Tingkat Pelayanan Metode Konvesional

II-19 Faktor penyesuaian kapasitas untuk 6 lajur dapat ditentukan dengan menggunakan nilai FC SF untuk jalan 4 lajur, kemudian dimodifikasi dengan menggunakan persamaan berikut: FC SF , 6 = 1 – 0,8 . 1 - FFV SF , 4 ... 2- 11 Dimana : FC SF , 6 = faktor penyesuaian kapasitas untuk jalan 6 lajur FC SF , 4 = faktor penyesuaian kapasitas untuk jalan 4 lajur Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997

2.2.8. Tingkat Pelayanan

Tingkat pelayanan jalan adalah kemampuan suatu jalan untuk melayani lalu lintas yang lewat. Sedangkan volume pelayanan adalah volume maksimum kapasitas yang dapat ditampung oleh suatu jalan sesuai dengan tingkat pelayanan. Untuk menganalisis tingkat pelayanannya, dapat digunakan MKJI 1997 yang menggunakan istilah kinerja jalan dengan indikator Derajat Kejenuhan atau Degree of Saturation DS, kecepatan dan waktu tempuh. Menurut MKJI 1997, besarnya Derajat Kejenuhan adalah : DS = C Q ... 2- 12 Keterangan: Q = volume kendaraan smpjam C = kapasitas jalan smpjam Bila Derajat Kejenuhan DS yang didapat 0,75, maka jalan tersebut masih memenuhi layak tidak terjadi kemacetan. Sedangkan apabila Derajat Kejenuhan yang didapat 0,75 maka harus dilakukan kajian lebih lanjut agar tidak terjadi kemacetan. II-20 2.3. Konsep Permodelan Transportasi Model merupakan penyederhanaan realita untuk mendapatkan tujuan tertentu, yaitu penjelasan dan penertian yang lebih mendalam serta untuk kepentingan peramalan. Tamin, O. Z., 2000 Beberapa model dapat mencerminkan realita secara cepat. Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin mirip suatu model dengan realitanya, semakin sulit membuat model tersebut. Model yang canggih belum tentu merupakan model yang baik, kadang – kadang model sederhana dapat menghasilkan keluaran yang jauh lebih baik dan sesuai untuk tujuan tertentu dengan situasi dan kondisi tertentu pula. Tamin, O. Z., 2000

2.3.1. Metode Konvesional

A. Metode Langsung

Pendekatan dengan metode ini sangat tergantung dari hasil pengukuran data dan survey lapangan. Berikut ini merupakan beberapa kesulitan yang dihadapi dalam penggunaan metode ini: ’ Membutuhkan sumber daya yang sangat besar baik itu sumber daya manusia, biaya maupun waktu. ’ Sangat tergantung pada ketersediaan dan ketelitian dari surveyor Galat yang terjadi baik itu teknis dan galat yang timbul akibat faktor manusia galat mencatat atau menaksir cukup besar. Tamin, O. Z., 2000

B. Metode Tidak Langsung

Pendekatan dengan menggunakan metode tidak langsung dilakukan dengan membentuk suatu model dari faktor – faktor yang dipertimbangkan mempunyai hubungan yang erat dengan pola pergerakan yang hendak diketahui. II-21 Sampai saat ini beberapa prosedur matematis telah dikembangkan, secara umum dikelompokkan menjadi dua bagian utama Bruton, 1981; dalam Tamin, O. Z., 2000: B.1. Metode analogi Pada metode ini digunakan satu nilai tingkat pertumbuhan terhadap pergerakan saat ini untuk mendapatkan pergerakan pada masa yang akan datang. Beberapa metode telah dikembangkan oleh beberapa peneliti, dan setiap metode menggunakan asumsi bahwa pola pergerakan pada saat sekarang dapat diproyeksikan ke masa yang akan datang dengan menggunakan nilai tingkat pertumbuhan zona. Semua metode dalam metode analogi mempunyai persamaan umum sebagai berikut: T id = t id . E ... 2- 13 Dimana: T id = pergerakan masa mendatang dari zona i ke zona d t id = pergerakan masa sekarang dari zona i ke zona d E = tingkat pertumbuhan Tamin, O. Z., 2000 B.1.1. Metode Seragam Metode tanpa batas atau metode seragam adalah metode tertua dan paling sederhana, yang secara matematis dapat dijelaskan sebagai berikut: ... 2- 14 II-22 Dimana : T = Total pergerakan pada masa mendatang di dalam daerah kajian t = Total pergerakan pada masa sekarang di dalam daerah kajian E = Tingkat pertumbuhan Seperti contoh matriks berikut: Tabel 2. 13 MAT pada Masa Sekarang dan Tingkat Pertumbuhan Setiap Zona Zona 1 2 3 4 oi Oi Ei 1 10 60 80 50 200 300 1.5 2 80 20 100 50 250 250 1 3 20 130 10 50 210 420 2 4 100 80 60 20 260 650 2.5 dd 210 290 250 170 920 Dd 420 435 250 515 1620 Ed 2 1.5 1 3.03 1.76 Sumber: Tamin, O. Z., 2000 Jika pergerakan lalulintas di daerah kajian diperkirakan meningkat sebesar 76 pada masa mendatang, maka secara sederhana maka semua sel MAT t id dikalikan faktor 1,76 untuk mendapatkan MAT masa mendatang: Tabel 2. 14 MAT pada Masa Mendatang dengan E = 1,76 Zona 1 2 3 4 oi Oi 1 18 106 141 88 353 300 2 141 35 176 88 440 250 3 35 229 18 88 370 420 4 176 141 106 35 458 650 dd 370 511 441 299 1620 Dd 420 435 250 515 1620 Sumber: Tamin, O. Z., 2000 II-23 B.1.2. Metode Rata–Rata Metode rata – rata adalah usaha pertama untuk mengatasi adanya tingkat pertumbuhan daerah yang berbeda–beda. Metode ini menggunakan tingkat pertumbuhan yang berbeda untuk setiap zona yang dapat dihasilkan dari permalan tata guna lahan dan bangkitan lalu lintas. Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut: T id = t id . 2 Ed Et + , ti Ti Ei = dan td Td Ei = ... 2- 15 Dimana: E i , E d = Tingkat pertumbuhan zona i dan d T i , T d = Total pergerakan pada masa mendatang yang berasal dari zona asli i atau menuju zona tujuan d t i , t id = Total pergerakan pada saat ini yang berasal dari zona asal i atau yang menuju zona tujuan d Secara umum, total pergerakan masa mendatang yang dihasilkan tidak sama dengan total pergerakan yang didapatkan dari hasil analisis bangkitan lalu lintas. Akan tetapi diharapkan adalah: Dimana: T i = Total pergerakan masa mendatang dengan zona asal i T iG = Total pergerakan masa mendatang dari analisis bangkitan lalu lintas dengan zona asal i. Jadi, proses pengulangan harus dilakukan untuk meminimumkan besarnya perbedaan tersebut dengan mengatur nilai Ei dan Ed sampai T i = T iG , sehingga: II-24 E i dan E d Tabel 2. 15 MAT pada Masa Mendatang dengan Metode Rata–Rata hasil pengulangan ke–1 Zona 1 2 3 4 oi Oi Ei 1 17.5 90 100 113.2 320.7 300 0.935 2 120 25 100 100.7 345.7 250 0.723 3 40 227.5 15 125.7 408.2 420 1.029 4 225 160 105 55.3 545.3 650 1.192 dd 402.5 502.5 320 394.9 1619.9 Dd 420 435 250 515 1620 Ed 1.043 0.866 0.781 1.304 1.001 Sumber: Tamin, O. Z., 2000 Tabel 2. 16 MAT pada Masa Mendatang dengan Metode Rata – Rata hasil pengulangan ke–12 Zona 1 2 3 4 oi Oi Ei 1 16 66 74 144 300 300 1 2 85 14 54 98 250 250 1 3 41 189 13 178 420 420 1 4 279 166 110 95 650 650 1 dd 421 435 250 515 1620 Dd 420 435 250 515 1620 Ed 0.999 1 1 1 1 Sumber: Tamin, O. Z., 2000 II-25 B.1.3. Metode Fratar Secara sistematis, metode Fratar dapat dinyatakan sebagai: T id = t id . E i . E d . ... 2- 16 L i = L d = B.1.4. Metode Detroid Secara matematis, metode Detroid dapat dinyatakan sebagai berikut: T id = t id . ... 2- 17 Tamin, O. Z., 2000 Tabel 2. 17 MAT pada Masa Mendatang dengan Metode Detroit hasil pengulangan ke–1 Zona 1 2 3 4 oi Oi Ei 1 17 76.7 68.1 129 290.8 300 1.031 2 90.9 17 56.8 86 250.7 250 0.997 3 45.4 221.5 11.4 172 450.3 420 0.933 4 284 170,4 85.2 86 625.5 650 1.039 dd 437.3 485.6 221.5 473.1 1617.2 Dd 420 435 250 515 1620 Ed 0.96 0.896 1.129 1.089 1.002 Sumber: Tamin, O. Z., 2000 Seperti halnya dengan metode rata – rata dan fratar, proses diulang sampai dicapai tingkat kesesuaian yang diinginkan T i = T iG . Hal II-26 tersebut tercapai pada pengulangan ke – 8, sehingga dihasilkan MAT akhir sebagai berikut: Tabel 2. 18 MAT pada Masa Mendatang dengan Metode Detroid hasil pengulangan ke–8 Zona 1 2 3 4 oi Oi Ei 1 16 68 75 141 300 300 1 2 82 15 61 92 250 250 1 3 40 189 12 180 421 420 0.999 4 283 164 101 102 650 650 1 dd 421 436 249 515 1620 Dd 420 435 250 515 1620 Ed 0.999 0.999 1.001 1 1.002 Sumber: Tamin, O. Z., 2000 B.1.5. Metode Furness Secara matematis, metode Detroid dapat dinyatakan sebagai berikut: T id = t id . E i ... 2- 18 Tabel 2. 19 MAT pada Masa Mendatang dengan Metode Furness hasil pengulangan ke–1 Zona 1 2 3 4 oi Oi Ei 1 15 90 120 75 300 300 1 2 80 20 100 50 250 250 1 3 40 260 20 100 420 420 1 4 250 200 150 50 650 650 1 dd 385 570 390 275 1620 Dd 420 435 250 515 1620 Ed 1.091 0,763 0.641 1.873 1.002 Sumber: Tamin, O. Z., 2000 Selanjutnya, pada pengulangan ke–2, sel MAT yang dihasilkan pada pengulangan ke–1 dikalikan dengan tingkat pertumbuhan zona tujuan E d untuk menghasilkan MAT pengulangan ke–2, sebagai berikut: II-27 Tabel 2. 20 MAT pada Masa Mendatang dengan Metode Furness hasil pengulangan ke – 2 Zona 1 2 3 4 oi Oi Ei 1 16.4 68.7 76.9 140.5 302.4 300 0.992 2 87.3 15.3 64.1 93.6 260.3 250 0.961 3 43.6 198.4 12.8 187.3 442.2 420 0.95 4 272.7 152.6 96.2 93.6 615.1 650 1.057 dd 420 435 250 515 1620 Dd 420 435 250 515 1620 Ed 1 1 1 1 1 Sumber: Tamin, O. Z., 2000 Hal tersebut dilakukan terus menerus secara bergantian sehingga total sel MAT yang dihasilkan baris maupun kolom sesuai dengan total sel MAT yang digunakan. Tabel 2. 21 MAT pada Masa Mendatang dengan Metode Furness hasil pengulanagn ke – 6 Zona 1 2 3 4 oi Oi Ei 1 16 68 75 141 300 300 1 2 82 15 61 92 250 250 1 3 40 188 12 180 421 420 0.999 4 282 164 102 102 649 650 1.001 dd 420 435 250 515 1620 Dd 420 435 250 515 1620 Ed 1 1 1 1 1 Sumber: Tamin, O. Z., 2000 B.2. Metode Sintetis Metode ini dilakukan dengan membentuk suatu permodelan yang menggambarkan hubungan antarpola bangkitan dan tarikan lalu lintas, kemudian diproyeksikan untuk memperoleh pergerakan pada masa yang akan datang. Tamin, O. Z., 2000 II-28 Metode sintetis interaksi spasial yang paling terkenal dan sering digunakan adalah metode gravity GR karena sangat sederhana sehingga mudah dimengerti dan digunakan. Model ini menggunakan konsep gravity yang diperkenalkan oleh Newton pada tahun 1686 yang dikembangkan dari analogi hukum gravitasi. Dalam bentuk matematis model ini dinyatakan dalam persamaan: T id = A i . O i . B d . D d . f C id ... 2- 19 Dimana: T id = pergerakan antar zona A i , B d = konstanta faktor penyeimbang O i = pergerakan yang berasal dari zona ke – i D d = pergerakan yang menuju ke zona ke – d f C id = fungsi hambatan yang dianggap sebagai ukuran aksesibilitas fungsi jarak A i = dan B d = Tamin, O. Z., 2000 Hal yang penting untuk diketahui adalah f id harus dianggap sebagai ukuran aksesibilitas kemudahan antara zona i dengan zona d. Hyman 1969 menyarankan tiga jenis fungsi hambatan yang dapat digunakan dalam model GR: , fungsi pangkat , fungsi eksponensial - negatif , fungsi Tanner II-29 B.2.1. Model UCGR Pada model ini sedikitnya mempunyai satu batasan, yaitu total pergerakan yang dihasilkan harus sama dengan total pergerakan yang diperkirakan dari tahap bangkitan pergerakan. Model ini bersifat tanpa – batasan, dalam arti bahwa model tidak diharuskan menghasilkan total yang sama dengan total pergerakan dari dan ke setiap zona yang diperkirakan oleh tahap bangitan pergerakan. Model tersebut dapat dituliskan sebagai berikut: T id = A i . O i . B d . D d . f C id ... 2- 20 Dimana: A i = 1, untuk seluruh i B d = 1, untuk seluruh d Tamin, O. Z., 2000 Tabel 2. 22 Bangkitan dan Tarikan Pergerakan pada Setiap Zona Zona 1 2 3 4 Oi 1 200 2 300 3 350 4 150 Dd 300 200 150 350 1000 Sumber: Tamin, O. Z., 2000 Selain itu, terdapat juga informasi mengenai aksebilitas antar zona yang dapat berubah jarak, waktu tempuh dan biaya perjalanan antar zona seperti terlihat sebagai berikut: II-30 Tabel 2. 23 Matriks Biaya C id Zona 1 2 3 4 1 5 20 35 50 2 15 10 50 25 3 55 25 10 30 4 25 15 45 5 Sumber: Tamin, O. Z., 2000 Dengan menganggap fungsi hambatan mengikuti fungsi eksponensial – negatif, didapatkan matriks exp - βC id seperti terlihat pada tabel berikut, dengan menganggap nilai β = 0.095. Tabel 2. 24 Matriks exp - βC id Zona 1 2 3 4 1 0.621145 0.148858 0.035674 0.008549 2 0.239651 0.385821 0.008549 0.092462 3 0.00531 0.092462 0.385821 0.057433 4 0.092462 0.239651 0.013764 0.621145 Sumber: Tamin, O. Z., 2000 Dengan menggunakan persamaan model UCGR, maka didapatkan matriks sebagai berikut: Tabel 2. 25 MAT Akhir Hasil Model UCGR Zona 1 2 3 4 oi Oi Ei Ai 1 209 33 6 3 252 200 0.794 1 2 121 130 2 54 307 300 0.976 1 3 3 36 114 39 192 350 1.818 1 4 23 40 2 183 248 150 0.604 1 dd 356 240 124 280 1000 Dd 300 200 150 350 1000 Ed 0.842 0.834 1.215 1.249 Bd 1 1 1 1 Sumber: Tamin, O. Z., 2000 B.2.2. Model PCGR Dalam model ini, total pergerakan global hasil bangkitan pergerakan harus sama dengan total pergerakan yang dihasilkan dengan II-31 pemodelan. Begitu juga, bangkitan pergerakan yang dihasilkan model harus sama dengan hasil bangkitan pergerakan yang didiinginkan. Akan tetapi, tarikan pergerakn tidak perlu sama. Sehingga syarat batas yang dipergunakan adalah sebagai berikut: Bd = 1 untuk seluruh d dan Ai = untuk seluruh i Tabel 2. 26 MAT Akhir Hasil Model PCGR Zona 1 2 3 4 oi Oi Ei Ai 1 166 27 5 3 200 200 1 0.00446 2 118 127 2 53 300 300 1 0.00547 3 6 66 207 72 350 350 1 0.0102 4 14 23 1 110 150 150 1 0.00339 dd 304 244 214 238 1000 Dd 300 200 150 350 1000 Ed 0.987 0.821 0.699 1470 Bd 1 1 1 1 Sumber: Tamin, O. Z., 2000 B.2.3. Model ACGR Dalam model ini, total pergerakan secara global harus sama dan juga tarikan pergerakan yang didapat dengan pemodelan harus sama dengan hasil tarikan pergerakan yang diinginkan. Sebaliknya, bangkitan pergerakan yang didapat dengan pemodelan tidak harus sama. Sehingga syarat batas yang digunakan adalah sebagai berikut: A i = 1 untuk seluruh i dan B d = untuk seluruh d Tamin, O. Z., 2000 II-32 Tabel 2. 27 MAT Akhir Hasil Model ACGR Zona 1 2 3 4 oi Oi Ei Ai 1 176 28 7 4 215 200 0.929 1 2 102 108 3 68 281 300 1.069 1 3 3 30 138 49 220 350 1.59 1 4 20 34 2 228 284 150 0.528 1 dd 300 200 150 350 1000 Dd 300 200 150 350 1000 Ed 1 1 1 1 Bd 0.00472 0.00468 0.00681 0.00701 Sumber: Tamin, O. Z., 2000 B.2.4. Model DCGR Dalam model ini, bangkitan dan tarikan pergerakan harus selalu sama dengan yang dihasilkan oleh tahap bangkitan pergerakan. Sehingga syarat batasnya adalah sebagai berikut: A i = , untuk seluruh nilai i B d = , untuk seluruh nilai d Tamin, O. Z., 2000 Tabel 2. 28 Nilai A i dan B d yang didapat pada Setiap Pengulangan Pengulangan A1 A2 A3 A4 B1 B2 B3 B4 Pengulangan 1 0.00446 0.00547 0.0102 0.00339 1 1 1 1 0 3 0.00462 0.00547 0.01152 0.00258 0.98725 0.82103 0.69935 1.47032 2 5 0.00467 0.00542 0.01186 0.00243 0.97645 0.80892 0.62177 1.58355 4 7 0.00468 0.0054 0.01194 0.0024 0.97532 0.80843 0.60477 1.60505 6 9 0.00467 0.00539 0.01196 0.0024 0.97599 0.80849 0.60088 1.60844 8 11 selesai selesai selesai selesai 0.97663 0.80853 0.59983 1.60876 10 Sumber: Tamin, O. Z., 2000 II-33 Tabel 2. 29 MAT Akhir Hasil Model DCGR setelah pengulangan ke – 10 Zona 1 2 3 4 oi Oi Ei Ai 1 170 22 3 4 200 200 1 0.00467 2 114 101 1 84 300 300 1 0.00539 3 7 63 145 135 350 350 1 0.01196 4 10 14 0 126 150 150 1 0.0024 dd 300 200 150 350 1000 Dd 300 200 150 350 1000 Ed 1 1 1 1 Bd 0.97663 0.80853 0.59983 1.60876 Sumber: Tamin, O. Z., 2000

2.4. Karakteristik Jalan

2.4.1. Klasifikasi Jalan

Klasifikasi fungsional seperti dijabarkan dalam Undang – Undang Republik Indonesia No. 38 Tahun 2004 Tentang Jalan Pasal 7 dan 8, Standar Perencanaan Geometrik Jalan Perkotaan, 1992 dibagi dalam dua sistem jaringan yaitu: 1. Sistem jaringan jalan primer Sistem jaringan jalan primer disusun mengikuti ketentuan peraturan tata ruang dan struktur pembangunan wilayah tingkat nasional, yang menghubungkan simpul - simpul jasa distribusi sebagai berikut: - Dalam kesatuan wilayah pembangunan menghubungkan secara menerus kota jenjang ke satu, kota jenjang kedua, kota jenjang ketiga, dan kota jenjang dibawahnya. - Menghubungkan kota jejang kesatu dengan kota jenjang kesatu antar satuan wilayah pengembangan.