memuat kontroversi pembelian 39 kapal bekas Jerman Timur, dibalik pemberitaan tersebut kasus Marsinah merupakan berita yang tidak diketahui oleh masyarakat jika tidak ada surat kabar yang berani memberitakan selain Tempo. Marsinah adalah seorang buruh di PT.Catur Putra Surya, yang ditemukan meninggal setelah melakukan berbagai aksi untuk menuntut perbaikan nasib bagi buruh PT.CPS, kasus pengusutan pembunuhan Marsinah berakhir penuh dengan kerahasiaan, hukum tidak berpihak pada Marsinah. 92 Data terkait pembredelan selama berlakunya UU PP No.11 tahun 1966 akan ditunjukan dalam tabel 1 di bawah ini. 91 David.T.Hill, op.cit, hlm. 49. 92 Tempo, 19 Maret 1994.