1. Penetapan Ahli Waris yang Dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri
Dapat juga Penetapan Ahli Waris karena terjadi sengketa dan dapat berupa Surat Pernyataan Waris yang dibuat di bawah tangan oleh para ahli waris
dan dilegalisasi oleh Pengadilan Negeri.
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 20 tahun 1999 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Kehakiman, banyak ditemui putusan-putusan Pengadilan Negeri tentang
ketetapan waris. Ketetapan waris yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri adalah untuk semua golongan penduduk Indonesia yang menundukkan diri pada ketentuan-ketentuan Hukum Perdata
BW, dengan kata lain asalkan ada yang memohon untuk dibuatkan penetapanfatwa waris kepada Pengadilan Negeri, maka Pengadilan akan mengeluarkannya tanpa melihat perbedaan atau
penggolongan penduduk seperti yang termuat dalam Pasal 131 IS dan 163 IS Indische Straatsregeling
29
tentunya dengan memenuhi persyaratan atau dokumen-dokumen yang diperlukan. Penetapan waris dari Pengadilan Negeri ini sejalan dengan Surat Edaran dari
Direktorat Jenderal Agraria Nomor Dpt.12631269, tertanggal 20 Desember 1969, yang menyatakan tentang kewenangan Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Notaris dan Lurah Camat
dalam mengeluarkan Keterangan Hak Mewaris. Untuk orang Indonesia yang menundukkan dirinya pada hukum perdata BW, maka surat keterangan hak mewarisnya dikeluarkan oleh
Pengadilan Negeri. Namun dalam perkembangannya, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Muda tertanggal 8 Juli 1993 Nomor: 26TUADAGIII-UMVII1993, menegaskan bahwa
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama tidak berwenang untuk memberikan penetapanfatwa waris. Larangan tersebut didasarkan pada :
1. Bahwa pada dasarnya kewenangan Pengadilan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat 1
Undang-undang Nomor 20 tahun 1999 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman untuk menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara, dalam
perkara perdata hanya terbatas dalam perkara yang bersifat sengketa kontensius.
29
J. Satrio, op. cit., hlm. 6.
2. Bahwa hal tersebut bersesuaian dengan azas “tidak ada sengketa tidak ada perkara” atau geen
belang geen actie atau point d’interet point d’action, yang berarti bahwa sebagai tuntutan perdata burgelijk vordering berdasarkan Pasal 118 ayat 1 HIR, Pasal 142 Rbg adalah
merupakan tuntutan hak yang bersifat sengketa kontensius. 3.
Bahwa dengan demikian maka semua perkara voluntair antara lain penetapan fatwa waris bukan merupakan wewenang pengadilan, kecuali apabila terdapat ketentuan perundang-
undangan yang menentukan lain, bahwa untuk keperluan tersebut diperlukan putusan atau penetapan Pengadilan.
4. Bahwa demikian pula halnya, wewenang Pengadilan tentang perkara waris, juga harus bersifat
kontensius. 5.
Bahwa dengan demikian, maka putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri penetapanfatwa waris tidak mempunyai kekuatan hukum.
6. Sebagai tambahan, dinyatakan bahwa masalah pilihan hukum atau titik singgung sebagai
tersebut dalam SEMA Nomor 2 tahun 1990, tidak dapat dikaitkan dalam putusan voluntair tersebut, sebab masalah tersebut baru timbul dalam hal adanya sengketa dari pihak-pihak yang
berperkara. Oleh sebab itulah saat ini tidak lagi dijumpai putusan-putusan Pengadilan yang bersifat voluntair
atau karena permohonan penetapan yang diajukan oleh para ahli waris. Yang banyak dijumpai adalah putusan-putusan Pengadilan Negeri atas penetapanfatwa waris sebagai rangkaian
penetapan karena adanya sengketa dari para ahli waris.
30
Dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung tahun 2004,
31
disebutkan tentang Akta Di bawah Tangan mengenai Kahliwarisan, yaitu Akta yang dibuat oleh para ahli waris, di mana mereka membuat
surat pernyataan bahwa diri mereka adalah ahli waris dan dengan menyebutkan kedudukan masing-masing dalam hubungan keluarga dengan yang telah meninggal. Pernyataan tersebut dapat
30
I Gede Purwaka, Keterangan Hak Mewaris Yang Dibuat Oleh Notaris Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata BW, Buku Ajar Program SpesialisMagisten Kenotariatan
Fakultas Universitas Indonesia, Jakarta, 1999, hlm. 1-3.
31
Mahkamah Agung, Pedoman Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku II Edisi Revisi, Jakarta, 2005, hlm. 108.
dimintakan untuk disahkan oleh Notaris atau Ketua Pengadilan Negeri. Setelah dibacakan dan dijelaskan di hadapan para pihak oleh Ketua Pengadilan Negeri atau Hakim yang ditunjuk, barulah
tandatangan mereka disahkan. Surat Pernyataan Waris tersebut hanya berlaku untuk satu keperluan tertentu saja dan harus dicantumkan dalam surat tersebut.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa Surat Pernyataan Waris yang dibuat oleh para ahli waris dan disahkan oleh Pengadilan berkekuatan sebagai akta di bawah tangan.
2. Penetapan Ahli Waris yang Dikeluarkan oleh Pengadilan Agama.