Kesesuaian Dan Parasitisme Anagyrus Lopezi Pada Berbagai Instar Kutu Putih Singkong, Phenacoccus Manihoti Matile Ferrero

PREFERENSI, KESESUAIAN DAN PARASITISME Anagyrus
lopezi (DE SANTIS) (HYMENOPTERA: ENCYRTIDAE)
PADA BERBAGAI INSTAR KUTU PUTIH SINGKONG,
Phenacoccus manihoti MATILE-FERRERO
(HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE)

EVIE ADRIANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Preferensi, Kesesuaian
dan Parasitisme Anagyrus lopezi (De Santis) (Hymenoptera: Encyrtidae) pada
Berbagai Instar Kutu Putih Singkong, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero
(Hemiptera: Pseudococcidae) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016
Evie Adriani
NRP A351130021

Formatted: Gutter: 0 cm

RINGKASAN
EVIE ADRIANI. Preferensi, Kesesuaian dan Parasitisme Anagyrus lopezi (De
Santis) (Hymenoptera: Encyrtidae) pada Berbagai Instar Kutu Putih Singkong,
Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae). Dibimbing
oleh AUNU RAUF dan PUDJIANTO.
Singkong (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu komoditas yang
sangat populer di Indonesia, karena dapat dijadikan sebagai bahan pangan, pakan,
dan bahan baku industri. Indonesia merupakan negara penghasil singkong terbesar
keempat di dunia, dengan produksi mencapai 24.2 juta ton pada tahun 2012. Pada
beberapa tahun belakangan ini, salah satu kendala dalam budidaya singkong

adalah adanya serangan hama baru yaitu kutu putih Phenacoccus manihoti MatileFerrero (Hemiptera: Pseudococcidae). Hama yang berasal dari Amerika Selatan
ini masuk ke Afrika tahun 1973, kemudian Thailand 2008, dan Indonesia tahun
2010. Tanaman yang terserang berat memperlihatkan gejala bunchy top, distorsi
batang, dan daun meranggas. Serangan berat dapat menyebabkan kehilangan hasil
30-50%. Untuk mengendalikan hama ini, pada bulan Maret 2014 Indonesia telah
mendatangkan musuh alaminya yaitu parasitoid Anagyrus lopezi (De Santis)
(Hymenoptera: Encyrtidae) dari Thailand.
Penelitian bertujuan menentukan tingkat: (1) preferensi peletakan telur
parasitoid pada berbagai instar kutu putih; (2) kesesuaian parasitoid pada berbagai
instar kutu putih; dan (3) parasitisme, superparasitisme dan enkapsulasi parasitoid
pada berbagai instar kutu putih. Penelitian dilakukan dengan uji tanpa pilihan dan
uji pilihan berpasangan. Pengujian dilakukan dengan cara memasukkan instar
kutu putih yang sesuai bersama potongan daun singkong ke dalam kurungan mika
berbentuk silinder (t=7 cm, d=10 cm). Ke dalam kurungan kemudian dimasukkan
imago parasitoid dan dibiarkan selama 24 jam. Pengaruh instar inang terhadap
berbagai parameter biologi dan kebugaran parasitoid diperiksa dengan analisis
ragam dan uji t.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada uji tanpa pilihan, tingkat
parasitisasi pada nimfa-2, nimfa-3, dan imago berkisar 7-8 ekor, berbeda sangat
nyata dengan pada nimfa-1 (3.25 ekor). Pada inang nimfa-1, rataan banyaknya

telur parasitoid yang diletakkan yaitu 3.70 butir, jauh lebih sedikit dibandingkan
pada instar lainnya yang berkisar 9-10 butir. Pada uji pilihan berpasangan,
parasitoid A. lopezi lebih memilih nimfa-2, -3, dan imago dibandingkan nimfa-1.
Rataan banyaknya inang yang terparasit yaitu 0.90 hingga 2.30 ekor pada nimfa-1,
jauh lebih rendah dibandingkan pada nimfa-2 (7.55 ekor), nimfa-3 (8.05 ekor),
dan imago (7.40 ekor). Begitu pula banyaknya telur parasitoid yang diletakkan per
inang pada nimfa-1 (0.75-0.99 butir) lebih rendah dibandingkan pada instar
lainnya (1.20-1.39 butir). Terdapat perbedaan nyata antara rataan banyaknya
inang terparasit pada nimfa-2 (4.85 ekor) dengan nimfa-3 (7.45 ekor), serta
banyaknya telur parasitoid yang diletakkan per inang yaitu 1.05 butir pada nimfa2 dan 1.21 butir pada nimfa-3. Banyaknya inang yang terparasit dan banyaknya
telur parasitoid yang diletakkan tidak berbeda pada pasangan perlakuan inang
imago dengan nimfa-2 dan nimfa-3.
Perbedaan instar inang berpengaruh sangat nyata terhadap masa
perkembangan pradewasa parasitoid. Masa perkembangan pradewasa parasitoid

pada inang nimfa-1 yaitu 24.5 hari untuk jantan dan 32.0 hari untuk betina. Masa
perkembangan pradewasa parasitoid yang paling singkat terjadi pada inang imago
P. manihoti, yaitu berkisar 15-16 hari. Perbedaan instar inang juga berpengaruh
nyata terhadap rataan banyaknya keturunan parasitoid yang muncul dan terhadap
nisbah kelamin. Pada inang nimfa-1, banyaknya imago parasitoid yang muncul

4.00 ekor, sedangkan pada instar lainnya berkisar 11-13 ekor. Nisbah kelamin
(proporsi jantan terhadap total keturunan) parasitoid yang muncul dari inang
nimfa-1 lebih banyak jantan yaitu 0.87, sedangkan yang muncul dari inang imago
lebih banyak betina yaitu 0.28.
Tingkat parasitisme A. lopezi pada imago, nimfa-2, dan nimfa-3 kutu putih
berturut-turut 82, 72, dan 71%, lebih tinggi dibandingkan pada nimfa-1 (33%).
Tingkat superparasitisme juga lebih tinggi pada imago (36%) dan nimfa-2 (31%)
dibandingkan pada nimfa-3 (27%), dan paling rendah terjadi pada nimfa-1 (18%).
Begitu pula rataan banyaknya telur yang diletakkan per inang terparasit pada
nimfa-3 dan imago sekitar 1.6 butir lebih tinggi dibandingkan pada nimfa-1 (1.1
butir).
Superparasitisme lebih sering dijumpai pada kutu putih yang berukuran
besar (imago, nimfa-3, nimfa-2) dibandingkan pada inang yang berukuran kecil
(nimfa-1). Dari 55 ekor kutu putih nimfa-1 yang terparasit, sebanyak 90.9% berisi
1 butir, dan sisanya berisi 2 butir (7.3%) dan 3 butir (1.8%) telur parasitoid. Dari
total 446 ekor nimfa-2, -3, dan imago yang terparasit, proporsi yang mengandung
satu butir telur parasitoid berkisar 60-70%, sisanya berisi 2 butir (17-25%), 3 butir
(5-12%), dan ≥ 4 butir (1-4%).
Tingkat enkapsulasi agregat paling tinggi terdapat pada imago (8.40%),
berbeda sangat nyata dengan pada nimfa-1 (1.10%), namun tidak berbeda nyata

dengan nimfa-2 (3.10%) dan nimfa-3 (5.80%). Dari total 257 butir telur parasitoid
yang diletakkan di dalam tubuh imago kutu putih, sebanyak 25 butir mengalami
enkapsulasi. Sementara dari 212, 199, dan 74 butir telur di dalam tubuh nimfa-3, 2, dan -1 yang mengalami enkapsulasi berturut-turut 13, 8, dan 1 butir. Tingkat
enkapsulasi efektif tidak berbeda nyata antara berbagai instar inang, dengan nilai
berkisar antara 1-2%. Dari 163 ekor imago kutu putih yang terparasit, hanya 3
ekor yang terenkapsulasi secara efektif. Begitu pula dari 141 ekor nimfa-3, 143
ekor nimfa-2, dan 65 ekor nimfa-1 yang terparasit, masing-masing tidak lebih dari
2 ekor yang terenkapsulasi secara efektif.
Kata kunci: Anagyrus lopezi, kutu putih, parasitoid, Phenacoccus manihoti,
singkong

Formatted: Indent: First line: 0 cm

SUMMARY
EVIE ADRIANI. Preference, Suitability, and Parasitism of Anagyrus lopezi (De
Santis) (Hymenoptera: Encyrtidae) on Various Instars of Cassava Mealybug,
Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae). Supervised
by AUNU RAUF and PUDJIANTO.
Cassava (Manihot esculanta Crantz) is one of the most popular crops in
Indonesia, since it can be used as food, feed and raw materials for industry.

Indonesia is the fourth largest cassava producer in the world, with the production
reached 24.2 million tons in 2012. In recent years, one of the problems in cassava
cultivation is the invasion of a new pest, namely cassava mealybug Phenacoccus
manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae). The pest was originated
from South America, and came into Africa in 1973, then to Thailand in 2008 and
Indonesia in 2010. Plants attacked show bunchy tops, distorted stems, and leaf
drops. Attack by the cassava mealybug caused yield losses about 30-50%. To
control this pest, Indonesia has introduced a parasitoid Anagyrus lopezi (De
Santis) (Hymenoptera: Encyrtidae) from Thailand in March 2014.
Research was carried out with the objectives to determine: (1) ovipositional
preference of parasitoid on the various stages of mealybug; (2) suitability of
various stages of mealybug for parasitoid development; and (3) level of
parasitism, superparasitism, and encapsulation on various stages of mealybug.
Researches were conducted with no-choice and paired-choice tests, where P.
manihoti and cassava leaves were introduced into a cylinder plastic cage (h=7 cm,
d=10 cm). A single mated female parasitoid then was introduced into the cage for
24 hours. Effects of different host stages on various biological parameters and
fitness of the parasitoid were examined using analysis of variance and t-test.
Our research showed that, for no-choice experiment, parasitisation on
nymph-2, nymph-3, and adult ranged 7-8 mealybugs, and significantly higher

than those on nymph-1 (3.25 mealybugs). Average number of parasitoid eggs laid
per host were 3.70 eggs on nymph-1, and much lower than those on other instars
which were 9-10 eggs. On paired-choice test, female A. lopezi preferred more
nymph-2, nymph-3 and adult than nymph-1. Average number of mealybugs
ranged 0.90 until 2.30 on nymph-1, much lower as compared to those on nymph-2
(7.55 mealybugs), nymph-3 (8.05 mealybugs), and adult (7.40 mealybugs).
Similarly, number of eggs laid by parasitoids on mealybug nymph-1 (0.75-0.99
eggs) was lower than those on other instars (1.20-1.39 eggs). There was a
significant difference of number of host parasitized between nymph-2 (4.85
mealybugs) and nymph-3 (7.45 mealybugs), and number of eggs laid per host on
nymph-2 (1.05 eggs) and nymph-3 (1.21 egss). On paired-choice test, number of
mealybugs parasitized and number of eggs laid by parasitoids per host were not
significantly different between those on adults and nymph-2 and nymph-3.
Host stages significantly affected parasitoid immature development.
Immature development of parasitoid on mealybug nymph-1 averaged 24.5 days
for male and 32.0 days for female. The shortest immature development (15-16
days) occurred when parasitoid was reared on adult mealybugs. Host stages also
affected number of adult parasitoids emerged and sex ratio. Number of parasitoids
emerged from mealybug nymph-1 were 4 individuals, while from others stages


were 11-13 individuals. Sex ratio (proportion of male to total progeny) was male
biased (0.87) on nymph-1, whereas on adult mealybugs was female biased (0.28).
Rate of parasititation of A. lopezi on adult, nymph-2, nymph-3 were 82%,
72%, and 71%, respectively, and higher than those on nymph-1 (33%). Rate of
superparasitism on adult was 36% and nymph-2 31% which were higher than
those on nymph-3 (27%), and the lowest was on nymph-1 (18%). Similarly, the
number of parasitoid eggs laid on nymph-3 and adult (1.6 eggs) were higher than
those on nymph-1 (1.1 eggs).
Superparasitism was more common on bigger size mealybugs (adult,
nymph-3, and nymph-2) than those on smaller one (nymph-1). Based on 55
nymph-1 mealybugs parasitized, about 90.9% with 1 egg, and the rests with 2
eggs (7.3%) and 3 eggs (1.8%). From 446 nymph-2, nymph-3, and adult
parasitized, proportion with 1 egg was 60-70%, 2 eggs 17-25%, 3 eggs 5-12%,
and ≥ 4 eggs was about 1-4%.
Rate of agregate encapsulation was highest on adult (8.40%), and differed
significantly with those on nymph-1 (1.10%), but not with nymph-2 (3.10%) and
nymph-3 (5.80%). As many as 25 out of 257 eggs laid in adult mealybug were
encapsulated. Whereas of 212 eggs laid on nymph-3, 199 eggs on nymph-2, and
74 eggs on nymph-1, about 13, 8, and 1 parasitoid eggs were respectively
encapsulated. Rate of effective encapsulation was not significantly different

among various stages of mealybug, and ranged 1-2%. Only 3 out of 163 mealybug
adults with effective encapsulation. Similarly, from 141 nymph-3, 143 nymph-2,
and 65 nymph-1, no more than two parasitized mealybugs with effective
encapsulation.
Key words: Anagyrus lopezi, parasitoid, mealybug, cassava, Phenacoccus
manihoti

Formatted: Indent: Left: 0 cm, Hanging: 2.5 cm

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam
bentuk apa pun tanpa izin IPB.

PREFERENSI, KESESUAIAN DAN PARASITISME Anagyrus
lopezi (DE SANTIS) (HYMENOPTERA: ENCYRTIDAE)

PADA BERBAGAI INSTAR KUTU PUTIH SINGKONG,
Phenacoccus manihoti MATILE-FERRERO
(HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE)

EVIE ADRIANI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Entomologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Nina Maryana, MSi

Judul Tesis :


Nama
NRP

:
:

Preferensi, Kesesuaian dan Parasitisme Anagyrus lopezi (De
Santis) (Hymenoptera: Encyrtidae) pada Berbagai Instar Kutu
Putih Singkong Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero
(Hemiptera: Pseudococcidae)
Evie Adriani
A351130021

Formatted: Indent: Hanging: 2.75 cm, Right: -1 cm

Formatted: Indent: Hanging: 2 cm
Formatted: Indent: Hanging: 2 cm, Right: -1 cm

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof
DrDr
Ir Ir
Aida
Vitayala
S Hu
Prof
Aunu
Rauf, MSc
Ketua

Dr Ir Pudjianto, MSi
Anggota

Diketahui oleh
Ketua Program Studi Entomologi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Pudjianto, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 28 Januari 2016

Tanggal Lulus:

Formatted: Tab stops: 8.5 cm, Left + Not at 8.25 cm

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala nikmat dan karunia-Nya yang tak terhingga sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis dengan judul “Preferensi,
Kesesuaian dan Parasitisme Anagyrus lopezi (De Santis) (Hymenoptera:
Encyrtidae) pada Berbagai Instar Kutu Putih Singkong, Phenacoccus manihoti
Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae)”, dapat selesai dengan baik. Karya
ilmiah ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada Program studi Entomologi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian merupakan bagian dari proyek CIAT-Asia “Emerging Pests and
Diseases of Cassava in Southeast Asia: Seeking eco-efficient solutions to
overcome a threat to livelihoods and industries”.
Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof Dr Ir
Aunu Rauf, MSc dan Bapak Dr Ir Pudjianto, MSi selaku pembimbing yang telah
memberikan ilmu, pengarahan, motivasi, kritik dan saran selama penulis mulai
merencanakan penelitian, melaksanakan penelitian hingga penyelesaian penelitian
dan penyelesaian penulisan karya ilmiah. Ucapan terima kasih juga ditujukan
kepada ketua program studi Entomologi, bapak Dr. Ir. Pudjianto, MSi atas
pengarahannya. Terima kasih disampaikan kepada Pimpinan dan seluruh staf
Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB, Pimpinan dan staf
Laboratorium Ekologi Serangga atas segala bantuan bantuan fasilitas untuk
penelitian penulis. Terima kasih juga disampaikan kepada Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi-Kementerian Ristek dan Pendidikan Tinggi atas bantuan
Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN) selama proses
perkuliahan berlangsung.
Rasa hormat dan ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayah (M.
Arfah Djama), Ibu (Hasrawati) serta seluruh keluarga atas doa, motivasi dan
dukungan yang selalu diberikan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada
Laboran Ekologi Serangga, Bapak Wawan Yuandi serta rekan-rekan
Laboratorium Ekologi Serangga (Pak Budi, Mbak Rani, Bu Sulaeha, Mbak Tutut,
Mbak Indah, Mbak Uce, Mbak Yeni, Mas Hendri, Mas Edwin, Eka, Juju, Nisa,
Safira dan Fajrin), dan juga rekan-rekan Entomologi 2013 atas kebersamaan dan
kekompakannya, serta terima kasih kepada rekan-rekan HPT Unhas 2008 (Aryo
Ent 2014, Hishar Fit 2012 dan Asti Fit 2012) atas motivasi dan bantuannya serta
pihak-pihak yang telah membantu dalam penelitian dan pembuatan tesis ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengembangan disiplin ilmu
Entomologi dan pengendalian hayati dan bagi yang membutuhkan dalam
pengembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Maret 2016

Evie Adriani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis
II TINJAUAN PUSTAKA
Kutu Putih Phenacoccus manihoti
Morfologi
Biologi dan Ekologi
Kerusakan pada Tanaman
Parasitoid Anagyrus lopezi
Morfologi
Biologi dan Ekologi
Interaksi A. lopezi dengan Inang Utamanya
Pemanfaatan A. lopezi dalam Pengendalian Hayati P. manihoti
III PENGARUH INSTAR INANG TERHADAP OVIPOSISI,
PERKEMBANGAN, DAN NISBAH KELAMIN Anagyrus lopezi
(DE SANTIS) (HYMENOPTERA: ENCYRTIDAE), PARASITOID
Phenacoccus manihoti MATILE-FERRERO (HEMIPTERA:
PSEUDOCOCCIDAE)
Abstrak
Abstract
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil
Pembahasan
Kesimpulan
Daftar Pustaka
IV TINGKAT PARASITISME, SUPERPARASITISME, DAN
ENKAPSULASI Anagyrus lopezi (DE SANTIS) (HYMENOPTERA:
ENCYRTIDAE), PARASITOID KUTU PUTIH SINGKONG
Phenacoccus manihoti MATILE-FERRERO (HEMIPTERA:
PSEUDOCOCCIDAE)
Abstrak
Abstract
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil
Pembahasan
Kesimpulan
Daftar Pustaka
V PEMBAHASAN UMUM

xi
xi
xii
1
1
2
3
3
4
4
4
5
5
6
6
6
8
9

11
11
11
12
13
17
20
21
21

23
23
23
24
25
26
29
30
30
33

4
VI KESIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
VII DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

38
38
38
39
45
52

5

DAFTAR TABEL

3.1

Parasitisasi ( x ±SD) A. lopezi pada berbagai instar inang

17

3.2

Preferensi ( x ±SD) parasitoid pada berbagai pasangan instar inang

18

3.3

Masa perkembangan pradewasa parasitoid ( x ±SD) pada berbagai
instar inang

19

3.4

Banyaknya keturunan dan nisbah kelamin parasitoid ( x ±SD) yang
muncul dari berbagai instar inang
19

3.5

Ukuran panjang tubuh dan tibia ( x ±SD) imago betina parasitoid
yang muncul dari berbagai instar inang
Tingkat parasitisme, superparasitisme, dan banyaknya

4.1

4.2
4.3

telur ( x ±SD) yang diletakkan parasitoid A. lopezi pada kutu putih
P. manihoti
Persentase banyaknya telur parasitoid A. lopezi yang
diletakkan pada kutu putih P. manihoti
Tingkat enkapsulasi agregat dan efektif parasitoid A. lopezi
( x ±SD) oleh kutu putih P. manihoti

20

26
27
28

DAFTAR GAMBAR
2.1
2.2
2.3
2.4
3.1
3.2
3.3
3.4
4.1
4.2
4.3

Kutu P. manihoti pada slide preparat
Gejala serangan P. manihoti
Fase perkembangan A. lopezi
Imago betina Anagyrus lopezi
Mumi kutu P. manihoti
Stadium inang kutu putih P. manihoti
Imago A. lopezi
Telur A. lopezi
Telur parasitoid A. lopezi
Larva A. lopezi
Kutu putih P. manihoti dengan telur atau larva
parasitoid yang terenkapsulasi (berwarna hitam) di dalam tubuhnya

4
6
7
7
14
15
16
18
27
28
28

DAFTAR LAMPIRAN
1.

2.
3.
4.
5.
6.

Kurungan berbentuk tabung yang digunakan pada pengujian
kerentanan instar inang dan preferensi instar inang serta
pada pengamatan parasitisme dan enkapsulasi
Kurungan berbentuk tabung yang digunakan pada pengujian
kesesuaian instar inang
Perbanyakan massal parasitoid A. lopezi
Hasil pengujian kerentanan instar inang (uji tanpa pilihan)
Hasil pengujian preferensi instar inang (uji dengan pilihan)
Extra floral nectar pada tanaman singkong

46
46
46
47
48
51

I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Singkong (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu komoditas
pangan yang sangat populer, baik untuk dikonsumsi langsung oleh masyarakat
maupun sebagai bahan baku berbagai industri di Indonesia. Meningkatnya minat
masyarakat dalam pemanfaatan singkong sebagai bahan pangan merupakan salah
satu indikasi positif bagi tercapainya upaya diversifikasi pangan dalam
mendukung ketahanan pangan di Indonesia (LIPI 2014). Singkong berasal dari
benua Amerika, tepatnya dari negara Brazil. Penyebarannya hampir ke seluruh
dunia, antara lain Afrika, Madagaskar, India, dan Tiongkok. Singkong
berkembang di negara-negara yang terkenal wilayah pertaniannya dan masuk ke
Indonesia pada 1852. Singkong telah dijadikan referensi solusi alternatif sebagai
sumber pangan masa depan sekaligus pakan ternak diIndonesia (RISTEK 2001).
Indonesia merupakan negara penghasil singkong terbesar keempat di dunia
setelah Brazil, Nigeria, dan Thailand. Produksi singkong di Indonesia pada 2012
mencapai 24.2 juta ton, dan menurun menjadi 23.9 juta ton pada 2013 (BPS
2014). Kendala utama yang menyebabkan menurunnya produktivitas yaitu faktor
bibit dan luasan lahan pertanaman. Selain itu, ada juga faktor budidaya dan
serangan hama dan penyakit.
Kutu putih Phenacoccus manihoti Matile-Fererro (Hemiptera: Pseudococcidae) merupakan hama yang paling banyak menimbulkan kerusakan pada
pertanaman singkong. Hama ini berasal dari Amerika Selatan dan masuk ke
Afrika pada 1973 yang menyebabkan kehilangan hasil hingga 82% (Nwanze
1982; Schulthess et al. 1991). Pada 2008, kutu putih P. manihoti dilaporkan
terdeteksi di Thailand dan menyebabkan kehilangan hasil sekitar 30% (Winotai
2010). Di Indonesia, hama P. manihoti pertama kali ditemukan di Bogor pada
2010 (Muniappan et al. 2011). Berdasarkan survei petani di Kabupaten Bogor,
kehilangan hasil diperkirakan berkisar 30-50% (Dwianri 2013; Wardani 2015).
Pengendalian kutu putih P. manihoti perlu dilakukan dengan tepat dan
menggunakan cara yang tidak berbahaya bagi lingkungan. Pengendalian yang
ramah lingkungan dapat berupa pengendalian secara biologi dengan cara
memanfaatkan organisme ataupun mikroorganisme antagonis seperti parasitoid,
predator, dan patogen serangga. Pengendalian yang telah dilakukan untuk
mengatasi serangan kutu putih pada singkong di Afrika adalah dengan
menggunakan pengendalian hayati, seperti pemanfaatan beberapa spesies
kumbang Coccinellidae sebagai predator dan Anagyrus lopezi (De Santis)
(Hymenoptera: Encyrtidae) sebagai parasitoid (James et al. 2000). Menurut
Chakupurakal et al. (1994), populasi parasitoid A. lopezi meningkat dan mampu
bertahan hingga 4 tahun setelah pelepasan pertama.
Keberhasilan pengendalian hayati di Afrika telah mendorong pemerintah
Thailand untuk melakukan introduksi parasitoid A. lopezi pada tahun 2010 (FAO
2011). Berdasarkan keberhasilan parasitoid A. lopezi dalam mengendalikan
populasi P. manihoti di Afrika dan Thailand, maka Fakultas Pertanian, IPB
melalui kerja sama dengan CIAT dan FAO telah mendatangkan parasitoid A.
lopezi dari Thailand ke Indonesia pada Maret 2014 (Wyckhuys et al. 2014). Kini

2
parasitoid tersebut telah berhasil dikembangbiakkan di laboratorium Bionomi dan
Ekologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB.
Tahapan berikutnya dari upaya introduksi musuh alami adalah pengujian
kekhususan inang. Hasil penelitian Karyani (2015) menunjukkan bahwa dari
empat spesies kutu putih yang diuji, parasitoid A. lopezi hanya memarasit P.
manihoti. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa pelepasan parasitoid di
lapangan diperkirakan tidak akan menimbulkan pengaruh buruk terhadap spesies
kutu putih lain yang menghuni pertanaman singkong.
Keberhasilan pengendalian hayati dengan parasitoid sering menghadapi
kendala biologis, di antaranya adalah superparasitisme. Superparasitisme dapat
terjadi karena seekor betina meletakkan telur pada inang yang sebelumnya sudah
diletaki telur oleh dirinya sendiri (self-superparasitism) atau oleh betina yang lain
(conspecifics superparasitism) (van Dijken et al. 1992). Kendala biologis lain
yang memengaruhi keefektifan suatu parasitoid adalah enkapsulasi. Enkapsulasi
merupakan mekanisme imun dari inang sebagai respon terhadap keberadaan
endoparasitoid atau organisme asing lain di dalam tubuh (Blumberg 1997).
Upaya pengendalian hayati kutu putih P. manihoti dengan parasitoid A.
lopezi perlu didukung pemahaman tentang interaksi inang-parasitoid. Pemahaman
interaksi ini diperlukan tidak hanya untuk keperluan pembiakan massal parasitoid,
tetapi juga dalam kaitannya dengan waktu yang tepat untuk melakukan pelepasan
parasitoid (Sagarra dan Vincent 1999). Hingga saat ini, informasi tentang tingkat
parasitisasi dan superparasitisme; kerentanan dan kesesuaian berbagai instar P.
manihoti bagi kehidupan parasitoid A. lopezi berupa keberhasilan keturunan
parasitoid yang muncul, lama perkembangan pradewasa parasitoid dan nisbah
kelamin belum diketahui. Begitu pula tingkat enkapsulasi parasitoid A. lopezi oleh
kutu putih P. manihoti belum diketahui.

Rumusan Masalah
P. manihoti merupakan hama penting pada tanaman singkong yang dapat
menurunkan hasil panen. Oleh karena itu, diperlukan pengendalian untuk
menurunkan populasi hama tersebut. Pengendalian yang ramah lingkungan
merupakan cara yang efektif untuk menekan populasi P. manihoti. Untuk maksud
tersebut, parasitoid A. lopezi telah diintroduksikan dari Thailand ke Indonesia.
Upaya pengendalian hayati perlu didukung pemahaman tentang tingkat
parasitisasi dan superparasitisme; kerentanan dan kesesuaian berbagai instar P.
manihoti bagi kehidupan parasitoid A. lopezi yang berupa banyaknya keturunan
parasitoid yang berhasil muncul, lama perkembangan pradewasa parasitoid dan
nisbah kelamin dari A. Lopezi. Selain itu, kemampuan kutu putih untuk
mengenkapsulasi parasitoid perlu pula dipahami. Melalui pemahaman tadi kiranya
dapat ditentukan instar kutu putih yang paling sesuai untuk keperluan pembiakan
massal parasitoid.

3
Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan menentukan tingkat: (1) preferensi peletakan telur
parasitoid pada berbagai instar kutu putih; (2) kesesuaian parasitoid pada berbagai
instar kutu putih; dan (3) parasitisme, superparasitisme dan enkapsulasi parasitoid
pada berbagai instar kutu putih.

Hipotesis
Perbedaan instar kutu putih P. manihoti memengaruhi oviposisi, masa
perkembangan pradewasa, jumlah keturunan imago yang berhasil muncul, nisbah
kelamin, tingkat parasitisme dan superparasitisme serta enkapsulasi parasitoid A.
lopezi.

4

II TINJAUAN PUSTAKA
Kutu Putih Phenacoccus manihoti
Morfologi
Ciri-ciri dari P. manihoti yaitu tubuh berbentuk bulat telur, berwarna merah
muda, bagian luar tubuhnya terdapat lapisan lilin berwarna putih, Antena P.
manihoti nimfa-1 berjumlah 6 ruas dan pada perkembangan instar selanjutnya
berjumlah 9 ruas (CABI 2008). P. manihoti juga memiliki 18 pasang serari
(Gambar 2.1), memiliki banyak pori quineokular pada permukaan ventral yang
berjumlah 32–68 buah, terdapat dentikel pada bagian tarsus, pada bagian dorsal
dan toraks banyak ditemukan pori multilokular, serta terdapat saluran tubular
pada sekitar bagian dorsal (Parsa et al. 2012).
Telur berwarna kuning, berbentuk bulat lonjong, berukuran panjang 0.33
mm dan lebar 0.18 mm. Telur tersebut diletakkan di dalam kantung telur yang
dilindungi oleh serabut lilin berwarna putih. Nimfa terdiri atas 3 instar, nimfa
instar-1 berukuran panjang 0.41 mm dan lebar 0.17 mm, instar-2 berukuran
panjang 0.60 mm dan lebar 0.26 mm, serta instar-3 berukuran panjang 0.86 mm
dan lebar 0.39 mm dan imago berukuran panjang 1.25-0.63 mm. Seluruh instar P.
manihoti berwarna merah muda (Saputro 2013).

Gambar 2.1 Kutu P. manihoti pada slide preparat: (a) seluruh tubuh, (b) sirkulus,
(c) pori multilokular, (d) antena, (e) pori quineokular, (f) pori
trilokular ventral (Karyani 2014).

5
Biologi dan Ekologi
P. manihoti merupakan hama yang bersifat partenogenetik telitoki, yaitu
semua keturunan yang dihasilkan adalah betina. Siklus hidup P. manihoti
berlangsung sekitar 21 hari, dengan perincian telur 7-8 hari, nimfa-1 4.58 hari,
nimfa-2 4.20 hari, dan nimfa-3 4.58 hari. Rataan lama hidup imago 34.38 hari,
dengan keperidian 570 butir telur. Laju pertambahan instrinsik (rm) sebesar 0.213
keturunan betina per betina per hari. Rata-rata masa generasi (T) adalah 28.48 hari
dan laju reproduksi bersih (Ro) selama periode ini sebesar 456.02. Laju
pertambahan terbatas (λ) sebesar 1.24 kali per hari dan masa ganda (Dt) selama
3.22 hari (Saputro 2013).
Koloni P. manihoti biasanya berada pada bagian bawah daun singkong dan
terutama menyerang bagian pucuk tanaman, sehingga mengakibatkan distorsi
pada tanaman singkong (CABI 2008). Nimfa-1 merupakan nimfa yang aktif
bergerak dan biasa disebut dengan crawler, nimfa tersebut aktif dalam penyebaran
sedangkan instar kutu putih yang lain bergerak lamban dan cenderung menetap
pada inangnya (Saputro 2013). Pada saat menetap pada permukaan daun, P.
manihoti mengangkat dan menurunkan antena dan tungkainya secara berulangulang, kemudian labium dibiarkan menempel pada permukaan daun agar
beradaptasi dengan phylloplane. Sebelum stilet melakukan penetrasi ke dalam
jaringan tanaman, P. manihoti mengevaluasi kualitas gizi tanaman dengan cara
melakukan kontak berulang-ulang menggunakan organ gustatori dan organ
penciuman yang terletak di bagian labium dan antena P. manihoti (Renard et al.
1998).
Suhu lingkungan yang sesuai bagi perkembangan P. manihoti yaitu 14.7˚C
sampai 28˚C. Hama ini biasanya biasanya berkembang pesat sepanjang musim
kemarau. Pada kondisi tersebut, imago P. manihoti dapat menghasilkan sekitar
500 telur dengan rata-rata perkembangan telur menjadi imago sekitar 33 hari.
Masa inkubasi telur selama 8 hari (CABI 2008). Potensi peningkatan populasi P.
manihoti di lapangan, dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti iklim, suhu,
tanaman inang dan musuh alami. Faktor iklim yang diperkirakan berpengaruh
kuat terhadap perkembangan populasi P. manihoti adalah curah hujan, semakin
tinggi curah hujan di lapangan, maka semakin rendah populasi dari P. manihoti
(Wardani 2015).
Tanaman singkong M. esculanta dan beberapa spesies dari Manihot
merupakan tanaman inang dari P. manihoti. Walaupun demikian, di laboratorium
kutu P. manihoti dapat dipelihara pada Talinum triangulare (sejenis ginseng) dan
Aqeratum comyzodies (babadotan) (Essien et al. 2013). Varietas tanaman
singkong yang rentan terhadap serangan P. manihoti yaitu yang mengandung
kadar asam sianida (HCN) yang tinggi yaitu varietas Adira-2, Malang-4, Malang6, UJ-3 dan UJ-5; sedangkan varietas yang rendah kadar asam sianida (HCN)
yaitu Adira-1 (Wardani 2015).
Kerusakan pada Tanaman
P. manihoti menyerang tanaman singkong, terutama pada bagian pucuk .
Pada keadaan serangan berat, kutu putih P. manihoti dapat ditemukan menyerang
pada permukaan bawah daun yang sudah tua (Gambar 2.2), bagian bawah daun
yang terserang akan ditutupi oleh populasi kutu putih yang mengeluarkan embun
jelaga atau kotoran dari P. manihoti. Selanjutnya, bagian tersebut diserang oleh

6
fungi yang berwarna hitam, sehingga mampu mengurangi fotosintesis. Gejala
serangan P. manihoti yaitu bagian atas tanaman menjadi kerdil atau “bunchy top”
dan distorsi batang, sehingga memiliki kualitas buruk sebagai bibit singkong yang
berdampak pada tanaman tahun berikutnya (Neuenshwander dan Hammond
1988).
Laporan outbreak pertama yang disebabkan oleh P. manihoti pada April
2008 yang menyerang 200 ribu hektar lahan singkong di Thailand, sehingga
mengakibatkan produksi singkong mengalami penurunan hingga 25% (Cox
2010). Hama kutu putih P. manihoti mengakibatkan kerugian hingga 50% di
Indonesia pada 2010. Hama ini menyebar dengan sangat cepat pada musim
kemarau, sehingga dapat mengakibatkan kerugian hingga 90% (Wardani 2015).

a

b

Gambar 2.2 Gejala serangan P. manihoti; (a) daun singkong yang terserang P.
manihoti, (b) kerdil pada bagian pucuk dan distorsi batang
(Dokumentasi pribadi)

Parasitoid Anagyrus lopezi
Morfologi
Ciri-ciri A. lopezi yaitu tubuh berukuran 1.26 -1.75 mm (Karyani 2015),
funikel terdiri dari 4 ruas, palpus maksila terdiri dari 4 ruas, dan palpus labium
terdiri dari 3 ruas. Betina A. lopezi mempunyai skapus berbentuk rata dan lebar,
tiap ruas pada funikel lebih panjang daripada skapus, clavus terdiri dari 3 ruas,
mesoskutum tanpa notauli. Pada bagian sayapnya terdapat vena submarginal yang
tidak lebih besar dari stigma, gaster lebih pendek dari toraks dan ovipositor
tersembunyi, sedangkan jantan A. lopezi mempunyai ciri-ciri skapus berbentuk
rata serta sedikit lebar, dan terdapat 6 ruas pada funikel dan clavus (Noyes dan
Hayat 1994; Moursi 1948).
Biologi dan Ekologi
A. lopezi merupakan endoparasitoid dengan larva terdiri dari 4 instar. Total
siklus hidup mulai dari telur (Gambar 2.3) hingga imago (Gambar 2.4) yaitu 1125 hari, dengan rataan 18 hari. Lama stadium telur berlangsung 2 hari, larva
instar-1 berlangsung 1 hari, larva instar-2 1 hari, larva instar-3 2 hari, instar-4 4
hari, dan pupa 6 hari (Odebiyi dan Bokonon-Ganta 1986). Pupa memiliki kokon
berwarna kuning yang terdapat di lapisan luar akhir posterior. Imago muncul

7
diantara operkulum yang terpotong pada bagian ujung posterior inang yang telah
terparasit (Noyes dan Hayat 1994).
A. lopezi merupakan parasitoid spesifik pada inang P. manihoti. Pada saat
peletakan telur, bekas tusukan ovipositor di integumen inang akan terlihat jelas.
Telur A. lopezi terletak pada integumen inang serta memiliki kemampuan
berkembang lama dan berbentuk bulat telur. Tidak terdapat lapisan aeroskopik
pada telur sebelum embrio berkembang dengan menyeluruh. Setelah telur
menetas, larva yang bersifat apneustik akan mengapung secara bebas dalam
rongga tubuh inang (Noyes dan Hayat 1994; Maple 1947).
a

b

c

Gambar 2.3 Fase perkembangan A. lopezi: a) telur; b) larva instar-1 tampak
lateral; c) larva instar-4 tampak lateral (Odebiyi & Bokonon-Ganta
1986)
Parasitoid A. lopezi merupakan parasitoid soliter dengan tipe
perkembangbiakan partenogenesis arenotoki. A. lopezi mampu bereproduksi pada
kondisi lingkungan mencapai suhu 29˚C. Dalam kondisi yang baik di lapangan,
satu ekor betina A. lopezi mampu meletakkan 5–6 telur/hari, sedangkan di
laboratorium yang terdapat banyak inang, betinaA. lopezi mampu meletakkan
telur hingga 45 telur (Rivnay dan Perzelan 1943).
Lama hidup A. lopezi yaitu 25 hari bila meletakkan telur, sedangkan 13 hari
bila tidak meletakkan telur. Seekor imago betina mampu meletakkan telur hingga
68 telur selama hidupnya. Nisbah kelamin dari A. lopezi yaitu 1:2.3 (Neuenschwander dan Hammond 1988).

Gambar 2.4 Imago betina Anagyrus lopezi (Georgen 2010)

8
Interaksi A. lopezi dengan Inang Utamanya
Tahapan pemilihan inang menurut Godfray (1994) yang pertama yaitu
parasitoid menentukan habitat inang, kemudian penemuan inang lalu penerimaan
inang dan yang terakhir kesesuaian inang. Penentuan habitat inang yaitu dengan
cara mengenali jenis tanaman yang dimakan oleh inang. Faktor yang
dipertimbangkan oleh parasitoid dalam menentukan preferensi habitat inang yaitu
temperatur, kelembaban, intensitas cahaya, angin, sumber makanan, kondisi yang
baik untuk terbang dan habitat yang baik untuk berjalan. Intensitas cahaya yang
tinggi baik bagi aktifitas beberapa parasitoid (Vinson 1976).
Pada penentuan lokasi inang, parasitoid dapat secara langsung menemukan
inang melalui senyawa kimia yang dikeluarkan oleh inang maupun secara tidak
langsung melalui aktifitas yang dilakukan oleh inang. Beberapa sinyal yang
digunakan oleh parasitoid dalam menemukan lokasi inang yaitu menggunakan
organ penglihatan, organ pendengaran, organ penciuman dan organ perabaan.
Cara parasitoid mengenali inangnya meliputi adanya: senyawa kimia yang
berasosiasi dengan inang, embun madu yang dikeluarkan oleh inang, senyawa
kimia dari fungi yang bersimbiose dengan inang, senyawa kimia yang dikeluarkan
oleh tumbuhan yaitu zat volatil yang dikeluarkan oleh tanaman ketika terserang
oleh hama serta mengenali feromon yang dikeluarkan oleh jantan dan betina
parasitoid. Hal tersebut umumnya hanya mampu dilakukan oleh parasitoid betina
(Godfray 1994).
Salah satu penyebab betina A. lopezi menemukan inangnya yaitu berasal
dari senyawa kimia yang dihasilkan oleh tanaman singkong karena adanya respon
atau gangguan dari sekumpulan P. manihoti (Nadel dan Alphen 1987). Imago A.
lopezi betina tertarik pada senyawa kimia berupa zat volatil dari singkong yang
terserang P. manihoti. Respon tersebut menguntungkan A. lopezi untuk
menemukan inang. Jadi, terdapat simbiosis mutualisme antara singkong dengan
parasitoid A. lopezi (Souissi dan Le Ru 1999).
Setelah parasitoid menemukan inangnya, maka parasitoid dihadapkan pada
berbagai pertimbangan untuk mengambil keputusan yaitu menggunakan inang
sebagai tempat peletakan telur, menolak inang untuk meletakkan telur dan
memakan inang (host feeding). Pertimbangan yang umum dalam penerimaan
inang yaitu kualitas inang serta kecukupan nutrisi dari inang untuk menunjang
perkembangan keturunannya (Godfray 1994). Pada pengujian yang dilakukan
terdapat pada tahapan ini.
Pada penerimaan inang, sebelum parasitoid memutuskan untuk meletakkan
telurnya, parasitoid melakukan pemilahan inang meliputi inang sehat dengan
inang sakit, inang berukuran besar dengan inang berukuran kecil dan inang yang
telah dipararasit dengan inang yang belum diparasit. Setelah itu akan muncul
stimulus untuk meletakkan telur atau kesesuaian inang. Setelah meletakkan telur,
parasitoid akan mengeluarkan senyawa kimia penanda pada inangnya. Hal
tersebut berfungsi untuk menghindari superparasitisme, serta membantu parasitoid
betina lain agar tidak meletakkan telur di inang yang telah terparasit (Godfray
1994).
Selain memparasitisasi inang, parasitoid Anagyrus juga dapat menginvasi
inang dengan cara mengambil sekitar 6–22% cairan tubuh inang (host feeding)
pada permukaan tubuh Phenacoccus, kemudian parasitoid menginvasi lebih lanjut
11–34% dengan luka mekanik yang disebabkan oleh peletakan telur dengan

9
menggunakan ovipositornya. Instar-1 merupakan tahapan inang yang paling
sering mengalami host feeding (Driesche et al. 1987). Kopulasi betina A. lopezi
hanya terjadi sekali, sedangkan jantan lebih dari sekali. Betina yang kopulasi
dapat memproduksi keturunan jantan dan betina atau disebut deuterotoki,
sedangkan betina yang tidak kopulasi hanya memproduksi jantan saja atau disebut
arenotoki(Odebiyi dan Bokonon-Ganta 1986).
Telur yang telah diletakkan oleh parasitoid A. lopezi tidak sepenuhnya
dapat berkembang dengan baik karena adanya respon enkapsulasi yang diberikan
oleh P. manihoti (Giordanengo dan Nenon 1990). Sistem pertahanan inang yang
paling umum adalah kemampuan untuk mengenkapsulasi telur atau larva instar
awal dari parasitoid (Godfray 1994). Enkapsulasi yaitu pertahanan umum yang
diberikan oleh inang dalam menanggapi invasi dari endoparasitoid atau organisme
asing lainnya (Blumberg 1997). Proses enkapsulasi ini melibatkan kolaborasi dari
sel yang berbeda yaitu hemosit yang mampu mengenal organisme pengganggu
yang terdapat di dalam tubuh inang, sel tersebut akan menempel pada organisme
pengganggu tersebut. Selanjutnya memberi sinyal kepada sel lain untuk
membentuk kapsul melanin setelah parasitoid meletakkan telurnya ke inang,
mungkin telur atau larva parasitoid akan tertekan dan sulit untuk bernafas
(Wajnberg dan Ris 2009). Enkapsulasi membawa efek yang kurang baik dalam
pengendalian hayati dan tidak efektif dalam mempertahankan keberadaan
parasitoid yang eksotik atau hasil introduksi di daerah yang baru. Faktor yang
memengaruhi frekuensi enkapsulasi parasitoid dalam Famili Psuedococcidae
meliputi: inang dan spesies parasitoid, usia fisiologis inang, kondisi fisiologis
inang, superparasitisme, suhu dan tanaman inang (Blumberg 1997).
Pseudococcus calceolariae mampu mengenkapsulasi sebesar 89% dari
inang yang ada. Planococcus citri juga dapat mengenkapsulasi sebesar 60% dari
inang yang ada. Hal ini dikarenakan adanya respon imun yang tinggi dari inang
tersebut (Suma et al. 2011). Telur yang diletakkan oleh A. lopezi dapat
dienkapsulasi oleh P. manihoti hingga sekitar 25%, walaupun demikian larva
seringkali dapat melepaskan diri dari kapsul dan berhasil hidup hingga menjadi
imago (Giordanengo dan Nenon 1990).
Nisbah kelamin A. lopezi dapat dengan mudah ditentukan dalam pembiakan
di laboratorium. Instar yang muda atau instar-1 dan -2 dapat menghasilkan imago
parasitoid jantan karena ukurannya yang lebih kecil, sedangkan instar-3 dan
imago kutu putih dapat segera menghasilkan imago parasitoid betina. Oleh karena
sifat A. lopezi yang selektif dalam memilih inang, maka A. lopezi dapat segera
meletakkan telur ketika telah menemukan inang. Nisbah kelamin dari populasi A.
lopezi yang terdapat di lapangan tergantung pada kepadatan inang. P. manihoti
dapat meletakkan telur pada inang kecil untuk produksi imago parasitoid jantan
dan inang besar untuk produksi imago parasitoid betina (Dijken et al. 1991).
Waktu oviposisi betina yaitu 13 hari dan dapat bertahan hidup hingga 25 hari
(Odebiyi dan Bokonon-Ganta 1986).
Pemanfaatan A. lopezi dalam Pengendalian Hayati P. manihoti
Anagyrus adalah genus dari famili Encyrtidae yang paling sukses digunakan
dalam pengendalian hayati hama (Noyes dan Hayat 1994). Salah satu anggotanya
adalah A. lopezi yang biasanya meletakkan telur pada instar-2 dan instar-3 kutu P.
manihoti (Dijken et al. 1991). Spesies lain seperti A. kamali yang memarasit M.

10
hirsutus dapat meletakkan telur pada semua instar dan imago, tetapi lebih banyak
meletakkan telur pada instar-3, hal ini disebabkan ukuran tubuhnya lebih besar
dan tingkat enkapsulasinya kurang atau tidak ada jika dibandingkan dengan
imago yang dapat mengenkapsulasi telur parasitoid hingga 60% (Sagarra dan
Vincent 1999). Spesies lainnya yaitu A. mangicola dapat meletakkan telur pada
semua instar dan imago dari kutu putih mangga (Rastrococcus invadens)
(Bokonon-Ganta et al. 1995).
Peledakan hama P. manihoti pertama kali terjadi di Kongo pada 1973
(Herren dan Neuenschwander 1991), mengakibatkan gejala kerdil pucuk dan
distorsi tanaman, sehingga terjadi kehilangan hasil hingga 80%. Selain itu, sekitar
200 juta penduduk di Afrika kekurangan karbohidrat, protein, dan vitamin (Herren
1987). Oleh sebab itu, dilakukan introduksi A. lopezi pada 1981 yang mampu
bekerja dengan sukses di 25 negara di Afrika Barat (Winotai 2010). Selanjutnya
pada Maret 1984 sampai September 1985, terjadi pelepasan parasitoid di
Kabupaten Kinshasa, Kongo terhadap 205 ekor P. manihoti dan hasilnya terjadi
penurunan populasi P. manihoti (Hennessey dan Muaka 1987).
Departemen Pertanian Thailand mendatangkan 2552 ekor A. lopezi dari
Benin pada saat terjadi ledakan hama P. manihoti di Thailand. Beberapa waktu
kemudian, A. lopezi aman, mampu bertahan hidup, berkembang dengan baik, dan
efektif mengendalikan P. manihoti dalam jumlahbanyak, serta tidak berpengaruh
buruk terhadap lingkungan (Cox 2010). Sehingga, A. lopezi masih dibiakkan di
laboratorium oleh dinas pertanian Thailand untuk tetap melakukan pelepasan
parasitoid ke pertanaman singkong (Chicanock 2014).

11

III PENGARUH INSTAR INANG TERHADAP OVIPOSISI,
PERKEMBANGAN, DAN NISBAH KELAMIN Anagyrus lopezi
(De Santis) (HYMENOPTERA: ENCYRTIDAE), PARASITOID
Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (HEMIPTERA:
PSEUDOCOCCIDAE)
ABSTRAK
Parasitoid Anagyrus lopezi (De Santis) (Hymenoptera: Encyrtidae) di
introduksikan dari Thailand ke Indonesia pada 2012 untuk mengendalikan hama
kutu putih Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae).
Dalam kaitan dengan penyediaan imago parasitoid yang berkualitas dalam jumlah
banyak, kiranya perlu dilakukan penelitian dengan tujuan untuk menentukan
instar inang kutu putih singkong yang paling rentan terhadap parasitisasi,
preferensi parasitoid terhadap berbagai instar inang, dan kesesuaian instar inang.
Pada pengujian tanpa-pilihan dan pilihan berpasangan, setiap individu imago
parasitoid betina diparasitisasikan pada nimfa-1, nimfa-2, nimfa-3 dan imago
kutu putih. Pada pengujian tanpa pilihan, tingkat parasitisme dan banyaknya telur
yang diletakkan paling tinggi pada nimfa-2, nimfa-3 dan imago; sementara tingkat
mortalitas yang diperkirakan karena host feeding paling tinggi pada nimfa-1. Pada
uji pilihan berpasangan, nimfa-2 dan nimfa-3 serta imago paling dipilih untuk
peletakan telur oleh parasitoid. Pada inang yang berukuran besar, masa
perkembangan pradewasa parasitoid lebih singkat, keturunan betina yang muncul
lebih banyak dan berukuran lebih besar. Hal ini mengisyaratkan bahwa nimfa-3
paling sesuai untuk perbanyakan massal parasitoid.
Kata kunci: Anagyrus lopezi, kutu putih, parasitoid, Phenacoccus manihoti,
singkong

ABSTRACT
Parasitoid Anagyrus lopezi (De Santis) (Hymenoptera: Encyrtidae) was
introduced from Thailand into Indonesia in early 2014 to control the invasive
cassava mealybug, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera:
Pseudococcidae). In light of the need for large numbers of high quality females,
research was conducted in laboratory with the objectives to determine the most
susceptible stages of the cassava mealybug to parasitization, the preference of
parasitoid to various host stages, and host stage suitability. In no-choice and
choice tests, individual female wasps were offered first, second, third nymphal
instar, and adult hosts. In no-choice test, parasitism and number of eggs laid were
higher on second, third, and adult hosts; while host mortality presumably due to
host-feeding was higher on the first nymphal instar. In choice test, second and
third nymphal instar and adult were the most preferred host for oviposition. On
larger host, immature development time of parasitoid was faster, the progeny was

12
female-biased, and size was larger. This may suggest that third nymphal instar is
the most suitable host for mass-rearing of parasitoids.
Key words: Anagyrus lopezi, cassava, mealybug, parasitoid, Phenacoccus
manihoti

PENDAHULUAN
Kutu putih Phenacoccus manihoti Matile-Fererro (Hemiptera: Pseudococcidae) merupakan hama yang paling banyak menimbulkan kerusakan pada
pertanaman singkong. Hama yang berasal dari Amerika Selatan ini pada tahun
1973 masuk ke Afrika dan menyebabkan kehilangan hasil hingga 82%
(Schulthess et al. 1991). Pada tahun 2008, kutu P. manihoti dilaporkan terdeteksi
di Thailand dan menyebabkan kehilangan hasil sekitar 30% (Winotai et al. 2010).
Di Indonesia, hama ini pertama kali ditemukan di Bogor pada tahun 2010
(Muniappan et al. 2011). Berdasarkan survei petani di Kabupaten Bogor,
kehilangan hasil diperkirakan 30-50% (Wardani 2015).
Upaya pengendalian hayati kutu putih singkong bermula ketika awal tahun
1980-an didatangkan parasitoid Anagyrus lopezi (De Santis) (Hymenoptera:
Encyrtidae) dari Paraguay ke Afrika (Nweke 2009). Dilaporkan bahwa parasitoid
A. lopezi telah menyebar dan menetap di 28 negera di Afrika, dan mampu
menekan serangan kutu putih hingga 90%. Norgaard (1988) memperkirakan nilai
B/C ratio = 149:1 dari kegiatan pengendalian hayati dengan introduksi dan
pelepasan parasitoid A. lopezi. Kutu putih P. manihoti masuk ke Thailand pada
tahun 2008, kemudian pada tahun 2009 pemerintah Thailand segera
mendatangkan parasitoid ini dari Benin (Lefroy 2010). Seperti halnya yang terjadi
di Afrika, introduksi parasitoid A. lopezi ke Thailand dilaporkan telah berhasil
menekan kerusakan dan kerugian akibat serangan kutu putih P. manihoti di negara
tersebut (FAO 2011).
Berdasarkan keberhasilan di Afrika dan Thailand, maka Fakultas PertanianIPB melalui kerjasama dengan CIAT dan FAO telah mendatangkan parasitoid A.
lopezi dari Thailand ke Indonesia pada Maret 2014 (Wyckhuys et al. 2014). Kini
parasitoid tersebut telah berhasil dikembangbiakkan di laboratorium Bionomi dan
Ekologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian-IPB.
Tahapan berikutnya dari upaya introduksi musuh alami adalah pengujian
kekhususan inang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari empat spesies kutu
putih yang diuji, parasitoid A. lopezi hanya memarasit P. manihoti (Karyani
2015). Dengan demikian, pelepasan parasitoid ini di lapangan diperkirakan tidak
akan menimbulkan pengaruh buruk terhadap spesies kutu putih lain yang
menghuni pertanaman singkong.
Upaya pengendalian hayati kutu putih P. manihoti dengan parasitoid
A.lopezi perlu didukung pemahaman tentang interaksi inang-parasitoid.
Pemahaman interaksi ini diperlukan tidak hanya untuk keperluan pembiakan
massal parasitoid, tetapi juga dalam kaitannya dengan waktu yang tepat untuk
melakukan pelepasan parasitoid (Sagarra dan Vincent 1999). Hingga saat ini
informasi tentang tingkat kerentanan dan kesesuaian berbagai instar P. manihoti
bagi kehidupan parasitoid A. lopezi belum diketahui. Penelitian bertujuan untuk

13
mengetahui: (1) instar kutu putih P. manihoti yang paling rentan terhadap
parasitasi oleh A. lopezi, (2) preferensi peletakan telur parasitoid pada berbagai
instar kutu putih, dan (3) instar kutu putih yang paling sesuai untuk peletakan
telur, perkembangan, dan kemunculan imago parasitoid.

METODE PENELITIAN
Kegiatan penelitian dilaksanakan di Ruang Pembiakan Serangga dan
Laboratorium Bionomi dan Ekologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung sejak bulan
Agustus 2014 sampai Agustus 2015. Selama penelitian berlangsung, rata-rata
suhu ruangan ±27oC dengan kelembaban relatif ±60%, dan dengan 12 jam terang
dan 12 jam gelap.
Penyiapan Bibit Singkong M. esculenta
Bibit singkong yang diperoleh dari pertanaman singkong milik petani di
Kecamatan Dramaga dan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Jawa Barat digunakan
untuk membiakkan P. manihoti. Stek singkong dengan panjang sekitar 17 cm
dimasukkan dengan posisi tegak ke dalam ember plastik (t=14 cm, d=11.5 cm),
kemudian dimasukkan air sebanyak 250 ml ke dalam ember. Setiap tiga hari
ditambahkan air sebanyak 100 ml. Bibit singkong dibiarkan tumbuh selama 3
minggu hingga muncul daun.
Perbanyakan Kutu Putih P. manihoti
P. manihoti yang digunakan dalam percobaan ini berasal dari hasil
pembiakan massal di laboratorium. Nimfa instar-1 P. manihoti diinfestasikan pada
bibit singkong yang berumur tiga minggu. Dua minggu setelah itu, kutu putih
sudah mencapai instar-3 dan siap digunakan untuk pembiakan parasitoid A. lopezi.
Sebagian dari nimfa instar-3 tersebut dibiarkan berkembang hingga menjadi
imago dan bertelur. Daun yang terserang P. manihoti dipotong-potong dan
diinfestasikan pada bibit singkong yang mas

Dokumen yang terkait

KEANEKARAGAMAN KUTU PUTIH DAN MUSUH ALAMI PADA TANAMAN SINGKONG (Manihot esculenta Crantz)

8 47 30

Kutu Putih Ubi Kayu, Phenacoccus Manihoti Matile Ferrero (Hemiptera Pseudococcidae), Hama Invasif Baru Di Indonesia

3 47 118

Kutu Putih Singkong Phenacoccus Manihoti Matile Ferrero Persebaran Geografi Di Pulau Jawa Dan Rintisan Pengendalian Hayati

0 4 49

Pengujian Kesesuaian Inang Parasitoid Anagyrus Lopezi De Santis (Hymenoptera Encyrtidae) Terhadap Kutu Putih Yang Berasosiasi Dengan Ubi Kayu

0 15 67

Tingkat infeksi Neozygites fumosa (Speare) Remaudie’re & Keller (Zygomycetes : Entomophthorales) pada kutuputih pe-paya, Paracoccus marginatus Williams & Granara de Willink dan kutuputih singkong, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococc

1 7 129

Praktek Budidaya dan Persepsi Petani Ubi Kayu Terhadap Hama Kutu Putih Phenacoccus manihoti di Kabupaten Bogor

0 6 38

Biologi dan Potensi Peningkatan Populasi Kutu Putih Singkong, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae), Hama Pendatang Baru di Indonesia

0 6 31

Tingkat Infeksi neozygitesfumosa (Speare) Remaudie're & Keller (Zygomycetes:Entomophthorales) pada Kutu Putih Pepaya, Paracoccus Marginatus Williams & Granara De Willink dan Kutu Putih Singkong, Phenacoccus Manihoti Matie-Ferrero (Hemiptera:Pseudococcidae

1 7 11

KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE-FERRERO (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAWA DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI

0 0 8

Encapsulation rates of parasitoid Anagyrus lopezi (De Santis) (Hymenoptera: Encyrtidae) by cassava mealybug, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae)

0 0 9