Perlindungan Hukum Bagi Saksi Pengungkap Fakta (Whistleblower) Dalam Perkara Pidana (Analisis Yuridis Terhadap Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban)

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI SAKSI PENGUNGKAP

FAKTA (WHISTLEBLOWER) DALAM PERKARA PIDANA

(ANALISIS YURIDIS TERHADAP UNDANG-UNDANG

NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN

SAKSI DAN KORBAN)

TESIS

Oleh

HOPLEN SINAGA

067005032/HK

S E K

O L

A H

P A

S C

A S A R JA N

A

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI SAKSI PENGUNGKAP

FAKTA (WHISTLEBLOWER) DALAM PERKARA PIDANA

(ANALISIS YURIDIS TERHADAP UNDANG-UNDANG

NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN

SAKSI DAN KORBAN)

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

HOPLEN SINAGA

067005032/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(3)

Judul Tesis : PERLINDUNGAN HUKUM BAGI SAKSI PENGUNGKAP FAKTA (WHISTLEBLOWER) DALAM PERKARA PIDANA (ANALISIS YURIDIS TERHADAP UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN) Nama Mahasiswa : Hoplen Sinaga

Nomor Pokok : 067005032 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) K e t u a

(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum) (Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH) A n g g o t a A n g g o t a

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 25 Agustus 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua

:

Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS

Anggota

:

1. Prof. Dr. Syafruddi Kalo, SH, M.Hum

2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH

3. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum


(5)

ABSTRAK

Berbagai perundang-undangan nasional mengatur peran serta masyarakat (publik) dalam proses penegakan hukum dengan cara melaporkannya kepada aparat penegak hukum atau menjadi saksi dalam suatu proses persidangan dan hal ini tentu membutuhkan kebranian dan keteguhan hati agar suatu kebenaran dapat terungkap. Namun suasana yang kontradiksi terjadi bahwa para pengungkap fakta (whistleblower) yakni saksi, pelapor atau korban tersebut mendapat serangan balik dari pihak yang dilaporkan bahkan yang lebih ironis terjadi, para pengungkap fakta (whistleblower) ini akhirnya menjadi tersangka atau terdakwa. Perlindungan bagi saksi penguingkap fakta (whistleblower)merupakan bagian dari upaya penegakan hukum yang sekaligus sebagai jaminan penghormatan dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Jaminan perlindungan kepada para pengungkap fakta (whistleblower ) baik kepada saksi atau pelapor dan korban sebagai bagian dari warga Negara wajib diberikan oleh Negara sebagaimana diatur dalam. Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenan on Civil and Political Right) tahun 1966 yang telah diratifikasi oleh Negara Republlik Indonesia dan konsekuensinya beberapa ketentuan dalam system peradilan pidana harus mengalami perubahan. Salah satu bentuk perubahan itu antara lain dengan disahkannya oleh legislasi pusat Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada tanggal 11 Agustus 2006. Diberlakukannya undang-undang ini sebagai ketentuan khusus (lex specialis) mengenai perlindugnan bagi para pengungkap fakta (whistleblowers), diharapkan mampu menciptakan keseimbangan untuk menutupi kekurangan didalam system hukum kita berkaitan dengan terabaikannya elemen saksi dan korban dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang RI No. 8 tahun 1981). KUHAP sebagai hasil karya agung bangsa Indonesia itu lebih cenderung mengatur hak-hak tersangka atau terdakwa.

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui konsep perlindungan hukum bagi para pengungkap fakta (whistleblower), bentuk perlindungan hukum bagi para pengungkap fakta (whistleblower) dan hambatan-hambatan secara normatif dalam perlindungan bagi pengungkap fakta (whistleblower) di dalam penerapan Undang-Undang RI No.13 Tahun 2006. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini dengan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap terhadap permasalahan dan penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum in casu Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 serta mengacu pada asas-asas hukum umum yang terdapat dalam peraturan perundang-undang nasional. Penelitian yuridis normatif menggunakan data sekunder. Data yang diambil berdasarkan studi kepustakaan (library research) yakni dengan mengumpulkan dan mempelajari Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006, buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan serta karya ilmiah lainnya yang berkaitan dengan masalah perlindungan


(6)

bagi para pengungkap fakta (whistleblower). Dengan demikian metode penelitian ini bersifat deskriptif analisis.

Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa pengaturan perlindungan hukum bagi saksi pengungkap fakta (whistleblower) dalam Udnang-Udnang RI No. 13 Tahun 2006 menganut konsep protection of cooperating person (perlindungan bagi pribadi yang bekerjasama dengan penegak hukum). Menerapkan prinsip tersebut dalam Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 sangat penting terutama untuk memudahkan pembuktian terhadap tindak pidana yang digolongkan extra ordinary crime dimana suatu tindak pidana dilakukan dengan modus operandi sistematis dan terorganisir. Konsep ini prinsipnya mirip dengan mekanisme plea bargaining di Amerika Serikat. Disamping itu dalam undang-undang ini diamanatkan adanya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai lembaga yang mandiri untuk menetukan pemberian perlindungan dan bantuan bagi para pengungkap fakta (whistleblower) berupa perlindungan hukum dan perlindungan khusus. LPSK inilah yang menjadi roh atau jiwa dari Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006. Berlakunya Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 tentunya diprediksikan akan mengalami hambatan-hambatan secara normatif dalam hal pemberlakuan konsep protection of cooperating person maupun asas atau prinsip immunitas (kekebalan) yakni untuk tidak dituntut secara pidana dan perdata bagi para pengungkap fakta (whistleblower). Perlindungan hukum bagi para pengungkap fakta (whistleblower) diharapkan bukan menimbulkan masalah hukum baru yakni terjadinya disparitas dalam penegakan hukum itu sendiri dan pelanggaran asas hukum umum yakni asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Hal ini sangat penting diperhatikan oleh aparat penegak hukum sehingga pemberlakuannya terhadap suatu kasus pidana wajib delakukan dengan prinsip kehati-hatian.


(7)

ABSTRACT

There are any national acts that regulate the public participation in law enforcement process by make a report to the law officer or to be witness in acourt session process and this require brave and the commitment for the just. Nevertheless, there is a contradiction in which the whistleblower i.e witness, reporter or victim will attacked by anyone who reported and even the whistleblower is a part of the law enforcement in addition as the honor guarantee and protection on human basic rights. Protection for the whistleblower either witness or reporter and victim as citizen must provided by the state as mentioned in International Covenant on Civil and Political Right of 2006 that ratified by Republic of Indonesia and its consequences, there are any terms in the crime court system must be revised. One of them is the validation by national legislation the Act of RI No. 13 of 2006 concerning to the Witness and Victim Protection on 11 August 2006. The implementation of this act as special terms (lex specialis) for the whistleblower will build a balance to eliminate the weakness in our law system that related to the witness and victim elements in Crime procedure Law (Act of RI No. 8 of 1981). KUHAP (Crime Procedure Law) as “great work” of Indonesia anly regulate the rights of defendant or suspected.

The objective of this research is study the law protection concept for the whistleblower, the form of law protection for the whistleblower and any normative obstacles in law protection for whistleblower in application of Act of RI No. 13 of 2006. The applied method in this research is a normative juridical approach, i.e. by do the analysis on the problems and research by approach the law principles in casu Act of RI No. 13 of 2006 and refers to the public law principles in the national regulations. The normative juridical research applies the secondary data. The data collected by library research i.e study the Act of RI No. 13 of 2006, literatures, acts and scientific works that related to the law protection for whistleblower. Therefore, this is a descriptive analysis research.

Based on the results of study, it is indicated that the law protection for the whistleblower in Act of RI No. 13 of 2006 based on the protection of cooperating person concept. The implementation of this principle in Act of RI No. 13 of 2006 is very necessary to make easiness the proof of crime that classified into extra ordinary crime in which one of crime is conducted by systematical and organized operation mdus. Principally, this concept is similar to ple bargaining mechanism in USA. In addition, this act requires the witness and victim protection agency (LPSK) as independent agent to determine the protection and assistance to the whistleblower such as law protection and special protection. This LPSK is a spirit of Act of RI No. 13 of 2006.


(8)

In the implementation of Act of RI no. 13 of 2006 is predicated wiil found any normative obstacles in the implementation of protection of cooperating person or immunity principle i.e the whistleblower is not claim either in civil or crime act. Law protection for the whistleblower is hope did not cause the new law case i.e the disparity in the law enforcement. The implementation of immunity principle in this act as exceptional on public law principles, i.e a recognition on presumption of innocence for a defendant or suspected. This must be considered by the law enforcement officers in which its implementation on a crime case must be handled carefully. The important think in implementation of Act of RI No. 13 of 2006 that implementation of law protection for the whistleblower is based on the national condemnation concept in the restorative justice.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis penulis panjatkan kapada Tuhan Yang Maha Pengasih yang telah melimpahkan rahmatNya, sehingga sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul ” Perlindungan Hukum Bagi Saksi Pengungkap Fakta (Whistleblower) Dalam Perkar$a Pidana (Analisis Yuridis Terhadap Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban)”.

Tesis ini disususn sebagai tugas akhir dan syarat untuk menempuh ujian Sarjana (Strata-2) guna memperoleh gelar Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena kemampuan penulis yang sangat terbatas. Untuk itu dengan segenap kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatmya membangun dari semua pihak untuk penyempurnaannya dikemudian hari.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum dan Bapak Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan dorongan, bimbingan dan curahan ilmu yang diberikan selama penulisan tesis ini dengan penuh ketelitian dan kesabaran.


(10)

Selanjutnya penulis juga menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada :

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H. SpA (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku Ketua Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU dan juga selaku Ketua Komisi Pembimbing yang selalu memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis.

4. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum dan Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum selaku dosen penguji.

5. Para Dosen dan staf pada Sekolah Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum USU yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk mengembangkan wawasan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum.

6. Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan dan dukungan bagi penulis untuk mengikuti Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

7. Asisten Tindak Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Bapak Siwoyo, SH, MH dan Bapak T. Suhaimi, SH) yang telah memberikan kesempatan dan dukungan bagi penulis untuk mengikuti Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

8. Kasi Penuntut pada Asisten Tindak Pidana Umum pada Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Bapak T. Othmansyah, SH, M.Hum dan Bapak Sumurung P. Simaremare,


(11)

SH, MH) yang memberikan dukungan bagi penulis untuk mengikuti Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

9. Bapak Dr. P. Barus, MS dan Ibu Dj. Sembiring, selaku Bapak dan Mertua yang telah memberikan kesempatan dan dukungan secara moril dan materil yang tiada terhingga, dan Ibu R. Lumban Siantar orang tua penulis, yang mendukung penulis di dalam doa, untuk mengikuti Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. (Alm) M. Sinaga, Ayahanda penulis :”hari ini telah kuwujudkan salah satu mimpi-mimpi kita.

10.Sahabat dan rekan-rekan seperjuangan di Sekolah Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan kontribusi kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini.

11.Keluarga besar : G. Barus, ST, MT, Ipda (Pol) T. Keliat, SH, Gus Anita Barus, ST dan adik-adik Hendra, Sunawar, Rio, Irawaty dan Roma yang memberikan perhatian dan dorongan bagi penulis selama mengikuti Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara khususnya dalam penyelesaian tesis ini.

12.Saudara/i INIKRIS FH USU, sebagai wadah ’pencerahan’ bagi penulis dan untuk segala bantuan serta dukungan dalam penyelesaian tesis ini.

13.Teristimewa dengan penuh rasa kasih sayang kepada istri tercinta : Henny Triana Barus, SH, SPn, atas cinta dan doanya yang tulus serta kesediaannya mendampingi penulis baik dalam keadaan suka maupun duka. Dan dengan penuh haru serta kasih sayang mendalam penulis sampaikan kepada anakku : Jeremy Hartanta Sinaga dan Jonathan Andrew Desta Sinaga, yang selama penulis mengikuti Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara telah banyak kehilangan waktu untuk


(12)

bermanja, bermain dan bersenda guruau yang seharusnya sudah menjadi hak-mu selama ini.

Akhirnya semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua, amin.

Medan, September 2008 Penulis,


(13)

RIWAYAT HIDUP

Nama : HOPLEN SINAGA

Tempat/ Tanggal Lahir : Tebing Tinggi, 26 Mei 1973

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Kristen Protestan

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil

Pendidikan : 1. Sekolah Dasar RK Yos Sudarso Sei Agul, Medan (Lulus tahun 1973)

2. Sekolah Menengah Menengah Permata Negeri 14, Medan (Lulus tahun 1988) 3. Sekolah Menengah Atas, Markus Medan

(Lulus tahun 1991)

4. kultas Hukum Universitas Sumatera Utara (Lulus tahun 1997)

5. Penerimaan Formasi CPNS Kejaksaan RI T.A. 1998/1999 dari Program S-1 (Strata Satu), lulus Tahun 1999)

6. Pendidikan Pembentukkan Jaksa (PPJ) di Diklat Kejaksaan Agung RI, (Lulus Tahun Angkatan 2002.

7. Program Studi Ilmu Hukum Sekolah

Pascasarjana Sumatera Utara (Lulus tahun 2008)


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... v

RIWAYAT HIDUP ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan masalahan ... 18

C. Tujuan Penelitian ... 18

D. Manfaat Penelitian ... 19

E. Keaslian Penelitian ... 20

F. Kerangka Teori dan Konsepsional ... 20

1. Kerangka Teoritis... 20

2. Kerangka Konsepsional ... 29

G. Metode Penelitian ... 37

H. Analisis Data ... 40

BAB II KONSEP PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGUNGKAP (WHISTLEBLOWER) MENURUT UNDANG-UNDANG RI NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN... 42

A. Pengertian dan Kualifikasi Pengungkap Fakta (Whistleblower) ... 42

B. Perlindungan Para Pengungkap Fakta (Whistleblower) Sebagai Good Governance ... 46

C. Kondisi Perlindungan Saksidi Beberapa Negara ... 52

D. Model Perlindungan Saksi (Whistleblower) ... 65

E. Konsep Protection of Cooperating Person ... 69

F. Keterangan Saksi Sebagai Salah Satu Bukti ... 77

1. Sistem Pembuktian Menurut KUHAP ... 77

2. Keterangan Saksi dan Kekuatan Pembuktian Menurut Hukum Acara Pidana (KUHAP) ... 86


(15)

BAB III PERLINDUNGAN BAGI PENGUNGKAP FAKTA (WHISTLEBLOWER) MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN

KORBAN ... 106

A. Jenis Perlindungan Bagi Pengungkap Fakta (Whistleblower) ... 106

1. Perlindunga Hukum Bagi Pengungkap Fakta (Whistleblower) ... 106

2. Perlindungan Khusus Bagi Pengungkap Fakta (Whistleblower) ... 125

B. Tata Cara Perlindungan Saksi Menurut Peraturan Pemerintah .... 132

BAB IV HAMBATAN ATAU MASALAH DALAM PERLINDUNGAN PENGUNGKAP FAKTA (WHISTLEBLOWER) MENURUT UNDANG-UNDANG RI NO. 13 TAHUN 2006 ... 144

1. Hambatan Atau Masalah Perlindungan Pengungkap Fakta (Whistleblower) ... 144

2. Upaya Perlindungan Saksi dan Arah Pembaharuan Konsep Pemidanaan ... 152

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 157

A. Kesimpulan ... 157

B. Saran ... 159


(16)

ABSTRAK

Berbagai perundang-undangan nasional mengatur peran serta masyarakat (publik) dalam proses penegakan hukum dengan cara melaporkannya kepada aparat penegak hukum atau menjadi saksi dalam suatu proses persidangan dan hal ini tentu membutuhkan kebranian dan keteguhan hati agar suatu kebenaran dapat terungkap. Namun suasana yang kontradiksi terjadi bahwa para pengungkap fakta (whistleblower) yakni saksi, pelapor atau korban tersebut mendapat serangan balik dari pihak yang dilaporkan bahkan yang lebih ironis terjadi, para pengungkap fakta (whistleblower) ini akhirnya menjadi tersangka atau terdakwa. Perlindungan bagi saksi penguingkap fakta (whistleblower)merupakan bagian dari upaya penegakan hukum yang sekaligus sebagai jaminan penghormatan dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Jaminan perlindungan kepada para pengungkap fakta (whistleblower ) baik kepada saksi atau pelapor dan korban sebagai bagian dari warga Negara wajib diberikan oleh Negara sebagaimana diatur dalam. Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenan on Civil and Political Right) tahun 1966 yang telah diratifikasi oleh Negara Republlik Indonesia dan konsekuensinya beberapa ketentuan dalam system peradilan pidana harus mengalami perubahan. Salah satu bentuk perubahan itu antara lain dengan disahkannya oleh legislasi pusat Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada tanggal 11 Agustus 2006. Diberlakukannya undang-undang ini sebagai ketentuan khusus (lex specialis) mengenai perlindugnan bagi para pengungkap fakta (whistleblowers), diharapkan mampu menciptakan keseimbangan untuk menutupi kekurangan didalam system hukum kita berkaitan dengan terabaikannya elemen saksi dan korban dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang RI No. 8 tahun 1981). KUHAP sebagai hasil karya agung bangsa Indonesia itu lebih cenderung mengatur hak-hak tersangka atau terdakwa.

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui konsep perlindungan hukum bagi para pengungkap fakta (whistleblower), bentuk perlindungan hukum bagi para pengungkap fakta (whistleblower) dan hambatan-hambatan secara normatif dalam perlindungan bagi pengungkap fakta (whistleblower) di dalam penerapan Undang-Undang RI No.13 Tahun 2006. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini dengan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap terhadap permasalahan dan penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum in casu Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 serta mengacu pada asas-asas hukum umum yang terdapat dalam peraturan perundang-undang nasional. Penelitian yuridis normatif menggunakan data sekunder. Data yang diambil berdasarkan studi kepustakaan (library research) yakni dengan mengumpulkan dan mempelajari Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006, buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan serta karya ilmiah lainnya yang berkaitan dengan masalah perlindungan


(17)

bagi para pengungkap fakta (whistleblower). Dengan demikian metode penelitian ini bersifat deskriptif analisis.

Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa pengaturan perlindungan hukum bagi saksi pengungkap fakta (whistleblower) dalam Udnang-Udnang RI No. 13 Tahun 2006 menganut konsep protection of cooperating person (perlindungan bagi pribadi yang bekerjasama dengan penegak hukum). Menerapkan prinsip tersebut dalam Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 sangat penting terutama untuk memudahkan pembuktian terhadap tindak pidana yang digolongkan extra ordinary crime dimana suatu tindak pidana dilakukan dengan modus operandi sistematis dan terorganisir. Konsep ini prinsipnya mirip dengan mekanisme plea bargaining di Amerika Serikat. Disamping itu dalam undang-undang ini diamanatkan adanya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai lembaga yang mandiri untuk menetukan pemberian perlindungan dan bantuan bagi para pengungkap fakta (whistleblower) berupa perlindungan hukum dan perlindungan khusus. LPSK inilah yang menjadi roh atau jiwa dari Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006. Berlakunya Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 tentunya diprediksikan akan mengalami hambatan-hambatan secara normatif dalam hal pemberlakuan konsep protection of cooperating person maupun asas atau prinsip immunitas (kekebalan) yakni untuk tidak dituntut secara pidana dan perdata bagi para pengungkap fakta (whistleblower). Perlindungan hukum bagi para pengungkap fakta (whistleblower) diharapkan bukan menimbulkan masalah hukum baru yakni terjadinya disparitas dalam penegakan hukum itu sendiri dan pelanggaran asas hukum umum yakni asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Hal ini sangat penting diperhatikan oleh aparat penegak hukum sehingga pemberlakuannya terhadap suatu kasus pidana wajib delakukan dengan prinsip kehati-hatian.


(18)

ABSTRACT

There are any national acts that regulate the public participation in law enforcement process by make a report to the law officer or to be witness in acourt session process and this require brave and the commitment for the just. Nevertheless, there is a contradiction in which the whistleblower i.e witness, reporter or victim will attacked by anyone who reported and even the whistleblower is a part of the law enforcement in addition as the honor guarantee and protection on human basic rights. Protection for the whistleblower either witness or reporter and victim as citizen must provided by the state as mentioned in International Covenant on Civil and Political Right of 2006 that ratified by Republic of Indonesia and its consequences, there are any terms in the crime court system must be revised. One of them is the validation by national legislation the Act of RI No. 13 of 2006 concerning to the Witness and Victim Protection on 11 August 2006. The implementation of this act as special terms (lex specialis) for the whistleblower will build a balance to eliminate the weakness in our law system that related to the witness and victim elements in Crime procedure Law (Act of RI No. 8 of 1981). KUHAP (Crime Procedure Law) as “great work” of Indonesia anly regulate the rights of defendant or suspected.

The objective of this research is study the law protection concept for the whistleblower, the form of law protection for the whistleblower and any normative obstacles in law protection for whistleblower in application of Act of RI No. 13 of 2006. The applied method in this research is a normative juridical approach, i.e. by do the analysis on the problems and research by approach the law principles in casu Act of RI No. 13 of 2006 and refers to the public law principles in the national regulations. The normative juridical research applies the secondary data. The data collected by library research i.e study the Act of RI No. 13 of 2006, literatures, acts and scientific works that related to the law protection for whistleblower. Therefore, this is a descriptive analysis research.

Based on the results of study, it is indicated that the law protection for the whistleblower in Act of RI No. 13 of 2006 based on the protection of cooperating person concept. The implementation of this principle in Act of RI No. 13 of 2006 is very necessary to make easiness the proof of crime that classified into extra ordinary crime in which one of crime is conducted by systematical and organized operation mdus. Principally, this concept is similar to ple bargaining mechanism in USA. In addition, this act requires the witness and victim protection agency (LPSK) as independent agent to determine the protection and assistance to the whistleblower such as law protection and special protection. This LPSK is a spirit of Act of RI No. 13 of 2006.


(19)

In the implementation of Act of RI no. 13 of 2006 is predicated wiil found any normative obstacles in the implementation of protection of cooperating person or immunity principle i.e the whistleblower is not claim either in civil or crime act. Law protection for the whistleblower is hope did not cause the new law case i.e the disparity in the law enforcement. The implementation of immunity principle in this act as exceptional on public law principles, i.e a recognition on presumption of innocence for a defendant or suspected. This must be considered by the law enforcement officers in which its implementation on a crime case must be handled carefully. The important think in implementation of Act of RI No. 13 of 2006 that implementation of law protection for the whistleblower is based on the national condemnation concept in the restorative justice.


(20)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Majalah Time (Edisi 22 Desember 2002) menganugrahkan penghargaan Person of The Year kepada Cyntia Cooper, Coleen Rowley dan Sherron Watkins atas keberanian ketiga perempuan itu membongkar skandal keuangan dan politik di tiga lembaga yang berbeda. Cyntia Cooper mengambil risiko personal dan professional yang amat besar untuk membongkar skandal keuangan di WorldCom. Coleen Rowley mengambil sikap sama, membongkar skandal politik di Federal Bureau Investigation (FBI) dan Sherron Watkins membongkar skandal keuangan di Enron. 90

Sherron Watkins adalah Wakil Presiden Enron yang menulis surat kepada Direktur Kenneth Lay pada musim panas tahun 2001. Dalam surat itu, Watkins mengingatkan Lay, metode akuntansi perusahaan tidak patut yang akhirnya mengakibatkan Enron kolaps.91

Coleen Rowley adalah pengacara staf FBI yang mengirim memo kepada Direktur FBI Robert Mueller dimana dalam memo itu Rowley mengungkapkan, FBI telah menghilangkan nama Zacarias Moussaoui, warga Perancis keturunan Maroko, dari daftar orang yang harus diinvestigasi karena terindikasi sebagai salah satu otak serangan 11 September. Sementara itu, Cynthia Cooper membongkar skandal

90

Kompas, Opini : Sang Peniup Peluit oleh Yenny Zannuba Wahid , 18 April 2007 hal 7 91


(21)

keuangan WorldCom saat perusahaan itu menutup kerugian 3,8 Miliar dollar AS lewat laporan pembukuan palsu.92

Kasus skala nasional yang masih segar dalam ingatan kita yakni kisah tentang seorang yang bernama Endin Wahyudin melaporkan perbuatan pidana yang diduga dilakukan oleh beberapa orang hakim. Kemudian hakim tersebut melakukan “serangan balik” dengan mengadukan Endin telah melakukan tindak pidana pencemaran nama baik. Sang hakim bebas dari hukuman, sementara sang pelapor dihukum pengadilan karena terbukti melakukan tindak pidana yang dituduhkan. 93

Kasus Agus Sugandhi yang tidak hanya harus mengungsi karena rumahnya di Perumahan Cempaka Indah Kabupaten Garut, Jawa Barat, hampir ambruk setelah dilalap api pada tanggal 2 Maret 2007 sekitar pukul 03.00 Wib. Ia juga mengkhawatirkan keluarganya karena terror yang lebih hebat dari pembakaran rumahnya masih mungkin terjadi. Agus Sugandhi yakin bahwa rumahnya sengaja dibakar terkait dengan aktivitasnya di Garut Government Watch (GCW), sebuah organisasi yang aktif mengawasi praktik korupsi di Kabupaten Garut.94

Kasus terbaru yang mendapat sorotan adalah kasus Vincentius Amin Sutanto, mantan Group Financial Controller Asian Agri, yang melaporkan dugaan penggelapan pajak di tempat kerjanya. Kasus Vincent merupakan kasus paling menarik karena melibatkan orang dalam dari pihak yang diduga melakukan

92

Ibid, hal, 7 93

Harian Seputar Indonesia Opini Pentingnya Perlindungan Saksi, Pelapor dan Korban oleh Yunus Husein, Senin 15 Mei 2006, hal 8

94


(22)

kejahatan. Berbeda dengan kasus lainnya, Vincent terlebih dahulu dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus pembobolan uang Rp 28 Miliar milik PT Asian Agri Oil and Fats Ltd di Singapura, salah satu anak perusahaan Asian Agri Group. Pada saat menjadi tersangka dan buron itulah Vincent kabur ke Singapura dan ia sempat berencana untuk bunuh diri dan akhirnya menyerahkan diri ke polisi Singapura karena merasa keselamatannya terancam di Indonesia. Namun berkat bantuan wartawan Tempo, Vincent kemudian dihubungkan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hanya KPK pada waktu itu yang dipercayai Vincent untuk menerima laporannya. Selanjutnya, Vincent menyerahkan diri dan melaporkan dugaan pengemplangan pajak Asian Agri yang diduga merugikan negara sedikitnya Rp 1,3 Triliun.95

Penghukuman terhadap Vincent atas kasus pembobolan uang perusahaannya berlangsung begitu lancar. Vincent dijerat dengan dakwaan kumulatif tindak pidana pencucian uang dan pemalsuan surat. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang memvonis Vincent bersalah dan dihukum 11 (sebelas) tahun penjara diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Jakarta. Serangan terhadap Vincent tak hanya dalam satu kasus. Aparat penyidik Polda Metro Jaya berniat akan menjerat Vincent dengan perkara tindak pidana pemalsuan paspor yang dilakukannya sekitar Oktober 2006 di Singkawang, Kalimantan Barat. Perkaranya kini sudah dilimpahkan ke Kepolisian Resor Singkawang. 96

95

Tempo, Kolom oleh Yunus Husein (Kepala PPATK) 13 Januari 2008, hal 118

96


(23)

Beberapa contoh atau kasus diatas kisah tragis sang pelapor (whistleblower) memberikan pesan negatif bagi penegakan hukum di Indonesia dan memiliki satu kesamaan yakni berbuah “serangan balik “ dari pihak yang dilaporkan. Tidak banyak orang yang bersedia mengambil resiko untuk melaporkan suatu tindak pidana jika dirinya, keluarganya dan harta bendanya tidak mendapat perlindungan dari ancaman yang mungkin timbul karena laporan yang dilakukan. Begitu juga dengan saksi jikalau tidak mendapat perlindungan yang memadai, akan enggan memberikan keterangan sesuai dengan fakta yang dialami, dilihat dan dirasakan sendiri.

Praktek Internasional, statuta pengadilan-pengadilan dan persidangan (tribunal) pidana internasional mengakui pentingnya kesaksian ini sebelum jurisdiksi ini dilindungi olehnya. Mereka telah mengembangkan langkah-langkah perlindungan yang akan dijamin untuk kesaksian sebelum, selama dan setelah proses pengadilan, dengan mempertimbangkan kebutuhan untuk melindungi hak atas pengadilan yang fair bagi terdakwa. Jurisprudensi ini merupakan sumber yang penting bagi pengadilan pidana internasional dan prosedur tentang perlindungan saksi. 97

Hukum Acara dan Pembuktian (Rules and Procedure of Evidence) mengakui hak-hak saksi seperti berikut : tidak mempublikasikan identitas mereka, perlindungan kerahasiaan saksi, prosedur menetapkan langkah-langkah untuk perlindungan saksi, melakukan sesi-sesi khusus (close hearing), membeberkan bukti-bukti yang tidak

97

Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), Pedoman Perlindungan Terhadap Saksi dan Pekerja HAM, (Jakarta : Elsam, 2006),hal 12


(24)

membahayakan keselamatan saksi, diskresi luas pengadilan untuk mengakui bukti-bukti, keadaan kesaksian, tata cara pembuktian dalam kasus kekerasan seksual.98

Keputusan untuk mengijinkan, dalam kondisi tertentu, identitas saksi dan korban untuk dirahasiakan di depan terdakwa bahkan di tingkat pengadilan telah menjadi tantangan, dan hal tersebut melanggar hak-hak terdakwa atas pengadilan yang fair, yang meliputi antara lain, akses penuh terdakwa serta pengacaranya terhadap seluruh bukti-bukti di pengadilan.

Jaminan perlindungan kepada saksi (baik sebagai saksi sebagai korban maupun saksi bukan sebagai korban) sebagai bagian dari warga negara wajib diberikan oleh negara dalam proses penegakan hukum. Pasal 9 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik tahun 1966 mengajukan hak atas kebebasan dan keamanan seseorang. Hak ini diperkuat oleh pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (bersama dengan hak atas hidup) pasal 5 Konvensi Eropa dan pasal 7 Konvensi Amerika. 99

Istilah “hak atas kebebasan”--- yang dalam kata-kata lain seperti “kebebasan untuk kebebasan”--- terdengar seperti slogan abstrak. Tetapi istilah ini

98

Ibid, hal 13, menetapkan langkah perlindungan saksi termasuk ijin kepada Majelis Hakim untuk memutuskan proses pengadilan secara tertutup (in camera) dengan maksud untuk : 1) menetapkan langkah-langkah kepada publik atau media mencegah dibukanya identitas saksi ke public atau media serta keberadaan mereka , seperti : (a). menghapus nama dan identifikasi informasi dari catatan public Majelis Hakim, (b). merahasiakan kepada public hal-hal mengenai catatan-catatan yang berkaitan dengan identitas korban, (c). memberikan kesaksian melalui gambar atau suara yang disamarkan atau melalui televise (close circuit television), (d). menggunakan nama samaran (pseudonym), 2). Melakukan sesi-sesi khusus; dalam kaitannya dengan aturan 79 dan 3). Tindakan-tindakan yang diperlukan untuk memfasilitasi kesaksian korban dan saksi yang rentan seperti menggunakan televise system tertutup (close circuit television). Bagian C dari pasal tersebut menyebutkan bahwa, “ Majelis Hakim, jika diperlukan, menjaga sikap pada saat mengajukan pertanyaan untuk menghindari adanya pelecehan atau intimidasi.

99


(25)

mengimplikasikan kebebasan fisik dan meliputi kebebasan yang benar-benar konkret dan khusus dari penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang, hak yang sama kritisnya dengan sesuatu yang biasa dipermalukan di zaman kita.

Setiap masyarakat menggunakan hukum dan lembaga-lembaga pidana untuk mempertahankan ketertiban dan keadilan maupun untuk melindungi hak dari gangguan orang lain. Prosedur dan sanksi proses pidana, meski demikian, memperkokoh kebebasan individu yang dituduh dan dihukum karena melakukan kejahatan. Invasi terhadap kebebasan semacam itu dibenarkan bila diperlukan untuk melindungi masyarakat tetapi hanya bila dan pada taraf yang sunguh-sungguh diperlukan. Bagaimanapun, proses pidana merupakan ancaman paling besar terhadap hak asasi manusia, khususnya hak atas hidup dan kebebasan.100

Kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan salah satu tonggak dari hak asasi manusia dan memiliki posisi penting bagi berbagai jenis hak dan kebebasan lainnya. Untuk hal itulah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengesahkan sebuah Kovenan khusus mengenai ini dalam Konfrensi Kebebasan Informasi di Jenewa 1948.

Pembuatan formulasi dari pasal yang memuat kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia itu melibatkan proses pengumpulan semua formulasi yang ada dalam konstitusi-konstitusi nasional seperti layaknya rancangan-rancangan yang dipersiapkan oleh asosiasi-asosiasi dan organisasi-organisasi umum, privat dan ilmiah; abstraksi dari semua elemen-elemen

100


(26)

itu tidak hanya terlihat penting dalam sebuah instrument dunia tetapi kelihatannya juga dapat diterima secara menyeluruh.

Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyebutkan : “Semua orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi; hak ini meliputi kebebasan untuk mempertahankan pendapat tanpa paksaan dan untuk mencari, menerima dan menyebarluaskan informasi dan ide-ide melalui media apapun dan tanpa melihat batasan.”

Pasal ini merupakan basis atau dasar dari dua paragraf pertama pasal 19 Kovenan :

1. Semua orang harus memiliki hak untuk mempertahankan pendapatnya tanpa paksaan.

2. Semua orang harus memiliki hak atas kebebasan berekspresi; hak ini harus meliputi kebebasan untuk mencari, menerima dan menyebarluaskan segala jenis informasi dan ide tanpa melihat batasan baik secara lisan, tulisan atau tercetak dalam bentuk seni ataupun melalui media lain sesuai pilihannya.

Hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini ada tanpa terikat batasan wilayah. Hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi dapat diterapkan tidak hanya dalam satu negara saja tetapi berlaku secara internasional. Hak-hak ini adalah hak-hak internasional.

Tepat kiranya disini negara (pemerintah) dipahami sebagai sebuah “rechstaat dalam pengertian khusus” yakni merupakan tatanan hukum yang relatif sentralistik yang menetapkan bahwa yurisdiksi dan administrasi terikat oleh norma-norma hukum


(27)

umum, norma-norma yang diciptakan parlemen yang dipilih oleh rakyat, kepala negara mungkin atau mungkin tidak berpartisipasi dalam penciptaan ini anggota pemerintahan bertanggungjawab atas tindakan mereka, pengadilan bersifat independen dan kebebasan sipil tertentu bagi warga, khususnya kebebasan beragama, berbicara dijamin.101

Pembangunan merupakan suatu proses yang dikaitkan dengan pandangan-pandangan yang optimistis yang terwujud dalam usaha-usaha untuk mencapai taraf kehidupan yang lebih baik daripada apa yang telah dicapai.102 Melaksanakan pembangunan hukum berarti melakukan upaya pembaharuan hukum secara terarah dan terpadu dengan jalan antara lain menyusun perundang-undangan baru yang sangat dibutuhkan untuk dapat mendukung pembangunan yang sesuai dengan perkembangan masyarakat.103

Kepastian hukum sebagai salah satu elemen penting untuk mendorong pembangunan dan kemajuan suatu negara mengharuskan diciptakannya peraturan-peraturan umum atau kaedah-kaedah yang berlaku umum. Presiden dalam pidato kenegaraan yang diucapkan pada tanggal 16 Agustus 1967 mengatakan bahwa

101

Hans Kelsen, Teori Hukum Murni (Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif), (Bandung : Nusamedia dan Nuansa,2007), hal 346

102

Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1989), hal 11

103

Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, (Jakarta : Binacipta, Tanpa Tahun), hal 11


(28)

pelaksanaan hukum harus diabdikan untuk kepentingan masyarakat serta kepastian hukum harus diwujudkan dalam tertib hukum.104

Sistem Peradilan Pidana (Indonesia) pada hakikatnya merupakan sistem kekuasaan menegakkan hukum pidana atau sistem kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana, diwujudkan/diimplementasikan dalam 4 (empat) subsistem yaitu :105 a. Kekuasaan penyidikan (oleh badan/lembaga penyidik);

b. Kekuasaan penuntutan (oleh badan/lembaga penuntut umum);

c. Kekuasaan mengadili dan menjatuhkan putusan/pidana (oleh badan pengadilan); dan ;

d. Kekuasaan pelaksanaan putusan/pidana (oleh badan aparat pelaksana/eksekusi) Ke-empat tahap/subsistem itu merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral atau sering dikenal dengan istilah sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system).

Setiap negara di dunia ini memiliki sistem hukum masing-masing demikian juga halnya sistem peradilan pidananya sebagai bagian dari sitem hukumnya. Sistem hukum memiliki lebih banyak lagi selain kode aturan (codes of rules), aturan (do’s and don’ts), peraturan (regulations) dan perintah (orders).106 Lawrence M.

104

Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Pembangunan di Indonesia, (Jakarta : Universitas Indonesia, 1984), hal 55

105

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti 2005), hal 40

106

Lawrence M. Friedman, American Law An Introduction (Hukum Amerika Sebuah Pengantar), (Jakarta : PT Tata Nusa, 2001), hal 7.


(29)

Friedman 107 dalam bukunya American Law Introduction selanjutnya berpendapat unsur-unsur sistem hukum yakni :

1. Sistem hukum mempunyai struktur 2. Sistem hukum mempunyai substansi 3. Sistem hukum mempunyai budaya hukum

Ketiga faktor yang terdapat dalam sistem hukum ini yang sangat mempengaruhi proses penegakan hukum dalam suatu negara.

Sistem hukum bukanlah sesuatu yang dipilih dan dipertimbangkan sebelum dianut oleh negara tetapi sistem hukum itu ikut berevolusi bersama dengan masyarakat negara itu sendiri. Sistem hukum yang dianut suatu negara , terutama negara-negara bekas jajahan, sering terdapat beberapa hal yang kurang sesuai dengan kebiasaan dan nilai-nilai tradisional masyarakat setempat. Setiap negara dalam praktiknya mengembangkan Sistem Peradilan (termasuk Sistem Peradilan Pidana) sendiri-sendiri yang ditentukan perkembangan kepercayaan (agama), kebiasaan, budaya dan tradisi, pengalaman sejarah bangsa tersebut, struktur ekonomi dan organisasi politik negara tersebut.108

Studi terhadap perbedaan dan persamaan sistem peradilan pidana pada negara-negara di dunia, Ebbe menyimpulkan bahwa pengalaman politik suatu negara

107

Ibid hal 7-8 108

O.C Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, (Bandung : PT Alumni Bandung,2006), hal 3


(30)

memainkan peran signifikan dalam pembentukan hukum dan nilai-nilai yang menentukan suatu perbuatan merupakan tindak pidana serta sistem peradilannya.109

Beberapa negara Asia dan Afrika, sistem hukum tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kolonial, dimana negara-negara Eropa dan Inggris memperkenalkan sistem hukum untuk mencerminkan nilai-nilai kultural Eropa dan melindungi kepentingan ekonomi, agama dan kepentingan politiknya. Akan tetapi, hingga saat ini negara-negara tersebut tetap memiliki sistem hukum dan system peradilannya yang berasal dari budaya negaranya masing-masing.

Setiap negara memiliki ciri khas sistem peradilan pidana. Mardjono Reksodipoetro memberikan pengertian bahwa sistem peradilan pidana adalah “sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana”. Selanjutnya, dikatakan bahwa tujuan sistem peradilan pidana adalah :

a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan ;

b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana ;

c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.110

Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) memiliki sejarah panjang yang dimulai dari martabat alamiah dan hak-hak kemanusiaan yang sama dan tidak dapat

109

Ibid, hal 3 110


(31)

dicabut. Pengakuan martabat dan hak-hak tersebut merupakan dasar kemerdekaan, keadilan dan perdamaian dunia. Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai sesuatu yang vital untuk menjaga kehidupan manusia tetap manusiawi dan menjaga hak yang paling berharga, yaitu hak untuk menjadi manusia.

Istilah martabat dan hak-hak kemanusiaan tersebut disebut sebagai hak asasi manusia. Pasal 4 Undang-Undang RI No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan sejumlah hak asasi yang bersifat mutlak, tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Hak-hak tersebut antara lain :

1. Hak untuk hidup; 2. Hak untuk tidak disiksa;

3. Hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani; 4. Hak beragama;

5. Hak untuk tidak diperbudak;

6. Hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum; 7. Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut;

Rumusan pasal 4 Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 Tentang hak Asasi Manusia sama dengan rumusan pasal 28 I ayat (1) Amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yaitu 111: “ Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk tidak diakui sebagai pribadidi hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”

111


(32)

Komisi HAM PBB telah membentuk dua kovenan dan satu protokol yang merupakan bagian dari empat produk PBB yang dinamakan International Bill of Human Rights, yang terdiri dari :112

1. Universal Declaration of Human Right (UDHR)

2. The International Covenant on Economic, Social and Cultural Right 3. International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR)

4. Optional Protocol to The international Covenant on Civil and Political Right Indonesia telah meratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights- ICCPR) . Konsekuensinya beberapa ketentuan dalam sistem peradilan pidana harus mengalami perubahan.

Saksi memainkan peranan kunci utama dalam sistem pembuktian hukum pidana sekalipun saksi (keterangan saksi) bukan satu-satunya alat bukti dimana KUHAP menganut pendekatan pembuktian negatif berdasarkan perundang-undangan atau “Negatief Wettelijk Overtuiging.”113

Peranan saksi (keterangan saksi) yang sangat penting terutama dalam kejahatan yang dikelompokkan extra ordinary crime dan sebagai salah satu alat bukti dalam KUHAP sangat kontras dengan bentuk perhatian atau perlindungan yang diberikan oleh negara cq aparatur penegak hukum. Perlindungan disini berupa perlindungan hukum dan/atau perlindungan khusus lainnya. Adakalanya seorang saksi itu memang murni dalam pengertian saksi yang juga menjadi korban (saksi

112

OC Kaligis, op.cit, hal 8 113

Indriyanto Seno Adji, Korupsi Dan Pembalikan Beban Pembuktian, (Jakarta : Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum “Prof Oemar Seno Adji, SH & Rekan, 2006), hal 84


(33)

korban) sebagaimana dimaksud dalam KUHAP tapi pada kasus yang lain saksi disini adalah salah seorang pelaku (tersangka/terdakwa) dari suatu perbuatan pidana yang dilakukan secara bersama-sama (berkelompok). Posisi yang sebagaimana disebutkan terakhir ini tentunya terjadi pergulatan batin saksi yang juga sebagai pelaku dan sudah sepatutnya pula hukum (aparat penegak hukum) memberikan perhatian dan penghargaan yang setimpal pula atas keberaniannya mengungkapkan fakta suatu kebenaran seperti tindak pidana yang sulit pembuktiannya oleh karena faktor –faktor antara lain dilakukan secara terorganisir (berkelompok; berjamaah) dan termasuk kejahatan kerah putih (white collar crime) seperti tindak pidana korupsi, tindak pidan perambah hutan (illegal logging), terorisme, tindak pidana perdagangan orang (trafficking), tindak pidana pencucian uang (money laundering) dan lain-lain sebagainya.

Hukum Acara Pidana Indonesia (KUHAP, Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1981), baik secara teoritis dan praktisnya tidak menaruh perhatian yang sangat serius terhadap masalah perlindungan saksi sementara disisi yang lain saksi (keterangan saksi) menempati peringkat utama dalam tata urutan alat bukti menurut pasal 184 KUHAP. Pasal 184 KUHAP berbunyi : 114

(1) Alat bukti yang sah ialah : a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat;

d. Petunjuk;

114

PAF. Lamintang, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dengan pembahasan Secara

Yuridis Menurut Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, (Bandung : Sinar Baru,1984),


(34)

e. Keterangan terdakwa;

Tentunya ada menjadi penyebab hingga pembuat undang-undang (legislasi) menempatkan keterangan saksi (baca : saksi) pada posisi atau urutan pertama dari 5 (lima) alat bukti dalam KUHAP. KUHAP memberikan pengertian saksi sebagaimana pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 26 yaitu : “orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.” Selanjutnya pada angka 27 menyebut keterangan saksi adalah : “salah satu alat bukiti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.”

Beranjak dari pengertian tentang saksi dan keterangan saksi sebagaimana termaktub dalam undang-undang (KUHAP) bahwa sudah barang tentu seorang atau beberapa orang yang menjadi saksi yang kemudian mejadi alat bukti berupa keterangan saksi memainkan peranan yang sangat penting untuk membuktikan kesalahan tersangka atau terdakwa baik sejak di tingkat penyidikan maupun di tingkat penuntutan. Seseorang yang menempati posisi sebagai saksi dalam suatu tindak pidana berarti saksi tersebut adalah yang melihat langsung dengan mata kepala sendiri bagaimana suatu perbuatan (tindak pidana) tersebut dilakukan si tersangka atau terdakwa. Pemahaman saksi disini meliputi saksi bukan sebagai korban maupun saksi sebagai korban.


(35)

Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada tanggal 11 Agustus 2006 dinilai sebagai suatu terobosan yang diharapkan mampu menutupi kelemahan-kelemahan sistem hukum kita berkaitan dengan terabaikannya elemen saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana sebagaimana KUHAP lebih banyak mengatur hak-hak tersangka atau terdakwa saja untuk mendapat perlindungan dari berbagai kemungkinan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Undang-Undang ini dengan lebih spesifik (lex specialis) mengatur syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan bagi saksi dan atau korban sebagai pelapor (whistleblower) yang sebelumnya terserak-serak dalam beberapa peraturan.

Bagian Penjelasan Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan : “…. dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum. Selanjutnya disebutkan … Pelapor yang demikian itu harus diberi perlindungan hukum dan keamanan yang memadai atas laporannya sehingga ia tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya…”115

Beberapa undang-undang yang menekankan partisipasi masyarakat dalam pengungkapan suatu tindak pidana antara lain : pasal 5 Undang-Undang RI No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, pasal 54 jo pasal 57 Ayat (1) Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika, pasal 57 jo pasal 76 Ayat (1) Undang-Undang RI No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika, pasal 8 ayat Undang-undang RI No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang

115

Lian Nury Sanusi,Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, (Jakarta : Kawan Pustaka, 2006), hal 22


(36)

Bersih dan Bebas KKN, Undang Tindak Pidana Korupsi yakni Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada pasal 44, pasal 92 jo pasal 100 Undang-Undang RI No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, pasal 34 Undang-Undang RI No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, pasal 17 Undang-Undang RI No 40 Tahun 1999 Tentang Pers Demikian juga dengan Undang-Undang RI No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI No. 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, pasal 72 Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, pasal 15 Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan pasal 60 Undang-Undang RI No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) oleh pemerintah merupakan kebutuhan yang mendesak saat ini dalam kerangka penegakan hukum (pidana) sebagaimana diamanatkan Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan dalam rangka mentaati prinsip-prinsip “Good Governance” yakni tegaknya supremasi hukum.116

116

Krisna Harahap,Pemberantasan Korupsi Jalan Tiada Ujung, (Bandung : PT.Grafitri, 2006), hal 24


(37)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan paparan permasalahan hukum yang dikemukakan di atas, maka beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah konsep perlindungan hukum bagi pengungkap fakta (whistleblower) dalam tindak pidana yang sulit pembuktiannya berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban?

2. Bagaimanakah jenis perlindungan yang diberikan kepada pengungkap fakta (whistleblowers) berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban?

3. Bagaimanakah hambatan atau kendala yang terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban bagi pengungkap fakta (whistleblower) ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian tesis ini adalah :

1. Untuk mengetahui konsep perlindungan hukum bagi pengungkap fakta (whistleblower) berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban untuk tindak pidana yang sulit pembuktiannya.


(38)

2. Untuk mengetahui jenis perlindungan bagi pengungkap fakta (whistleblower) berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

3. Untuk mengetahui hambatan atau kendala yang terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi bagi pengungkap fakta (whistleblower).

D. Manfaat penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermamfaat bagi pengembangan pemikiran teoritis maupun kegunaan praktis yaitu :

1. Secara teoritis :

Diharapkan bermanfaat mengkonstribusikan pemikiran ilmiah terhadap pengembangan ilmu hukum pidana khususnya di bidang perlindungan saksi pengungkap fakta (whistleblower) atau kebijakan pidana dalam hal tindak pidana yang sulit pembuktiannya sehingga dapat menambah khasanah literatur ilmu hukum bagi masyarakat akademis yang mendalami hukum pidana.

2. Secara praktis :

Diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan di lingkungan institusi penegak hukum terutama Kepolisian dan Kejaksaan sebagai lembaga penyidik tindak pidana (umum/khusus) yang mempunyai wewenang melakukan tindakan penyidikan dan menciptakan suasana kondusif dalam meningkatkan peran serta masyarakat untuk mengungkapkan fakta kebenaran dalam suatu tindak pidana.


(39)

E. Keaslian Penelitian

Sepanjang pengetahuan penulis bahwa penelitian mengenai “Perlindungan Hukum Bagi Pengungkap Fakta (Whistleblower) dalam Perkara Pidana (Analisis Yuridis Terhadap Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban)” belum pernah dilakukan sebelumnya, oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teoritis dan Konsepsional 1. Kerangka Teoritis

Teori merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Namun, suatu penjelasan bagaimanapun meyakinkan tetap harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.

M. Solly Lubis,117 mengatakan bahwa untuk dapat disebut sebagai teori ilmiah harus memenuhi dua syarat utama, yaitu harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan dan harus cocok dengan fakta-fakta empiris sebab teori keilmuan secara keseluruhan dan harus cocok dengan fakta-fakta empiris sebab teori yang bagaimana pun konsistennya kalau tidak didukung oleh pengujian empiris tidak dapat diterima kebenarannya. Pendekatan rasional menggunakan logika deduktif dan pendekatan empirismenggunakan logika induktif. Gabungan antara kedua logika

117


(40)

tersebut disebut logika ilmiah yang merupakan sebuah sistem dengan mekanisme korektif. Penjelasan yang lebih berguna untuk prediksi dan pengendalian ialah penjelasan yang didasarkan atas hukum-hukum kausal bukan korelasional. Oleh karena itu, penjelasan rasional yang belum teruji kebenarannya secara empiris statusnya bersifat empiris.

Pengertian tentang teori dan konsep dalam literatur ilmu hukum dan ilmu sosial terkesan cukup beragam rumusannya. Masing-masing pakar memiliki batasan yang khas dalam merumuskan pengertian teori dan konsep. Walaupun demikian secara substantif hakikatnya tidak berbeda prinsipil.

Dibidang ilmu hukum, A. Hamid S Attamimi118 merumuskan teori ialah “sekumpulan pemahaman, titik tolak-titik tolak dan asas-asas yang saling berkaitan yang memungkinkan kita memahami lebih terhadap sesuatu yang kita coba untuk mendalaminya.”

Satjipto Rahardjo119 mengatakan bahwa “teori memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematisasikan masalah yang dibicarakan.” Demikian pula menurut Redbruch120 “bahwa tugas teori hukum adalah membikin jelas nilai-nilai serta postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofinya yang tertinggi.” Pentingnya kerangka teori menurut Ronny Hanitijo Soemitro121

118

A. Hamid S Attamimi, Teori perundang-Undangan Indonesia, Suatu Sisi Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan Indonesia Yang Menjelaskan dan Mencerminkan, (Pidato pada Pengukuhan Jabatan Guru besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia) Jakarta, 25 April 1992, hal 2 119

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : Alumni,1986), hal 224 120

Ibid hal 224 121

Ronny Hantijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1990), hal 41


(41)

adalah “setiap penelitian haruslah selalu disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis. Hal ini disebabkan karena adanya hubungan timbal-balik antara teori dengan kegiatan-kegiatan pengumpulan data, konstruksi data, pengolahan data dan analisis data.”

Bertitik tolak dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kerangka pemikiran teoritis sebagai landasan konsepsional pendekatan masalah penelitian dapat disusun menggunakan teori, konsep, asas-asas dan pendapat-pendapat ilmuwan yang dinilai relevan untuk membuat jernih dan atau memecahkan suatu masalah yang diteliti.

Perlindungan bagi saksi pengungkap fakta (whistleblower) merupakan hal yang essensial untuk membuktikan kebenaran suatu peristiwa (pidana) dalam rangka penegakan hukum.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengadopsi norma-norma yang termaktub di dalam Universal Declaration of Human Right (1945) dan International Convention on Civil and Political Rights sekalipun sudah banyak memberikan perlindungan dan penghormatan kepada hak tersangka atau terdakwa, belumlah mencakup upaya-upaya perlindungan kepentingan korban yang sekaligus menjadi saksi pelapor dalam suatu tindak pidana.122

Perlindungan saksi merupakan isu strategis, Investasi, pendokumentasian dan penuntutan pelanggaran dan Penuntutan kasus-kasus tindak pidana bergantung

122

Pedoman Untuk Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Trafiking dan Perlindungan Terhadap Korban Selama Proses Penegakan Hukum, (International Organization for Migration (IOM) 2005), hal 12


(42)

pada kemampuan untuk mengumpulkan informasi yang relevan secara independent, objektif dan imparsial, memverifikasi, menetapkan fakta dan menghimpun bukti-bukti yang handal tentang tindak pidana tersebut, sebab-sebab, mekanisme kejadiannya, konteks serta tanggungjawabnya. Proses ini, bukti kesaksian (testimonial evidence) seringkali dianggap penting untuk menetapkan fakta-fakta dasar tindakan tersebut, termasuk pertanggungjawabannya. Kondisi ini seringkali dijadikan acuan pada saat sumber atau alat bukti tidak tersedia atau dihilangkan atau dirusak, secara sengaja atau lainnya khususnya dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia.

Pendokumentasian kasus pelanggaran hak asasi manusia secara eksklusif sangat bergantung pada apa yang terekam dalam ingatan para korban, saksi dan pihak-pihak lain. Pengumpulan kesaksian mereka hanya mungkin jika mereka mau dan mampu bersaksi, secara lisan dan tulisan, tanpa dihantui oleh aksi pembalasan dendam, keluarganya atau orang-orang yang terkait dengan mereka. Kemampuan para saksi untuk bersaksi secara bebas dan perlindungan bagi para saksi sangat penting untuk memfasilitasi pengumpulan kesaksian kunci terhadap kekerasan dan kejahatan, untuk menetapkan rekaman faktual (factual record) atas peristiwa yang telah terjadi (pernyataan kebenaran), untuk menuntut pelaku serta membongkar mekanisme yang dialami para saksi dan menginisiasi reformasi institusional yang relevan (pelaku melakukannya melalui organ negara) serta membangun sistem keamanan menghadapi resiko yang dialaminya.


(43)

Hukum dalam esensi-nya mengandung 3 (tiga) nilai yakni keadilan, kepastian hukum dan kegunaan (faedah) hukum itu sendiri. Perlindungan hukum bagi saksi atau dengan kata lain dasar atau konsep menjadi pembenar saksi perlu dilindungi, berpijak pada upaya mencari kebenaran materil dan perlindungan hak asasi manusia. Tersangka atau terdakwa yang diduga melakukan suatu tindak pidana, perlu mendapat jaminan perlindungan hak-hak asasinya. Penghormatan terhadap prinsip asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) menetapkan bahwa seseorang yang diduga melakukan suatu kejahatan (tindak pidana) wajib untuk dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dapat dibuktikan berdasarkan suatu putusan badan peradilan yang sudah memiliki kekuatan mengikat yang pasti. Setiap orang yang disangka atau didakwa melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana harus diperlakukan sebagaimana layaknya manusia biasa yang tidak bersalah dengan segala hak asasi manusia yang melekat pada dirinya. Perlakuan secara sewenang-wenang, secara kejam, secara tidak manusiawi ataupun diperlakukan di luar batas-batas kemanusiaan. Bahkan andaikata kejahatan (tindak pidana) yang disangkakan atau didakwakan terhadapnya sudah terbuktipun dan sudah dijatuhi putusan oleh pengadilan dengan kekuatan mengikat yang pasti, tersangka/terdakwa/terpidana juga harus diperlakukan selayaknya seperti manusia biasa dengan segala hak asasinya.

Proses pembuktian kejahatan (tindak pidana) oleh aparat penegak hukum (negara) wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan atau undang-undang yang berlaku (hukum positif) artinya pembuktian kesalahan/kejahatan yang dilakukan seorang pelaku kejahatan dengan berdasarkan alat bukti. Terbukti tidaknya seorang pelaku


(44)

yang diduga melakukan tindak pidana adalah hasil pergelutan atau pertarungan kekuatan alat bukti semata-mata, jadi bukan berdasarkan opini atau asumsi.

Hukum (undang-undang) yang baik adalah yang mampu memberi keadilan yang sama kepada semua orang, artinya memberikan perlakuan hukum yang sama kepada tersangka/terdakwa dan juga kepada korban (saksi korban). Pencapaian keadilan adalah tujuan utama atau dapat dikatakan tujuan hukum yang tertua usianya sebagaimana hubungan antara keadilan dan hukum positif jadi pusat perhatian para ahli fikir Yunani (penganut filsafat hukum alam).123 Prinsip keadilan dalam kovenan internasional mengenai hak-hak sipil dan politik ditetapkan antara lain : hak atas persamaan di depan hukum (equality before the law) dan hak atas non diskriminasi dalam penerapannya (pasal 7), larangan penangkapan, penahanan atau pengasingan yang sewenang-wenang (pasal 9), hak atas peradilan yang adil (pasal 10).124 Hak asasi atas peradilan yang adil (dalam) urusan perdata dan pidana suatu hak yang sangat penting bagi implementasi dari semua hak-hak asasi yang lain, tergantung pada administrasi peradilan yang layak.125 Hukum Acara Pidana sebagai bagian prosedur beracara di persidangan wajib memberikan keseimbangan, baik bagi hak tersangka/terdakwa untuk memberikan pembelaan hukumnya maupun korban (saksi korban) yang diwakili oleh aparat penegak hukumnya (polisi, jaksa) untuk melakukan tuntutan hukum karena terganggunya kepentingan umum.

123

W. Friedmann, Teori & Filsafat Hukum (Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum), Jakarta : PT

RajaGrafindo Persada, 1993, ha16

124

T. Mulya Lubis, Hak Asasi Manusia Dalam Masyarakat Dunia (Isu dan Tindakan), Jakarta : Yayasan

Obor Indonesia, 1993, hal 70

125


(45)

Peran serta masyarakat dalam penegakan hukum (pidana) dewasa ini sangat penting dalam sistem peradilan pidana (nasional) mengingat kualitas dan kuantitas kejahatan. Keterkaitan antara kejahatan dan sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah terletak pada tujuan akhir (goal) yang ingin dicapai oleh komponen criminal justice sistem secara keseluruhan yaitu menanggulangi masalah kejahatan. 126

Muladi, SH127 berpendapat “sistem peradilan pidana (criminal justice system) sebagai suatu jaringan (network) peadilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana.”

Didalam sistem peradilan pidana ini terkandung gerak sistemik dari komponen-komponen pendukungnya yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan totalitas berusaha mentransformasikan masukan (input) menjadi keluaran (output) yang menjadi sasaran kerja sistem peradilan pidana ini yaitu sasaran jangka pendek adalah resosialisasi pelaku kejahatan, sasaran jangka menengah adalah pencegahan kejahatan serta tujuan jangka panjang sebagai tujuan akhir adalah kesejahteraan masyarakat.

Pendekatan dengan teori sistem peradilan pidana dianggap perlu oleh karena dalam hal penanganan tindak pidana terdapat keterkaitan dan keterpaduan dalam setiap tahapan proses pemeriksaan mulai dari proses penyidikan (kepolisian),

126

Mahmud Mulyadi, Modul Perkuliahan Semester Ganjil (III) Tahun Akademik 2007/2008 Konsentrasi Hukum Pidana Program Studi Ilmu Hukum (Sekolah Pasca Sarjana USU,2007), hal 24 127


(46)

penuntutan (kejaksaan), pemeriksaan persidangan (pengadilan) hingga pemidanaan (lembaga pemasyarakatan).

Sistem peradilan pidana yang digariskan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan sistem terpadu (integrated criminal justice system). Sistem terpadu tersebut diletakkan di atas landasan prinsip diferensiasi fungsional diantara aparat penegak hukum sesuai dengan tahap proses kewenangan yang diberikan undang-undang kepada masing-masing.128

Konstitusi memberi hak dan kewenangan istimewa bagi aparat penegak hukum seperti polri untuk : memanggil, memeriksa, menangkap, menahan, menggeledah, menyita terhadap tersangka dan barang yang berkaitan dengan tindak pidana. Pelaksanaan hak dan kewenangan istimewa tersebut, harus taat dan tunduk kepada prinsip : the right of due process.

Konsep due process dikaitkan dengan landasan menjunjung tinggi supremasi hukum dalam menangani tindak pidana : tidak seorang pun berada dan menempatkan diri di atas hukum (no one is above the law) dan hukum harus diterapkan kepada siapa pun berdasar prinsip perlakuan dan dengan cara yang jujur (fair manner).

Pengungkap fakta (whistleblower; peniup peluit), baik itu dalam istilah sebagai saksi atau korban, pelapor merupakan pihak yang bertujuan untuk membuat terang suatu perbuatan pidana dan pihak inilah yang perlu mendapat perlindungan hukum. Siapa saja yang mengambil sikap dan keputusan untuk menjadi pelapor

128

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta : Sinar Grafika , 2006), hal 90


(47)

(whistleblower) tentunya sudah siap dengan segala konsekuensi yang akan dipikulnya.

Tidak banyak orang yang bersedia mengambil resiko untuk melaporkan suatu tindak pidana jika dirinya, keluarganya dan harta bendanya tidak mendapat perlindungan dari ancaman yang mungkin timbul karena laporan yang dilakukan. Begitu juga dengan saksi jikalau tidak mendapat perlindungan yang memadai akan enggan memberikan keterangan sesuai dengan fakta yang dialami, dilihat dan dirasakan.

Sudah sepatutnya hukum memberikan perhargaan dan penghormatan kepada para pengungkap fakta ini. Seyogyanya, dengan sistem peradilan pidana yang terpadu ada garis koordinasi dan merupakan kebijakan pidana bagi aparat penegak hukum untuk memberikan semacam perlakuan khusus bagi sang pengungkap fakta. Perlakuan khusus ini dapat diperoleh pelapor baik itu sejak di tingkat penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan hingga pemidanaannya.

Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban mengamanatkan pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam tempo 1 (satu) tahun setelah diundangkannya undang-undang ini. Kebutuhan akan perlindungan hukum ini sangat mendesak bagi para aktivis anti korupsi dan aktivis Hak Asasi Manusia. Kebutuhan ini begitu penting manakala para aktivis tersebut berhadapan dengan penyelenggara negara/ pejabat negara.


(48)

Hakristuti Hakrisnowo129 berpendapat : LPSK merupakan refleksi tanggungjawab negara pada warganya yang berkontribusi dalam proses peradilan pidana. Kemudian memberikan jaminan hukum pada saksi dan korban agar dapat memberikan keterangan tanpa ketakutan akan intimidasi atau retailasi pelaku. Kemudian lanjutnya : LPSK juga menjamin koordinasi antar lembaga dalam penanganan saksi dan korban disamping itu juga mendorong partisipasi publik dalam proses peradilan pidana.

Perlindungan saksi juga sangat membantu kinerja aparat penegak hukum terutama bagi pembuktian tindak pidana yang sulit pembuktiannya yang dilakukan oleh orang dalam dan dilakukan secara terorganisir. Bab II Perlindungan dan Hak Saksi dan Korban, pasal 5 menyebutkan beberapa hak dari seorang saksi dan korban. Oleh karena itu, sebagaimana undang-undang memberikan jaminan perlindungan dan hak yang diperoleh para pengungkap fakta maka negara wajib memberikan perhatian serius kepada keberadaan LPSK yang mencakup tugas dan kewenangannya.

2. Kerangka Konsepsional

Upaya menghindari kesalahan persepsi dalam melakukan penelitian maka harus diberikan batasan penelitian yang dijadikan pedoman dalam proses pengumpulan, pengolahan, analisa dan konstruksi data.

Istilah perlindungan hukum yang dikemukakan dalam penulisan ini mencerminkan kewajiban dan tanggungjawab yang diberikan dan dijamin oleh Negara untuk menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak-hak asasi manusia berdasarkan undang-undang dan peraturan hukum.

129


(49)

Perlindungan hukum disini dapat dibedakan atas 2 (dua) jenis yaitu perlindungan hukum dan perlindungan khusus terhadap ancaman. Perlindungan hukum dapat berupa kekebalan yang diberikan kepada pengungkap fakta (whistleblower) untuk tidak dapat diganggu gugat secara perdata atau dituntut secara pidana sepanjang yang bersangkutan memberikan data, fakta, kesaksian dengan itikad baik atau yang bersangkutan tidak sebagai pelaku tindak pidana itu sendiri. Sementara perlindungan khusus kepada pengungkap fakta (whistleblower) diberikan negara untuk mengatasi kemungkinan ancaman yang membahayakan jiwanya.

Sang pengungkap fakta (whistleblower) yakni orang yang mengungkapkan fakta kepada publik mengenai skandal, bahaya, malpraktik atau korupsi dalam bahasa Inggris disebut whistleblower (peniup peluit) disebut demikian karena, seperti wasit dalam pertandingan sepak bola atau olah raga lainnya yang meniupkan peluit sebagai pengungkapan fakta terjadinya pelanggaran, atau polisi lalu lintas yang hendak “menilang” seseorang di jalan raya karena orang itu melanggar aturan atau seperti pengintai dalam peperangan zaman dahulu yang memberitahukan kedatangan musuh dengan bersiul—dialah yang bersiul, berceloteh, membocorkan atau mengungkapkan fakta kejahatan, kekerasan atau pelanggaran.130

Whistleblower diartikan “peniup peluit” juga dimaknai sebagai pelaku kriminal yang membongkar kejahatan (saksi mahkota).131 Bagi negara-negara dengan

130

Quentin Dempster, Whistleblowers Para Pengungkap Fakta, (Jakarta : Elsam- Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat 2006), hal 1

131

Indriyanto Seno Adji, Urgensi Perlindungan Saksi, 9 Desember 2005, www.antikorupsi. org, diakses terakhir tanggal 10 Oktober 2007


(50)

sistem Anglo Saxon (Inggris dan Amerika) maupun Eropa kontinental (Belanda dan Perancis), pemahaman demikian sudah melekat dengan penegakan hukum untuk pemberantasan korupsi maupun kejahatan sistemik dan terorganisasi, seperti : narkotika, perdagangan anak dan wanita, senjata dan lain-lain.

Pengertian fakta disini adalah suatu hal yang terjadi sungguh-sungguh ; peristiwa.132 Kejadian atau peristiwa (pidana) itu sungguh-sungguh terjadi dan suatu realita dalam kehidupan.

Perlindungan bagi pengungkap fakta (whistleblower) merupakan kebutuhan mendesak terutama untuk tindak pidana yang sulit pembuktiannya. Tindak pidana yang sulit pembuktiannya. Pengertian tindak pidana yang sulit pembuktiannya tidak dapat ditemukan dalam literatur hukum. Definisi (batasan) tindak pidana yang sulit pembuktiannya dapat dilihat dari penafsiran secara acontrario dari bunyi pasal 203 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan : “Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat ialah perkara kejahatan atau pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan pasal 205 dan yang menurut penuntut umum pembuktiannya serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana.”

Pasal 205 ayat (1) KUHAP menyebutkan : “ Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam paragraph 2 bagian ini.”

132


(51)

Isi pasal 203 Ayat (1) KUHAP, memberikan gambaran pengertian tindak pidana yang sulit pembuktiannya, yakni :

1. Subjektifitas dari penuntut umum yang menyatakan tindak pidana tersebut sulit untuk pembuktiannya.

2. Pembuktian dan penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana

Tindak pidana yang sulit pembuktiannya termasuk tindak pidana yang dilakukan secara sistematis dan terorganisir. Perkembangan dalam teknologi sangat mempengaruhi kualitas kejahatan dalam hal modus operandi pelaku melakukan kejahatannya.

Tindak pidana yang sulit pembuktiannya antara lain tindak pidana korupsi, tindak pidana perdagangan narkotika dan obat-obat terlarang, tindak pidana pencucian uang (money laundering), tindak pidana perambahan hutan (illegal logging), tindak pidana perdagangan orang (trafficking), tindak pidana dalam dunia maya (cyber crime), tindak pidana malpraktik, tindak pidana terorisme dan lain sebagainya.

Seorang peniup peluit (whistleblower) atau pengungkap fakta kasus-kasus tertentu kepada publik akan menanggung segala konsekuensinya. Bagi sebagian orang orang hal itu menjadi sebuah siksaan pribadi yang membutuhkan keteguhan hati dan keberanian.133

133


(52)

Kehidupan tiap individu (warga negara) tinggal dalam suatu negara korporasi.134 Kewenangan korporasi, publik maupun privat, menggunakan kekuasaan untuk kebaikan dari keberadaan korporasi. Dalam prosesnya, para individu itu terkadang terpelintir dan kebenaran tidak diperlihatkan atau ditutup-tutupi. Dalih menjadi aset bagi kewenangan korporasi, para individu yang memiliki kebenaran tidak biasa itu malah mendapati diri dan karir mereka berada dalam keadaan terancam.

Pengungkap fakta (whistleblower) yang tulus dan dilakukan dengan maksud atau itikad baik mendapatkan tempat yang unik dalam sejarah dunia. Beberapa kejadian, para pengungkap fakta merupakan agen-agen perubahan, bahkan ketika para pengungkap fakta ini tidak menyadarinya saat itu. Para pengungkap fakta (whistleblowers) acapkali menghadapi serangan balik dari pihak-pihak yang merasa dirinya diserang.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang

Perlindungan Saksi dan Korban berlaku setelah diundangkan pada tanggal 11 Agustus 2006 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64.

Undang-Undang ini merupakan perjuangan panjang dan kebutuhan mendesak bagi kalangan aktifis antikorupsi dan Hak Asasi Manusia (HAM).135 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban merupakan lex specialis (ketentuan khusus) yang mengatur perlindungan hukum bagi

134

Ibid, hal 2 135

Koalisi Perlindungan Saksi, Bersama Rakyat Membasmi Korupsi, www.antikorupsi.org, diakses terakhir kali tanggal 10 Oktober 2007


(53)

saksi dan/atau korban. Pengaturan perlindungan saksi sebagai pengungkap fakta dan tata

cara pemberian perlindungan bagi saksi dan atau korban sebelumnya berserak-serak dan

ada beberapa lembaga negara yang diberikan kewenangan menurut peraturan perundang-undangan untuk memberikan perlindungan tersebut.

Pengaturan perlindungan hukum bagi saksi dan atau korban sebagai pengungkap fakta atas apa yang didengar, dilihat dan dialami sendiri dalam suatu ketentuan tersendiri (lex specialis) memberikan pengertian adanya semacam unifikasi dari berbagai ketentuan atau tata cara perlindungan hukum bagi para pengungkap fakta (whistleblower) yang terserak-serak dalam hukum positif di Indonesia. Pemahaman yang lain adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban memberikan landasan hukum yang kuat dalam upaya perlindungan hukum bagi pengungkap fakta (whistleblower).

Perlindungan yang diberikan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 ditujukan kepada saksi dan korban. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 dalam Pasal 1 Bab I Tentang Ketentuan Umum memberikan definisi saksi dan korban. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengan sendiri, ia lihat sendiri dan/atau ia alami sendiri.

Pengertian korban dikemukakan baik oleh ahli hukum maupun bersumber dari konvensi-konvensi internasional yang membahas mengenai korban kejahatan. Arief


(54)

Gosita136 berpendapat korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.

Deklarasi PBB dalam The Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power 1985, pengertian korban (victims) means persons who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundmental rights, through acts or omission of criminal laws operative within Member States, including those laws proscribing criminal abuse of power .

Undang-Undang RI No.21 Tahun 2007 dalam pasal 1 memberikan pengertian korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang.137

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak membedakan perlindungan atau bantuan yang diberikan kepada saksi dan korban. Praktek di beberapa negara, dalam pelaksanaannya pemberian layanan antara unit perlindungan saksi dengan unit pelayanan bagi korban kejahatan dibedakan. Landasan hukum perlindungan saksi dan unit pelayanan bagi korban kejahatan (perlindungan korban) di Amerika Serikat

136

Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007),hal 47

137

Undang-Undang RI No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), hal 3


(1)

menjadi jaminan hukum yang kuat (lex specialis) untuk meningkatkan peran serta masyarakat menjadi pengungkap fakta dalam proses penegakan hukum.

3. Hambatan secara normatif pemberian perlindungan hukum dalam Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 yakni penerapan prinsip immunitas (pasal 10 ayat 1). Asas atau prinsip immunitas (kekebalan) yang diberikan kepada pelapor (whistleblower) merupakan penyimpangan terhadap asas hukum umum yakni penghormatan terhadap asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Berdasarkan asas ini, pelapor (whistleblower) dapat langsung melaporkan dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang tanpa perlu mempertimbangkan, apakah suatu laporan yang disampaikannya benar atau tidak benar, terbukti atau tidak terbukti di pengadilan. Pelapor (whistleblower) tidak dapat dituntut secara pidana dan perdata apabila ternyata laporan tentang dugaan tindak pidana yang dilakukan seseorang tersebut tidak terbukti di pengadilan sementara di pihak terlapor sudah terlanjur tercemar nama baiknya. Masalah lain yang mungkin timbul dalam hal pelapor (whistleblower) telah menyampaikan laporan atau pengaduannya kepada penyidik dan atau Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) kemudian pelapor (whistleblower) melakukan pengungkapan kepada publik melalui media massa (konfrensi pers) sehingga masyarakat (publik) mengetahui dugaan kejahatan yang dilakukan terlapor yang belum tentu kebenarannya. Penting diketahui dan dipahami hak dan kewajiban bagi


(2)

para pengungkap fakta (whistleblowers) setelah menyampaikan laporan atau pengaduannya kepada penyidik dan atau Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

B. Saran

1. Amanat terbesar yang sekaligus menjadi jiwa atau roh dari Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 adalah eksistensi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Sifat lembaga ini, komposisi personil dan tugas serta wewenang yang diberikan undang-undang ini diharapkan mampu menjalankan tugas dan wewenang bahkan dalam hal penilaian dalam memberikan perlindungan dan bantuan hukum. Untuk memudahkan lembaga ini dalam memberikan penilaian pemberian perlindungan hukum bagi para pengungkap fakta (whistleblowers) yang bekerjasama dengan aparat penegak hukum seyogyanya terdapat tolak ukur atau kriteria yang jelas dalam memberikan penilaian para pengungkap fakta (whistleblowers) yang bersifat kooperatif tersebut sehingga tidak terjadi disparitas hukuman terhadap pelaku kejahatan yang menjadi pengungkap fakta (whistleblower).

2. Perlu dilakukan perluasan penafsiran terhadap pengertian pihak yang dapat menjadi pengungkap fakta (whistleblower) sebagaimana undang-undang ini membatasi pengungkap fakta yakni saksi dalam pengertian KUHAP, jadi tidak termasuk didalamnya pihak pelapor yakni pihak yang mungkin saja tidak melihat sendiri, mendengar sendiri atau mengalami sendiri namun pada


(3)

diri pelapor terdapat dokumen atau data penting yang sangat menentukan terbongkarnya suatu kejahatan. Perluasan penafsiran ini penting dalam kerangka keberpihakan kepada korban yang mengalami penderitaan akibat suatu tindak pidana dan kepentingan umum menghendaki terungkapnya pelaku dan modus operandi suatu kejahatan. Titik berat perhatian kepada korban kejahatan (victim) adalah untuk mencapai keadilan restoratif (restoratif justice).

3. Pemberian perlindungan hukum berupa penerapan prinsip immunitas kepada pelapor (whistleblower) hendaknya dilakukan secara selektif yakni pemberlakuan prinsip immunitas ini hanya diberikan kepada pelapor (whistleblower) yang beritikad baik oleh karena laporan atau pengaduan yng disampaikannya membawa akibat hukum dan berdimensi sosiial bagi orang yang dilaporkan (terlapor).


(4)

DAFTAR PUSTAKA Buku

Crittle, Simon, The Last Good Father (Kisah Nyata Kejayaan dan Kejatuhan Joey Massino), Jakarta : ViolaBooks (Penerbit Hikmah), 2007

Dempster, Quentin, Whistlblowers (Para Pengungkap Fakta), Jakarta : Elsam Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2006

Friedmann, W, Teori & Filsafat Hukum, Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum (Susunan I), Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1993

Fuady, Munir, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2006

Hamdan, M, Tindak Pidana Suap & Money Politics, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2005

Hantijo Soemitro, Ronny, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1990

Hamid A. Attamimi, Teori perundang-Undangan Indonesia, Suatu Sisi Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan Indonesia Jakarta : UI, 1992

Harahap, Krisna, Pemberantasan Korupsi Jalan Tiada Ujung, (Bandung : PT.Grafitri, 2006

Moleong, Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002

Kaligis, OC, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, Bandung : PT Alumni Bandung,2006

Kasim, Ifdhal, Hak Sipil dan Politik (Esai-esai pilihan), Buku 1, Jakarta : Eslam.2001

Kelsen, Hans, Teori Hukum Murni (Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif), Bandung : Nusamedia dan Nuansa,2007

Kusumaatmadja, Mochtar, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Jakarta : Binacipta, Tanpa Tahun


(5)

Lamintang, PAF, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dengan pembahasan Secara Yuridis Menurut Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, Bandung : Sinar Baru,1984

Lesmana, Tjipta, Pencemurun Nama Baik dun Kebebasan Pers antara Indonesia dun Amerika, Jakarta : Erwin Rika Press, 2005

Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung : Mandar Maju, 1994

---, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, Bandung :Mandar Maju, 1995 ---

Disertasi, Makalah, Kamus, Surat Kabar dan Majalah/Tabloid, Internet :

Mudzakkir, Disertasi : Posisi hukum korban kejahatan dalm system peradilan pidana, Program Pasca sarjana Fakultas Hukum UI, 2001

Mulyadi, Mahmud, Modul Perkuliahan Semester Ganjil (III) Tahun Akademik 2007/2008 Konsentrasi Hukum Pidana Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana USU,2007

Mulyadi, Mahmud, Membangun Paradigma Fhilosofis Tujuan Pemidanaan Indonesia, Materi Perkuliahan Pembaharuan Hukum Pidana Program S2 Ilmu Hukum SPS USU T.A 2007/2008

Poerwadarminta, WJS, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 2008

Husein, Yunus , Harian Seputar Indonesia, Artikel : Pentingnya Perlindungan Saksi, Pelapor dan Korban, Harian Seputar Indonesia, 15 Mei 2006

Forum Keadilan No. 42, 5 Maret 2007 Kompas 5 April 2007

Kompas 18 April Zannuba Wahid, Yeny, Opini : Sang Peniup Peluit Kompas 21 Mei 2008

Kompas 30 Mei 2008

Pledoi no. 10 Volume I 2007 Tempo, 14 Oktober 2007


(6)

Tempo, 13 Januari 2008

www.Antikorupsi, org, Koalisi Perlindungan Saksi, diakses pada tanggal 2007

www.Antikorupsi 1(Saksi dan Perlindungan bagi para pelapor haruslah diperluas,

diakses 10 Oktober


Dokumen yang terkait

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PELAPOR TINDAK PIDANA DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

0 15 26

Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pengungkap Fakta (Whistle Blower) Dalam Perkara Pidana Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

0 7 35

PENDAHULUAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM PROSES PERADILAN PIDANA SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 2 12

PENUTUP PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM PROSES PERADILAN PIDANA SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 3 8

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI SAKSI PELAKU YANG BEKERJASAMA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 0 2

UNDANG-UNDANG NO 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

0 0 14

Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelapor Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

0 0 14

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI PENGUNGKAP FAKTA (WHISTLE BLOWER) DALAM PERKARA PIDANA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN | ISMAIL | Legal Opinion 5960 19841 1 PB

0 0 9

TESIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI SAKSI DALAM PERKARA PIDANA DI TINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 JO UU RI NO. 31 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

0 0 18

JURNAL PERLINDUNGAN HUKUM BAGI SAKSI DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

0 0 15