TUJUAN PENELITIAN URGENSI PENELITIAN

18 4. Kelemahan fisik yaitu kondisi kesehatan, kemampuan bekerja, kurang makan dan gizi, masalah sanitasi. 5. Kerentanan yaitu mencerminkan ketidakstabilan atau guncangan yang dapat menyebabkan turunnya tingkat kesejahteraan, sebagai contoh adalah Pemutusan Hubungan Kerja PHK, pekerjaan tidak tetap, bencana alam, dan berbagai musibah lainnya. 6. Sikap atau perilaku yaitu yang merupakan tanggung jawab orang miskin itu sendiri namun tidak sepenuhnya, misalnya kurangnya upaya untuk bekerja, malas, tidak bisa mengatur uang, boros, berjudi, dan mabuk. Hingga sekarang persoalan kemiskinan menjadi isu yang tidak pernah habis, apalagi yang berkaitan dengan kesuksesan kepemimpinan sebuah pemerintah daerah, topik kemiskinan seakan tidak lekang ditelan masa. Kepemimpinan pemerintah daerah akan dinilai berhasil apabila dapat menurunkan angka kemiskinan dan mensejahterakan masyarakat banyak secara merata. Kemiskinan memberikan dampak negatif ke semua sektor, meningkatkan penganguran, kriminalitas, menjadi pemicu timbulnya bencana sosial, dan akan menghambat kemajuan suatu daerah. Oleh karena itu diperlukan suatu kajian yang mendalam yang dapat memberikan gambaran solusi yang aplikatif bagi penanganan atau pengentasannya. Kabupaten Kulon Progo sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Jogjakarta masih dihadapkan pada persoalan kemiskinan ini. Kajian yang paling mendesak agar program penanggulangan kemiskinan dapat berjalan efektif, maka diperlukan pemetaan tentang kemiskinan di berbagai kecamatan. Dengan diketahuinya kantong-kantong kemiskinan tersebut diharapkan dapat disusun kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan yang pro poor.

1.2. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mendapatkan data dan informasi yang akurat dan menunjukkan fakta yang sebenarnya terjadi saat ini tentang kondisi warga miskin di Kabupaten Kulon Progo, yang diperoleh secara langsung dari sumber utamanya. 2. Mengidentifikasi kantong-kantong kemiskinan berbasis kecamatan di Kabupaten Kulon Progo. 19 3. Merumuskan strategi umum untuk menanggulangi kemiskinan berdasarkan pada tingkatan kemiskinan yang ada di kecamatan.

1.3. URGENSI PENELITIAN

Hampir semua pendekatan dalam mengkaji kemiskinan masih berporos pada paradigma modernisasi the modernisation paradigm yang kajiannya didasari oleh teori- teori pertumbuhan ekonomi, human capital, dan the production-centred model yang berporos pada pendekatan ekonomi neo-klasik ortodok orthodox neoclassical economics Elson, 1997; Suharto, 2001; 2002a;2002b. Sejak ahli ekonomi “menemukan” pendapatan nasional GNP sebagai indikator dalam mengukur tingkat kemakmuran negara pada tahun 1950-an, hingga kini hampir semua ilmu sosial selalu merujuk pada pendekatan tersebut manakala berbicara masalah kemajuan suatu negara. Pengukuran kemiskinan yang berpijak pada perspektif “kemiskinan pendapatan” income poverty – yang menggunakan pendapatan sebagai satu-satunya indikator “garis kemiskinan” – juga merupakan bukti dari masih kuatnya dominasi model ekonomi neo-klasik di atas. Karena indikator GNP dan pendapatan memiliki kelemahan dalam memotret kondisi kemajuan dan kemiskinan suatu entitas sosial, sejak tahun 1970-an telah dikembangkan berbagai pendekatan alternatif. Dintaranya adalah kombinasi garis kemiskinan dan distribusi pendapatan yang dikembangkan Sen 1973; Social Accounting Matrix SAM oleh Pyatt dan Round 1977; Physical Quality of Life Index PQLI yang dikembangkan Morris 1977 lihat Suharto, 1998. Pada tahun 1990-an, salah satu lembaga dunia, yakni UNDP, memperkenalkan pendekatan “pembangunan manusia” human development dalam mengukur kemajuan dan kemiskinan, seperti Human Development Index HDI dan Human Poverty Index HPI. Pendekatan yang digunakan UNDP relatif lebih komprehensif dan mencakup faktor ekonomi, sosial dan budaya si miskin. Sebagaimana dikaji oleh Suharto 2002a:61-62, pendekatan yang digunakan UNDP berporos pada ide-ide heterodox dari paradigma popular development yang memadukan model kebutuhan dasar basic needs model yang dikembangkan oleh Paul Streeten dan konsep kapabilitas capability yang dikembangkan oleh Pemenang Nobel Ekonomi 1998, Amartya Sen. Namun demikian, bila dicermati, baik pendekatan modernisasi yang dipelopori oleh para pendahulunya, maupun pendekatan popular development yang digunakan UNDP 20 belakangan ini, keduanya masih melihat kemiskinan sebagai individual poverty dan bukan structural and social poverty. Sistem pengukuran serta indikator yang digunakannya terpusat untuk meneliti “kondisi” atau “keadaan” kemiskinan berdasarkan variabel-variabel sosial-ekonomi yang dominan. Kedua perspektif tersebut masih belum menjangkau variabel-variabel yang menunjukkan dinamika kemiskinan. Metodanya masih berfokus pada “outcomes” dan kurang memperhatikan aspek aktor atau pelaku kemiskinan serta sebab-sebab yang mempengaruhinya. Suharto 2002a menunjukkan bahwa: Kini, setelah pendekatan-pendekatan di atas dianggap belum memenuhi harapan dalam mengkaji dan menangani kemiskinan, perspektif kemiskinan yang bersifat multidimensional dan dinamis muncul sebagai satu isu sentral dalam prioritas pembangunan. Munculnya isu ini tidak saja telah melahirkan perubahan pada fokus pengkajian kemiskinan, terutama yang menyangkut kerangka konseptual dan metodologi pengukuran kemiskinan, melainkan pula telah melahirkan tantangan bagi para pembuat kebijakan untuk merekonsktruksi keefektifan program-program pengentasan kemiskinan. Kesadaran akan pentingnya penanganan kemiskinan lokal yang berkelanjutan yang menekankan pada penguatan solusi-solusi yang ditemukan oleh orang yang bersangkutan semakin mengemuka. Pendekatan ini lebih memfokuskan pada pengidentifikasian “apa yang dimiliki oleh orang miskin” ketimbang “apa yang tidak dimiliki orang miskin” yang menjadi sasaran pengkajian. Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa orang miskin adalah manajer seperangkat asset yang ada diseputar diri dan lingkungannya. Sebagaimana ditunjukkan oleh studi Suharto 2002a:69: Keadaan di atas terutama terjadi pada orang miskin yang hidup di negara yang tidak menerapkan sistem negara kesejahteraan welfare state yang dapat melindungi dan menjamin kehidupan dasar warganya terhadap kondisi-kondisi yang memburuk yang tidak mampu ditangani oleh dirinya sendiri. Kelangsungan hidup individu dalam situasi ini seringkali tergantung pada keluarga yang secara bersama-sama dengan jaringan sosial membantu para anggotanya dengan pemberian bantuan keuangan, tempat tinggal dan bantuan-bantuan mendesak lainnya. 21

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI