Tingkat infeksi Neozygites fumosa (Speare) Remaudie’re & Keller (Zygomycetes : Entomophthorales) pada kutuputih pe-paya, Paracoccus marginatus Williams & Granara de Willink dan kutuputih singkong, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococc

(1)

REMAUDIE

RE & KELLER (ZYGOMYCETES :

ENTOMOPHTHORALES) PADA KUTUPUTIH PEPAYA,

Paracoccus marginatus

WILLIAMS & GRANARA De WILLINK

DAN KUTUPUTIH SINGKONG, Phenacoccus manihoti

MATILE-FERRERO (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE)

PADA TANAMAN SINGKONG

DI WILAYAH BOGOR

SHERLY VONIA ISMY

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

SHERLY VONIA ISMY. Infection levels of Neozygites fumosa (Speare)

Remau-die’re & Keller (Zygomycetes: Entomophthorales) on papaya mealybug, Paracoccus marginatus Williams & Granara de Willink and cassava mealybug, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae) on cassava at Bogor. Under the direction of RULY ANWAR.

Cassava (Manihot esculenta CRANTZ) is one of the most important carbohydrate sources after rice and corn. The papaya mealybug, Paracoccus marginatus and the cassava mealybug, Phenacoccus manihoti have been considered as serious pests on cassava plants. The one of their natural enemy is entomophthoralean fungus. This fungus has been found infect mealybug P. marginatus in Bogor, West Java, Indonesia. However, there is no any report of this fungus infected on P. manihoti in Indonesia. The objective of this research was to explore entomophthoralean fungus on both P. marginatus and P. manihoti. The research was conducted at Sukaraja Kaum Village, and Kebon Awi Village, from March 2012 to June 2012. The mealybugs were sampled from three blocks for each plant. Each block selected 10 plant samples with cross method. The insect populations were counted from 3 parts of leaf (up-center-down). The insect samples were put on 30 ml vials of 70% alcohol. Microscope squash method was made for both mealybugs with a lactophenol-cotton blue. Populations of both species mealybug showed significantly different. Population and infections level on P. marginatus significantly different, while the population of P. manihoti not significantly different and infection levels of fungi significantly different in the two villages observation. Entomophthorales fungi species that infects both mealybug is N. fumosa. Primary conidia, secondary conidia, hyphal bodies, and saprofitic fungi were found infect on both of mealybug.


(3)

ABSTRAK

SHERLY VONIA ISMY. Tingkat infeksi Neozygites fumosa (Speare)

Remau-die’re & Keller (Zygomycetes: Entomophthorales) pada kutuputih pepaya, Paracoccus marginatus Williams & Granara de Willink dan kutuputih singkong, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae) pada tanaman singkong di wilayah Bogor. Dibimbing oleh RULY ANWAR.

Singkong merupakan salah satu bahan makanan pokok yang banyak dikonsumsi oleh penduduk Indonesia setelah beras dan jagung. Spesies kutuputih (Hemiptera: Pseudococcidae) P. marginatus dan P. manihoti adalah hama yang menyerang pertanaman singkong di Indonesia. Cendawan Entomophthorales merupakan pengendali hayati yang potensial untuk mengendalikan kutuputih tersebut. Laporan mengenai kutuputih P. marginatus yang terinfeksi oleh genus Neozygites telah dilaporkan dari beberapa penelitian di Indonesia, namun belum ada informasi bahwa kutuputih P. manihoti terinfeksi oleh N. fumosa. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan mengetahui tingkat infeksi cendawan tersebut pada P. marginatus dan P. manihoti pada tanaman singkong dilakukan di Desa Sukaraja Kaum dan Desa Kebon Awi. Penelitian dimulai pada bulan Maret 2012 sampai bulan Juni 2012. Sampel kutuputih diambil dari 3 blok pada pertanaman singkong. Setiap blok dipilih 10 tanaman sampel dengan metode silang. Sampel kutuputih diambil dari 3 buah daun, masing-masing pada bagian atas, tengah, dan bawah. Kutuputih yang diperoleh dimasukkan ke dalam botol bervolume 30 ml yang telah berisi alkohol 70% untuk pengamatan lebih lanjut. Sampel kutuputih dibuat preparat menggunakan lactophenol cotton blue. Populasi dan tingkat infeksi cendawan pada kutuputih P. marginatus berbeda nyata, sedangkan populasi kutuputih P. manihoti tidak berbeda nyata dan tingkat infeksi cendawannya berbeda nyata di kedua desa pengamatan. Spesies cendawan Entomophthorales yang menginfeksi kedua kutuputih adalah N. fumosa, dan fase cendawan yang ditemukan pada kedua spesies kutuputih adalah konidiofor dan konidia primer, konidia sekunder, badan hifa, dan cendawan saprofitik.


(4)

TINGKAT INFEKSI Neozygites fumosa (Speare)

REMAUDIE

RE & KELLER (ZYGOMYCETES :

ENTOMOPHTHORALES) PADA KUTUPUTIH PEPAYA,

Paracoccus marginatus

WILLIAMS & GRANARA De WILLINK

DAN KUTUPUTIH SINGKONG, Phenacoccus manihoti

MATILE-FERRERO (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE)

PADA TANAMAN SINGKONG

DI WILAYAH BOGOR

SHERLY VONIA ISMY

A34080009

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada

Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(5)

Judul Skripsi : Tingkat infeksi Neozygites fumosa (Speare) Remaudie’re & Keller (Zygomycetes : Entomophthorales) pada kutuputih pe-paya, Paracoccus marginatus Williams & Granara de Willink dan kutuputih singkong, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae) pada tanaman singkong di Wilayah Bogor

Nama Mahasiswa : Sherly Vonia Ismy

NIM : A34080009

Tanggal lulus:

Disetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Ruly Anwar, MSi. NIP 1964 1224 199103 1 003

Diketahui, Ketua Departemen

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, MSc. NIP 19650621 198910 2 001


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Padang pada 13 Februari 1990 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Syahrel Ismy, SE. MM. dan Dra. Lily Voni. Penulis me-nyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di SMA Negeri 3 Padang pada ta-hun 2008, kemudian melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB.

Selama masa kuliah, penulis pernah mengikuti Himpunan Mahasiswa Pro-teksi Tanaman (HIMASITA) Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (2010-2011) sebagai bendahara Departemen Pengembangan Sumberdaya Manusia. Pe-nulis juga sering mengikuti berbagai Unit Kegiatan Kampus (UKM) yaitu AGRIASWARA (2009-2010) dan Unit Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) yaitu IPMM dan HIMAPD. Penulis juga mengikuti beberapa kepanitiaan kegiatan kampus seperti panitia Seminar dan Workshop Kewirausahaan BEM TPB IPB (2009), panitia Pekan Olahraga Fakultas Pertanian SERI A (2011), Seminar dan Workshop Kewirausahaan BEYOND BEM A Fakultas Pertanian (2011), panitia Pentas Seni Proteksi Tanaman (PROSSITA) (2011), Panitia Seminar Nasional Hama Wereng NPV 2011 dari HIMASITA (2011). Penulis pernah mengikuti pe-latihan Seminar dan Workshop Entrepreneurship Wirausaha Mandiri di JCC (2011) dan Seminar dan Workshop Entrepreneurship yang diadakan di UI Salemba (2012). Penulis juga pernah mendapat menjuarai beberapa perlombaan salah satunya juara 2 vokal grup pada SERI A 2011. Penulis juga menjadi salah satu anggota aktif vokal grup Departemen Proteksi Tanaman IPB. Selama masa kuliah penulis pernah mendapatkan beasiswa Indocement dan pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Pemanfaatan dan Pengelolaan Pestisida dan Klinik Tanaman.


(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Tingkat infeksi Neozygites fumosa (Speare) Remaudie’re & Keller (Zygomycetes : Entomoph-thorales) pada kutuputih pepaya, Paracoccus marginatus Williams & Granara de Willink dan kutuputih singkong, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemi-ptera: Pseudococcidae) pada tanaman singkong di wilayah Bogor”. Penelitian di-laksanakan dari bulan Maret 2012 sampai Juni 2012.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Ruly Anwar, MSi. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan ilmu pengetahuan, saran, arahan dan sangat sabar dalam membimbing penulis; Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, MSc., selaku dosen penguji tamu yang telah memberikan saran; Dr. Ir. I Wayan Winasa, MS., selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan saran dan arahan. Terima kasih kepada kedua orang tua, adik-adik saya serta keluarga besar tercinta yang selalu memberikan dukungan dan motivasi. Terima kasih kepada Pak Utam, sebagai petani tanaman singkong di Desa Kebon Awi; Pak Moestanto sebagai petani tanaman singkong, Ibu Ecin Sukaesih, Hangga, Indri, Agung yang selalu menemami saat pengamatan di lahan singkong Desa Sukaraja Kaum. Terima kasih kepada saudara seperjuangan, Novra Ernaliana, Yuke Aprilianti, Syarifah Yahtum L, 45 Prasasti Dwi P., Efratia, dan semua teman-teman Proteksi Tanaman IPB angkatan 45. Terima kasih kepada sepupu saya Vedri dan Rio. Terima kasih kepada teman kostan Guru Perdesi Christian S. Terima kasih kepada teman-teman OMDA Minang Zakir, Ica, dan teman-teman minang lainnya. Terima kasih terspesial penulis sampaikan kepada Taufik Hidayat yang telah banyak memberikan dukungan dan kontribusi kepada saya selama kuliah di IPB.

Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih banyak terdapat keku-rangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang memba-ngun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahu-an.

Bogor, Desember 2012


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Singkong ... 3

Kutuputih Pepaya P. marginatus Williams & Granara de Willink .... 5

Biologi dan Morfologi P. marginatus ... 5

Tanaman Inang dan Penyebaran Kutuputih P. marginatus ... 7

Gejala Serangan dan Dampak Ekonomi P. marginatus ... 8

Pengendalian Hayati pada P. marginatus ... 9

Kutuputih Singkong P. manihoti Matile-Ferrero ... 9

Biologi dan Morfologi P. manihoti ... 9

Tanaman Inang dan Penyebaran Kutuputih P. manihoti ... 12

Gejala Serangan dan Dampak Ekonomi P. manihoti ... 12

Pengendalian Hayati pada P. manihoti ... 13

Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Perkembangan Kutuputih . 13 Cendawan Entomophthorales (Zygomycetes) ... 14

Taksonomi Cendawan Entomophthorales ... 14

Biologi dan Ekologi Cendawan Entomophthorales ... 15

Family Neozygitaceae ... 18

Interaksi Cendawan Entomophthorales dengan Inang ... 20

BAHAN DAN METODE ... 22

Tempat dan Waktu ... 22

Bahan dan Alat ... 22

Pengambilan Sampel Kutuputih P. marginatus dan P. manihoti ... 22

Pembuatan Preparat Kutuputih P. marginatus dan P. manihoti ... 23

Identifikasi Fase Cendawan Entomophthorales ... 23

Rancangan Percobaan dan Analisis Data ... 23

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

Lokasi Penelitian ... 24

Desa Sukaraja Kaum, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor ... 24

Desa Kebon Awi, Kelurahan Cimahpar, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor ... 24

Pengamatan Populasi Kutuputih P. manihoti dan P. marginatus ... 25


(9)

Cendawan Entomophthorales pada P. manihoti ... 32

Tingkat Infeksi Cendawan Entomophthorales pada P. marginatus Pada tanaman singkong di Desa Sukaraja Kaum ... 34

Tingkat Infeksi Cendawan Entomophthorales pada P. manihoti pada tanaman singkong di Desa Sukaraja Kaum ... 38

KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

Kesimpulan ... 41

Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 42


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Kelimpahan populasi P. manihoti pada tanaman singkong di Desa

Sukaraja Kaum (SK) dan Desa Kebon Awi (KA) ... 25 2 Kelimpahan populasi P. marginatus pada tanaman singkong di Desa

Sukaraja Kaum (SK) dan Desa Kebon Awi ... 26 3 Tingkat Infeksi P. marginatus pada tanaman singkong di Desa

Sukaraja Kaum (SK) dan Desa Kebon Awi (KA) ... 36 4 Tingkat Infeksi P. manihoti pada tanaman singkong di Desa


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Imago jantan P. marginatus ... 6

2 Imago betina P. marginatus ... 6

3 Siklus hidup P. manihoti ... 10

4 Imago P. manihoti pada tanaman singkong di Desa Sukaraja Kaum berwarna merah muda pucat ... 11

5 Fase cendawan N. fumosa ... 19

6 Gejala pada tanaman singkong oleh kutuputih P. manihoti di Desa Sukaraja Kaum ... 29

7 Gejala pada tanaman singkong yang disebabkan oleh kutuputih P. marginatus di Desa Kebon Awi ... 29

8 Konidia sekunder yang menginfeksi P. marginatus di kedua desa ... 30

9 Badan hifa yang menginfeksi P. marginatus di kedua desa ... 31

10 Konidia primer yang menginfeksi P. marginatus di kedua desa ... 31

11 Cendawan saprofitik yang menginfeksi P. marginatus di kedua desa .... 32

12 Fase cendawan Entomophthorales yang menginfeksi P. manihoti di kedua desa ... 33

13 Proporsi fase cendawan yang menginfeksi P. marginatus di kedua desa ... 37


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Populasi P. marginatus pada tanaman singkong di Desa Sukaraja Kaum 47 2 Populasi P. marginatus pada tanaman singkong di Desa Kebon Awi .... 47 3 Populasi P. manihoti pada tanaman singkong di Desa Sukaraja Kaum .. 47 4 Populasi P. manihoti pada tanaman singkong di Desa Kebon Awi ... 48 5 Tingkat infeksi cendawan Entomophthorales pada P. marginatus pada

tanaman singkong di Desa Sukaraja Kaum ... 49 6 Tingkat infeksi cendawan Entomophthorales pada P. marginatus pada

tanaman singkong di Desa Kebon Awi ... 50 7 Tingkat infeksi cendawan Entomophthorales pada P. manihoti pada

tanaman singkong di Desa Kebon Awi ... 51 8 Tingkat infeksi cendawan Entomophthorales pada P. manihoti pada

tanaman singkong di DesaKebon Awi ... 52 9 Hasil uji-t populasi P. marginatus pada tanaman singkong di Desa

Sukaraja Kaum dan di Desa Kebon Awi ... 53 10 Hasil uji-t populasi P. manihoti pada tanaman singkong di Desa Sukaraja Kaum dan di Desa Kebon Awi ... 54 11 Hasil uji-t tingkat infeksi cendawan Entomophthorales P. marginatus pada tanaman singkong di Desa Sukaraja Kaum dan di Desa Kebon Awi... 55

12 Hasil uji-t tingkat infeksi cendawan Entomophthorales P. manihoti pada


(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Singkong (Manihot esculenta Crantz) masuk ke sebagian besar negara di Asia pada awal abad ke-19, kemudian pada pertengahan abad ke-19 tanaman tersebut telah dibudidayakan (Onwueme 2002). Produksi tanaman singkong di negara-negara Asia mulai bersaing di pasar dunia. Negara-negara Asia utama yang memproduksi singkong adalah Indonesia, Thailand, India, Cina, Filipina, dan Vietnam. (Onwueme 2002).

Kutuputih atau mealybug (Hemiptera: Pseudococcidae) merupakan hama yang sering menyerang pertanaman singkong, sehingga dapat menurunkan produksi singkong. Kutu tersebut disebut kutuputih karena hampir seluruh tubuhnya ditutupi oleh lapisan lilin berwarna putih. Spesies kutuputih yang menyerang tanaman singkong salah satunya P. marginatus dan P. manihoti (Hemiptera: Pseudococcidae) (Catalayud dan Lerü 2006).

Cendawan Entomophthorales (Zygomycetes) merupakan musuh alami yang mempunyai peran penting dan efisien untuk mengendalikan populasi hama. Sekitar 70 spesies dari cendawan tersebut merupakan patogen pada serangga hama, tungau, dan serangga yang merupakan vektor penyakit pada manusia dan binatang (Keller 2007). Cendawan tersebut memiliki kemampuan untuk menyebabkan keadaan epizootic, yaitu dapat mengurangi populasi hama secara dramatis dalam waktu yang sangat cepat.

Cendawan Entomophthorales mempunyai cakupan inang yang luas, dimana masing-masing spesies cendawannya bersifat spesifik pada inang tertentu sehingga tidak membahayakan organisme bukan sasaran. Cendawan tersebut mampu beradaptasi dengan berbagai tingkah laku dan habitat inang. Oleh karena itu, cendawan tersebut berpotensi untuk mengurangi populasi hama.

Cendawan Entomophthorales telah menginfeksi P. marginatus pada pertanaman singkong di wilayah Bogor, Jawa Barat. Nurhayati (2012), melaporkan bahwa cendawan Entomophthorales genus Neozygites telah menginfeksi kutuputih pepaya P. marginatus pada pertanaman singkong di wilayah Kecamatan Rancabungur dan Bubulak, Kota Bogor, Jawa Barat. Akan


(14)

tetapi, belum ada informasi bahwa cendawan Entomophthorales dari genus Neozygites menginfeksi kutuputih singkong P. manihoti di Indonesia. Cendawan Entomophthorales dari genus Neozygites di luar Indonesia dilaporkan terlebih dahulu telah menginfeksi kutuputih singkong Phenacoccus herreni dan P. manihoti di Brazil, Kongo, dan Paraguay. Spesies cendawan yang menginfeksi P. herreni dan P. manihoti itu adalah N. fumosa (Junior et al. 1997).

Junior et al. (1997) melaporkan adanya cendawan Entomophthorales dari famili Neozygitaceae N. fumosa (Speare) Remaudie’re & Keller (Zygomycetes : Entomophthorales) pada kutuputih singkong, Phenacoccus herreni Cox & Williams (Hemiptera : Pseudococcidae) di Brazil. Tingkat infeksi cendawan yang ditemukan di daerah Cruz das Almas, Brazil tersebut mencapai 9.3% sampai 9.4%. Fase cendawan yang ditemukan pada saat itu adalah badan hifa. Cendawan N. fumosa juga ditemukan telah menginfeksi P. manihoti Matile-Ferrero pada pertanaman singkong di wilayah Kongo, Bolivia, Paraguay, dan Brazil (Löhr et al. 1990 dalam Junior et al. 1997).

Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan mengeksplorasi dan menghitung tingkat infeksi N. fumosa pada P. marginatus dan P. manihoti pada tanaman singkong di dua lokasi, yaitu Desa Kebon Awi, Kecamatan Bogor Utara, Kotamadya Bogor dan Desa Sukaraja Kaum, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan penyebaran infeksi N. fumosa pada P. marginatus dan informasi ada tidaknya infeksi cendawan tersebut pada P. manihoti pada tanaman singkong terkait dengan pengendalian hayati.


(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Singkong

Singkong merupakan salah satu bahan makanan pokok alternatif untuk menggantikan beras dalam diversifikasi pangan. Tanaman singkong sangat mudah dibudidayakan di Indonesia dan umbinya memiliki kandungan karbohidrat lebih tinggi dibandingkan dengan beras (Berita 2012). Komoditi tersebut dapat digunakan untuk kebutuhan konsumsi manusia, pakan ternak, serta bahan baku industri besar dan industri rumahan (Berita 2012).

Umbi singkong merupakan sumber karbohidrat dan serat makanan. Umbi singkong mengandung senyawa glukosida sianogenik, dan apabila terjadi proses oksidasi oleh enzim linamarase maka akan menghasilkan glukosa dan asam sianida (HCN). Glukosa dan asam dicirikan dengan bercak warna biru pada umbi singkong, dan akan menjadi toksin bila dikonsumsi pada kadar HCN lebih dari 50 ppm (Badan Litbang Pertanian 2011). Umbi singkong dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan kadar HCN; (1) tidak boleh dikonsumsi apabila kadar HCN lebih dari 100 ppm (rasa pahit), seperti varietas Adira II, Adira IV dan Thailand; (2) dianjurkan tidak dikonsumsi apabila kadar HCN 40 sampai 100 ppm (agak pahit), seperti varietas UJ-5; dan (3) boleh dikonsumsi apabila kadar HCN kurang dari 40 ppm (tidak pahit), seperti varietas Adira I dan Manado. Ada korelasi antara kadar HCN umbi singkong dengan kandungan pati, semakin tinggi kadar HCN semakin pahit dan kadar pati meningkat, begitu sebaliknya. Industri tapioka umumnya menggunakan varietas berkadar HCN tinggi (varietas pahit) (Badan Litbang Pertanian 2011).

Negara China saat ini sedang mengembangkan industri bahan bakar menggunakan bahan baku singkong, sehingga penggunaan singkong menjadi meningkat. Hal tersebut dapat meningkatkan potensi ekspor singkong Indonesia ke China, bila China terus melakukan dan mengembangkan indutrinya tersebut (Berita 2012). Permintaan bahan baku singkong dari China pada setiap tahunnya bisa mencapai lebih dari 5 juta ton dengan nilai mencapai US$ 150 juta atau Rp 1.3 triliun per tahun. Akan tetapi, Indonesia baru mampu memenuhi sekitar 15% permintaan dari China (Berita 2012). Perusahaan-perusahan bioenergi etanol di


(16)

Provinsi Lampung saat ini sedang menerapkan pengembangan pembangkit listrik dari ampas singkong. Provinsi tersebut merupakan 60% penghasil singkong secara nasional, serta banyak perusahaan energi yang berada di provinsi tersebut bergerak di bidang bioenergi (ethanol) (Budiman 2012).

Menurut data BKPP Banten (2012), produksi umbi singkong nasional tahun 2011 mencapai 23.5 juta ton dari luas lahan 1.2 juta hektar. Akan tetapi, produksi singkong di Indonesia masih rendah dengan rata-rata produksi singkong nasional mencapai 19.5 ton/hektar. Indonesia merupakan negara ketiga pengekspor produk singkong dunia yang telah berkontribusi sekitar 5.8% dari total kebutuhan global pada tahun 2005 setelah Thailand dan Nigeria (BKPP Banten 2012).

Singkong merupakan tanaman yang mudah dibudidayakan di Indonesia karena mampu beradaptasi pada kelengasan yang sangat beragam (Rubatzky dan Yamaguchi 1998). Singkong dapat tumbuh dengan baik di wilayah yang mempunyai curah hujan 1500 sampai 2500 mm per tahun. Suhu udara minimal untuk pertumbuhan singkong adalah ± 10 oC. Kelembaban udara optimal bagi pertumbuhans ingkong adalah 60% sampai 65%. Singkong membutuhkan sinar matahari 10jam per hari untuk tumbuh dengan baik (Rukmana 1997). Produksi umbi sebagian besar dipengaruhi oleh perkembangan daun dan pemeliharaannya (Rubatzky dan Yamaguchi 1998).

Tanah di Indonesia memiliki pH asam yang berkisar 4 sampai 5, sehingga cukup netral untuk pertumbuhan tanaman singkong. Tanaman singkong dapat tumbuh di ketinggian tempat antara 10 sampai 700 m di atas permukaan laut (dpl) (Rukmana 1997). Varietas tanaman singkong tertentu dapat ditanam pada ketinggian tempat tertentu untuk dapat tumbuh optimal (Rubatzky dan Yamaguchi 1998).

Bibit yang digunakan untuk budidaya singkong sebaiknya berasal dari ta-naman induk yang cukup tua (10 sampai 12 bulan) dan belum tumbuh tunas-tunas baru. Budidaya singkong dapat dilakukan dengan cara stek batang. Batang yang digunakan sebagai bibit adalah bagian bawah sampai tengah (Rukmana 1997) .

Cara budidaya tanaman singkong dilakukan dengan membuat ujung bawah batang runcing kemudian tanam hingga kedalaman 5 sampai 10 cm atau kurang


(17)

lebih 1/3 bagian batang tertimbun tanah. Pemanenan singkong dilakukan saat pertumbuhan daun bawah mulai berkurang, warna daun mulai menguning dan banyak yang rontok. Varietas manggu dipanen pada umur tanaman singkong sudah mencapai 6 sampai 8 bulan , sedangkan untuk varietas gebang 9 sampai 12 bulan (Rukmana 1997).

Varietas tanaman singkong dicirikan oleh tingkat kepahitannya yang berkaitan dengan kandungan glukosida sianogemik beracun di dalam akar. Tipe manis mengandung glukosida dalam jumlah kecil dan mengandung banyak pati. Jumlah glukosida yang dihasilkan di dalam akar dipengaruhi oleh lingkungan pertumbuhan, bahkan tipe manis juga dapat berasa agak pahit. Glukosida dapat terurai pada suhu lebih tinggi dari 150 oC (Rubatzky dan Yamaguchi 1995).

Kutuputih Pepaya P. marginatus Williams & Granara de Willink

Biologi dan Morfologi P. marginatus

P. marginatus memiliki perbedaan ciri morfologi yang khas antara serangga jantan dan betina. Jenis kelamin belum dapat dibedakan pada saat nimfa instar pertama (Miller dan Miller 2002). Siklus hidup antara jantan dan betina pada P. marginatus mengalami perkembangan yang berbeda. Serangga jantan berkembang melalui stadia telur, nimfa instar-1, nimfa instar-2, nimfa instar-3 (prapupa), pupa dan imago, sedangkan betina tidak mempunyai stadia prapupa dan pupa. Serangga jantan memiliki sayap yang berfungsi untuk membantu proses migrasi sedangkan serangga betina tidak memiliki sayap (Gambar 1). Stadium nimfa instar ketiga jantan disebut prapupa dan stadium nimfa instar keempat jantan disebut pupa. Imago jantan memiliki bentuk tubuh oval memanjang dengan sepasang sayap (Miller dan Miller 2002).

Serangga betina berkembang melalui beberapa stadia, yaitu stadia telur, nimfa instar-1, nimfa instar-2, nimfa instar-3 dan imago. Perpindahan antar stadia nimfa dan imago tidak mengalami perubahan bentuk, hanya terjadi pertambahan ukuran tubuh dan fungsi organ (Miller dan Miller 2002). Stadium nimfa instar kedua betina memiliki tubuh berwarna kuning yang ditutupi oleh lilin putih.


(18)

Gambar 1 Imago jantan P. marginatus (Miller dan Miller 2002)

(a) bagian punggung daerah midcranial, (b) tungkai depan, (c) bagi ventral selubung penial, (d) Aedeagus, (e) bagian lateral selubung penial, (f) Porus discoidal, (g) porus quin-quelocular, (h) Scapus dan pedisel, (i) Segmen apical.

Gambar 2 Imago betina P. marginatus (Miller dan Miller 2002)

(a) Tungkai depan, (b) Oral-rim tubular duct, (c) Porus trilokular, (d) Porus Translusen, (e) Oral-collar tubular duct, (f) Tungkai belakang, (g) Porus Multilokular, (h) Seta cisanal, (i) Serari Anal-lobe, (j) Seta auxilliary, (k) Porus discoidal, (l) Seta bagian punggung, (m) Seta serari.


(19)

Lilin putih yang menutupi tubuh imago betina tidak terlalu banyak. Hal ini dilakukan untuk menutupi warna tubuhnya. Tubuh imago betina memiliki rangkaian filamen lilin pendek di sepanjang bagian tepi tubuh (Gambar 2). Kantung telur (ovisac) dibentuk di bagian ventral posterior tubuh betina dewasa. Imago betina tidak memiliki sayap, dan bergerak dengan perlahan dalam jarak yang dekat, atau dapat diterbangkan oleh angin (Miller dan Miller 2002).

Terdapat beberapa karakteristik penting yang membedakan imago jantan P. marginatus dengan spesies lain yaitu adanya seta yang kokoh dan tebal pada antena dan tidak terdapatnya seta yang kokoh pada tungkai. Imago betina P. marginatus juga memiliki perbedaan karakteristik dengan spesies Paracoccus lainnya, yaitu terdapat oral-rim tubular duct bagian dorsal yang terbatas pada tepi tubuh, dan tidak terdapatnya porus tranlusen pada tibia tungkai belakang (Miller dan Miller 2002).

Pada musim kemarau atau musim panas kutuputih akan aktif meningkatkan populasinya. Kutuputih memiliki telur yang berwarna hijau kekuningan dan terbungkus dalam kantung telur yang memiliki panjang 3 sampai 4 kali panjang tubuh imago betina. Kantung telur terbuat dari benang-benang lilin yang lengket, mudah melekat pada permukaan daun dan dapat diterbangkan oleh angin (Miller dan Miller 2002). Masa dari telur menetas menjadi nimfa adalah setelah 10 hari (Walker et al. 2003). Telur mampu bertahan hingga 80% sampai 90% pada suhu 20 sampai 30 ºC, suhu optimum untuk perkembangan telur adalah 25 ºC (Amarasekare et al. 2007).

Tanaman Inang dan Penyebaran Kutuputih P. marginatus

P. marginatus dikenal dengan nama kutuputih pepaya, dan merupakan serangga polifag yang menyerang banyak tanaman buah tropis, sayuran dan tanaman hias (Miller dan Miller 2002). P. marginatus berasal dari wilayah Neotropik di Belize, Kosta Rika, Guatemala, dan Meksiko (Williams dan Willink 1992). Keberadaan kutuputih tersebut tidak menjadi masalah serius di Meksiko, karena di wilayah tersebut terdapat musuh alami endemik (Walker et al. 2003).

P. marginatus telah ditemukan di kepulauan Karibia pada awal tahun 1990 dan kemudian menyebar disekitar wilayah kepulauan Karibia pada tahun 1994


(20)

(Walker et al. 2003). Pada tahun 1998, kutuputih tersebut telah ditemukan di Florida, Amerika Serikat, pada tanaman kembang sepatu (Miller et al. 1999). Serangan berat terjadi di Kepulauan Guam di Pasifik pada tahun 2002 (Walker et al. 2003). Pada tahun 2003 serangan berat juga terjadi di Republik Palau (Muniappan et al. 2006). Pada Mei 2004 kutuputih tersebut juga ditemukan di Kepulauan Hawai, Amerika Serikat pada tanaman pepaya, kamboja, kembang sepatu dan jarak (Heu et al. 2007).

Menurut Miller dan Miller (2002), kutu ini dapat menyebabkan kerusakan serius dan paling banyak menyerang tanaman yang mempunyai arti ekonomi penting seperti buah tropis terutama pepaya, kemudian menyerang tanaman kembang sepatu di Florida. P. marginatus merupakan serangga polifag yang menyerang lebih dari 25 tanaman inang diantaranya pepaya (Carica papaya L.), jeruk (Citrus spp. L.), alpukat (Persea Americana P. Mill.), terong (Solanum melongena L.), kembang sepatu (Hibiscus spp. L.), plumeria (Plumeria spp. L.), dan acalypa (Acalypha spp. L.) (Miller dan Miller 2002).

P. marginatus ditemukan pertama kali di Indonesia pada Mei dan Juli 2008 pada pertanaman pepaya di Kebun Raya Bogor, Jawa Barat (Muniappan et al. 2008). Kutuputih tersebut kemudian menyebar dan telah ditemukan di beberapa wilayah Jawa Barat yaitu Kabupaten dan Kota Bogor (Kecamatan Gunung Putri, Sukaraja, Cigombong, Dramaga, Rancabungur, Cijeruk, Ciburui, Cibinong, dan Bojong Gede), Kabupaten Sukabumi (Kecamatan Cicurug dan Cidahu), dan Depok (Kecamatan Beji dan Pancoran Mas) (Dirjen Hortikultura 2008).

Gejala Serangan dan Dampak Ekonomi P. marginatus

P. marginatus mempunyai alat mulut menusuk-menghisap. Kutuputih tersebut menghisap cairan dari tanaman dengan cara menusukkan stilet ke dalam jaringan epidermis daun, buah dan batang. Pada saat menusukkan stilet, kutuputih mengeluarkan racun yang dapat menyebabkan gejala klorosis, kerdil, malformasi, dan daun muda rontok pada tanaman tersebut. Kutuputih tersebut juga menghasilkan embun madu yang dapat berasosiasi dengan cendawan jelaga,


(21)

sehingga dapat menghambat proses fotosintesis hingga akan menyebabkan kematian tanaman (Walker et al. 2003).

Pengendalian hayati pada P. marginatus

Pengendalian hayati dengan memanfaatkan beberapa musuh alami seperti parasitiod dan predator pada P. marginatus telah banyak dilakukan di beberapa negara maju dan berkembang. Pada tahun 2003, parasitoid Anagyrus loecki Noyes, Pseudleptomastix mexicana Noyes dan Schauff, dan Acerophagus papayae Noyes & Schauff (Hymenoptera: Encyrtidae) telah diaplikasikan di lahan pertanaman pepaya Republik Palau. Parasitoid tersebut merupakan parasitoid yang di datangkan dari Puerto Rico. Tingkat parasitisasi parasitoid A. loecki dan A. papayae terhadap P. marginatus mencapai 9% sampai 12%. Pengendalian P. marginatus di wilayah Peurto Rico, Dominica dan Guam dilakukan dengan menggunakan parasitoid dan dapat menurunkan populasi sebesar 97% setahun setelah introduksi parasitoid tersebut (Muniapan et al. 2006).

Kutuputih Singkong P. manihoti Matile-Ferrero

Biologi dan Morfologi P. manihoti

P. manihoti memiliki tubuh berwarna merah muda yang dilapisi oleh lapisan lilin putih. Lapisan lilin yang dimiliki kutu tersebut lebih tipis dibandingkan dengan lapisan lilin pada imago betina kutuputih pepaya P. marginatus. Tubuh kutuputih singkong lebih ramping, sedikit lonjong. Serangga ini bersifat partenogenetik yang berarti dalam berkembang biak tidak perlu dibuahi oleh imago jantan, sehingga semua keturunan yang dihasilkan akan menjadi betina (Williams dan Willink 1992). P. manihoti memiliki empat instar dalam siklus hidupnya yaitu telur, nimfa instar-1, nimfa instar-2, nimfa instar-3, dan imago.


(22)

\

Gambar 3 Siklus hidup P. manihoti (Calatayud dan Le Rü 2006)

Kutuputih tersebut memiliki siklus hidup yang berlangsung selama 21 hari. Imago betina mampu menghasilkan lebih dari 500 telur yang diletakkan berkelompok dalam kantung telur. Telur akan menetas menjadi nimfa instar-1 setelah 8 hari. Nimfa instar-1 bersifat aktif dan berperan dalam migrasi untuk membentuk koloni baru. Perkembangan nimfa instar-1 menjadi nimfa instar-2, dan nimfa instar-2 menjadi nimfa instar-3 memerlukan waktu selama 4 hari. Perkembangan nimfa instar-3 menjadi imago memerlukan waktu selama 5 hari. Setelah itu imago betina akan kembali meletakan telur (Calatayud dan Le Rü 2006).

Kutuputih P. manihoti mampu hidup pada temperatur udara yang rendah yaitu 14.7 ºC dan dapat berkembang secara optimal pada suhu 28 ºC serta mampu menghasilkan 500 butir telur. Kutu tersebut tidak dapat bertahan pada suhu di atas 35 ºC. Umur tanaman tidak mempengaruhi siklus hidup dari P. manihoti, namun dapat dipengaruhi oleh varietas tanaman (Herren & Neuenschwander 1991).

Imago P. manihoti memiliki 18 pasang seta serari yang masing-masing diperluas dengan seta yang berbentuk tumpul. Pada permukaan dorsal terdapat sedikit seta tumpul tanpa kelompok lubang trilokular di sekeliling setanya. Porus quinquelokular banyak terdapat pada permukaan ventral tubuhnya.


(23)

Porus ini selalu berjumlah 32 sampai 68 di kepala, di area sekitar anterior lempengan klipeolabrum. Biasanya pada permukaan dorsal ditemukan lempengan porus mul-tilokular yang berjumlah banyak dan terkadang terdapat juga pada bagian torak. Karakter penting lainnya yang terdapat pada kutu tersebutadalah 9 segmen antena dan pada tarsus terdapat dentikel (Williams dan Wilink 1992).

Gambar 4 Imago P. manihoti pada daun singkong di kedua desa yang berwarna merah muda pucat

Selama eksplorasi pada permukaan tanaman, serangga dari ordo Hemiptera menggunakan bagian tubuh bagian sensilla dan labial. P. manihoti memiliki sensilla pada bagian antena yang berfungsi untuk mendeteksi bahan kimia yang dilepaskan oleh tanaman. Keberadaan sistem kontak dan kemoreseptor penciuman di ujung labial menunjukkan bahwa dengan dengan “menekan” daun singkong, informasi tentang sifat kimia dari permukaan daun dapat dikumpulkan. Linnamarin, hasil dari senyawa cyanogenic pada phylloplane tanaman singkong berpengaruh terhadap cara pengenalan, penerimaan tanaman inang, dan berperan penting dalam merangsang makan bagi kutuputih. Hasil rekaman dengan alat Electropenetrography (EPG) melaporkan bahwa cianida atau senyawa cyanogenic memberikan pengaruh terhadap proses penetrasi P. manihoti. Kutuputih singkong adalah serangga phloemophagus yaitu menghisap cairan floem dari tanaman singkong. Kutuputih tidak menyukai bagian vena utama pada daun karena butuh waktu lama bagi stilet untuk mencapai cairan floem. Hal ini juga berkaitan dengan asam fenolik dalam kompartemen apoplastis jaringan daun pada tanaman singkong (Calatayud dan Le Rü 2006).


(24)

Kelimpahan populasi kutuputih singkong yang tinggi di Afrika dan Amerika Selatan terjadi karena setiap tahun terjadi musim kemarau sehingga menyebabkan stress pada tanaman singkong. Nutrisi seperti sukrosa dan amino pada tanaman singkong menjadi tidak seimbang. Kondisi tanaman yang demikian mendukung perkembangan populasi kutuputih. Perlawanan parsial tanaman singkong (baik antixenosis dan antibiosis) menurun selama musim kemarau. Jenis resistensi serangga terhadap tanaman terjadi saat pemilihan tanaman awal dan melibatkan faktor fisik dan kimia karakteristik tanaman. Resistensi tanaman singkong terhadap masuknya kutuputih melibatkan dua mekanisme intrinsik (antixenosis, antibiosis, dan toleransi) dan ekstrinsik mekanisme. Antixenosis pada tanaman singkong terhadap kutuputih melibatkan faktor-faktor kimia seperti linnamarin sebagai pengenalan inang dan untuk phagostimulation nimfa dan imago. Varietas tanaman singkong yang mempunyai kandungan linnamarin lebih tinggi paling disukai oleh hama (Calatayud dan Le Rü 2006).

Tanaman Inang dan Penyebaran Kutuputih P. manihoti

Kutuputih singkong, P. manihoti merupakan serangga hama yang bersifat oligofag. Serangga ini umumnya hanya menyerang tanaman singkong atau ta-naman dari famili Euphorbiaceae. Kutuputih singkong pertama kali ditemukan pada tahun 1973 menyerang pertanaman singkong di Kongo. Setelah melalui pro-ses eksplorasi dan taksonomi yang intensif, pada tahun 1981 kutuputih singkong diketahui berasal dari wilayah Amerika Selatan. Pada akhir tahun 1960-an atau awal 1970-an secara tidak sengaja terintroduksi ke wilayah Afrika dan berkem-bang secara cepat karena tidak adanya musuh alami (Herren 1990). Serangga ini juga ditemukan telah menyebar ke wilayah Amerika Selatan seperti Paraguay, Brazil dan Bolivia (Calatayud dan LeRü 2006). Pada tahun 2009, P. manihoti pertama kali ditemukan di wilayah Asia Tenggara yaitu Thailand, Kamboja, dan Laos, kemudian masuk ke Indonesia pada tahun 2010 (Muniappan et al. 2011)

Gejala Serangan dan Dampak Ekonomi P. manihoti

Gejala kerusakan yang ditimbulkan oleh P. manihoti adalah keriting pada bagian tunas daun, daun menguning, perubahan bentuk pada batang, roset pada


(25)

titik tumbuh dan kematian pada tanaman muda (Calatayud dan Le Rü 2006). Serangan berat dapat mengakibatkan daun gugur (Calatayud dan Le Rü 2006). Kehilangan hasil akibat serangan kutuputih singkong dapat mencapai 68% sampai 88% tergantung pada kultivarnya. Di daerah Afrika, kehilangan hasil akibat serangan kutuputih singkong mencapai 80% (Belloti 2002).

Pengendalian Hayati pada P. manihoti

Upaya pengendalian P. manihoti di beberapa negara dilakukan dengan me-manfaatkan musuh alami berupa predator dan parasitiod. Beberapa predator yang diketahui dapat menurunkan populasi P. manihoti,diantaranya adalah Hyperaspis notata Mulsant dan H. jucundan (Coleoptera: Coccinellidae). Predator ini diketa-hui mampu berkembang biak dengan baik dan menurunkan populasi P. mannihoti di Zaire, Burundi, dan Mozambik. Selain itu, juga ditemukan H. notata yang ber-asal dari Colombia mampu memangsa P. herreni dan di wilayah Brazil. Predator ini memangsa P. manihoti. Beberapa predator lain yang berpotensi mengendali-kan P. manihoti adalah Diomus hennesseyi Fürsch (Coleoptera: Coccinellidae) (Neuenschwander 2001).

Beberapa parasitoid yang mampu memarasit P. manihoti, diantaranya yaitu Apoanagyrus (Epidinocarsis) lopezi De Santis (Hymenoptera: Encyrtidae) dan Allotropa sp. (Hymenoptera: Platygasteridae). Parasitoid yang disebut terakhir diketahui pernah dilepaskan di beberapa Wilayah di Afrika, tetapi keberadaannya tidak ditemukan kembali di beberapa wilayah tempat parasitioid tersebut dilepas-kan. Sedangkan A. lopezi mampu berkembang biak dengan baik dan mampu me-nurunkan populasi P. manihoti di 26 negara di Afrika (Neuenschwander 2001).

Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Perkembangan Kutuputih Temperatur merupakan salah satu faktor lingkungan yang dapat mening-katkan distribusi dan penyebaran serangga. Kemampuan serangga untuk berkem-bang pada temperatur yang berbeda sangat penting untuk bertahan dalam berbagai kondisi iklim (tropik, subtropik, dan sedang) dan sangat penting untuk mempre-diksi serangga outbreak. Hujan merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh


(26)

secara langsung dan tidak langsung terhadap populasi kutuputih di lapangan. Kondisi curah hujan yang tinggi menyebabkan kutuputih jatuh dari tanaman inang. Kondisi lingkungan yang kering menyebabkan stres pada tanaman sehing-ga lebih rentan untuk terserang hama. Keadaan angin memberi pensehing-garuh yang be-sar terhadap perkembangan kutuputih dalam proses penyebaran serangga hama tersebut. Ukuran tubuh serangga yang relatif kecil memungkinkan untuk berpin-dah dari 1 tanaman ke tanaman yang lain dengan bantuan angin. Perpinberpin-dahan yang terjadi tidak hanya perpindahan lokal, tapi juga dapat terjadi migrasi yang sangat jauh hingga ribuan mil (Lewis 1973).

Cendawan Entomophthorales (Zygomycetes)

Taksonomi Cendawan Entomophthorales

Cendawan Entomophthorales memiliki 5 famili, yaitu Ancylistaceae, Completoriaceae, Entomophthoraceae, Meristacraceae dan Neozygitaceae (Keller dan Petrini 2005). Spesies cendawan patogen arthropoda termasuk ke dalam famili Ancylistaceae (genus Conidiobolus), Entomophthoraceae (12 genera), dan Neozygitaceae (2 genera). Dua famili terakhir (Entomophthoraceae dan Neozygitaceae) merupakan cendawan entomopatogen. Hanya satu spesies entomopatogen Meristacrium milkoi (Dudka dan Koval) Humber (1981), sebagai entomopatogen pada larva Tabanidae (Diptera) yang termasuk ke dalam family Meristacraceae.

Menurut Keller dan Wegensteiner (2007), pada tahun 2006 sebanyak 223 spesies entomopatogen dari cendawan Entomophthorales telah dideskripsikan. Famili Entomophthoraceae memiliki 195 spesies, Neozygitaceae memiliki 17 spesies, dan Ancylistaceae memiliki 10 spesies. Sebanyak 185 spesies diketahui hanya sampai genus, dan 38 spesies diketahui hanya dari fase spora istirahat yang terdapat pada genus Tarichium.

Keller dan Wegensteiner (2007) melaporkan hasil identifikasi terhadap cendawan Entomophthorales menunjukkan bahwa 176 spesiesnya menyerang serangga. Sembilan spesies diketahui bersifat patogenik pada Arachnida, 7 spesies ditemukan pada Acari dan 2 spesies pada Phalangiidae. Sebagian besar spesies


(27)

(34% atau sekitar 68 spesies) ditemukan pada Diptera dan 23% pada Homoptera, dan kurang dari 10% ditemukan pada inang lainnya, seperti spesies yang menyerang Trichoptera, Collembola, Dictyoptera (Blattaria) dan Rhaphidoptera.

Humber (1989 dalam Keller 2007 ) melaporkan famili yang menjadi cendawan patogenik pada arthropoda diketahui berasal dari famili Ancylistaceae (genus Conidiobolus), Entomophthoracae (12 genus) dan 2 genus dari Neozygitaceae. Famili Meristacraceae hanya dari spesies Meristacrum mikoi yang merupakan patogen larva Tabanidae (Diptera).

Cendawan Entomophthorales yang telah teridentifikasi adalah sebanyak 16 genus dan 233 spesies. Sebagian besar cendawan entomopatogenik termasuk ke dalam famili Entomophthoraceae 195 spesies (87.4%), 17 spesies termasuk ke dalam famili Neozygitaceae dan 10 spesies Ancylistaceae yang masing-masing memiliki persentasi sebesar 7.6% dan 4.4%. Sedangkan anggota dari famili Meristacraceae hanya memiliki satu jenis spesies cendawan entomopatogenik. Spesies dari famili Neozygitaceae umumnya menyerang serangga dari ordo Thysanophtera dan sebagian Hemipetra (kutu-kutuan), sedangkan spesies dari fa-mili Entomophthoraceae umumnya menyerang sebagian Hemiptera (termasuk je-nis wereng) dan beberapa serangga dari ordo Diptera, Lepidoptera dan Coleoptera (Keller 2007).

Biologi dan Ekologi Cendawan Entomophtorales

Cendawan Entomophthorales mempunyai beberapa fase yang berhu-bungan dengan inang, fisiologi, dan siklus reproduksi. Struktur tersebut adalah protoplas, badan hifa, konidiofor, konidia, spora istirahat, sistidia, dan rizoid. Struktur cendawan merupakan dasar untuk melakukan identifikasi dan mengeta-hui taksonomi dari cendawan Entomophthorales (Keller dan Wegensteiner 2007). Cendawan Entomophthorales memiliki banyak fase. Fase dari cendawan tersebut akan berubah selama siklus hidup berlangsung, dimana dimulai dengan multiplikasi cendawan di dalam tubuh inang sampai akhirnya mati. Semua struktur cendawan dimulai dari inang yang sudah mati (Keller 2007).

Fase protoplas ditemui dalam tubuh inang yang telah terinfeksi. Fase cendawan tersebut tidak mempunyai dinding sel dan memiliki bentuk yang khas.


(28)

Fase ini tidak banyak terdapat pada spesies cendawan Entomophthorales dan merupakan tipe dari multiplikasi perkembangan vegetatif.

Fase badan hifa merupakan fase yang banyak ditemukan pada semua spesies cendawan Entomophthorales dan merupakan multiplikasi dari tipe perkembangan vegetatif. Badan hifa berkembang dalam tubuh inang yang telah terinfeksi, dan berkembang dari protoplas. Dinding sel akan mengekspresikan badan hifa dalam berbagai bentuk yang spesifik. Badan hifa berasal dari beberapa perkembangan yang berasal dari konidiofor, sistidia, rizoid, dan spora istirahat. Bentuk badan hifa yang spesifik tersebut menjadi ciri penting dalam menggolongkan cendawan Entomophthorales (Keller 1987).

Fase sistidia ditemukan pada genus Conidiobolus, Entomphthoroidae, dan terkadang pada Erynioidae. Fase ini dikenal dengan konidiofor steril, namun fase ini merupakan struktur khusus yang berbeda dari konidiofor yang banyak terdapat pada spesies cendawan yang lain. Fase rizoid merupakan struktur substrat, dan terdapat pada semua genera kecuali Entomophaga dan Neozygitaceae (Keller 1987).

Fase konidiofor muncul dari badan hifa. Konidiofor ada yang bercabang dan ada yang tidak bercabang, dan muncul dari tabung kecambah dari badan hifa. Konidiofor yang bercabang memiliki percabangan yang terbatas pada distal. Terdapat dua tipe percabangan pada konidiofor yaitu dikotomous dan digital (Keller 1987).

Fase konidia primer secara aktif dihasilkan dari bagian ujung konidiofor. Konidia primer dihasilkan lebih pada konidiofor tidak bercabang yang mengan-dung dua atau lebih nukleus, sedangkan yang dihasilkan oleh konidiofor berca-bang mendandung satu nukleus. Bentuk dan ukuran konidia primer merupakan kriteria penting dalam identifikasi jenis cendawan Entomophthorales.

Ben-Ze’ev dan Kenneth (1982 dalam Keller 2007) mengelompokkan konidia sekunder ke dalam lima tipe. Tipe I, konidia sekunder dihasilkan satu per satu kemudian dikeluarkan, biasanya dari pertumbuhan yang pendek akan muncul di atas konidia primer. Tipe ini dibagi lagi menjadi dua, yaitu Tipe Ia mempunyai bentuk yang hampir sama dengan konidia primer. Tipe ini merupakan tipe normal yang dimiliki hampir semua jenis cendawan Entomophthorales. Tipe Ib


(29)

mempu-nyai bentuk yang berbeda dengan konidia primer. Tipe Ib ini terdapat pada Erynia, Furia, Pandora, dan beberapa jenis Entomophaga. Keller dan Eilenberg (1993 dalam Keller 2007) melaporkan bahwa konidia sekunder pada Tipe II disebut kapillikonidia. Kapillikonidia dihasilkan secara satu per satu, berukuran panjang, mempunyai tabung kapiler langsing yang muncul pada konidia primer dan dilepaskan secara pasif. Tipe ini ditemukan pada Zoophthora, Neozygites, Orthomyces, dan Eryniopsis lampyridarum.

Konidia sekunderTipe III dikenal dengan nama microconidia. Konidia ini menghasilkan satu dari banyak perkembangan pipa tubular yang muncul dari ko-nidia primer. Bentuk microconidia menyerupai konidia primer, tetapi lebih kecil. Tipe ini banyak ditemukan pada beberapa jenis Conidiobolus. Tipe IV disebut de-ngan nama microspores. Tipe ini tidak ditemukan pada jenis cendawan entomopa-togen. Tipe V dikenal dengan istilah aquatic secondary conidia, tetra-radiate pro-pagules, tetra-radiate conidia, branched, stellate atau coronate conidia. Konidia sekunder ini dihasilkan di dalam air atau saat kontak dengan air dan sebagian be-sar ditemukan pada beberapa jenis Erynia yang berasosiasi dengan air (Keller 2007).

Fase spora istirahat merupakan struktur bertahan cendawan Entomophtho-rales dengan dinding sel ganda dan berukuran tebal. Spora istirahat berfungsi un-tuk bertahan hidup pada kondisi yang kurang menguntungkan. Spora istirahat dibentuk secara aseksual dari suatu badan hifa (azygospora) atau secara seksual dari konjugasi dua badan hifa(zygospora). Sebagian besar bentuk spora istirahat adalah bola dan hialin. Beberapa spora istirahat ada yang dikelilingi oleh epispo-rium. Fase spora istirahatsecara spesifik hanya dapat ditemukan pada genus Neo-zygites. Spora istirahat pada Neozygites berwarna coklat gelap menuju hitam, berbentuk bola atau elips, berstruktur halus, dan mempunyai dua asam nukleat (Keller 2007).

Konidia yang dihasilkan sangat tergantung pada stadia serangga inang yang diinfeksi. Jika menginfeksi serangga muda, maka akan menghasilkan koni-dia primer. Sedangkan apabila menginfeksi serangga yang lebih tua, maka yang dihasilkan adalah spora istirahat. Konidia dari cendawan Entomophthorales umumnya menyebar secara aktif, berbeda dengan Ascomycetes yang menyebar


(30)

secara pasif. Apabila sebuah konidia melakukan kontak dengan serangga inang, maka akan terbentuk tabung kecambah (germ tube). Setelah itu, cendawan akan melakukan invasi pada hemosol serangga dan terjadilah infeksi (Keller 1987).

Cendawan Entomophthorales memiliki siklus aseksual (konidia) dan siklus spora istirahatyang bisa menjadi seksual (zygospora) atau menjadi aseksual (azygospora). Siklus aseksual mempunyai sturuktur cendawan lebih banyak daripada siklus spora istirahat, sehingga menjadi alasan cendawan Entomophthorales diklasifikasikan berdasarkan siklus aseksual. Siklus aseksual memungkinkan cendawan Entomophthorales berkembang dan menyebar pada populasi inangnya, sementara itu spora istirahat memungkinkan cendawan untuk bertahan pada kondisi yang buruk, seperti musim dingin, kekeringan atau tidak tersedianya inang (Keller dan Wegensteiner 2007).

Cendawan Entomophthorales dari famili Neozygites memiliki ciri-ciri fase vegetatif (badan hifa) berbentuk globose atau batang dengan atau tanpa dinding sel. Badan hifa memiliki nukleus dengan ukuran 3 sampai 5 μm. Konidiofornya berbentuk sederhana. Konidia primertidak memiliki membran luar dan memencar secara paksa dengan papilar eversion. Konidia primer memiliki 3 sampai 10 nuklea. Cendawan Entomophthorales dari famili Neozygitaceae memiliki 2 tipe konidia sekunder, yaitu berbentuk seperti konidia primer dan berbentuk kapillikonidia. Spora istirahat biasanya zygospora yang terbentuk dari proses konjugasi 2 badan hifa de-ngan satu nukleus pada masing-masing gametangiumnya. Bentuk spora istirahat adalah bulat atau lonjong berwarna coklat sampai kehitaman, kadang-kadang ditemukan juga yang hialin, episporium datar (rata) atau memiliki ornamen (Keller 2007).

Family Neozygitaceae

Famili Neozygitaceae memiliki 2 genus (Neozygites dan Apterivorax) dan 18 spesies yang mampu menginfeksi serangga maupun tungau (Keller 2007). Cendawan dari genus Neozygites telah menyebar secara luas hampir di seluruh belahan dunia. Konidia sekunder atau kapillikonidia adalah fase infektif pada N. fumosa yang banyak menyerang pada bagian permukaan tubuh serangga dan membentuk appressorium. Konidia sekunder melakukan penetrasi menembus ke


(31)

dalam kutikula dan membentuk badan hifa. Badan hifa kemudian berlipat ganda memenuhi hemosel. Cendawan entomopatogen tergantung oleh kelembapan udara yang tinggi untuk bertahan dan germinasi (Keller 2007).

Kisaran inang dari famili Neozygitaceae merupakan jenis artropoda kecil seperti tungau (Acarina), trips (Thysanoptera), Colembola dan beberapa serangga dari ordo Hemiptera (Pell et al. 2001). Beberapa spesies yang diketahui menye-rang tungau antara lain adalah Apterivorax acaricida, Neozygites abacaridis, N. acaridis, N. tetranychi, N. floridana dan N. tanajoae. Spesies yang diketahui menginfeksi serangga dari ordo Thysanoptera antara lain adalah N. parvispora dan N. cucumeriformis. Spesies yang menyerang Colembola adalah A. sminthuri. Sedangkan spesies yang menyerang serangga dari ordo Hemiptera antara lain ada-lah N. fresenii yang diketahui menyerang kutu daun (Aphis spp.), N. heteropsyllae dilaporkan menyerang Heteropsylla cubana (Hemiptera: Psyllidae), N. fumosa yang dilaporkan menyerang serangga dari famili Pseudococcidae (Keller 2007).

Gambar 5 Fase cendawan N. fumosa (Junior et al. 1997) (1) badan hifa, (2) tetra nucleated badan hifa, (3) konidia primer, (4) kapillikonidia, (5a) Kapillikonidium mucoid apical droplet, (5b)Kapillakonidium setelah lepas dari capillary konidiofor dengan beberapa nucleus didalamnya

N. fumosa (Speare) Remaudiére & Keller (Zygomycetes: Entomophthorale s) ditemukan pada tahun 1994 dan pertama kali sebagai patogen P. herreni pada pertanaman singkong di wilayah Brazil. Tingkat infeksi yang ditemukan di wilayah Cruz das Almas dan São Gonҫalo mencapai 9.3% sampai 64%.


(32)

N. fumosa memproduksi badan hifa yang berbentuk globose (9.5 sampai 14.2 μm diameter) dan berbentuk lonjong yang sedikit melebar. Selain itu,

memiliki tetra-nucleate konidia primer (16.5±0.5 x 8.1±0.9 μm). Di lapangan, ditemukan beberapa kapillikonidia dan tidak ditemukan adanya spora istirahat. Spesies N. fumosa sedang dipelajari sebagai musuh alami yang potensial untuk digunakan sebagai musuh alami kutu putih singkong di Brazil (Delalibera 1997).

Interaksi Cendawan Entomophthorales dengan Inang

Interaksi antara cendawan dengan inang merupakan karakteristik yang di-butuhkan oleh keduanya untuk meningkatkan potensi reproduktif masing-masing. Inang akan meningkatkan ketahanan ketika cendawan menginfeksi. Cendawan Entomophthorales merupakan cendawan yang terspesialisasi dengan baik, mem-punyai cakupan inang yang cukup luas dan mampu beradaptasi dengan tingkah la-ku inang. Oleh karena itu, cendawan Entomophthorales mempunyai nilai tinggi dari sisi pengurangan inang serangga secara selektif yang berarti bahwa cendawan ini tidak akan membahayakan organisme bukan sasaran (Keller dan Wegensteiner 2007).

Cendawan Entomophthorales membutuhkan kondisi lembab untuk berspo-rulasi dan berkecambah. Banyak spesies yang memiliki kemampuan untuk meng-infeksi dan menyebabkan kematian inang pada sore hari hingga malam hari, saat kelembapan udaranya cukup tinggi (Keller dan Wegensteiner 2007). Cendawan menginfeksi inang dengan menembus kutikula inang. Hal ini merupakan prinsip dari cendawan entomopatogen, karena cendawan tidak dapat masuk secara aktif ke dalam alat mulut serangga dan menyerang sistem pencernaannya. Selain itu, beberapa cendawan entomopathogen juga mengeluarkan senyawa metabolit untuk menembus tubuh inang saat inang mengaktifkan sistem pertahanannya. Cendawan entomopatogen berasosiasi dengan berbagai macam habitat serangga, termasuk di dalam air dan tanah, permukaan tanah, serta di zona aerial. Setelah proses penetra-si, cendawan akan berpoliferasi di dalam tubuh inang, sering kali terus bertahan di dalam tubuh inang karena sifatnya yang obligat. Hasil infeksi patogen sangat ber-gantung pada genetik patogen untuk berkembang secara cepat, untuk berpenetrasi


(33)

ke dalam tubuh inang dan menghasilkan senyawa metabolit yang dapat meracuni inang (Hajek dan Leger 1994).

Cendawan Entomophthorales sangat berpotensi sebagai musuh alami bebe-rapa serangga hama karena cendawan ini memiliki kemampuan epizootik (Hajek 2004). Epizootik merupakan keadaan dimana terjadi kejadian penyakit yang meluas dan menyerang hampir semua level pada suatu populasi serangga hama dalam waktu yang cukup singkat.

Infeksi oleh cendawan pada berbagai serangga terjadi secara meluas dan dapat menurunkan populasi serangga hama pada kejadian epizootik yang luar biasa. Tiga kondisi utama yang dapat meyebabkan epizootik adalah penyebaran patogen, populasi patogen dan populasi inang (Tanada dan Kaya 1993, Fuxa dan Tanada 1987).


(34)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Pengambilan sampel kutuputih P. marginatus dan P. manihoti pada tanaman singkong dilakukan di 2 lokasi. Lokasi pertama terletak di Desa Kebon Awi, Kecamatan Bogor Utara, Kotamadya Bogor dan lokasi kedua terletak di Desa Sukaraja Kaum, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Identifikasi cendawan dilakukan di Laboratorium Patologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor. Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2012 sampai dengan bulan Juni 2012.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah larutan lactophenol-cotton blue, alkohol 70%, pewarna kuku bening. Alat yang digunakan adalah tali raffia, spidol permanen, pinset, kuas, pipet tetes, baki putih, tisu, kertas label, pre-parat slide beserta kaca penutup, botol eppendorf, dan mikroskop cahaya.

Pengambilan Sampel Kutuputih P. manihoti dan P. marginatus

Pengambilan sampel pada kedua spesies kutuputih mengunakan metode diagonal. Petak lahan singkong dibagi menjadi 3 blok. Setiap blok berukuran 10 m x 10 m dan dipilih 10 tanaman sampel/contoh secara diagonal, sehingga total tanaman yang diamati setiap lahan berjumlah 30 tanaman sampel. Pengambilan sampel kutuputih dilakukan dengan mengambil 3 daun (atas-tengah-bawah) per tanaman sampel, kemudian kutu langsung dimasukkan kedalam botol eppendorf yang berisi alkohol 70% menggunakan kuas. Pengamatan populasi kutuputih dilakukan dengan menghitung jumlah kutuputih dari 3 daun (atas-tengah-bawah) yang diambil dari tiap tanaman sampel. Pengambilan kutu pada tanaman sampel pada 2 lokasi dilakukan 1 kali dalam seminggu, sebanyak 7 kali.


(35)

Pembuatan Preparat Kutuputih P. manihoti dan P. marginatus

Sampel kutuputih yang diperoleh dari lapang di bawa ke Laboratorium Pato-logi Serangga untuk penelitian lebih lanjut. Sampel kutu dibuat preparat slide de-ngan jumlah 10 individu sejenis per preparat yang ditata secara diagonal. Pembuatan preparat kutu dilakukan menggunakan pewarna lactophenol-cotton blue. Kutu yang telah ditata di atas preparat slide ditekan sedikit bagian abdomen agar cairan dalam kutu keluar, sehingga mempermudah pengamatan. Preparat sli-de kemudian ditutup dengan kaca penutup objek dan diberi label. Sehari setelah preparat kutu dibuat, pewarna kuku bening diolesi dibagian pinggir kaca penutup agar preparat tidak mudah rusak.

Identifikasi Fase Cendawan Entomophthorales

Preparat kedua spesies kutuputih diamati menggunakan mikroskop cahaya menggunakan perbesaran 400 kali, untuk mengidentifikasi fase N. fumosa yang menginfeksi P. marginatus dan P. manihoti. Serangga yang terinfeksi cendawan tersebut diklasifikasikan menjadi 6 katagori (Steinkraus et al. 1995), yaitu serangga sehat, terinfeksi konidia primer (primary conidia), konidia sekunder (secondary conidia), spora isirahat (resting spores), badan hifa (hypal bodies), dan cendawan saprofitik (saprophytic fungi).

Tingkat infeksi N. fumosa pada P. marginatus dan P. manihoti (%):

P. marginatus atau P. manihoti yang terinfeksi

∑ populasi P. marginatus atau P. manihoti pada tanaman sampel Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Data kelimpahan populasi kutuputih P. marginatus dan P. manihoti, tingkat infeksi N. fumosa pada P. marginatus dan P. manihoti, dianalisis dengan uji-t pada taraf nyata 5% menggunakan program minitab versi 14.


(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lokasi Penelitian

Desa Sukaraja Kaum, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor

Desa Sukaraja Kaum, Kecamatan Sukaraja merupakan wilayah administratif di Kabupaten Bogor. Kecamatan Sukaraja terletak di 060o. 35’. 8”

LS dan 106o. 49’. 37” BT dengan ketinggian 170 m dpl. Desa tersebut merupakan daerah penghasil tepung tapioka, dan tape singkong. Komoditas pertanian yang ditanam hanya tanaman singkong. Luas lahan pertanian di desa tersebut ± 12.000 m2. Lu-as lahan yang diamati ± 2000m2 dengan populasi 1600 tanaman singkong. Jarak tanam yang digunakan oleh petani adalah 50 x 50 cm. Varietas singkong yang dibudidayakan adalah gebang, kemudian tanaman tersebut dipanen setelah umur mencapai ± 11 bulan. Pada saat pengamatan, umur tanaman singkong sudah berumur 8 bulan.

Desa Kebon Awi, Kelurahan Cimahpar, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor

Kelurahan Cimahpar, Kecamatan Bogor Utara merupakan wilayah administratif di Kota Bogor. Kelurahan Cimahpar terletak di 060o.34’.22” LS dan 106o.49’.20”BT dengan ketinggian tempat 201 m dpl. Desa Kebon Awi merupa-kan daerah penghasil tepung tapioka, tape singkong, keripik. Komoditas yang ditanam di desa tersebut adalah singkong, jagung, dan ubi jalar. Luas lahan pertanian di desa tersebut ± 8000m2. Luas lahan yang diamati ± 1000 m2 dengan populasi 1000 tanaman singkong. Jarak tanam yang digunakan oleh petani di Desa Kebon Awi sama dengan yang digunakan petani di Desa Sukaraja Kaum. Varietas singkong yang dibudidayakan adalah gebang, manggu, dan singkong kuning. Pada saat pengamatan singkong berumur ± 8 bulan, dan akan dipanen setelah singkong berumur ± 12 bulan. Petani melakukan pembersihan gulma setiap 3 atau 4 bulan sekali. Lahan di desa ini cukup terawat dibandingkan Desa Sukaraja Kaum. Tanaman singkong ditanamam secara monokultur, namun ada beberapa tumpang sari dengan jagung.


(37)

Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang diperoleh dari stasiun klimatologi Dramaga, temperatur rata-rata di daerah Kecamatan Sukaraja Kaum dan Kecamatan Bogor Utara pada bulan Maret, April, dan Mei 2012 berturut-turut yaitu 27.2 0C, 25.9 0C dan 26 0C. Curah hujan rata-rata harian pada bulan Maret, April, dan Mei 2012 sebesar 18 mm/hari, 22.4 mm/ hari dan 25.6 mm/hari. Kelembaban udara dari bulan Maret, April, dan Mei 2012 berturut-turut yaitu 82%, 84%, dan 86%.

Pengamatan Populasi Kutuputih P. manihoti dan P. marginatus

Kelimpahan populasi P. manihoti di Desa Sukaraja Kaum dan Desa Kebon Awi tidak berbeda nyata di kedua desa selama empat kali pengamatan (Tabel 1). Kelimpahanpopulasi P. marginatus di Desa Sukaraja Kaum dan Desa Kebon Awi berbeda nyata pada tanggal 22 Maret, 29 Maret, 5 April, dan 19 April 2012 (Tabel 2).

Tabel 1 Kelimpahan populasi P. manihoti pada tanaman singkong di Desa Sukaraja Kaum (SK) dan Desa Kebon Awi (KA) (jumlah kutuputih/30 tanaman)

aAngka selajur yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%

Kelimpahan populasi P. manihoti dan P. marginatus mengalami fluktuasi di kedua desa tersebut. Hal ini salah satunya disebabkan oleh faktor lingkungan. Faktor lingkungan seperti curah hujan dan angin menyebabkan penurunan pada populasi kutuputih di lapang. Pada saat melakukan pengamatan dan sehari sebelum pengamatan telah terjadi hujan yang deras dan disertai dengan angin. Serangga kecil seperti kutu-kutuan (Hemiptera) rentan terhadap tetesan air hujan dan angin (Steyenoff 2001).

Lokasi Pengamatan

Tanggal pengamatana

12/04/2012 19/04/2012 26/04/2012 03/05/2012 SK 70.0 ± 39.7a 68.7 ± 25.4a 52.7 ± 69.6a 94.3 ± 27.0a KA 142.2 ± 55.3a 112.3 ± 24.6a 64.8 ± 14.9a 85.3 ± 8.6a


(38)

Tabel 2 Kelimpahan populasi P. marginatus pada tanaman singkong di Desa Sukaraja Kaum (SK) dan Desa Kebon Awi (KA) (jumlah kutuputih/30 tanaman)

Lokasi

pengamatan Tanggal pengamatan

a

22/03/2012 29/03/2012 05/04/2012 12/04/2012 19/04/2012 26/04/2012 03/05/2012 SK 1816 ± 335a 2962 ± 623a 1441 ± 232a 323.0 ± 119.0a 1595 ± 220a 595 ± 249a 943 ± 581a KA 1182 ± 195b 1083 ± 511b 558 ± 299b 198.7 ± 23.6a 553 ± 158b 804 ± 241a 360 ± 224a

P-Value 0.047 0.016 0.016 0.149 0.003 0.356 0.180

a Angka selajur yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%


(39)

Kelimpahan populasi P. marginatus lebih tinggi di Desa Sukaraja Kaum karena jumlah tanaman singkong di desa tersebut lebih banyak dibandingkan Desa Kebon Awi. Umur tanaman singkong pada setiap petakan lahan berbeda-beda, sehingga ketersediaan makanan bagi kutuputih tercukupi secara terus menerus. Populasi P. manihoti ditemukan di Desa Sukaraja Kaum pada tanaman sampel pada saat pengamatan tanggal 12 April 2012 (minggu keempat), sedangkan di Desa Kebon Awi populasi P. manihoti ditemukan sejak awal pengamatan. Pada saat melakukan pengamatan, populasi P. manihoti umumnya banyak ditemukan pada bagian tunas daun singkong dan daun singkong muda.

Umur tanaman tidak mempengaruhi siklus hidup dari P. manihoti, namun siklus hidup serangga ini dapat dipengaruhi oleh varietas tanaman (Herren dan Neuenschwander 1991). Varietas tanaman singkong yang mempunyai kandungan linnamarin lebih tinggi paling disukai oleh kutuputih singkong (Catalayud dan Le Rü 2006 ). Kutuputih singkong adalah serangga phloemophagus yaitu menghisap cairan floem dari tanaman singkong. Kutuputih tersebut tidak menyukai bagian vena utama pada daun karena butuh waktu lama bagi stylet untuk mencapai cairan floem. Hal ini juga berkaitan dengan asam fenolik dalam kompartemen apoplastis jaringan daun pada tanaman singkong (Calatayud dan Le Rü 2006).

Berdasarkan hasil pengamatan, varietas singkong di Desa Kebon Awi lebih disukai oleh P. manihoti. Varietas yang ditanam di desa tersebut adalah varietas singkong manis dan pahit. Varietas yang ditanam di lahan pengamatan adalah varietas singkong manis. P. manihoti sangat jarang ditemukan pada daun singkong tua dan hal ini terjadi di kedua desa. Sebagai asumsi, P. manihoti menyukai tunas daun dan daun muda (Catalayud dan Le Rü 2006 ).

Kutuputih P. manihoti mampu hidup pada temperatur udara yang rendah yaitu 14.7 oC dan dapat berkembang secara optimal pada suhu 28 oC serta mampu menghasilkan 500 butir telur. Serangga ini tidak dapat bertahan pada suhu di atas 35 oC. Kecamatan Bogor Utara dan Kecamatan Sukaraja merupakan daerah yang mendukung perkembangan dari P. manihoti.

Tanaman singkong di Desa Kebon Awi dan Desa Sukaraja Kaum tidak ha-nya diserang oleh hama kutuputih, tetapi juga terdapat hama kutu kebul dan kutu


(40)

tempurung dengan populasi yang cukup banyak. Hampir di setiap batang tanam-an singkong terdapat hama kutu tempurung.

Cara budidaya juga mempengaruhi perbedaan populasi kutuputih di kedua desa tersebut. Petani Desa Sukaraja Kaum tidak melakukan pengendalian kimiawi pada pertanaman singkong, mereka hanya melakukan pengendalian mekanis dengan melakukan sanitasi dengn mencabut gulma-gulma di sekitar pertanaman. Sanitasi hanya mereka lakukan setiap 6 bulan sekali. Cara budidaya yang dilakukan petani Desa Kebon Awi lakukan lebih baik. Mereka melakukan sanitasi gulma setiap 3 bulan sekali. Petani memetik bagian bawah daun tanaman singkong yang banyak terdapat kutu putih, dan terkadang petani mengaplikasikan sabun cair untuk mengurangi populasi kutuputih. Pemupukan yang tidak seimbang juga mengakibatkan tanaman bisa menjadi lebih tahan hama atau bisa lebih rentan. Pertumbuhan vegetatif tanaman singkong dapat dirangsang dengan pemberian pupuk nitrogen yang tinggi, akan tetapi tidak boleh lebih dari 100kg/ha selama pertumbuhan. Pemberian pemupukan nitrogen yang berlebihan menyebabkan tanaman lebih rentan untuk terserang hama (Rubatzky dan Yamaguchi 1995).

Hujan dan panas yang tidak beraturan pada musimnya saat ini menyebabkan meningkatnya populasi kutuputih P. manihoti dan P. marginatus di lapangan. Dalam satu hari pengamatan bisa terjadi hujan dan kemudian panas, sehingga menyebabkan kondisi lingkungan lahan menjadi lembap. Curah hujan yang tinggi dapat menjatuhkan kutuputih dan telur kutuputih yang menempel pada daun, sehingga populasi kutuputih menjadi menurun. Kondisi lingkungan yang kering dapat menyebabkan tanaman lebih rentan terserang oleh hama.

Gejala pada tanaman singkong yang disebabkan oleh P. manihoti adalah keriting pada bagian tunas daun, dan menguning, perubahan bentuk pada batang, roset pada titik tumbuh dan kematian pada tanaman muda (Catalayud dan Le Rü 2006) (Gambar 6). Gejala pada tanaman singkong yang disebabkam oleh P. marginatus adalah klorosis, kerdil, dan dapat menyebabkan gugur pada daun dan buah (Hue et al 2007) (Gambar 7). Pada tanaman yang sudah dewasa, gejala yang muncul adalah daun menguning, dan menyebabkan bentuk buah yang tidak sempurna (Pantoja et al. 2002).


(41)

Gambar 6 Gejala pada tanaman singkong yang disebabkan oleh kutuputih P. manihoti di Desa Sukaraja Kaum. (a)Tunas daun mengkeriting, (b) tunas daun menguning, (c) perubahan bentuk batang

Gambar 7 Gejala pada tanaman singkong yang disebabkan oleh kutuputih P. marginatus di Desa Kebon Awi. (a) Gejala klorosis, (b) daun gugur

Cendawan Entomophthorales pada P. marginatus

Fase cendawan Entomophthorales yang menginfeksi P. marginatus dan P. manihoti dibagi menjadi 5 kategori menurut Steinkraus et al. (1995): (1) sehat, (2) secondary conidia (konidia sekunder), hyphal bodies (badan hifa), primary conidia (konidia primer), restingspores (spora istirahat), dan kategori saprophytic fungi (cendawan saprofit). Fase cendawan Entomophthorales diamati dari 105 preparat P. marginatus dari Desa Sukaraja Kaum dan 105 preparat dari Desa Kebon Awi. Cendawan yang menginfeksi P. marginatus menyerupai spesies N. fumosa dari famili Neozygitaceae. Fase cendawan yang ditemukan menginfeksi P. marginatus di kedua lokasi pengamatan adalah konidia sekunder, badan hifa, konidia primer, dan cendawan saprofitik.

a b


(42)

Spesies cendawan dari genus Neozygites yang menyerang ordo Hemiptera family Pseudococcidae adalah N. fumosa (Keller 2007). Cendawan genus Neozygites mempunyai 2 tipe konidia sekunder, yaitu tipe Ia dan II. Tipe konidia sekunder pada N. fumosa adalah kapillikonidia, dan konidia sekunder yang ditemukan pada P. marginatus di kedua desa pengamatan adalah tipe II atau kapillikonidia.

Gambar 8 Konidia sekunder yang menginfeksi P. marginatus di kedua desa. (a) tungkai, (b) antena, (c) abdomen

Bentuk konidia sekunder menyerupai konidia primer dalam bentuk serta ukuran. Bentuk konidia sekunder menyerupai biji almond (Humber dan Steinkraus 1998). Konidia sekunder dihasilkan satu persatu dari tabung kapiler langsing yang muncul dari konidia primer dan kapilikonidia yang dilepaskan secara pasif (Keller 1997). Konidia sekunder akan ditemukan pada bagian luar tubuh dengan posisi menempel pada bagian tubuh tertentu. Fase konidia sekunder ditemukan pada bagian abdomen, antena dan tungkai P. marginatus yang terinfeksi di kedua desa (Gambar 8).

Badan hifa merupakan fase cendawan yang banyak ditemukan pada sampel P. marginatus yang terinfeksi. Inang yang terinfeksi badan hifa biasanya sudah dalam keadaan hampir mati. Fase ini merupakan tahap pertama yang dibentuk di dalam tubuh inang yang terinfeksi. Badan hifa dari spesies N. fumosa berbentuk globose atau lonjong. Fase badan hifa merupakan fase perkembangan


(43)

vegetatif, berkembang dari protoplas dan merupakan proses awal yang terjadi pada inang yang terinfeksi. Badan hifa yang ditemukan pada P. marginatus di kedua desa berbentuk globose (Gambar 9).

Gambar 9 Badan hifa yang menginfeksi P. marginatus berbentuk bulat

Konidia primer pada genus N. fumosa berbentuk ellipsoid atau oval seperti bulat telur (Junior et al. 1997). Konidia primer ditemukan pada tubuh kutu yang telah mati dan rusak dan terbentuk secara aktif dari bagian ujung konidiofor atau kapilikonidia. Konidia primer yang ditemukan pada P. marginatus dikedua desa pengamatan secara khas berbentuk ellipsoid (Gambar 10).

Gambar 10 Konidia primer yang menginfeksi P. marginatus di kedua desa pengamatan. (a) dan (b) konidia primer pada tubuh kutu yang sudah hancur

Fase spora istirahat tidak ditemukan pada P. marginatus di kedua desa pengamatan. Spora istirahat memiliki struktur dinding yang berukuran tebal dan berfungsi untuk bertahan hidup pada kondisi yang kurang menguntungkan seperti


(44)

ketiadaan inang dan lingkungan yang ekstrim. Fase spora istirahat secara spesifik hanya dapat ditemukan pada Neozygites. Spora istirahat pada Neozygites berwarna coklat gelap menuju hitam, berbentuk bola atau elips, berstruktur halus, dan mempunyai dua asam nukleat (Keller 2007). Spora istirahat tidak cepat menyebar dan dapat bertahan di tanah maupun di serasah (Keller 1987). Spora istirahat akan ditemukan ketika serangga inang mati. Fase ini ditemukan pada saat musim kemarau, yaitu sekitar bulan Juni.

Gambar 11 Cendawan saprofitik yang menginfeksi P. marginatus

Cendawan saprofit ditemukan setelah kutuputih mati dan busuk (Keller 1987). Cendawan saprofit ditemukan pada P. marginatus yang sudah mati dan berwarna hitam pada kedua desa (Gambar 11).

Cendawan Entomophtorales pada P.manihoti

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap sampel P. manihoti dari 105 pre-parat di Desa Sukaraja Kaum dan 60 prepre-parat di Desa Kebon Awi, maka fase cen-dawan yang ditemukan adalah konidia sekunder, konidia primer, badan hifa, dan cendawan saprofitik. Cendawan yang menginfeksi P. manihoti menyerupai spesies N. fumosa dari famili Neozygitaceae. Konidia sekunder hanya ditemukan pada bagian tungkai P. manihoti. Tipe konidia sekunder yang ditemukan adalah tipe II atau kapillikonidia, mirip dengan bentuk konidia sekunder yang dimiliki oleh spesies N. fumosa (Gambar 12c). Fase konidia sekunder hanya ditemukan pada bagian tungkai P. manihoti.


(45)

Fase badan hifa banyak ditemukan pada P. manihoti yang terinfeksi. Fase badan hifa yang ditemukan berbentuk bulat yang menyerupai bentuk badan hifa pada spesies N. fumosa (Gambar 12a).

Gambar 12 Fase cendawan yang ditemukan pada sampel P. manihoti di Desa Sukaraja Kaum dan Desa Kebon Awi. (a) badan hifa, (b) konidia primer, (c) konidia sekunder, (d) konidiofor, (e) unbranched conidiophores, (f) cendawan saprofitik

Fase unbranched conidiophore ditemukan pada P. manihoti, fase ini merupakan keadaan akan terjadinya sporulasi (Gambar 12f). Konidia primer yang ditemukan pada P. manihoti mirip dengan konidia primer yang dimiliki oleh

a

b

c

f b

d


(46)

spesies N. fumosa (12b). Fase spora istirahat tidak ditemukan pada P. manihoti di kedua desa. Fase cendawan saprofitik ditemukan pada P. manihoti di kedua desa (Gambar 12e).

Tingkat Infeksi Cendawan Entomophtorales pada P. marginatus pada Tanaman Singkong di Desa Kebon Awi dan Desa Sukaraja Kaum

Tingkat infeksi cendawan Entomophthorales pada P. marginatus di kedua desa berbeda nyata pada pengamatan tanggal 22 Maret, 5 April, 12 April, dan 26 April 2012 (Tabel 3). Kelimpahan populasi P. marginatus di kedua desa berbeda nyata pada pengamatan tanggal 12 April, 26 April, dan 3 Mei 2012 (Tabel 2). Terdapat perbedaan tingkat infeksi cendawan dengan kelimpahan populasi P. marginatus di kedua desa. Faktor kelembaban udara, curah hujan, dan temperatur dapat mempengaruhi korelasi antara kelimpahan populasi dengan tingkat infeksi cendawan. Fase konidia sekunder sangat sedikit ditemukan pada P. marginatus pada tanaman singkong di kedua lokasi pengamatan.

Fase badan hifa banyak ditemukan pada sampel kutuputih P. marginatus. Persentase fase badan hifa tertinggi pada P. marginatus di tanaman singkong Desa Sukaraja Kaum pada tanggal 22 Maret 2012 yaitu 57.33% dan terendah pada tanggal 19 April 2012 yaitu 30.67% (Gambar 14a). Persentase fase badan hifa tertinggi pada P. marginatus di tanaman singkong Desa Kebon Awi pada tanggal 3 Mei 2012 yaitu 52.67% dan terendah pada tanggal 26 April 2012 yaitu 13.33% (Gambar 14b). Persentase rata-rata P.marginatus yang terinfeksi fase badan hifa di Desa Sukaraja Kaum dan Desa Kebon Awi sebesar 42% dan 35.04%. Persentase fase badan hifa pada P. marginatus lebih banyak terdapat di Desa Sukaraja Kaum dibandingkan Desa Kebon Awi.

Fase konidia sekunder sangat sedikit ditemukan pada P. marginatus di kedua desa. Pada saat pengamatan, hampir semua infeksi cendawan pada P. marginatus sudah memasuki fase badan hifa. Persentase fase konidia sekunder tertinggi yang menginfeksi P. marginatus di Desa Sukaraja Kaum adalah pada tanggal 19 April 2012 yaitu 5.33% dan terendah pada tanggal 26 April 2012 sebesar 0.33% (Gambar 13a). Konidia sekunder pada P. marginatus di Desa Kebon Awi hanya ditemukan pada tanggal 5 April dan 12 April 2012 (Gambar


(47)

13b). Persentase fase konidia sekunder tertinggi yang menginfeksi P. marginatus di Desa Kebon Awi adalah pada tanggal 12 April 2012 yaitu 2% dan terendah pada tanggal 5 April yaitu 1.33%. Persentase rata-rata P.marginatus yang terinfeksi fase konidia sekunder di Desa Sukaraja Kaum dan Desa Kebon Awi yaitu 2.42% dan 0.47%.

Persentase fase konidia primer tertinggi yang menginfeksi P. marginatus di Desa Sukaraja Kaum adalah pada tanggal 22 Maret dan 12 April 2012 yaitu 20% (Gambar 13a). Fase konidia primer pada P. marginatus di Desa Kebon Awi tidak ditemukan pada tanggal 26 April dan 3 Mei 2012. Persentase fase konidia primer tertinggi yang menginfeksi P. marginatus di Desa Kebon Awi adalah pada tanggal 22 Maret dan 5 April yaitu 5.33% dan terendah pada tanggal 12 April dan 19 April yaitu 3.33% (Gambar 13b). Persentase rata-rata P.marginatus yang terinfeksi fase konidia primer di Desa Sukaraja Kaum dan Desa Kebon Awi yaitu 11.04% dan 3.14%.

Fase cendawan saprofit pada P. marginatus di Desa Sukaraja Kaum hanya ditemukan pada tanggal 5 April, 12 April, 26 April, dan 3 Mei 2012 (Gambar 13a). Persentase fase cendawan saprofit tertinggi yang menginfeksi P. marginatus di Desa Sukaraja Kaum adalah pada tanggal 3 Mei 2012 yaitu 2.67% dan terendah pada tanggal 5 April dan 12 April yaitu 0.33%. Fase cendawan saprofit pada P. marginatus di Desa Kebon Awi ditemukan pada tanggal 22 Maret, 5 April, dan 12 April 2012 dengan tingkat infeksi sebesar 1.33% (Gambar 13b).


(1)

Lampiran 8 Tingkat infeksi cendawan Entomophthorales pada P. manihoti pada tanaman singkong di Desa Kebon Awi

Tanggal pengamatan

Blok ke-

Fase cendawan (%) Jumlah

sampel Konidia

primer sekunder Konidia Badan hifa istirahat Spora Cendawan saprofit Sehat

22/03/2012 1 0 0 34 0 0 66 50

22/03/2012 2 0 8 52 0 0 40 50

22/03/2012 3 0 0 50 0 0 50 50

29/03/2012 1 0 2 28 0 0 70 50

29/03/2012 2 4 0 26 0 0 70 50

29/03/2012 3 0 2 40 0 0 58 50

05/04/2012 1 0 4 40 0 0 56 50

05/04/2012 2 4 0 16 0 0 80 50

05/04/2012 3 0 0 22 0 0 78 50

12/04/2012 1 4 0 12 0 0 84 50

12/04/2012 2 0 0 10 0 0 90 50

12/04/2012 3 0 0 72 0 0 28 50

19/04/2012 1 0 0 26 0 0 74 50

19/04/2012 2 0 0 44 0 0 56 50

19/04/2012 3 2 2 34 0 0 62 50

26/04/2012 1 6 2 24 0 0 68 50

26/04/2012 2 0 0 26 0 0 74 50

26/04/2012 3 8 0 12 0 0 80 50

03/05/2012 1 0 2 26 0 0 72 50

03/05/2012 2 0 0 12 0 0 88 50

03/05/2012 3 0 0 22 0 0 78 50


(2)

Lampiran 9 Hasil uji-t populasi P. marginatus pada tanaman singkong di

Desa Sukaraja Kaum dan Desa Kebon Awi Tanggal

pengamatan Output

Sukaraja Kaum

Kebon

Awi Kesimpulan

22/03/2012 Mean 1816 1182 Populasi P. marginatus

di Desa Sukaraja Kaum dan Kebon Awi berbeda nyata

St Dev 335 195

T-Value 2.83

P-Value 0.047

29/03/2012 Mean 2962 1083 Populasi P. marginatus

Desa Sukaraja Kaum dan Kebon Awi berbeda nyata

St Dev 623 511

T-Value 4.04

P-Value 0.016

05/04/2012 Mean 1441 558 Populasi P. marginatus

di Desa Sukaraja Kaum dan Kebon Awi berbeda nyata

St Dev 232 299

T-Value 4.05

P-Value 0.016

12/04/2012 Mean 323 198.7 Populasi P. marginatus

di Desa Sukaraja Kaum dan Kebon Awi tidak berbeda nyata

St Dev 119 23.6

T-Value 1.78

P-Value 0.149

19/04/2012 Mean 1595 553 Populasi P. marginatus

di Desa Sukaraja Kaum dan Kebon Awi berbeda nyata

St Dev 220 158

T-Value 6.68

P-Value 0.003

26/04/2012 Mean 595 804 Populasi P. marginatus

di Desa Sukaraja Kaum dan Kebon Awi tidak berbeda nyata

St Dev 249 241

T-Value -1.04

P-Value 0.356

03/05/2012 Mean 943 360 Populasi P. marginatus

di Desa Sukaraja Kaum dan Kebon Awi tidak berbeda nyata

St Dev 581 224

T-Value 1.62


(3)

Lampiran 10 Hasil uji-t populasi P. manihoti pada tanaman singkong di

Desa Sukaraja Kaum dan Desa Kebon Awi Tanggal

pengamatan Output

Sukaraja Kaum

Kebon

Awi Kesimpulan

12/04/2012 Mean 70.0 142.2 Populasi P. manihoti di

Desa Sukaraja Kaum dan Kebon Awi tidak berbeda nyata

St Dev 39.7 -1.84 55.3

T-Value 0.140

P-Value

19/04/2012 Mean 68.7 112.3 Populasi P. manihoti di

Desa Sukaraja Kaum dan Kebon Awi berbeda nyata

St Dev 25.4 24.6

T-Value -2.14

P-Value 0.099

26/04/2012 Mean 52.7 64.8 Populasi P. manihoti di

Desa Sukaraja Kaum dan Kebon Awi tidak berbeda nyata

St Dev 69.6 14.9

T-Value -0.30

P-Value 0.782

03/05/2012 Mean 94.3 85.33 Populasi P. manihoti di

Desa Sukaraja Kaum dan Kebon Awi tidak berbeda nyata

St Dev 27.3 8.61

T-Value 0.54


(4)

Lampiran 11 Hasil uji-t tingkat infeksi cendawan Entomophthorales pada

P. marginatus di Desa Sukaraja Kaum dan Desa Kebon Awi

Tanggal

pengamatan Output

Sukaraja Kaum

Kebon

Awi Kesimpulan

22/03/2012 Mean 39.33 15.67 Tingkat infeksi cendawan Entomophthorales pada P.

marginatus di Desa

Sukaraja Kaum dan Kebon Awi berbeda nyata

St Dev 9.29 6.66

T-Value 3.59

P-Value 0.023

29/03/2012 Mean 28.33 21.67 Tingkat infeksi cendawan Entomophtorales pada P. marginatus di desa

Sukaraja Kaum dan Kebon Awi tidak berbeda nyata St Dev 5.13 4.93

T-Value 1.62

P-Value 0.180

05/04/2012 Mean 26.33 17.33 Tingkat infeksi cendawan Entomophtorales pada P. marginatus di desa

Sukaraja Kaum dan Kebon Awi berbeda nyata

St Dev 2.31 2.89

T-Value 4.22

P-Value 0.014

12/04/2012 Mean 32.00 26.33 Tingkat infeksi cendawan Entomophtorales pada P.

marginatus di desa

Sukaraja Kaum dan Kebon Awi berbeda nyata

St Dev 1.73 3.06

T-Value 2.79

P-Value 0.049

19/04/2012 Mean 19.33 23.33 Tingkat infeksi cendawan Entomophtorales pada P.

marginatus di desa

Sukaraja Kaum dan Kebon Awi tidak berbeda nyata St Dev 9.24 2.08

T-Value -0.73

P-Value 0.505

26/04/2012 Mean 27.33 6.67 Tingkat infeksi cendawan Entomophtorales pada P.

marginatus di desa

Sukaraja Kaum berbeda nyata

St Dev 1.53 5.03

T-Value 6.81

P-Value 0.002

03/05/2012 Mean 24.33 26.33 Tingkat infeksi cendawan Entomophtorales pada P.

marginatus di desa

Sukaraja Kaum dan Kebon Awi tidak berbeda nyata St Dev 9.02 8.02

T-Value -0.29


(5)

Lampiran 12 Hasil uji-t tingkat infeksi cendawan Entomophthorales pada

P. manihoti di Desa Sukaraja Kaum dan Desa Kebon Awi

Tanggal pengamatan

Output Sukaraja Kaum

Kebon Awi

Kesimpulan

12/04/2012 Mean 13.33 16.3 Tingkat infeksi cendawan Entomophtorales pada P. manihoti di desa Sukaraja

Kaum dan Kebon Awi tidak berbeda nyata

St Dev 1.53 17.1

T-Value -0.30

P-Value 0.777

19/04/2012 Mean 18.00 18.00 Tingkat infeksi cendawan Entomophtorales pada P. manihoti di desa Sukaraja

Kaum dan Kebon Awi tidak berbeda nyata

St Dev 10.6 4.58

T-Value 0.00

P-Value 1.000

26/04/2012 Mean 17.00 13.00 Tingkat infeksi cendawan Entomophtorales pada P. manihoti di desa Sukaraja

Kaum dan Kebon Awi tidak berbeda nyata

St Dev 5.00 3.00

T-Value 1.19

P-Value 0.300

03/05/2012 Mean 32.00 10.33 Tingkat infeksi cendawan Entomophtorales pada P. manihoti di desa Sukaraja

Kaum dan Kebon Awi tidak berbeda nyata

St Dev 2.65 4.04

T-Value 7.77


(6)