Pengujian Kesesuaian Inang Parasitoid Anagyrus Lopezi De Santis (Hymenoptera Encyrtidae) Terhadap Kutu Putih Yang Berasosiasi Dengan Ubi Kayu

PENGUJIAN KESESUAIAN INANG PARASITOID
Anagyrus lopezi De Santis (HYMENOPTERA: ENCYRTIDAE)
TERHADAP KUTU PUTIH YANG BERASOSIASI DENGAN
UBI KAYU (Manihot esculenta Crantz)

RANI DESSY KARYANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengujian Kesesuaian
Inang Parasitoid Anagyrus lopezi De Santis (Hymenoptera: Encyrtidae) terhadap
Kutu Putih yang Berasosiasi dengan Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz), adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di

bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2015
Rani Dessy Karyani
NIM A351130454

RINGKASAN
RANI DESSY KARYANI. Pengujian Kesesuaian Inang Parasitoid Anagyrus
lopezi De Santis (Hymenoptera: Encyrtidae) Terhadap Kutu Putih yang
Berasosiasi dengan Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz). Dibimbing oleh NINA
MARYANA dan AUNU RAUF.
Parasitoid Anagyrus lopezi De Santis (Hymenoptera: Encyrtidae)
diintroduksikan dari Thailand ke Indonesia pada awal tahun 2014, dengan maksud
untuk mengendalikan hama baru pada tanaman ubi kayu yaitu kutu putih
Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae). Sebagai
bagian dari prosedur karantina terhadap pemasukan agens hayati ke Indonesia,
perlu dilakukan uji keamanan hayati agar parasitoid tersebut tidak menimbulkan
dampak buruk terhadap spesies bukan sasaran. Penelitian bertujuan mempelajari
kesesuaian parasitoid A. lopezi terhadap empat spesies kutu putih yaitu P.

manihoti, Paracoccus marginatus Williams-Granara de Willink, Pseudococcus
jackbeardsleyi Gimpel-Miller, dan Ferrisia virgata Cockerell (Hemiptera:
Psedococcidae). Keempat spesies kutu putih ini umum dijumpai menyerang
tanaman ubi kayu di Indonesia.
Penelitian mencakup uji kerentanan inang, preferensi inang, dan kesesuaian
inang. Pada uji kerentanan inang, seekor imago parasitoid dipaparkan pada 10
ekor nimfa instar III dari setiap spesies kutu putih di dalam cawan petri selama 30
menit. Pada uji preferensi inang, seekor imago betina parasitoid dipaparkan pada
5 ekor nimfa instar III P. manihoti yang dipasangkan dengan 5 ekor nimfa instar
III spesies kutu putih bukan sasaran dan diamati selama 30 menit. Pengamatan
meliputi frekuensi penemuan inang, penyelidikan ovipositor, pengisapan inang,
dan banyaknya telur yang diletakkan pada masing-masing spesies kutu putih.
Pada uji kesesuaian inang, tiga ekor imago betina parasitoid dipaparkan pada 30
ekor nimfa instar III dari masing-masing spesies kutu putih selama 24 jam. Masa
perkembangan pradewasa parasitoid dan banyaknya parasitoid yang muncul
dicatat.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa pada uji kerentanan inang,
parasitoid A. lopezi lebih sering mengunjungi P. manihoti (13.70±7.18 kali)
daripada P. marginatus (9.85±10.24 kali), P. jackbeardsleyi (6.60±3.62 kali), dan
F. virgata (5.75±4.09 kali). Begitu pula penyelidikan ovipositor lebih banyak

terjadi pada P. manihoti (8.20±5.68 kali), dibandingkan pada P. marginatus
(0.70±1.84 kali), P. jackbeardsleyi (0.35±0.68 kali), dan F. virgata (0.10±0.45
kali). Pada uji preferensi, parasitoid lebih banyak melakukan penemuan inang dan
penyelidikan ovipositor pada P. manihoti dibandingkan pada spesies kutu putih
lainnya. Pada uji kesesuaian inang, dari empat spesies kutu putih yang diuji,
hanya P. manihoti yang merupakan inang yang sesuai bagi kehidupan parasitoid,
dengan rataan banyaknya imago parasitoid yang muncul 7.40±2.17 individu.
Tingkat kekhususan inang yang diperlihatkan oleh parasitoid A. lopezi dapat
menghindari terjadinya pengaruh buruk pada spesies kutu putih lain yang
menghuni pertanaman singkong.
Kata kunci: kekhususan inang, penemuan inang, penyelidikan ovipositor,
Phenacoccus manihoti, singkong

SUMMARY
RANI DESSY KARYANI. Host Suitability Test of Parasitoid Anagyrus lopezi De
Santis (Hymenoptera: Encyrtidae) for Mealybugs Species Associated with
Cassava (Manihot esculenta Crantz). Supervised by NINA MARYANA and
AUNU RAUF.
Parasitoid Anagyrus lopezi De Santis (Hymenoptera: Encyrtidae) was
recently introduced from Thailand into Indonesia in early 2014, as an attempt to

control a new exotic cassava mealybug Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero
(Hemiptera: Pseudococcidae). As part of quarantine procedures for importation of
biological agents into Indonesia, it is necessary to conduct biosafety test to assure
that the introduced parasitoids do not cause detrimental effects on non-target
species. Our research objective was to study host susceptibility of A. lopezi on
four species of mealybugs, namely P. manihoti, Paracoccus marginatus
Williams-Granara de Willink, Pseudococcus jackbeardsleyi Gimpel-Miller, and
Ferrisia virgata Cockerell (Hemiptera: Pseudococcidae). These mealybugs are
very common attacking cassava in Indonesia.
Study was conducted in the laboratory including host susceptibility, host
preference, and host suitability tests. For host susceptibility tets, a female
parasitoid was exposed to 10 of 3rd instar nymphs of each species in a petri dish
for 30 minutes. For host preference test, a female parasitoid was exposed to 5 of
3rd instar nymphs mealybug of P. manihoti paired with five other mealybugs of
non target species and observed for 30 minutes. Number of host encounters,
ovipositor probings, and eggs deposited on each mealybug species were counted.
For host suitability test, three adult female parasitoids was exposed to 30 of 3rd
instar nymphs mealybugs of each species for 24 hours. Immature development
time of parasitoid and number of parasitoid adults emerged were counted.
Our studies revealed that for susceptability test, parasitoid A. lopezi

encountered P. manihoti more often (13.70±7.18 times) as compared to P.
marginatus (9.85±10.24 times), P. jackbeardsleyi (6.60±3.62 times), and F.
virgata (5.75±4.09 times). So did ovipositor probing occurred more on P.
manihoti (8.20±5.68 times) than on P. marginatus (0.70±1.84 times), P.
jackbeardsleyi (0.35±0.68), and F. virgata (0.10±0.45 times). For preference test,
host encounter and ovipositor probing by the parasitoid were more common on P.
manihoti as opposed to other mealybug species. For host suitability test, out of
four mealybug species tested, P. manihoti was the only suitable host for parasitoid
development, with the number of progenies emerged 7.40±2.17 individuals. Host
specific exhibited by parasitoid A. lopezi may prevent adverse effect to other
mealybug species inhabiting cassava fields.
Keywords: cassava, host specific, host
Phenacoccus manihoti

encounter,

ovipositor

probing,


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

PENGUJIAN KESESUAIAN INANG PARASITOID
Anagyrus lopezi De Santis (HYMENOPTERA: ENCYRTIDAE)
TERHADAP KUTU PUTIH YANG BERASOSIASI DENGAN
UBI KAYU (Manihot esculenta Crantz)

RANI DESSY KARYANI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains

pada
Program Studi Entomologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Antarjo Dikin, MSc

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penelitian karya ilmiah yang berjudul “Pengujian
Kesesuaian Inang Parasitoid Anagyrus lopezi De Santis (Hymenoptera:
Encyrtidae) terhadap Kutu Putih yang Berasosiasi dengan Ubi Kayu (Manihot
esculenta Crantz)”, dapat selesai dengan baik. Karya ilmiah ini merupakan salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Entomologi,
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penelitian merupakan bagian dari
proyek CIAT-Asia “Emerging Pests and Diseases of Cassava in Southeast Asia:
Seeking eco-efficient solutions to overcome a threat to livelihoods and industries”.

Penghargaan dan terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Nina Maryana,
MSi serta Prof Dr Ir Aunu Rauf, MSc, selaku komisi pembimbing yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan ilmu, pengarahan, saran, motivasi serta
bimbingannya sejak perencanaan penelitian hingga selesainya penulisan karya
ilmiah ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dra Dewi Sartiami, MSi
atas kesediaan waktu dan ilmu yang diberikan dalam membantu identifikasi kutu
putih, Dr Ir Pudjianto, MSi dan Prof Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat, MSi selaku
ketua program studi pascasarjana Entomologi-Fitopatologi, yang selalu
memberikan pengarahan dan motivasinya. Terimakasih juga disampaikan kepada
Badan Karantina Pertanian atas beasiswa untuk melanjutkan sekolah pascasarjana
yang telah diberikan selama ini, kepada keluarga Balai Karantina Pertanian Kelas
II Cilegon, segenap staf, tenaga pengajar, dan semua laboran Dept. Proteksi
Tanaman IPB, serta kepada Dr Ir Antarjo Dikin, MSc selaku penguji tamu yang
telah menyediakan waktu dan memberi masukan bermanfaat bagi tesis ini dan
penulis.
Rasa hormat dan terima kasih yang tidak terhingga penulis sampaikan pada
suami tercinta, Andriyanta atas kasih sayang, kesabaran, dukungan, dan do’a yang
tidak pernah putus sehingga perjuangan dalam penyelesaian studi dan penulisan
karya ilmiah ini selesai. Teruntuk buah hatiku tercinta, Razania Latisha Qurrota
Aini, terimakasih telah menjadi penyejuk hati dalam lelah, penyemangat dalam

penat, dan pelengkap kebahagiaan. Rasa hormat dan terimakasih juga
disampaikan untuk Ayahanda tercinta (Bapak Djasikin), kakak, adik, serta
keluarga besar Bapak Sasmorejo dan Pakde Soemardjono atas dukungan dan
do’anya.
Tidak lupa pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan terima kasih
kepada Bapak Wawan Yuandi dan Ibu Aisyah, rekan-rekan Laboratorium Ekologi
Serangga (Mbak Nila, Evie, Edwin, Hendri, Mbak Indah, Pak Budi, Ibu Sulaeha,
Mbak Uce, Yeni, dan Mba Tutut), rekan-rekan Entomologi/Fitopatologi IPB,
khususnya mahasiswa Karantina angkatan ke-3 atas keceriaan dan
kekompakannya bersama-sama, serta kepada pihak-pihak yang telah membantu
dalam penelitian dan pembuatan tesis ini. Karya ini penulis persembahkan pada
Ibunda tercinta, Ibu Mujiasih (almh). Akhirnya penulis berharap semoga tulisan
ini bermanfaat bagi yang membutuhkannya serta bagi penulis sendiri.
Bogor, Mei 2015
Rani Dessy Karyani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xiii


DAFTAR GAMBAR

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

xiii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
2
3
3


TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Ubi Kayu
Kutu Putih pada Tanaman Ubi Kayu
Phenacoccus manihoti
Paracoccus marginatus
Pseudococcus jackbeardsleyi
Ferrisia virgata
Pengendalian Hayati Hama Melalui Introduksi Musuh Alami
Anagyrus lopezi
Prosedur Karantina dan Skrening bagi Introduksi Musuh Alami

4
4
5
5
6
8
9
10
11
12

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Bahan dan Alat
Metode Pelaksanaan
Persiapan Tanaman Inang bagi Kutu Putih
Pengumpulan dan Identifikasi Kutu Putih
Perbanyakan dan Pemeliharaan Kutu Putih
Perbanyakan dan Pemeliharaan Parasitoid
Pengujian Kesesuaian Inang bagi A. lopezi
Pengujian Tingkat Kerentanan Kutu Putih sebagai Inang
parasitoid (Uji Tanpa Pilihan)
Pengujian Preferensi A. lopezi pada Spesies Inang (Uji Dua Pilihan)

14
14
14
14
14
14
14
15
15

HASIL
Spesies Kutu Putih Tanaman Ubi Kayu
Phenacoccus manihoti
Paracoccus marginatus
Pseudococcus jackbeardsleyi
Ferrisia virgata
Kesesuaian Jenis Spesies Inang
Kerentanan Spesies Inang (Uji Tanpa Pilihan)
Preferensi A. lopezi pada Spesies Inang (Uji Dua Pilihan)

18
18
18
18
19
20
21
23
25

PEMBAHASAN
Perilaku A. lopezi dalam Memarasit Kutu Putih
Telur dan Larva A. lopezi
Perkembangan A. lopezi pada P. manihoti

28
28
31
31

16
16

xii
Potensi A. lopezi sebagai Agens Hayati di Indonesia

32

SIMPULAN DAN SARAN

34

DAFTAR PUSTAKA

35

LAMPIRAN

41

RIWAYAT HIDUP

55

xiii

DAFTAR TABEL
1. Perbandingan imago jantan dan betina A. lopezi yang muncul dari
inang P. manihoti
2. Pengukuran imago betina A. lopezi yang berhasil berkembang pada P.
manihoti
3. Penemuan inang, penyelidikan ovipositor, host feeding, dan oviposisi
A. lopezi terhadap empat spesies kutu putih tanaman ubi kayu pada uji
tanpa pilihan
4. Penemuan inang, penyelidikan ovipositor, host feeding, dan oviposisi
A. lopezi terhadap P. manihoti yang dipasangkan dengan spesies kutu
putih bukan sasaran pada uji dua pilihan

22
23

23

26

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Koloni kutu putih P. manihoti
Koloni kutu putih P. marginatus
Koloni P. jackbeardsleyi
Kutu putih F. virgata
Mumifikasi P. manihoti yang terparasit
Perilaku oviposisi A. lopezi pada P. manihoti
Telur A. lopezi
Larva A. lopezi

18
19
20
21
22
24
25
25

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Metode pembuatan slide preparat kutu putih Famili Pseudococcidae
Morfologi P. manihoti dalam bentuk slide preparat
Morfologi P. marginatus dalam bentuk slide preparat
Morfologi P. jackbeardsleyi dalam bentuk slide preparat
Morfologi F. virgata dalam bentuk slide preparat
Imago A. lopezi
Hasil pengolahan data analisis statistik uji Kruskal Wallis pada
pengujian kerentanan inang (uji tanpa pilihan)
8. Upaya penyelidikan ovipositor A. lopezi
9. A. lopezi yang terjerat lilin F. virgata
10. Hasil pengolahan data analisis statistik uji Mann Whitney pada
pengujian preferensi inang (uji dua pilihan)

42
43
44
45
46
47
48
51
51
52

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Meningkatnya perdagangan antara negara menyebabkan semakin besar pula
peluang terjadinya perpindahan tanaman dan hewan ke lingkungan yang baru baik
secara sengaja maupun tidak, sehingga tanpa disadari tanaman, hewan atau
bahkan organisme pengganggu tumbuhan dapat berpindah dan terbebas dari faktor
pembatas alami dari lingkungan aslinya (native). Keadaan seperti demikian dapat
menimbulkan terjadinya reproduksi dalam waktu cepat dan berpotensi menjadi
masalah yang serius. Serangga atau tanaman yang pindah dari habitat aslinya
dapat menjadi hama eksotik atau yang kini lebih dikenal sebagai invasive species.
Salah satu contoh hama eksotik yang saat ini menjadi ancaman besar bagi
Indonesia adalah hama kutu putih tanaman ubi kayu atau dikenal dengan nama
cassava pink mealybug, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera:
Pseudococcidae). Status hama kutu putih singkong ini di Indonesia merupakan
organisme tumbuhan karantina (OPTK) A1 yang artinya keberdaannya dan
penyebarannya sangat dicegah karena belum terdapat di Indonesia (Kementan
2011).
Cassava pink mealybug adalah hama penting utama di dunia pada tanaman
ubi kayu. Di Afrika serangan terjadi sejak tahun 1970-an, menimbulkan kerusakan
parah dan meyebabkan kehilangan hasil yang sangat besar, bahkan hingga
masyarakat setempat mengalami kelaparan (Parsa et al. 2012). Keberadaan hama
ini di Indonesia pertama kali dilaporkan tahun 2010 oleh Muniappan et al. (2011)
dan hasil survei petani di Kabupaten Bogor pada tahun 2012-2013, saat musim
kemarau tingkat serangannya dapat mencapai 100% (Wardani 2015) serta
kehilangan hasil diperkirakan mencapai 30-50% (Dwianri 2013).
Terdapat rekomendasi pengendalian yang menjadi pendekatan utama dan
paling banyak diterapkan oleh berbagai negara terhadap kutu putih eksotik ini,
yaitu dengan mengoptimalkan keberadaan musuh alaminya. Phenacoccus
manihoti merupakan hama native dari Amerika Selatan dan perlu waktu lama
untuk mengetahui musuh alami lokal yang dapat bermanfaat, sehingga upaya
alternatif pengendalian yang dapat dilakukan adalah dengan praktek klasik
pengendalian hayati. Berbagai macam musuh alami diintroduksi dari Amerika
Selatan ke Afrika untuk mengendalikan cassava mealybug¸ dan yang paling
berhasil diterapkan adalah endoparasitoid, Anagyrus lopezi De Santis
(Hymenoptera: Encyrtidae) (Neuenschwander 2001).
A. lopezi merupakan parasitoid yang berasal dari Amerika Selatan, dengan
inang utamanya adalah kutu putih P. manihoti. Setelah diintroduksi dari negara
asalnya ke Afrika pada tahun 1981, parasitoid A. lopezi berhasil menetap di 26
negara di Afrika dan menyebabkan penurunan serangan kutu putih pada
pertanaman ubi kayu secara signifikan (Neuenschwander 1994, Neuenschwander
2001). Pada bulan September 2009, A. lopezi diintroduksi dari Benin (Afrika) ke
Thailand untuk mengendalikan kutu putih P. manihoti dan hasilnya mampu
menurunkan luas area yang terinfestasi dari 500 800 ha di tahun 2009 menjadi 161
ha pada bulan Mei 2013 (Winotai et al. 2010; Winotai 2014). Sementara itu, sejak
terdeteksinya P. manihoti di Indonesia pada tahun 2010, hingga kini belum

2
dijumpai musuh alami yang mampu mengendalikan serangan P. manihoti (Rauf
2014). Bedasarkan pertimbangan tersebut, Departemen Proteksi Tanaman,
Fakultas Pertanian – IPB bekerjasama dengan International Center for Tropical
Agriculture (CIAT) Vietnam dan FAO mengintroduksi parasitoid A. lopezi dari
Thailand ke Indonesia pada bulan Maret 2014 (Wyckhuys et al. 2014).
Introduksi musuh alami yang berasal dari luar ke dalam wilayah Indonesia
selain mampu memberi keuntungan, tidak menutup kemungkinan berpotensi
menimbulkan pengaruh buruk terhadap biodiversitas lokal. Oleh karena itu,
introduksi musuh alami perlu disertai analisis resiko tentang kemungkinan
munculnya dampak negatif terhadap ekosistem di kemudian hari, seperti diatur
dalam International Standards For Phytosanitary Measures (ISPM) Nomor 3
tentang Kode Etik Introduksi dan Pelepasan Agens Pengendalian Hayati (FAO
1996) yang terangkum pada Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) Nomor:
411/Kpts/TP.120/6/95 tentang Pemasukan Agens Hayati ke dalam Wilayah
Negara Indonesia dan ditindak lanjuti oleh Komisi Agens Hayati Nomor
226/Kpts/OT.160/L/9/06 tentang Pedoman Umum Pemasukan Agens Hayati ke
dalam Wilayah Indonesia. Prosedur dalam pedoman tersebut di antaranya adalah
harus memiliki izin pemasukan dari menteri pertanian dan telah teraudit melalui
serangkaian pemeriksaan dari karantina pertanian sebagai upaya mencegah
masuknya organisme yang tidak diinginkan yang berpotensi menjadi organisme
yang merugikan, misalnya hama, patogen, hiperparasit atau musuh alami serangga
berguna. Walaupun izin pemasukan dan prosedur karantina telah terlaksana,
serangkaian pengujian tetap harus dilakukan di bawah pengawasan komisi agens
hayati agar kemurnian, efektifitas dan keamanannya dapat terjaga.
Hal yang perlu dilakukan untuk memenuhi perundangan tersebut salah
satunya adalah perlu dilakukan pengujian kekhususan inang dari parasitoid A.
lopezi melalui pengujian kisaran inang ataupun preferensi dan parasitisasi
terhadap kutu putih lain yang bukan sasarannya. Penentuan inang bukan sasaran
perlu disesuaikan dengan kondisi ekologi Indonesia (Kuhlmann et al. 2006;
Hogendoorn et al. 2013). Spesies kutu putih yang diuji dalam penelitian adalah
yang umum dijumpai menyerang tanaman ubi kayu, yaitu P. manihoti,
Pseudococcus jackbeardsleyi Gimpel and Miller, Paracoccus marginatus
Williams and Granara de Wilink, dan Ferrisia virgata (Cockerell) (Hemiptera:
Pseudococcidae).
Perumusan Masalah
Introduksi parasitoid A. lopezi ke Indonesia dari Thailand dilakukan sebagai
upaya menekan, mengendalikan, dan mencegah ancaman penyebaran hama kutu
putih invasif pada tanaman ubi kayu, P. manihoti. Selain memberi keuntungan
dan manfaat sebenarnya introduksi agens hayati dari luar negeri juga berpotensi
memberikan dampak negatif. Berdasarkan upaya introduksi musuh alami tersebut,
perlu pengujian awal sebagai bentuk kewaspadaan yang muncul beberapa
pertanyaan terhadap keragu-raguan akan keberhasilan dan bagaimana keyakinan
musuh alami, A. lopezi yang diintroduksi akan menyerang hama target, P.
manihoti. Selain itu apakah terdapat spesies kutu putih lain non target yang
beresiko menjadi inang lain dari A. lopezi, bagaimana keefektifan dan

3
keamanannya, preferensinya dan tingkat parasitisasinya serta kesesuaiannya bagi
perkembangan hidupnya.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengetahui kesesuaian perkembangan A. lopezi
pada empat spesies kutu putih yang menjadi hama ubi kayu di Indonesia, yaitu P.
manihoti, P. jackbeardsleyi, P. marginatus, dan F. virgata, beserta kerentanan
masing-masing inang dan preferensinya.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi yang dapat
menjadi dasar keyakinan manfaat dari parasitoid yang baru diintroduksi, A. lopezi
sebagai parasitoid spesifik inang, yang diketahui dari banyaknya inang terparasit,
preferensi inang, dan kesesuaian inang parasitoid. Selain itu juga dapat menjadi
data dasar dalam pertimbangan pengendalian hayati klasik terhadap P. manihoti di
Indonesia serta dasar pertimbangan penyusunan analisis resiko OPT/OPTK bagi
Karantina Pertanian.

TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Ubi Kayu
Ubi kayu atau yang lebih dikenal dengan nama singkong dan ketela pohon
termasuk ke dalam Famili Euphorbiaceae, Subfamili Crotonodeae, Suku
Manihotae dan Genus Manihot. Pertama kali tanaman ini dikenal di Amerika
Selatan namun lebih berkembang di Brazil dan Paraguay. Di Indonesia tanaman
ubi kayu mulai dibudidayakan sejak tahun 1852 dan mulai menyebar hingga ke
seluruh wilayah Nusantara tahun 1914-1918 pada saat Indonesia kekurangan
bahan pangan beras. Pada tahun 1968 Indonesia menjadi negara penghasil ubi
kayu nomor lima di dunia (Rukmana 1997).
Manfaat ubi kayu bagi manusia begitu banyak, dan hal ini menjadi alasan
begitu tingginya minat dan permintaan masyarakat terhadap komoditas ini. Ubi
kayu segar mempunyai komposisi kimiawi yang terdiri atas kadar air sekitar 60%,
pati 35%, serat kasar 2.5%, protein 1%, lemak 0.5%, dan kadar abu 1% (BPPP
2011). Walaupun kadar airnya tinggi, bahan kering ubi kayu mengandung 250 –
300 kg karbohidrat dari setiap satu ton ubi kayu segar dan mengandung sejumlah
nutrisi lainnya seperti vitamin C, tiamin, riboflavin, dan niasin (FAO 2013).
Begitu tingginya nutrisi yang terkandung pada ubi kayu, kini ubi kayu telah
banyak mengalami inovasi dalam pengelolaannya sehingga dapat meningkatkan
pendapatan negara dan menjadi komoditas yang potensial dalam perdagangan
dunia. Beberapa manfaat yang dapat diperoleh di antaranya adalah umbinya yang
banyak diminati sebagai bahan diversifikasi pangan, mengingat ubi kayu
merupakan salah satu pangan penghasil sumber karbohidrat tertinggi setelah padi
dan jagung. Manfaat ubi kayu lainnya adalah sebagai bahan baku industri
makanan seperti gaplek, tepung kasava, dan tapioka serta sebagai produk
fermentasi seperti fruktosa, glukosa, bioetanol, dan berbagai asam organik (BPPP
2011). Di Indonesia sentra utama penghasil ubi kayu mulai menyebar di berbagai
propinsi seperti Sumatera Utara, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan, sedangkan
sentra dunia terdapat di Negara Thailand dan Suriname (Suherman 2014).
Sama halnya dengan tanaman lainnya, tanaman ubi kayu termasuk rentan
terhadap serangan hama dan penyakit tumbuhan, terutama apabila menggunakan
bibit yang tidak sehat dan dengan praktek pengelolaan budidaya yang kurang
tepat. Kehilangan hasil yang berat dapat terjadi akibat meningkatnya intensitas
serangan organisme pengganggu tumbuhan pada area pertanaman ubi kayu yang
luas, terutama pada areal penanaman ubi kayu yang secara terus menerus
sepanjang tahun. Adapun beberapa jenis penyakit yang menjadi masalah di
pertanaman ubi kayu di Asia di antaranya adalah hawar bakteri atau cassava
bacterial blight (CBB) yang disebabkan oleh Xanthomonas campestris pv.
manihoti, serta penyakit virus yang disebabkan oleh cassava mosaic disease
(CMD), dan cassava brown streak disease (CBSD) (FAO 2013).
Hama tanaman ubi kayu yang utama dan menjadi masalah di Asia hingga
saat ini adalah kutu kebul (whiteflies), kutu putih (mealybug) dan tungau merah
(red spider mite) (FAO 2013). Kutu kebul hampir menjadi hama yang paling
merusak di seluruh wilayah kebun produksi ubi kayu. Selain menjadi hama,
perannya sebagai vektor penyakit virus lebih penting dalam menimbulkan

5
kerusakan pada tanaman ubi kayu. Spesies kutu kebul ini adalah Bemisia tabaci
(Gennadius) dan B. tuberculata Bondar (Hemiptera: Aleyrodidae) (CABI 2008a).
Selain kutu kebul, kutu putih juga menjadi hama utama yang pernah menyerang di
sub-Sahara Afrika. Spesies kutu putih tersebut adalah P. manihoti dan
Phenacoccus herreni Cox & Williams. Hama lainnya yang selalu menjadi
masalah adalah tungau. Tungau masih selalu menjadi masalah utama di saat
musim kemarau, umumnya adalah spesies Tetranychus urticae Koch dan T.
kanzawai Kishida (Acari: Tetranychidae). Kehilangan hasil akibat serangan dapat
berkisar antara 18 sampai 50% (FAO 2013).
Kutu Putih pada Tanaman Ubi kayu
Phenacoccus manihoti
P. manihoti merupakan salah satu hama eksotik yang tergolong invasif bagi
Indonesia sejak tahun 2010 (Muniappan et al. 2011). Kutu putih ini menjadi hama
penting utama di seluruh dunia pada pertanaman ubi kayu. Sifatnya yang
partenogenesis teliotoki (hanya menghasilkan keturunan betina) membuat kutu
putih ini mampu berkembang biak sangat cepat terutama pada musim kemarau.
Kutu putih P. manihoti berasal dari Amerika Serikat, dan serangan pertama kali
dilaporkan terjadi di Kinshasa, Kongo Negara Afrika pada tahun 1973.
Selanjutnya kutu putih ini menyebar ke Asia pada tahun 2008 dan mulai pertama
kali ditemukan di Negara Thailand, kemudian Kamboja, Laos, Vietnam, dan
terbaru di Indonesia (Muniappan et al. 2011; Parsa et al. 2012; CABI 2013a).
Koloni P. manihoti umumnya berada di bawah permukaan daun ubi kayu,
terutama bagian pucuk daun di sekitar tulang daun dan pada saat populasinya
meningkat, kutu putih menyebar ke seluruh bagian tanaman. Selama siklus
hidupnya P. manihoti mampu menghasilkan hingga 500 telur dalam satu ovisak.
Ovisak adalah kantung lilin berwarna putih seperti kapas. Siklus hidupnya sejak
telur hingga dewasa membutuhkan waktu sekitar 21 hari dengan lama stadium
telur sekitar 8 hari, nimfa instar I sekitar 4 hari, nimfa instar II sekitar 4 hari, dan
nimfa instar III sekitar 5 hari (Calatayud & Le Rü 2006). Imago betina kutu putih
ini berwarna merah jambu dengan panjang tubuh 1.25 mm dan lebar 0.63 mm.
Perkembangbiakannya bersifat paurometabola dengan tahapan telur, nimfa
mencapai III instar lalu imago. Bentuk antara nimfa instar II, III, dan imago, tidak
jauh berbeda, hanya imago berukuran lebih besar. Nimfa instar I berukuran
panjang 0.41 mm dan lebar 0.17 mm, instar II panjang 0.60 mm dan lebar 0.26
mm, serta instar III panjang 0.86 mm dan lebar 0.39 mm. Baik nimfa maupun
imago tubuhnya diselimuti dengan serabut lilin berwarna putih. Nimfa instar I
bersifat crawler yang artinya sangat cepat bergerak dan mudah melakukan
perpindahan dan penyebaran (Saputro 2013).
P. manihoti bersifat monofag atau hanya memakan tanaman dari satu atau
beberapa spesies tanaman famili Euphorbiaceae. Kerusakan pada tanaman ubi
kayu ditunjukkan pada tanaman ubi kayu dengan gejala serangan berupa keriting
pada bagian tunas daun, daun menguning, perubahan bentuk pada batang, roset
pada titik tumbuh, dan kematian pada tanaman muda. Pada serangan berat, daun
akan gugur dan tanaman menjadi kerdil seperti bunchy top. (Bellotti et al. 2003;
Calatayud & Le Rü 2006).

6
Upaya pengendalian terhadap kutu putih singkong ini banyak dilakukan oleh
berbagai negara melalui pengendalian hayati klasik. Untuk menghindari serangan
baru, petani disarankan untuk tidak menanam ubi kayu di musim akhir penghujan
dan awal musim kemarau. Selain itu sebelum mulai penanaman, perendaman bibit
ubi kayu dengan larutan insektisida juga mampu mencegah kehadiran hama ini
(FAO 2013).
Pengendalian hayati klasik menjadi pendekatan utama dan hal yang paling
tepat untuk mengatasi masalah hama ini di pertanaman. Upaya tersebut dilakukan
dengan cara mengintroduksi musuh alami dari daerah hama/kutu putih berasal.
Banyak jenis musuh alami kutu putih P. manihoti, baik dari kelompok predator
maupun parasitoid. Beberapa spesies predator yang mampu memangsa P.
manihoti adalah kumbang Famili Coccinellidae (Coleoptera), yaitu Hyperaspis
spp. Redtenbacher, Exochomus sp. Redtenbacher, dan Diomus sp. Mulsant.
Parasitoid yang berperan sebagai musuh alami P. manihoti di antaranya adalah
Anagyrus nyombae Boussienguet, A. pseudococci (Girault), dan Epidinocarsis
lopezi (De Santis) (CABI 2013a). Afrika menjadi negara pertama yang melakukan
introduksi musuh alami untuk mengendalikan P. manihoti. Pada mulanya
diintroduksi parasitoid Apoanagyrus diversicornis (Howard) (Hymenoptera:
Encyrtidae) dan Allotropa sp. Foerster (Hymenoptera: Platygasteridae), serta
predator Sympherobius maculipennis Klimmins (Neuroptera: Hemerobiidae) dari
Brazil, namun ternyata belum berhasil dikembangkan (Neuenschwander 1994).
Berbagai macam musuh alami lainnya diintroduksi ke Afrika untuk menekan kutu
putih ubi kayu, dan dari berbagai macam musuh alami tersebut endoparasitoid
Apoanagyrus lopezi asal Amerika Selatan adalah parasitoid yang paling berhasil
mengendalikan kutu putih (Neuenschwander 2001). Musuh alami kutu putih yang
ditemukan selama terjadi serangan di Bogor adalah predator Scymnus sp.
Kugelann dan Chilocorus sp. Leach (Coleoptera: Coccinellinae). Selain itu juga
ditemukan larva predator dari family Cecidomyiidae dan larva Plesiochrysa
ramburi (Shneider) (Neuroptera: Chrysopidae). P. ramburi adalah musuh alami
yang dominan ditemukan, namun keberadaannya meningkat di akhir musim
kemarau pada saat populasi kutu putih mencapai puncaknya dan ubi kayu
terserang berat (Wardani 2015).
Paracoccus marginatus
Hama ini disebut juga kutu putih pepaya yang merupakan hama eksotik
pepaya di Meksiko dan negara-negara Amerika Tengah. Sejak tahun 1994, hama
dilaporkan mulai menyebar dengan cepat ke berbagai negara di dunia. Hama ini
dilaporkan masuk ke Indonesia pada tahun 2008 melalui kegiatan importasi
tanaman hias dari Amerika. Kerusakan terjadi pertama kali dilaporkan di kota
Bogor yang menyebabkan ribuan tanaman pepaya mati karena serangan kutu
putih ini (Muniappan et al. 2008). P. marginatus diketahui bersifat polifag,
menjadi hama pada berbagai tanaman sayuran, buah, dan tanaman hias tropis.
Beberapa tanaman yang menjadi inang utamanya antara lain Carica papaya L.
(pepaya), Manihot esculenta Crantz (ubi kayu), Persea americana P. Mill
(alpukat), Solanum melongena L. (terung) Hibiscus spp. (kembang sepatu), dan
Acalypha spp. (kumis kucing). Inang lain sebagai alternatif di antaranya adalah
Ananas comosus (L.) Mer. (nanas), Mangifera indica L. (mangga), dan Citrus spp.
L. (jeruk) (Walker et al. 2003; Saengyot & Burikam 2011; CABI 2014). Sifat P.

7
marginatus yang polifag dan memiliki banyak kisaran inang, membantu kutu ini
untuk mudah mempertahankan hidupnya.
Gejala serangan diketahui dari gumpalan-gumpalan putih pada bagian
tanaman yang terserang. Selanjutnya bagian tanaman yang terserang akan
mengerut, mengering dan akhirnya pertumbuhan tanaman terhambat. Serangan
berat dapat menyebabkan gugur buah dan daun (Walker et al. 2003). Tahap
kerusakan dimulai dari bagian daun muda dekat pangkal batang, daun menjadi
keriting dan tumbuh tidak normal. Hal tersebut mengakibatkan proses fotosintesis
terhambat, tanaman banyak kehilangan energi untuk tumbuh dan akan semakin
merana hingga akhirnya buah yang diproduksi tidak maksimal atau bahkan gagal
produksi (Ivakdalam 2010).
Biologi P. marginatus belum banyak diteliti secara rinci. Spesies ini
bereproduksi secara seksual, antara imago betina dan jantan berkembang melalui
tahapan fase yang berbeda. Imago betina mengalami metamorfosis paurometabola
yang berkembang dari telur kemudian melalui tiga tahapan instar nimfa dan imago
betina tanpa sayap. Imago jantan mengalami metamorfosis holometabola, setelah
fase telur terdapat dua tahap instar nimfa, setelah itu mengalami fase prapupa,
kemudian pupa dan imago dengan sepasang sayap (CABI 2014). Rata-rata lama
waktu perkembangan P. marginatus pada tanaman pepaya untuk individu betina
adalah 31.8±3.83 hari dan siklus hidup individu jantan adalah 27.0±1.87 hari,
dengan perbandingan betina dan jantan 4 : 1. Rata-rata jumlah telur P. marginatus
yang dihasilkan sebanyak 490 butir per kantung telur (ovisak) (Pramayudi &
Oktarina 2012).
Morfologi tubuh imago betina berbentuk oval atau lonjong dan diselubungi
oleh lapisan lilin berwarna putih. Sekeliling tepi tubuhnya muncul filamen lilin
pendek dengan panjang kurang dari seperempat panjang tubuhnya. Imago betina
menghasilkan telur berwarna putih kekuningan, ditutupi dengan ovisak.
Penyebaran dilakukan oleh nimfa instar pertama yang bersifat crawler, yaitu aktif
bergerak dan berpindah serta dapat bertahan satu atau dua hari tanpa makan
(Walker et al. 2003).
Suatu pengelolaan hama terpadu (PHT), termasuk praktek budidaya,
pengendalian kimia dan pengendalian biologi dapat diterapkan untuk mengelola
kutu putih pepaya. Musuh alami yang diketahui sebagai parasitoid kutu putih
pepaya di antaranya adalah Acerophagus papayae (Noyes & Schauff), Anagyrus
loecki (Noyes & Menezes), Anagyrus californicus Compere, dan Pseudaphycus
sp. Timberlake (Hymenoptera: Encyrtidae) (Walker et al. 2003). Di India keempat
parasitoid tersebut menyerang nimfa kutu putih pepaya instar II dan III, namun
masih belum mampu menurunkan populasi hama dalam waktu singkat. Perpaduan
dengan penggunaan predator Spalgis epius Westwood (Lepidoptera: Lycanidae)
(Saengyot & Burikam 2011), kemudian C. montrouzieri Mulsant (Coleoptera:
Coccinellidae), lalat syrphid, dan lacewings (Walker et al. 2003) cukup dapat
membantu karena predator memangsa ovisak, nimfa, dan imago. Selain itu
pengendalian insektisida botani menggunakan neem oil dan insektisida berbahan
aktif profenofos 500 g/l dapat menjadi alternatif lain (Tanwar et al. 2010).

Pseudococcus jackbeardsleyi

8
Kutu putih ini memiliki nama umum Jack Beardslyei mealybug atau kutu
putih Jack Beardslyei. Spesies kutu putih ini adalah hama invasif terbaru yang
telah memasuki India dengan nilai infestasi relatif rendah menyerang tanaman
pepaya pada tahun 2012. Sebelumnya serangan hama ini banyak terjadi di daerah
Neotropical dan negara Asia termasuk Singapura pada tahun 1958, Malaysia pada
tahun 1969, Indonesia tahun 1973, Filipina tahun 1975, Brunei pada tahun 1979,
Thailand pada tahun 1987, Vietnam dan Maladewa pada tahun 1994 dan Kamboja
(Muniappan et al. 2011; Mani et al. 2013). Kutu putih jack beardsleyi menyerang
banyak tanaman inang (polifag) dan diketahui mencapai 93 spesies tanaman baik
itu tanaman pertanian, hortikultura, maupun tanaman hias (Mani et al. 2013).
Sebanyak 22 spesies tanaman juga telah dilaporkan sebagai inang P.
jackbeardsleyi di negara-negara Asia, di antaranya tanaman pisang, tomat,
kentang, lada, lau, anggrek, dan anthurium (Shylesha 2013). Di India hama ini
dilaporkan menyerang tanaman pepaya pada bagian daun, buah dan batang.
Gejala kerusakan yang ditimbulkan umumnya sama dengan gejala kerusakan yang
disebabkan kutu putih lainnya. Permukaan bawah daun ataupun pada bagian
batang tanaman penuh tertutup ovisak dari kutu putih dan menyebabkan distorsi
pada daun.
Ciri tubuh imago betina berbentuk oval, agak bulat jika terlihat dari bagian
lateral dan berwarna keabu-abuan. Seluruh tubuh imago dipenuhi filamen lilin
tipis, pada masing-masing bagian lateral terdapat 17 filamen dan pada bagian
ujung terdapat sepasang filamen yang panjangnya sekitar setengah dari panjang
tubuh dan terkadang tertutup ovisak (Shylesha 2013). Karakter morfologi di
dalam slide preparat yaitu antena terdiri atas 8 ruas, tungkai berkembang baik,
terdapat pori translusen pada femur dan tibia tungkai belakang. Pori diskoidal
terdapat di dekat mata pada bagian sclerotised rim. Serari terdiri atas 17 pasang
dan serari lobus anal dengan 2 seta konikal dan terdapat banyak pori trilokular
pada sclerotised area. Serari lainnya terdapat pada area membran, kemudian
serari anterior dengan seta relatif kecil dengan 2-3 seta tambahan. Serari nomor
C7 dan pada bagian kepala dengan 3-4 seta konikal. Permukaan atas tubuh kutu
putih dipenuhi secara merata dengan seta berukuran kecil (Mani et al. 2013).
Biologi kutu putih ini umumnya memerlukan waktu selama sekitar satu
bulan untuk dapat menyelesaikan satu genarasi hidupnya. Imago betinanya
mampu meletakkan telur sebanyak 300 sampai 600 telur di dalam ovisak. Dalam
kondisi rumah kaca telur dapat menetas sekitar 10 hari. Nimfa yang baru keluar
dari telur mulai aktif mencari makanan, dan tubuhnya mulai mengeluarkan lilin
putih membentuk filamen untuk menutupi tubuhnya. Pertumbuhan nimfa hingga
menjadi imago betina hanya mengalami perubahan pada ukuran tubuhnya saja,
sedangkan nimfa yang akan menjadi imago jantan, setelah nimfa instar III, nimfa
akan membentuk pupa dan muncul imago jantan. Imago jantan berukuran sangat
kecil dan memiliki sepasang sayap (Mau & Kessing 2000).
Pengelolaan terhadap hama kutu putih termasuk P. jackbeardsleyi umumnya
adalah dengan aplikasi pestisida. Namun terkadang menjadi kurang efektif apabila
dilakukan terlambat setelah memasuki musim kemarau karena populasinya sudah
begitu meningkat. Bila pengendalian dilakukan ketika mendekati musim hujan,
penurunan populasi kutu putih dapat terbantu secara alami oleh air hujan. Upaya
pengendalian hayati klasik terhadap P. jackbeardsleyi belum pernah ada yang
melakukannya, hal itu karena populasinya masih berada di bawah pengendalian

9
musuh alami lokal dari setiap negara (Muniappan et al. 2011). Musuh alami yang
diketahui mampu menekan populasi P. jackbeardsleyi adalah kumbang
Coccinelidae, C. montrouzieri.
Ferrisia virgata
F. virgata memiliki nama umum striped mealybug. Ciri khas imago betina
adalah adanya satu pasang filamen dari lilin pada bagian ujung tubuh seperti ekor
dengan panjang setengah dari panjang tubuhnya. Ciri khas lainnya permukaan
tubuh dilapisi lilin, kecuali pada bagian tengah dorsum gundul tanpa lilin dan
terdapat dua strip memanjang seperti garis di bagian sub medial (Weicai Li et al.
2013). Imago berbentuk oval pipih, berwarna abu-abu gelap hingga terang,
dengan panjang tubuh 4-4.5 mm, terdapat benang berserabut di bagian venter, lilin
yang menutupi tubuhnya dapat menjadi perlindungan diri dari predator (William
& Watson 1988).
F. virgata adalah salah satu jenis kutu putih polifag, menyerang sekitar 150
genus dari 68 famili tanaman, terutama spesies inang dari Fabaceae dan
Euphorbiaceae. Di antara tanaman inangnya yang bernilai ekonomi penting yaitu
alpukat, pisang, sirih, lada hitam, ubi kayu, kacang mete, kembang kol, jeruk,
kakao, kopi, dan kapas. Di Indonesia F. virgata banyak dilaporkan sebagai hama
utama pada tanaman kopi, sedangkan di Sudan menyerang banyak tanaman jambu
biji, dan di beberapa negara bagian dunia umumnya sebagai hama kapas. F.
virgata, di Afrika Barat dikenal juga sebagai vektor cocoa swollen shoot virus
(CSSV) dan di Trinidad sebagai vektor cocoa Trinidad virus (CTV) (CABI
2013b).
Gejala serangan pada tanaman yang ditunjukkan hama ini adalah keriput
pada awalnya, kemudian bagian tanaman yang terserang menjadi kering dan
daunnya gugur. Kutu ini juga berfungsi sebagai vektor virus sehingga bagian
tanaman juga dapat menjadi keriting karena terserang virus. Sumber lain
menyebutkan gejala infestasi F. virgata tetap berkerumun di sekitar terminal
tunas, daun dan buah, mengisap getah yang menyebabkan daun menguning, layu
dan kering. Permukaan daun dan buah banyak ditutupi dengan embun madu yang
kemudian menjadi media untuk pertumbuhan jamur jelaga hitam. Jamur jelaga
dan lilin mengakibatkan penurunan area fotosintesis tanaman hias dan
menghasilkan kehilangan nilai pasar (Williams dan Watson 1988; CABI 2013b)
Kutu putih ini berkembang secara partenogenesis. Periode hidupnya sejak
telur hingga imago mati rata-rata 76.2-154.6 hari pada betina, sedangkan jantan
selama 19-47 hari. Imago betina aktif dan mobile sepanjang hidupnya, sampai
mereka mulai menghasilkan ovisak dan bertelur. Imago betina mampu
menghasilkan rata-rata 64.1-78 telur, dengan jumlah produksi telur per hari setiap
imago betina sebanyak 3.4-4.5 telur. Telur diletakkan satu per satu selama periode
sekitar 2.11-2.62 jam, dan akan menetas setelah 4-9 hari. Perkembangan nimfa
melalu tiga tahapan instar dengan stadium nimfa betina 43.2–92.6 hari dan lama
hidup imago mencapai 36-53 hari. Sedangkan stadium nimfa jantan sekitar 25.4
hari dengan lama hidup imago 1-3 hari (Awadallah et al. 1979; CABI 2013b).
Seperti kutu putih lainnya, tahap penyebaran utama F. virgata adalah pada instar
pertama yang dapat secara alami tersebar oleh angin dan hewan.

10
Pengendalian terhadap stripe mealybug pada awal serangan yang meningkat
perlu dilakukan sanitasi kebun dengan pemangkasan dan pemusnahan bagian
tanaman yang terserang (CABI 2013b). Pengelolaan secara kimiawi menggunakan
insektisida biasanya dinilai masih kurang efektif karena telur, nimfa dan imago
ditutupi lapisan lilin yang tebal sehingga cairan insektisida sulit menembusnya.
Namun penggunaan insektisida nabati dapat menjadi alternatif yang dapat
digunakan karena sifatnya yang lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan
insektisida sintetik. Dilaporkan oleh Indriati dan Khaerati (2008) bahwa ekstrak
daun nimba efektif mengendalikan F. virgata dengan tingkat kematian 29.8986.9%. Upaya pengendalian lainnya yang lebih efektif dan aman adalah dengan
mengupayakan keberadaan musuh alaminya. Musuh alami dari F. virgata banyak
dilaporkan dari kelompok predator, cendawan, dan parasitoid. Umumnya
pengendalian dilakukan dengan penggunaan predator C. montrouzieri (CABI
2013b), serta parasitoid dari beberapa genus Aenasius (Noyes & Ren 1995),
Acerophagus dan Anagyrus (Noyes & Hayat 1994).
Pengendalian Hayati Hama Melalui Introduksi Musuh Alami
Pengendalian hayati adalah penggunaan organisme hidup untuk menekan
kepadatan populasi atau memberi pengaruh terhadap organisme hama spesifik,
yang membuat kepadatan populasi atau kerusakannya menurun bila dibanding
dengan tidak tersedianya musuh alami. Musuh alami terdiri atas empat kelompok
besar yaitu predator, parasitoid, patogen serangga (entomopatogen) dan agens
hayati antagonis. Pengendalian hayati dengan mengoptimalkan kinerja musuh
alami saat ini sudah banyak diadopsi oleh petani, namun terbatasnya ketersediaan
musuh alami di alam mengharuskan adanya upaya strategi terutama dalam
memproduksi musuh alami dalam jumlah besar. Jika tidak ada spesies musuh
alami yang mampu secara efektif mengontrol populasi hama maka introduksi atau
importasi musuh alami ke daerah yang terserang perlu dilakukan. Upaya demikian
sering dikenal dengan istilah pengendalian hayati klasik. Umumnya pendekatan
ini digunakan bila terjadi ledakan hama eksotik yang bersifat invasif, dan
diharapkan setelah melepaskan musuh alami eksotik ke dalam lingkungan baru,
nantinya musuh alami dapat mapan secara permanen dan mampu mengendalikan
populasi hama dalam jangka panjang, tanpa perlu intervensi lebih lanjut (Purnomo
2010).
Keunggulan dari pengedalian hayati di antaranya meliputi tingkat
selektivitas yang tinggi dalam mengendalikan hama, biaya yang dikeluarkan
rendah, mampu menyebar sendiri dan tidak ada biaya lagi setelah pelepasan awal,
tidak membahayakan manusia dan lingkungan, serta tidak menyebabkan resistensi
hama (Johnson 2000). Contoh introduksi musuh alami yang pernah dilakukan di
Indonesia di antaranya adalah introduksi Diadegma semiclausum Hellen
(Hymenoptera: Ichneumonidae) untuk mengendalikan ulat kubis Plutella
xylostella (Linnaeus) (Lepidoptera: Plutellidae) pada tahun 1950-an
(Sastrosiswojo & Sastrodihardjo 1986). Pada tahun 1970 dilakukan introduksi
kumbang Neochetina eichhorniae Warner (Coleoptera: Curculionidae) untuk
mengendalikan eceng gondok, Echornia crassipes (Mart.) Solm (Widayanti et al.
1999). Pada akhir tahun 1980-an diintroduksi Curinus coeruleus Mulsant
(Coleoptera: Coccinellidae) dan parasitoid Psyllaephagus yaseeni Noyes

11
(Hymenoptera: Encyrtidae) untuk mengendalikan kutu loncat lamtoro,
Heteropsylla cubana Crawford (Hemiptera: Psyllidae) pada tahun 1990-an (Rauf
et al. 1988). Introduksi paling akhir pada Maret 2014, yaitu introduksi parasitoid
A. lopezi untuk mengendalikan kutu putih singkong P. manihoti (Wyckhuys et al.
2014).
Anagyrus lopezi
Taksonomi dari A. lopezi memiliki nama sinonim Epidinocarsis lopezi atau
sebelumnya dikenal juga dengan Apoanagyrus lopezi. Parasitoid ini tergolong ke
dalam Ordo Hymenoptera, Subordo Apocrita, Superfamily Chalcidoidea, Family
Encrytidae genus dari Anagyrus. Parasitoid yang tergolong ke dalam Family
Encyrtidae umum juga disebut sebagai suku Anagyrini. Perilaku spesies parasitoid
anggota Anagyrini sebagian besar memarasit secara endoparasitoid soliter, namun
beberapa spesies lainnya diketahui dapat memarasit secara gregarius (Noyes &
Hayat 1994). A. lopezi memarasit secara endoparasitoid soliter yang secara alami
dapat mengendalikan nimfa dan imago kutu putih singkong P. manihoti.
Parasitoid berasal dari Amerika Selatan, pertama kali diintroduksi ke Nigeria
melalui International Institute Tropical Agriculture (IITA) untuk mengendalikan
cassava mealybug (CMB) (Neuenschwander 1994, Neuenschwander 2001).
Parasitoid dilepaskan ke dua lokasi yang salah satunya pada areal seluas 3 000 ha
pertanaman ubi kayu di Abeokuta di Ogun State pada tahun 1982 (Odebiyi &
Bokonon·Ganta 1986).
Informasi mengenai biologi A. lopezi ini masih sangat terbatas, dalam
pengujian di laboratorium dalam kisaran suhu yang berfluktuasi antara 24-31°C
dan kelembapan 79-90% menunjukkan bahwa perkembangan dari telur hingga
imago berkisar antara 11-25 hari, dengan lama setiap tahap perkembangan telur 2
hari, larva instar I 1 hari, instar II 1 hari, instar III 2 hari, instar IV 2 hari, prapupa
4 hari, dan pupa 6 hari. Imago betina yang mampu meletakkan telur setelah
melakukan perkawinan, hidup selama 13 hari. Imago betina yang tidak meletakan
telur hidup lebih lama yaitu 25 hari. Nisbah kelamin jantan dan betina 1:2.3, atau
lebih dominan betina (Odebiyi & Bokonon·Ganta 1986). Hal berbeda dilaporkan
oleh Iziquel dan Le Rü (1992) yang menunjukkan hasil peneltiannya terhadap
lama hidup dari A. lopezi di laboratorium pada suhu 26 °C rata-rata adalah 41.4
hari dengan kisaran 15-64 hari. Hasil tersebut hampir empat kali lebih besar dari
laporan sebelumnya dan imago mampu meletakkan telur sebanyak 230 sampai
853 telur sepanjang hidupnya. Perbedaan tersebut dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor di antaranya adalah kepadatan populasi inang yang berbeda,
metode pengujian yang berbeda untuk mengukur keperidian, kurangnya pasokan
nutrisi makanan bagi imago parasitoid betina, suhu percobaan, tanaman inang, dan
keberadaan ekotipe dalam spesies A. lopezi atau dalam P. manihoti.
Penyebaran A. lopezi pada awalnya masih terbatas di beberapa negara
bagian Afrika dan Amerika Selatan. Umumnya keberadaan A. lopezi di Afrika
adalah hasil introduksi dari Amerika sebagai upaya menurunkan kepadatan
populasi P. manihoti di berbagai pertanaman ubi kayu. Parasitoid A. lopezi
dilaporkan juga sebagai parasitoid dari beberapa genus Phenacoccus, di antaranya
P. herreni Cox and William dan P. parvus (Noyes & Hayat 1994). Menurut data
CABI (2008b), A. lopezi juga menjadi musuh alami pada P. gossypii yang

12
menyerang tanaman kapas di Paraguay, namun sangat sedikit sekali informasi
mengenai ini.
Prosedur Karantina dan Skrening bagi Introduksi Musuh Alami
Introduksi spesies dari suatu daerah ke daerah lain dapat terjadi secara
sengaja maupun tidak. Keberadaan spesies tersebut dapat menjadi ancaman bagi
produksi pertanian juga bagi flora dan fauna asli, bahkan juga bagi keselamatan
dan kesehatan manusia. Hal-hal tersebut mendorong banyak negara membuat
aturan karantina yang ketat untuk mencegah terjadinya introduksi spesies,
termasuk juga agens pengendali hayati/musuh alami. Prosedur peraturan terhadap
kegiatan pemasukan agens hayati bagi setiap negara yang terikat dalam perjanjian
Sanitary and Phytosanitary (SPS) – World Trade Organization (WTO) dituang
dalam pedoman internasional di bawah naungan International Plant Protection
Convention (IPPC) yaitu International Standards For Phytosanitary Measures
(ISPM) No.3 mengenai Kode Etik Introduksi dan Pelepasan Agen Pengendali
Biologi (Code of Conduct for the Import and Release of Exotic Biological Control
Agents) (FAO 1996). Aturan tersebut menjabarkan tuntunan bagi suatu negara
untuk memformulasikan aturan-aturan yang dapat membantu dalam melakukan
importasi dan pelepasan agen pengendali biologi yang mampu memperbanyak diri
(self-replication) (termasuk parasitoid, predator, parasit, nematoda, organisme
fitofag, dan patogen), serangga steril dan organisme menguntungkan lainnya
(seperti mikoriza dan penyerbuk), termasuk yang dikemas atau yang termasuk
sebagai produk komersial. Ketentuan ini juga digunakan untuk impor agens
pengendali biologi non-pribumi dan organisme menguntungkan lainnya sebagai
penelitian di fasilitas karantina (Nowell & Maynard 2005).
Di Indonesia dalam melakukan introduksi musuh alami diatur berdasarkan
Surat Keputusan Menteri pertanian No. 411 Tahun 1995 tentang Pemasukan
Agens Hayati ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia. Ijin pemasukan dan
pelepasan musuh alami hanya dapat dikeluarkan berdasarkan SK Menteri
Pertanian atas rekomendasi Komisi Agens Hayati yang mengacu kepada
“Pedoman Umum Pemasukan Agens Hayati ke dalam Wilayah Indonesia”,
sebagaimana telah ditetapkan oleh Ketua Komisi Agens Hayati Nomor
226/Kpts/OT.160/L/9/06. Pedoman tersebut penting dilaksanakan sebagai bagian
dari petunjuk serangkaian pengujian yang harus dilakukan sebelum agens hayati
diusulkan pemasukannya dan diajukan

Dokumen yang terkait

Pengaruh Pakan Dan Inang Terhadap Perkembangan Imago Parasitoid Xanthocampoplex Sp. ( Hymenoptera : Ichneumonidae) Di Laboratorium

3 34 62

Evaluasi Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Ubi Kayu (Manihot esculenta Crant) di Desa Petuaran Hilir Kecamatan Pegajahan Kabupaten Serdang Bedagai

5 67 57

Kebugaran Dan Kemampuan Reproduksi Parasitoid Telur Ooencyrtus Malayensis Ferr. (Hymenoptera: Encyrtidae) Pada Dua Spesies Serangga Inang

1 6 47

Kesesuaian Dan Parasitisme Anagyrus Lopezi Pada Berbagai Instar Kutu Putih Singkong, Phenacoccus Manihoti Matile Ferrero

0 17 72

Quantitative analysis of potency of acerophagus papayae noyes & schauff (Hymenoptera: Encyrtidae), parasitoid of the papaya mealybug

0 11 128

Keanekaragaman hymenoptera parasitoid pada habitat Chromolaena odorata King & Robinson studi parasitoid yang berasosiasi dengan Cecidochares connexa Macquart di daerah Bogor

2 18 65

Host specifity test of parasitoid Anagyrus lopezi (De Santis) (Hymenoptera: Encyrtidae) on four mealybug species associated with cassava

0 1 10

Encapsulation rates of parasitoid Anagyrus lopezi (De Santis) (Hymenoptera: Encyrtidae) by cassava mealybug, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae)

0 0 9

Pengaruh Pakan Dan Inang Terhadap Perkembangan Imago Parasitoid Xanthocampoplex Sp. ( Hymenoptera : Ichneumonidae) Di Laboratorium

0 0 15

Pengaruh Pakan Dan Inang Terhadap Perkembangan Imago Parasitoid Xanthocampoplex Sp. ( Hymenoptera : Ichneumonidae) Di Laboratorium

0 0 13