Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pengungkap Fakta (Whistle Blower) Dalam Perkara Pidana Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

  

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI PENGUNGKAP FAKTA

(WHISTLE BLOWER) DALAM PERKARA PIDANA DIHUBUNGKAN

DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

  

The Legal Protection Towards Whistle Blower in Criminal Case Connected to

Constitution No 13 Year 2006 about Protection of Witnesses and Victims

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Satu Syarat Ujian Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

  

Jurusan Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Komputer Indonesia

  Oleh :

  

Herwin Susastra

Nim . 3.16.08.022

  Di bawah Bimbingan :

  

Dr. Asep Iwan Iriawan, S.H., M.Hum

JURUSAN ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA

  

2012

  

✁✂ ✄☎✆ ✝✞✆ ✟ ✠✆ ✡ ✞ ☛ ✞ ☞ ✌✁✂ ✡ ✠ ✝✠ ✍ ✠ ☛ ✍ ☎ ✁✆ ✟ ✞✆ ✟ ☛ ✠ ✎ ✠ ☛ ✌✠

✝ ✠✄✠☞ ✁✂☛ ✠✂ ✠ ☎ ✝✠ ✆ ✠ ✝☎ ✡ ✞ ✏ ✞✆ ✟ ☛ ✠✆ ✝ ✁ ✆✟ ✠ ✆

✞✆ ✝✠✆✟ ✑ ✞✆ ✝✠✆ ✟ ✆ ✒ ☞ ✒ ✂ ✓ ✔ ✌ ✠✡ ✞✆ ✕ ✖ ✖ ✗ ✌ ✁✆ ✌✠✆✟ ✁✂ ✄ ☎✆ ✝✞✆ ✟ ✠ ✆ ✍ ✠☛ ✍ ☎

(WHISTLE BLOWER)

✝ ✠ ✆ ☛ ✒ ✂ ✏ ✠ ✆

✡ ✍

✘✙✚ ✛✜ ✢ ✣✤ ✣ ✥ ✙✤

✔ ✓ ✗ ✖ ✦ ✖✕✕

Abstrak

Lemahnya penegakan hukum mengenai perlindungan terhadap saksi pengungkap

fakta (whistle blower) membuat para saksi tidak bersedia memberikan kesaksian mengenai

segala sesuatu yang didengar, dilihat dan dialami sendiri. Kekakhawatiran tersebut dapatlah

dimaklumi ketika seorang saksi pengungkap fakta (whistle blower) telah nyata melaksanakan

kewajibannya, namun yang didapat bukanlah suatu prestasi, melainkan sebuah ancaman, baik

ancaman karena saksi hukum maupun fisik dan mental, terlebih apabila kasus yang sedang

diproses merupakan kejahatan yang terorganisir, sudah tentu ancaman yang mungkin muncul

akan semakin besar, dan bukan hanya melibatkan saksi pengungkap fakta (whistle blower),

akan tetapi juga bisa terhadap harta benda dan keluarganya, yang kesemuanya bisa dalam

wujud ancaman fisik maupun mental. Berdasarkan latar belakang, maka perlunya dikaji

permasalahan mengenai perlindungan hukum terhadap saksi pengungkap fakta (whistle

blower) dalam perkara pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang

Perlindungan Saksi dan Korban, peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam

memberikan perlindungan bagi saksi pengungkap fakta (whistle blower) dalam praktek serta

kelemahan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam memberikan perlindungan

kepada saksi pengungkap fakta (whistle blower).

  Penelitian yang dilakukan penulis bersifat deskriptif analitis dengan melukiskan

fakta-fakta berupa data primer dan data sekunder dengan menggunakan metode pendekatan

yuridis normatif. Data yang dihasilkan dianalisis secara yuridis kualitatif, sehingga hierarki

peraturan perundang-undangan dapat diperhatikan serta dapat menjamin kepastian hukum.

  Berdasarkan analisis terhadap data yang diperoleh, disimpulkan bahwa perlindungan

terhadap whistle blower terdapat di dalam Pasal 5 ayat (1) tentang hak-hak saksi, pasal 9

yang menyatakan saksi dapat memberikan keterangan tanpa hadir di persidangan dan Pasal

10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban,

dinyatakan bahwa seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama, kesaksiannya

dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang dijatuhkan, peran

LPSK dapat dilakukan dengan melaksanakan tugas dan kewenangan yang tersebar dalam

Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, menjaga hak-hak saksi dan bekerja sama

dengan instansi lain yang terkait, serta kelamahan LPSK yaitu minimnya pasal di dalam

Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban yang mengatur tentang saksi pengungkap

fakta (whistle blower).

  

★ ✩ ✪ ✫ ✪✬✭ ✮ ✯✰✱ ✲ ✪ ✳ ✲✴✱ ✵ ✲✱ ✶✭ ✰✷ ✸ ✶✩ ✴ ✸ ✲ ✮✪ ✹ ✮✱ ✶ ✪✰ ✴✵ ✺ ✰✴✻✴ ✵ ✭ ✮ ✺ ✭✸ ✪ ✺ ✱ ✵ ✵ ✪ ✳ ✲✪ ✷ ✲✱ ★ ✩ ✪ ✫✭ ✶

✼ ✱ ✽✾ ✿ ✪ ✭ ✰ ❀❁❁ ❂ ✭ ❃ ✱ ❄ ✲ ✯✰ ✱ ✲ ✪ ✳ ✲ ✴ ✱ ✵ ✱ ❅ ❆ ✴ ✲✵ ✪ ✸✸ ✪ ✸ ✭ ✵ ✷ ❇ ✴ ✳ ✲✴✻✸

❈❉❊ ❋●❍■❋

❏ ❑▲▼◆❖ P◗❘ ❙❘ ❚▲❙

❯❱❲ ❳❨ ❳❩❩

❜ ❞ ❤ ❫ ❴❜ ❤ ❤ ❞ ♦ ❦ ❬❭❪ ❫❪ ❴❵ ❛ ❴ ❫ ❪ ❜❝ ❞❡ ❢❪❣ ❪ ❜ ❤ ❴✐❞ ❥ ❤ ❫ ❭❦❧ ❤ ❛ ❪ ✐❛❞ ❫❪❡ ♠❡ ❞ ❤ ❪❢ ❤ ❦❞ ❜ ❣ ❴ ❵❪❧ ❤❭❪ ❫❦ ❤❜❪❧❧❪❧ ♥❞ ve legal testimony about anything they have heard, seen, and undergone. This

anxiety is understandably when a whistle blower do their obligation, they do not get

achievement but a threat, either in physically or mentally, moreover if the case is an

organized crime, the threat is getting bigger, and not only involve whistle blower, but also

property and family. According to the background needs to be review problem about whistle

blower protection in criminal case refers to the law no 13 year 2006 about protection of

witnesses and victims, the role of witnesses victims protection agency in giving protection to

whistle blower in practically and the weak of witnesses and victims agency in giving

protection to whistle blower.

  This study is descriptive analytic by describing the primary and secondary facts and

using juridical normative approach. The data gained is analyzed in judicial qualitative,

therefore the hierarchy of constitution can be noticed and guaranteed legal certainty.

  According to data, it can be concluded that the whistle blower protection is in article

5 chapter (1) about witness s rights, article 9 says that the witnesses can give information

without present in the court and article 10 chapter (2) the law no 13 year 2006 about the

protection of witnesses and victims says that the witnesses is also suspect in the same case,

the legal testimony can be considered as judge consideration to lighten the punishment, the

role of witnesses and victims agency can be done by a duty and authority accomplishment

that spread out in constitution of witnesses and victims protection, keep the witness s rights

and cooperate to related agency, and the weak of witnesses and victims agency is the lack of

article in witnesses and victims constitution that rule about whistle blower.

  

♣ qr q s t ✉✈ q✉rq✇

Assalamu alaikum wr.wb ①②③④ ④ ⑤ ⑥⑦⑧ ⑥ ⑨⑥ ⑩ ② ⑧ ⑤ ④ ❶⑦ ④ ⑨ ④ ⑨ ② ④ ❷ ④ ❸ ④ ❹ ① ❺❻ ❺❼ ④ ③ ② ④ ❹ ② ❽ ② ⑧⑨ ④ ②③④ ④ ④ ❹ ④ ❷ ④ ⑨ ④ ⑥ ❶ ⑧ ④ ❾ ④❿ ➀ ❹ ④ ④ ④ ② ④ ➀ ④ ④ ② ➁ ③ ④ l sy p l u n s t n p ll y n t l ② ➂ ④ ❹⑨ ④ ⑨ ② ⑤ ④ ❷ ④ ➃ ④❽ ⑧ ❽②➀ ④ ⑨⑧ ④ m m r s n l r m t n r y n l w t s rt l s m m t r r u n r t Muhammad S.A.W, bahwa penulis masih

  diberikan kesempatan untuk dapat mensyukuri segala nikmat-nya, berkat taufik dan hidayah-nya penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum dengan judul

  

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI PENGUNGKAP

FAKTA (WHISTLE BLOWER) DALAM PERKARA PIDANA

DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN

2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

  Penulis sangat menyadari bahwa dalam pembuatan penulisan hukum ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi substansi maupun tata bahasa, sehingga kiranya masih banyak yang perlu didalami dan diperbaiki. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang insyaallah dengan jalan ini dapat diperbaiki kekurangan dikemudian hari.

  Pada proses penyusunan laporan ini banyak bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih dengan penuh rasa hormat kepada Dr. Asep Iwan Iriawan, S.H., M.Hum selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, pikiran dan kesabarannya

  1. Yth. Bapak Dr. Ir. Eddy Soeryanto Soegoto, Msc selaku Rektor Universitas Komputer Indonesia;

  2. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Ria Ratna Ariawati, S.E., A.K., M.S selaku Pembantu Rektor I Universitas Komputer Indonesia;

  3. Yth. Bapak Prof. Dr. Moh. Tajuddin, M.A. selaku Pembantu Rektor II Universitas Komputer Indonesia;

  4. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Aelina Surya, selaku Pembantu Rektor III Universitas Komputer Indonesia;

  5. Yth. Bapak Prof. Dr. H.R. Otje Salman Soemadiningrat, S.H selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

  6. Yth. Ibu Hetty Hassanah, S.H., M.H selaku Ketua urusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

  7. Yth. Ibu Arinita Sandria, S.H., M.Hum selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

  8. Yth. Ibu Febilita Wulan sari, S.H., M.H selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

  9. Yth. Bapak Budi Fitriadi, S.., M.Hum selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Inonesia;

  11. Yth. Ibu Farida Yulianti, S.H., S.E., M.M selaku Dosen Fakultas Hukum Hukum Universitas Komputer Indonesia;

  12. Yth. Ibu Rchmani Puspitadewi., S.H., M.Hum selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

  13. Yth. Bapak Sigid Suseno., S.H., M.H selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

  14. Yth. Yani Brilyani Tavipah., S.H., M.H selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

  15. Yth. Ibu Rika Rosilawati, A.Md selaku Staff Administrasi Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

  16. Yth. Bapak Muray selaku Karyawan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

  17. Teman-teman seperjuangan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

  18. Teman-teman seperjuangan dari Kecamatan Belinyu Provinsi Bangka- Belitung;

  19. Bebi Berista selaku orang yang selalu menemani dan mendukung perkuliahan penulis.

  S.W.T, karena atas ijin-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini, semoga penulisan hukum ini bermanfaat bagi para pembaca dan penulis sendiri.

  Wassalammualaikum. wr. wb

  ➄ ➅➆ ➇➈ DAF

I

  ➉ ➊ ➋ ➌ ➍ ➎ ➍ ➎ ➋ ➌ ➋➍ ➍ ➏ ➐➑ ➒ ➑ E BA E GE AHA ➓ ➑ ➌ ➍ ➍ ➑ ➋ E A AA A A E GA A ➋ ➔ ➎

  . i v

  DAF A ➎ ➑ ➋ ➐ ➓

  I AB

  ... ix

  ABSTRACT ➌ ➍ ➉ ➍ → ➐ ➣ ➏ ➏➐

  .. x

  1 A. Latar Belakang

  1 B. Identifikasi Masalah

  7 C. Tujuan Penelitian .

  7 D. Kegunaan Penelitian

  8 E. Kerangka Pemikiran

  8 F. Metode Penelitian ➑ ➍ ↔ ➐➏➐ ➍ ➏ ➊ ➏ ➊ ➊ ➍ ↕ ➍ ➎ ➓ ➎ ➌ ➍ ➏ ➍ ➓ ➌

  15 BAB II ➓ ➑

  I E E AI A

  I E G G A

FA A (WHISTLE BLOWER) .....

  19 A. Tinjauan Umum Mengenai Saksi Pengungkap Fakta (Whistle

  Blower)

  19 1. Pengertian Saksi Pengungkap Fakta (Whistle Blower) .

  19

  

➙➛ ➜➝➞➟➞ ➠ ➡➞ ➢ ➤➜ ➥➜➟➞➡ ➞➞ ➢ Whistle Blower ➡ ➦ ➧➜➟ ➥➞ ➨ ➞ ➦ ➩➜ ➨ ➞➟ ➞

  S ..

  20 B. Model Perlindungan Saksi (Whistle Blower) ..

  22 C. Tinjauan Umum Mengenai Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban .

  27

  1. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Sebagai Lembaga Yang Mandiri

  27 2. Kedudukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban .

  28

  3. Tugas dan Kewenangan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ...

  29 D. Pasal-Pasal Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Yang Berkaitan Dengan Perlindungan Saksi Pengungkap Fakta (Whistle Blower) ...

  31 E. Keterangan Saksi Sebagai Salah Satu Bukti ...

  35

  1. Sistem Pembuktian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

  35

  2. Keterangan Saksi dan Kekuatan Pembuktian Menurut Kitab ➫ ➭➯ ➲➳➲ ➭ ➵ ➭ ➸ ➭ ➲➺ ➻ ➼➽ ➭ ➾➳ ➭ ➭ ➳ ➚ ➳ ➵ Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ...

  45 BAB

  III ➫ ➼ ➪ ➻ ➶ ➚ ➶ ➻ ➭ ➳ ➭ ➚ ➻ ➚ ➫

  I E E E

  I GA H E ADA A

  I E G G A FA A (WHISTLE BLOWER) ..

  60 A. Kasus Saksi Pengungkap Fakta (Whistle Blower)

  60

  ➹➘ ➴➷➬➮➱ ✃❐➱ ❒❮➱ ❰ ❮ ÏÐ ➮ ❮➬❮ Ñ ➴➷ ❮ Ò ❐ ➷❮ ➱ Ó➴➷ ❐ ➱ ✃❮➱ ❒ Ô ➱ ✃❮➱❒ ❮➱

  P D P U

  61 1. Perlindungan Saksi dalam KUHAP ..

  61

  2. Perlindungan Saksi dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia ..

  66

  3. Perlindungan Saksi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun Õ Ư×Ừ Ù Ú Ù Ú ÛÜ Ý Ø Ù ×Þß×àÖ× áß â ß ã ô ÜÝâÖÞÖ Û Ú Ö âÚ Ù 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban ...

  68 BAB I ÛÜ×àß×à â Ö Û Ö â ä Ö ÞỪ Ư ã å ÛÜ Ýâ Ö Ý Ö ÛÙ ÞÖ×Ö ÞÙ áßæ ß×à â Ö× Þ Ü×àÖ× ß×ÞÖ×à ç (WHISTLE BLOWER) ÛÜ Ý ØÙ ×Þß×à Ö× Ú Ö â Ú Ù ÞÖ× â è Ý æ Ö× ß×ÞÖ×à × è ã è Ý éê ôÖ â ß× ëìì í ä Ü× ä Ö×à ...

  72 A. Perlindungan Hukum Bagi Saksi Pengungkap Fakta (Whistle

  Blower) Dalam Tindak Pidana Berdasarkan Undang-Undang

  Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

  72 B. Peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam Memberikan Perlindungan Terhadap Saksi Pengungkap Fakta (Whistle Blower) ...

  87 C. Kelemahan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam Memberikan Perlindungan Kepada Saksi Pengungkap Fakta (Whistle Blower) ...

  99

  BAB î ïð ñ òóô õö ÷ õö ïõ ø õö

  A. SIMPULAN ..

  B. SARAN . ÷õ ùú õ ø òóï ú õ û õ .. ÷õ ùú õ ø ø ð ü õ ý õ ú þ ð ÷óò

  ô õ ñ òð ø õö

  103 103 105 107

  ✂ ✄☎✆ ✝ ✞✟ ✞ ☎ ÿ ÿ ✁ ✠✡ ☛☞ ✌☞ ✍ ✎ ✏✑ ☞ ✒ ☞ ✓✔

  Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum, merupakan penegasan pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. sesuai dengan penegasan diatas dapat dipahami dan dimengerti bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum. Sebagai Negara hukum, Indonesia menerima ideologi untuk menciptakan adanya keamanan dan ketertiban, keadilan dan kesejahteraan, dalam kehidupan yang bermasyarakat dan bernegara, serta menghendaki agar hukum ditegakkan, artinya hukum harus dihormati dan ditaati oleh siapa pun tanpa kecuali baik oleh seluruh masyarakat. Perwujudan Negara hukum ditandai dengan proses peradilan yang bebas melalui penerapan asas di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan equality before the law, yaitu perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan di depan hukum.

  Sistem peradilan pidana di Indonesia pada hakikatnya merupakan sistem kekuasaan menegakan hukum pidana, yang diimplementasikan dalam 4 (empat) subsistem yaitu : kekuasaan penyidikan, kekuasaan penuntutan, putusan pidana, empat lembaga ini sering disebut dengan istilah sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system).

  Proses pembuktian dalam perkara pidana dijelaskan didalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang menyatakan :

  Alat bukti yang sah ialah :

  a. Keterangan saksi;

  b. Keterangan ahli;

  c. Surat;

  d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa. Berdasarkan ketentuan dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP, dapat dijelaskan sebagai berikut :

  1. Keterangan Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu pristiwa pidana yang ia dengar sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

  2. Keterangan Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian husus tentang hal yang diperlukan untuk membuat keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang

  3. Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah ialah : a. Berita acara dan surat lain, dokumen dalam bentuk yang sesuai dibuat pejaat umum yang berwenang.

  b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang- undangan tentang suatu keadaan.

  c. Surat keterangan ahli yang diminta secara resmi

  d. Surat lain yang hanya berlaku jika berhubungan dengan isi dan alat pembuktian lain.

  4. Petunjuk sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf d yaitu Perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

  5. Keterangan terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia alami sendiri.

  Sistem peradilan pidana terpadu mengenal adanya saksi yang mana disebutkan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepetingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri (Pasal 1 butir 26 KUHAP).

  Proses peradilan yang fair adalah perlindungan terhadap saksi, terlebih untuk kasus-kasus khusus yang sulit pembuktiannya. Keberadaan saksi sangat penting guna mengungkap kebenaran yang sulit diselidiki dengan pendekatan formal. Dalam sistem hukum pidana terpadu, perlindungan bagi saksi tampaknya belum memperoleh perhatian serius, bahkan seringkali para saksi yang seharusnya memperoleh perlindungan, mendapatkan serangan balik dari aparat penegak hukum.

  Lemahnya penegakan hukum mengenai perlindungan saksi pengungkap fakta (whistle blower) membuat para saksi enggan memberikan kesaksian mengenai segala sesuatu yang didengar, dilihat dan dialami sendiri. Kekhawatiran tersebut dapatlah dimaklumi ketika saksi telah nyata melaksanakan kewajibannya, namun yang didapat bukanlah suatu prestasi melainkan sebuah ancaman, baik ancaman karena saksi hukum maupun fisik dan mental, terlebih apabila kasus yang sedang diproses merupakan kejahatan yang terorganisir, sudah tentu ancaman yang mungkin muncul akan semakin terhadap harta dan keluarganya, yang kesemuanya bisa dalam wujud ancaman fisik maupun mental.

  Adapun resiko-resiko lain yang membuat seorang whistle blower dan

  

justice collabolator tidak ingin memberikan keterangan yang diketahui adalah

  sebagai berikut :

  1

  1. Resiko Internal

  a. Para whistle blower dan justice collabolator akan dimusuhi oleh rekan-rekannya sendiri.

  b. Keluarga whistle blower dan justice collabolator akan terancam.

  c. Para whistle blower dan justice collabolator akan dihabisi karier dan mata pencahariannya.

  d. whistle blower dan justice collabolator akan mendapat ancaman pembalasan phisik yang mengancam keselamatan jiwanya.

  2. Resiko Eksternal

  Penaku, Jakarta,2012 hlm 15 a. whistle blower dan justice collabolator akan berhadapan dengan kerumitan dan berbelit-belit rentetan proses hukum yang harus dilewati.

  b. whistle blower dan justice collabolator akan mendapat resiko hukum ditetapkan status hukumnya sebagai tersangka, atau bahkan terdakwa, dilakukan upaya paksa penangkapan dan penahanan, dituntut dan diadili, dan divonis hukuman berikut ancaman denda dan ganti rugi yang beratnya seperti pelaku lain.

  Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan saksi dan korban pada tanggal 11 Agustus 2006 dinilai sebagai suatu terobosan yang diharapkan mampu menutupi kelemahan- kelemahan sistem hukum yang berkaitan dengan terabaikannya elemen saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana sebagaimana dinyatakan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang ini dengan lebih spesifik (lex specialis) mengatur syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan bagi saksi dan atau korban sebagai pelapor (whistle blower).

  Ancaman sanksi hukum berupa tuntutan pidana atas kesaksian atau laporan yang diberikan, dan pada akhirnya saksi menjadi tersangka bahkan menjadi terpidana. Persoalan banyaknya saksi yang tidak bersedia menjadi saksi ataupun tidak berani mengungkapkan kesaksian yang sebenarnya karena tidak adanya jaminan yang memadai terutama jaminan atas perlindungan ataupun mekanisme tertentu untuk bersaksi dan melaporkan tindak kejahatan.

  Fakta yang dialami saksi pengungkap fakta (whistle blower) adalah kasus Mindo Rosalina Manulang dalam memberikan saksi di persidangan terdakwa kasus wisma atlet Nazarudin. Oleh karena itu penulis tertarik untuk menguraikan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan masalah-masalah di atas dengan menganalisa dan mengambil judul : PERLINDUNGAN ✕✖✗ ✘✙✚ ✛

  HUKUM TERHADAP SAKSI PENGUNGKAP FAKTA ( ✜ ✚ ✢ ✕✛ ✣ ) DALAM PERKARA PIDANA DIHUBUNGKAN DENGAN

  13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN .

  Identifikasi masalah yang akan penulis bahas dalam penulisan hukum ini, yaitu :

  1. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi saksi pengungkap fakta (whistle blower) dalam tindak pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban ?

  2. Bagaimana peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam memberikan perlindungan bagi saksi pengungkap fakta (whistle

  blower) dalam praktek ?

  3. Apakah Kelemahan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam memberikan perlindungan kepada saksi pengungkap fakta (whistle blower? ✤✥ ✦✧★✧ ✩✪ ✫✬✪✬✭✮✯✮ ✩ ✪

  1. Menggambarkan tentang perlindungan hukum bagi saksi pengungkap fakta (whistle blower) dalam sistem pidana terpadu

  2. Menggambarkan peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam memberikan perlindungan bagi saksi pengungkap fakta (whistle blower) dalam praktek ?

  3. Menggambarkan tentang kendala-kendala Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam memberikan perlndungan bagi saksi pengungkap fakta (whistle blower). ✧✪ ✩✩✪ ✫✬✪✬✭✮✯✮ ✩✪

  1. Secara teoritis, diharapkan penulisan ini dapat dijadikan sumber bagi penulis lebih lanjut untuk menggambarkan tentang perlindungan hukum dan pemidanaan terhadap saksi pengungkap fakta (whistle blower).

  2. Secara praktis, penulisan ini diharapkan bermanfaat sebagai pertimbangan dalam melakukan perlindungan dan pemidanaan terhadap saksi ✳ ✴ ✵✶✷✸ ✹✺✻✸ ✼✶✽ ✾ ✻ ✾ ✷✸ ✹ pengungkap fakta (whistle blower).

  Perlindungan terhadap masyarakat di atur di dalam alenia keempat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa : kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara

  Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang membentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat yang berdasarkan kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia .

  Amanat dalam alenia keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut merupakan konsekuensi hukum yang mengharuskan pemerintah tidak hanya melaksanakan tugas pemerintahan saja, melainkan juga kesejahteraan sosial melalui pembangunan nasional. Selain itu juga merupakan landasan perlindungan hukum kepada masyarakat, karena kata melindungi mengandung asas perlindungan hukum bagi segenap Indonesia untuk mencapai keadilan. Selain itu Pembukaan Alenia keempat Undang- dimana adil dan makmur tersebut bisa diimplementasikan di dalam sila ke-5 (lima) Pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan juga dinamika berbudaya mengenai kepentingan individu, masyarakat dan negara.

  Alenia keempat Undang-Undang Dasar 1945 juga menjelaskan kata mewujudkan, dimana kata mewujudkan mengandung arti untuk mencapai kepastian hukum di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang didukung oleh teori Hans Kelsen, yaitu teori murni, yang menyatakan bahwa hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir non yuridis, bahwa tidak ada kaitannya dengan unsur etis, sosiologis, politis, dan filosofis, jadi harus murni yuridis normatif yang bersih dari hal-hal yang menyangkut baik buruk nilai- nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, kekuasaan, dan

  2 keadilan.

  Ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa Negara Indonesia merupakan negara hukum, maka semua peristiwa hukum yang terjadi di Indonesia harus diatur oleh peraturan perundang- undangan agar tidak terjadi kekosongan hukum dan terciptanya kepastian hukum.

  Tujuan hukum pada dasarnya adalah memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, sebagaimana dalam teori Jeremy Bentham sebagai pendukung 2 Otje Salman S. Filsafat Hukum (Perkembangan & Dinamika Masalah). PT Reflika

  Aditama. Bandung 2010, hlm.13 teori kegunaan yang menjelaskan tujuan hukum pada dasarnya adalah memberikan kesejahteraan bagi masyarakat The Great Happiness for the

  3

greats number . Berdasarkan teori tersebut Negara Indonesia harus

  melindungi setiap warga Indonesia, tidak terkecuali mereka yang menjadi saksi pengungkap fakta (whistle blower).

  Perlindungan bagi saksi pengungkap fakta (whistle blower) merupakan yang essensial untuk membuktikan kebenaran suatu pristiwa (pidana) dalam rangka penegakan hukum dan tujuan hukum.

  Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengadopsi norma-norma yang termaksud di dalam Universal Declaration of Human

  

Right (1945) dan International Convention on Civil and Political Rights,

  sekalipun sudah banyak memberikan perlindungan dan penghormatan hak-hak tersangka atau terdakwa, belumlah mencakup upaya-upaya perlidungan kepentingan korban yang sekaligus menjadi saksi pelapor dalam suatu tindak

  4 pidana.

  Perlindungan saksi merupakan isu tragis, pendokumentasian dan penuntutan pelanggaran dan penuntutan kasus-kasus tindak pidana bergantung 3 Otje Salman Soemadiningrat, Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat,

  Mengumpulkan, dan Membuka Kembali. PT. Reflika Aditama, Bandung, 2010, hlm. 156 4 Pedoman Untuk Penyidikan dan Penunututan Tindak Pidana Trafiking dan

Perlindungan Terhadap Korban Selama Proses Penegakan Hukum, (International Organization for Migratiin (IOM) 2005), hlm 12 pada kemampuan untuk mengumpulkan informasi yang relevan secara independent, objektif dan imparsial. Proses ini, bukti kesaksian seringkali dianggap penting untuk menetapkan fakta-fakta dasar tindakan tersebut, termasuk pertanggungjawaban. Kondisi ini sering kali dijadikan acuan pada sumber atau alat bukti tidak tersedia atau dihilangkan atau dirusak, secara sengaja atau lainnya khususnya dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia.

  Hukum dalam tujuannya meliputi 4 (empat) nilai yakni, kepastian, kegunaan, kebahagiaan dan keadilan, perlindungan hukum bagi saksi atau dengan kata lain dasar atau konsep menjadi pembenar saksi perlu dilindungi, bepijak pada upaya mencari kebenaran materil dan perlindungan hak asasi manusia. Proses pembuktian kejahatan (tindak pidana) oleh aparat penegak hukum wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku, artinya pembuktian kesalahan/kejahatan yang dilakukan seorang pelaku kejahatan dengan berdasarkan alat bukti. Terbukti tidaknya seorang pelaku yang diduga melakukan tindak pidana adalah hasil pengelutan atau pertarungan kekuatan alat bukti semata-mata, jadi bukan berdasarkan opini atau asumsi.

  Hukum (Undang-Undang) yang baik adalah yang mampu memberi keadilan yang sama kepada semua orang, artinya memberikan perlakuan hukum yang sama kepada tersangka/terdakwa dan juga kepada korban (saksi hukum yang tertua usianya sebagaimana hubungan antara keadilan dan hukum positif jadi pusat perhatian para ahli pikir yunani (penganut filsafat hukum alam). Prinsip keadilan dalam kovenan internasional mengenai hak-hak sipil dan politik ditetapkan antara lain, hak atas persamaan di depan hukum (equality before the law) dan hak atas nin diskriminasi dalam penerapannya, larangan penangkapan, penahanan atau pengasingan yang sewenang-wenang, hak atas peradilan yang adil. Hukum acara pidana sebagai bagian prosedur beracara di persidangan wajib memberikan keseimbangan, baik bagi hak tersangkla/terdakwa untuk memberikan pembelaan hukumnya maupun korban (saksi korban) yang diwakili oleh aparat penegak hukum untuk melakukan tuntutan hukum karena terganggunya kepentingan umum.

  Sistem peradilan pidana yang digariskan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan sistem terpadu (integrated

  

criminal justice system). Sistem terpadu tersebut diletakkan di atas landasan

  prinsip diferensiasi fungsional diantara aparat penegak hukum sesuai dengan tahap proses kewenangan yang diberikan undang-undang kepada masing- masing. Konsep due process dikaitkan dengan landasan menjunjung tinggi supermasi hukum dalam menangani tindak pidana, yaitu tidak seorang pun berada dan menempatkan diri di atas hukum (no one is above the law) dan hukum harus diterapkan kepada siapa pun berdasarkan prinsip perlakuan dan dengan cara yang jujur (fair manner) .

  Pengungkap fakta (whistle blower), baik itu dalam istilah sebagai saksi atau korban, pelapor merupakan pihak yang bertujuan untuk membuat terang suatu perbuatan pidana dan pihak yang perlu mendapat perlindungan hukum. Siapa saja yang mengambil sikap dan keputusan untuk menjadi pengungkap fakta (whistle blower) tentunya sudah siap dengan segala konsekuensi.

  Orang banyak yang tidak bersedia mengambil resiko untuk melaporkan suatu tindak pidana jika dirinya, keluarganya dan harta bendanya tidak mendapat perlindungan dari ancaman yang mungkin timbul karena laporan yang dilakukan, begitu juga dengan saksi kalau tidak mendapat perlindungan yang memadai akan enggan memberikan keterangan sesuai dengan fakta yang dilihati, didengar, dan dialami.

  Sepatutnya hukum memberikan penghargaan dan penghormatan kepada para pengungkap fakta (whistle blower) sesuai dengan sistem peradilan pidana terpadu dan merupakan kebijakan pidana bagi aparat penegak hukum untuk memberikan semacam perlakuan khusus bagi saksi pengungkap fakta (whistle blower). Perlakuan khusus ini dapat diperoleh saksi pengungkap fakta (whistle blower), baik itu sejak di tingkat penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan hingga pemidanaannya.

  Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban mengamanatkan pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam tempo 1 (satu) tahun setelah diundangkannya undang- undang ini.

  Perlindungan saksi juga sangat membantu kinerja aparat penegak hukum terutama bagi pembuktian tindak pidana yang sulit pembuktiannya yang dilakukan oleh orang dalam dan dilakukan secara terorganisir. Bab II undang-undang perlindungan saksi dan korban, Pasal 5 menyatakan beberapa hak dari seorang saksi dan korban, oleh karena itu, sebagaimana undang- undang memberikan jaminan perlindungan dan hak yang diperoleh para pengungkap fakta (whistle blower), maka negara wajib memberikan perhatian serius kepada keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) ✿❀ ❁❂❃ ❄❅❂ ❆ ❂ ❇ ❂ ❈❉ ❃ ❉❊ ❇ yang mencakup tugas dan kewenangannya.

  Metode penelitian yang digunakan penulis dalam menyusun skripsi ini adalah sebagai berikut :

  1. Spesifikasi penelitian Spesifikasi Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis yaitu metode penelitian yang digunakan dengan cara menggambarkan data dan fakta baik berupa : a. Data sekunder bahan hukum primer, yaitu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan saksi dan korban, diantaranya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

  b. Data sekunder bahan hukum sekunder berupa doktrin atau pendapat para ahli hukum terkemuka.

  c. Data sekunder bahan hukum tersier berupa bahan-bahan yang didapat dari majalah, artikel-artikel, surat kabar dan internet.

  2. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan hukum ini yaitu secara yuridis normatif, yaitu dimana hukum dikonsepsikan sebagai norma, asas atau dogma-dogma. Pada penulisan hukum ini, penulis mencoba melakukan penafsiran hukum gramatikal, yaitu penafsiran dilakukan dengan cara melihat arti kata pasal dalam undang-undang yang digunakan dalam penulisan hukum ini.

  3. Tahap Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan pernelitian kepustakaan (Library Research).

  Langkah ini dilakukan untuk memperoleh bahan hukum primer berupa bahan hukum yang mengikat, yaitu perundang-undangan, seperti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Bahan hukum sekunder yang meliputi referensi hukum berupa hasil penelitian, karya ilmiah dan bahan-bahan hukum tersier berupa berbagai artikel dari media massa, kamus dan lain-lain.

  4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan melalui penelaahan data yang diperoleh dari perundang-undangan, hasil seminar, buku-buku teks, hasil penelitian, majalahm artikel dan lain-lain.

  5. Metode Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara yuridis kualitatif, yaitu peraturan perundang-undangan tidak boleh saling bertentangan, memperhatikan hirarki peraturan perundang-undangan dan berbicara tentang kepastian hukum, bahwa perundang-undangan yang berlaku benar-benar dilakukan oleh para pihak penegak hukum. Disamping itu, berdasarkan berdasarkan Pasal 5 Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan

  Kehakiman, digunakan pula hukum tertulis dan hukum tidak tertulis.

  6. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian untuk memperoleh data dalam penulisan ini adalah : a. Perpustakaan

  1) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia, Bandung.

  2) Perpustakan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung.

  3) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Bandung.

  b. Website 1) http://hukumonline.com 2) http://legalitas.org 3) http://pikiranrakyat.com

  

■❏ ❑▲❏▼ ◆❖P▲❏ ◗❏

❏ ❘ ❙ ❖◗ ❖ ❚❙ ❖◗❖ ❯❱ ❲❳ ❨❩❬

  , zah sas ❭❯❪ ❩ s ❨❫ ❴❫❬ ❵❳ ❲ ❩❱ ❩❛ ❜❳❱ ❝ ❴ ❩ ❞❳ p t ❩❛ ❡ ❩ ❴❩ rt ❩❛ ❢❣❣ ❤ ✐ ❯❱ ❲❳ ❨❩❬ , zah ❥❦ ❧ ❦ ♠

   Acara Pidana Indonesia, ♥ ❳❱ ❩

  r Grafika, Jakarta, 2005.

  Bambang Waluyo, Viktimilogi Perlindungan Korban & Saksi, Jakarta, Sinar Grafika, 2011

  Firman Wijaya, Whistle Blower dan Justice Collabolator Dalam

  Perspektif Hukum, Penaku, Jakarta, 2012

  Muhadar, Edi Abdulah, Husni Thamrin, Perlindungan Saksi & Korban

  Dalam Sistem Peradilan Pidana, Surabaya, CV. Putra Media

  Nusantara, 2009 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

  (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan

Peninjauan Kembali), Sinar Grafika, Jakarta, 2002.

  Otje Salman S. Filsafat Hukum (Perkembangan & Dinamika Masalah).

  PT Reflika Aditama. Bandung 2010 q rs t✉✈✇✉ ① t ②s✇✉ ③④ ① ④ ①⑤ ✉ ⑥ ⑦ ①⑧⑨ ②① ⑩❶ t ❷ ❸ ✉ ①⑧② ⑥

  t r t Teori Hukum, ❶ ❹❺❶ ❻s ❼✈④❽✉ ⑦ ③ ④ ✉✇ ✉ ⑥ ❾ ✉ ①③❷ ①⑤ ⑥ ❿ ➀➁ ➀

Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali

➂ ➃ ➄ ➅ ➆ ④ r ② ①② ❹ ②③r ②③④❽ ② ② ⑥ ❺ ④ ① ③ ✉❽ ❺ ④ ①③✉❽ ❹ ④ ③ ✉ ①✉ ❺ s s ① ⑧ ④ ① ③② ① s ❸ ④✉ ⑥ ❹❺ ❶ t r r rt u ❻s ❼✈④❽✉ ⑦ ③④ ✇✉ ⑥ ❾ ✉ ① ③ ❷ ①⑤ ⑥ ❿ ➀➀ ➇ ❶ ➈ ➉ ➊➋➌➍➋ ➎➏➊➋➌➍➋ ➎ t

  ➐ ①③✉ ①⑤ ➄ ➐ ① ③ ✉ ① ⑤ ➅ ✉ ❸ ✉ ➁ ➑ ➒➓ ➔④ ✉ → ➐ ①③✉ ① ⑤ ➐ ①③✉ ①⑤ ➣❷❽ ❷✇ ❹ ④ ③ ✉ ①✉ r ➐ ①③✉ ① ⑤ ➄ ➐ ①③✉ ①⑤ ↔②✇ ② ➃ ➇ ❺ ✉ ⑨ ❷ ① ➁ ➑➇ ➁ ❺ s ①⑧ ✉ ①⑤ ➔④ ✉ → ➐ ①③✉ ①⑤ ➄ ➐ ①③✉ ①⑤ t ➣ ❷❽ ❷✇ ⑦↕✉ ✉ ❹ ④ ③✉ ① ✉ t ➐ ①③✉ ① ⑤ ➄ ➐ ③✉ ① ⑤ ↔② ✇ ② ➃ ➙ ➑ ❺✉ ⑨ ❷ ① ➁ ➑➑ ➑ ❺ s ①⑧ ✉ ①⑤ ➣ ✉❽ ⑦ ❸ ✉ ❸ ④ ➛ ✉ ①❷ ❸ ④✉ r ➐ ①③✉ ① ⑤ ➄ ➐ ①③✉ ①⑤ ↔② ✇ ② ➃ ➁➙ ❺✉ ⑨ ❷ ① ❿ ➀ ➀➜ ❺ s ① ⑧ ✉ ① ⑤ ❹ s ✈④ ①③❷ ①⑤✉ ① t✉❽ ❸ ④ ③✉ ① ➔ ② →✉ ①

  r

  ➝➉ ➍➞➟ ➠ ➡➢ ➤ ⑨⑧ ➥➦

  t //www.hukumonline.com/ Terlalu Berkutat Pada KUHAP oleh Yanti Ganarsih http://www.Parlemen.net/20100/6/12/Urgensi-Perlunya-Memberikan- Perlindungan-Terhadap-Saksi.

  ➧ ➨

  ➩➫ t //www.pikiran -rakyat.com/Orang Nazar Ancam Mindo Rosalina Manulang, http://www.elsam.or.id/analisis terhadap ruu perlindungan saksi dan korban. http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/s1hukum09/205712013/.pdf. http://www.antikorupsi.org/beberapa catatan uu perlindungan saksi. http://www.lpsk.go.id/memahami wistle blower ➭➯ ➲ ➳➵ ➸➺➲➳➵ ➸ Pedoman Untuk Penyidikan dan Penunututan Tindak Pidana Trafiking dan

  Perlindungan Terhadap Korban Selama Proses Penegakan Hukum, (International Organization for Migratiin (IOM) 2005).

  Romli Atmasasmita, Justice Colabolator, Mungkinkah ?, Koran sindo, Eddy O.S. Hiariej, Legal Opinion, Permohonan Pengujian Pasal 10 Ayat

  (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Newslette Komisi Hukum Nasional, Vol. 10 No.

  6 Tahun 2010 Mardjono Reksodiputro, Pembocor Rahasia/Whistle Blower dan

  Penyadapan (Wiretapping, Elwktronic Interception) dalam Menanggulangi Kejahatan di Indonesia, Wacana

  

➻➼➽➾ ➼➚ ➚➪ ➶➼➹➼➾ ➘ ➪ ➻➴➷

➬➮➱ ➮ ✃ ❐❒❮❰ÏÐ ÑÒÓ ➮ Ó Ô❮ ➮ ❒➱ Õ ➮Ô ➮ Ð ÖÖ ➮× Ø ➮ÙÏ ❮ ✃ Ú ❒× ÏÐ Û ÒÜ Ý ÞÕ ❮ Ï × ß àÝÝ

Dokumen yang terkait

Perlindungan Hukum Bagi Saksi Pengungkap Fakta (Whistleblower) Dalam Perkara Pidana (Analisis Yuridis Terhadap Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban)

1 74 184

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI PENGUNGKAP FAKTA (WHISTLE BLOWER) DAN SAKSI PELAKU YANG BEKERJA SAMA (JUSTICE COLLABORATOR) OLEH LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK)

2 14 61

PENDAHULUAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM PROSES PERADILAN PIDANA SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 2 12

Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelapor Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

0 0 14

Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelapor Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

0 0 2

Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelapor Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

0 0 35

Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelapor Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

0 0 52

Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelapor Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

0 0 4

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI PENGUNGKAP FAKTA (WHISTLE BLOWER) DALAM PERKARA PIDANA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN | ISMAIL | Legal Opinion 5960 19841 1 PB

0 0 9

JURNAL PERLINDUNGAN HUKUM BAGI SAKSI DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

0 0 15