IP4T dan
BUKTI-BUKTI SEBELUM PENGUASAAN LAHAN PENUNJUKAN TERTULIS KAWASAN HUTAN
1. Hak Milik; Hak Guna Usaha; Hak Guna Bangunan; Hak Pakai; Hak Pengelolaan. 2. Hak Atas Tanah lainnya yang sudah ada klarifikasi dari Lembaga Pertanahan, seperti:
a. Grosse Akta Hak Eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonnantie (Staatsblad. 1834-27), yang telah dibubuhi catatan, bahwa hak eigendom yang bersangkutan dikonversi menjadi hak milik;
b. Grosse Akta Hak Eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonnantie (Staatsblad. 1834-27) sejak berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria sampai tanggal pendaftaran tanah dilaksanakan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 di daerah yang bersangkutan;
c. Surat Tanda Bukti Hak Milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan;
d. Sertipikat Hak Milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9/1959;
e. Surat Keputusan Pemberian Hak Milik dari Pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut didalamnya;
f. Akta Pemindahan Hak yang dibuat di bawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya PP Nomor 24 Tahun 1997;
g. Akta Pemindahan Hak Atas Tanah yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang tanahnya belum dibukukan;
h. Akta Ikrar Wakaf / Surat Ikrar Wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977;
i. Risalah Lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya belum dibukukan;
j. Surat Penunjukan atau Pembelian Kaveling Tanah Pengganti Tanah yang diambil oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
k. Petuk Pajak Bumi/Landrente, Girik, Pipil, Kekitir dan Verponding Indonesia sebelum berlaku Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961;
l. Surat Keterangan Riwayat Tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan;
m. Lain-Lain Bentuk Alat Pembuktian Tertulis dengan Nama Apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, Pasal VI dan Pasal VII Ketentuan- ketentuan Konversi Undang-Undang Pokok Agraria.
BUKTI-BUKTI
PENGUASAAN LAHAN
tidak TERTULIS hak tanggungan.
Apabila bukti kepemilikan tertulis tidak lengkap atau tidak ada, maka pembuktian dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu- pendahulunya, dengan syarat:
1) Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi dari lingkungan masyarakat setempat dan tidak mempunyai hubungan keluarga dengan yang bersangkutan.
2) Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya.
Bukti tidak tertulis ini menjadi penting untuk kawasan yang belum pernah mendapatkan layanan pendaftaran tanah dari negara. Dapat dipastikan bahwa mayoritas penggunaan lahan di dalam kawasan hutan tidak memiliki bukti tertulis. Bisa dimaklumi karena BPN selama ini memang tidak diperbolehkan melakukan pendaftaran tanah di dalam kawasan hutan.
Bukti tidak tertulis bagi masyarakat biasa ini banyak ragamnya, tergantung kondisi lokal/setempat dan disesuaikan dengan aturan adat atau kebiasaan masyarakat setempat. Pemohon yang tidak memiliki bukti tertulis harus menuliskan riwayat tanahnya dengan jelas dan detail dan mengaitkan penguasaan lahannya itu dengan aturan adat dan kebiasaan di masyarakat terkait dengan kepemilikan lahan. Bukti perlu ditunjukan dengan keberadaan tanaman yang menunjukkan bukti kepemilikan di daerah tersebut atau tanaman yang memiliki umur sederajat dengan 20 tahun atau lebih atau bukti-bukti lainnya (seperti bekas rumah, pemakaman leluhur keluarga dan contoh lainnya).
Bukti tidak tertulis bagi pemohon pemerintah atau badan sosial keagamaan yang diatur didalam peraturan kehutanan antara lain berwujud pemukiman, fasum dan fasos. Fasum ini antara lain berupa jalan, saluran irigasi, jaringan listrik, kantor pemerintahan dan lainnya. Fasos antara lain berupa lapangan, pemakaman, tempat ibadah dan lainnya.
BUKTI-BUKTI SEBELUM SEBELUM BUKTI-BUKTI
PENGUASAAN LAHAN PENUNJUKAN PENUNJUKAN PENGUASAAN LAHAN tidak TERTULIS KAWASAN HUTAN
KAWASAN HUTAN tidak TERTULIS
Permukiman, Fasilitas Umum, Fasilitas Sosial Ÿ Permukiman
dalam Desa/Kampung Ÿ Fasilitas Umum Ÿ Fasilitas Sosial dalam Desa / Kampung
Dengan syarat:
berdasar pada Sejarah Keberadaannya 1) Telah ditetapkan dalam Perda, dan 2) Tercatat pada statistik desa/ Kecamatan, dan 3) Penduduk >10 KK dan terdiri dari <10 rumah. 4) tidak berlaku pada provinsi yang luas
kawasan Hutannya <30% Syarat 1 s/d 3 adalah kumulatif.
sebuah beje (semacam kolam untuk menjebak/menangkap ikan) di Teluk Timbau, Kabupaten Barito Selatan yang dijadikan bukti tidak tertulis dalam pengajuan permohonan IP4T (Courtesy WALHI KALTENG 2015)
Dari nama proses (yakni IP4T) dan juga ketua Tim IP4T, ada kemungkinan peraturan dan kebijakan yang dipakai berasal dari BPN. Dari beberapa kali pertemuan dari BPN ada indikasi kuat beberapa staf BPN hanya melihat bukti tertulis sebagai bukti utama. Pandangan ini sebenarnya tidak hanya ada di kalangan staf BPN tetapi juga di pihak lain di anggota Tim IP4T.
Sebagai antisipasi perlu masyarakat perlu memperkuat argumentasi bahwa (1) Layanan BPN untuk pendaftaran tanah belum menyentuh semua wilayah di
Indonesia. (2) BPN tidak memberikan layanan pendaftaran tanah yang berada di dalam kawasan hutan (sehingga pasti akan sulit menemukan, misalnya sertifikat tanah, di dalam kawasan hutan. Kecuali untuk bukti tertulis yang berasal dari hak atas tanah lama (dijelaskan di halaman sebelumnya)).
Untuk itulah masyarakat perlu mempersiapkan diri dengan mengidentifikasi bukti-bukti tidak tertulis yang menunjukkan klaim kuatnya atas lahan tersebut. Bukti tidak tertulis itu misalnya dapat dilihat dari makam keramat, lokasi keramat, bentuk penggunaan lahan yang khas, keberadaan pohonan berumur panjang, dan lain-lain.
Kita ambil contoh di Barito Selatan. Di 18 desa/dusun yang dijadikan lokasi prioritas terdapat bentuk unik penguasaan masyarakat atas lahan berupa Beje. Beje merupakan kolam persegi panjang yang dibuat oleh masyarakat yang berada di daerah pasang surut sungai/danau yang dipergunakan untuk menjebak ikan. Bentuk dan luas Beje ini bervariasi. Ada yang hanya leber 1 meter dan panjang 3 meter. Ada juga yang panjangnya ratusan meter. Di beberapa desa di Barsel, Beje bisa menunjukkan kepemilikan seseorang atas lahan disekitarnya. Jelasnya jika si
A memiliki Beje di satu lokasi B, maka Si A ini adalah pemilik dari Lokasi B tadi (tentu dengan batas-batas yang disepakati dengan yang berbatasan). Tapi di desa yang lain, Beje ini tidak menunjukkan kepemilikan atas lahan disekitarnya. Jadi dalam kasus ini si A hanya memiliki lahan seluas Beje tersebut. Apapun kondisinya, Beje dapat dijadikan bukti sudah adanya penguasaan lahan di dalam kawasan hutan.
Kasus di Legon Pakis, Pandeglang bisa juga dijadikan contoh. Kalau di daerah ini bukti tidak tertulisnya bisa dilihat dari keberadaan pohon kelapa yang berjejer yang sudah berbuah. Kita tahu sendiri bahwa dibutuhkan waktu lebih dari satu dekade bagi pohon kelapa untuk berbuah.
Di sisi yang lain, keberadaan kebun rotan atau pohon tanggiran (pohon dimana ada rumah lebah)atau perkebunan buah dapat juga diajukan sebagai salah satu bukti penguasaan masyarakat atas lahan.