30
BAB III METODE PENELITIAN
Pelaksanaan pekerjaan menggunakan penelitian deskriptif yaitu penelitian yang menjelaskan dan menyajikan suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu
obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang.menghimpun data dan menyajikannya. Pendekatan pelaksanaan pekerjaan
menggunakan metodologi penelitian dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif dilaksanakan untuk merumuskan indikator rawan pangan yang
relevan dengan wilayah yang dikaji. Pendekatan kualitatif digunakan sebagai pembanding dan memperjelas data kuantitatif yang ada dengan memakai strategi studi kasus. Strategi
studi kasus dipilih karena kekhasan masalah, selain kemampuannya dalam menjelaskan fenomena sosial secara lebih mendalam Cresswel, 1994; Babie 2004 dalam Sitorus,1999.
3.1. Lokasi dan Waktu kegiatan
Lokasi pelaksanaan pekerjaan adalah di seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Ku;on Progo. Waktu pelaksanaan kegiatan dilaksanakan selama 2 tahun.
3.2. Data Penunjang
Dilihat dari sumbernya, data dasar yang digunakan dalam Studi ini ada dua jenis yaitu data sekunder dan data primer.
1. Data Skunder Data ini merupakan data yang telah dikumpulkan dan sajikan oleh pihak lain.
Adapun data sekunder yang akan digunakan dalam studi ini adalah data time series lima tahun terakhir.
a. Data sosial ekonomi penduduk menurut kecamatan di seluruh kabupaten: Jumlah pendudukkepala keluarga miskin keluarga pra sejahtera dan keluarga
sejahtera I b. Data pendukung lainnya.
Data-data sekunder yang disebutkan dimuka dikumpulkan dari berbagai sumber resmi, yaitu:
1 BPS, 2 Bappeda
31 3 Dinas Pertanian,
4 BKKBN 5 Dinas Kesehatan
2. Data Primer Data ini merupakan data yang diperoleh langsung dari obyek studi. Adapun data
primer yang digunakan dalam studi ini diantaranya meliputi: kondisi visual lapangan, informasi masyarakat langsung, pendapat dan pandangan dari pemerintah daerah
3.3. Indikakator Kemiskinan
Untuk melakukan identifikasi kemiskinan di suatu daerah dilakukan dengan menetapkani indikator kemiskinan terlebih dahulu. Pendekatan ini dimaksudkan untuk
memudahkan penelompokan baik secara kuantitatif maupun kualitatif sesuai dengan kelengkapan data dan permasalahan yang ada agar apa yang menjadi maksud, tujuan serta
sasaran penyusunan dokumen dan validasi data penduduk miskin dapat diwujudkan. Kemiskinan di Kabupaten Kulon Progo terjadi disebabkan berbagai hal, terutama adanya
ketimpangan atau kesalahan dalam tatanan sistem ekonomi-sosial sehingga masyarakat tidak dapat mengakses sumber
–sumber pendapatan yang tersedia sehingga tidak dapat meningkatkan taraf kesejahteraan man made poverty. Kemiskinan ini dapat terjadi karena
kesalahan dalam kebijakan dan strategi pembangunan serta pilihan kebijakan makro yang tidak tepat.
Kemiskinan seperti terjadi di Kabupaten Kulon Progo ini terjadi terutama disebabkan rendahnya kualitas SDM dan SDA sehingga masyarakat tidak dapat berproduksi dengan
optimal. Pada kondisi ini unit-unit produksi tidak dapat berfungsi secara optimal sehingga tidak mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik dari aspek sosial ekonomi
maupun aspek lingkungan. Kata kunci dari pola kemiskinan ini adlaah ketidakberdayaan masyarakat sbeagai subyk pembangunan. Pada gambar 1 berikut dijelaskan pola dua
macam kemiskinan.
3.3.1. Karakteristik Rumah Tangga Miskin
Hasil pendataan BPS pada tahun 2010 menunjukkan sebagian besar dari rumahtangga miskin mempunyai 4,9 anggota rumahtangga. Jumlah rata rata anggota
rumahtangga ini lebih besar dibanding jumlah rata rata anggota rumahtangga tidak miskin.
32 Ini menunjukkan bahwa rumahtangga miskin harus menanggung beban yang lebih besar
dibanding rumahtangga tidak miskin. Rumahtangga miskin di daerah perkotaan rata rata mempunyai 5,1 anggota rumahtangga, sedangkan rumahtangga miskin di daerah
perdesaan rata rata mempunyai 4,8 anggota rumahtangga. Dari angka ini dapat diketahui bahwa beban rumahtangga miskin di daerah perkotaan dalam memenuhi kebutuhan hidup
ternyata lebih besar daripada rumahtangga miskin di daerah perdesaan. Ciri lain yang melekat pada rumahtangga miskin adalah tingkat pendidikan kepala
rumahtangga yang rendah. Data yang disajikan BPS memperlihatkan bahwa 72,01 dari rumahtangga miskin di perdesaan dipimpin oleh kepala rumahtangga yang tidak tamat SD,
dan 24,32 dipimpin oleh kepala rumahtangga yang berpendidikan SD. Kecenderungan yang sama juga dijumpai pada rumahtangga miskin di perkotaan. Sekitar 57,02
rumahtangga miskin di perkotaan dipimpin oleh kepala rumahtangga yang tidak tamat SD, dan 31,38 dipimpin oleh kepala rumahtangga berpendidikan SD. Ciri ini menunjukkan
bahwa tingkat pendidikan kepala rumahtangga miskin di perkotaan lebih tinggi dibanding kepala rumahtangga di perdesaan. Ciri rumah tangga miskin yang erat kaitannya dengan
tingkat pendidikan dan sebaran lokasi rumahtangga adalah sumber penghasilan. Menurut data BPS, penghasilan utama dari 63,0 rumahtangga miskin bersumber dari kegiatan
pertanian, 6,4 dari kegiatan industri, 27,7 dari kegiatan jasa-jasa termasuk perdagangan, bangunan dan pengangkutan, dan selebihnya merupakan penerima
pendapatan. Pada tahun 1998 dan 1999 proporsi sumber penghasilan utama tidak mengalami pergeseran.
Dengan membedakan menurut daerah dapat dicatat bahwa sebagian besar atau sekitar 75,7 rumahtangga miskin di perdesaan mengandalkan pada sumber penghasilan
di sektor pertanian. Lebih dari 75 rumahtangga miskin di perkotaan memperoleh penghasilan utama dari kegiatan ekonomi di luar sektor pertanian dan hanya 24,0
rumahtangga miskin mengandalkan pada sektor pertanian. Ini konsisten dengan corak rumahtangga perdesaan yang sebagian besar adalah rumahtangga petani. Kegiatan ekono
mi perkotaan yang lebih beragam memberikan sumber penghasilan yang beragam pula bagi rumahtangga miskin di perkotaan.
Informasi tentang profil kemiskinan di perdesaan sangat diperlukan oleh pengambil kebijakan terutama untuk penanganan masalah kemiskinan. Keterangan mengenai jenis
persoalan dan akar permasalahan yang dihadapi berbagai jenis segmen penduduk miskin dapat membantu perencana program dalam menentukan program-program yang tepat.
33 Dengan mengetahui profil kemiskinan di perdesaan, pengambil kebijakan bisa lebih
memfokuskan pada program pengentasan kemiskinan di perdesaan sehingga dapat lebih sesuai dengan kebutuhan penduduk miskin tersebut. Berbagai program pengentasan
kemiskinan yang didasari pemahaman menyeluruh mengenai karakteristik sosial demografi dan dimensi ekonomi penduduk miskin dapat membantu perencanaan, pelaksanaan, dan
hasil target yang baik. Karena, salah satu prasyarat keberhasilan program program pembangunan sangat tergantung pada ketepatan pengidentifikasian target grup dan target
area. Data-data tentang profil kemiskinan di Indonesia menurut provinsi dipaparkan pada tabel 1.
34
Tabel 1. Jumlah Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan Menurut Provinsi
Propinsi Jumlah Penduduk Miskin 000
Persentase Penduduk Miskin Garis Kemiskinan Rp
Kota Desa
Kota+Desa Kota
Desa Kota+Desa
Kota Desa Kota+Desa
Nangroe Aceh Darussalam
173.4 688.5
861.9 14.65
23.54 20.98
308,306 266,285 278,389
Sumatera Utara 689.0
801.9 1490.9
11.34 11.29
11.31 247,547 201,810
222,898 Sumatera Barat
106.2 323.8
430.0 6.84
10.88 9.50
262,173 214,458 230,823
Riau 208.9
291.3 500.3
7.17 10.15
8.65 276,627 235,267
256,112 Jambi
110.8 130.8
241.6 11.80
6.67 8.34
262,826 193,834 216,187
Sumatera Selatan 471.2
654.5 1125.7
16.73 14.67
15.47 258,304 198,572
221,687 Bengkulu
117.2 207.7
324.9 18.75
18.05 18.30
255,762 209,616 225,857
Lampung 301.7
1178.2 1479.9
14.30 20.65
18.94 236,098 189,954
202,414 Bangka Belitung
21.9 45.9
67.8 4.39
8.45 6.51
289,644 283,302 286,334
Kepulauan Riau 67.1
62.6 129.7
7.87 8.24
8.05 321,668 265,258
295,095 DKI Jakarta
312.2 -
312.2 3.48
- 3.48
331,169 -
331,169 Jawa Barat
2350.5 2423.2
4773.7 9.43
13.88 11.27
212,210 185,335 201,138
Jawa Tengah 2258.9
3110.2 5369.2
14.33 18.66
16.56 205,606 179,982
192,435 DI Yogyakarta
308.4 268.9
577.3 13.98
21.95 16.83
240,282 195,406 224,258
Jawa Timur 1873.5
3655.8 5529.3
10.58 19.74
15.26 213,383 185,879
199,327 Banten
318.3 439.9
758.2 4.99
10.44 7.16
220,771 188,741 208,023
Bali 83.6
91.3 174.9
4.04 6.02
4.88 222,868 188,071
208,152 Nusa Tenggara Barat
552.6 456.7
1009.4 28.16
16.78 21.55
223,784 176,283 196,185
Nusa Tenggara Timur 107.4
906.7 1014.1
13.57 25.10
23.03 241,807 160,743
175,308 Kalimantan Barat
83.4 345.3
428.8 6.31
10.06 9.02
207,884 182,293 189,407
Kalimantan Tengah 33.2
131.0 164.2
4.03 8.19
6.77 220,658 212,790
215,466 Kalimantan selatan
65.8 116.2
182.0 4.54
5.69 5.21
230,712 196,753 210,850
Kalimantan Timur 79.2
163.8 243.0
4.02 13.66
7.66 307,479 248,583
285,218 Sulawesi Utara
76.4 130.3
206.7 7.75
10.14 9.10
202,469 188,096 194,334
35
Tabel 1. Jumlah Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan Menurut Provinsi
Propinsi Jumlah Penduduk Miskin 000
Persentase Penduduk Miskin Garis Kemiskinan Rp
Kota Desa
Kota+Desa Kota
Desa Kota+Desa
Kota Desa Kota+Desa
Sulawesi Tengah 54.2
420.8 475.0
9.82 20.26
18.07 231,225 195,795
203,237 Sulawesi Selatan
119.2 794.2
913.4 4.70
14.88 11.60
186,693 151,879 163,089
Sulawesi Tenggara 22.2
378.5 400.7
4.10 20.92
17.05 177,787 161,451
165,208 Gorontalo
17.8 192.0
209.9 6.29
30.89 23.19
180,606 167,162 171,371
Sulawesi Barat 33.7
107.6 141.3
9.70 15.52
13.58 182,206 165,914
171,356 Maluku
36.3 342.3
378.6 10.20
33.94 27.74
249,895 217,599 226,030
Maluku Utara 7.6
83.4 91.1
2.66 12.28
9.42 238,533 202,185
212,982 Papua Barat
9.6 246.7
256.3 5.73
43.48 34.88
319,170 287,512 294,727
Papua 26.2
735.4 761.6
5.55 46.02