Dampak Lingkungan Terhadap Infertilitas Sapi Di Indonesia
Tulisan ini kupersembahkan kepada
Amih, Mamah, adik-adik dan suami
tercinta Ngkang.
Serta kepada mereka
yang selalu
berdoa sehingga saya dapat menyelesaikan studi di
cinta.
almamater
ter-
DAMPAK LINGKUNGAN TERHADAP
INFERTILITAS SAPI DI INDONESIA
SKRIPSI
oleh
TITA SARAH PONIARTI
B 17.0853
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGaR
1 9
a
5
RINGKASAN
TITA SARAH PONIARTI.
DAMPAK UNGKUNGAN TERHADAP INFER-
TIUT AS SAPI Dl INDONESIA.
(Dibimbing oleh Drh. Soeharto Djojosoe-
darmo dan Drh. Muchidin Noordin).
Kegiatan reproduksi dimulai dengan pubertas baik pada sapi betina
maupun sapi jantan.
Pada sapi betina sesudah mencapai pubertas mem-
punyai keteraturan faali yang disebut siklus
terdiri
dari
estrus
atau berahi yang
proestrus, estrus, metestrus dan diestrus.
Pada periode
estrus hewan memperlihatkan gejala ingin kawin, dan 10 jam setelah periode estrus akan terjadi proses ovulasi.
Sedangkan pada sapi jan tan siklus ini tidak ada, sehingga· pejantan
selalu bersedia setiap saat melayani kehendak betina untuk melakukan
aktifi tas reproduksi.
Keinginan kawin pada hewan jan tan disebut libido.
Kegiatan reproduksi
pada sapi dipengaruhi oleh sistem hormonal
yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisa dibawah kontrol hipothalamus, disam ping organ kelamin primer baik pada jantan maupun betina.
Faktor Iingkungan dapat
bersifat sementara.
mempengaruhi kegiatan
reproduksi yang
Faktor Iingkungan dapat mempengaruhi infertilitas
secara langsung maupun tidak langsung.
Faktor Iingkungan yang
dapat menyebabkan infertilitas pada sapi
meJiputi ikJim, makanan, penyakit dan manajemen atau tatalaksana.
DAMPAK LINGKUNGAN TERHADAP
INFERTILITAS SAPI DI INDONESIA
SKRIPSI
Oleh
TITA SARAH PONIARTI
B. 170853
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
1985
DAMPAK LINGKUNGAN TERHADAP
INFERTILITAS SAP I DI INDONESIA
SKRIPSI
Skripsi ini diajukan
sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar
Dokter Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
Oleh
TITA SARAH PONIARTI
B. 170853
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERT ANIAN BOGOR
1985
DAMPAK UNGKUNGAN TERHADAP
INFER TIUT AS SAPI DI INDONESIA
SKRIPSI
Oleh
TIT A SARAH PONIAR TI
-------------------
B. 170853
Disetujui
o
I. Drh. So harto Djojosoedarmo
KA TA PENGANT AR
Penyusunan Skripsi ini. merupakan Studi Literatur yang berhubungan
dengan I1mu Reproduksi yang penulis pilih untuk memenuhi salah satu
syarat dalam
menempuh Ujian Dokter
Hewan di Fakultas Kedokteran
Hewan Insti tut Pertanian Bogor.
Dengan selesainya penulisan Skripsi ini penulis mengucapkan terima
kasih kepada Drh. Soeharto Djojosoedarmo dan Drh. Muchidin Noordin
atas segala bimbingannya.
Rasa terima kasih yang sama penulis sampai-
kan kepada seluruh staf pengajar FakuItas Kedokteran Hewan IPB dan·
seluruh karyawan perpustakaan pusat IPB, perpustakaan FKH-IPB, per pustakaan Bakitwan Bogor dan perpustakaan BPT Ciawi-Bogor.
Meskipun tulisan ini mungkin masih banyak kekurangan mengingat
keterbatasan yang ada, tetapi penulis harapkan semoga karya tulis ini
bermanfaa t bagi siapa sa ja yang mungkin memerlukannya.
Bogor, Juli 1985
TITA SARAH PONIAR TI
Penulis
ii
DAFTAR lSI
Halaman
RINGKASAN • • • • • • • • • • • • • • • • . • • • • • • • • . •
KATA PENGANTAR • • • • • • • • • • . • • • • • • •• • • . •
ii
DAFTAR lSI • • • • • • • • • • • • ••
iii
DAFT AR GAM BAR • • • • • • • • • •
v
DAFT AR TABEL
6
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
vr
PENDAHULUAN • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • . •
Pengertian Infertilitas • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •
La tar Belakang • • • • • • • • • • • •
KEGIATAN REPRODUKSI PADA SAPI
3
Kegiatan reproduksi pada sapi betina
3
Pubertas • • • • • • • • • •••
3
Siklus dan lama estrus/berahi
4
Ovulasi • • • • • • ••
5
Saat yang baik untuk dikawinkan • • • • • • • • • • .
5
Kegia tan reproduksi pada sapi jan tan • • • • • • • . • • • •
6
Pubertas • • • • • • • • • • • • • • • • • • • . • • • . .
6
Libido • • • • • • • •
7
Mekanisme kerja hormonal
8
BEBERAPA FAKTOR LINGKUNGAN YANG MENYE BABKAN INFERTILITAS • • • • • • •
12
Faktor iklim ••
12
Faktor makanan
14
Defisiensi enersi
15
Defisiensi protein • • • • • • • • •
16
iii
Halaman
Defisiensi mineral •
16
Defisiensi vitamin .
18
Faktor manajemen • • • • • • . . • • • • • • • • • • • • • • • • •
18
Kegagalan menditeksi berahi/estrus • • . • • • • • • • • •
18
Jumlah pejantan yang digunakan sebagai pemacek • • •
19
Waktu yang tepat untuk mengawinkan . • . • • • • • • •
20
Transportasi
20
Umur sapi •
20
Faktor penyakit dan parasit • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •
21
Pen yakit alat reproduksi . • • • • • • • • • • • • • • • • •
21
Pen yak it somatis • • • • • • • • • • • • • • . • • • • • • •
22
Gangguan sistem hormonal • • • • • • . . • • • • • • • • •
22
Kawin berulang • • . . • . • •
25
. . . .........
32
KESIMPULAN • • . • . • • • • . . • • • • • • • •••••••••
38
DAFT AR PUST AKA • • . . • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •
'-10
PEMBAHASAN • . • • • • . • . . • .
RIW A YA T HIDUP . . • • • . . . . • • • • • • • • • • • • • • • •
iv
DAFTAR GAM BAR
Halaman
Gambar
1.
Mekanisme hormonal pada sapi jan tan
10
2.
Mekanisme hormonal pada sapi bet ina • • • • •
11
3.
Interaksi iklim dan faktor-faktor lain terhadap
reproduksi dan pertumbuhan • . • • • • • • • • •
4.
Diagram skematis dari kejadian ovarium yang
sistik • • • • • . •
5.
12
... .. .....
Diagram skematis dari anestrus pada laktasi ••••
v
23
24
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1.
Lama siklus estrus dan waktu ovulasi • •
2.
Perkembangan Populasi Sapi Bali Selama Agustus
5
1981 sid Juli 1982 dan Curah Hujan rata-rata 10
. . .. . ... . . . .
Tahun di Tulang Bawang ••
3.
26
Macam Penyebab Kegagalan Reproduksi Berdasarkan
Pemeriksaan Rektal pada Sapi di Daerah Inseminasi
Buatan di Propinsi Jawa Barat, Lampung dan Jawa
Tengah tahun 1979/1980 • • • • • • • • • • • • • • • •
4.
27
Penyebab Kegagalan Reproduksi Berdasarkan Pemeriksaan Rektal Pada Sapi di Daerah Inseminasi
Buatan (IB) di Propinsi Jawa Timur, Bali dan
Nusa Tenggara Barat tahun 1980/1981 ••••
5.
Hasil Operasional Tim Pengelola Reproduksi Pusat
pada sapi perah di Jawa Tengah
6.
29
HasH Operasional Tim Pengelola Reproduksi Pusat
pada sapi potong di Jawa Tengah • • . . . •
7.
28
30
Komposisi sapi betina tidak bunting yang menderita
gangguan reproduksi hasH pemeriksaan Tim Penge lola Reproduksi Peternakan Wilayah Timur di 10
UWIB tahun 1984 • • • • • • • • • • • • • • • •
vi
31
PENDAHULUAN
Pengertian infertilitas
Infertilitas
adalah
menurunnya
(Arthur dalam Setyowati, 1984-).
derajat
kesuburan
pada
ternak
Infertilitas merupakan kegagalan repro-
duksi yang bersifat sementara, tetapi jika tidak cepat ditanggulangi dapat
bersifat permanen atau steril (Toelihere, 198 1).
Masalah infertilitas ini lebih sering dijumpai pada sapi perah daripada sapi potong dan kehidupan secara berkelompok lebih sering dibandingkan dengan individual, sehingga
makin
besar ternak yang dike lola
makin sering kejadian infertilitas (Toelihere, 1981).
Kegagalan reproduksi dapat disebabkan oleh faktor iklim, makanan,
manajemen, penyakit dan parasit (Payne, 1970), karen a fertilitas atau
kesuburan merupakan interaksi yang selaras an tara faktor-faktor sebagai
berikut : Genotif x iklim x makanan x manajemen (Campbell, 1979).
Latar Belakang
Mengingat tujuan
dari Pelita
IV
pada hakekatnya meningkatkan
taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan
merata, maka pengembangan dan
seluruh rakyat yang makin
perbaikan produksi ternak khususnya
sapi merupakan salah satu penunjang untuk mencapai tujuan tersebut.
Manfaat yang
dapat diperoleh dari beternak sapi bagi penduduk
Indonesia ialah produksi susu dan daging, tenaga kerja, simpanan, rekreasi,
bahkan kotoran sa pi selain digunakan sebagai pupuk kandang juga dapat
diolah menjadi biogas.
Disamping itu manfaat ternak makin dirasakan
sebagai sumber untuk menambah penghasiJan keluarga.
2
Salah satu faktor yang perJu diperhatikan dalam pembangunan peternakan
adalah masalah
kegagalan reproduksi.
Kegagalan reproduksi
dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yang akan dikemukakan dalam
tulisan ini terutama pengaruh dari faktor-faktor Iingkungan.
Indonesia yang terletak antara 6° LU dan II ° LS, berpengaruh terhadap perbedaan iklim dian tara pulau-pulau di Indonesia, menurut letaknya
dari dataran benua Asia dan Australia.
Pengaruh utama dibidang penga-
daan makanan ternak ialah curah hujan, yang berlangsung akibat hembusan angin barat laut an tara bulan Nopember sampai dengan Maret, lalu
diikuti oleh angin tenggara yang kering berasal dari padang pasir gersang
di
Australia.
Pulau-pulau
disebelah barat menikmati hujan sepanjang
tahun, karen a angin timur yang kering itu mengumpulkan banyak uap air
(Robinson, 1977).
Pengaruh keadaan suhu terhadap pengadaan rumput atau pertanian
tidak seberapa dibandingkan curah hujan, meskipun demikian dapat juga
mengganggu aktifitas reproduksi yang akan dikemukakan di bagian lain
dalam tulisan ini.
Suhu di dataran rendah berkisar antara 23-35°C dan
suhu di dataran tinggi antara 20-30°C (Robinson, 1977).
Indonesia
sekarang
berusaha
meningka tkan
mutu
ternak dengan
mengimpor bibit sapi dari New Zealand dan Australia yang berbeda Iingkungannya.
Kemudian
dengan
dibukanya
daerah-daerah
Transmigrasi,
diikuti juga dengan perpindahan sapi baik lokal maupun impor antar pulau
dengan lingkungan yang berbeda pula.
Tertarik
oleh
kegagalan
reproduksi
di
Indonesia
yang
beriklim
Tropis dan dengan curah hujan yang berbeda-beda, maka penulis mencoba
membahas
Indonesia.
masalah
Oampak
Lingkungan
Terhadap
Infertilitas Sapi
di
KEGIATAN REPRODUKSI PADA SAPI
Kegiatan reproduksi sapi betina
Pubertas.
hidupan
mulai
hewan
terjadi
Pubertas atau dewasa kelamin adalah periode dalam kebaik
dengan
jantan
maupun
ditandai
oleh
betina, dimana
kemampuan
proses reproduksi
untuk
pertama
kali
memproduksi benih (Cole dkk, 1969), yaitu spermatozoa pada jantan dan
sel telur pada hewan betina (Sukra, 1979).
juga
didefinisikan sebagai
umur
Akan tetapi pubertas dapat
atau waktu dimana organ reproduksi
mulai aktif berfungsi (Toelihere, 1981).
Pubertas pada hewan bet ina ditandai oleh terjadinya estrus dan
ovulasi.
Pada umumnya pubertas dapat dicapai sebelum dewasa tubuh
terjadi (Rice dalam Sukra, 1979), yaitu pada waktu mencapai sepertiga
dari besar hewan dewasa.
Menurut
Partodihardjo
(1980),
tercapainya
dewasa
kelamin
bagi
setiap individu hewan berbeda, karena pertumbuhan dari tubuh dan alat
kelamin
makanan.
sangat
dipengaruhi
oleh
faktor
keturunan,
sosial,
iklim
dan
Mengenai faktor sosial dikemukakan oleh beliau, bahwa adanya
hewan jantan di sekitar anak-anak sapi betina akan mempercepat tercapainya pubertas, sedangkan sekumpulan hewan betina tanpa adanya pejan tan mengalami kelambatan untuk mencapai saat pubertas.
Selanjutnya beliau menyatakan bahwa pengaruh iklim dan kondisi
makanan untuk mencapai pubertas seperti sapi Madura di pulau Madura
akan mencapai saat pubertas pada umur 11 sampai 12 bulan dengan berat
badan 125 kg, sedangkan sapi Madura yang digemukan di Panumbangan
(Sukabumi Selatan), dengan iklim yang agak sejuk dan curah hujan yang
3
agak banyak
dibandingkan dengan
dapat dicapai lebih awal.
pulau
Madura, maka saat
pubertas
Sa pi FH (Friesch Holland) yang memperoleh
ransum berprotein tinggi pubertas dicapai pada umur & bulan, sedangkan
yang memperoIeh
ran sum
berprotein
rendah dicapai pada umur
11-12
bulan.
Menurut
Toelihere (! 9& I), sapi
FH
yang
dipelihara di
Indonesia
umumnya mencapai saat pubertas pada umur 12 bulan dengan kisaran 624 bulan.
Siklus dan lama estrus.
Semua hewan yang telah mencapai puber-
tas mempunyai keteraturan fungsi faa Ii terutama dari sistem reproduksinya
yang disebut siklus estrus.
Siklus estrus dibedakan atas empat fase yaitu
proestrus, estrus, metestrus dan diestrus.
betina
memper lihatkan
gejala
ingin
Pada periode estrus, hewan
kawin,
dimana
folikel
de
Graaf
tumbuh secara maksimum dan terjadi ov·ulasi (Toelihere, 19& 1).
Siklus
reproduksi pada hewan
berada dibawah pengaruh endokrin
disamping faktor lingkungan luar, yang
mana keduanya akan
dikontrol
melalui susunan syaraf pusat .dan hipothalamus untuk mengatur pelepasan
hormon (Toelihere, 19& 1).
Selanjutnya beliau mengatakan lamanya siklus estrus pada sapi dara
rata-rata 20 hari dengan kisaran antara 1&-20 hari, sedangkan sa pi induk
menunjukkan kisaran siklus estrus 1&-24 hari dengan rata-rata 21 hari.
Periode
berahi
pada sapi
umumnya
1& jam, akan
beberapa sapi terutama sapi dara berJangsung &-12 jam.
tetapi
pada
Di daerah tro-
pis, lama periode berahi pada bangs a sapi Eropa dan sapi perah hanya
berlangsung 12-13 jam, sedangkan pada bangsa sapi Zebu hanya berJangsung 5-& jam (Toelihere, 19&1).
Menurut Gangwar dkk (dalam Toelihere,
5
1981) menyatakan bahwa iklim tropis yang panas akan memperpendek
waktu estrus.
Sapi FH yang dikandangkan dalam suhu 24-35°C, lama
berahinya menjadi 11
jam dibandingkan dengan 20 jam pada suhu 17-
18°C.
Ovulasi.
de
Graaf.
Ovulasi didefinisikan sebagai pelepasan ovum dari folikel
Ovulasi
setelah estrus.
terjadi secara spontan dengan rata-rata
10 jam
Sapi dara cenderung berovulasi 5 jam lebih cepa t dari
sapi induk atau sapi dewasa.
Telah diketahui bahwa proses ovulasi distimulir oleh LH (Luteinizing
Hormone).
Pelepasan LH dari kelenjar hipofisa anterior ditimbulkan oleh
mekanisme
neurohormonal.
Hipothalamus
akan
mensekresikan
faktor
pelepas LH (LH-RF) ke dalam aliran darah menuju adenohipofisa yang
menyebabkan pelepasan LH sehingga terjadi ovulasi.
Terjadinya ovulasi perJu diketahui untuk menentukan waktu yang
tepat dalam melakukan IB (Inseminasi Buatan).
Hubungan an tara siklus
estrus, lama estrus dan waktu ovulasi dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1.
Siklus estrus, lama estrus dan waktu ovulasi pada sa pi perah.
---------------------------------------------------Siklus estrus
Waktu ovulasi
lama estrus
(harD
---------
(jam)
(jam)
MセN
Rata-rata
Kisaran
Rata-rata
Kisaran
Rata-rata
21,3
18-24
19,3
13-27
10,7
---- - ------ ---- - --- --------- -- ----------------------- --- -.
Sumber : Cole dan P. T. Cupps (1969)
Saat yang baik untuk
rata-rata
、ゥォ。キセN@
Estrus pada sapi berJangsung
18 jam, sedangkan ovulasi terjadi rata-rata
estrus berakhir.
10 jam setelah
Saat terbaik untuk melakukan IB mulai dari pertengahan
6
estrus sampai 6 jam sesudah akhir estrus berlangsung.
Salah satu faktor
yang terpenting dalam hal ini adalah pengamatan estrus, sehingga saat
melakukan inseminasi mudah ditentukan (Partodihardjo, 1980).
Kegiatan reproduksi sapi jan tan
Pubertas.
Pada hewan jan tan pubertas ditandai dengan mulai ak-
tifnya proses spermatogenesis yang waktunya bersamaan dengan ternak
betina dalam spesies yang sama (Toelihere, 1981).
Menurut Foote (dalam
Cole dkk, 1969) pubertas pada hewan jan tan ditandai dengan : (1) telah
sempurnanya proses spermatogenesis, (2) adanya keinginan untuk kawin
(libido) dan (3) terdapatnya sperma yang hidup dalam ejakulat.
Pubertas pada bangsa sapi Eropa antara 6 sampai 10 bulan, ditandai dengan pertumbuhan alat-alat kelamin seeara eepat akibat peninggian
pelepasan
LH atas rangsangan
hipothalamus ke
dalam
Adenohypofisa,
disamping manifestasi luar pubertas akan mempereepat proses spematogenesis.
Timbulnya pubertas
tidak
sepenuhnya
menandakan kapasitas
reproduksi yang maksimal akibat peninggian yang eukup berarti dalam
volume ejakulat, karena konsentrasi dari jumlah sperma yang moti! baru
terjadi 6 sampai 9 bulan sesudah awal pubertas.
Jadi sebaiknya hew an
jantan dikawinkan sesudah setengah sampai satu tahun sejak mulai timbul
pubertas.
Umur
pubertas
tidak
dapat
dipakai
patokan
terhadap
fertilitas sapi jantan, dimana sebagai bukti dapat dipakai ukuran
Scrotum
Circumferens (SC) yang rnempunyai
pada sapi perah maupun potong.
sebagai
hubungan dengan
produksi sperma
Pada Bos taurus setelah berumur 30
bulan dapat diberikan ni!ai sebagai berikut : Baik bi!a SC 39 em, sedang
bila SC 3/;-39 em dan buruk bila SC
Sセ@
em.
Pada waktu pubertas rata-
7
rata
ukuran SC
31-34
em
(Campbell,
1979).
Pubertas pada jan tan
dipengaruhi pula oleh faktor lingkungan dan makanan ·(Toelihere, 1981).
Libido.
Libido adalah keinginan untuk kawin pada hewan jantan
atau intensitas kelakuan kelamin pada jantan (Toelihere, 1981).
Pada hewan jantan tidak dimiliki siklus berahi seperti halnya pada
hewan betina.
Pada umumnya pejantan selalu bersedia melayani betina
setiap saat untuk melakukan aktifitas reproduksi.
Jika ada pejantan yang
menoiak untuk melakukan aktifitas reproduksi (kawin), maka barang tentu
pejantan tersebut tidak normal atau sudah tua atau masih terlampau
muda (Partodihardjo, 1980).
Kualitas makanan yang rendah nilainya dapat menyebabkan pejantan
mudah kehabisan tenaga.
bihan,
terlampau
Defisiensi protein, konsumsi air yang berle-
singkat siang hari, defisiensi vitamin A, keraeunan
makanan atau setiap gangguan fisik walaupun tidak nyata seeara klinis
.dapat sangat mempengaruhi penampilan seksual, misalnya perbarahan kuku
atau
persendian-persendian,
pergantian
gigi,
eksima,
kesakitan
karena
keeelakaan atau pen yak it tertentu (Toelihere, 1981).
Libido dapat dipengaruhi juga oleh pengalaman pahit sewaktu dilakukan
penampungan
terakhir
dengan
mempergunakan
vagina
buatan
(Toelihere, 1981), oleh karen a itu pejantan-pejantan tersebut harus diperlakukan dengan baik dan diberi gerak yang eukup untuk mempertahankan
kondisi optimum.
Mereka harus diobservasi dan diperlakukan sedemikian
rupa agar tidak kehilangan Iibidonya.
Oleh sebab itu frekuensi penam-
pungan setiap pejantan harus ditentukan, apabila· pejantan ditampung berlebihan dalam satu periode harus diikuti oleh periode istiharat.
manajemen tersebut adalah
(Toelihere, 1981).
untuk
memberi
semangat kepada
Faktor
pejantan
8
Pada sapi dengan libido yang tinggi tidak selalu merupakan kritedum
fertilitas bagi pejantan,
tetapi dengan libido yang tinggi, maka
volume semen akan tinggi pula.
Pada umumnya apabila volume semen
tinggi, maka konsentrasi sperm a moti! per ejakulat juga akan meninggi
(Toelihere, 1981).
Mekanisme kerja hormonal
Kelenjar hipofisa adalah
otak.
pusat
kelenjar endokrin yang terletak didasar
Mekanisme kerjanya ada dibawah kontrol hipothalamus sebagai
pengatur sistem hormonal
faktor/realising
hormone.
tubuh, dengan
mengeluarkan realising
Mekanisme kerja hipofisa
sangat komplek,
sedangkan bagian anterior dad hipofisa menghasilkan hormon sebanyak
lebih kurang 7 macam.
terlibat
Dari hormon-hormon tersebut sebagian besar
langsung dalam proses
reproduksi seperti FSH, LH dan L TH
(Partodihardjo, 1980).
Follicle Stimulating Hormone (FSH) berfungsi sebagai stimulan bagi
pertumbuhan
folikel disamping
pematangan folikel de Graaf di dalam
ovarium dan spermatogenesis di dalam tubuli seminiferi testis (Toelihere,
1981).
Luteinizing Hormone (LH) bekerjasama dengan FSH untuk menstimuIir pematangan folikel dan pelepasan estrogen.
Sesudah pematangan
folikel, LH menyebabkan ovulasi dengan menggertak pemecahan dinding
sel dan
pelepasan ovum.
Pada hewan jantan LH menstimulir sel-sel
intertial Leydig pada testes dengan akibat pelepasan testosteron (hormon
kelamin jan tan).
Oleh sebab itu LH pada hewan jan tan disebut ICSH
(Intertitial Cell Stimulating Hormone).
Jadi secara tidak langsung LH
menyebabkan sifat-sifat kelamin sekunder dan kelenjar-kelenjar kelamin
pelengkap (ToeIihere, 1981).
9
Luteotropik
Hormone
(L TH)
atau
proJaktin
bertanggung
jawab
menguatkan pembentukan korpus Juteum sehingga sanggup menghasilkan
hormon progesteron.
ApabiJa terjadi kebuntingan LTH akan menstimulir
perkembangan keJenjar ambing untuk persiapan Jaktasi.
SeJama kebun-
tingan progesteron bekerja secara sinergis dengan estrogen daJam mempertahankan kebuntingan, menghambat sekresi FSH sehingga pematangan
folikeJ tidak terjadi (Toelihere, 1980.
jantan
terlihat pada
gam bar
terliha t pada gam bar 2.
Mekanisme hormonaJ pada sapi
dan mekanisme
hormonal sapi betina
10
Gambar 1.
Mekanisrne hormonal pada sapi jantan
SUSUNAN SY ARAF PUSA T
HYPOTHALAMUS
/
/
/
/
Tingkah laku
seksual
(libido)
"
FAKTOR-FAKTOR PELEPAS
(REALISING FACTORS)
/
/
/
/
/
/
/
/
/
ADENOHYPOPHYSIA -.--J l', ,
'---,_______________
/
セ@
/
1//
II
"lnhibin"
\1
ICSH
(LH)
iMGl]Z」⦅セ
\\
'\
FSH
,
I\
.
\
Stimulasi
organ-organ
Kelamin
Pelengkap
\
\ I
\I
_ _--,I I
T EST E S
\
TUBULI
SEMINIFERI
'\ '\
II
",I
SEL-SEL
INTERSTITIAL
I
" " , - ' - -_ _---,,,-_ _ _ _--'-_ _ _ _ _- ._ _ _--' I I
......
-
-_
......
,,
/
SPERMA TOGENETIK
TESTOSTERON
1
SPERl\>\A
Sumber
Toelihere, 1981.
Fisiologi Reproduksi Pada Ternak.
/
Sifat-sifat
kelamin
sekunder
11
Gambar 2.
Mekanisme hormonal pada sapi betina
Rangsangan L uar
- G3.haya
- Stress
- Visuil
- Auditoris
- Perabaan
- OHaktoris
- Makanan
- Stimulasi uterus
- Fisik
Faktor-faktor Pelepas _ Lain-lain
(Releasing Factors)
Adenohypophysa
Pertumbuhan
Folikel
Ovulasi
Neurohypophysa
Corpus
Luteum
Part us
Pertumbuhan
Proliferasi
uterus dan sauterus (untuk
luran reproduksi implantasi)
Sumber
Toelihere, 1981.
Kelangsungan
kebuntingan
Fisiologi Reproduksi Pada Ternak.
Laktasi
(Let down susu)
BEBERAPA FAKTOR LlNGKUNGAN YANG MENYEBABKAN
INFERTIUT AS
Faktor iklim
Iklim dapat mempengaruhi kegiatan reproduksi baik secara Iangsung
maupun tidak langsung.
Pengaruh iklim secara langsung misalnya oleh.
suhu dan keIembaban, sedangkan yang tidak langsung dimana ikIim mempengaruhi mutu makanan dan prevalensi pen yak it serta parasit.
Pengaruh
iklim
'kegiatan-kegiatan
berinteraksi
reproduksi
dengan
dan
faktor-faktor
pertumbuhan
seperti
lain
terhadap
terlihat
pada
Gambar 3 (Campbell, 1979).
Gambar 3.
Interaksi iklim dan faktor-faktor lain terhadap reproduksi dan
pertumbuhan.
genotif
iklim
------------
r ,- - - - - - - - - - - - - - - - -
-------------------1
manajemen
I
makanan
____
n
__
u n __
I
pertumbuhan
Sumber
Campbell, 1979.
reproduksi
Infertility in Cattle.
Refresher Course fcr
Vet. Proceeding no. 42.
Untuk menditeksi secara langsung pengaruh iklim terhadap reproduksi sapi agak sulit, karena jenis sapi dan rnakanan ikut mempengaruhi
pula.
12
13
Iklim dapat mempengaruhi waktu pubertas, lama estrus, sistem hormonal, kejadian abnormalitas dari ovarium pada sapi betina.
Sedangkan
pada sapi jantan mempengaruhi waktu pubertas, libido, spermatogenesis
dan karakteristik daripada semen (Payne, 1970).
Iklim dan pertumbuhan rumput di daerah tropis mempengaruhi produksi dan reproduksi, terutama pada sapi dara dimana pada musim hujan
yang berkisar an tara bulan Juli sampai Oktober banyak sapi yang bunting.
Sedangkan
pada
musim kemarau
aktifitas
reproduksi
menurun, karena
udara yang terlalu panas disamping jumlah makanan yang relatif berkurang (Siebert, 1976).
Kelly dan Hurst (dalam Payne, 1970) mengemukakan, bahwa temperatur yang tinggi dan berJangsung secara terus menerus dapat menekan
fertilitas sapi jantan dan betina.
Temperatur yang meningkat di daerah
subtropis terjadi pada musim panas sehingga fertilitas menjadi rendah,
yang dikenal dengan "Summer Infertility" (Salisbury dalam Payne, 1970).
Paston dalam Payne (1970) mengemukakan temperatur yang tinggi
di musim panas di daerah subtropis sulit untuk menditeksi estrus dibanding pad a musim dingin.
Sedangkan di daerah tropis menurut Toelihere
(1981) periode berahi menjadi pendek pada sapi Eropa dan sapi Zebu. Hal
tersebut terjadi karen a iklim tropis yang panas akan memperpendek waktu
estrus.
Periode berahi yang pendek ini tidak akan terobservasi apabila
hanya dilakukan satu kali dalam sehari (Tranter, 1982).
Pada hewan jantan, temperatur lingkungan yang meninggi dapat menurunkan kualitas semen dan libido (Ganong dkk dalam Cole dkk, 1969).
Sedangkan Lindsay dkk (1982) mengemukakan bahwa suhu lingkungan
yang tinggi (32,5°C) telah cukup membuat degenerasi dari tubuli seminiferi, sedangkan Rasbec (dalam Payne, 1970) berpendapat bahwa hewan
14
jantan pada musim panas antara bulan September dan Oktober pada kelompok ternak akan
mengasingkan
diri dan kehilangan
nafsu seksual.
Kehilangan nafsu seksual ini terutama diperlihatkan oleh sapi jantan yang
gemuk (Enler dalam Hafez, 1969).
Faktor makanan
Dalam pola peternakan rakyat yang masih bersifat tradisional seperti
halnya
di
Indonesia,
faktor
makanan
mungkin
merupakan satu
faktor terpenting yang menjadi penyebab kegagalan reproduksi, khususnya
pada sapi.
Sedangkan pada perusahaan-perusahaan sapi perah yang besar
pada umumnya kegagalan reproduksi disebabkan oleh pemberian makanan
yang berlebihan atau tidak
be rim bang antara hijauan dengan makanan
penguat (konsentrate).
Menurut Hafez (daIam Hafez, 1969) di Australia dan Afrika Selatan
sistem
pemeliharaan sapi dilepas di padang pengembalaan (ekstensif),
untuk mengatasi kekurangan makanan, disamping merekapun memperhatikan curah hujan dan suhu, agar didapatkan sapi-sapi dengan pertumbuhan
yang baik.
Menurut Campbell (1979) kekurangan makanan dapa t menyebabkan
target berat badan menjadi terhambat, pubertas terlambat, anestrus dan
kebuntingan yang tidak stabil pada sapi betina.
Sedangkan pada sapi
jantan menyebabkan terlambatnya pubertas dan menurunnya libido.
Kelebihan
makanan
menyebabkan sapi
betina
kegemukan
dengan
ovarium kecil sehingga menyebabkan anestrus (Toelihere, 1981).
sapi yang dibesarkan dan
Pada
dipelihara dengan makanan yang berlebihan
akan ban yak mengalami kegagalan reproduksi dikemudian hari, sehingga'
akan mempunyai masa produktif yang lebih singkat daripada sapi
dipelihara dengan enersi rendah.
",
15
Defisiensi enersi.
Pada sapi yang digembalakan, defisiensi enersi
merupakan masalah umum, terutama ketika periode produksi tinggi pada
waktu laktasi.
nurunkan
Defisiensi enersi ini pada sapi yang berlaktasi akan me-
kondisi
tubuh
dan
mengalami
hipofungsi
dari
oyariumnya
(Hafez, 1969).
Sedangkan sapi dara dan sapi yang untuk kedua kalinya melahirkan,
yang menjadi masalah di padang gembalaan adalah keterbatasan tempat
merumput, karena status so sial yang rendah dalam kelompok dibanding
sapi yang sudah berkali-kali melahirkan (Tranter, 1982).
Menurut Hafez
(1969) defisiensi enersi pada sapi yang belum dewasa menyebabkan hipopi asia oyad dan alat-alat reproduksi lainnya, sedangkan pada sapi dara
terlambatnya masa pubertas.
Campbell (1979) mengemukakan pubertas yang tertunda akibat kekurangan makanan atau enersi, menyebabkan tertundanya masa kebuntingan yang pertama.
Anestrus akibat kekurangan enersi menyebabkan
tenggang waktu antar kelahiran diperpanjang.
Hal ini dapat disebabkan
karena kesalahan manajemen, dimana secara praktis dan ekonomis lebih
sering terlihat pada sapi perah dibandingkan sapi potong.
Pengaruh dan
manfaat enersi yang jelas di USA, dimana sa pi yang diberi enersi yang
cukup dalam makanannya, mempunyai oyarium yang besar, estrus postpartum yang cepat dan nilai konsepsi yang baik (Campbell, 1979).
Pada sapi jan tan apabila bersifat sementara, defisiensi ini dapat diperbaiki, sedangkan bila terjadi pada sapi jan tan muda yang mengalami
defisiensi terus menerus dan dalam waktu yang lama tidak dapat diperbaiki lagi (fatal).
Kerusakan yang terjadi adalah testis kedl, dan fungsi
produksi sperma berkurang (Ehler dalam Hafez, 1969).
yaitu menekan fungsi kelenjar-kelenjar pelengkap.
Pengaruh lain
16
Defisiensi protein.
Meskipun protein tidak begitu penting dalam
masalah reproduksi seperti halnya yada kebutuhan enersi, tetapi apabila
kadar yang dibutuhkan dari protein rendah juga akan mempermudah terjadinya infertilitas.
Pada sapi dara defisiensi protein akan memperlihatkan gejala anestrus, hipoplasi ovari dan uterus yang tidak berkembang, apabiJa keadaan ini masih dini dapat dengan mudah untuk diperbaiki dengan pemberian
makanan yang baik dalam beberapa minggu (Hafez, 1969).
Pada sapi jantan muda akan tertundanya masa pubertas, sedangkan
pada yang dewasa akan berpengaruh terhadap ukuran testes, disamping
produksi semen akan terganggu.
ApabiJa kebutuhan protein rendah dan
dalam waktu tidak kurang dad 6 bulan, maka produksi sperma menjadi
sanga t sedikit (Ehler dalam Hafez, 1969).
Defisiensi mineral.
Defisiensi mineral penyebab infertilitas pada
sapi umumnya terbatas pada phosphor, sedangkan mineral lainnya jarang
terjadi.
Defisiensi phosphor akan selalu terjadi pada padang gembalaan yang
mengalami defisiensi protein.
babkan
Defisiensi phosphor dalam tanah menye-
rumput kering dan cepat mati, keadaan ini umum di daerah
subtropis dan tropis (Campbell, 1979).
Menurut Tranter (1982) defisiensi phosphor berbeda dengan defisiensi
enersi yang lebih sering pada sapi dara, sedangkan defisiensi phosphor
justru sering terjadi pada sapi dewasa dengan produksi tinggi, dim ana
cadangan phosphor dalam tubuh tidak tersedia lagi.
Pada sapi dewasa
umumnya memperlihatkan gejala estrus yang tidak teratur, penghentian
estrus (anestrus) dan hipofungsi ovari.
1969)
mengemukakan
defisiensi
phosphor
Moustgaard (dalam Cole dkk,
walaupun
sering
pada
sapi
17
dewasa,
ternyata
pada
sapi
darapun
dapat
menyebabkan kelambatan
pubertas.
Kebutuhan phosphor lebih kurang 10-12 gram per hari pada daerah
yang tanahnya miskin phosphor (Toelihere, 1981).
per hari
Sedangkan di Australia
15 gram berupa tepung tulang yang diberikan terpisah dari
makanan lainnya (Campbell, 1979).
Defisiensi mineral lain, seperti defisiensi mangan akan menyebabkan
tertundanya konsepsi, menghambat sekresi hormon gonadotropin dan hipofungsi ovari pada sapi betina, sedangkan pada sapi jantan menyebabkan
degenerasi ekstensif dari testes (Hafez, 1969).
Defisiensi Cu
rendah
atau
dimana
hewan) dipergunakan
1982).
terjadi
pada area dim ana kadar Cu dalam tanah
molibdenum
untuk
(yang
dapat
menurunkan Cu
pada
merangsang pertumbuhan rumput (Tranter,
Defisiensi Cu mengakibatkan kegagalan reproduksi pada hewan
betina terutama kegagalan memperlihatkan gejala estrus.
Defisiensi Zn
menghalangi spermatogenesis dan hipofungsi testes
(Moustgaard dalam Cole dkk, 1969).
Defisiensi iodine akan menghalangi pertumbuhan organ reproduksi,
karena menghambat kerja thyroid.
Hipo atau hiperthyroidismus menye-
babkan sekresi hormon-hormon gonadotropik dari hipofisa dihambat.
Di
daerah-daerah yang kekurangan jodium untuk mencukupi mineral tersebut
harus disediakan dalam
bentuk pemberian garam dapur.
Kekurangan
garam dalam waktu yang lama menyebabkan penurunan berat badan dan
anestrus (Toelihere, 1981).
Defisiensi Pb berpengaruh terhadap ekor dari sperma sehingga ada
hubungannya dengan motilitas (Moustgaard dalam Cole dkk, 1969).
18
Defisiensi vitamin.
menyebabkan
anestrus,
Defisiensi vitamin A pada sapi betina dapat
kawin
dengan kondisi yang lemah.
berulang,
abortus dan
melahirkan
bayi
Sedangkan pada sapi jan tan diperlukan untuk
perkembangan alat seksual dan spermatogenesis yang normal.
Vitamin A
Defi-
terdapat pada karotene dalam rumput yang baik, hay dan silase.
siensi vitamin A biasanya berkaitan erat dengan musim kemarau yang
panjang dim ana rum put kering (Payne, 1970).
Faktor manajemen
Kegagalan mendi teksi berahi.
Apabila sapi jan tan dipisahkan dari
kelompok sapi betina untuk melakukan kontrol baik terhadap kawin alam
ataupun
IB,
ternyata cara ini
sulit
untuk
mengetahui waktu
berahi.
Seringkali sapi betina dinilai gagal untuk memperlihatkan berahi, sebagian besar disebabkan oleh adanya CL (Corpus Luteum) pada ovarium
dalam siklus estrusnya.
Apabila berahi tenang terjadi, terutama pada sapi dengan produksi
tinggi, ternyata kejadiannya selalu berbanding terbalik terhadap intensitas
dan efektifitas dari cara menditeksi berahi (Tranter, 1982).
Menurut
Tranter
(1982) faktor-faktor
yang dapat
mempengaruhi
situasi yang menjadi masalah dalam menditeksi berahi, yaitu :
a. Ditemukan pada
.peternakan dengan tempat
kukan observasi berahi.
セ。ョァ@
buruk untuk mela-
Sapi betina enggan menaiki betina
lainnya
apabila lapangan yang terbuka tempatnya licin, sehingga lebih mudah
dilakukan pengamatan pada sapi yang dipelihara di gunung, diikat atau
dikandangkan
dimana
aktifitas
untuk
memperlihatkan
berahi
lebih
nyata ter lihat.
b. Apabila kelompok sapi jumlahnya besar sehingga masalah identifikasi
dari setengah bet ina yang memperlihatkan gejaJa berahi sulit untuk
19
diobservasi,
bangsal
atau adalah
yang
mengendalikan
sapi
dalam
jumlah besar.
c. Mengupah orang untuk membantu dalam peternakan yang motivasinya
tidak sama dengan pengelola, malah akan menambah masalah.
d. Pada kelompok sapi yang besar banyak waktu dihabiskan untuk merum put guna memenuhi kebutuhan akan makanan, dan sedikit sekali
waktu untuk memperlihatkan gejala berahi.
e. Oi negara tropis intensitas dan lama berahi menurun pada temperatur
Iingkungan yang tinggi, sehingga periode berahi mudah menjadi tidak
tepat.
Jumlah pejantan yang digunakan sebagai pemacek.
Kegagalan re-
produksi dapat disebabkan karen a .iumlah pejantan sangat rendah pada sekebmpok sapi potong yang digembalakan (Campbell, 1979).
Suatu pe-
ternakan di Florida mempergunakan pejantan yang cukup untuk dapat
melayani
sapi
betina,
kelahiran
yang tinggi.
melayani
14
ekor
sehingga
betina
dapat
menghasilkan
Kemampuan optimum
maka
persentase
persentase angka
seekor
angka
pejantan dapat
kelahiran
menjadi
menurun (Koger dkk dalam Payne, 1970).
Selain jumlah pejantan yang cukup harus diperhatikan juga umur
dari pejantan, lamanya musim kawin, ukuran dan topografi dari lokasi
peternakan tidak dapat diabaikan.
Pejantan yang belum dewasa dan
keadaan semen yang buruk juga dapat mempengaruhi persentase angka
kelahiran.
Tiap-tiap pejantan hendaknya hanya melayani betina-betina tertentu.
ApabiJa betina tidak berhasil bunting dengan pejantan pertama jangan
dikawinkan
dengan
pejantan
kedua, tapi
sebaiknya
dengan
semen
20
dari pejantan pertama secara IB (Partodihardjo, 1980).
Dalam hal ini
harus diperhatikan dan disadari akan bahaya pemindahan penyakit kelamin.
Waktu yang tepat untuk mengawinkan.
Kawin alam maupun inse-
minasi buatan harus dilakukan pada waktu yang optimum untuk dapat
menghasilkan konsepsi seperti yang telah diterangkan pada bagian yang
terdahulu.
Jika estrus terjadi pada pagi hari maka sebaiknya inseminasi
dilakukan selambat-Iambatnya sore
hari, sedangkan jika estrus terjadi
pada
dilakukan
sore
hari
maka
inseminasi
selambat-Iambatnya
pada
keesokan pagi harinya (Partodihardjo, 19&0).
Pada betina yang baru melahirkan saat yang optimum dilakukan
perkawinan kembali setelah 60 hari setelah beranak (post partum) dan
jangan sampai
kurang
1981).
perlu
Juga
dari
50 har i (Djojosoedarmo dalam
diperhatikan
apabila
pedet
tetap
Toelihere, '
menyusu
akan
menunda waktu estrus dan memperpanjang jarak an tara kelahiran (Payne,
1970).
Transportasi.
Perpindahan sapi dari kondisi Iingkungan yang ber-
lainan akan mempengaruhi fertilitas sapi jantan, karen a faktor stress
baik diperjalanan maupun di Iingkungan yang baru (Payne, 1970).
Umur sapi.
Umur dapat mempengaruhi fertilitas pada sapi jantan
maupun sapi bet ina baik perah maupun potong.
Jadi dalam manajemen,
segi umur perlu diperhatikan.
Sapi dara sebaiknya
dikawinkan
mulai
umur
14-16 bulan
memperoleh konsepsi sebaik-baiknya (Partodihardjo, 1980).
untuk
Angka kon-
sepsi sapi dar a ternyata lebih rendah dibandingkan sapi dewasa yaitu
sekitar 20 persen pada sapi potong.
Sapi dewasa mempunyai angka
21
konsepsi yang baik pada umur 4-6 tahun dan menurun secara berangsurangsur.
Pada sapi jantan waktu optimum untuk dikawinkan yaitu pada umur
2 tahun dan menurun secara berangsur-angsur (Salisbury dalam Payne,
1970).
Walaupun demikian umur tidak berdiri sendiri di dalam fertilitas
tetapi biasanya bersama-sama dengan faktor Iingkungan yang lain.
Faktor penyakit dan parasit
Oi daerah tropis dan subtropis kasus penyakit dan parasit dapat
mempengaruhi
tinggi
reproduksi.
Pengaruh
rendahnya kelembaban
udara
temperatur
Iingkungan
dimana
serta kondisi iklim memungkinkan
timbulnya kasus penyakit dan prevalensi dari parasit.
Makanan,
penyakit,
parasit
dan
stress
Iingkungan
menyebabkan
infertilitas (Clark dkk dalam Payne, 1970).
Penyakit alat reproduksi.
oleh
penyakit
(Vibrio
fetus),
Trichomoniasis
leptospirosis (Leptospira セIN@
foetus)
dan
betina
dapat
teratur.
Vibriosis
Infertilitas pada sapi dapat disebabkan
menyebabkan
abortus
(Trichomonas
Umumnya
dan
siklus berahi
pada
menjadi
sapi
tidak
ApabiJa tidak ditanggulangi maka akan menjadi infertil at au
steril.
Sedang pada jantan biasanya orchitis, sedangkan apabiJa terjadi
hal-hal
yang
tidak
memperlihatkan
gejala
dapat
bertindak
sebagai
carrier.
Sedangkan infertilitas yang tidak spesifik seperti vaginitis, metritis
dan endometritis dapat juga menurunkan tingkat fertilitas atau kesuburan.
Pada
hewan
jantan orchitis,
periochitis, degenerasi testes,
juga
defek-defek seperti hematoma, phymosis dan paraphymosis biasanya pad a
22
sapi Aberden Angus dapat menurunkan libido (Ehler dalam Hafez, 1969).
Selain penyakit pada alat kelamin, arthritis dan kepincanganpun dapat
menurunkan libido (Tranter, 1982).
Penyakit somatis.
Penyakit somatis dapat mempengaruhi kesehatan
secara umum dari sapi, apabiJa berlanjut dapat menurunkan fungsi reproduksinya.
Pen yak it soma tis yang umum terhadap sapi di daerah sub-
tropis dan tropis yai tu Anaplasmosis, Piroplasmosis, Tuberkulosis, Penyaki t Mulut dan Kuku (PMK), Babesiosis dan sebagainya (Payne, 1970).
Penyakit-penyakit tersebut menyebabkan demam yang tinggi, sehingga pada sapi betina dapat menimbulkan gejala anestrus, sedangkan
pada sapi jantan mengganggu fungsi testes dalam proses spermatogenesis
(Payne, 1970).
Gangguan sistem hormonal.
Faktor Iingkungan dapat mempengaruhi
mekanisme kerja sistem hormonal, sehingga mengakibatkan gangguan terhadap reproduksi
a tau
infertilitas.
Gangguan sistem hormonal dapat
dibagi menjadi dua yaitu : Faktor dari dalam yang berhubungan dengan
tingginya produksi susu atau stress waktu laktasi dan faktor dari luar.
Faktor dari dalam, yaitu :
a. Ovarium
yang sistik.
Sering terjadi pada sapi-sapi perah karena
faktor bergerak yang kurang setelah· partus terutama pada puncak
laktasi.
Kejadian ovarium yang sistik dipengaruhi oleh dua faktor
yaitu faktor keturunan dan kondisi lingkungan dalam hal ini produksi
susu
tinggi
berkorelasi
dengan
stress
di
musim ding in di daerah
subtropis.
Sebenarnya mekanisme pembentukan sista ovari tidak diketahui
dengan pasti.
Teori yang masuk akal menerangkan etiologi kejadian
23
siste ini oleh karena kurangnya sekresi LH dari hipofisa anterior pada
saat menjelang ovulasi.
Folikel yang terbentuk terus membesar ka-
rena sekresi FSH yang cukup memadai tetapi untuk berovulasi tidak
didapatkan cukup kandungan LH (Toelihere, 1981).
Cam pbeJl
(! 979)
memperlihatkan
hubungan dampak
Iingkungan
-dengan faktor turunan terhadap kejadian Nymphomania, sebagai gejala
dari ovarium yang sistik (Gambar 4).
Selain rnemperlihatkan gejala
Nymphomania sekitar 25 per sen dari sapi yang mengalami sista ovari
dapat memperlihatkan gejala anestrus.
Gambar 4.
Diagram skematis dari kejadian ovarium yang sistik.
Genotip - Produksi tinggi - Stress Iingkungan
1
Hipothalamus
1
Hipofisa anterior
1
LH.,(
FSH1'
1
Tanpa ovulasi
sistik
ACTH1'
r.
1
ovanum
j
Adenocorticoid
hipertropi
Na
+
H 0 retensi
2
HlP""roo,,"
Nymphomania;
J
Adrenal
virilism
Oedema. Sal. Kelamin
Sumber
Campbell, 1979.
Vet.
Infertility in Cattle.
Proceeding no. 42.
Refresher Course For
24
b. Anestrus akibat laktasi.
Anestrus akibat laktasi biasanya terjadi pada
sapi perah yang menunjukkan laktasi yang tinggi, sedangkan pad a sapi
po tong karena defisiensi enersi yaitu pada musim ding in di daerah
subtropis dan musim kemarau yang panjang di daerah tropis.
Disini
terjadi interaksi akibat kekurangan makanan dan laktasi.
Pad a
waktu
laktasi
Gn-RH
(Gonadotropin
Realising
Hormon)
Keadaan
dihambat, sehingga Gonadotropin hormone akan menurun.
ini ditunjang oleh makanan yang kurang sehingga sekresi FSH dan LH
menurun,
sehingga
.dihambat.
akan
sebagai
akibatnya
pertumbuhan
folikel
akan
Pertumbuhan folikel tidak terjadi sehingga hewan tidak
dapat
memperlihatkan
gejala estrus (anestrus).
Pola
kerja
kejadian ini pada Gambar 5 (Campbell, 1979).
Gambar 5.
Diagram skematis dari anestrus pada saat laktasi.
oxytocin - - - - . t )
I
SUSU KELUAR
MセI@
cortison7'
I
Prolaktin inhibitorFaktor inhibitor
1
Gn-RHi
----..y, fungsi
hipofisai
ProgesteronJ.
-'1
FSH;LHi _ _ _ _ _ _
nutr isi yang
kurang
Sumber
Campbell, 1979.
Vet.
1
Anestrus (tanpa folike!)
Infertility in Cattle.
Proceeding no. li2.
Refr·esher Course For
25
Faktor dari Juar
KegagaJan
reproduksi terjadi
pada sapi yang makan rum put dari
tumbuhan yang mengandung campuran yang mempunyai aktifitas estrogen,
seperti pada sapi yang makan rumput alfafa dari Israel.
Sindrom khas
infertilitas adaJah Nymphomania (ovarium yang sistik), kegagaJan transpor
teJur dan sperma, serta kegagaJan inpJantasi (Hafez, 1969).
Kandungan estrogen ini juga dapat diisoJasi dari tanaman isofJavones.
Isoflavones dari famiJi Jeguminosa menyebabkan aktifitas ovarium menjadi
rendah, sedangkan buah apeJ, cherry dan kentang mengandung estrogen
yang tinggi (Hafez, 1969).
Kawin beruJang.
Sebagian besar kasus infertilitas dan kawin beruJang
pada keJompok ternak disebabkan oJeh kesalahan manajemen dan kekurangan makanan.
Makin banyak jumJah ternak yang ditangani makin ba-
nyak kasus infertiJitas dan kawin berulang (Robert dalam ToeJihere, 1981).
Kesalahan
manajemen terutama daJam
mengobservasi berahi yang
harus diJakukan minimal 2 kaJi daJam sehari, akan tetapi apabila tanda
berahi sudah
terlihat tidak perJu
diJakukan inseminasi sampai
2
kaJi
berturut-turut.
Makanan berpengaruh terhadap infertilitas dan kawin beruJang, karena makin baik kuaJitas makanan maka sapi akan lebih subur.
Suhu yang tinggi secara terus menerus selama musim panas akan
menyebabkan kawin berulang.
sapi di tempat
Cara mengatasinya dengan rnenernpatkan
yang teduh, ventilasi
kandang
yang cukup baik, beri
ban yak air segar dan rnakanan yang bergizi tinggi dengan kadar yang
rendah serat kasarnya (Toelihere, 1981).
26
Tabel 2.
Perkembangan Populasi Sapi Bali Selama Bulan Agustus 1981
s.d. Juli 1982 dan Curah Hujan Rata-rata Selama
10 Tahun Di
Tulang Bawang.
---- ---- -------- ----------------------------------------
Curah
kematian
PertamKelahiran
Bulan
Hujan
(ekor)
bahan
(mm)
Anak
Dewasa
Total Populasi
______________________________________________._ H・ォセAZl@
___ _
Januari
287
18
Pebruari
283
14
Maret
344
39
April
249
Mei
Juni
17
2
3
11
2
8
10
29
36
4
o
4
32
177
49
60
34
o
o
o
o
34
49
2
2
4
45
2
35
3
7
19
2
3
9
5
11
5
2
3
13
Juli
Agustus
o
48
79
37
September
191
26
Oktober
204
12
Nopember
299
16
Desember
358
16
2615
346
22
27
257
124
6
9
15
109
74
120
3
3
6
114
166
242
9
11
20
223
Total
Maret s.d.
Mei
Juni s.d.
Agustus
Maret s.d.
Agustus
4
6
297
Sumber : Siregar, 1983. Perkembangan sapi Bali di Daerah Transmigrasi
. Tulang Bawang Lampung Utara. Wartazoa No.1. Vol. 1.
Tabel 3.
Macam Penyebab Kegagalarl Reproduksi Berdasarkan Pemeriksaan Rektal Pada Sapi di Daerah Inseminasi
Buatan di Propinsi Jawa Barat, Lampung dan Jawa Tengah tahun 1979/1980.
-Hypofungslr---- -Perbaharari --- ---N---- -1- -- ---- -- -- Abnorinailtas- ----- -------
- - - - - - - ----C-- -----L--t- --- orpus
u eum h
I'
K asus
P
' te
erS1S
nypop
. aSla
ovan
Propinsi
(Ekor)
(%)
(Ekor)
(%)
a 1at . reprodukSl
(Ekor)
( %)
Aerma
spesl'f'\1<
anatonll. a.1at
J um 1a h
S'
.lsta
ovan.
イ・ーセッ、オォウャ@
(Ekor)
(%)
(Ekor)
(%)
8,79
59
2\ ,73
12
セLY@
0,43
49
21,14
12
5,17
3,39
100
18,86
19
3,39
(Ekor)
(%)
(Ekor)
----------------------_._----------------------------------------------------------------------------_.
Jawa Barat
80
29,30
95
Lampung
38
16,37
131
56,46
Jawa Tengah 212
37,17
206
36,78
SセLU@
Rセ@
19
3
セ@
ッLセ@
1LSセ@
273
0,43
232
I
560
- - - - ---------- - - -------- -------- --- -- -- -- -- -- ---------- -- ------------- - -------------- ----- -- -- ---- -- -------Jumlah
Rata-rata
Surnber
1132
330
27,61
Toelihere c1kk., 1980.
1979/1980.
114
42,53
113
208
11,20
20,57
セLSU@
8
1065
0,73
Laporan Pilot Proyek I'enanggulangan Penyakij Reproeluksi pada Ternak Sapi eli Indonesia
N
'oJ
Tabel 4. Penyebab kegagalan reproduksi berdasarkan pemeriksaan rektal pada sapi di daerah Inseminasi buatan (IB) di
propinsi Jawa Timur, Bali elan Nusa Tenggara Barat tahun 1980/1981
--- - - - -
- --
---- - - ---------------------- --.---- -_.- ------------ ----- ---- -----_ ... -- - - -- - - --- - - - - - -- - - - - - - - --- ----
I-lipofungsi
Propinsi
ovari
(%)
(Ekod
-_ ..... - .. --_
... _... _-_ .... _... -_
Corpus luPerbarahan
alat
reSista ovari
teum perI
Amih, Mamah, adik-adik dan suami
tercinta Ngkang.
Serta kepada mereka
yang selalu
berdoa sehingga saya dapat menyelesaikan studi di
cinta.
almamater
ter-
DAMPAK LINGKUNGAN TERHADAP
INFERTILITAS SAPI DI INDONESIA
SKRIPSI
oleh
TITA SARAH PONIARTI
B 17.0853
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGaR
1 9
a
5
RINGKASAN
TITA SARAH PONIARTI.
DAMPAK UNGKUNGAN TERHADAP INFER-
TIUT AS SAPI Dl INDONESIA.
(Dibimbing oleh Drh. Soeharto Djojosoe-
darmo dan Drh. Muchidin Noordin).
Kegiatan reproduksi dimulai dengan pubertas baik pada sapi betina
maupun sapi jantan.
Pada sapi betina sesudah mencapai pubertas mem-
punyai keteraturan faali yang disebut siklus
terdiri
dari
estrus
atau berahi yang
proestrus, estrus, metestrus dan diestrus.
Pada periode
estrus hewan memperlihatkan gejala ingin kawin, dan 10 jam setelah periode estrus akan terjadi proses ovulasi.
Sedangkan pada sapi jan tan siklus ini tidak ada, sehingga· pejantan
selalu bersedia setiap saat melayani kehendak betina untuk melakukan
aktifi tas reproduksi.
Keinginan kawin pada hewan jan tan disebut libido.
Kegiatan reproduksi
pada sapi dipengaruhi oleh sistem hormonal
yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisa dibawah kontrol hipothalamus, disam ping organ kelamin primer baik pada jantan maupun betina.
Faktor Iingkungan dapat
bersifat sementara.
mempengaruhi kegiatan
reproduksi yang
Faktor Iingkungan dapat mempengaruhi infertilitas
secara langsung maupun tidak langsung.
Faktor Iingkungan yang
dapat menyebabkan infertilitas pada sapi
meJiputi ikJim, makanan, penyakit dan manajemen atau tatalaksana.
DAMPAK LINGKUNGAN TERHADAP
INFERTILITAS SAPI DI INDONESIA
SKRIPSI
Oleh
TITA SARAH PONIARTI
B. 170853
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
1985
DAMPAK LINGKUNGAN TERHADAP
INFERTILITAS SAP I DI INDONESIA
SKRIPSI
Skripsi ini diajukan
sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar
Dokter Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
Oleh
TITA SARAH PONIARTI
B. 170853
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERT ANIAN BOGOR
1985
DAMPAK UNGKUNGAN TERHADAP
INFER TIUT AS SAPI DI INDONESIA
SKRIPSI
Oleh
TIT A SARAH PONIAR TI
-------------------
B. 170853
Disetujui
o
I. Drh. So harto Djojosoedarmo
KA TA PENGANT AR
Penyusunan Skripsi ini. merupakan Studi Literatur yang berhubungan
dengan I1mu Reproduksi yang penulis pilih untuk memenuhi salah satu
syarat dalam
menempuh Ujian Dokter
Hewan di Fakultas Kedokteran
Hewan Insti tut Pertanian Bogor.
Dengan selesainya penulisan Skripsi ini penulis mengucapkan terima
kasih kepada Drh. Soeharto Djojosoedarmo dan Drh. Muchidin Noordin
atas segala bimbingannya.
Rasa terima kasih yang sama penulis sampai-
kan kepada seluruh staf pengajar FakuItas Kedokteran Hewan IPB dan·
seluruh karyawan perpustakaan pusat IPB, perpustakaan FKH-IPB, per pustakaan Bakitwan Bogor dan perpustakaan BPT Ciawi-Bogor.
Meskipun tulisan ini mungkin masih banyak kekurangan mengingat
keterbatasan yang ada, tetapi penulis harapkan semoga karya tulis ini
bermanfaa t bagi siapa sa ja yang mungkin memerlukannya.
Bogor, Juli 1985
TITA SARAH PONIAR TI
Penulis
ii
DAFTAR lSI
Halaman
RINGKASAN • • • • • • • • • • • • • • • • . • • • • • • • • . •
KATA PENGANTAR • • • • • • • • • • . • • • • • • •• • • . •
ii
DAFTAR lSI • • • • • • • • • • • • ••
iii
DAFT AR GAM BAR • • • • • • • • • •
v
DAFT AR TABEL
6
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
vr
PENDAHULUAN • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • . •
Pengertian Infertilitas • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •
La tar Belakang • • • • • • • • • • • •
KEGIATAN REPRODUKSI PADA SAPI
3
Kegiatan reproduksi pada sapi betina
3
Pubertas • • • • • • • • • •••
3
Siklus dan lama estrus/berahi
4
Ovulasi • • • • • • ••
5
Saat yang baik untuk dikawinkan • • • • • • • • • • .
5
Kegia tan reproduksi pada sapi jan tan • • • • • • • . • • • •
6
Pubertas • • • • • • • • • • • • • • • • • • • . • • • . .
6
Libido • • • • • • • •
7
Mekanisme kerja hormonal
8
BEBERAPA FAKTOR LINGKUNGAN YANG MENYE BABKAN INFERTILITAS • • • • • • •
12
Faktor iklim ••
12
Faktor makanan
14
Defisiensi enersi
15
Defisiensi protein • • • • • • • • •
16
iii
Halaman
Defisiensi mineral •
16
Defisiensi vitamin .
18
Faktor manajemen • • • • • • . . • • • • • • • • • • • • • • • • •
18
Kegagalan menditeksi berahi/estrus • • . • • • • • • • • •
18
Jumlah pejantan yang digunakan sebagai pemacek • • •
19
Waktu yang tepat untuk mengawinkan . • . • • • • • • •
20
Transportasi
20
Umur sapi •
20
Faktor penyakit dan parasit • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •
21
Pen yakit alat reproduksi . • • • • • • • • • • • • • • • • •
21
Pen yak it somatis • • • • • • • • • • • • • • . • • • • • • •
22
Gangguan sistem hormonal • • • • • • . . • • • • • • • • •
22
Kawin berulang • • . . • . • •
25
. . . .........
32
KESIMPULAN • • . • . • • • • . . • • • • • • • •••••••••
38
DAFT AR PUST AKA • • . . • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •
'-10
PEMBAHASAN • . • • • • . • . . • .
RIW A YA T HIDUP . . • • • . . . . • • • • • • • • • • • • • • • •
iv
DAFTAR GAM BAR
Halaman
Gambar
1.
Mekanisme hormonal pada sapi jan tan
10
2.
Mekanisme hormonal pada sapi bet ina • • • • •
11
3.
Interaksi iklim dan faktor-faktor lain terhadap
reproduksi dan pertumbuhan • . • • • • • • • • •
4.
Diagram skematis dari kejadian ovarium yang
sistik • • • • • . •
5.
12
... .. .....
Diagram skematis dari anestrus pada laktasi ••••
v
23
24
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1.
Lama siklus estrus dan waktu ovulasi • •
2.
Perkembangan Populasi Sapi Bali Selama Agustus
5
1981 sid Juli 1982 dan Curah Hujan rata-rata 10
. . .. . ... . . . .
Tahun di Tulang Bawang ••
3.
26
Macam Penyebab Kegagalan Reproduksi Berdasarkan
Pemeriksaan Rektal pada Sapi di Daerah Inseminasi
Buatan di Propinsi Jawa Barat, Lampung dan Jawa
Tengah tahun 1979/1980 • • • • • • • • • • • • • • • •
4.
27
Penyebab Kegagalan Reproduksi Berdasarkan Pemeriksaan Rektal Pada Sapi di Daerah Inseminasi
Buatan (IB) di Propinsi Jawa Timur, Bali dan
Nusa Tenggara Barat tahun 1980/1981 ••••
5.
Hasil Operasional Tim Pengelola Reproduksi Pusat
pada sapi perah di Jawa Tengah
6.
29
HasH Operasional Tim Pengelola Reproduksi Pusat
pada sapi potong di Jawa Tengah • • . . . •
7.
28
30
Komposisi sapi betina tidak bunting yang menderita
gangguan reproduksi hasH pemeriksaan Tim Penge lola Reproduksi Peternakan Wilayah Timur di 10
UWIB tahun 1984 • • • • • • • • • • • • • • • •
vi
31
PENDAHULUAN
Pengertian infertilitas
Infertilitas
adalah
menurunnya
(Arthur dalam Setyowati, 1984-).
derajat
kesuburan
pada
ternak
Infertilitas merupakan kegagalan repro-
duksi yang bersifat sementara, tetapi jika tidak cepat ditanggulangi dapat
bersifat permanen atau steril (Toelihere, 198 1).
Masalah infertilitas ini lebih sering dijumpai pada sapi perah daripada sapi potong dan kehidupan secara berkelompok lebih sering dibandingkan dengan individual, sehingga
makin
besar ternak yang dike lola
makin sering kejadian infertilitas (Toelihere, 1981).
Kegagalan reproduksi dapat disebabkan oleh faktor iklim, makanan,
manajemen, penyakit dan parasit (Payne, 1970), karen a fertilitas atau
kesuburan merupakan interaksi yang selaras an tara faktor-faktor sebagai
berikut : Genotif x iklim x makanan x manajemen (Campbell, 1979).
Latar Belakang
Mengingat tujuan
dari Pelita
IV
pada hakekatnya meningkatkan
taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan
merata, maka pengembangan dan
seluruh rakyat yang makin
perbaikan produksi ternak khususnya
sapi merupakan salah satu penunjang untuk mencapai tujuan tersebut.
Manfaat yang
dapat diperoleh dari beternak sapi bagi penduduk
Indonesia ialah produksi susu dan daging, tenaga kerja, simpanan, rekreasi,
bahkan kotoran sa pi selain digunakan sebagai pupuk kandang juga dapat
diolah menjadi biogas.
Disamping itu manfaat ternak makin dirasakan
sebagai sumber untuk menambah penghasiJan keluarga.
2
Salah satu faktor yang perJu diperhatikan dalam pembangunan peternakan
adalah masalah
kegagalan reproduksi.
Kegagalan reproduksi
dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yang akan dikemukakan dalam
tulisan ini terutama pengaruh dari faktor-faktor Iingkungan.
Indonesia yang terletak antara 6° LU dan II ° LS, berpengaruh terhadap perbedaan iklim dian tara pulau-pulau di Indonesia, menurut letaknya
dari dataran benua Asia dan Australia.
Pengaruh utama dibidang penga-
daan makanan ternak ialah curah hujan, yang berlangsung akibat hembusan angin barat laut an tara bulan Nopember sampai dengan Maret, lalu
diikuti oleh angin tenggara yang kering berasal dari padang pasir gersang
di
Australia.
Pulau-pulau
disebelah barat menikmati hujan sepanjang
tahun, karen a angin timur yang kering itu mengumpulkan banyak uap air
(Robinson, 1977).
Pengaruh keadaan suhu terhadap pengadaan rumput atau pertanian
tidak seberapa dibandingkan curah hujan, meskipun demikian dapat juga
mengganggu aktifitas reproduksi yang akan dikemukakan di bagian lain
dalam tulisan ini.
Suhu di dataran rendah berkisar antara 23-35°C dan
suhu di dataran tinggi antara 20-30°C (Robinson, 1977).
Indonesia
sekarang
berusaha
meningka tkan
mutu
ternak dengan
mengimpor bibit sapi dari New Zealand dan Australia yang berbeda Iingkungannya.
Kemudian
dengan
dibukanya
daerah-daerah
Transmigrasi,
diikuti juga dengan perpindahan sapi baik lokal maupun impor antar pulau
dengan lingkungan yang berbeda pula.
Tertarik
oleh
kegagalan
reproduksi
di
Indonesia
yang
beriklim
Tropis dan dengan curah hujan yang berbeda-beda, maka penulis mencoba
membahas
Indonesia.
masalah
Oampak
Lingkungan
Terhadap
Infertilitas Sapi
di
KEGIATAN REPRODUKSI PADA SAPI
Kegiatan reproduksi sapi betina
Pubertas.
hidupan
mulai
hewan
terjadi
Pubertas atau dewasa kelamin adalah periode dalam kebaik
dengan
jantan
maupun
ditandai
oleh
betina, dimana
kemampuan
proses reproduksi
untuk
pertama
kali
memproduksi benih (Cole dkk, 1969), yaitu spermatozoa pada jantan dan
sel telur pada hewan betina (Sukra, 1979).
juga
didefinisikan sebagai
umur
Akan tetapi pubertas dapat
atau waktu dimana organ reproduksi
mulai aktif berfungsi (Toelihere, 1981).
Pubertas pada hewan bet ina ditandai oleh terjadinya estrus dan
ovulasi.
Pada umumnya pubertas dapat dicapai sebelum dewasa tubuh
terjadi (Rice dalam Sukra, 1979), yaitu pada waktu mencapai sepertiga
dari besar hewan dewasa.
Menurut
Partodihardjo
(1980),
tercapainya
dewasa
kelamin
bagi
setiap individu hewan berbeda, karena pertumbuhan dari tubuh dan alat
kelamin
makanan.
sangat
dipengaruhi
oleh
faktor
keturunan,
sosial,
iklim
dan
Mengenai faktor sosial dikemukakan oleh beliau, bahwa adanya
hewan jantan di sekitar anak-anak sapi betina akan mempercepat tercapainya pubertas, sedangkan sekumpulan hewan betina tanpa adanya pejan tan mengalami kelambatan untuk mencapai saat pubertas.
Selanjutnya beliau menyatakan bahwa pengaruh iklim dan kondisi
makanan untuk mencapai pubertas seperti sapi Madura di pulau Madura
akan mencapai saat pubertas pada umur 11 sampai 12 bulan dengan berat
badan 125 kg, sedangkan sapi Madura yang digemukan di Panumbangan
(Sukabumi Selatan), dengan iklim yang agak sejuk dan curah hujan yang
3
agak banyak
dibandingkan dengan
dapat dicapai lebih awal.
pulau
Madura, maka saat
pubertas
Sa pi FH (Friesch Holland) yang memperoleh
ransum berprotein tinggi pubertas dicapai pada umur & bulan, sedangkan
yang memperoIeh
ran sum
berprotein
rendah dicapai pada umur
11-12
bulan.
Menurut
Toelihere (! 9& I), sapi
FH
yang
dipelihara di
Indonesia
umumnya mencapai saat pubertas pada umur 12 bulan dengan kisaran 624 bulan.
Siklus dan lama estrus.
Semua hewan yang telah mencapai puber-
tas mempunyai keteraturan fungsi faa Ii terutama dari sistem reproduksinya
yang disebut siklus estrus.
Siklus estrus dibedakan atas empat fase yaitu
proestrus, estrus, metestrus dan diestrus.
betina
memper lihatkan
gejala
ingin
Pada periode estrus, hewan
kawin,
dimana
folikel
de
Graaf
tumbuh secara maksimum dan terjadi ov·ulasi (Toelihere, 19& 1).
Siklus
reproduksi pada hewan
berada dibawah pengaruh endokrin
disamping faktor lingkungan luar, yang
mana keduanya akan
dikontrol
melalui susunan syaraf pusat .dan hipothalamus untuk mengatur pelepasan
hormon (Toelihere, 19& 1).
Selanjutnya beliau mengatakan lamanya siklus estrus pada sapi dara
rata-rata 20 hari dengan kisaran antara 1&-20 hari, sedangkan sa pi induk
menunjukkan kisaran siklus estrus 1&-24 hari dengan rata-rata 21 hari.
Periode
berahi
pada sapi
umumnya
1& jam, akan
beberapa sapi terutama sapi dara berJangsung &-12 jam.
tetapi
pada
Di daerah tro-
pis, lama periode berahi pada bangs a sapi Eropa dan sapi perah hanya
berlangsung 12-13 jam, sedangkan pada bangsa sapi Zebu hanya berJangsung 5-& jam (Toelihere, 19&1).
Menurut Gangwar dkk (dalam Toelihere,
5
1981) menyatakan bahwa iklim tropis yang panas akan memperpendek
waktu estrus.
Sapi FH yang dikandangkan dalam suhu 24-35°C, lama
berahinya menjadi 11
jam dibandingkan dengan 20 jam pada suhu 17-
18°C.
Ovulasi.
de
Graaf.
Ovulasi didefinisikan sebagai pelepasan ovum dari folikel
Ovulasi
setelah estrus.
terjadi secara spontan dengan rata-rata
10 jam
Sapi dara cenderung berovulasi 5 jam lebih cepa t dari
sapi induk atau sapi dewasa.
Telah diketahui bahwa proses ovulasi distimulir oleh LH (Luteinizing
Hormone).
Pelepasan LH dari kelenjar hipofisa anterior ditimbulkan oleh
mekanisme
neurohormonal.
Hipothalamus
akan
mensekresikan
faktor
pelepas LH (LH-RF) ke dalam aliran darah menuju adenohipofisa yang
menyebabkan pelepasan LH sehingga terjadi ovulasi.
Terjadinya ovulasi perJu diketahui untuk menentukan waktu yang
tepat dalam melakukan IB (Inseminasi Buatan).
Hubungan an tara siklus
estrus, lama estrus dan waktu ovulasi dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1.
Siklus estrus, lama estrus dan waktu ovulasi pada sa pi perah.
---------------------------------------------------Siklus estrus
Waktu ovulasi
lama estrus
(harD
---------
(jam)
(jam)
MセN
Rata-rata
Kisaran
Rata-rata
Kisaran
Rata-rata
21,3
18-24
19,3
13-27
10,7
---- - ------ ---- - --- --------- -- ----------------------- --- -.
Sumber : Cole dan P. T. Cupps (1969)
Saat yang baik untuk
rata-rata
、ゥォ。キセN@
Estrus pada sapi berJangsung
18 jam, sedangkan ovulasi terjadi rata-rata
estrus berakhir.
10 jam setelah
Saat terbaik untuk melakukan IB mulai dari pertengahan
6
estrus sampai 6 jam sesudah akhir estrus berlangsung.
Salah satu faktor
yang terpenting dalam hal ini adalah pengamatan estrus, sehingga saat
melakukan inseminasi mudah ditentukan (Partodihardjo, 1980).
Kegiatan reproduksi sapi jan tan
Pubertas.
Pada hewan jan tan pubertas ditandai dengan mulai ak-
tifnya proses spermatogenesis yang waktunya bersamaan dengan ternak
betina dalam spesies yang sama (Toelihere, 1981).
Menurut Foote (dalam
Cole dkk, 1969) pubertas pada hewan jan tan ditandai dengan : (1) telah
sempurnanya proses spermatogenesis, (2) adanya keinginan untuk kawin
(libido) dan (3) terdapatnya sperma yang hidup dalam ejakulat.
Pubertas pada bangsa sapi Eropa antara 6 sampai 10 bulan, ditandai dengan pertumbuhan alat-alat kelamin seeara eepat akibat peninggian
pelepasan
LH atas rangsangan
hipothalamus ke
dalam
Adenohypofisa,
disamping manifestasi luar pubertas akan mempereepat proses spematogenesis.
Timbulnya pubertas
tidak
sepenuhnya
menandakan kapasitas
reproduksi yang maksimal akibat peninggian yang eukup berarti dalam
volume ejakulat, karena konsentrasi dari jumlah sperma yang moti! baru
terjadi 6 sampai 9 bulan sesudah awal pubertas.
Jadi sebaiknya hew an
jantan dikawinkan sesudah setengah sampai satu tahun sejak mulai timbul
pubertas.
Umur
pubertas
tidak
dapat
dipakai
patokan
terhadap
fertilitas sapi jantan, dimana sebagai bukti dapat dipakai ukuran
Scrotum
Circumferens (SC) yang rnempunyai
pada sapi perah maupun potong.
sebagai
hubungan dengan
produksi sperma
Pada Bos taurus setelah berumur 30
bulan dapat diberikan ni!ai sebagai berikut : Baik bi!a SC 39 em, sedang
bila SC 3/;-39 em dan buruk bila SC
Sセ@
em.
Pada waktu pubertas rata-
7
rata
ukuran SC
31-34
em
(Campbell,
1979).
Pubertas pada jan tan
dipengaruhi pula oleh faktor lingkungan dan makanan ·(Toelihere, 1981).
Libido.
Libido adalah keinginan untuk kawin pada hewan jantan
atau intensitas kelakuan kelamin pada jantan (Toelihere, 1981).
Pada hewan jantan tidak dimiliki siklus berahi seperti halnya pada
hewan betina.
Pada umumnya pejantan selalu bersedia melayani betina
setiap saat untuk melakukan aktifitas reproduksi.
Jika ada pejantan yang
menoiak untuk melakukan aktifitas reproduksi (kawin), maka barang tentu
pejantan tersebut tidak normal atau sudah tua atau masih terlampau
muda (Partodihardjo, 1980).
Kualitas makanan yang rendah nilainya dapat menyebabkan pejantan
mudah kehabisan tenaga.
bihan,
terlampau
Defisiensi protein, konsumsi air yang berle-
singkat siang hari, defisiensi vitamin A, keraeunan
makanan atau setiap gangguan fisik walaupun tidak nyata seeara klinis
.dapat sangat mempengaruhi penampilan seksual, misalnya perbarahan kuku
atau
persendian-persendian,
pergantian
gigi,
eksima,
kesakitan
karena
keeelakaan atau pen yak it tertentu (Toelihere, 1981).
Libido dapat dipengaruhi juga oleh pengalaman pahit sewaktu dilakukan
penampungan
terakhir
dengan
mempergunakan
vagina
buatan
(Toelihere, 1981), oleh karen a itu pejantan-pejantan tersebut harus diperlakukan dengan baik dan diberi gerak yang eukup untuk mempertahankan
kondisi optimum.
Mereka harus diobservasi dan diperlakukan sedemikian
rupa agar tidak kehilangan Iibidonya.
Oleh sebab itu frekuensi penam-
pungan setiap pejantan harus ditentukan, apabila· pejantan ditampung berlebihan dalam satu periode harus diikuti oleh periode istiharat.
manajemen tersebut adalah
(Toelihere, 1981).
untuk
memberi
semangat kepada
Faktor
pejantan
8
Pada sapi dengan libido yang tinggi tidak selalu merupakan kritedum
fertilitas bagi pejantan,
tetapi dengan libido yang tinggi, maka
volume semen akan tinggi pula.
Pada umumnya apabila volume semen
tinggi, maka konsentrasi sperm a moti! per ejakulat juga akan meninggi
(Toelihere, 1981).
Mekanisme kerja hormonal
Kelenjar hipofisa adalah
otak.
pusat
kelenjar endokrin yang terletak didasar
Mekanisme kerjanya ada dibawah kontrol hipothalamus sebagai
pengatur sistem hormonal
faktor/realising
hormone.
tubuh, dengan
mengeluarkan realising
Mekanisme kerja hipofisa
sangat komplek,
sedangkan bagian anterior dad hipofisa menghasilkan hormon sebanyak
lebih kurang 7 macam.
terlibat
Dari hormon-hormon tersebut sebagian besar
langsung dalam proses
reproduksi seperti FSH, LH dan L TH
(Partodihardjo, 1980).
Follicle Stimulating Hormone (FSH) berfungsi sebagai stimulan bagi
pertumbuhan
folikel disamping
pematangan folikel de Graaf di dalam
ovarium dan spermatogenesis di dalam tubuli seminiferi testis (Toelihere,
1981).
Luteinizing Hormone (LH) bekerjasama dengan FSH untuk menstimuIir pematangan folikel dan pelepasan estrogen.
Sesudah pematangan
folikel, LH menyebabkan ovulasi dengan menggertak pemecahan dinding
sel dan
pelepasan ovum.
Pada hewan jantan LH menstimulir sel-sel
intertial Leydig pada testes dengan akibat pelepasan testosteron (hormon
kelamin jan tan).
Oleh sebab itu LH pada hewan jan tan disebut ICSH
(Intertitial Cell Stimulating Hormone).
Jadi secara tidak langsung LH
menyebabkan sifat-sifat kelamin sekunder dan kelenjar-kelenjar kelamin
pelengkap (ToeIihere, 1981).
9
Luteotropik
Hormone
(L TH)
atau
proJaktin
bertanggung
jawab
menguatkan pembentukan korpus Juteum sehingga sanggup menghasilkan
hormon progesteron.
ApabiJa terjadi kebuntingan LTH akan menstimulir
perkembangan keJenjar ambing untuk persiapan Jaktasi.
SeJama kebun-
tingan progesteron bekerja secara sinergis dengan estrogen daJam mempertahankan kebuntingan, menghambat sekresi FSH sehingga pematangan
folikeJ tidak terjadi (Toelihere, 1980.
jantan
terlihat pada
gam bar
terliha t pada gam bar 2.
Mekanisme hormonaJ pada sapi
dan mekanisme
hormonal sapi betina
10
Gambar 1.
Mekanisrne hormonal pada sapi jantan
SUSUNAN SY ARAF PUSA T
HYPOTHALAMUS
/
/
/
/
Tingkah laku
seksual
(libido)
"
FAKTOR-FAKTOR PELEPAS
(REALISING FACTORS)
/
/
/
/
/
/
/
/
/
ADENOHYPOPHYSIA -.--J l', ,
'---,_______________
/
セ@
/
1//
II
"lnhibin"
\1
ICSH
(LH)
iMGl]Z」⦅セ
\\
'\
FSH
,
I\
.
\
Stimulasi
organ-organ
Kelamin
Pelengkap
\
\ I
\I
_ _--,I I
T EST E S
\
TUBULI
SEMINIFERI
'\ '\
II
",I
SEL-SEL
INTERSTITIAL
I
" " , - ' - -_ _---,,,-_ _ _ _--'-_ _ _ _ _- ._ _ _--' I I
......
-
-_
......
,,
/
SPERMA TOGENETIK
TESTOSTERON
1
SPERl\>\A
Sumber
Toelihere, 1981.
Fisiologi Reproduksi Pada Ternak.
/
Sifat-sifat
kelamin
sekunder
11
Gambar 2.
Mekanisme hormonal pada sapi betina
Rangsangan L uar
- G3.haya
- Stress
- Visuil
- Auditoris
- Perabaan
- OHaktoris
- Makanan
- Stimulasi uterus
- Fisik
Faktor-faktor Pelepas _ Lain-lain
(Releasing Factors)
Adenohypophysa
Pertumbuhan
Folikel
Ovulasi
Neurohypophysa
Corpus
Luteum
Part us
Pertumbuhan
Proliferasi
uterus dan sauterus (untuk
luran reproduksi implantasi)
Sumber
Toelihere, 1981.
Kelangsungan
kebuntingan
Fisiologi Reproduksi Pada Ternak.
Laktasi
(Let down susu)
BEBERAPA FAKTOR LlNGKUNGAN YANG MENYEBABKAN
INFERTIUT AS
Faktor iklim
Iklim dapat mempengaruhi kegiatan reproduksi baik secara Iangsung
maupun tidak langsung.
Pengaruh iklim secara langsung misalnya oleh.
suhu dan keIembaban, sedangkan yang tidak langsung dimana ikIim mempengaruhi mutu makanan dan prevalensi pen yak it serta parasit.
Pengaruh
iklim
'kegiatan-kegiatan
berinteraksi
reproduksi
dengan
dan
faktor-faktor
pertumbuhan
seperti
lain
terhadap
terlihat
pada
Gambar 3 (Campbell, 1979).
Gambar 3.
Interaksi iklim dan faktor-faktor lain terhadap reproduksi dan
pertumbuhan.
genotif
iklim
------------
r ,- - - - - - - - - - - - - - - - -
-------------------1
manajemen
I
makanan
____
n
__
u n __
I
pertumbuhan
Sumber
Campbell, 1979.
reproduksi
Infertility in Cattle.
Refresher Course fcr
Vet. Proceeding no. 42.
Untuk menditeksi secara langsung pengaruh iklim terhadap reproduksi sapi agak sulit, karena jenis sapi dan rnakanan ikut mempengaruhi
pula.
12
13
Iklim dapat mempengaruhi waktu pubertas, lama estrus, sistem hormonal, kejadian abnormalitas dari ovarium pada sapi betina.
Sedangkan
pada sapi jantan mempengaruhi waktu pubertas, libido, spermatogenesis
dan karakteristik daripada semen (Payne, 1970).
Iklim dan pertumbuhan rumput di daerah tropis mempengaruhi produksi dan reproduksi, terutama pada sapi dara dimana pada musim hujan
yang berkisar an tara bulan Juli sampai Oktober banyak sapi yang bunting.
Sedangkan
pada
musim kemarau
aktifitas
reproduksi
menurun, karena
udara yang terlalu panas disamping jumlah makanan yang relatif berkurang (Siebert, 1976).
Kelly dan Hurst (dalam Payne, 1970) mengemukakan, bahwa temperatur yang tinggi dan berJangsung secara terus menerus dapat menekan
fertilitas sapi jantan dan betina.
Temperatur yang meningkat di daerah
subtropis terjadi pada musim panas sehingga fertilitas menjadi rendah,
yang dikenal dengan "Summer Infertility" (Salisbury dalam Payne, 1970).
Paston dalam Payne (1970) mengemukakan temperatur yang tinggi
di musim panas di daerah subtropis sulit untuk menditeksi estrus dibanding pad a musim dingin.
Sedangkan di daerah tropis menurut Toelihere
(1981) periode berahi menjadi pendek pada sapi Eropa dan sapi Zebu. Hal
tersebut terjadi karen a iklim tropis yang panas akan memperpendek waktu
estrus.
Periode berahi yang pendek ini tidak akan terobservasi apabila
hanya dilakukan satu kali dalam sehari (Tranter, 1982).
Pada hewan jantan, temperatur lingkungan yang meninggi dapat menurunkan kualitas semen dan libido (Ganong dkk dalam Cole dkk, 1969).
Sedangkan Lindsay dkk (1982) mengemukakan bahwa suhu lingkungan
yang tinggi (32,5°C) telah cukup membuat degenerasi dari tubuli seminiferi, sedangkan Rasbec (dalam Payne, 1970) berpendapat bahwa hewan
14
jantan pada musim panas antara bulan September dan Oktober pada kelompok ternak akan
mengasingkan
diri dan kehilangan
nafsu seksual.
Kehilangan nafsu seksual ini terutama diperlihatkan oleh sapi jantan yang
gemuk (Enler dalam Hafez, 1969).
Faktor makanan
Dalam pola peternakan rakyat yang masih bersifat tradisional seperti
halnya
di
Indonesia,
faktor
makanan
mungkin
merupakan satu
faktor terpenting yang menjadi penyebab kegagalan reproduksi, khususnya
pada sapi.
Sedangkan pada perusahaan-perusahaan sapi perah yang besar
pada umumnya kegagalan reproduksi disebabkan oleh pemberian makanan
yang berlebihan atau tidak
be rim bang antara hijauan dengan makanan
penguat (konsentrate).
Menurut Hafez (daIam Hafez, 1969) di Australia dan Afrika Selatan
sistem
pemeliharaan sapi dilepas di padang pengembalaan (ekstensif),
untuk mengatasi kekurangan makanan, disamping merekapun memperhatikan curah hujan dan suhu, agar didapatkan sapi-sapi dengan pertumbuhan
yang baik.
Menurut Campbell (1979) kekurangan makanan dapa t menyebabkan
target berat badan menjadi terhambat, pubertas terlambat, anestrus dan
kebuntingan yang tidak stabil pada sapi betina.
Sedangkan pada sapi
jantan menyebabkan terlambatnya pubertas dan menurunnya libido.
Kelebihan
makanan
menyebabkan sapi
betina
kegemukan
dengan
ovarium kecil sehingga menyebabkan anestrus (Toelihere, 1981).
sapi yang dibesarkan dan
Pada
dipelihara dengan makanan yang berlebihan
akan ban yak mengalami kegagalan reproduksi dikemudian hari, sehingga'
akan mempunyai masa produktif yang lebih singkat daripada sapi
dipelihara dengan enersi rendah.
",
15
Defisiensi enersi.
Pada sapi yang digembalakan, defisiensi enersi
merupakan masalah umum, terutama ketika periode produksi tinggi pada
waktu laktasi.
nurunkan
Defisiensi enersi ini pada sapi yang berlaktasi akan me-
kondisi
tubuh
dan
mengalami
hipofungsi
dari
oyariumnya
(Hafez, 1969).
Sedangkan sapi dara dan sapi yang untuk kedua kalinya melahirkan,
yang menjadi masalah di padang gembalaan adalah keterbatasan tempat
merumput, karena status so sial yang rendah dalam kelompok dibanding
sapi yang sudah berkali-kali melahirkan (Tranter, 1982).
Menurut Hafez
(1969) defisiensi enersi pada sapi yang belum dewasa menyebabkan hipopi asia oyad dan alat-alat reproduksi lainnya, sedangkan pada sapi dara
terlambatnya masa pubertas.
Campbell (1979) mengemukakan pubertas yang tertunda akibat kekurangan makanan atau enersi, menyebabkan tertundanya masa kebuntingan yang pertama.
Anestrus akibat kekurangan enersi menyebabkan
tenggang waktu antar kelahiran diperpanjang.
Hal ini dapat disebabkan
karena kesalahan manajemen, dimana secara praktis dan ekonomis lebih
sering terlihat pada sapi perah dibandingkan sapi potong.
Pengaruh dan
manfaat enersi yang jelas di USA, dimana sa pi yang diberi enersi yang
cukup dalam makanannya, mempunyai oyarium yang besar, estrus postpartum yang cepat dan nilai konsepsi yang baik (Campbell, 1979).
Pada sapi jan tan apabila bersifat sementara, defisiensi ini dapat diperbaiki, sedangkan bila terjadi pada sapi jan tan muda yang mengalami
defisiensi terus menerus dan dalam waktu yang lama tidak dapat diperbaiki lagi (fatal).
Kerusakan yang terjadi adalah testis kedl, dan fungsi
produksi sperma berkurang (Ehler dalam Hafez, 1969).
yaitu menekan fungsi kelenjar-kelenjar pelengkap.
Pengaruh lain
16
Defisiensi protein.
Meskipun protein tidak begitu penting dalam
masalah reproduksi seperti halnya yada kebutuhan enersi, tetapi apabila
kadar yang dibutuhkan dari protein rendah juga akan mempermudah terjadinya infertilitas.
Pada sapi dara defisiensi protein akan memperlihatkan gejala anestrus, hipoplasi ovari dan uterus yang tidak berkembang, apabiJa keadaan ini masih dini dapat dengan mudah untuk diperbaiki dengan pemberian
makanan yang baik dalam beberapa minggu (Hafez, 1969).
Pada sapi jantan muda akan tertundanya masa pubertas, sedangkan
pada yang dewasa akan berpengaruh terhadap ukuran testes, disamping
produksi semen akan terganggu.
ApabiJa kebutuhan protein rendah dan
dalam waktu tidak kurang dad 6 bulan, maka produksi sperma menjadi
sanga t sedikit (Ehler dalam Hafez, 1969).
Defisiensi mineral.
Defisiensi mineral penyebab infertilitas pada
sapi umumnya terbatas pada phosphor, sedangkan mineral lainnya jarang
terjadi.
Defisiensi phosphor akan selalu terjadi pada padang gembalaan yang
mengalami defisiensi protein.
babkan
Defisiensi phosphor dalam tanah menye-
rumput kering dan cepat mati, keadaan ini umum di daerah
subtropis dan tropis (Campbell, 1979).
Menurut Tranter (1982) defisiensi phosphor berbeda dengan defisiensi
enersi yang lebih sering pada sapi dara, sedangkan defisiensi phosphor
justru sering terjadi pada sapi dewasa dengan produksi tinggi, dim ana
cadangan phosphor dalam tubuh tidak tersedia lagi.
Pada sapi dewasa
umumnya memperlihatkan gejala estrus yang tidak teratur, penghentian
estrus (anestrus) dan hipofungsi ovari.
1969)
mengemukakan
defisiensi
phosphor
Moustgaard (dalam Cole dkk,
walaupun
sering
pada
sapi
17
dewasa,
ternyata
pada
sapi
darapun
dapat
menyebabkan kelambatan
pubertas.
Kebutuhan phosphor lebih kurang 10-12 gram per hari pada daerah
yang tanahnya miskin phosphor (Toelihere, 1981).
per hari
Sedangkan di Australia
15 gram berupa tepung tulang yang diberikan terpisah dari
makanan lainnya (Campbell, 1979).
Defisiensi mineral lain, seperti defisiensi mangan akan menyebabkan
tertundanya konsepsi, menghambat sekresi hormon gonadotropin dan hipofungsi ovari pada sapi betina, sedangkan pada sapi jantan menyebabkan
degenerasi ekstensif dari testes (Hafez, 1969).
Defisiensi Cu
rendah
atau
dimana
hewan) dipergunakan
1982).
terjadi
pada area dim ana kadar Cu dalam tanah
molibdenum
untuk
(yang
dapat
menurunkan Cu
pada
merangsang pertumbuhan rumput (Tranter,
Defisiensi Cu mengakibatkan kegagalan reproduksi pada hewan
betina terutama kegagalan memperlihatkan gejala estrus.
Defisiensi Zn
menghalangi spermatogenesis dan hipofungsi testes
(Moustgaard dalam Cole dkk, 1969).
Defisiensi iodine akan menghalangi pertumbuhan organ reproduksi,
karena menghambat kerja thyroid.
Hipo atau hiperthyroidismus menye-
babkan sekresi hormon-hormon gonadotropik dari hipofisa dihambat.
Di
daerah-daerah yang kekurangan jodium untuk mencukupi mineral tersebut
harus disediakan dalam
bentuk pemberian garam dapur.
Kekurangan
garam dalam waktu yang lama menyebabkan penurunan berat badan dan
anestrus (Toelihere, 1981).
Defisiensi Pb berpengaruh terhadap ekor dari sperma sehingga ada
hubungannya dengan motilitas (Moustgaard dalam Cole dkk, 1969).
18
Defisiensi vitamin.
menyebabkan
anestrus,
Defisiensi vitamin A pada sapi betina dapat
kawin
dengan kondisi yang lemah.
berulang,
abortus dan
melahirkan
bayi
Sedangkan pada sapi jan tan diperlukan untuk
perkembangan alat seksual dan spermatogenesis yang normal.
Vitamin A
Defi-
terdapat pada karotene dalam rumput yang baik, hay dan silase.
siensi vitamin A biasanya berkaitan erat dengan musim kemarau yang
panjang dim ana rum put kering (Payne, 1970).
Faktor manajemen
Kegagalan mendi teksi berahi.
Apabila sapi jan tan dipisahkan dari
kelompok sapi betina untuk melakukan kontrol baik terhadap kawin alam
ataupun
IB,
ternyata cara ini
sulit
untuk
mengetahui waktu
berahi.
Seringkali sapi betina dinilai gagal untuk memperlihatkan berahi, sebagian besar disebabkan oleh adanya CL (Corpus Luteum) pada ovarium
dalam siklus estrusnya.
Apabila berahi tenang terjadi, terutama pada sapi dengan produksi
tinggi, ternyata kejadiannya selalu berbanding terbalik terhadap intensitas
dan efektifitas dari cara menditeksi berahi (Tranter, 1982).
Menurut
Tranter
(1982) faktor-faktor
yang dapat
mempengaruhi
situasi yang menjadi masalah dalam menditeksi berahi, yaitu :
a. Ditemukan pada
.peternakan dengan tempat
kukan observasi berahi.
セ。ョァ@
buruk untuk mela-
Sapi betina enggan menaiki betina
lainnya
apabila lapangan yang terbuka tempatnya licin, sehingga lebih mudah
dilakukan pengamatan pada sapi yang dipelihara di gunung, diikat atau
dikandangkan
dimana
aktifitas
untuk
memperlihatkan
berahi
lebih
nyata ter lihat.
b. Apabila kelompok sapi jumlahnya besar sehingga masalah identifikasi
dari setengah bet ina yang memperlihatkan gejaJa berahi sulit untuk
19
diobservasi,
bangsal
atau adalah
yang
mengendalikan
sapi
dalam
jumlah besar.
c. Mengupah orang untuk membantu dalam peternakan yang motivasinya
tidak sama dengan pengelola, malah akan menambah masalah.
d. Pada kelompok sapi yang besar banyak waktu dihabiskan untuk merum put guna memenuhi kebutuhan akan makanan, dan sedikit sekali
waktu untuk memperlihatkan gejala berahi.
e. Oi negara tropis intensitas dan lama berahi menurun pada temperatur
Iingkungan yang tinggi, sehingga periode berahi mudah menjadi tidak
tepat.
Jumlah pejantan yang digunakan sebagai pemacek.
Kegagalan re-
produksi dapat disebabkan karen a .iumlah pejantan sangat rendah pada sekebmpok sapi potong yang digembalakan (Campbell, 1979).
Suatu pe-
ternakan di Florida mempergunakan pejantan yang cukup untuk dapat
melayani
sapi
betina,
kelahiran
yang tinggi.
melayani
14
ekor
sehingga
betina
dapat
menghasilkan
Kemampuan optimum
maka
persentase
persentase angka
seekor
angka
pejantan dapat
kelahiran
menjadi
menurun (Koger dkk dalam Payne, 1970).
Selain jumlah pejantan yang cukup harus diperhatikan juga umur
dari pejantan, lamanya musim kawin, ukuran dan topografi dari lokasi
peternakan tidak dapat diabaikan.
Pejantan yang belum dewasa dan
keadaan semen yang buruk juga dapat mempengaruhi persentase angka
kelahiran.
Tiap-tiap pejantan hendaknya hanya melayani betina-betina tertentu.
ApabiJa betina tidak berhasil bunting dengan pejantan pertama jangan
dikawinkan
dengan
pejantan
kedua, tapi
sebaiknya
dengan
semen
20
dari pejantan pertama secara IB (Partodihardjo, 1980).
Dalam hal ini
harus diperhatikan dan disadari akan bahaya pemindahan penyakit kelamin.
Waktu yang tepat untuk mengawinkan.
Kawin alam maupun inse-
minasi buatan harus dilakukan pada waktu yang optimum untuk dapat
menghasilkan konsepsi seperti yang telah diterangkan pada bagian yang
terdahulu.
Jika estrus terjadi pada pagi hari maka sebaiknya inseminasi
dilakukan selambat-Iambatnya sore
hari, sedangkan jika estrus terjadi
pada
dilakukan
sore
hari
maka
inseminasi
selambat-Iambatnya
pada
keesokan pagi harinya (Partodihardjo, 19&0).
Pada betina yang baru melahirkan saat yang optimum dilakukan
perkawinan kembali setelah 60 hari setelah beranak (post partum) dan
jangan sampai
kurang
1981).
perlu
Juga
dari
50 har i (Djojosoedarmo dalam
diperhatikan
apabila
pedet
tetap
Toelihere, '
menyusu
akan
menunda waktu estrus dan memperpanjang jarak an tara kelahiran (Payne,
1970).
Transportasi.
Perpindahan sapi dari kondisi Iingkungan yang ber-
lainan akan mempengaruhi fertilitas sapi jantan, karen a faktor stress
baik diperjalanan maupun di Iingkungan yang baru (Payne, 1970).
Umur sapi.
Umur dapat mempengaruhi fertilitas pada sapi jantan
maupun sapi bet ina baik perah maupun potong.
Jadi dalam manajemen,
segi umur perlu diperhatikan.
Sapi dara sebaiknya
dikawinkan
mulai
umur
14-16 bulan
memperoleh konsepsi sebaik-baiknya (Partodihardjo, 1980).
untuk
Angka kon-
sepsi sapi dar a ternyata lebih rendah dibandingkan sapi dewasa yaitu
sekitar 20 persen pada sapi potong.
Sapi dewasa mempunyai angka
21
konsepsi yang baik pada umur 4-6 tahun dan menurun secara berangsurangsur.
Pada sapi jantan waktu optimum untuk dikawinkan yaitu pada umur
2 tahun dan menurun secara berangsur-angsur (Salisbury dalam Payne,
1970).
Walaupun demikian umur tidak berdiri sendiri di dalam fertilitas
tetapi biasanya bersama-sama dengan faktor Iingkungan yang lain.
Faktor penyakit dan parasit
Oi daerah tropis dan subtropis kasus penyakit dan parasit dapat
mempengaruhi
tinggi
reproduksi.
Pengaruh
rendahnya kelembaban
udara
temperatur
Iingkungan
dimana
serta kondisi iklim memungkinkan
timbulnya kasus penyakit dan prevalensi dari parasit.
Makanan,
penyakit,
parasit
dan
stress
Iingkungan
menyebabkan
infertilitas (Clark dkk dalam Payne, 1970).
Penyakit alat reproduksi.
oleh
penyakit
(Vibrio
fetus),
Trichomoniasis
leptospirosis (Leptospira セIN@
foetus)
dan
betina
dapat
teratur.
Vibriosis
Infertilitas pada sapi dapat disebabkan
menyebabkan
abortus
(Trichomonas
Umumnya
dan
siklus berahi
pada
menjadi
sapi
tidak
ApabiJa tidak ditanggulangi maka akan menjadi infertil at au
steril.
Sedang pada jantan biasanya orchitis, sedangkan apabiJa terjadi
hal-hal
yang
tidak
memperlihatkan
gejala
dapat
bertindak
sebagai
carrier.
Sedangkan infertilitas yang tidak spesifik seperti vaginitis, metritis
dan endometritis dapat juga menurunkan tingkat fertilitas atau kesuburan.
Pada
hewan
jantan orchitis,
periochitis, degenerasi testes,
juga
defek-defek seperti hematoma, phymosis dan paraphymosis biasanya pad a
22
sapi Aberden Angus dapat menurunkan libido (Ehler dalam Hafez, 1969).
Selain penyakit pada alat kelamin, arthritis dan kepincanganpun dapat
menurunkan libido (Tranter, 1982).
Penyakit somatis.
Penyakit somatis dapat mempengaruhi kesehatan
secara umum dari sapi, apabiJa berlanjut dapat menurunkan fungsi reproduksinya.
Pen yak it soma tis yang umum terhadap sapi di daerah sub-
tropis dan tropis yai tu Anaplasmosis, Piroplasmosis, Tuberkulosis, Penyaki t Mulut dan Kuku (PMK), Babesiosis dan sebagainya (Payne, 1970).
Penyakit-penyakit tersebut menyebabkan demam yang tinggi, sehingga pada sapi betina dapat menimbulkan gejala anestrus, sedangkan
pada sapi jantan mengganggu fungsi testes dalam proses spermatogenesis
(Payne, 1970).
Gangguan sistem hormonal.
Faktor Iingkungan dapat mempengaruhi
mekanisme kerja sistem hormonal, sehingga mengakibatkan gangguan terhadap reproduksi
a tau
infertilitas.
Gangguan sistem hormonal dapat
dibagi menjadi dua yaitu : Faktor dari dalam yang berhubungan dengan
tingginya produksi susu atau stress waktu laktasi dan faktor dari luar.
Faktor dari dalam, yaitu :
a. Ovarium
yang sistik.
Sering terjadi pada sapi-sapi perah karena
faktor bergerak yang kurang setelah· partus terutama pada puncak
laktasi.
Kejadian ovarium yang sistik dipengaruhi oleh dua faktor
yaitu faktor keturunan dan kondisi lingkungan dalam hal ini produksi
susu
tinggi
berkorelasi
dengan
stress
di
musim ding in di daerah
subtropis.
Sebenarnya mekanisme pembentukan sista ovari tidak diketahui
dengan pasti.
Teori yang masuk akal menerangkan etiologi kejadian
23
siste ini oleh karena kurangnya sekresi LH dari hipofisa anterior pada
saat menjelang ovulasi.
Folikel yang terbentuk terus membesar ka-
rena sekresi FSH yang cukup memadai tetapi untuk berovulasi tidak
didapatkan cukup kandungan LH (Toelihere, 1981).
Cam pbeJl
(! 979)
memperlihatkan
hubungan dampak
Iingkungan
-dengan faktor turunan terhadap kejadian Nymphomania, sebagai gejala
dari ovarium yang sistik (Gambar 4).
Selain rnemperlihatkan gejala
Nymphomania sekitar 25 per sen dari sapi yang mengalami sista ovari
dapat memperlihatkan gejala anestrus.
Gambar 4.
Diagram skematis dari kejadian ovarium yang sistik.
Genotip - Produksi tinggi - Stress Iingkungan
1
Hipothalamus
1
Hipofisa anterior
1
LH.,(
FSH1'
1
Tanpa ovulasi
sistik
ACTH1'
r.
1
ovanum
j
Adenocorticoid
hipertropi
Na
+
H 0 retensi
2
HlP""roo,,"
Nymphomania;
J
Adrenal
virilism
Oedema. Sal. Kelamin
Sumber
Campbell, 1979.
Vet.
Infertility in Cattle.
Proceeding no. 42.
Refresher Course For
24
b. Anestrus akibat laktasi.
Anestrus akibat laktasi biasanya terjadi pada
sapi perah yang menunjukkan laktasi yang tinggi, sedangkan pad a sapi
po tong karena defisiensi enersi yaitu pada musim ding in di daerah
subtropis dan musim kemarau yang panjang di daerah tropis.
Disini
terjadi interaksi akibat kekurangan makanan dan laktasi.
Pad a
waktu
laktasi
Gn-RH
(Gonadotropin
Realising
Hormon)
Keadaan
dihambat, sehingga Gonadotropin hormone akan menurun.
ini ditunjang oleh makanan yang kurang sehingga sekresi FSH dan LH
menurun,
sehingga
.dihambat.
akan
sebagai
akibatnya
pertumbuhan
folikel
akan
Pertumbuhan folikel tidak terjadi sehingga hewan tidak
dapat
memperlihatkan
gejala estrus (anestrus).
Pola
kerja
kejadian ini pada Gambar 5 (Campbell, 1979).
Gambar 5.
Diagram skematis dari anestrus pada saat laktasi.
oxytocin - - - - . t )
I
SUSU KELUAR
MセI@
cortison7'
I
Prolaktin inhibitorFaktor inhibitor
1
Gn-RHi
----..y, fungsi
hipofisai
ProgesteronJ.
-'1
FSH;LHi _ _ _ _ _ _
nutr isi yang
kurang
Sumber
Campbell, 1979.
Vet.
1
Anestrus (tanpa folike!)
Infertility in Cattle.
Proceeding no. li2.
Refr·esher Course For
25
Faktor dari Juar
KegagaJan
reproduksi terjadi
pada sapi yang makan rum put dari
tumbuhan yang mengandung campuran yang mempunyai aktifitas estrogen,
seperti pada sapi yang makan rumput alfafa dari Israel.
Sindrom khas
infertilitas adaJah Nymphomania (ovarium yang sistik), kegagaJan transpor
teJur dan sperma, serta kegagaJan inpJantasi (Hafez, 1969).
Kandungan estrogen ini juga dapat diisoJasi dari tanaman isofJavones.
Isoflavones dari famiJi Jeguminosa menyebabkan aktifitas ovarium menjadi
rendah, sedangkan buah apeJ, cherry dan kentang mengandung estrogen
yang tinggi (Hafez, 1969).
Kawin beruJang.
Sebagian besar kasus infertilitas dan kawin beruJang
pada keJompok ternak disebabkan oJeh kesalahan manajemen dan kekurangan makanan.
Makin banyak jumJah ternak yang ditangani makin ba-
nyak kasus infertiJitas dan kawin berulang (Robert dalam ToeJihere, 1981).
Kesalahan
manajemen terutama daJam
mengobservasi berahi yang
harus diJakukan minimal 2 kaJi daJam sehari, akan tetapi apabila tanda
berahi sudah
terlihat tidak perJu
diJakukan inseminasi sampai
2
kaJi
berturut-turut.
Makanan berpengaruh terhadap infertilitas dan kawin beruJang, karena makin baik kuaJitas makanan maka sapi akan lebih subur.
Suhu yang tinggi secara terus menerus selama musim panas akan
menyebabkan kawin berulang.
sapi di tempat
Cara mengatasinya dengan rnenernpatkan
yang teduh, ventilasi
kandang
yang cukup baik, beri
ban yak air segar dan rnakanan yang bergizi tinggi dengan kadar yang
rendah serat kasarnya (Toelihere, 1981).
26
Tabel 2.
Perkembangan Populasi Sapi Bali Selama Bulan Agustus 1981
s.d. Juli 1982 dan Curah Hujan Rata-rata Selama
10 Tahun Di
Tulang Bawang.
---- ---- -------- ----------------------------------------
Curah
kematian
PertamKelahiran
Bulan
Hujan
(ekor)
bahan
(mm)
Anak
Dewasa
Total Populasi
______________________________________________._ H・ォセAZl@
___ _
Januari
287
18
Pebruari
283
14
Maret
344
39
April
249
Mei
Juni
17
2
3
11
2
8
10
29
36
4
o
4
32
177
49
60
34
o
o
o
o
34
49
2
2
4
45
2
35
3
7
19
2
3
9
5
11
5
2
3
13
Juli
Agustus
o
48
79
37
September
191
26
Oktober
204
12
Nopember
299
16
Desember
358
16
2615
346
22
27
257
124
6
9
15
109
74
120
3
3
6
114
166
242
9
11
20
223
Total
Maret s.d.
Mei
Juni s.d.
Agustus
Maret s.d.
Agustus
4
6
297
Sumber : Siregar, 1983. Perkembangan sapi Bali di Daerah Transmigrasi
. Tulang Bawang Lampung Utara. Wartazoa No.1. Vol. 1.
Tabel 3.
Macam Penyebab Kegagalarl Reproduksi Berdasarkan Pemeriksaan Rektal Pada Sapi di Daerah Inseminasi
Buatan di Propinsi Jawa Barat, Lampung dan Jawa Tengah tahun 1979/1980.
-Hypofungslr---- -Perbaharari --- ---N---- -1- -- ---- -- -- Abnorinailtas- ----- -------
- - - - - - - ----C-- -----L--t- --- orpus
u eum h
I'
K asus
P
' te
erS1S
nypop
. aSla
ovan
Propinsi
(Ekor)
(%)
(Ekor)
(%)
a 1at . reprodukSl
(Ekor)
( %)
Aerma
spesl'f'\1<
anatonll. a.1at
J um 1a h
S'
.lsta
ovan.
イ・ーセッ、オォウャ@
(Ekor)
(%)
(Ekor)
(%)
8,79
59
2\ ,73
12
セLY@
0,43
49
21,14
12
5,17
3,39
100
18,86
19
3,39
(Ekor)
(%)
(Ekor)
----------------------_._----------------------------------------------------------------------------_.
Jawa Barat
80
29,30
95
Lampung
38
16,37
131
56,46
Jawa Tengah 212
37,17
206
36,78
SセLU@
Rセ@
19
3
セ@
ッLセ@
1LSセ@
273
0,43
232
I
560
- - - - ---------- - - -------- -------- --- -- -- -- -- -- ---------- -- ------------- - -------------- ----- -- -- ---- -- -------Jumlah
Rata-rata
Surnber
1132
330
27,61
Toelihere c1kk., 1980.
1979/1980.
114
42,53
113
208
11,20
20,57
セLSU@
8
1065
0,73
Laporan Pilot Proyek I'enanggulangan Penyakij Reproeluksi pada Ternak Sapi eli Indonesia
N
'oJ
Tabel 4. Penyebab kegagalan reproduksi berdasarkan pemeriksaan rektal pada sapi di daerah Inseminasi buatan (IB) di
propinsi Jawa Timur, Bali elan Nusa Tenggara Barat tahun 1980/1981
--- - - - -
- --
---- - - ---------------------- --.---- -_.- ------------ ----- ---- -----_ ... -- - - -- - - --- - - - - - -- - - - - - - - --- ----
I-lipofungsi
Propinsi
ovari
(%)
(Ekod
-_ ..... - .. --_
... _... _-_ .... _... -_
Corpus luPerbarahan
alat
reSista ovari
teum perI